• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASPEK PERTANAHAN DALAM PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN (SAWAH)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ASPEK PERTANAHAN DALAM PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN (SAWAH)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK PERTANAHAN DALAM

PENGENDALIAN ALIH FUNGSI

LAHAN PERTANIAN (SAWAH)

The Agrarian Aspect in Controlling the Conversion of

Agricultural (Paddy Field) Lands

2

Bambang S. Widjanarko, Moshedayan Pakpahan, Bambang Rahardjono, dan Putu Suweken

(Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN, Jakarta) ABSTRAK

Konflik kepentingan yang cukup dilematis dihadapi pemerintah dalam kaitannya dengan alihfungsi lahan pertanian. Di satu pihak, pemerintah daerah berkewajiban untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan sektor-sektor industri, jasa, dan properti. Namun di lain pihak, pemerintah juga harus memberikan perhatian terhadap upaya mempertahankan/menjaga keberadaan lahan-lahan pertanian untuk kelestarian produksi pertanian. Tanpa adanya upaya mengatasi dilema tersebut melalui perbaikan peraturan/kebijakan pertanahan, sangat kecil kemungkinan bagi sistem usaha tani untuk berlanjut seperti ditunjukkan oleh konversi lahan sawah pada tiga dekade terakhir. Belum terlihat adanya terobosan teknologi atau upaya pemerintah sebagai kompensasi turunnya produksi pertanian yang diakibatkan oleh kehilangan lahan khususnya lahan-lahan yang beririgasi. Sehubungan dengan masalah-masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, pemerintah telah mengusulkan beberapa alternatif kebijakan untuk membatasi atau mencegah terjadinya alihfungsi lahan-lahan subur menjadi lahan-lahan nonpertanian seperti kebijakan lahan yang mempertimbangkan aspek alokasi penggunaan lahan.

ABSTRACT

Conflict of interest faced by the Government with regard to agricultural land conversion is quite dilemmatic. On one side, the regional government has to accelerate economic growth through industry, service and property sector development. On the other side, attention must be given to protect the existence and sustainability of agricultural sector. If such dilemmatic condition is not immediately overcome by developing land policy, it is impossible for agricultural system to survive, as has been indicated by land conversion data in the last three decades. There has been no technology or institutional breakthrough that is able to compensate for agricultural production decrease due to the lost of agricultural lands, especially irrigated fields. Considering such problems, the government has stipulated some provisions in its policy to restrict and or to prevent conversion of fertile lands to non-agricultural uses, one of which is land policy using land allocation arrangements.

PENGANTAR

Berkembangnya sektor industri, jasa, dan properti pada era pertumbuhan ekonomi sepuluh tahun terakhir, pada umumnya telah memberikan tekanan pada sektor pertanian,

(2)

terutama tanah sawah. Konflik penggunaan dan pemanfaatan lahan bersifat dilematis mengingat peluang perluasan areal pertanian sudah sangat terbatas, sementara tuntutan terhadap kebutuhan lahan untuk perkembangan sektor industri, jasa, dan properti semakin meningkat. Dengan demikian perubahan penggunaan lahan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi regional tidak mungkin dapat dihindarkan. Bila keadaan dilematis ini tidak segera diatasi dengan pengembangan kebijakan pertanahan maka kelangsungan sistem pertanian sulit dipertahankan, mengingat selama tiga dekade terakhir belum ada sesuatu terobosan teknologi dan kelembagaan yang mampu mengkompensasi penurunan produksi pertanian akibat berkurangnya tanah-tanah pertanian (khususnya sawah beririgasi teknis) yang dirubah kepenggunaan lain.

Memasuki masa pemulihan ekonomi saat ini, pemerintah melalui kebijakan pemanfaatan lahan tidur atau terlantar telah berupaya mendorong para pemilik maupun petani penggarap agar dengan kesepakatan bersama mengusahakan tanahnya dengan komoditi tanaman pangan. Upaya ini hanya bersifat sementara. Dengan adanya perbaikan kemampuan investasi, para pengembang atau developer yang sudah terlanjur menguasai lahan pertanian (sawah) akan tetap berusaha melaksanakan kegiatan nonpertanian (jasa, industri, dan perumahan) pada lahan tersebut.

