• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGHAYATAN KEHIDUPAN SEKSUALITAS BIARAWATI YANG SUDAH KAUL KEKAL STUDI FENOMENOLOGI SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGHAYATAN KEHIDUPAN SEKSUALITAS BIARAWATI YANG SUDAH KAUL KEKAL STUDI FENOMENOLOGI SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENGHAYATAN KEHIDUPAN SEKSUALITAS BIARAWATI YANG SUDAH KAUL KEKAL

STUDI FENOMENOLOGI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Disusun oleh: Febri Sari Silalahi

NIM: 101114082

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Kekahwatiran Merupakan Penyalahgunaan

Imajinasi...

^^Hakuna Matata..

Akan datang suatu hari

bahwa pagar tembokmu

akan dibangun kembali;

pada hari itulah perbatasanmu

akan diperluas...

(Mikha 7 : 11)

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

Tuhan Yesus Kristus

Orangtuaku tercinta

Program Studi Bimbingan dan Konseling USD

(5)
(6)
(7)

vii

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana biarawati yang sudah melewati kaul kekal menghayati kehidupan seksualitasnya. penelitian ini membahas mengenai cara penghayatan seksualitas biarawati dalam berbagai kondisi. Seksualitas dalam penelitian ini khusus membahas tentang bagaimana biarawati membangun hubungan dengan teman lawan jenis.

Penelitian ini menggunakan studi fenomenologi. Penelitian studi fenemenologi merupakan jenis penelitian kualitatif. Studi fenomenologi adalah suatu penelitian dengan mencari sesuatu yang mendalam untuk mendapatkan satu pemahaman yang mendetail tentang fenomena yang diteliti, dan menggunakan lebih dari satu subyek. Konsep utama dalam fenomenologi adalah makna. Makna merupakan isi penting yang muncul dari pengalaman kesadaran manusia. Hal itu karena studi fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filosofis untuk menyelidiki pengalaman manusia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara secara mendalam yang didukung oleh observasi. Analisis data yang dilakukan dibantu oleh proses reduksi data dan pengkodean. Untuk mengukur validitas penelitian ini, peneliti menggunakan teknik trianggulasi dimana peneliti melakukan wawancara dengan beberapa pihak terkait dengan subjek.

(8)

viii ABSTRACT

PHENOMENOLOGICAL RESEARCH ON

THE NUNS’ SEXUAL LIVES COMPREHENSION WHO HAVE

DECLARED THE VOW

Febri Sari Silalahi Universitas Sanata Dharma

2014

The aim of this research is to know how the nuns who have declared their vows live their sexual lives. This research discussed about the comprehension

ways of the nuns’ sexual in whole condition. The sexual in this research notably

discussed about how the nuns keep in touch with the males.

This research is focused on phenomenological research. Phenomenological research is a type of a qualitative inquiry. Phenomenological approach is used to illuminate deep information and get detailed perception about the phenomena that are being observed by involving more than one participant. The main concept of phenomenological approach is the meaning. Meaning is an important point which emerges the experiences from the individual’s perspective. Therefore, phenomenological study is a philosophical approach to investigate mankind’s experience. The method used in this research was an in depth interview and observation. The data analysis technique was assisted by reducing and coding process. To measure the validity of this research, the researcher used triangulation technique by interviewing the relevant participants.

The result of this research showed that in living their sexual lives, the nuns generally hold the keystone principle that God created the mankind to befriend other people. In human relationship, particularly the relationship between males and females, sexuality is definitely involved. The participants in this research are able to restrain themselves when they keep in touch with other people, especially males. The participants also have the right ways to manage themselves when they encounter a problem in controlling their sexual encouragements which against the

God’s words. The participants also found the appropriate ways, for instances,

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas pertolongan, hikmat, dan penyertaanNya dalam persiapan, pelaksanaan serta penyelesaian laporan penelitian dalam bentuk skripsi ini.

Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan dari program studi Bimbingan dan Konseling, Jurusan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Penulis menyadari bahwa terselesainya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:

1. Dr. Gendon Barus, M.Si., sebagai Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma.

2. Drs. Budi Sarwono, M.A selaku dosen pembimbing yang dengan sabar dan tulus telah memberikan waktu, motivasi, masukan, dan banyak pembelajaran berharga kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

3. Bapak dan Ibu Dosen di Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan yang berguna bagi penulis.

4. Suster yang bersedia meluangkan waktu untuk menjadi subjek dalam penelitian ini.

(10)
(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………..…... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……….…... . ii

HALAMAN PENGESAHAN……….……….. . iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN……….….. . iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………..…... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA...…... vi

ABSTRAK………. . vii

ABSTRACK………...……….…... viii

KATA PENGANTAR……….…... ix

DAFTAR ISI……….. . xi

DAFTAR TABEL………... xiv

DAFTAR LAMPIRAN……….. xv

BAB I PENDAHULUAN……….. 1

A. Latar Belakang Masalah……….. 1

B. Rumusan Masalah………... 3

C. Tujuan Penelitian……….….... 3

D. Manfaat Penelitian………... 3

E. Batasan Istilah……….……... 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA... 5

A. Hakikat Seksualitas... 5

(12)

xii

2. Perkembangan Psikoseksual... 7

3. Aspek-aspek dalam Seksualitas... 9

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Seksualitas... 12

5. Model Menghadapi Dorongan Seksual... 14

B. Biarawati... 16

1. Pengertian Biarawati... 16

2. Kaul Kemurnian... 17

3. Kaul Kemurnian dan Seksualitas... 19

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 20

A. Desain/Jenis Penelitian... 20

B. Subjek Penelitian... 21

C. Tehnik Pengumpulan Data... 22

D. Tahap-tahap Penelitian ... 26

E. Analisis Data... 25

F. Validitas Penelitian... 27

BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN... 29

A. Pelaksanaan Penelitian... 29

B. Subjek I... 32

C. Subjek II... 37

D. Penghayatan Seksualitas Subjek I dan Subjek II... 42

1. Emosi... 42

2. Sosial... 45

(13)

xiii

4. Spiritual... 50

5. Represi... 51

6. Supresi... 54

7. Sublimasi... 54

8. Gratifikasi, pelampiasan... 56

9. Integrasi... 58

E. Trianggulasi Teori... 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 60

A. Kesimpulan... 60

B. Saran... 61

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Panduan Wawancara... 23 Tabel 2. Agenda pertemuan peneliti dengan subjek I, subjek II,

dan informan...

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan ini dipaparkan latar belakang masalah yang mendeskripsikan mengenai fenomena yang terjadi di lapangan. Selain itu pada bab ini juga dideskripsikan mengenai perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan batasan istilah.

A.Latar Belakang Masalah

Seksualitas adalah bagian dari hidup kita sebagai manusia. Seksualitas menyangkut bagaimana kita menerima diri kita sebagai perempuan atau laki-laki, bagaimana kita berfikir tentang api hidup dalam diri kita yang menggerakkan kita untuk berelasi dengan orang lain, bagaimana kita membangun komunikasi dengan diri sendiri, orang lain, alam semesta dan Tuhan, bagaimana kita membangun keakraban dengan orang lain. Ketika para biarawati atau “suster” memutuskan

untuk hidup selibat/tidak menikah, berarti mereka juga sudah memlih cara mereka dalam menghayati seksualitasnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa keputusan menjadi seorang biarawati tidak terlepas dari nilai-nilai religi agama Katholik.

(17)

terjadi adalah terdapat beberapa suster yang keluar dengan alasan tertentu. Tentunya tidak dipungkiri bahwa sebagian dari alasan mereka berkenaan dengan seksualitas, khususnya hubungan dengan teman lawan jenis.

Dalam perjalanan kesetiaan menjadi biarawati/”suster” akan selalu ada tantangan yang memungkinkan untuk melepaskan kesetiaannya. Penghayatan seksual menjadi salah satu alasan meninggalkan kesetiaan seorang biarawati, yang artinya juga melanggar kaul kemurnian dalam ajaran Katholik. Dalam kaitannya dengan seksualitas, faktor psikologis (intern) dan kematangan afeksi dapat juga sebagai pendorong kematangan seksual. Semakin seseorang mampu mengontrol emosionalnya maka semakin besar kemungkinan baginya untuk mengatur dorongan seksualnya. Kematangan afeksi sangat dipengaruhi oleh sejumlah memori pengalaman masa lalunya. Bila seseorang memiliki kematangan masa lalu yang tidak bahagia, ada kemungkinan dia mencari sublimasi ketenangannya melalui seksual. Selanjutnya adalah faktor globalisasi. Globalisasi merupakan sistem peradapan penyeragaman nilai-nilai. Ada kecenderungan di jaman ini bahwa sesuatu dianggap bernilai bila sesuatu itu menyenangkan, membahagiakan, hedonis, materialis, dan memiliki banyak uang.

