• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMETAAN POTENSI DAN STATUS KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA DI KECAMATAN KUTA UTARA KABUPATEN BADUNG. Ir, I Wayan Sedana, M.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMETAAN POTENSI DAN STATUS KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA DI KECAMATAN KUTA UTARA KABUPATEN BADUNG. Ir, I Wayan Sedana, M."

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

1

PEMETAAN POTENSI DAN STATUS KERUSAKAN TANAH UNTUK

PRODUKSI BIOMASSA DI KECAMATAN KUTA UTARA

KABUPATEN BADUNG

Ir, I Wayan Sedana, M.Si

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2019

(2)

2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, Berkat Rakhmat Nya penulisan Karya ilmiah ‘ Pemetaan Potensi dan Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa di Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung ‘ dapat terselesaikan. Penulisan ini bertujuan Mengetahui potensi kerusakan tanah dan mengidentifikasi parameter kerusakan tanah sehingga dapat ditentukan pendekatan sesuai dengan permasalahannya, memperoleh peta status kerusakan tanah di wilayah Kecamatan Kuta Utara. Serta upaya yang dapat dilakukan dalam pengendalian yang meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan kondisi tanah.

Krieria baku yang digunakan untuk menentukan status kerusakan tanah untuk produksi biomassa didasarkan pada parameter kunci sifat dasar tanah yang mencakup; sifat fisik,sifat kimiawi dan sifat biologi tanah. Penilaian potensi kerusakan tanah mengacu pada Keputusan Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia tahun 2009.

Penulis menyadari bahwa penulisan ini belum sempurna, oleh karnanya kritik dan saran yang konstruktif dari berbagai pihak sangat penulis harapkan.

Denpasar, Mei 2019

(3)

3

DAFTAR ISI

Judul.. ... .1 Kata Pengantar…... 2 Daftar Isi---- --- 3 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang --- 4 1.2 Tujuan ---... 5

BAB II KERUSAKAN TANAH 2.1 Sifat sifat Dasar Tanah --- 6

2.2 Kerusakan Tanah--- --- 7

2.3 Produksi Biomassa ... 10

BAB III PENILAIAN POTENSI KERUSAKAN TANAH 3.1 Identifikasi Kondisi Awal Tanah --- 10

3.2 AnalisaTanah 15

3.3 Evaluasi Penetapan Status Kerusakan Tanah --- 15

3.4 Penentuan Status Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa... 15

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1 Wilayah Geografis dan Administratif --- 18

3.2 Kondisi Geologi --- 19

4.3 Kondisi Jenis Tanah --- 20

4.4 Kondisi Kemiringan Lereng --- 21

4.5 Kondisi Curah Hujan --- 22

4.6 Lokasi Sampling --- 24

BAB V EVALUASI KERUSAKAN TANAH DAN PRODUKSI BIOMASSA 22

5.1. Karakteristik wilayah --- 22

5.2. Status Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa --- 25

BAB VI PENUTUP 26

Daftar Pustaka --- 27

(4)

4

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kabupaten Badung merupakan salah satu Kabupaten yang ada di Provinsi Bali dengan potensi ekonomi yang cukup tinggi, didukung sektor pariwisata sebagai ikon atau model income yang sangat besar. Perhatian terhadap sektor pariwisata, Kabupaten Badung khususnya Badung selatan memiliki potensi yang sangat besar dan cenderung menjadi overload. Penanganan alih fungsi lahan sudah tidak bisa dibendung lagi, terutama Kecamatan Kuta Utara yang memiliki potensi pertanian sangat baik (produktif). Kecamatan Kuta Utara memiliki luas wilayah 3386 Ha terdiri dari lahan basah produktif 1430 Ha dan tegalan 354 Ha.

Meningkatnya berbagai aktivitas penduduk di Kecamatan Kuta Utara telah menimbulkan berbagai dampak lingkungan, salah satunya adalah terjadinya penurunan kualitas mutu tanah pada lahan-lahan produktif yang ditandai dengan menurunnya produktifitas pertanian.

Tanah sebagai salah satu sumberdaya alam, wilayah hidup, media lingkungan dan faktor produksi termasuk produksi biomassa yang mendukung kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestariannya. Di sisi lain kegiatan dan atau aktifitas manusia yang tidak terkendali dapat mengakibatkan kerusakan tanah untuk produksi biomassa, sehingga dapat menurunkan mutu dan fungsinya, pada akhirnya dapat mengancam kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu agar pengawasan dan pengendalian kerusakan dapat berlangsung dengan baik, maka terlebih dahulu harus dilakukan kegiatan inventarisasi data kondisi tanah dan kerusakannya yang selanjutnya dituangkan dalam Peta potensi dan Peta Status Kerusakan Tanah.

Sherbinin (2002) menyatakan, bahwa pembangunan infrastruktur seperti permukiman penduduk merupakan salah satu aktivitas manusia yang menyebabkan kerusakan lahan dan Montgomeri (2007) menyatakan bahwa aktivitas pertanian konvensional menyebabkan kerusakan lahan akibat erosi lebih besar dibandingkan kemampuan alami lahan untuk memperbaiki kondisi tanah karena erosi geologi.

(5)

5 1.2. TUJUAN

1. Mengetahui potensi kerusakan tanah dan mengidentifikasi parameter kerusakan tanah sehingga dapat ditentukan pendekatan sesuai dengan permasalahannya 2. Memperoleh peta potensi kerusakan tanah.

3. Memperoleh peta status kerusakan tanah di wilayah Kecamatan Kuta Utara. Serta upaya yang dapat dilakukan dalam pengendalian yang meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan kondisi tanah.

II. KERUSAKAN TANAH DAN PRODUKSI BIOMASSA

2.1. SIFAT-SIFAT DASAR TANAH

Jenis tanah muda seperti Entisol/regosol sampai tanah tua seperti Ultisol/podsolik merah kuning dan Oxisol/latosol umumnya mempunyai kandungan unsur-unsur terbanyak SiO2 diikuti oleh Fe2Os, AlaOs (dengan kandungan menengah), diikuti oleh MgO, CaO, K2O, Na2O, P2Oo dan BO (kandungan rendah), sedangkan usur logam-logam berat berkadar sangat rendah . Komposisi unsur tanah ini berbentuk secara alami dan menyusun fase padat tanah sebesar 50%, sedangkan 25% berupa fase cair dan sisanya 25% berupa fase gas, gabungan dari tiga fase ini menjadikan sumberdaya tanah dapat berfungsi sebagai media tumbuh tanaman maupun menjadi kompnen lingkungan yang sehat.

Proses-proses yang terjadi dalam tanah dapat menyebabkan perubahan karakteristik tanah secara berangsur menuju kearah tertentu (mengikuti kurva kuadratik). Pada umumnya proses-proses yang terjadi dalam tanah berlangsung relative lambat, sehingga perubahan sifat- sifat tanah secara nyata baru dapat teramati dalam waktu puluhan tahun, tanah bukanlah sistem yang statis tapi tanah merupakan identitas alam yang berdimensi ruang dan waktu.

Tubuh tanah mengandung komponen-komponen hayati dan non hayati. sehingga tanah beserta dinamika proses yang berlansung didalamnya dapat dipandang sebagai bio-geoekosistem. Oleh karena itu tanah merupakan suatu sistem yang dinamis yang berinteraksi antar komponen tanah. Tanah berfungsi melindungi kehidupan selaku sistem penyaring, buffer (penyangga kimia), pengendap, transformer (pengalihragam) dan pengendali biologi.

