• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 LANDASAN TEORI"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Pengambilan Sample (Sampling) 2.1.1 Pengertian

Berdasarkan buku “Metode Penelitian Bisnis” karangan Prof. Dr. Sugiyono pada halaman 73, dikatakan bahwa sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga, dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi tersebut. Untuk itu, sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representative (mewakili). Sedangkan teknik sampling adalah merupakan teknik pengambilan sampel.

Menurut buku “Manajemen Produksi dan Operasi” karangan Sofjan Assauri halaman 312, bahwa pengambilan sampel ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pemeriksaan atau inspeksi pada seluruh hasil produksi adalah memakan biaya yang mahal, kurang diperlukan, dapat menjemukkan atau membosankan, dan tetap tidak dapat dipercaya, serta dalam hal-hal tertentu tidak mungkin dilakukan.

(2)

2.1.2 Tujuan Pengambilan Sampel

Tujuan utama pengambilan sampel adalah untuk memperoleh informasi dengan biaya yang lebih kecil daripada dengan melakukan pemeriksaan keseluruhan (full inspection), atau dalam hal pemeriksaan yang menyeluruh tidak dapat dilakukan. Keuntungan tambahan dari pengambilan sampel adalah:

1. Informasi-informasi dapat diperoleh lebih cepat. Hal ini karena hanya perlu untuk memeriksa sebagian kecil dari seluruh barang itu.

2. Cara-cara sampling ini dapat dipakai dalam hal pengetesan atau pengujian-pengujian pada hasil akhir (finished product) yang merupakan cara-cara pengujian yang merusak (destructive) atau semi-destructive.

2.1.3 Cara-cara Sampling

Menurut buku “Metode Penelitian Bisnis” karangan Prof. Dr. Sugiyono halaman 73, teknik sampling dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:

1. Probability Sampling

Probability sampling adalah teknik sampling (teknik pengambilan sampel) yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel. Probability sampling meliputi simple random, proportionate stratified random, disproportionate stratified random, dan area random.

(3)

2. Non Probability Sampling

Non probability sampling adalah teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang / kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Non probability sampling meliputi: sampling sistematis, sampling kuota, sampling aksidental, purposive sampling, sampling jenuh, dan snowball sampling.

2.2 Pengukuran Kerja 2.2.1 Pengertian

Menurut buku “Pengantar Teknik Industri” karangan Hari Purnomo halaman 42, pengukuran kerja adalah suatu aktivitas untuk menentukan waktu yang dibutuhkan oleh seorang operator (yang memiliki skill rata-rata dan terlatih) dalam melaksanakan kegiatan kerja dalam kondisi atau tempo kerja yang normal.

2.2.2 Tujuan dari Pengukuran Kerja

Pengukuran waktu kerja ini akan berhubungan dengan usaha-usaha untuk menetapkan waktu baku yang dibutuhkan guna menyelesaikan suatu pekerjaan. Waktu baku ini sangat diperlukan terutama sekali untuk:

a. Man power planning (perencanaan kebutuhan tenaga kerja). b. Estimasi biaya-biaya untuk upah karyawan / pekerja.

(4)

d. Perencanaan sistem pemberian bonus dan insentif bagi karyawan / pekerja yang berprestasi.

e. Indikasi keluaran (output) yang mampu dihasilkan oleh seorang pekerja.

2.2.3 Jenis-jenis dari Pengukuran Kerja

Proses pengukuran waktu dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu pengukuran waktu secara langsung dan pengukuran waktu secara tidak langsung.

a. Pengukuran waktu secara Langsung

Dalam bukunya “Pengantar Teknik Industri” halaman 43, Hari Purnomo menjelaskan tentang pengukuran waktu secara langsung. Disebut secara langsung karena pengamat berada di tempat dimana objek sedang diamati. Pengamat secara langsung melakukan pengukuran atas waktu kerja yang dibutuhkan oleh seorang operator (objek pengamatan) dalam menyelesaikan pekerjaannya. Pengukuran secara langsung terdiri dari dua cara yaitu pengukuran dengan menggunakan stopwatch dan sampling kerja.

• Pengukuran Waktu dengan Stopwatch

Menurut buku “Ergonomi Studi Gerak dan Waktu” karangan Sritomo Wignjosoebroto halaman 171, pengukuran waktu kerja dengan jam henti (stopwatch time study) diperkenalkan pertama kali

(5)

oleh Frederick W. Taylor sekitar abad 19 yang lalu. Metode ini terutama sekali baik diaplikasikan untuk pekerjaan-pekerjaan yang berlangsung singkat dan berulang-ulang (repetitive). Dari hasil pengukuran maka akan diperoleh waktu baku untuk menyelesaikan suatu siklus pekerjaan, yang mana waktu ini akan dipergunakan sebagai standar penyelesaian pekerjaan bagi semua pekerja yang akan melaksanakan pekerjaan yang sama seperti itu. Aktivitas pengukuran kerja dengan jam henti (stopwatch) umumnya diaplikasikan pada industri manufaktur yang memiliki karakteristik kerja yang berulang-ulang, terspesifikasi jelas, dan menghasilkan output yang relatif sama. Meskipun demikian aktivitas ini bisa pula diaplikasikan untuk pekerjaan-pekerjaan non manufacturing seperti yang bisa dijumpai dalam aktivitas kantor gudang atau jasa pelayanan lainnya asalkan kriteria-kriteria di bawah ini bisa dijumpai, yaitu:

¾ Pekerjaan tersebut harus dilaksanakan secara repetitive dan uniform.

¾ Isi / macam pekerjaan itu harus homogen.

¾ Hasil kerja (output) harus dapat dihitung secara nyata (kuantitatif) baik secara keseluruhan ataupun untuk setiap elemen kerja.

¾ Pekerjaan tersebut cukup banyak dilaksanakan dan teratur sifatnya sehingga akan memadai untuk diukur dan dihitung waktu berikutnya.

(6)

• Pengukuran Waktu dengan Sampling Kerja

Menurut Hari Purnomo dalam buku “Pengantar Teknik Industri” halaman 52, penentuan waktu baku dengan cara sampling adalah melakukan pengamatan dengan mengamati apakah tenaga kerja dalam kondisi bekerja atau dalam kondisi menganggur. Pengamatan tidak dilakukan secara terus-menerus melainkan hanya sesaat pada waktu yang ditentukan secara random. Metode ini dikembangkan oleh L.H.C. Tippet pada pabrik tekstil di Inggris, karena berbagai kegunaan cara ini dipakai di negara-negara lain secara lebih luas. Cara menentukan waktu standar dengan menggunakan sampling adalah dengan melakukan kunjungan ke tenaga kerja yang akan diukur waktunya. Kunjungan dilakukan secara acak yaitu setiap kali kunjungan dengan selang waktu yang tidak sama dan didasarkan pada bilangan random yang dikonversi pada satuan waktu. Aktivitas tenaga kerja diamati apakah dalam keadaan bekerja atau dalam keadaan menganggur yang kemudian dicatat pada lembar pengamatan.

b. Pengukuran Tidak Langsung

Pengukuran waktu dengan cara tidak langsung berdasarkan buku “Teknik Tata Cara Kerja” karangan Sutalaksana, dkk halaman 117 adalah perhitungan waktu tanpa harus berada di tempat pekerjaan yaitu dengan

(7)

membaca tabel-tabel yang tersedia asalkan mengetahui jalannya pekerjaan melalui elemen-elemen pekerjaan atau elemen-elemen gerakan. Yang termasuk kelompok ini adalah data waktu baku dan data waktu gerakan. Pada prinsipnya data waktu baku berisi data waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang diteliti (diukur) pada waktu yang lalu. Dengan demikian bila pekerjaan tersebut diulang, waktu yang pantas untuk menyelesaikan sudah diketahui. Memang karena diperlukannya biaya yang tinggi dalam pembentukan data waktu baku, cara ini mendatangkan keuntungan bila pekerjaan tersebut dilakukan terus-menerus. Sedangkan data waktu gerakan adalah pengukuran waktu dengan memperlihatkan elemen-elemen gerakan sebagai perincian dari suatu pekerjaan. Jadi bukan lagi bagian pekerjaan memindahkan benda kerja ke mesin yang dilihat, tetapi elemen-elemen gerakan apa yang menjalankannya.

Yang dimaksud dengan elemen-elemen gerakan disini serupa dengan yang dimaksud oleh Gilberth dan istrinya mengenai therblig-therblig. Memang dari therblig-therblig inilah timbul gagasan mengurai suatu pekerjaan atas elemen-elemen walaupun elemen-elemen gerakan disini tidak selalu sama dengan yang dikemukan Gilbreth. Berbagai cara pembagian suatu pekerjaan atas elemen-elemen gerakan telah melahirkan metode penentuan waktu baku secara sintesa, terdapat diantaranya Analisa Waktu Gerakan (Motion Time Analysis), Waktu Gerakan Baku (Motion

(8)

Time Standard), Waktu Gerakan Dimensi (Dimention Motion Time), Faktor Kerja (Work Factor), Pengukuran Waktu Metode (Motion Time Measurement) dan Pengukuran Waktu Gerakan Dasar (Basic Motion Time).

