P P A T K
AML
NEWS
Clipping Service
Anti Money Laundering
18
Oktober
2011
Indeks
1. Kasus Korupsi
Djufri Diijinkan Hakim
2. Korupsi Wisma Atlet
I Wayan Koster bantah terima uang
3. Diduga Korupsi, Eks Staf KPK Segera Disidang
4. Kemen LH Dukung Kejaksaan Usut Korupsi di Institusi Itu
Cetak.kompasSelasa, 18 Oktober 2011 KASUS KORUPSI
Djufri Diizinkan Hakim
Padang, Kompas - Kepala Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Barat Sumarni Alam, Senin (17/10), enggan dipersalahkan atas kasus makan siang terdakwa kasus korupsi anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Djufri, yang menjadi terdakwa kasus korupsi, dengan jaksa penuntut umum. Menurut Sumarni, keluarnya Djufri dari tahanan sudah melalui prosedur penetapan hakim di Pengadilan Negeri Kelas IA Padang.
”Itu sudah bukan tanggung jawab kami,” kata Sumarni. Ia menyatakan, perihal Djufri yang makan siang bersama jaksa juga tidak menjadi kewenangannya.
Disinggung mengenai tanggal penetapan pengadilan pada 7 Oktober yang baru dipergunakan untuk keluar lembaga pemasyarakatan (LP) pada 13 Oktober, Sumarni mengatakan hal itu dimungkinkan. ”Mungkin jaksa tidak sempat pada tanggal 7 Oktober itu,” katanya.
Menurut Kepala LP Kelas IIA Padang Elly Yuzar, Djufri tercatat tiga kali keluar dari LP. ”Namun, semuanya dengan surat penetapan. Pertama, untuk P21 kasusnya. Kedua, untuk menjenguk keluarganya yang sakit di Bukittinggi, dan ketiga, saat berobat tanggal 13 Oktober,” katanya.
Djufri tepergok makan siang bersama Kepala Seksi Penuntutan Pidana Khusus Kejati Sumbar Idial dan jaksa penuntut umum Zulkifli di sebuah restoran di Padang
Pariaman, Kamis. Kompas yang berada di restoran itu tidak melihat ada polisi berseragam untuk mengawal Djufri.
Direktur LBH Padang Vino Oktavia Mancun sebelumnya mengatakan, jaksa penuntut umum Zulkifli harus diganti dan tidak lagi menangani kasus Djufri. Ia menambahkan, tepergoknya Djufri di restoran bersama jaksa pada saat ia harus dalam tahanan menambah daftar panjang pengistimewaan yang diberikan kepada Djufri.
Djufri dijerat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukuman paling lama 20 tahun dan atau denda paling banyak Rp 1 miliar. (INK)
Cetak.kompas.com Selasa, 18 Oktober 2011 KORUPSI WISMA ATLET
I Wayan Koster Bantah Terima Uang
Jakarta, Kompas - I Wayan Koster, anggota Komisi X DPR, mengakui ikut
memutuskan alokasi anggaran proyek wisma atlet SEA Games, Palembang. Namun, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut membantah menerima uang dari proyek senilai Rp 191 miliar itu.
”Ya, kami harus menelaah, mengkaji, kemudian sesuai dengan kebutuhan, sesuai juga alokasi anggaran yang ada. Ya, kami putuskan secara bersama,” kata Koster
kepada wartawan sebelum menjalani pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Senin (17/10).
Koster diperiksa selama sekitar lima jam sebagai saksi untuk tersangka kasus ini, Muhammad Nazaruddin. Nama Koster terseret kasus ini setelah namanya bersama Angelina Sondakh dan Mirwan Amir disebut-sebut oleh Nazaruddin, yang juga anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, menerima uang dari proyek itu.
”Tidak ada. Kami tidak pernah menerima uang. Saya tidak pernah menerima uang,” ujar Koster.
Koster juga membantah kesaksian Wakil Direktur Keuangan Grup Permai Yulianis yang menyebut Grup Permai mengeluarkan modal Rp 16 miliar yang dibagikan ke sejumlah pihak, termasuk anggota DPR, untuk mendapatkan proyek wisma atlet. ”Wah, tidak tahu saya. Kami tidak bicara kontraktor di Komisi X. Kami hanya membicarakan kebijakan anggaran. Kami tidak pernah tahu pembelian proyek, menjual proyek. Tidak ada itu,” ujarnya.
Tidak kenal dekat
Koster mengaku tidak tahu-menahu mengapa namanya disebut-sebut oleh Nazaruddin. ”Terserah Pak Nazar mengatakan apa. Yang jelas saya tidak menemui hal seperti itu. Saya tidak mengerti. Kalau itu, tanya saja sama Pak Nazar,” ujarnya. Ia juga menyatakan tidak mengenal dekat Nazaruddin. ”Tidak (kenal), biasa saja. Kan, kami beda Komisi,” katanya.