Hal ini lebih jauh telah menimbulkan persoalan baru sejalan dengan penerapan otonomi daerah. Permasalahan ini semakin kompleks di lapangan karena arah kebijakan nasional dalam hal pengendalian alih fungsi lahan pertanian sering bertabrakan dengan kebijakan pemerintah daerah yang lebih memprioritaskan kepentingan lokal dan kebijakan daerah. Walaupun penerapan kebijakan pengendalian alih fungsi lahan masih dipandang cukup efektif dalam membatasi penggunaan lahan sawah bagi kegiatan nonpertanian (seperti mekanisme perijinan lokasi dan penerapan Rencana Tata Ruang Wilayah), namun ternyata masih banyak prilaku “spekulan tanah” yang tidak terjangkau oleh penerapan kebijakan tersebut.

Banyak dijumpai kasus-kasus dimana para pemilik lahan pertanian secara sengaja mengubah fungsi lahan agar lebih mudah untuk diperjualbelikan tanpa melalui mekanisme perijinan atau pelanggaran Rencana Tata Ruang Wilayah yang ada. Misalnya kasus yang masih hangat terjadi di Kabupaten Bekasi dimana Bupati telah menetapkan ijin lokasi bagi pengalihan fungsi lahan persawahan teknis seluas 11 ha di desa Karang Sambung, Kedung Waringin menjadi pabrik penggilingan padi modern. Alih fungsi lahan sawah irigasi teknis ini sempat ditentang oleh Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bekasi. Selain tidak dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kebijakan alih fungsi ini bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Larangan Alih Fungsi Lahan Pertanian menjadi Industri atau Perumahan. Hal ini juga bertentangan dengan Surat Keputusan Menteri Negara/Bappenas Nomor 5417/MK/10/1994.

Tulisan ini mencoba mendiskusikan keberadaan lahan sawah dan konflik kepentingan penggunaannya serta kedudukan instrumen kebijakan pertanahan dalam rangka mempertahankan kelangsungan sektor pertanian, terutama pengendalian terhadap peman-faatan lahan pertanian bagi kepentingan pembangunan di sektor nonpertanian.

(3)

Secara ringkas tulisan ini akan mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan: 1. Kebijakan pembangunan dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi

2. Gambaran penggunaan lahan saat ini. 3. Perubahan penggunaan lahan sawah.

4. Dampak perubahan lahan sawah menjadi nonsawah

5. Kebijakan pertanahan sebagai instrumen pembangunan dan pengendali alih fungsi lahan pertanian.

6. Aspek pertanahan/penatagunaan sebagai instrumen kebijakan pertanahan dalam rangka pengendalian alih fungsi lahan.

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN MEMACU PERTUMBUHAN EKONOMI

Pembangunan Nasional pada periode 1990-1998 yang ditandai dengan deregulasi ekonomi, pemacuan Penanaman Modal Asing atau Penanaman Modal Dalam Negeri dan pemacuan pembangunan nonmigas (industri dan properti) telah menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang sangat nyata. Namun disisi lain sebagai konsekuensi dari proses transformasi struktur ekonomi (dari pertanian ke nonpertanian) tersebut, selain adanya perubahan aspek demografis (pedesaan ke perkotaan), perubahan ini telah memberi dampak khusus bagi kelangsungan lahan pertanian (termasuk sawah beririgasi).1

Dalam konteks pembangunan di Pulau Jawa, jumlah keluarga atau rumah tangga yang hidup dari sektor nonpertanian mencapai 100%. Beberapa faktor penting yang berpengaruh pada perubahan pola pemanfaatan lahan pertanian di Pulau Jawa yaitu faktor privatisasi pembangunan kawasan industri, pembangunan pemukiman skala besar dan kota baru, serta deregulasi investasi dan kemudahan perizinan.