(18)

penelitian ini akan dideskripsikan bagaimana biarawati menghayati kehidupan seksualitasnya. Di dalam nya akan mencakup pengalaman pribadi dan pengelolaannya.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan dijawab adalah sebagai berikut: Bagaimana biarawati yang sudah melewati kaul kekal menghayati kehidupan seksualitasnya?

C.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana biarawati yang sudah melewati kaul kekal menghayati kehidupan seksualitasnya.

D.Manfaat Penelitian

1. Manfaat praktis

a. Para selibater (biarawati/biarawan)

1) Bermanfaat sebagai informasi bagaimana biarawati menghayati kehidupan seksualitasnya sehingga mampu bertahan menghidupi panggilan sebagai seorang suster

2) Bermanfaat sebagai materi dalam kegiatan aksi panggilan

3) Bermanfaat bagi para formator dalam mempersiapkan calon-calon biarawati

b. Orang awam

(19)

2. Manfaat teoritis

Manfaat teoritis dalam penelitian ini adalah memberikan sumber informasi dan sumbangan bagi pengembangan pengetahuan di bidang BK, khususnya tentang bagaimana seseorang mampu menghayati dan mengelola kehidupan seksialitasnya tanpa harus menikah.

E.Batasan Istilah

1. Seksualitas

Seksualitas adalah sebuah bentuk perilaku yang didasari oleh faktor fisiologis tubuh. Seksualitas diekspresikan melalui interaksi dan hubungan antar individu dari jenis kelamin yang berbeda dan mencakup pikiran, pengalaman, pelajaran, ideal, nilai, dan emosi.

2. Biarawati

Biarawati adalah perempuan yang terpanggil secara khusus memfokuskan hidupnya demi nilai-nilai kerajaan Allah yang diperjuangkan, dihayati, dan diwujudkan di dalam tata kehidupan masyarakat.

3. Penghayatan Kehidupan Seksual

(20)

5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.Hakikat Seksualitas

1. Pengertian Seksualitas

Suparno (2007:18) dalam bukunya yang berjudul “Seksualitas Kaum

Berjubah” menulis, beberapa orang memang mengartikan seksualitas secara

sempit. Seksualitas diartikan sebagai seks yang terbatas sebagai alat kelamin, unsur biologis dari diri manusia, dengan segala hormon dan dorongan kuat yang terkait. Beberapa orang jika mendengar kata seksualitas pada umumnya langsung berpikir tentang tubuh telanjang, adegan ranjang, dan senggama. Padahal seksualitas punya makna yang lebih luas dan mendalam daripada yang mereka mengerti di atas.

(21)

Rolheiser (dalam Suparno 2007:19) mendefinisikan seksualitas sebagai

“energi yang indah, baik, sangat kuat, dan suci, yang diberikan oleh Tuhan dan

dialami dalam seluruh hidup kita, sebagai suatu dorongan yang tidak dapat ditekan, yang mendorong orang untuk mengatasi ketidaklengkapan, menuju kesatuan yang utuh. Seksualitas adalah energi dalam diri kita, yang mendorong kita untuk dapat mencintai, berkomunikasi, membangun persahabatan, gembira, mempunyai afeksi, compassion, membangun intimacy, dan berelasi dengan diri sendiri, orang lain, alam, dan Tuhan.”

Menurut Rolheiser (dalam Suparno 2007:19) energi itu adalah energi untuk mencintai, memperhatikan, membangun relasi dengan orang lain, memberikan hidup kepada orang lain. Ferder dan Heagle (2002:19) mengungkapkan “seksualitas sebagai keseluruhan energi untuk menjadi hidup dan membangun relasi”.