(6)

6

 Fungsi penyaring dijalankan tanah dengan tubuhnya yang berbentuk jaring (berstruktur). Bahan buangan padatan berupa lumpur, debu, sedimen dan bahan tersuspensi ditahan oleh tanah (topsoil), sehingga tidak terbawa aliran limbah atau air perkolasi dengan demikian tanah hilir dan badan air permukaan serta tanah bawah (subsoil) dan air tanah terhindar dari pengotoran atau pencemaran.

 Fungsi menyangga kimiawi dijalankan tanah dengan menyerap zat-zat beracun berupa ion-ion terlarut atau koloid tersuspensi. Daya menyangga berkaitan dengan kadar lempung, bahan humik dan oksida serta hidroksida Fe dan Al. Lempung menjerap kation, bahan humik menjerap kation dan anion, sedang oksida dan hidroksida Fe dan Al menyerap atau menyerap anion.

 Fungsi mengendapkan secara kimiawi berkaitan dengan pH dan potensial redoks. Dengan jalan menyangga dan mengendapkan, tanah dapat membersihkan air limpasan dan air perkolasi dari zat- zat beracun, seperti logam berat, oksida N dan S, sisa pupuk dan sisa pestisida yang terlarut. Pencekalan senyawa amonium, nitrat dan fosfat yang terlarut dalam air limpas dan air perkolasi sebelum masuk ke badan air permukaan dan air tanah dapat menghindarkan eutrofikasi perairan. Nitrat meracuni air minum. Zat-zat yang sangat beracun biasa terdapat dalam buangan industri dan pertambangan karena mengandung unsur F, Hg, Cd, Pb, Ni, Zn dan/atau Cu. Sisa pestisida berbahaya karena mengandung Zn atau Cu.  Fungsi mengalihragamkan dikerjakan oleh jasad tanah. khususnya flora dan renik,

atas senyawa pencemar organik seperti yang terdapat dalam urine, tinja, kotoran hewan, rembesan perairan hijauan ternak (silage), sari kering limbah (sludge) dan pestisida organik. Senyawa - senyawa tersebut di rombak dan diubah dengan proses mineralisasi dan huraifikasi menjadi zat-zat yang tidak berbahaya. Penguraian bahan organik yang mudah teroksidasi menanggulangi pemasukan bahan organik tersebut ke perairan dan dengan demikian menanggulangi penghangatan tubuh air dan oksigen bebas, sehingga menghindarkan habitat peairan dari kerusakan.

Pada tanaman tanah berfungsi sebagai penyimpan cadangan unsur hara tanaman, pengikat lengas dan air tanah, pengurai dan penangkap senyawa-senyawa beracun (sisa herbisida, pestisida, fungisida dll), penyedia aerasi/ oksigen bagi aktivitas mikroorganisme.

(7)

7

Sifat fisik dan kimia tanah sebagian besar ditentukan oleh unsur liat dan humus, yang berfungsi sebagai pusat kegiatan tanah yang terjadi reaksi-reaksi kimia dan pertukaran ion, dan selanjutnya dengan menarik ion-ion tertentu dan menahannya pada permukaan liat dan humus, ion-ion tersebut tidak hilang tercuci. Ion tersebut lambat laun dibebaskan kembali dan dapat diambil oleh tanaman, karena muatan permukaan, dan merupakan jembatan pengikat antara butiran-butiran besar, dengan demikian menjamin adanya struktur granular yang mantap dan sangat diperlukan oleh tanaman. Atas dasar bobot, koloid humus mempunyai kapasitas menahan hara dan air yang lebih baik dari pada liat.

Tanah-tanah berstruktur kasar seperti pasir dan pasir berkerikil mempunyai infiltrasi yang tinggi, dan jika tanah tersebut dalam, maka erosi dapat diabaikan. Tanah bertekstur pasir halus yang mempunyai kapasitas infiltrasi cukup tinggi, akan tetapi jika terjadi aliran permukaan maka butir-butir halus akan mudah terangkut.

Tanah-tanah yang mengandung liat dalam jumlah yang tinggi dapat tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh menimpanya dan pori-pori lapisan permukaan akan tersumbat oleh butir-butir liat, hal ini inenyebabkan terjadinya aliran permukaan dan erosi yang berat. Akan tetapi jika tanah demikian ini mempunyai struktur yang mantap yaitu tidak mudah terdispersi maka Infiltrasi masih cukup besar sehingga aliran permukaan dan erosi tidak begitu berat. Lapisan teratas suatu penampang tanah biasanya mengandung banyak bahan organik dan berwarna gelap, karena akumulasi bahan organik. Lapisan ini merupakan lapisan utama disebut lapisan olah. Lapisan di bawah lapisan olah dikenal dengan lapisan bawah yang juga dipengaruhi oleh kondisi iklim, tetapi tidak seintensif yang dialami lapisan olah dan pada umumnya mengandung lebih sedikit bahan organik. Lapisan olah merupakan daerah utama bagi pertumbuhan perakaran, dan mengandung banyak unsur hara serta air yang dibutuhkan oleh tanaman.

2.2. KERUSAKAN TANAH

Kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah berubahnya sifat dasar tanah yang melampaui kriteria baku karusakan tanah. Biomassa adalah tumbuhan atau bagian-bagiannya yaitu bunga, biji, buah, daun, ranting, batang dan akar, termasuk tanaman yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan tanaman.

(8)

8

Produksi biomassa adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya tanah untuk menghasilkan biomassa.

Pengendalian kerusakan tanah adalah upaya pencegahan dan penanggulangan kerusakan tanah serta pemulihan kondisi tanah. Kondisi tanah adalah sifat dasar tanah di tempat dan waktu tertentu yang menentukan mutu tanah. Sifat dasar tanah adalah sifat dasar fisika, kimia dan biologi tanah. Status kerusakan tanah adalah kondisi tanah di tempat dan waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa. Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah ukuran batas perubahan sifat dasar tanah yang dapat ditenggang, berkaitan dengan kegiatan produksi biomassa.

Pencegahan kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah upaya untuk mempertahankan kondisi tanah melalui cara-cara yang tidak memberi peluang berlangsungnya proses kerusakan tanah. Penanggulangan kerusakan tanah adalah upaya untuk menghentikan meluas dan meningkatnya kerusakan tanah. Pemulihan kondisi tanah adalah upaya untuk mengembalikan kondisi tanah ke tingkatan yang tidak rusak.

Kerusakan tanah dapat disebabkan oleh sifat alami tanah, dapat pula disebabkan oleh kegiatan manusia yang menyebabkan tanah tersebut terganggu rusak hingga tidak mampu lagi berfungsi. Kegiatan produksi biomassa yang memanfaatkan tanah maupun sumberdaya alam lainnya dengan tidak terkendali dapat mengakibatkan kerusakan tanah untuk produksi biomassa, sehingga menurunkan mutu serta fungsi tanah yang pada akhirnya dapat mengancam kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.

Kerusakan tanah dapat terjadi oleh : kehilangan unsur hara dan bahan organik dari daerah perakaran, terkumpulnya garam didaerah perakaran (salinisasi), terkumpulnya atau terungkapnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tanaman, penjenuhan tanah oleh OH- (waterlogging), dan erosi.

Kerusakan tanah oleh satu atau lebih proses tersebut menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman, dan biomassa yang dihasilkan. Hilangnya secara berlebihan satu atau beberapa unsur hara dari daerah perakaran menyebabkan merosotnya kesuburan tanah, sehingga tanah tidak mampu menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang untuk mendukung

(9)

9

pertumbuhan tanaman yang normal, sehingga produktivitas tanah menjadi sangat rendah. Kerusakan bentuk ini terjadi sebagai akibat perombakan bahan organik dan pelapukan mineral serta pencucian hara yang berlangsung dengan cepat di bawah iklim tropis, panas dan lembab / basah, atau terangkutnya hara dari dalam tanah melalui panen tanpa ada usaha untuk mengembalikannya. Proses ini menyebabkan juga rusaknya struktur tanah.