Tiga kebijakan nasional yang berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian ialah:

1. Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar. Dampak kebijakan ini sangat berpengaruh pada peningkatan kebutuhan lahan sejak tahun 1989, yang telah berorientasi pada lokasi subur dan menguntungkan dari ketersediaan infrastruktur ekonomi.

2. Kebijakan pemerintah lainnya yang sangat berpengaruh terhadap perubahan fungsi lahan pertanian ialah kebijakan pembangunan permukiman skala besar dan kota baru. Akibat ikutan dari penerapan kebijakan ini ialah munculnya spekulan yang mendorong minat para petani menjual lahannya.

1

Diperkirakan kehilangan tanah sawah beririgasi teknis sebelum krismon mencapai rata-rata luas sebesar 50.000 hektar pertahun. Jika diperkirakan biaya untuk membuat sawah irigasi teknis dengan produktivitas tinggi itu mencapai Rp. 10.000.000,- berarti diperlukan dana sebesar Rp. 5.000.000.000,- per tahun untuk mencetak sawah. Hal ini juga tidak mudah mengingat diperlukan waktu yang cukup lama, kurang lebih 5 tahun untuk membentuk ekosistem sawah itu sendiri.

(4)

3. Selain dua kebijakan tersebut, kebijakan deregulasi dalam hal penanaman modal dan perizinan sesuai Paket Kebijaksanaan Oktober Nomor 23 Tahun 1993 memberikan kemudahan dan penyederhanaan dalam pemrosesan perizinan lokasi. Akibat kebijakan ini ialah terjadi peningkatan sangat nyata dalam hal permohonan izin lokasi baik untuk kawasan industri, permukiman skala besar, maupun kawasan pariwisata.

GAMBARAN PENGGUNAAN LAHAN SAWAH SAAT INI

Lahan sawah tersebar di seluruh wilayah Indonesia, namun penyebarannya tidak merata. Luas sawah di Pulau Jawa lebih dominan, sedangkan di bagian lain tidak begitu luas (Tabel 1).

Tabel 1 menunjukkan bahwa sawah terluas terdapat di Pulau Jawa, yang sebagian besar merupakan sawah irigasi teknis (58%). Selanjutnya di luar Pulau Jawa, sebagian besar merupakan sawah nonirigasi dimana yang terluas terdapat di pulau Sumatera yaitu 37%, diikuti Pulau Jawa dan Bali (27%) serta Kalimantan (21%). Sedangkan pulau-pulau lainnya terutama di Irian Jaya, luas lahan sawah baik irigasi, maupun nonirigasi sangat sempit. Perbedaan yang sangat menyolok dari luas sawah di berbagai daerah kemungkinan disebabkan karena perbedaan kesuburan tanah, jumlah penduduk, atau makanan pokok yang dikonsumsi.

Tabel 1. Luas lahan sawah di Indonesia

No Wilayah Sawah irigasi Presen-tase Sawah nonirigasi Presen-tase Total Presen-tase ha % ha % ha % 1 Sumatera 997.060 23,74 1.332.040 36,84 2.329.224 29,80

2 Jawa dan Bali 2.442.100 58,74 968.440 27,34 3.430.698 43,89

3 NT dan Maluku 154.920 5,69 155.120 4,29 310.144 3,97

4 Kalimantan 228.850 5,45 772.890 21,38 1.001.845 12,82

5 Sulawesi 373.500 8,89 346.630 9,59 720.239 9,21

6 Irian Jaya 4.240 0,10 20.640 0,57 24.980 0,32

Indonesia 4.200.670 100,0 3.595.760 100,0 7.817.130 100,0

Sumber: Direktorat Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional (1998).