Secara umum, seksualitas merupakan energi yang membuat kita menjadi manusia secara utuh. Termasuk di dalamnya, tentu tubuh kita, pengertian dan penerimaan kita tentang diri kita sendiri. selain itu termasuk juga di dalamnya bagaimana kita mengembangkan perasaan, bagaimana kita hidup bersama orang lain, bagaimana kita bertindak dan menilai sesuatu, dan bagaimana kita bersikap dan membangun relasi dengan orang lain, Tuhan sendiri, dan alam semesta.

(22)

penuh kasih sayang menyuapi seorang nenek yang sakit keras karena kanker; pada seorang imam yang dapat sungguh mendengarkan dengan hati keluhan umatnya sehingga umat disegarkan dan dihidupkan. Seksualitas juga dapat dilihat pada seorang dirigen musik yang setelah kerja keras melatih kelompok musik, dapat menikmati alunan musik teman-temannya; pada seorang seniman yang memandang lukisannya begitu indah setelah berhari-hari serius melukisnya. Seksualitas dapat pula dialami pada seorang bruder yang sedang hening di pegunungan menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan.

2. Perkembangan Psikoseksual

Perkembangan psikoseksual menunjukkan perkembangan psikologis seseorang yang dipengaruhi oleh faktor perkembangan seksualnya yang didorong oleh perkembangan tubuh. Menurut Delamater & Friedrich dan Herder & Heagle, (Suparno 2007) manusia adalah mahluk seksual dalam seluruh perjalanan hidupnya, sejak dari kandungan ibu sampai dengan mati. a. Masa Kanak-kanak ( Dari Lahir sampai 7 tahun)

(23)

Pada umur sekitar 1,5 sampai 5 tahun, anak menemukan identitas gendernya, identitas bahwa dirinya adalah laki-laki atau perempuan. Pada masa selanjutnya, sekitar umur taman kanak-kanak sampai pubertas, terjadi beberapa perkembangan. Yang sangat menonjol adalah perkembangan sosialisasi psikoseksual. Dari segi fisik, alat kelamin anak berkembang biasa, mereka sadar akan kelaminnya, dan merasakan bahwa alat kelamin itu khusus, dan mereka menutupi alat kelaminnya. Mereka saling belajar mengenali kelaminnya dari teman bermain. Perkembangan seksual mereka menyebabkan mereka saling berkaitan, saling berelasi, dan bersosialisasi. b. Masa Remaja (Dari Pubertas sampai 19 tahun)

Masa ini dibedakan antara masa umur 8-12 tahun dan 13-19 tahun. Pada umur 8-12 tahun banyak anak mulai bergaul terpisah. Anak laki-laki bermain dengan anak laki-laki dan anak perempuan bermain dengan anak perempuan. Mereka lebih belajar mengenal dirinya sendiri lebih mendalam, termasuk mengenal identitas gender lewat teman sejenis. Pada umur 13-19, mereka mulai mau bergaul lagi dengan lawan jenis, mau saling kenal, bahkan membangun relasi lebih dalam. Biasanya anak perempuan menjadi matang dan dewasa lebih cepat dari laki-laki dalam hal ini.

c. Masa dewasa

(24)

cita-cita dan impian yang tinggi tentang hidup, keluarga, ataupun pekerjaan yang dipikirkan. Semangat dan pikiran mereka masih sangat kuat, fisik mereka juga masih prima sehingga banyak idealism muncul pada masa-masa ini.

Pada masa dewasa tengah (40-60 tahun) orang sudah dapat melihat dengan jelas dan real, apakah semua pilihan, idaman, impian yang dicita-citakan sebelumnya itu sungguh dapat terlaksana. Mereka dapat melihat situasi yang nyata dari hidup mereka. Mereka mulai sadar akan keterbatasan, kegagalan, dan keberhasilan yang dialami.

Masa dewasa lanjut (60 tahun ke atas) ditandai dengan mulai melemah dan mundurnya daya fisik orang. Mulai muncul tanda-tanda sakit, mudah loyo, merasa lemah, merasa sudah tua, mulai banyak berhubungan dengan rumah sakit, atau obat-obatan. Untuk beberapa orang, situasi ini sulit diterima sehingga menimbulkan krisis usia lanjut.