Pembakaran tumbuhan yang menutupi tanah akan mempercepat proses pencucian dan pemiskinan, apalagi jika pembakaran terjadi setiap tahun. Kerusakan bentuk ini terjadi segera setelah vegetasi seperti hutan, semak belukar atau rumput ditebang atau ditebas dan dibersihkan untuk penanaman tanaman semusim, atau pembakaran jerami di sawah setelah dilakukannya panen. Hal tersebut akan mengurangi kandungan bahan organik dalam tanah, karena bahan organik yang diambil dari tanah tidak dikembalikan lagi ke dalam tanah berupa sisa tanaman, atau berupa bahan organik lainnya ke dalam tanah.

Di daerah beriklim kering atau dekat pantai pada musim kemarau dapat terkumpul di permukaan tanah garam natrium dalam jumlah yang cukup menghambat pertumbuhan atau mematikan tanaman, peristiwa ini disebut salinisasi. Kerusakan bentuk ini dapat hilang pada musim hujan dengan tercucinya garam-garam tersebut. Kerusakan tanah dapat juga terjadi oleh terungkapnya liat masam ke daerah perakaran pada tanah-tanah rawa atau terakumulasinya unsur-unsur tertentu seperti besi, aluminium, dan mangan dapat ditukar dalam jumlah yang tidak dapat ditoleransi oleh tanaman. Dengan bertambahnya pemakaian bahan kimia dalam pertanian dan buangan limbah industri, maka besar kemungkinan terjadi akumulasi bahan-bahan tersebut yang dapat merupakan racun bagi tanaman

Kepekaan tanah terhadap kerusakan dan aktivitas manusia merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerusakan. Untuk menilai kerusakan tanah aktual, faktor-faktor tataguna dan pengelolaan tanah harus diperhitungkan karena kedua faktor tersebut merupakan penyebab utama dalam perubahan dari kerusakan alami (natural atau geological degradation) menjadi kerusakan yang dipercepat (accelerated degradation).

Menilai resiko kerusakan tanah yang akan datang sangat sulit, dan prakiraan yang dibuat seringkali meleset, karena adanya perubahan dalam tataguna tanah /

(10)

10

pengelolaan tanah dan keadaan lingkungan seperti iklim. Walaupun tataguna / pengelolaan tanah tetap tidak berubah, prakiraan akan tetap mendapat kesulitan karena hubungan antara kerusakan tanah dan waktu tidak selalu merupakan garis lurus (linier). Dalam suatu pengelolaan tanah, kerusakan yang terjadi mungkin dipercepat dan diperlambat dan kurva selalu menjadi asimptotik terhadap suatu nilai produktivitas. Misalnya usaha pertanian dalam beberapa tahun tanpa pemupukan atau mencapai titik nol dengan percepatan seperti dalam kasus erosi pada tanah-tanah bersolum dangkal di atas batuan yang kompak. Kerusakan potensial atau kerusakan maksimum akan timbul pada tanah yang keadaannya kritis, karena pengelolaan yang buruk, misalnya erosi pada tanah gundul. Maka dapat dikatakan bahwa resiko kerusakan maksimum adalah fungsi beberapa faktor alam yang relatif stabil, sama seperti bahaya dalam kasus erosi, yaitu agresivitas iklim, erodibilitas tanah, kecuraman lereng, panjang lereng tidak bervegetasi penutup tanah dan pengelolaan yang buruk.

2.3. PRODUKSI BIOMASSA

Tanah sebagai salah satu komponen lingkungan hidup merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia. Tanah memiliki banyak fungsi dalam kehidupan. Di samping sebagai ruang hidup, tanah memilki fungsi produksi, yaitu antara lain sebagai penghasil biomassa, seperti bahan makanan, serat, kayu, dan bahan obat-obatan. Selain itu, tanah juga berperan dalam menjaga kelestarian sumberdaya air dan kelestarian lingkungan hidup secara umum.

Berdasarkan peranan tanah yang sangat penting dalam produksi biomassa, maka perlindungan tanah, pengendalian pemanfaatan tanah, pengendalian kerusakan tanah serta pemulihan kerusakan tanah perlu lebih diperhatikan dalam pengembangan kawasan atau wiiayah.

BAB III. PENILAIAN POTENSI KERUSAKAN TANAH 3.1. Identifikasi Kondisi Awal Tanah

Identifikasi kondisi awal tanah dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui areal yang berpotensi mengalami kerusakan. Identifikasi kondisi awal tanah dilakukan dengan:

(11)

11

1. Menghimpun data sekunder untuk memperoleh informasi awal sifat-sifat dasar tanah yang terkait dengan parameter kerusakan tanah. Peta tanah dan peta lahan kritis biasanya memuat informasi sifat dasar tanah;

2. Menghimpun data sekunder yang terkait dengan kondisi iklim, topografi, penggunaan tanah, dan potensi sumber kerusakan;

3. Menghimpun data sekunder lain yang dapat mendukung penetapan kondisi tanah, seperti citra satelit, foto udara, data kependudukan dan sosial ekonomi masyarakat, pengaduan masyarakat;

4. Data dan informasi yang terhimpun kemudian dituangkan di dalam peta dasar skala minimal 1:100.000, jika memungkinkan peta tersebut didigitasi sehingga menjadi peta-peta tematik tunggal;

5. Melakukan overlay atau superimpose atas beberapa peta tematik yang telah dibuat guna memperoleh gambaran tentang areal yang berpotensi mengalami kerusakan tanah. Pembuatan peta kerja dengan metode overlay antara peta curah hujan , jenis tanah, peta lereng, dan penggunaan lahan.

Nilai skoring atau skor pembobotan potensi kerusakan tanah didapat dari hasil perkalian nilai rating yaitu nilai potensi masing masing unsur peta tematik terhadap terjadinya kerusakan tanah dengan nilai bobot masing masing peta tematik yatu peta tanah, peta lereng, peta curah hujan dan peta penggunaan lahan

1.Tanah

Pada sistem klasifikasi Soil Taxonomy, terdapat 10 ordo tanah yang ada dan tersebar di Indonesia yaitu :Histosols; Alfisol; Entisols;Mollisol; Inceptisols Ultisol,Vertisols; ; Oxisols; Andisols; Spodosols

Berdasarkan kondisi kelembabannya, tanah dibagi menjadi tanah lahan basah dan tanah lahan kering. Tanah lahan basah adalah tanah yang sebagian besar waktu di tahun-tahun normalnya berada pada kondisi jenuh air. Tanah lahan kering adalah tanah yang sebagian besar waktu di tahun-tahun normalnya berada pada kondisi tidak jenuh. Tanah lahan kering dan lahan basah dapat diduga dari nama jenis tanahnya. Selain Histosol, yang termasuk lahan basah adalah tanah-tanah mineral yang mempunyai rejim kelembaban akuik atau ber sub ordo akuik, misalkan Aquents, Aquepts, Aquults, Aquods dsb.

(12)

12

Dalam menduga potensi kerusakan, tanah-tanah dikelompokan ke dalam 5 (lima) kelas potensi kerusakan tanah. Nilai rating potensi kerusakan tanah diberikan terutama berdasarkan pendekatan nilai erodibilitas tanah.