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN SAWAH

Terjadinya perubahan penggunaan lahan dapat disebabkan karena adanya perubahan rencana tata ruang wilayah, adanya kebijaksanaan arah pembangunan dan karena mekanisme pasar. Pada masa lampau yang terjadi adalah lebih banyak karena dua hal yang terakhir, karena kurangnya pengertian masyarakat maupun aparat pemerintah mengenai tata ruang wilayah, atau rencana tata ruang wilayah yang sulit diwujudkan. Sejalan dengan

(5)

kebijaksanaan pembangunan yang menekankan kepada aspek pertumbuhan melalui kemudahan fasilitas investasi, baik kepada investor lokal maupun luar negeri dalam penyediaan tanahnya, maka perubahan penggunaan tanah dari pertanian ke nonpertanian terjadi secara meluas.

Untuk melihat seberapa besar terjadinya perubahan penggunaan tanah tersebut, dapat dilhat angka-angka selama kurun waktu pembangunan lima tahun ke enam (1994/1995 - 1998/1999). Dalam kurun waktu tersebut diatas (lihat Tabel 1), luas tanah pertanian yang berubah ke nonpertanian adalah 61.245 ha. Perubahan penggunaan tanah ke industri adalah yang terbesar (65%), kemudian diikuti dengan pemukiman atau perumahan (30%). Perubahan besar-besaran terjadi pada tahun 1994/1995 untuk perumahan, yaitu seluas 10.645 ha dan tahun 1996/1997 untuk industri, yaitu seluas 22.597 ha. Setelah itu dengan terjadinya krisis ekonomi yang mengakibatkan menurunnya investasi, perubahan penggunaan tanah pertanian baik untuk perumahan maupun industri menurun drastis yaitu 1.837 ha untuk perumahan dan hanya 131 ha untuk industri pada akhir Pelita VI. Dalam kurun waktu Pelita VI persentase tanah sawah yang berubah menjadi perumahan adalah 30% sedangkan yang berubah menjadi industri adalah 65% di seluruh Indonensia.2

Apabila diamati sebaran perubahan tanah sawah menjadi nonsawah di seluruh Indonesia pada awal Pelita VI (1994/1995), sawah banyak berubah menjadi permukiman seluas 10.644 ha, terbesar terjadi di Sumatera Selatan dan Jawa Timur, sedangkan perubahan ke industri belum terlihat secara nyata. Pada tahun berikutnya perubahan tanah sawah menjadi permukiman menurun yaitu seluas 1.175 ha, sebagian besar terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebaliknya perubahan ke industri meningkat tajam yaitu seluas 16.054 ha. Perubahan tersebut sebagian besar terjadi di Jawa Timur yaitu 15.922 ha. Pada Tahun 1996/1997 perubahan tanah sawah untuk permukiman meluas lagi menjadi 3.538 ha dan begitu juga perubahan ke industri meluas menjadi 22.597 ha. Perubahan-perubahan tersebut terutama terjadi di Jawa Barat. Pada tahun berikutnya perubahan yang terjadi untuk perumahan yang terbanyak terjadi di Jawa Barat dan Jawa Timur. Pada akhir Pelita VI perubahan kearah permukiman mengalami kenaikan.

Jika diamati keadaan tersebut nampak jelas terjadi perkembangan yang tidak seimbang dalam hal pembangunan permukiman dan industri. Hal ini dapat dipahami mengingat jumlah penduduk di Pulau Jawa yang lebih besar dari daerah lain, dan fasilitas seperti transportasi, ekonomi, pemerintahan, sumber energi listrik, air, serta pelayanan diberbagai bidang cukup tersedia, sehingga pembangunan perumahan maupun industri terkonsentrasi di Pulau Jawa.

2 Secara prosedural para investor mengajukan permohonan ijin lokasi, yang didahului dengan adanya ijin prinsip

dari Pemerintah Daerah. Untuk tingkat II pembangunan perumahan atau persetujuan prinsip dari instansi teknis, pembina kegiatan yang berhubungan dengan sektor industri, pertanian dan kegiatan sektoral lainnya untuk Penanaman Modal Asing oleh Keputusan Presiden. Dalam persetujuan prinsip/ijin prinsip tersebut di atas biasanya sudah dicantumkan nama lokasi sampai ke tingkat desa, Badan Pertanahan Nasional tinggal melanjutkan proses ijin lokasi untuk perolehan tanahnya.