2.2.4 Cara Penerapan dari Pengukuran Kerja dengan Stopwatch

Di dalam melakukan pengukuran waktu dengan stopwatch dilakukan pemecahan pekerjaan menjadi elemen-elemen kegiatan. Langkah-langkah yang diperlukan dalam melakukan pengukuran adalah sebagai berikut:

1. Penetapan tujuan pengukuran 2. Melakukan penelitian pendahuluan 3. Memilih operator

4. Melatih operator

5. Menguraikan pekerjaan atas elemen pekerjaan 6. Menyiapkan alat-alat pengukuran

7. Melakukan pengukuran waktu

8. Mencatat hasil pengukuran waktu pada lembar pengamatan

9. Pengukuran pendahuluan pertama dilakukan dengan melakukan beberapa buah pengukuran yang banyaknya ditentukan oleh pengukur. Biasanya sepuluh kali atau lebih. Setelah pengukuran tahap pertama ini dijalankan, dilakukan pengujian data dengan uji kecukupan data dan uji keseragaman data. Serta bila jumlah belum mencukupi dilanjutkan dengan pengukuran

(9)

pendahuluan kedua. Jika tahap kedua selesai maka dilakukan lagi pengujian data dan bila perlu dilanjutkan dengan pengukuran pendahuluan tahap ketiga. Begitu seterusnya sampai jumlah keseluruhan pengukuran mencukupi untuk tingkat ketelitian dan keyakinan yang dikehendaki. Tingkat ketelitian dan tingkat keyakinan adalah pencerminan tingkat kepastian yang diinginkan oleh pengukur setelah memutuskan tidak akan melakukan pengukuran yang sangat banyak. Tingkat ketelitian menunjukkan penyimpangan maksimum hasil pengukuran dari waktu penyelesaian sebenarnya. Hal ini biasanya dinyatakan dalam persen (dari waktu penyelesaian sebenarnya, yang seharusnya dicari). Sedangkan tingkat keyakinan menunjukan besarnya keyakinan pengukur bahwa hasil yang diperoleh memenuhi syarat ketelitian tadi. Inipun dinyatakan dalam persen.

10. Melakukan perhitungan waktu baku

2.2.5 Pengujian Data 2.2.5.1 Keseragaman Data

Untuk memastikan bahwa data yang terkumpul berasal dari sistem yang sama, maka dilakukan pengujian terhadap keseragaman data. Berdasarkan buku “Teknik Tata Cara Kerja” karangan Sutalaksana, dkk. halaman 136, dijelaskan bahwa secara teoritis apa yang dilakukan dalam pengujian keseragaman data adalah berdasarkan teori-teori statistik tentang

(10)

peta kontrol yang biasanya digunakan dalam melakukan pengendalian kualitas di pabrik atau di tempat kerja yang lain. Tugas mengukur adalah untuk mendapatkan data yang seragam ini. Karena ketidakseragaman dapat datang tanpa disadari maka diperlukan suatu alat yang dapat ”mendeteksi”. Batas-batas kontrol yang dibentuk dari data merupakan Batas-batas seragam tidaknya data. Data yang dikatakan seragam, yaitu berasal dari sistem sebab yang sama dan berada diantara kedua batas kontrol, sedangkan data tidak seragam, yaitu berada dari sistem sebab yang berbeda serta jika berada diluar batas kontrol.

Dari buku “Ergonomi Studi Gerak dan Waktu”, karangan Sritomo Wignjosoebroto, halaman 194, test keseragaman data perlu dilakukan guna menetapkan waktu baku. Test keseragaman data bisa dilaksanakan dengan cara visual dan / atau mengaplikasikan peta kontrol (control chart). Test keseragaman data secara visual dilakukan secara sederhana, mudah, dan cepat. Dengan melihat data yang terkumpul dan seterusnya mengidentifikasi data yang terlalu ekstrem (data yang terlalu besar atau terlalu kecil dan jauh menyimpang dari trend rata-ratanya).

2.2.5.2 Kecukupan Data

Dalam bukunya “Pengantar Teknik Industri” halaman 45 karangan Hari Purnomo, dijelaskan bahwa dalam proses pengukuran waktu kerja, diperlukan kegiatan pengujian terhadap data yang dikumpulkan. Kegiatan pengujian tersebut dimulai dari analisis atas jumlah data yang seharusnya

(11)

dikumpulkan sampai dengan analisis atas konsistensi kerja operator. Dengan asumsi bahwa terjadinya kejadian seorang operator akan bekerja atau menganggur mengikuti pola distribusi normal, maka untuk mendapatkan jumlah sampel pengamatan yang harus dilakukan dapat dicari berdasarkan rumus berikut:

Data dikatakan cukup jika N’ ≤ N

N’= 2 2 2 Xij ) Xij ( Xij N S Z ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡

dimana: Z = Koefisien pada distribusi normal sesuai dengan tingkat keyakinan. Tingkat keyakinan 90 %, Z = 1,65; Tingkat keyakinan 95 %, Z = 1,96 ≈ 2; Tingkat keyakinan 99 %, Z = 2,58 ≈ 3.

S = Tingkat ketelitian. Xij = Data waktu.

N = Jumlah pengamatan yang diperlukan. N’ = Jumlah pengamatan aktual.

2.2.6 Perhitungan Waktu Baku

1. Hitung waktu siklus

N Xi Ws= ∑

(12)

N = banyaknya data

2. Hitung waktu normal

Dalam buku “Pengantar Teknik dan Sistem Industri” karangan Wayne C. Turner, dkk halaman 208, waktu normal adalah waktu rata-rata yang dibutuhkan operator terlatih untuk melakukan suatu pekerjaan dalam kondisi kerja yang biasa dan bekerja dalam kecepatan normal (dalam hal ini tidak termasuk waktu longgar untuk kebutuhan pribadi dan waktu tunggu yang mungkin akan sangat penting jika pekerjaan tersebut dilakukan selama 8 jam).

Waktu normal diperoleh dengan rumus sebagai berikut :Wn =Wsxp dimana: Wn = waktu normal, Ws = Waktu Siklus, dan p = faktor penyesuaian

Faktor penyesuaian diperhitungkan jika pengukur berpendapat bahwa operator bekerja dengan kecepatan tidak wajar, sehingga hasil perhitungan waktu perlu disesuaikan atau dinormalkan dulu untuk mendapatkan waktu siklus rata-rata yang wajar. Jika pekerja bekerja dengan wajar, maka faktor penyesuaiannya p sama dengan 1, artinya waktu siklus rata-rata sudah normal. Jika bekerja terlalu lambat maka untuk menormalkannya pengukur harus memberi harga p1, dan sebaliknya p2, jika dianggap

(13)

bekerja terlalu cepat. Metode untuk menentukan penyesuaian antara lain sebagai berikut:

a. The Westing House System. Sistem ini merupakan sistem yang cukup lama dan sering digunakan dalam sistem rating. Sistem ini dikembangkan oleh Westing House Electric Corporation dengan mempertimbangkan empat faktor antara lain: keterampilan, usaha, kondisi, dan konsistensi.

b. Synthetic Rating

c. Speed Rating / Performance Rating d. Objective Rating

3. Hitung waktu baku

Akhirnya setelah perhitungan diatas selesai maka, dihitung waktu bakunya dengan rumus sebagai berikut:

% L % 100 % 100 x Wn Wb − =

dimana: Wb = Waktu baku dan L = Faktor kelonggaran

Berdasarkan buku “Ergonomi Studi Gerak dan Waktu”, karangan Sritomo Wignjosoebroto halaman 170, waktu baku adalah waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja yang memiliki tingkat kemampuan rata-rata untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Disini sudah meliputi

(14)

kelonggaran waktu yang diberikan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pekerjaan yang harus diselesaikan tersebut.

Pada buku “Pengantar Teknik dan Sistem Industri” karangan Wayne C. Turner halaman 208, kelonggaran adalah sejumlah waktu yang ditambahkan dalam waktu normal untuk memenuhi kebutuhan pribadi, waktu tunggu yang tidak dapat dihindari, dan kelelahan. Pada sumber lain, buku “Pengantar Teknik Industri” karangan Hari Purnomo halaman 50, kelonggaran pada dasarnya adalah suatu faktor koreksi yang harus diberikan kepada waktu kerja operator, karena dalam pekerjaannya operator seringkali terganggu oleh hal-hal yang tidak diinginkan namun bersifat alamiah.

2.2.7 Peta Kontrol

Menurut Hari Purnomo dalam bukunya “Pengantar Teknik Indutri” halaman 254, peta kontrol atau grafik pengendali merupakan alat untuk mengawasi kualitas dengan mudah sehingga mudah untuk menentukan keputusan apa yang harus diambil jika terjadi produk yang menyimpang. Peta kontrol ditentukan juga untuk membuat batasan-batasan untuk mengetahui hasil produksi yang menyimpang dari mutu yang diinginkan. Selain penyimpangan kualitas, variasi suatu produk juga perlu diawasi. Makin besar variasi tentunya produk kurang baik. Konsep variasi merupakan hukum alam, kadang terjadi variasi besar dan kadang variasi kecil. Jika variasi kecil, maka

(15)

hasil yang dibuat nampak tidak ada perbedaan atau serupa, hanya dengan alat yang baik, variasi atau perbedaan dapat ditunjukkan.

Sedangkan dalam buku “Pengantar Teknik dan Sistem Industri” Wayne C. Turner halaman 292, peta kontrol adalah alat untuk mempelajari perbedaan. Diagram (peta kontrol) memperlihatkan kepada kita variasi yang stabil (atau konsisten). Proses yang stabil sering disebut sebagai proses dalam kendali (in-control process), proses yang dapat diprediksi, atau proses dengan ”penyebab-penyebab umum”. Proses ini disebut sebagai bagian dari pengendalian statistikal (SOSC, a state of statistical control). Proses yang tidak stabil sering disebut juga dikenal sebagai proses di luar kendali (OOC, out-of-control), tidak dapat diprediksi, atau proses “penyebab umum dan khusus”. Sebuah diagram pengendalian akan memberitahukan kita tentang stabil atau tidaknya sebuah proses.