Tabel 3.1. Penilaian Potensi Kerusakan Tanah Berdasarkan Jenis Tanah

Tanah

Potensi Kerusakan

Tanah

Simbol Rating Skor pembobotan (rating X bobot) Vertisol, Tanah dengan rejim kelembaban aquik Sangat ringan T1 1 2 Oxisol Ringan T2 2 4 Alfisol, Mollisol, Ultisols Sedang T3 3 6 Inceptisols,

Entisols, histosols Tinggi T4 4 8

Spodosol Andisol Sangat tinggi T5 5 10

Sumber : Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia (2009)

2. Lereng

Kemiringan lereng adalah perbandingan antara beda tinggi (jarak vertikal) suatu lahan dengan jarak mendatarnya. Besar kemiringan lereng dapat dinyatakan dengan beberapa satuan, diantaranya adalah dengan % (prosen) dan o (derajat). Kelerengan mempengaruhi kerusakan lahan terkait dengan besarnya erosi dan kemampuan tanah menyimpan air hujan. Semakin besar kelerengan akan menyebabkan kerusakan tanah yang makin tinggi. Kemiringan lereng yang dihasilkan selanjutnya diklasifikasikan sesuai dengan klasifikasi kemiringan lereng untuk identifikasi Potensi Kerusakan Tanah.

Tabel 3.2. Penilaian Potensi Kerusakan Tanah Berdasarkan Kemiringan Lahan Lereng (%) Potensi

Kerusakan Tanah Simbol Rating

Skor pembobotan (rating X bobot) 1 – 8 Sangat ringan L1 1 3 9 – 15 Ringan L2 2 6 16 – 25 Sedang L3 3 9 26 – 40 Tinggi L4 4 12 > 40 Sangat tinggi L5 5 15

(13)

13 3. Curah Hujan

Faktor terpenting penyusun iklim yang mempengaruhi tanah adalah curah hujan. Curah hujan dapat dibedakan menurut sifatnya menjadi intensitas hujan, distribusi hujan dan jumlah hujan. Intensitas hujan adalah banyaknya curah hujan per satuan waktu tertentu (mm/jam), jumlah hujan menunjukkan banyaknya hujan selama hujan terjadi dalam periode tertentu (hari, minggu, bulan dan tahun). Distribusi hujan adalah penyebaran waktu terjadinya hujan. Sifat hujan tersebut diatas intensitas hujan mempunyai pengaruh terbesar dibandingkan yang lainnya. Suatu tempat mempunyai jumlah hujan yang tinggi belum tentu menyebabkan erosi, sebaliknya jumlah hujan yang rendah dapat menyebabkan erosi, bila hujan yang terjadi sekali-kali saja.

Hujan yang turun akan mengenai tanah dan menghancurkan agregat tanah, kemudian terangkut ke tempat lain. Hujan yang sampai ke permukaan tanah akan mengalami infiltrasi, aliran permukaan, intersepsi dan penguapan. Aliran permukaan (run off) menyebabkan erosi akan meningkat. Kelas curah hujan tahunan dalam kaitannya dengan potensi kerusakan tanah disajikan dalam Lampiran

Tabel 3.3. Penilaian Potensi Kerusakan Tanah Berdasarkan Curah Hujan CH (mm) Kerusakan Potensi

Tanah Simbol Rating Skor pembobotan (rating X bobot)

< 1000 Sangat rendah H1 1 3

1000 – 2000 Rendah H2 2 6

2000 – 3000 Sedang H3 3 9

3000 – 4000 Tinggi H4 4 12

> 4000 sangat tinggi H5 5 15

Sumber : Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia (2009)

4. Penggunaan Lahan

Penilaian potensi kerusakan tanah berdasarkan penggunaan lahan didekati berdasarkan koefisien tanaman (faktor C). Dengan pendekatan tersebut, jenis penggunaan lahan untuk daerah pertanian maupun vegetasi alami) dikelompokan ke dalam 5 kelas potensi kerusakan tanah.

Sekalipun informasi pada satuan penggunaan lahan bersifat lebih umum, namun informasi-informasi yang lebih detil mengenai jenis komoditas/vegetasi, tipe pengelolaan dan langkah-langkah konservasi yang diterapkan yang terkait erat dengan sifat tanah sangat penting dan bermanfaat untuk menduga potensi kerusakan tanah.

(14)

14

Data-data tersebut penting untuk dicatat dan diperhatikan dalam pemanfaatan peta penggunaan lahan guna penyusunan peta kondisi awal tanah.

Tabel 3.4. Penilaian Potensi Kerusakan Tanah Berdasarkan Penggunaan Lahan Penggunaan Lahan

Potensi Kerusakan

Tanah

Simbol Rating Skor pembobotan (rating X bobot) Hutan alam Sawah Alang-alang murni subur Sangat rendah T1 1 2 Kebun campuran Semak belukar Padang rumput Rendah T2 2 4 Hutan produksi Perladangan Sedang T3 3 6 Tegalan

(tanaman semusim) Tinggi T4 4 8

Tanah terbuka Sangat tinggi T5 5 10

Sumber : Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia (2009)

Penyusunan potensi kerusakan tanah disusun dengan cara ataupun prosedur overlay. Data dianalisis untuk memperoleh informasi mengenai potensi kerusakan tanah. Analisis spasial dilakukan dengan menumpangsusunkan (overlay) beberapa data spasial (parameter penentu potensi kerusakan tanah), sehingga diperoleh unit peta baru yang akan digunakan sebagai unit analisis. Pada setiap unit analisis tersebut dilakukan analisis terhadap data atributnya berupa data tabular. Hasil analisis tabular selanjutnya dikaitkan dengan data spasialnya untuk menghasilkan data spasial potensi kerusakan tanah.

Analisa spasial, sistem proyeksi dan koordinat menggunakan metode Universal Transverse Mercator (UTM). Sistem koordinat dari UTM adalah meter, sehingga dimungkinkan analisa yang membutuhkan informasi dimensi-dimensi linier seperti jarak dan luas. Sistem proyeksi lazim digunakan dalam pemetaan topografi sehingga sesuai untuk pemetaan tematik termasuk pemetaan potensi kerusakan tanah.

Metode yang digunakan dalam analisis tabular adalah metode skoring. Pada unit analisis hasil tumpangsusun data spasial dilakukan dengan menjumlahkan skor. Hasil penjumlahan skor digunakan untuk klasifikasi penentuan tingkat potensi kerusakan tanah. Klasifikasi tingkat kerusakan tanah menurut penjumlahan skor dengan parameter kerusakan tanah

(15)

15

Tabel 3.5. Kriteria Kelas Potensi Kerusakan Tanah Berdasarkan Nilai Skor

Simbol Skor Potensi Kerusakan Tanah Pembobotan

PR.I Sangat Rendah <15

PR.II Rendah 15-24

PR.III Sedang 25-34

PR.IV Tinggi 35-44

PR.V Sangat Tinggi 45-50

Sumber : Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia (2009) .

3.2. Analisis Tanah

Tanah di lahan kering adalah tanah yang berada di lingkungan tidak tergenang yang pada umumnya merupakan tanah mineral (bukan tanah organik). Tanah-tanah ini berada di wilayah beriklim basah maupun beriklim kering. Analisis tanah yang dilakukan adalah analisis kimia, fisika dan biologi. Adapun analisis yang dilakukan adalah : Ketebalan Solum,Kebatuan Permukaan ,Komposisi Fraksi Berat Isi, Porositas Total ,Derajat Pelulusan Air, pH(H2O) 1: 2,5 ;Daya Hantar Listrik/ DHL

3.3 Evaluasi Untuk Penetapan Status Kerusakan Tanah

Evaluasi Status Kerusakan Tanah ini bertujuan untuk menentukan rusak tidaknya suatu lokasi tanah berdasarkan kretiria baku kerusakan tanah. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan hasil analisis sifat dasar tanah sebagaimana yang tercantum dalam tabel 3.6 dan Tabel 3.7

Tabel 3.6. Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering Akibat Erosi Air

No Tebal Tanah

(cm) (mm/10 Tahun) Ambang Kritis

1 < 20 >0,2 - <1,3

2 20 - <50 1,3 - < 4

3 50 - <100 4,0 - < 9,0

4 100 – 150 9,0 – 12

5 >150 > 12

(16)