Seusai pemeriksaan sekitar pukul 13.40, Koster menyatakan bahwa ia ditanya seputar penganggaran wisma atlet oleh penyidik KPK. ”Kaitannya dengan
pembahasan anggaran di Komisi X, itu saja,” ungkapnya. Koster mengatakan tidak ditanya soal penerimaan uang.
Seusai diperiksa KPK terkait kasus pembangkit listrik tenaga surya di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi beberapa waktu lalu, Nazaruddin juga mengatakan, ia ditanya soal wisma atlet, tetapi tidak dimasukkan dalam berita acara pemeriksaan. Seusai diperiksa KPK pada 12 Oktober lalu, Nazaruddin menyebutkan soal aliran uang sebesar Rp 9 miliar ke Koster dan Angelina Sondakh. Dari Koster dan Angelina diserahkan uang Rp 8 miliar ke Mirwan Amir, kemudian dari Mirwan ke pimpinan Badan Anggaran yang lain dan ke Anas Urbaningrum, Ketua Fraksi Partai Demokrat, sebesar Rp 1 miliar.
Pada kesempatan tersebut, Nazaruddin juga menyebut nama Jafar Hafsah, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat. (RAY)
Vivanews.com
Selasa, 18 Oktober 2011
Diduga Korupsi, Eks Staf KPK Segera Disidang
Hari ini, Endro dan berkas perkaranya diserahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
VIVAnews -- Penyidikan kasus korupsi dengan tersangka mantan staf Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Endro Laksono telah rampung. Berkas dan tersangka Endro akan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Selasa 18 Oktober 2011.
"Penyerahan tersangka dan berkasnya dilakukan jam 10.00 WIB dari Gedung Bundar Kejagung ke Kejari Jakarta Selatan atas nama tersangka Endro Laksono," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Agung Noor Rachmad.
Sebelumnya, Endro merupakan pegawai KPK di bidang administrasi. Dia diduga melakukan penggelapan uang biaya perjalanan sebesar Rp390 juta. Karena kasus ini, Endro kemudian dipecat dari KPK.
Kasus ini terbongkar pada 2009, ketika pengawasan internal KPK saat itu mengaudit laporan keuangan KPK per tiga bulan. Hasilnya, KPK menemukan ada perhitungan yang salah. KPK lalu melaporkan kasus tersebut kepada Mabes Polri untuk
ditindaklanjuti. Mediaindonesia.com Selasa, 18 Oktober 2011
Kemen LH Dukung Kejaksaan Usut Korupsi di Institusi Itu
JAKARTA--MICOM: Kementerian Lingkungan Hidup mendukung upaya Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk mengusut tuntas dugaan kasus korupsi yang menjerat institusinya. Kejagung telah meningkatkan kasus dugaan korupsi biaya perjalanan dinas di Kementerian LH yang merugikan uang negara sebesar Rp4 miliar ke tingkat penyidikan.
"Tentu kita semua mendukung Kejagung dalam upaya memberantas korupsi. Yang dalam konteks ini meningkatkan status perkara institusi kami ke tingkat penyidikan.
Namun, untuk saat ini kami juga sedang melakukan klarifikasi dengan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) untuk mengecek apakah ada kerugian negaranya," ujar Sekretaris Kementerian LH Hermin Roswita, ketika dihubungi, di Jakarta, Selasa (18/10).
Lebih lanjut, Hermin juga mengatakan dugaan adanya penyimpangan dalam perjalanan dinas di Kementerian LH tersebut berawal dari temuan BPK.
Temuan itu hanya berawal dari kesalahan administrasi dan manajemen semata. Dia juga memberikan contoh duduk perkara dari terjadinya dugaan korupsi tersebut. "Di insitutsi kami banyak perjalanan dinas keluar kota dan luar negeri. Terkadang pegawai di sini harus pergi, katakanlah Jakarta–Manado, bisa saja tiba-tiba mampir ke Gorontalo, tiketnya jadi berubah," jelasnya.
Tidak hanya itu, Hermin juga menjelaskan klarifikasi kepada BPK itu juga terkait dengan selisih biaya maskapai penerbangan yang kerap digunakan pegawai Kementerian LH saat bertugas ke luar kota.
Meskipun sampai saat ini Kejagung belum menetapkan siapa yang menjadi tersangka, Hermin mengakui, dalam dua bulan terakhir, beberapa pegawai di institusinya, baik eselon II hingga IV, telah dipanggil oleh penyidik.
"Jadi sekarang pada tahap untuk menanyakan pada saksi-saksi. Tersangka dengan surat pemberitahuan kejaksaan belum diperoleh," tutupnya.
Kejagung telah mengumumkan dinaikkannya status penanganan kasus dugaan korupsi tindak pidana koreksi biaya perjalanan dinas tahun anggaran 2007 sampai dengan 2009 di Kementerian LH.
Penyidik menduga, pada 2009 ada kebijakan informal masing-masing pimpinan satuan kerja di Kementerian LH sehingga terjadi penggunaan uang anggaran perjalanan yang tidak sesuai peruntukan.
Bukti pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas tersebut bahkan diduga fiktif. Atas perbuatan tersebut, negara dirugikan lebih kurang Rp4 miliar. (FA/OL-10))