Peta kontrol telah digunakan sebagai alat diagnosa dan pemeliharaan dalam pengendalian proses kualitas sejak pertama kali diperkenalkan oleh Shewhart, Bapak Peta Kontrol. Dari keseluruhan diagram pengendalian yang ada, diagram yang paling populer antara lain adalah diagram X, R, p, dan c.

Diagram X dan R biasanya digunakan secara bersama-sama pada data variabel-variabel (misalnya pengukuran numerikal) untuk menganalisis kecenderungan pusat dan penyebaran dari sebuah proses pada karakteristik pengukuran tunggal.

(16)

Diagram p biasanya untuk menganalisis data atribut (seperti klasifikasi yang baik atau buruk), contohnya perhitungan terhadap jumlah yang tidak sesuai per unit sampel. Macam dari variasi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Variasi di dalam objek sendiri. Sebagai contoh: sebuah meja yang tingkat kehalusannya tidak sama antara sisi atas dengan sisi samping, lebar meja sebelah kiri tidak sama dengan sebelah kanan, dan sebagainya.

2. Variasi antar objek. Antara satu objek dengan objek lainnya yang diproduksi pada saat yang sama terjadi variasi.

3. Variasi timbul dari perbedaan waktu produksi. Faktor penyebab variasi ini adalah sebagai berikut:

a. Proses

Yang termasuk proses adalah alat produksi, getaran mesin, posisi alat, fluktuasi aliran listrik, dan lain-lain.

b. Bahan baku yang tidak sama kualitasnya

Misalnya kadar air dalam tepung, elastis benang, kekerasan kayu, dan sebagainya.

c. Karyawan atau operator

Tingkat keterampilan dan tingkat pemahaman terhadap petunjuk operasi masing-masing operator tidak sama sehingga mempengaruhi hasil produksi. Selain itu keadaan psikologi karyawan tersebut juga mempengaruhi dalam bekerja.

(17)

d. Faktor lain yang sering menimbulkan sumber variasi adalah lingkungan kerja, antara lain temperatur ruangan, kebisingan, pencahayaan, kelembaban, bau-bauan, dan sebagainya.

Bentuk dasar peta kontrol dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Peta Kontrol 0 3 6 9 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Nom or Sam pel

Uk u ra n Data BKA BKB

Sumber: Buku Pengantar Teknik Industri, 2004

Gambar 2.1 Peta Kontrol

Di dalam peta kontrol atau grafik pengendali tersebut terdapat garis tengah yang merupakan nilai rata-rata karakteristik kualitas yang berkaitan dengan keadaan terkontrol, dan garis mendatar yang dinamakan batas kontrol atas dan batas kontrol bawah. Suatu proses dikatakan terkendali apabila titik-titik sampel terletak di antara kedua garis tersebut. Sebaliknya, jika suatu titik-titik terletak di luar batas pengendali maka proses tersebut tak terkendali dan diperlukan tindakan penyelidikan untuk mengetahui penyebabnya dan seterusnya dilakukan tindakan perbaikan.

(18)

2.2.8 Kegunaan Peta Kontrol

Menurut buku “Pengantar Teknik dan Sistem Industri” karangan Wayne C. Turner, dkk halaman 293, peta kontrol biasanya digunakan sebagai alat manajemen untuk membantu:

1. Membawa proses menuju dalam kondisi terkendali. 2. Menjaga proses untuk selalu dalam kontrol.

3. Mengetahui kemampuan proses untuk memenuhi spesifikasi kebutuhan.

2.2.9 Jenis-jenis dari Peta Kontrol 2.2.9.1 Peta Kontrol untuk Variabel

Data yang diperlukan harus dapat terukur dan karakteristik kualitas ditentukan oleh besar kecilnya penyimpangan terhadap unit ukuran yang distandarkan. Menurut Hari Purnomo dalam bukunya “Pengantar Teknik Industri” halaman 256, pengendalian kualitas variabel adalah suatu besaran yang dapat diukur, misalnya panjang, berat, umur komponen, dan sebagainya. Grafik ini banyak dipakai dalam pengendalian kualitas statistik. Grafik ini menggunakan dua karakteristik pengukuran, yaitu mengukur variabilitas dan proses (Grafik-R) dan mengukur ketelitian dan proses (Grafik-X). Grafik X menggambarkan variasi harga rata-rata dari sejumlah data yang diambil dari proses kerja. Sedangkan grafik-R menggambarkan variasi dari range sampel.

(19)

2.2.9.2 Peta Kontrol untuk Atribut

Grafik pengendali untuk variabel merupakan grafik yang banyak digunakan, namun demikian grafik ini mempunyai keterbatasan. Salah satu keterbatasan adalah dalam proses manufaktur, banyak sekali variabel-variabel. Untuk perusahaan yang kecil saja terdapat ratusan karakteristik kualitas. Jika satu variabel diperlukan satu grafik, maka akan diperlukan ratusan grafik kualitas. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan grafik kualitas untuk atribut yang dapat memberikan informasi kualitas dari keseluruhan karakteristik. Pengertian atribut dalam pengendalian kualitas adalah yang berkaitan dengan karakteristik kualitas yang dapat digolongkan baik atau cacat. Yang termasuk ke dalam peta kontrol atribut yaitu peta kontrol p dan c.

2.3 Rumus ABC 2.3.1 Pengertian

Menurut Vincent Gasperz dalam bukunya “PPIC Menuju Manufakturing 21”, klasifikasi ABC atau sering disebut juga sebagai analisis ABC merupakan klasifikasi dari suatu kelompok material dalam susunan menurun berdasarkan biaya penggunaan material itu per periode waktu (harga per unit material dikalikan volume penggunaan material itu selama periode tertentu). Periode waktu yang umum digunakan adalah satu tahun.

(20)

Analisis ABC dapat juga ditetapkan menggunakan kriteria lain bukan semata-mata berdasarkan kriteria biaya tergantung pada faktor-faktor penting apa yang menentukan material tersebut.

Dari sumber lainnya, buku Manajemen Produksi dan Operasi karangan Sofjan Assauri halaman 288, metode analisis ABC, menggunakan “Pareto Analysis” yang menekankan bahwa sebagian kecil dari jenis-jenis bahan yang terdapat dalam persediaan mempunyai nilai penggunaan yang cukup besar yang mencakup kira-kira lebih daripada 60% dari seluruh nilai penggunaan bahan yang terdapat dalam persediaan. Adalah tidak efisien dan efektif, apabila melakukan pengawasan yang ketat terhadap jenis-jenis bahan yang mempunyai nilai penggunaan yang rendah. Oleh karena itu, cukup menekankan pengawasan persediaan yang ketat terhadap jenis-jenis persediaan yang mempunyai nilai penggunaan yang terbesar, yang biasanya jenis bahan item-nya tidak begitu banyak.

Pada dasarnya terdapat sejumlah faktor yang menentukan kepentingan suatu material, yaitu:

1. Nilai total uang dari material. 2. Biaya per unit dari material.

3. Kelangkaan atau kesulitan memperoleh material.

4. Ketersediaan sumber daya, tenaga kerja, dan fasilitas yang dibutuhkan untuk membuat material tersebut.

(21)

5. Panjang dari variasi waktu tunggu (lead time) dari material, sejak pemesanan material itu pertama kali sampai kedatangannya.

6. Ruang yang dibutuhkan untuk menyimpan material itu. 7. Risiko penyerobotan atau pencurian material itu.

8. Biaya kehabisan stok atau persediaan (stockout cost) dari material itu. 9. Kepekaan material terhadap perubahan desain.

2.3.2 Tujuan dari Analisis ABC

Klasifikasi ABC umum dipergunakan dalam pengendalian inventori (inventory control). Penggunaan analisis ABC adalah untuk menetapkan:

1. Frekuensi perhitungan inventori (cycle counting) dimana material-material kelas A harus diuji lebih sering dalam hal akurasi catatan inventori dibandingkan material-material kelas B dan C.

2. Prioritas rekayasa (engineering), dimana material-material kelas A dan B memberikan petunjuk pada bagian rekayasa dalam peningkatan program reduksi biaya ketika mencari meterial-material tertentu yang difokuskan.

3. Prioritas pembelian (perolehan), dimana aktivitas pembelian seharusnya difokuskan pada bahan-bahan baku bernilai tinggi (high cost) dan penggunaan dalam jumlah tinggi (high usage). Fokus pada material-material kelas A untuk pemasokan (sourcing) dan negosiasi.

(22)

4. Keamanan: meskipun nilai biaya per unit merupakan indikator yang lebih baik dibandingkan dengan nilai penggunaan (usage value), namun analisis ABC boleh digunakan sebagai indikator dari material-material mana (kelas A dan B) yang seharusnya lebih aman disimpan dalam ruangan terkunci untuk mencegah kehilangan, kerusakan, atau pencurian.

5. Sistem pengisian kembali (replenishment systems), dimana klasifikasi ABC akan membantu mengidentifikasi metode pengendalian yang digunakan. Akan lebih ekonomis apabila mengendalikan material-material kelas C dengan simple two-bin system of replenishment (synonym: bin reserve system or visual review system) dan metode-metode yang lebih canggih untuk material-material kelas A dan B.