16

Tabel 3.7. Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering

No Parameter Ambang Kritis (PP 150/2000)

1 Ketebalan Solum <20 cm

2 Kebatuan Permukaan >40 %

3 Komposisi Fraksi <18% Koloid; >80 % pasir kuarsitik

4 Berat Isi >1,4 g/cm3

5 Porositas Total <30%; >70%

6 Derajat Pelulusan Air <0,7 cm/jam; >8,0 cm/jam

7 pH(H2O) 1: 2,5 <4,5; >8,5

8 Daya Hantar Listrik/ DHL >4,0 mS/cm

9 Redoks <200 Mv

Sumber: PerMen LH No. 7 Tahun 2006

Apabila salah satu ambang parameter terlampaui, maka tanah dikatakan rusak. Selanjutnya hasil evaluasi ini digunakan untuk menetapkan status kerusakan tanah. Dari hasil evaluasi tersebut, Bupati selanjutnya menetapkan status kerusakan tanah yang kemudian diumumkan kepada masyarakat. Hasil evaluasi juga digunakan untuk verifikasi atau updating status kerusakn tanah pada setiap satuan peta kerusakan tanah yang telah disusun sebelumnya.

3.4 Penentuan Status Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa

Peta Status Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa merupakan output akhir yang berisi informasi tentang status, sebaran, dan luasan kerusakan tanah pada wilayah yang dipetakan. Peta ini disusun melalui dua tahapan evaluasi yaitu matching dan scoring. Secara terperinci penetapan status kerusakan tanah diuraikan sebagai berikut: 1. Metode Matching

Matching adalah membandingkan antara data parameter-parameter kerusakan tanah yang terukur dengan criteria baku kerusakan tanah (sesuai PP No. 150 tahun 2000). Matching ini dilakukan pada setiap titik pengamatan. Dengan metode ini, setiap titik pengamatan dapat dikelompokkan kedalam tanah yang tergolong rusak ( R ) atau tidak rusak ( N ).

2. Metode Skoring

Metode skoring dilakukan dengan mempertimbangkan frekwensi relatif tanah yang tergolong rusak dalam satu polygon. Yang dimaksud dengan frekwensi relative (%) kerusakan tanah adalah nilai persentase kerusakan tanah didasarkan perbandingan contoh tanah yang tergolong rusak yaitu hasil pengukuran setiap parameter kerusakan

(17)

17

tanah yang sesuai dengan baku kerusakan tanah terhadap jumlah keseluruhan titik pengamatan yang dilakukan dalam polygon tersebut. Dalam menetapkan status kerusakan lahan tanah, langkah-langkah yang dilalui adalah sebagai berikut:

 Menghitung frekwensi relative (%) dari setiap parameter kerusakan tanah

 Member nilai skor untuk masing-masing parameter berdasarkan nilai frekwensi relatifnya dengan kisaran 0 sampai 4 (tabel 3.8)

 Melakukan penjumlahan nilai skor masing-masing parameter criteria kerusakan tanah

 Penentuan status kerusakan tanah berdasarkan hasil penjumlahan nilai skor Tabel 3.8 Skor Kerusakan Tanah Berdasarkan Frekwensi Relatif dari Berbagai Parameter Kerusakan Tanah

Frekwesi Relatif Tanah Rusak (%)

Parameter Ambang Kritis

(PP150/2000)

0-10 0 Tidak rusak

11-25 1 Rusak ringan

26-50 2 Rusak sedang

51-75 3 Rusak berat

76-100 4 Rusak sangat berat

Sumber: Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia (2009)

Dari penjumlahan nilai skor tersebut dilakukan pengkategorian status kerusakan tanah. Berdasarkan status kerusakannnya, tanah dibagi ke dalam 5 kategori yakni; Tidak Rusak (N), Rusak Ringan (R.I), Rusak Sedang (R.II), Rusak Berat (R.III) dan Rusak Sangat Berat (R.IV). Status kerusakan tanah berdasarkan penjumlahan nilai skor kerusakan tanah disajikan dalam tabel 3.9.

(18)

18

Tabel 3.9 Status Kerusakan Tanah Berdasrkan Nilai Akumulasi Skor Kerusakan Tanah

Simbol Status Kerusakan

tanah

Nilai Akumulasi Skor Kerusakan Tanah

N Tidak rusak 0

R.I Rusak ringan 1-14

R.II Rusak sedang 15-24

R.III Rusak berat 25-34

R.IV Rusak sangat berat 35-40

Sumber: Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia (2009)

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4.1. Wilayah Geografis dan Administrasi Kecamatan Kuta Utara Kabupaten Badung

Kecamatan Kuta Utara terletak di Kabupaten Badung dengan luas ± 418,52 Km² atau ± 41.852 Ha sekitar 7,43 % dari luas pulau Bali, yang terletak pada koordinat 08˚ 14' 20” - 08˚ 50' 48” LS (Lintang Selatan) dan 115˚ 05' 00” - 115˚ 26' 16” BT (Bujur Timur), dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah utara wilayah Kabupaten Buleleng, sebelah timur wilayah Kabupaten Bangli, Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar, sebelah selatan merupakan Samudera Hindia dan sebelah barat wilayah Kabupaten Tabanan

Kecamatan Kuta Utara memiliki luas ± 3.386 Ha dengan batas batas administrasi sebagai berikut :

 Batas utara : Kecamatan Mengwi  Batas selatan : Kecamatan Kuta  Batas barat : Kecamatan Mengwi  Batas timur : Kodya Denpasar

Wilayah Kecamatan Kuta Utara terdiri dari 6 Kelurahan yaitu Kelurahan Kerobokan Kelod, Kerobokan, Kerobokan Kaja, Tibubeneng, Canggu dan Dalung. Berikut disampaikan gambar Peta Administrasi Kecamatan Kuta Utara dalam Kabupaten Badung.

(19)

19 4.2.Geologi

Struktur geologi Kabupaten Badung sebagian besar merupakan produk gunung api muda yang terdiri dari breksi vulkanik, tufa pasiran dan endapan lahar. Sebagian kecil daerah pesisir sekita Kuta merupakan daerah aluvial endapan pantai yang tersusun dari pasir, sedangkan didaerah selatan merupakan bukit kapur yang berasal dari batu gamping, batu pasir gampingan dan napal.

4.3.Tanah

Sebagian besar tanah di wilayah Kabupaten Badung tergolong je

nis Inceptisols/Latosol berbahan induk abu vulkan intermedier dan tuf. Disamping itu terdapat pula jenis tanah Andisol dari bahan induk yang sama terdapat di daerah hutan lindung yang berbatasan dengan Kabupaten Buleleng, dan jenis tanah Entisols terdapat di sekitar dataran pantai Kuta. Wilayah perbukitan kapur di bagian selatan memiliki jenis tanah Alfisols dengan fisiografi pengangkatan (uplifit) daerah pantai Untuk Kecamatan Kuta Utara juga ditemukan Vertisols di Canggu, Kerobokan yang mempunyai sifat mudah mengembang dan mengempis.

4.4. Curah Hujan

Faktor terpenting penyusun iklim yang mempengaruhi tanah adalah curah hujan. Curah hujan dapat dibedakan menurut sifatnya menjadi intensitas hujan, distribusi hujan dan jumlah hujan. Intensitas hujan adalah banyaknya curah hujan per satuan waktu tertentu (mm/jam), jumlah hujan menunjukkan banyaknya hujan selama hujan terjadi dalam periode tertentu (hari, minggu, bulan dan tahun). Distribusi hujan adalah penyebaran waktu terjadinya hujan. Sifat hujan tersebut diatas intensitas hujan mempunyai pengaruh terbesar dibandingkan yang lainnya. Suatu tempat mempunyai jumlah hujan yang tinggi belum tentu menyebabkan erosi, sebaliknya jumlah hujan yang rendah dapat menyebabkan erosi, bila hujan yang terjadi sekali-kali saja.