3. Aspek-aspek dalam Seksualitas

Ferder dan Heagle (dalam Suparno 2007:33) menjelaskan adanya enam aspek dalam seksualitas yang ada dalam diri manusia yang perlu dikembangkan secara seimbang.

a. Aspek Emosi

(25)

dan relasi kita dengan orang lain, masuk dalam kategori ini. Gohm dan Clore (dalam Safaria & Saputra, 2012) mengatakan bahwa emosi positif memberikan dampak yang menyenangkan dan menenangkan. Macam dari emosi positif ini seperti tenang, santai, rileks, gembira, lucu, haru dan senang. Ketika seseorang merasakan emosi positif ini, seseorang akan merasakan keadaan psikologis yang positif. Termasuk ketika mengalami jatuh cinta.

Sunarto (dalam Sobur 2003:421) mengungkapkan bahwa kebutuhan yang nyata akan cinta telah menimbulkan pandangan bahwa persyaratan bagi perkembangan manusia seutuhnya adalah sedemikian mendasarnya sehingga terkait dengan kebutuhan biologis dan harus dinamakan instincoid yaitu, menyerupai naluri. Dalam membangun hubungan dan mengekspresikan rasa cinta tentunya diperlukan keterbukaan dan dialog. Dialog termasuk dalam langkah persiapan pengambilan keputusan oleh karena setiap putusan yang menyangkut hidup bersama diletakkan dalam kerangka saling mendengarkan, saling terbuka dan saling percaya, Ridick (1987:182).

b. Aspek Sosial

(26)

dan diterima, untuk komunikasi timbal balik, untuk mencintai dan dicintai, untuk mengenal dan dikenal, untuk memperhatikan orang lain, kita membutuhkan orang lain bahkan untuk perkembangan pribadi kita (Ridick, 1987:72)

c. Aspek Moral

Menurut Ferder dan Heagle (dalam Suparno 2007) aspek moral menyangkut kemampuan untuk menilai tingkah laku dan tindakan kita yang perlu dalam integrasi seksual, bagaimana menjaga keseimbangan dalam mengekspresikan energi seksual secara baik, hormat, memperkaya, dan menyempurnakan. Dalam pemahaman moral yang lebih dinamis, tidak cukup berhenti pada tindakan, melainkan perlu juga meliputi jangkauan yang lebih jauh, yakni sifat atau sikap pribadi manusia itu sendiri, termasuk ketakutan akan Tuhan (Go, 2007: 133, 135).

(27)

d. Aspek Spiritual

Menyadari relasi kita dengan Tuhan dalam kedirian kita yang berseksual; bagaimana kita menjadi sadar bahwa seksualitas tidak bertentangan dengan spiritualitas, tetapi justru saling membantu dan menguatkan; bagaimana menyadari kehadiran Tuhan dalam misteri seksual dalam diri kita merupakan bagian dari spiritualitas Ferder dan Heagle (dalam Suparno 2007). Kehidupan spiritual dapat membantu dalam merenungkan dan mempertimbangkan sesuatu. Kita dapat menilai, mengevaluasi, dan membuat abstraksi dan melampaui keterbatasan diri kita sendiri, (Ridick 1987: 47).

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Seksualitas

McClone (dalam, Suparno 2007:35) menyebutkan adanya 4 faktor-faktor yang perlu diperhatikan sehingga kita semakin tahu betapa kompleksnya seksualitas manusia.

a. Chronological sex

Lebih berkaitan dengan fisik biologis. Unsur yang menentukan apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan dalam hal ini adalah kromosom, genes, dan biologisnya karena kromosom X dan X, orang menjadi perempuan; karena X dan Y, orang secara fisik menjadi laki-laki. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan yang berbeda.

b. Identitas Gender

(28)

perbedaan dengan yang lain, menyadari bahwa berbeda, dan akhirnya memang merasakan menjadi lain, menjadi laki-laki atau perempuan. Pencarian identitas gender ini terus berkembang baik secara fisik, psikis, dan nantinya juga sosial

c. Peran sosial gender

Menjadi laki-laki dan perempuan ternyata dipengaruhi oleh peran yang diharapkan dari masyarakat tentang laki-laki atau perempuan. Budaya, keluarga, dan masyarakat tertentu, mengharapkan peran tertentu dari laki-laki dan perempuan. Kita dibentuk lewat peran itu pula. Banyak stereotype dibuat, misalnya laki-laki itu kuat, berpikir, sedangkan perempuan itu mencinta, penuh kasih.