6. Keputusan investasi: karena material-material kelas A menggambarkan investasi yang lebih besar dalam inventori, maka perlu lebih berhati-hati dalam membuat keputusan tentang kuantitas pesanan dan stok pengaman terhadap material-material kelas A, dibandingkan terhadap material-material kelas B dan C. Seyogianya implementasi sistem JIT pada bagian pembelian diterapkan pertama kali dalam pembelian material-material kelas A, kemudian material kelas B, dan pada akhirnya pada material kelas C.

(23)

Setelah material-material inventori itu dikelompokkan ke dalam kelas A, B, dan C selanjutnya pihak manajemen pembelian perlu memfokuskan perhatian pada material-material kelas A dengan merumuskan kebijaksanaan JIT dalam pembelian material-material kelas A itu. Pihak manajemen industri juga dapat memanfaatkan klasifikasi ABC ini untuk merumuskan sistem manajemen inventori material, seperti ditunjukkan tabel dibawah ini :

Tabel 2.1 Kebijaksanaan Manajemen Inventori berdasarkan Klasifikasi ABC

Deskripsi Material-material Kelas A Material-material Kelas B Material-material Kelas C

Fokus perhatian manajemen Utama Normal Cukup

Pengendalian (kontrol) Ketat Normal Longgar

Stok Pengaman Sedikit Normal Cukup

Akurasi Peramalan Tinggi Normal Cukup

Kebutuhan Perhitungan Inventori (Cycle Counting) 1-3 bulan 3-6 bulan 6-12 bulan

Sumber: Buku PPIC Menuju Manufakturing 21, 1998

Beberapa contoh penerapan seperti: pengendalian inventori material pada pabrik, inventori produk akhir pada gudang barang jadi, inventori obat-obatan pada apotek, inventori suku cadang pada bengkel atau toko, inventori produk pada supermarket atau toko serba ada (toserba), dan lain-lain.

(24)

Sumber: Buku PPIC Menuju Manufakturing 21, 1998

Gambar 2.2 Contoh Grafik Klasifikasi ABC

2.4 Waste (Non-Value Added Activities) 2.4.1 Pengertian

Dalam buku “Lean Six Sigma for Manufacturing and Service Industries” karangan Vincent Gasperzs halaman 5, waste dapat didefinisikan sebagai aktifitas kerja yang tidak memberikan nilai tambah dalam proses transformasi input menjadi output sepanjang value stream. Menurut APICS Dictionary (2005), value stream adalah proses-proses untuk membuat, memproduksi, dan menyerahkan produk (barang dan / atau jasa) ke pasar.

Waste (disebut juga dengan "muda" dalam bahasa Jepang) memiliki bermacam bentuk. Muda adalah aktivitas non-value added yang perlu

(25)

dieliminasi. Dalam website http://hardipurba.com, Hardi Puba menjelaskan bahwa muda dapat diterjemahkan sebagai pemborosan.

Sedangkan istilah mura dalam bahasa Jepang berarti tidak teratur atau tidak merata, mencakup beban kerja serta proses kerja di lini produksi. Mengerjakan sesuatu yang sesungguhnya tidak mempunyai nilai tambah bagi produk berupa barang atau jasa yang dihasilkan sebagai output suatu perusahaan atau unit bisnis, harus diminimalkan atau bahkan dihilangkan agar dapat tetap bertahan dan eksis di era persaingan ketat bisnis seperti sekarang ini.

Penggagas konsep ini rupanya sangat memahami bahwa pekerjaan yang dilakukan secara tidak teratur dari sisi beban kerja dan proses kerja, merupakan suatu aktivitas yang perlu dikurangi bahkan dieliminasi / dihilangkan karena sangat berpotensi menambah ongkos / biaya kerja. Beban atau loading pekerjaan (manual dan mesin) yang sering berubah dan tidak merata sangat berpotensi untuk terjadinya pemborosan bahan baku (material), perlengkapan, manpower, serta sumber daya lainnya. Pencapaian hasil kerja yang sangat bervariasi dapat menjadi penghambat terciptanya kondisi Just in Time-JIT. Output yang tidak stabil; terkadang melampaui standar kapasitas, pada kesempatan lain di bawah kapasitas yang telah ditetapkan, merupakan masalah yang perlu dibenahi. Kondisi ideal adalah ketika hasil kerja (output) dijaga tetap sesuai dengan standar. Yang juga termasuk mura adalah bekerja

(26)

tanpa sistem atau prosedur, planning yang tidak baik (kadang kelebihan beban, kadang nganggur), cara kerja yang berbeda, dll

Sedangkan kata muri dalam Bahasa Jepang berarti pembebanan berlebih, baik terhadap pekerja atau peralatan yang dipergunakan. Ini merupakan perkara klasik yang entah kenapa paling sering diabaikan. Misalnya, tertulis pada forklif A bahwa kapasitas maksimum yang bisa diangkat adalah 1 ton. Namun sering dioperasikan dengan pembebanan berlebih; 1,5 ton atau bahkan lebih. Ketika terjadi kecelakaan kerja diketahui bahwa selama ini telah dioperasikan tidak sesuai standar atau menyimpang. Dan forklif A akan rusak sebelum waktunya, bahkan dapat merusak part atau produk yang dibawa atau bahkan mencelakakan orang / pekerja. Maka pakailah mesin dan peralatan lainnya bahkan pekerja sesuai standar batas yang ditetapkan. Jangan berlebih! Pekerja atau operator yang baru masuk tentu tidak bisa langsung dibebani pekerjaan yang sama dengan kemampuan pekerja lain yang telah berpengalaman. Maka objek akan sangat kewalahan, bingung atau bahkan rawan celaka apabila diberikan tanggung jawab atau beban yang melebihi batas kemampuannya.

Ketika mura dan muri tidak dapat diantisipasi atau terjadi di lini produksi, maka muda akan terjadi. Sebagian besar perusahaan membuang percuma 70%-90% dari sumber daya yang mereka miliki. Pengeliminasian pemborosan (waste elimination) adalah tujuan utama dari Lean.

(27)

2.4.2 Tipe-tipe dari Waste

Waste memiliki beberapa tipe yaitu: 1. Type One Waste,

Yaitu aktivitas kerja yang tidak menciptakan nilai tambah dalam proses transformasi input menjadi output sepanjang value stream, namun aktivitas itu pada saat sekarang tidak dapat dihindarkan karena berbagai alasan. Misalnya:

• Pengawasan terhadap orang, namun pada kenyataannya kita masih harus melakukannya karena misalnya orang tersebut baru saja direkrut oleh perusahaan sehingga belum berpengalaman.

Aktifitas inspeksi dan penyortiran merupakan Waste, namun pada saat sekarang kita masih membutuhkan inspeksi dan penyortiran karena mesin dan peralatan yang digunakan sudah tua sehingga tingkat keandalannya berkurang.

Dalam jangka panjang Type One Waste harus dapat dihilangkan atau dikurangi. Type One Waste ini sering disebut sebagai Incidental Activity atau Incidental Work.

(28)

2. Type Two Waste

Yaitu aktivitas kerja yang tidak menciptakan nilai tambah dan dapat dihilangkan dengan segera. Misalnya:

• Menghasilkan produk cacat (defect). • Melakukan kesalahan (error)

Type Two Waste ini sering disebut sebagai Waste saja, karena benar-benar merupakan pemborosan yang harus dapat diidentifikasi dan dihilangkan dengan segera.

The value to waste ratio:

Sumber:Buku Lean Six Sigma for Manufacturing and Service Industries, 2007

Gambar 2.3 Un-Lean (Traditional) Work Activity yang Tipikal

WASTE (Type Two Waste)

Value added work

activity

Non value added work activity (Type One Waste)

)

(

type

one

waste

type

two

waste

activity

work

added

value

(29)

Menurut Toyota's chief engineers, Taiichi Ohno and Sensei Shigeo Shingo, type of Waste dapat dikategorikan sebagai berikut:

Sumber:Buku Lean Six Sigma for Manufacturing and Service Industries, 2007

Gambar 2.4 Types of Waste

2.4.2.1 Transportation

Membawa barang dalam proses (WIP) dalam jarak yang jauh, menciptakan angkutan yang tidak efisien, atau memindahkan material, komponen, atau barang jadi ke dalam atau ke luar gedung atau antar proses sehingga mengakibatkan waktu penanganan material bertambah. Akar penyebabnya adalah:

- Poor layout.

- Ketiadaan koordinasi dalam proses. - Poor house keeping.

- Poor work place organization.

(30)

2.4.2.2 Inventories

Kelebihan material, barang dalam proses, atau barang jadi menyebabkan lead time yang panjang, barang kadaluwarsa, barang rusak, peningkatan biaya pengangkutan dan penyimpanan, dan keterlambatan. Persediaan berlebih juga menyembunyikan masalah seperti ketidakseimbangan produksi, keterlambatan pengiriman dari pemasok, produk cacat, mesin rusak, dan waktu set up yang panjang. Akar penyebabnya adalah:

- Peralatan yang tidak handal (unrealible equipment). - Aliran kerja yang tidak seimbang.

- Pemasok yang tidak kapabel.

- Peramalan kebutuhan yang tidak akurat. - Ukuran batch yang besar.

- Long change-over time (waktu pergantian yang panjang).