Hujan yang turun akan mengenai tanah dan menghancurkan agregat tanah, kemudian terangkut ke tempat lain. Hujan yang sampai ke permukaan tanah akan mengalami infiltrasi, aliran permukaan, intersepsi dan penguapan. Aliran permukaan (run off) menyebabkan erosi akan meningkat. Kelas curah hujan tahunan dalam kaitannya dengan potensi kerusakan tanah disajikan dalam Lampiran

(20)

20

Tabel 3.3. Penilaian Potensi Kerusakan Tanah Berdasarkan Curah Hujan CH (mm) Kerusakan Potensi

Tanah Simbol Rating Skor pembobotan (rating X bobot)

< 1000 Sangat rendah H1 1 3

1000 – 2000 Rendah H2 2 6

2000 – 3000 Sedang H3 3 9

3000 – 4000 Tinggi H4 4 12

> 4000 sangat tinggi H5 5 15

Sumber : Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia (2009)

4. 5. Penggunaan Lahan

Penilaian potensi kerusakan tanah berdasarkan penggunaan lahan didekati berdasarkan koefisien tanaman (faktor C). Dengan pendekatan tersebut, jenis penggunaan lahan untuk daerah pertanian maupun vegetasi alami) dikelompokan ke dalam 5 kelas potensi kerusakan tanah.

Sekalipun informasi pada satuan penggunaan lahan bersifat lebih umum, namun informasi-informasi yang lebih detil mengenai jenis komoditas/vegetasi, tipe pengelolaan dan langkah-langkah konservasi yang diterapkan yang terkait erat dengan sifat tanah sangat penting dan bermanfaat untuk menduga potensi kerusakan tanah..

(21)

21

4.6. Deskripsi Lokasi Pengambilan Sampel

Lokasi pengambilan sampel Tanah ditetapkan sebanyak 6 ( enam ) titik lokasi yang mewakili kondisi daerah selatan sampai utara. Mewakili bagian selatan dimulai dari Desa Krobokan Kelod sampai Desa Dalung. Secara menyeluruh dapat dilihat pada Tabel berikut :

Tabel 4.1. Posisi Geografis Masing-masing Titik Lokasi Tukad Badung Wilayah Kecamatan Kuta Utara Nama Titik Pantau Kode Titik Pantau

Koordinat Titik Lokasi Lintang Bujur

Desa Kerobokan Kelod KB Kelod (KBK) 08054510 115021655 Desa Kerobokan

Desa Kerobokan Kaja Desa Tibubeneng Desa Canggu KB KB Kaja Tibu Canggu (KB) (KBKJ) (T) (C) 08064948 08065944 08068528 08054510 115021236 115021331 115019816 115021786

Desa Dalung Dalung (D) 08070407 115019334

.

V. EVALUASI KERUSAKAN TANAH DAN PRODUKSI BIOMASSA

5.1. Karakteristik Wilayah Kajian

Sampling tanah dilakukan secara purposive berdasarkan peta kerja yang merupakan hasil overlay beberapa peta tematik lahan, yaitu jenis tanah, lereng, iklim, dan penggunaan lahan. Lokasi pengamatan dan pengambilan sampel tanah difokuskan pada kawasan budidaya, dengan harapan bahwa keterwakilan sampel pada kawasan budidaya karena produksi biomassa lebih difokuskan pada kawasan tersebut, terutama untuk pengembangan pertanian, perkebunan dan hutan tanaman.

Pembagian Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten Badung untuk Produksi Biomassa berdasarkan Perda Kab Badung No 26 Th 2013 disesuaikan

(22)

22

dengan tipe penggunaan lahan di Kabupaten Badung 2016 (berdasarkan data Badung dalam angka 2016) disajikan pada tabel berikut ini :

Tabel 5.1. Luas Tipe Penggunaan Lahan di Kabupaten Badung per Kecamatan

Kecamatan Luas (Ha) Sawah Kebun Tegalan Rakyat Hutan Lindung Hutan (BWE) Petang 11.166,65 1173 3593 4855 399 1126,9 Abiansemal 5.736,97 2914 908 903 998 13,97 Mengwi 6.454 4597 781 1007 69 - Kuta Utara 1.648 1.300 - 347 1 - Kuta 85 - 30 55 - - Kuta Selatan 3.412 - 1138 980 655 639 Luas Total 28.640 10.114 6.450 8.154 2.122 1.779,87 Sumber : Badung Dalam Angka Tahun 2016

Keterangan : BWE = Bukan Wilayah Efektif (Tidak di Analisa)

Potensi kerusakan tanah di Kecamatan Kuta Utara didapatkan dari proses pemetaan yang digunakan sebagai peta kerja untuk verifikasi lapangan. Pada prinsipnya peta kondisi awal (peta kerja) menyajikan informasi dugaan potensi kerusakan tanah berdasarkan analisis peta dan data-data sekunder. Peta disusun berdasarkan peta-peta tematik utama serta data dan informasi lainnya yang mendukung. Peta kerja dibuat dengan metode overlay antara peta jenis tanah, curah hujan, peta lereng dan penggunaan lahan. Proses overlay secara spasial dilakukan dengan menggunakan perangkat GIS Arcview 3.3.

Peruntukan kawasan untuk produksi biomassa di Kecamatan Kuta Utara sebesar 3.538 Ha, hasil analisis menunjukan bahwa penyebaran kelas potensi kerusakan tanah di Kecamatan Kuta Utara tergolong rendah sebesar 1.648 Ha atau sebesar 46,57 % dari total luas Kecamatan Kuta Utara.

Tabel 5.2. Potensi kerusakan tanah di Kecamatan Kuta Utara. Kabupaten Badung Potensi

Kerusakan Tanah Luas (Ha) Persentase (%) Kecamatan

Kuta Utara

Rendah (PR II) 1.648 46,57

BWE 1.890 53,43

Total 3.538 100

(23)

23

Keterangan : BWE = Bukan Wilayah Efektif (Tidak di Analisa)

Kecamatan Kuta Utara memiliki potensi kerusakan tanah tergolong rendah disebabkan faktor faktor yang menjadi indikator potensi kerusakan tanah, baik itu kelerengan dan curah hujan sangat kecil, faktor lain yang mungkin bisa mempengaruhi atau sebagai factor pembatas adalah jenis tanah dan penggunaan lahan. Penilaian potensi kerusakan tanah untuk produksi biomassa di Kecamatan Kuta Utara berdasarkan pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia yang penilaiannya pada

Curah Hujan,Jenis Tanah,Kemiringan Lereng,Penggunaan Lahan

Hasil overlay dan penetapan scoring didapatkan Peta Potensi Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa, berikut disajikan pada Lampiran:

5.2. Status Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomasa

Untuk menghitung tingkat kerusakan tanah produksi biomassa dalam penelitian ini disusun berdasarkan metode skoring dari frekwensi relatif kerusakan tanah. Metode ini disusun dengan mempertimbangkan frekwensi relatif tanah yang tergolong rusak dalam suatu poligon. Frekwensi relatif kerusakan tanah adalah nilai persentase kerusakan tanah yang didasarkan pada perbandingan jumlah contoh tanah yang diambil dalam satu poligon dan dianalisis perparameternya dengan kriteria baku kerusakan tanah. Berdasarkan skoring dari seluruh parameter pemantauan kualitas tanah, maka dapat diketahui bahwa wilayah Kecamatan Kuta Utara keseluruhan memiliki status Rusak Ringan (R-I) dengan luas 1.648 Ha atau sebesar 46,57% dari total luas wilayah Kecamatan Kuta Utara 3.538 Ha.