(6)

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN SAWAH MENJADI NONSAWAH

Terkonsentrasinya pembangunan perumahan dan industri di Pulau Jawa, di satu sisi menambah terbukanya lapangan kerja di sektor nonpertanian seperti jasa konstruksi, dan industri, akan tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang kurang menguntungkan. Dampak negatif tersebut antara lain :

1. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi, yang mengganggu tercapainya swasembada pangan.

2. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan bergesernya lapangan kerja dari sektor pertanian ke nonpertanian, yang apabila tenaga kerja lokal yang ada tidak terserap seluruhnya justru akan meningkatkan angka pengangguran. Dampak sosial ini akan berkembang dengan meningkatnya kecemburuan sosial masyarakat setempat terhadap pendatang yang pada gilirannya berpotensi meningkatkan konflik sosial.

3. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan menjadi tidak optimal pemanfaatannya.

4. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun industri, sebagai dampak krisis ekonomi, atau karena kesalahan perhitungan mengakibatkan tidak termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh, sehingga meningkatkan luas tanah tidur yang pada gilirannya juga menimbulkan konflik sosial seperti penjarahan tanah.

5. Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa yang konon terbaik dan telah terbentuk puluhan tahun, sedangkan pencetakan sawah baru yang sangat besar biayanya di luar Pulau Jawa seperti di Kalimantan Tengah, tidak memuas-kan hasilnya.

KEBIJAKAN PERTANAHAN : INSTRUMEN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN PENGENDALI ALIH FUNGSI TANAH PERTANIAN

Konflik kepentingan yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam kaitannya dengan perubahan fungsi tanah pertanian cukup dilematis. Di satu sisi pemerintah daerah harus memacu pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan sektor industri, jasa dan properti, namun disisi lain juga harus mempertahankan keberadaan dan kelangsungan sektor pertanian (pangan). Pemerintah harus mendukung pelaksanaan kebijakan pembangunan permukiman skala besar dan kota baru, dan kebijakan deregulasi dalam penanaman modal dan perizinan. Namun di pihak lain secara bersamaan harus ikut mencegah terjadinya alih fungsi tanah melalui pertimbangan aspek pertanahan maupun penerapan Rencana Tata Ruang Wilayah.

Menyadari permasalahan ini, pemerintah telah menetapkan beberapa ketentuan di dalam kebijakan untuk membatasi dan/atau mencegah konversi tanah pertanian yang subur menjadi penggunaan nonpertanian seperti:

1. Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri dan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah bagi Pembangunan Kawasan Industri telah melarang pembangunan kawasan industri serta pencadangan atau pemberian ijin lokasi dan pembebasan tanahnya pada areal tanah pertanian subur.

(7)

2. Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Nomor 5334/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994 tentang Perubahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis Untuk Penggunaan Tanah Nonpertanian.

3. Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas kepada Menteri Dalam Negeri Nomor 5335/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994 tentang Penyusunan RTRW Dati II.

4. Dalam rangka pelaksanaan PAKTO-23 dikeluarkan Surat Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota seluruh Indonesia Nomor 460-3346 tanggal 31 Oktober 1994 tentang perubahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Tanah Nonpertanian. Edaran ini melarang Aparat Pertanahan di daerah untuk mengeluarkan izin lokasi untuk lahan sawah irigasi bagi kepentingan nonpertanian, walaupun menurut Rencana Umum Tata Ruang Wilayah diperuntukkan bagi kegiatan nonpertanian.

Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam suratnya kepada Gubernur KDH Propinsi Dati I dan Bupati/Walikotamadya KDH Dati II di seluruh Indonesia pada tahun 1996 menyatakan bahwa larangan di atas sebenarnya telah berjalan cukup efektif, terutama terhadap perusahaan-perusahaan yang memerlukan tanah untuk investasi yang dapat dikendalikan dengan mekanisme ijin lokasi yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya. Namun juga diakui pada kenyataannya masih banyak prilaku “spekulan” yang tidak terjangkau oleh penerapan kebijakan tersebut dengan cara mempengaruhi para petani atau pemilik tanah. Pada spekulan secara sengaja menutup saluran-saluran irigasi yang mengairi sawah beririgasi teknis milik mereka, mengeringkan dan menjadikannya untuk penggunaan pertanian tanah kering. Mereka juga menimbun sawah beririgasi teknis untuk keperluan bangunan, dan menjual tanah tegalan/tanah kering. Hasil perubahan tanah di atas tanpa ijin dalam upaya menghindari larangan.