d. Orientasi seksual

(29)

5. Model Menghadapi Dorongan Seksual

Kraft (dalam, Suparno 2007:83) menjelaskan adanya 5 model orang menghadapi dorongan seksual dalam dirinya, yakni:

a. Represi

Kraft (dalam, Suparno 2007) mengatakan secara sederhana, dengan represi orang mengesampingkan pengalaman seksual dari kesadarannya dengan cara menekan perasaan seksual yang ada, seakan-akan tidak terjadi dalam dirinya. Mencoba tidak menyadari akan pengalaman itu. Berbeda dengan Puspitorini (2002: 372) yang berpendapat bahwa represi adalah proses mental yang disadari, dibuat menjadi tidak disadari.

Sobur (2009: 426) mengatakan pengalaman seksual yang muncul dalam diri individu sendiri tidak harus diatasi dengan melakukan represi. Adanya unsur penilaian biasanya menimbulkan suatu kehendak dalam kesadaran seorang individu. Kehendak itu bisa positif yang artinya, individu tersebut ingin mendapatkan hal yang dirasakannya sebagai suatu yang akan memberikan kenikmatan padanya. Misalnya melakukan komunikasi.

b. Supresi

Kraft (dalam, Suparno 2007) mengatakan bahwa supresi seperti

represi, tetapi dengan kesadaran dan pilihan. Orang mengatakan “TIDAK”

pada sesuatu yang sebenarnya “YA”. Misalnya, seorang suster tidak mau

(30)

Keputusan-keputusan hati nurani seringkali menggunakan istilah

“seharusnya”. Maksudnya, keputusan-keputusan itu berupa

pernyataan-pernyataan dalam keadaan konkret, “seharusnya kita bertindak dengan cara lain dan tidak menempuh cara itu”, (Chang 2001: 134-135)

c. Sublimasi

Sublimasi adalah tindakan mengarahkan dorongan seksual kepada suatu tindakan atau kegiatan yang lain, misalnya kerja, karya sosial, seni, dan sebagainya. Biasanya tindakan itu dibuat karena bertentangan dengan nilai yang mau dikejar. Banyak religius melakukan sublimasi dorongan seksual mereka dengan giat melakukan kerasulan, membantu orang lain, melakukan karya seni, olahraga, membangun relasi, dan sebagainnya (Kraft dalam, Suparno 2007) .

Ahli lain berpendapat bahwa sublimasi merupakan naluri seksual yang terjadi akibat ketegangan. Tujuan keinginan seksual adalah menghilangkan ketegangan yang menyakitkan, maka kepuasan seksual terletak pada keberhasilannya menghilangkan ketegangan tersebut (Freud, dalam Sobur 2009: 420).

d. Grafikasi, pelampiasan

(31)

secara menyeluruh. Dengan mengungkapkan dorongan seks terhadap orang lain dalam sanggama, dapat saling mengancam dan menakutkan satu sama lain karena hanya melihat semuanya secara fisik, tanpa keutuhan pribadi. Menurut Ridick (1987: 126) hal ini akan mengurangi keluhuran pribadi seseorang. Imam-imam Kristus akan selalu mendapatkan kegembiraan dan kekuatan baru bila tiap hari mereka mau mendalami motivasi hidupnya dalam doa dan meditasi.

e. Integrasi

Menurut Kraft (dalam, Suparno 2007:83), supresi dan sublimasi penting dan perlu, dan ini merupakan cara psikologis menghadapi dorongan seksual. Namun, tetap ada kelemahannya, yaitu tetap memandang dorongan seksual atau genitalia secara fisik saja, padahal genitalia mempunyai segi lain yang perlu diperhatikan pula. Daripada melihat seks sebagai musuh atau halangan untuk hidup religius, lebih baik mengalami seks sebagai teman yang membantu menghidupi cinta dalam selibat.