(24)

24

Tabel 5.11 Status Kerusakan Tanah di Kabupaten Badung per Kecamatan Kabupaten Badung Status Kerusakan

Tanah Luas (Ha) Persentase (%) Kecamatan

Kuta Utara

Rusak Ringan (R-I) 1.648 46,57

BWE 1.890 53,43

Total 3.538 100

Keterangan : BWE = Bukan Wilayah Efektif (Tidak di Analisa)

Berdasarkan hasil analisis bahwasanya : Kecamatan Kuta Utara terdapat parameter yang memiliki nilai persentase frekwensi relatif kerusakan tanah melebihi 10%, dari semua parameter tersebut Berat Isi (tanah sawah) memilki relatif kerusakan tanah 75 - 100%, kemudian Permeabilitas 30%, Porositas 25%. Hasil kompilasi skor frekwensi relatif tingkat kerusakan tanah menunjukkan bahwa tingkat kerusakan tanah untuk biomasa di Kecamatan Kuta Utara dengan status Rusak Ringan. Karena merupakan wilayah Kecamatan, maka luas wilayah yang mengalami kerusakan adalah seluas unit lahan pada kecamatan Kuta Utara yaitu 1.648 Ha atau 46.57 %

Walaupun Kabupaten Badung memiliki status kerusakan tanah yang tergolong ringan, akan tetapi langkah penanggulangan dan pemulihan perlu dipertimbangkan. BV, Porositas dan permeabilitas kecendrungannya mengalami penurunan kualitas sehingga diperlukan langkah penanggulangan terhadap parameter yang mengindikasikan kerusakan atau potensi kerusakan perlu dipertimbangkan berdasarkan jenis komoditas yang ditanam, sehingga dapat memperbaiki dan pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Selain itu juga proses pengolahan tanah untuk lahan Sawah, Tegalan, Kebun, Hutan Rakyat sesuai dengan kaidah konservasi tanah, serta perlunya tindakan antisipatif dengan penambahan bahan organik.

(25)

25 VI. PENUTUP

Berdasarkan kajian Potensi dan Status Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1) Luas lahan yang telah ditetapkan untuk produksi biomassa di Kecamatan Kuta Utara adalah seluas 1.648 Ha dari total luas 3.538 Ha. Kawasan Budidaya Tanaman Pangan seluas 1.300 Ha Kawasan Budidaya Perkebunan dan Budidaya Hortikultura seluas 347 Ha dan Kawasan peruntukan Hutan Rakyat seluas 1 Ha.

2) Luas lahan yang digunakan sebagai produksi biomassa di Kabupaten Badung adalah seluas 1.648 Ha atau sekitar 46,57 % dari total wilayah Kecamatan Kuta Utara, terdiri dari sawah seluas 1.300 Ha, perkebunan (kebun campuran) dan tegalan seluas 344 Ha serta hutan rakyat seluas 1 Ha. Luas.

3) Potensi kerusakan tanah di Kabupaten Badung di tiap Kecamatan berada pada kategori rendah.

4) Status kerusakan tanah di Kecamatan Kuta Utara kategori rusak ringan dan terdapat 2 parameter yang merupakan faktor pembatas yaitu Nilai Redoks dan Berat Volume tanah pada lahan Sawah.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian, E., and R.D. Susanto. 2003. Identification of Three Dominant Rainfall Regions Denpasar

Australian Greenhouse Office. 1999. National Carbon Accounting System,

Methods forEstimating Woody Biomass. Technical Report No. 3,

Commonwealth of Australia.

Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest, a Primer. FAO Forestry Paper 134, FAO. Rome.

(26)

26

Cairns, Michael A., Sandra Brown, Eileen H. Helmer, Greg A. Baumgardner. 1997. Root biomass allocation in the world's upland forests. Oecologia (1997) 111:1 -11

FAO. 1996. Population Change-Natural Resources-Environment Linkages In East and Southeast Asia. Prepared by the Population Information Network (POPIN) of the United Nations Population Division, Department for Economic and Social Information and Policy Analysis. FAO Population Programme Service, Rome.

Guntoro, H. 2008. Laporan Presentasi Kelompok Biomassa http://helmiguntoro.blogspot.com. [17 Desember 2008].

Hairiah, K., Lusian B., and Van Noordwijk M. 2001. Methods For Sampling Carbon Stocks Above and Below Ground. ICRAF, Southeast Asian Regional Research Program Bogor Indonesia. Bogor.

Heiskanen, 2006. Biomass ECV Report. Twww.fao.org/GTOS/doc/ECVs/T12-biomass-standards-report-v01.docT

Hitchcock III, H.C. & J.P. McDonnell, 1979. Biomass measurement: a synthesis of the literature. Proc. For. Inventory Workshop, SAF-IUFRO. Ft. Collins, Colorado: 544-595.

Indrawan, 1999. Pendugaan Biomassa Pohon dengan Model Branching pada Hutan Sekunder di Rantau Padan Jambi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. IPCC, 1995. Good Practice Guidance for Land Use, Land-Use Change and

Forestry. Intergovernmental Panel on Climate Change National Greenhouse Gas Inventories Programme. HTwww.ipcc-nggip.iges.or.jp/lulucf/gpglulucf_unedit.htmlTH

Sherbinin, 2002. Guide to Land-Use and Land-Cover Change (LUCC) Center for International Earth Science Informa-tion Network (CIESIN) Columbia University Palisades, NY, USA. Acollaborative effort of SEDAC and the IGBP/IHDP LUCC Project.

Siradz, S.A. 2006. Degradasi Lahan Persawahan Akibat Produksi Biomassa di DIYogyakarta. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 6 (1) p: 47-51. Sutaryo, D. 2009. Penghitungan Biomassa : Sebuah pengantar untuk studi karbon

dan perdagangan karbon. Wetlands International Indonesia Programme. Dipublikasikan oleh : Wetlands International Indonesia Programme. Pp. : 365.

Tjasyono, B. 2004. Klimatologi. Cetakan Ke-2. ITB Press. Bandung.

Within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature. International Journal of Climatology. Int. J. Climatol. 23: 1435–1452 Wahyunto, M.Z. Abidin, A. Priyono, dan Sunaryo. 2001. Studi Perubahan

Penggunaan Lahan Di Sub DAS Citarik, Jawa Barat dan DAS Kaligarang, Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Balai Penelitian Tanah. Bogor.

Whitmore, T.C. 1985. Tropical Bain Forest of The Far East. Second Edition. Oxfort University Press. New York.