ASPEK PERTANAHAN (PENATAGUNAAN TANAH): INSTRUMEN KEBIJAKAN PERTANAHAN SEBAGAI PENGENDALI ALIH FUNGSI TANAH

Pertimbangan aspek pertanahan atau lebih dikenal dengan aspek penatagunaan tanah merupakan salah satu instrumen yang secara operasional telah digunakan untuk menggambarkan kondisi objektif dan terbaru (present landuse) dari suatu bidang tanah. Secara fungsional pertimbangan aspek penatagunaan tanah ini memiliki lima kegunaan sebagai berikut:

1. Sarana pengendali dan pemantauan perubahan penggunaan tanah yang dibuat dalam rangka pemberian ijin lokasi, pemberian hak atas tanah, permohonan perubahan penggunaan tanah dan kegiatan pembangunan lainnya yang berkaitan dengan penatagunaan tanah.

2. Sarana pengendali penggunaan tanah dalam rangka kegiatan pembangunan agar tidak terjadi tumpang tindih (over-lapping) lokasi dengan arahan tata ruang wilayah dan ketentuan teknis lainnya yang telah digariskan.

(8)

3. Bahan pertimbangan kepada pimpinan dalam pengambilan keputusan yang sekaligus menjadi sarana koordinasi teknis antar sektor dalam rangka mengarahkan lokasi pembangunan.

4. Bahan pertimbangan instansi dan dinas terkait dalam rangka pemberian ijin pem-bangunan sesuai dengan kewenangannya menurut ketentuan peraturan dan perundangan yang berlaku.

5. Bahan informasi dalam upaya pengembangan sistem informasi pertanahan dalam rangka pengendalian dan evaluasi serta pemberian bimbingan penggunaan tanah guna peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

Penerapan ke lima fungsi pertimbangan aspek pertanahan tersebut secara optimal oleh pemerintah daerah dapat menjadi sarana yang efektif dalam menjabarkan kebijakan pertanahan untuk memantau dan membatasi perubahan tanah pertanian (tanah sawah) ke penggunaan tanah nonpertanian, yaitu adanya penilaian kondisi tanah yang terbaru dan pertimbangan aspek-aspek pembangunan lainnya. Adapun kewajiban pemohon adalah mem-berikan gambaran kondisi tanah pada saat pengajuan permohonan ijin perubahannya meliputi:

1. Jenis penggunaan tanah.

2. Kesuburan dan produktivitas tanah. 3. Status penggunaan tanah.

4. Faktor-faktor lingkungan.

5. Rencana tata ruang wilayah maupun rencana pembangunan daerah.

6. Prasarana, sarana dan fasilitas lingkungan di lokasi kegiatan sekitarnya yang akan ter-kena dampak kegiatan pemohon, dan

7. Faktor-faktor pendukung dan penghambat lainnya.

Sedangkan beberapa pertimbangan penting bagi pemerintah daerah dalam meng-ambil keputusan untuk mengalihkan atau melarang alih fungsi tanah pertanian setelah mengkaji kondisi tanah di atas ialah:

1. Pertimbangan kesesuaian rencana pemohon dengan rencana tata ruang wilayah. 2. Pertimbangan kesesuaian rencana pemohon dengan rencana pembangunan daerah. 3. Pertimbangan kewenangan menggunakan tanah sesuai dengan jenis hak atas tanah. 4. Pertimbangan kewajiban mengusahakan tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 5. Pertimbangan terhadap peningkatan nilai, produksi dan kesuburan tanah.