2.4.2.3 Motion (Movement)

Setiap gerakan karyawan yang mubajir saat melakukan pekerjaannya seperti mencari, meraih, atau menumpuk komponen, alat, dan lain sebagainya. Berjalan juga merupakan pemborosan. Akar penyebabnya adalah:

- Poor work place organization. - Poor layout.

(31)

2.4.2.4 Waiting

Para pekerja hanya mengamati mesin otomatis yang sedang berjalan atau berdiri menunggu langkah proses selanjutnya atau alat atau pasokan komponen selanjutnya dan lain sebagainya atau menganggur saja karena kehabisan material, keterlambatan proses, mesin rusak, dan bottleneck. Dimana akar penyebabnya adalah:

- Metode kerja yang tidak konsisten.

- Long change-over time (waktu pergantian yang panjang).

2.4.2.5 Over Process

Melakukan langkah yang tidak diperlukan untuk memproses komponen. Melakukan pemrosesan yang tidak efisien karena alat yang buruk dan rancangan produk yang buruk, menyebabkan gerakan yang tidak perlu dan memproduksi barang cacat.

Pemborosan dapat terjadi ketika membuat produk yang memiliki kualitas lebih tinggi daripada yang diperlukan. Akar penyebabnya adalah:

- Ketidaktepatan penggunaan peralatan. - Pemeliharaan peralatan yang jelek.

- Gagal mengkombinasi operasi-operasi kerja.

- Proses kerja dibuat serial padahal proses-proses itu tidak tergantung satu sama lain yang seyogianya dapat dibuat parallel.

(32)

2.4.2.6 Over Production

Memproduksi barang-barang yang belum dipesan, akan menimbulkan pemborosan seperti kelebihan tenaga kerja dan kelebihan tempat penyimpanan dan biaya transportasi yang meningkat karena adanya persediaan berlebih. Akar penyebabnya adalah:

- Ketiadaan komunikasi.

- Sistem balas dan penghargaan yang tidak tepat.

- Hanya berfokus pada kesibukan kerja bukan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan internal dan eksternal.

2.4.2.7 Defective Products dan Defective Design

Yang termasuk dalam defective products adalah memproduksi komponen cacat atau yang memerlukan perbaikan. Perbaikan atau pengerjaan ulang, scrap, memproduksi barang pengganti, dan inspeksi berarti tambahan penanganan, biaya, waktu dan upaya yang sia-sia. Akar penyebabnya adalah:

- Incapable processes. - Insufficient planning. - Ketiadaan SOP.

Sedangkan untuk defective design adalah tidak memenuhi kebutuhan pelanggan dan penambahan features yang tidak perlu. Akar penyebabnya adalah:

(33)

- lack of customer input in design. - over design.

Menurut Taiichi Ohno, pemborosan yang paling mendasar adalah Over Production, karena mengakibatkan sebagian besar pemborosan lainnya. Over Production yang terjadi dalam operasi manapun pada suatu proses manufaktur akan menyebabkan bertumpuknya persediaan di salah satu proses hilir; material hanya diam dan menunggu untuk diproses oleh operasi selanjutnya.

Dari http://digilib.petra.ac.id, dinyatakan bahwa tujuh tipe pemborosan diatas kecuali tipe defects in products, merupakan pemborosan waktu / kapasitas mesin, waktu operator dan terutama waktu perakitan komponen yang mengakibatkan lead time yang terlalu panjang.

Tabel 2.2 Seven Waste

Transportation Pemborosan waktu

Inventories (WIP queues) Pemborosan waktu

Motion / Movement Pemborosan waktu

Waiting Pemborosan waktu

Over Process Pemborosan waktu

Over Production Pemborosan waktu

Defective Product and Design Pemborosan waktu dan material

(34)

Sumber: http://picasaweb.google.com

Gambar 2.5 4P’s Toyota Way

2.5 Value Stream Mapping 2.5.1 Pengertian

Dari makalah Indah Victoria Sandroto dan Kurniadi, “Proceeding

International Seminar on Industrial Engineering and Management (Value Stream Mapping)”, Maranatha Christian University, 29-30 Agustus 2007,

dijelaskan bahwa value stream mapping membantu dalam mengidentifikasi pemborosan sepanjang supply chain agar dapat menemukan cara untuk mengatasi hal tersebut. Value stream mapping dikembangkan sejak tahun 1995 untuk membantu para peneliti dan praktisi dalam mengatasi pemborosan.

(35)

Dari sumber lain, Asep Ridwan dan Ratna Ekawati, dalam karangannya berjudul “Rancangan Sistem Proses Produksi dengan

Menggunakan Value Stream Analysis Tools (VALSAT)”, 17-18 November

2008, http://lemlit.unila.ac.id, value stream mapping adalah suatu tool yang dapat digunakan untuk memetakan aliran nilai (value stream) secara mendetail untuk mengidentifikasikan adanya pemborosan dan menemukan penyebab-penyebab terjadinya pemborosan serta memberikan cara yang tepat untuk dapat mengurangi atau menghilangkannya.

2.5.2 Manfaat dari Value Stream Mapping

Value Stream Mapping dapat digunakan untuk mengevaluasi berapa banyak waktu yang digunakan untuk aktivitas-aktivitas penting yang mempunyai value bagi pengembangan diri dibandingkan dengan keseluruhan total waktu yang dipergunakan ataupun untuk merencanakan alokasi penggunaan waktu pada aktivitas-aktivitas yang mempunyai value bagi pengembangan diri.

2.5.3 Process Activity Mapping

Langkah-langkah dalam pembuatan Process Activity Mapping adalah: • Lakukan sebuah analisa pendahuluan dari proses, dilanjutkan dengan

(36)

masing-masing proses. Masing-masing-masing proses dikategorikan sebagai operasi, transportasi, inspeksi, atau penyimpanan.

• Kalkulasikan atau catat total jarak perpindahan dan pekerjanya. Semua data dijelaskan dalam sebuah diagram yang lengkap, yang kemudian dapat digunakan sebagai dasar analisa lanjutan dan perbaikan.

Dari sumber website http://onward-solutions.com, 2009 dijelaskan bahwa Value Stream Mapping dapat digambarkan dengan menggunakan Spaghetti Diagram (Diagram spageti) atau Process Flow Map yang terdiri dari aliran informasi yang sangat efektif. Spaghetti diagram adalah sebuah metode peta aliran yang menggunakan garis kontinu untuk mencari jejak / jalan dari sebuah bagian dalam seluruh fase manufaktur.

Pengecoran Penumpukan Setup Perakitan

Transportasi Pemrosesan Inspeksi Penumpukan

V W W W V W V W

Raw material Finished goods

Waktu

V = Value added W = Waste (non value added)

Sumber: Buku The Toyota Way, 2006

(37)

Dari gambar di atas kita dapat mellihat bahwa presentase waktu aktivitas non value added lebih besar dari aktivitas value added. Lean thinking menekankan pada perbaikan untuk mengeliminasi kegiatan-kegiatan yang tidak memberikan nilai tambah pada produk.

2.6 Takt Time 2.6.1 Pengertian

Penulis Jeffrey K. Liker dalam bukunya “The Toyota Way (14 Prinsip Manajemen)” halaman 113, menjelaskan bahwa waktu takt adalah detak jantung dari one piece flow. Takt adalah kata dalam bahasa Jerman yang artinya ritme atau meter. Takt adalah kecepatan permintaan pelanggan, kecepatan pelanggan membeli produk. Jika bekerja tujuh jam dan 20 menit per hari (440 menit) selama 20 hari dalam satu bulan dan pelanggan membeli 17.600 unit per bulan, maka seharusnya membuat 880 unit per hari atau satu unit setiap 30 detik. Dalam proses yang sebenarnya, setiap langkah dari proses seharusnya memproduksi satu komponen setiap 30 detik. Jika memproduksi lebih cepat, maka akan melakukan produksi berlebih, dan jika melambat, akan menjadi bottleneck. Takt dapat digunakan untuk menetapkan kecepatan produksi dan memberi sinyal kepada para pekerja jika mereka terlalu cepat atau terlalu lambat. Alitan kontinu dan waktu takt paling mudah diterapkan di operasi manufaktur dan operasi jasa yang berulang.

(38)

Menurut buku “How Toyota Become 1” karangan David Magee halaman 201, takt time adalah angka produksi harian yang dibutuhkan untuk memenuhi pesanan dalam sistem yang ada dibagi oleh jumlah jam kerja dalam satu hari. Takt adalah kata dalam bahasa Jerman (Taktzeit) untuk tongkat konduktor orkes yang digunakan untuk menjaga ketukan musik. Istilah ini diadaptasi dan digunakan dalam manufaktur guna menentukan laju produksi.

Sedangkan menurut buku “Lean Six Sigma” karangan Vincent Gaspersz halaman 105, takt time adalah istilah dalam bahasa Jerman untuk ritme, yang berarti tingkat permintaan pelanggan terhadap suatu produk (barang dan / atau jasa). Takt time tidak sama dengan cycle time, yang berarti waktu normal untuk menyelesaikan suatu operasi pada satu produk (yang seharusnya lebih rendah atau sama dengan takt time). Takt time adalah tingkat kecepatan produksi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Takt time dapat didapatkan setelah dilakukan kelonggaran karena adanya penghentian kerja seperti perawatan, briefing team, istirahat, dll. Nilai waktu tersebut dibagi dengan tingkat penjualan rata-rata yang sudah termasuk didalamnya test part dan scrap. Rumus dari takt time adalah:

Demand Customer Time Available Time Takt = D T T= a

(39)

Ta = Net Time available to work. (minutes of work / day) D = Time demand (customer demand). (units required / day)

2.6.2 Langkah-langkah Perhitungan

Langkah-langkah perhitungan takt time menurut sumber:

http://www.swmas.co.uk yaitu:

1. Hitung permintaan pelanggan dalam waktu hari / minggu / bulan. 2. Hitung available time = working time regular – ’non-direct’ time.