Yokoyama, S. 2008. Buku Panduan Biomassa Asia : Panduan untuk Produksi dan Pemanfaatan Biomassa. The Japan Institute of Energy, Jakarta Pp:3

(27)

27

LAMPIRAN

SIFAT TANAH ( Analisis Laboratorium) 1 Ketebalan Solum

Tabel 5.3. Hasil Pengukuran Ketebalan Solum No

Sampel Lokasi Penelitian

Hasil Analisis (Cm) Status (Melebihi/Tidak) (KBK) Kecamatan Kuta Utara

Kerobokan Kelod 105 Tidak

(KB) Kerobokan 110 Tidak

(KBKJ) Kerobokan Kaja 110 Tidak

(T) Tibubeneng 115 Tidak

(C) Canggu 115 Tidak

(D) Dalung 120 Tidak

Keterangan : Ambang Kritis Ketebalan Solum <20cm 2.Kebatuan Permukaan:

Tabel 5.4. Hasil Pengukuran Kebatuan Permukaan No

Sampel Lokasi Penelitian

Hasil Analisis (%) Status (Melebihi/Tidak) (KBK) Kecamatan Kuta Utara

Kerobokan Kelod 8 Tidak

(KB) Kerobokan 6 Tidak

(KBKJ) Kerobokan Kaja 5 Tidak

(T) Tibubeneng 5 Tidak

(C) Canggu 6 Tidak

(D) Dalung 4 Tidak

(28)

28 3.Komposisi Fraksi:

Tabel 5.5. Hasil Pengukuran Komposisi Fraksi Tanah No

Sampel Lokasi Penelitian

Hasil Analisis Status (Melebihi/Tidak ) Koloid % Pasir Kuarsatik % (KBK) Kecamatan Kuta Utara

Kerobokan Kelod 16,62 27,65 Tidak

(KB) Kerobokan 23,65 26,60 Tidak

(KBKJ) Kerobokan Kaja 18,54 16,65 Tidak

(T) Tibubeneng 21,45 23,78 Tidak

(C) Canggu 19,67 18,35 Tidak

(D) Dalung 19,84 21,20 Tidak

Keterangan : Nilai Ambang Kritis : <18% Koloid, >80% Pasir Kuarsatik. 4.Berat Volume

Tabel 5.6. Hasil Pengukuran Berat Volume (BV) No

Sampel Lokasi Penelitian

Hasil Analisis (gr/Cm3) Status (Melebihi/Tidak) (KBK) Kecamatan Kuta Utara

Kerobokan Kelod 0,85 Tidak

(KB) Kerobokan 1,35 Tidak

(KBKJ) Kerobokan Kaja 0,89 Tidak

(T) Tibubeneng 0,79 Tidak

(C) Canggu 1,19 Tidak

(D) Dalung 0,95 Tidak

Keterangan : Ambang Kritis BV > 1,4 gram/Cm3 5. Porositas Total

Tabel 5.7. Hasil Pengukuran Porositas Total No

Sampel Lokasi Penelitian

Hasil Analisis

(%) (Melebihi/Tidak) Status (KBK) Kecamatan

Kuta Utara

Kerobokan Kelod 44,23 Tidak

(KB) Kerobokan 43,46 Tidak

(KBKJ) Kerobokan Kaja 54,99 Tidak

(T) Tibubeneng 53,12 Tidak

(C) Canggu 55,77 Tidak

(D) Dalung 41,32 Tidak

(29)

29 6. Derajat Pelulusan Air (Permeabilitas) Tabel 5.8. Hasil Pengukuran Permeabilitas

No

Sampel Lokasi Penelitian

Hasil Analisis (Cm/Jam) Status (Melebihi/Tidak) (KBK) Kecamatan Kuta Utara

Kerobokan Kelod 1,79 Tidak

(KB) Kerobokan 2,05 Tidak

(KBKJ) Kerobokan Kaja 1,78 Tidak

(T) Tibubeneng 1,98 Tidak

(C) Canggu 1,82 Tidak

(D) Dalung 0,77 Tidak

Keterangan : Ambang Kritis Permeabilitas <0,7 cm/jam dan >8 cm/jam 7. pH Tanah

Tabel 5.9. Hasil Pengukuran pH Tanah No

Sampel Lokasi Penelitian

Hasil Analisis (pH) Status (Melebihi/Tidak) (KBK) Kecamatan Kuta Utara

Kerobokan Kelod 5,4 Tidak

(KB) Kerobokan 5,3 Tidak

(KBKJ) Kerobokan Kaja 5,4 Tidak

(T) Tibubeneng 6,5 Tidak

(C) Canggu 6,5 Tidak

(D) Dalung 6,4 Tidak

Keterangan : Ambang Kritis pH , 4,5, pH>8,5 8. Daya Hantar Listrik (DHL

Tabel 5.10. Hasil Pengukuran Daya Hantar Listri (DHL) No

Sampel Lokasi Penelitian

Hasil Analisis (mS/cm) Status (Melebihi/Tidak) (KBK) Kecamatan Kuta Utara

Kerobokan Kelod 0,95 Tidak

(KB) Kerobokan 1,16 Tidak

(KBKJ) Kerobokan Kaja 1,14 Tidak

(T) Tibubeneng 1,66 Tidak

(C) Canggu 1,87 Tidak

(30)

30 Keterangan : Ambang Kritis DHL > 4,0 Ms/CM

Angka Curah Hujan Pada Stasiun Hujan di Kabupaten Badung Tahun 2015

Bulan

Kuta

Selatan Kuta

Kuta

Utara Mengwi Abiansemal Petang

CH HH CH HH CH H H CH HH CH HH CH HH 1 Januari 820 24 - - 473 19 534 27 481 21 349 30 2 Februari 87 8 - - 105 6 127 8 111 9 248 19 3 Maret 136 11 - - 46 3 104 8 197 13 258 27 4 April 170 11 - - 8 1 185 8 243 13 316 18 5 Mei 149 11 - - 228 5 152 8 144 12 267 24 6 Juni 434 6 - - 279 3 240 12 275 13 216 28 7 Juli 143 10 - - 34 7 145 14 189 13 91 22 8 Agustus 20 2 - - - - 4 4 12 3 11 11 9 September - - - 13 4 42 7 39 9 10 Oktober - - - 27 4 95 4 5 3 11 November 108 7 - - 209 11 345 12 151 17 318 23 12 Desember 516 17 - - 450 12 515 18 684 20 433 30 Jumlah 2.582 107 - - 1.832 67 2.391 127 2.624 145 2.551 244 Rata – rata 215 9 - - 153 6 199 11 219 12 213 20

(31)

19

Gambar 5.3. Peta Status Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa Di Kecamatan Kuta Utara

dilaboratorium.

(32)

Gambar

Tabel 3.2. Penilaian Potensi Kerusakan Tanah Berdasarkan Kemiringan Lahan  Lereng (%)  Potensi
Tabel 3.3. Penilaian  Potensi Kerusakan Tanah Berdasarkan Curah Hujan
Tabel 3.4. Penilaian Potensi Kerusakan Tanah Berdasarkan Penggunaan Lahan  Penggunaan Lahan
Tabel 3.6. Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering Akibat Erosi Air
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pemanfaatan bahan ajar berbasis startegi belajar tuntas adalah pemanfaatan suatu bahan ajar cetak yang disusun secara sistematis yang dirancang untuk dapat

Menurut Gibson mengukur kemampuan organisasi untuk meningkatkan kapasitanya dalam menghadapi tuntutan lingkungan. Suatu organisasi harus melakukan berbagai

Ketiga, menganalisis faktor yang mempengaruhi Konsep Diri santri Tanpa Pengasuh di Pesantren Mahasiswa Darul Hijrah Merjosari Malang. Keempat, menemukan bentuk strategi

Sebagai perbandingan, petani peserta dalam Pola PIR Transmigrasi (PIR-Trans) mendapatkan adalah tanah untuk perkebunan seluas 2 hektar dan tanah pekarangan termasuk

Puji syukur Alhamdulillah kepada Allah Swt, yang Maha Mengetahui dan Maha Penyayang, karena dengan rahmat dan hidayah- Nya, penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir

Hati mencit pada kelompok normal tidak mengalami kerusakan setelah diberi akuabides selama 20 hari secara oral (Gambar 1.).. Struktur mikroanatomi hati mencit pada

Menyadari relasi kita dengan Tuhan dalam kedirian kita yang berseksual; bagaimana kita menjadi sadar bahwa seksualitas tidak bertentangan dengan spiritualitas, tetapi

Bereiterin ja Scardamalian kahden prosessin mallissa kuvataan noviisin ja ekspertin kirjoittamisprosessia. Noviisin kirjoittamista kuvataan tiedonkerrontastrategiaksi. Noviisin