6. Pertimbangan kelestarian lingkungan hidup dan pencegahan kerusakan tanah. 7. Pertimbangan larangan menelantarkan tanah.

Adapun gambaran penerapan instrumen pertimbangan aspek pertanahan ini dilakukan pengkajian di dua kabupaten di Propinsi Jawa Barat. Dari data yang diperoleh pada dua sampel yaitu di Kantor Pertanahan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang terlihat bahwa pada pemberian ijin lokasi, perubahan penggunaan tanah dan pemberian hak atas tanah, telah dilakukan pemberian pertimbangan aspek penatagunaan tanah sebanyak 259 buah pada Kabupaten Purwakarta dan 56 buah pada Kabupaten Subang pada Tahun

(9)

1996-1997. Secara objektif, data dari dua kantor pertanahan tersebut menunjukkan tidak terjadi perubahan penggunaan tanah pada sawah beririgasi walaupun di sebagian wilayah Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa Barat secara statistik diperkirakan telah terjadi alih guna tanah sawah beririgasi sekitar 8.900 ha/th.

Pertimbangan aspek penatagunaan tanah selama ini baru diberikan jika secara resmi pemilik tanah atau pihak pengembang ingin mengurus ijin penggunaan tanah atau perubahan penggunaan tanahnya. Namun disadari bahwa pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat tanpa melalui proses perijinan secara formal ini justru jumlahnya lebih banyak. Kekosongan dan ketidak tegasan aturan pelaksana di daerah untuk mencegah terjadinya alih fungsi tanah pertanian secara sewenang-wenang sering dimanfaatkan oleh para spekulan atau pihak-pihak yang hanya berorientasi kepada profit saja.

Dalam mempertimbangan aspek penatagunaan tanah ini, pemerintah daerah memiliki sarana yang memadai untuk memonitor dan membatasi upaya para pemilik tanah yang secara sengaja merubah fungsi tanah pertanian yang mereka kuasai atau miliki, dengan cara:

1. Menutup saluran-saluran irigasi yang mengairi sawah beririgasi teknis mereka.

2. Mengeringkan sawah beririgasi teknis miliknya dan menjadikannya untuk penggunaan pertanian tanah kering.

3. Menimbun sawah beririgasi teknis miliknya untuk keperluan bangunan.

4. Menjual tanah tegalan/tanah kering, hasil perubahan sah di atas tanpa ijin dalam upaya menghindari larangan.

KESIMPULAN

1. Mewaspadai era globalisasi dan pasar bebas sejalan dengan meningkatnya arus investasi ke Indonesia, intensitas konflik pemanfaatan tanah pertanian akan semakin dilematis mengingat peluang perluasan lahan pertanian sudah sangat terbatas. Sementara, tuntutan terhadap kebutuhan lahan untuk perkembangan sektor industri, jasa, dan properti semakin meningkat dan tidak mungkin terhindarkan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi regional. Bila keadaan dilematis ini tidak segera diatasi dengan mengembang-kan kebijamengembang-kan pertanahan maka kelangsungan sistem pertanian amengembang-kan terganggu.

2. Secara nasioanl, luas tanah sawah adalah kurang lebih 7,8 juta ha, dimana 4,2 juta ha berupa sawah irigasi dan sisanya 3,6 juta ha berupa sawah nonirigasi. Selama Pelita VI tidak kurang dari 61.000 ha lahan sawah telah berubah menjadi penggunaan lahan nonpertanian. dari luas lahan sawah ini telah beralih fungsi menjadi perumahan (30%), industri (65%), dan sisanya (5%) beralih fungsi penggunaan tanah lain.

3. Menyadari permasalahan tersebut, pemerintah telah menetapkan beberapa ketentuan di dalam kebijakan untuk membatasi dan atau mencegah konversi lahan pertanian yang subur menjadi penggunaan lahan nonpertanian, salah satunya adalah kebijakan pertanahan yang menggunakan instrumen pertimbangan aspek penatagunaan tanah. 4. Pertimbangan aspek penatagunaan tanah ini dapat membantu pemerintah daerah untuk

lebih rasional dalam mengambil keputusan untuk mengalihkan atau melarang alih fungsi lahan pertanian.