(Non-direct time = stand up meetings, break, cleaning, deduct breaks, meetings, beginning of shift set-up, end of shift clean-up, planned maintenance, and most other planned non-working time) 3. Hitung takt time dengan rumus yang telah dijelaskan diatas.

4. Bandingkan cycle time dengan takt time menggunakan bar chart. 5. Identifikasi langkah-langkah untuk kembali menyeimbangkan work. 6. Pertimbangkan apakah input telah seiring dengan takt time.

7. Secara rutin kembali hitung takt time yang merefleksikan keadaan nyata.

2.6.3 Keuntungan Takt Time

Keuntungan-keuntungan dari menerapkan takt time menurut sumber,

http://www.leanmanufacturingconcepts.com adalah:

(40)

2. Produksi berjalan lancar dan operasi berjalan tanpa interupsi. 3. Sistem berjalan sinkron dengan kebutuhan pelanggan.

4. Dimungkinkan adanya penjadwalan pull. 5. Tidak over produksi.

6. Tidak ada jam yang terburu-buru. 7. Mengurangi WIP.

2.7 SMED (Single Minutes Exchange of Dies) 2.7.1 Sejarah SMED

Di zaman modern ini, menaikkan keanekaragaman jenis dan jumlah lot size yang kecil, serta menurunkan waktu setting sangatlah penting untuk kepentingan perusahaan, seperti contoh yang terjadi pada industri botol. Terkadang industri botol ini mengeluarkan lebih dari 20 % dari waktu rencana produksi untuk melakukan penggantian model. Pada kenyataannya waktu setting dan ganti model dapat diturunkan dengan signifikan ketika sistem SMED diaplikasikan. Sistem SMED memiliki bukti track record di berbagai macam industri. Setiap orang dapat melakukan sistem SMED untuk menurunkan waktu setting mereka dan ini bukan sulap atau suatu hal yang mustahil.

Dari http://digilib.petra.ac.id, SMED (Single Minutes Exchange of Dies) ini diperkenankan oleh Dr. Shigeo Shingo, seorang ahli dalam hal perkembangan perbaikan-perbaikan dibidang proses manufaktur. SMED ini

(41)

bertujuan untuk melakukan pergantian model dibawah 10 menit, apabila lebih dari sepuluh menit tersebut berarti sudah tidak single digit. Dalam perkembangan metode ini mengalami 3 tahap perkembangan yaitu yang pertama pada tahun 1950, Shigeo Shingo berhasil melakukan pengurangan waktu ganti model pada suatu pabrik dimana pada waktu itu ia berhasil mengurangi proses ganti model pada mesin press besi dari waktu 4 jam menjadi hanya sebesar 90 menit. Perkembangan yang kedua dan ketiga yang terjadi pada tahun 1969 menghasilkan proses pergantian model berhasil dikurangi hingga menjadi kurang dari 10 menit. Ketika proses ganti model terjadi mesin biasanya mati atau tidak berproduksi dan baru akan berjalan kembali setelah proses tersebut selesai. Dalam proses ganti model sering terjadi ketidakjelasan informasi mengenai standar kerja apa yang digunakan serta tidak adanya checklist serta prosedur yang memadai, dan juga kurangnya kerja sama tim. Berbagai hal tersebut akhirnya membuat waktu ganti model menjadi lama sehingga menyebabkan loss time.

2.7.2 Pengertian SMED

Dalam sumber http://en.wikipedia.org, dijelaskan bahwa Single Minute Exchange of Dies (SMED) adalah satu dari banyak metode lean production yang bertujuan untuk mengurangi pemborosan dalam sebuah proses manufaktur. SMED memberikan hasil yang efisien dan cepat dalam proses manufaktur dari proses produk yang satu ke produk selanjutnya.

(42)

Perubahan kecepatan ini adalah kunci untuk mengurangi produksi lot size. Kata ”single minute” tidak berarti bahwa semua perubahan dan pengambilan awal hanya dalam waktu satu menit, tetapi bahwa seharusnya kurang daripada 10 menit (dalam kata lain ”single digit minute”). Sebuah peningkatan keefektifan waktu operasi menyebabkan perubahan. SMED yang merupakan kunci fleksibilitas manufaktur.

2.7.3 Keuntungan SMED

Menurut http://digilib.petra.ac.id, keuntungan dari mengurangi waktu set up ganti model yaitu:

• Mengurangi biaya • Membuat trial berkurang

• Order yang mendesak dapat segera dibuat • Meningkatkan produktivitas

• Meningkatkan fleksibilitas • Menurunkan biaya inventori

(43)

2.7.4 Elemen Kunci SMED

Di semua proses ganti model yang ada terdapat 2 elemen kunci yaitu: 1. Kegiatan internal

Kegiatan internal adalah kegiatan yang dilakukan ketika mesin sedang berhenti.

2. Kegiatan eksternal

Kegiatan eksternal adalah kegiatan ketika mesin sedang berjalan.

Sebuah proses set up ganti model biasanya terdiri atas beberapa pekerjaan yang terpisah, beberapa pekerjaan hanya dapat dilakukan apabila mesin dalam keadaan tidak berproduksi dan beberapa pekerjaan dapat dilakukan ketika mesin sedang berjalan. Shingo menamakan kegiatan ini internal dan eksternal. Beberapa contoh kegiatan internal yaitu:

• Membersihkan permukaan benda kerja. • Memasang dies.

• Percobaan trial dan setting bahan dan mesin.

Beberapa contoh kegiatan eksternal yaitu: • Mengambil material dari gudang.

• Mengambil tooling dari tempat tool. • Mengembalikan tooling ke tempat tool.

(44)

2.7.5 Langkah-langkah SMED

Pada dasarnya metodologi SMED terdiri atas 6 langkah yaitu:

a. Mengamati proses ganti model yang terjadi dengan menggunakan video maupun dengan time study.

b. Mengidentifikasikan kegiatan internal dan eksternal.

c. Merubah kegiatan internal menjadi kegiatan eksternal lalu dibuat pengelompokkan kegiatan kerja yang baik.

d. Meningkatkan efisiensi dari sisa kegiatan intenal yang ada, contohnya yaitu: mengganti baut dengan clamp, menggunakan guide pin, melakukan operasi secara parallel, dll.

e. Mengoptimalkan waktu start up yaitu dengan mengurangi adjustment yang harus dilakukan.

f. Meningkatkan efisiensi dari kegiatan eksternal yaitu dengan mengaplikasikan 5S.

Dengan melakukan ke 6 langkah tersebut, SMED sudah dapat diterapkan di bidang kerja yang memiliki proses ganti model seperti mesin press besi ataupun mesin injection moulding plastic.

2.8 Visual Management Tools atau Visual Control 2.8.1 Pengertian

Dari sumber http://www.manufacturing.net,visual management adalah aplikasi alat bantu visual yang meningkatkan keselamatan, efisiensi, dan

(45)

mengurangi proses yang menyebabkan pemborosan. Tujuan dalam penggunakan visual management adalah menciptakan status at a glance (status pandangan sekilas). Ini berarti lingkungan dimana terdapat didalamnya keadaan operasi normal melawan keadaan operasi abnormal dapat dideteksi dengan mudah dan cepat.

Sedangkan dari http://digilib.petra.ac.id, visual management atau visual control merupakan sebuah metode yang bertujuan untuk menjelaskan situasi atau kondisi terkini yang terjadi pada proses produksi dengan sebuah signal atau petunjuk yang mudah dan cepat dimengerti, biasanya dalam kurun waktu 30 detik oleh semua orang yang berhubungan dengan proses kerja. Beberapa poin yang dapat dilihat dalam visual control ialah jadwal proses produksi, jadwal proses kerja (bagi divisi yang tidak berhubungan dengan produksi), level dari inventori yang ada dalam periode tertentu, utilitasi sumber daya mulai dari sumber daya manusia hingga barang penunjang produksi, dan yang terakhir namun juga harus dimiliki ialah visual control untuk kualitas.

Visual control ini haruslah efisien, dapat mengatur pekerja, termasuk kartu kanban, lampu pekerja, garis pembatas tempat kerja, dan lain-lain. Kendali visual adalah setiap alat komunikasi yang digunakan dalam lingkungan kerja untuk menunjukkan dalam waktu sekejap bagaimana pekerjaan seharusnya dilakukan dan apakah terjadi penyimpangan terhadap standar. Hal ini membantu karyawan yang ingin melakukan pekerjaannya

(46)

dengan baik agar dengan segera dapat melihat bagaimana mereka melakukan pekerjaanya. Ia mungkin akan menunjukkan dimana item harus disimpan, berapa banyak item yang seharusnya ada di sana, prosedur standar apa saja yang diperlukan untuk melakukan sesuatu, status dari barang dalam proses, dan banyak jenis informasi penting lainnya untuk mengalirkan aktivitas pekerjaan. Dalam arti yang lebih luas, pengendalian visual berkaitan dengan perancangan informasi just in time dari semua jenis pengendalian untuk memastikan pelaksanaan operasi dan proses yang tepat dan cepat.

2.8.2 Manfaat Visual Management Tools

Dari http://www.manufacturing.net, diketahui manfaat visual

management adalah :

• Menyediakan status at a glance (status pandangan sekilas), deteksi terhadap kondisi abnormal yang cepat dan sederhana.

• Memberikan alat bantu visual untuk membantu pekerja menyelesaikan pekerjaannya dengan lebih cepat dan lebih mendekati standar yang ada. • Visual management menciptakan sebuah lingkungan kerja yang

standar untuk memberikan instruksi, arahan, pengingat bagaimana tugas seharusnya dikerjakan. Tetapi masih terdapat keterbatasan dalam menerapkan visual management. Kuncinya adalah menemukan cara

(47)

kreatif untuk menerapkan visual management yang dapat mengurangi pemborosan, jaringan, dan aliran.

Teknik visual management dapat digunakan dalam beberapa variasi cara dengan pembatasan jumlah kesempatan menciptakan variasi dalam aplikasi aktual. Beberapa istilah yang digunakan adalah visual factory dan visual workplace.

2.8.3 Jenis-jenis Visual Management Tool / Visual Control

Dari http://www.manufacturing.net, beberapa teknik visual management yang umum yaitu:

• Kode warna • Pictures / Grafik • Kartu kanban

Tujuannya adalah untuk mengatur sistem produksi / pengiriman secara ”Just In Time” serta mengetahui jumlah produksi dengan lebih jelas lagi. Prinsipnya adalah:

- Setiap barang harus ada kartu kanban.

- Jumlah produksi / pengiriman sesuai jumlah kanban. - Tidak boleh produksi / kirim tanpa kanban.

(48)

• Garis Pembatas Lantai

Tujuannya adalah untuk menunjukkan tempat yang seharusnya semua barang yang ada di pabrik. Garis ini juga berfungsi memisahkan antara barang yang sudah OK dengan barang yang memerlukan rework. Prinsipnya adalah:

- Semua barang harus ada pada tempatnya. - Penempatan barang harus rapi (sistematis). - Rapi memudahkan pengontrolan visual. - Rapi = penyimpangan muda terlihat. • Tanda-tanda

• Label (label merah atau kuning)

Label merah mempunyai tujuan untuk mengidentifikasikan barang yang tidak diperlukan pada proses kerja saat ini atau pun dapat dikatakan sebagai label barang non good. Label kuning mempunyai tujuan untuk mengidentifikasikan barang yang memerlukan kegiatan extra seperti barang yang memerlukan rework maupun barang yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut oleh pihak quality. Memiliki prinsip yaitu:

- Hanya menyimpan barang yang diperlukan.

- Barang yang tidak diperlukan dipisahkan dan dibuang. - Buat tempat kerja seringkas mungkin.

(49)

- Ringkas = efisien.

• Papan kontrol produksi (visual control board)

Visual control board ini mempunyai tujuan untuk mengamati kejadian yang ada di lantai produksi baik dari segi pencapaian produksi, kualitas, dan juga dari segi safety. Dengan adanya visual control board ini maka akan lebih mudah dalam hal pengamatan sehingga apabila terjadi masalah akan lebih cepat diatasi.

• Papan area informasi • Checklist

• Lampu andon

Fungsi lampu andon adalah sebagai lampu peringatan adanya masalah yang sedang terjadi di pabrik. Kalau menyala berarti sedang ada masalah yang terjadi.

2.9 Standard Operating Procedure (SOP)

Dalam perusahaan yang bergerak dalam bidang manufaktur atau produksi diperlukan suatu Standard Operating Procedure agar proses operasional di perusahaan dapat menjadi lebih teratur. Suatu sistem manajemen yang terdokumentasi mengutamakan proses-proses yang berperan untuk mengontrol kegiatan perusahaan yang akan berdampak pada perkembangan perusahaan itu sendiri.

(50)

2.9.1 Definisi SOP

Menurut http://digilib.petra.ac.id, Standard Operating Procedure (SOP) merupakan suatu rangkaian instruksi tertulis yang mendokumentasikan kegiatan atau proses rutin yang terdapat pada suatu perusahaan. Pengembangan dan penerapan dari SOP merupakan bagian penting dari keberhasilan sistem kualitas dimana SOP menyediakan informasi untuk setiap individu dalam perusahaan untuk menjalankan suatu pekerjaan, dan memberikan konsistensi pada kualitas dan integritas dari suatu produk atau hasil akhir. Pada intinya, dengan melakukan penerapan SOP maka perusahaan dapat memastikan suatu operasi berjalan sesuai dengan prosedur yang ada.

2.9.2 Fungsi SOP

SOP menjelaskan secara detail proses kerja yang berlangsung secara rutin yang harus diterapkan atau diikuti dalam suatu perusahaan. Penulisan dokumen dalam SOP perlu diterapkan untuk menghasilkan sistem kualitas dan teknis yang konsisten dan sesuai dengan kebutuhan, dan untuk mendukung kualitas data informasi pada perusahaan. Penerapan SOP akan membantu perusahaan untuk mempertahankan kualitas kontrol dan menjaga kualitas proses-proses pada perusahaan untuk tetap stabil, dan memastikan perusahaan tetap mematuhi peraturan pemerintah.

Jika dalam perancangan pembuatan SOP terjadi kesalahan, maka hasil yang didapat menjadi tidak maksimal. Kesalahan yang terjadi dalam proses

(51)

operasional di suatu perusahan akan menimbulkan kerugian bagi perusahaan tersebut. Oleh karena itu, agar fungsi SOP dapat berjalan dengan baik, SOP harus dibuat dengan sejelas mungkin agar tidak terjadi kesalahan persepsi dari informasi yang terdapat dalam SOP, dan dalam penerapan SOP dibutuhkan adanya pengawasan dan evaluasi dari pihak manajemen agar penerapan SOP dapat sesuai dengan standar yang telah dibuat oleh perusahaan agar hasil yang dicapai menjadi lebih maksimal.

2.9.3 Tujuan SOP

SOP merupakan tahapan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja. SOP juga menggambarkan hubungan dan interaksi antar fungsi dan antar departemen, dan digunakan untuk mendefinisikan tanggung jawab dan wewenang. SOP berisi apa yang harus dilakukan dan siapa yang harus melakukan dalam suatu proses yang akan dilakukan atau diikuti oleh setiap anggota dalam perusahaan. Tujuan utama dari penerapan SOP adalah agar tidak terjadi kesalahan dalam pengerjaan suatu proses kerja yang dirancang pada SOP. Dari setiap teori yang telah dikemukakan, diketahui bahwa tujuan dari SOP adalah untuk memudahkan dan menyamakan persepsi semua orang yang memanfaatkannya, dan untuk lebih memahami setiap langkah kegiatan yang harus dilaksanakannya. Adapun tujuan-tujuan dari SOP, antara lain:

1. Agar pekerja dapat menjaga konsistensi dalam menjalankan suatu prosedur kerja.

(52)

2. Agar pekerja dapat mengetahui dengan jelas peran dan posisi mereka dalam perusahaan.

3. Memberikan keterangan atau kejelasan tentang alur proses kerja, tangggung jawab, dan staf terkait dalam proses kerja tersebut.

4. Memberikan keterangan tentang dokumen-dokumen yang dibutuhkan dalam suatu proses kerja.

5. Mempermudah perusahaan dalam mengetahui terjadinya inefisiensi proses dalam suatu prosedur kerja.

2.9.4 Manfaat SOP

Jika SOP dijalankan dengan benar maka perusahaan akan mendapat banyak manfaat dari penerapan SOP tersebut, adapun manfaat dari SOP adalah sebagai berikut:

1. Memberikan penjelasan tentang prosedur kegiatan secara detail dan terinci dengan jelas.

2. Meminimalisasi variasi dan kesalahan dalam suatu prosedur operasional kerja.

3. Mempermudah dan menghemat waktu dalam program training karyawan.

4. Menyamaratakan seluruh kegiatan yang dilakukan oleh semua pihak. 5. Membantu dalam melakukan evaluasi terhadap setiap proses

(53)

6. Mempertahankan kualitas perusahaan melalui konsistensi kerja karena perusahaan telah memiliki sistem kerja yang sudah jelas dan terstruktur secara sistematis.

2.9.5 Cara Pembuatan SOP

Kesalahan dalam pembuatan SOP dapat menyebabkan hasil yang ingin dicapai oleh perusahaan menjadi tidak maksimal, dan untuk mengurangi dan menghilangkan terjadinya kesalahan dalam pembuatan SOP, maka dalam merancang suatu SOP harus mempertimbangkan bahwa SOP tersebut sesuai dengan kondisi perusahan dan SOP harus dibuat dengan sejelas mungkin dengan memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan dalam suatu prosedur kerja. Langkah-langkah dalam pembuatan SOP, yaitu:

1. Pembuatan observasi secara langsung di lapangan untuk memberikan gambaran aktivitas atau proses kerja yang ada dalam suatu prosedur kerja.

2. Melakukan studi perbandingan atau benchmarking dengan perusahaan sejenis sehingga dapat mengetahui kelebihan atau kekurangan dari prosedur kerja yang terjadi di lapangan.

3. Melakukan pembuatan SOP dengan menggunakan data atau informasi yang diperoleh di lapangan, dan dengan hasil studi perbandingan dari perusahaan lain.

(54)

4. Melakukan analisa pada SOP yang telah dibuat apakah telah sesuai dengan prosedur kerja di lapangan dan apakah SOP telah berjalan dengan efektif untuk mencapai tujuan manajemen, dan jika diperlukan membuat analisa perbaikan untuk memperbaiki prosedur kerja yang telah berlangsung.