(10)

DAFTAR BACAAN

Asyk , Masri. 1995. Penyediaan Tanah untuk Pembangunan, Konversi Lahan Pertanian dan Langkah Penanggulangannya, Tinjauan Propinsi Jawa Barat. Makalah dalam Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan. Bogor, 31 Oktober-2 November 1995. (Tidak dipublikasikan).

Bachtiar Sony. 199. Pengendalian Alih Guna Tanah Pertanian. Proyek Pengembangan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanahan, Puslitbang BPN, Jakarta. (Tidak dipublikasi-kan).

BPS. 1994. Sensus Pertanian 1993. Jakarta.

Direktorat Penatagunaan Tanah, Kantor Badan Pertanahan Nasional. 1998. Himpunan Makalah yang Berkaitan dengan Kebijaksanaan Pertanian. Publikasi 28, Jakarta. Harian Kompas, 10 Juli 1995. Menahan Laju Perubahan Tanah Pertanian di Jawa. Harian Republika, 14 September 2000. Alih Fungsi Lahan Sawah atas Permintaan Bupati. Kantor Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional. 1997. Himpunan Peraturan

Perundangan yang Terkait dengan Izin Lokasi, Jakarta.

Kustiawan, Iwan. 1997. Permasalahan Konversi Lahan Pertanian dan Implikasinya terhadap Penataan Ruang Wilayah (Studi Kasus: Wilayah Pantura Jawa Barat). Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 8. 1.

Puslitbang-BPN. 1996. Laporan Akhir Penelitian Alih Guna Tanah Pertanian, Jakarta. Pakpahan Moshedayan. 2000. Aspek Penatagunaan Tanah sebagai instrumen pengendali

pemberian hak dan perubahan fungsi tanah. Karya Ilmiah. Pusat Penelitian dan Pengembangan, Badan Pertanahan Nasional. Jakarta.

Suwarno, Suryo. 1996. Alih Guna Tanah Pertanian dan Penanggulangannya. Jakarta.

Tumenggung, Yuswanda A. 1999/2000. Penataan dan Reposisi di Bidang Pertanahan. Makalah dalam Seminar Nasional Pengelolaan Pertanahan dalam Menyongsong Otonomi Daerah. Proyek Pengembangan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanahan, Jakarta.

URDI. 1998. Dampak Krisis Ekonomi dan Penataan Kembali Pengembangan Wilayah dan Kota.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh pengetahuan keuangan, sikap terhadap uang dan tingkat pendapatan pada pengelolaan keuangan keluarga di

INSTANSI : DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI JAMBI KEGIATAN : PENGEMBANGAN KAWASAN SENTRA PRODUKSI TERNAK SAPI PEKERJAAN : BELANJA MODAL PENGADAAN TERNAK SAPI

Sehubungan dengan pembangunan Kereta Api Ringan / Light Rail Transit (LRT) Jabodebek di koridor Cawang – Dukuh Atas dan akan dilakukannya pekerjaan Test Pit dan Soil

Pada hari ini Senin tanggal Lima Belas bulan Juni tahun Dua Ribu Lima Belas , (15-06-2015), Tim V Pokja Pengadaan Barang Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa, bahwa

Alat ukur Cipoletti yang dikombinasi dengan pintu sorong sering dipakai sebagai bangunan sedap tersier2. Karena jarak antara pintu dan bangunan ukur jauh, eksploitasi pintu

1. Gambaran usaha nasi timbel komplit Saung Pojok Dadaha berdasarkan hasil yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa bisnis ini merupakan sebuah usaha yang

- Melakukan entry data rencana studi yang sudah diisikan pada FPRS ke dalam komputer sesuai dengan jadwal dan ruang yang tercantum pada KETENTUAN UMUM butir 2.. -

2) Adanya system dan prosedur atau ketatalaksanaan yang harus selalu uto date sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas unit kerja harus disiapkan oleh Biro Organisasi. 3)