5. Apabila SOP sudah tidak dapat mewakili kondisi lapangan maka perlu dilakukan revisi atau perbaikan SOP.

2.9.6 Bentuk SOP

SOP memiliki berbagai macam jenis / bentuk sesuai dengan sistem kerja yang dijelaskannya. Bentuk-bentuk SOP itu sendiri dapat dibagi menjadi 4 jenis dengan bentuk yang berbeda, yaitu:

1. Simple Steps

Simple steps berisi prosedur kerja yang sangat sederhana dan tidak terlalu terperinci, biasanya SOP jenis ini digunakan hanya untuk situasi kerja dengan sedikit operator. SOP jenis ini tepat digunakan untuk prosedur kerja yang membutuhkan sedikit pengambilan keputusan.

(55)

Sumber : http://digilib.petra.ac.id

Gambar 2.7 Contoh Simple Steps

2. Hierarchical Steps

Hierarchical steps lebih terinci daripada jenis SOP simple steps, dimana pada SOP ini terdapat kalimat dan terdapat sub-kalimat sehingga memudahkan operator untuk memahaminya. Jenis SOP ini

(56)

cocok untuk digunakan untuk prosedur yang cukup panjang, dan tidak mempunyai banyak keputusan.

Sumber: http://digilib.petra.ac.id

Gambar 2.8 Contoh Hierarchical Steps

3. Graphic Format

Graphic format merupakan pengembangan dari SOP Hierarchical Steps, dimana dalam penulisannya SOP jenis ini menyertakan gambar-gambar atau diagram untuk mempermudah pengertiannya. Grafik yang digunakan dapat menyederhanakan suatu prosedur dari bentuk yang panjang menjadi lebih singkat. SOP jenis ini biasanya juga dipakai untuk prosedur yang cukup panjang, dan di dalam pembuatan SOP jenis ini sebaiknya gunakan kalimat singkat yang dapat membantu

(57)

untuk menjelaskan maksud dari gambar atau diagram yang ada, dan jika memungkinkan, gambar atau diagram yang digunakan dapat mengilustrasikan tujuan dari prosedur tersebut.

Sumber: http://digilib.petra.ac.id

Gambar 2.9 Contoh Graphic Format

4. Flow Chart

Flow chart merupakan grafik sederhana yang menjelaskan langkah-langkah dalam pembuatan suatu keputusan. Flow chart berisi pertimbangan, langkah-langkah dan juga pengambilan keputusan dalam suatu prosedur kerja. Apabila dalam suatu prosedur kerja dibutuhkan banyak pengambilan keputusan sebaiknya menggunakan

(58)

flow chart untuk mempermudah pengertian prosedur yang harus dilakukan, dimana didalam flow chart akan dijelaskan langkah-langkah mana yang harus dipilih dan apa yang harus dilakukan setelah langkah tersebut diambil. Flow chart menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan suatu tindakan.

Sumber: http://digilib.petra.ac.id

(59)

2.10 Work Cells

Dari sumber http://digilib.petra.ac.id, dijelaskan bahwa work cells merupakan sebuah teknik untuk operasi dan operator atau orang yang bekerja didalamnya ke dalam sebuah tempat atau layout tersendiri (atau dapat dikatakan operator akan bekerja dalam sel atau workstation-nya masing-masing).

2.11 One-Piece Flow

2.11.1 Pengertian One-Piece Flow

Dari http://digilib.petra.ac.id, dijelaskan bahwa dalam lean manufacturing cell terdiri dari pengaturan orang, mesin, atau stasiun kerja dalam urutan pemrosesan. Diciptakan sel-sel untuk mempelancar one-piece flow dari sebuah produk atau jasa, melalui berbagai operasi, misalnya: pengelasan, perakitan, pengemasan, satu unit pada setiap saat, pada tingkat kecepatan yang ditentukan sesuai dengan kebutuhan pelanggan dan dengan jumlah keterlambatan dan waktu tunggu yang paling sedikit. Keajaiban dalam memperoleh produktivitas dan kualitas yang tinggi dan pengurangan yang besar dalam persediaan, ruang, dan lead time melalui one-piece flow telah dibuktikan berulang kali oleh banyak perusahaan di seluruh dunia. Hasil yang diperoleh selalu sama dan tampak ajaib. Inilah sebabnya mengapa one-piece flow adalah pokok dari lean production.

(60)

One-piece flow yang ideal adalah membuat satu unit pada suatu tingkat yang sesuai dengan derap permintaan konsumen atau takt (istilah bahasa Jerman untuk meter). Dengan menggunakan penyangga yang lebih kecil (menyingkirkan jaring pengaman) berarti masalah seperti produk cacat akan segera terungkap. Sebaliknya, dalam lean production, ketika seorang operator menghentikan peralatan untuk memperbaiki masalah, operasi yang lain akan segera berhenti memproduksi, menciptakan suatu krisis. Sehingga ada perasaan urgensi dalam diri semua orang di produksi untuk memperbaiki masalah bersama agar peralatan dapat segera berjalan lagi. Bila masalah yang sama terjadi berulang kali, manajemen dengan cepat menyimpulkan ada situasi krisis dan mungkin sudah saatnya untuk berinvestasi dalam Total Productive Maintenance (TPM), dimana semua orang belajar untuk membersihkan, memeriksa, dan memelihara peralatan. Pemecahan masalah terjadi di tempat aktual untuk melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi (genchi gembutsu). Proses mengalir (one-piece flow) berarti bahwa ketika pelanggan memesan, hal itu memicu proses untuk memperoleh material yang diperlukan hanya untuk pesanan pelanggan tersebut. Material tersebut kemudian segera mengalir ke pabrik pemasok, dimana para pekerja segera memenuhi pesanan tersebut dengan membuat komponen, yang segera mengalir ke pabrik, dimana para pekerja merakit pesanan tersebut, dan pesanan yang telah selesai dengan segera mengalir ke pelanggan. Keseluruhan proses seharusnya hanya memerlukan waktu beberapa jam atau hari saja, dan

(61)

bukan beberapa minggu atau bulan. Ketika berusaha untuk mencapai one-piece flow, juga diterapkan secara bersamaan sejumlah aktivitas untuk menghilangkan semua muda (pemborosan).

2.11.2 Manfaat One-Piece Flow

Dalam buku “The Toyota Way (14 Prinsip Manajemen)” karangan Jeffrey K. Liker halaman 114, terdapat beberapa keuntungan dari one piece flow (proses mengalir) yaitu sebagai berikut:

1. Kualitas yang inheren

Lebih mudah untuk menciptakan kualitas dalam proses one piece flow. Setiap operator adalah inspektur kualitas dan memperbaiki setiap masalah di stasiun tersebut sebelum menyerahkannya ke stasiun selanjutnya. Namun jika lolos dan terus dilanjutkan ke stasiun berikutnya, kerusakan itu akan dideteksi dengan lebih cepat dan masalah dapat dengan segera didiagnosis dan diperbaiki.

2. Menciptakan fleksibilitas yang sebenarnya

Bila kita dedikasikan peralatan untuk satu jenis produk, maka akan memiliki lebih sedikit fleksibilitas dalam menjadwalkannya untuk tujuan yang lain. Namun jika lead time untuk membuat suatu produk sangat singkat, maka lebih banyak fleksibilitas untuk merespon dan membuat apa yang benar-benar diinginkan oleh pelanggan. Bukannya menempatkan sebuah pesanan baru ke dalam sistem dan menunggu

Gambar

Gambar 2.1 Peta Kontrol
Tabel 2.1 Kebijaksanaan Manajemen Inventori berdasarkan Klasifikasi ABC  Deskripsi  Material-material  Kelas A   Material-material Kelas B   Material-material Kelas C
Gambar 2.2 Contoh Grafik Klasifikasi ABC
Gambar 2.3 Un-Lean (Traditional) Work Activity yang Tipikal
+7

Referensi

Dokumen terkait

Serta sistem informasi manajemen yang tepat tidak hanya membantu dalam komunikasi yang lebih cepat dan lebih luas tetapi juga dapat membantu UMKM dalam meningkatkan fungsi

(Goldmann, 1975) Pendapat tersebut mempunyai relevansi dengan temuan penelitian di dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori di dalam novel Pulang mengangkat tema

Anemia dalam kehamilan disebabkan karena dalam kehamilan kebutuhan akan zat-zat makanan bertambah dan terjadi pula perubahan- perubahan pada darah dan sumsum tulang. Volume

Pada saat Uni Eropa melakukan larangan impor minyak sawit, maka kebijakan yang perlu dilakukan Pemerintah adalah mempercepat pelaksanaan kegiatan replanting karena

Tujuan kajian ini adalah (1) ingin mendeskripsikan penggunaan bahasa nonverbal yang sering menyertai bahasa verbal, (2) ingin mendeskipsikan pembelajaran BN yang

Dari sini Avogadro mengajukan hipotesisnya yang dikenal hipotesis Avogadro yang berbunyi: “Pada suhu dan tekanan yang sama, semua gas dengan volume yang sama akan mengandung jumlah

Arsitektur Sistem Pemantauan Aktivitas Pengguna Pada Jaringan Client-Server Komputer client berisi aplikasi viewer/ client bertugas mengendalikan kerja seluruh sistem

Melihat hal tersebut penulis tertarik untuk merangkai jam digital dengan menggunakan mikrkontroler yang output atau displaynya menggunakan seven segment dan