B.Biarawati

1. Pengertian Biarawati

(32)

perempuan yang tergabung dalam suatu tarekat atau ordo religius. Di Indonesia para biarawati biasanya dipanggil suster (Belanda: zuster, saudara perempuan).

Para suster biasanya bekerja di bidang pendidikan (formal dan nonformal), kesehatan, dan pelayanan sosial di lingkungan gereja atau masyarakat umum seperti suster-suster CB, SSPS, JMJ, SMSJ, SND, PRR, dan sebagainya. Ada juga pada beberapa tarekat religius biarawati yang mengkhususkan kepada pelayanan religius melalui doa (dalam gereja Katolik dikenal dengan biara suster kontemplatif) seperti suster-suster Ordo Karmel Tak Berkasut (OCD) dan Suster SSPS Adorasi Abadi.

2. Kaul Kemurnian

Arti kaul kemurnian adalah pengabdian kepada Allah dalam kesucian yang sempurna dengan niat yang tetap utuh dalam pikiran dan badan. Oleh karena itu, kaul kemurnian menuntut suatu keutuhan yang permanen dalam pikiran, hati, dan tubuh demi kerajaan Allah (Darminta 2004: 44).

a. Dasar Kaul Kemurnian

Inspirasi mengenai penyerahan pikiran, hati, dan tubuh demi kerajaan Allah diperoleh dari cara hidup Yesus, Maria, dan para rasul Yesus. Selain itu, inspirasi juga diperoleh dari ayat-ayat Injil. Yesus bersabda, “Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena

(33)

Kerajaan Allah yang diperjuangkan untuk dihayati dan diwujudkan dalam tata kehidupan masyarakat memiliki jalan masing-masing sesuai dengan sabda Yesus yang telah dipaparkan.

b. Dimensi-dimensi Kaul Kemurnian

Kaul kemurnian tidak hanya menekankan sudut fisik semata. Terdapat beberapa dimensi kaul keperawanan. Pertama, dimensi pneumatis. Hidup selibat adalah undangan untuk mengikuti Yesus. Hal itu merupakan karunia Allah. Seseorang tidak dapat hidup selibat dengan bebas jika tidak membuka diri terhadap rahmat Allah. Dalam menjalankannya pun, Roh Kudus selalu menjadi penguat dan pendorong. Kedua, dimensi mistik. Hidup selibat adalah suatu hidup yang senantiasa dilaksanakan dalam relasi yang mendalam dengan Allah. Relasi dengan yang transenden itu dapat dilakukan melalui doa. Jadi, kaul keperawanan itu bukan hanya sekadar suatu cara hidup praktis.

(34)

mempersembahkan seluruh hidup dan cintanya hanya bagi kemuliaan Tuhan dan kebaikan manusia

3. Kaul Kemurnian dan Seksualitas

Dalam menghayati kaul kemurnian, seorang selibater dituntut untuk menyerahkan diri secara utuh. Kenyataan itu menunjukkan bahwa kaul kemurnian berkaitan erat dengan seksualitas manusia. Konsekuensi dari kenyataan itu adalah bahwa seksualitas tidak dapat dipisahkan dari penghayatan kaul kemurnian. Dengan kata lain, penerimaan seksualitas menjadi penting dalam penghayatan kaul kemurnian.

(35)

20 BAB III

METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan uraian tentang desain/jenis penelitian, subjek penelitian, tehnik pengumpulan data, tahap-tahap penelitian, analisis data, dan validitas penelitian.

A.Desain/ Jenis Penelitian

Penelitian studi fenemenologi merupakan jenis penelitian kualitatif. Studi fenomenologi adalah suatu penelitian dengan mencari sesuatu yang mendalam untuk mendapatkan satu pemahaman yang mendetail tentang fenomena sosial dan pendidikan yang diteliti, dan menggunakan lebih dari satu subyek. Penelitian fenomenologi melibatkan pengujian yang teliti dan seksama pada kesadaran

pengalaman manusia. Konsep utama dalam fenomenologi adalah makna. Makna

merupakan isi penting yang muncul dari pengalaman kesadaran manusia. Hal itu

karena studi fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filosofis untuk menyelidiki

pengalaman manusia.

(36)

notabene menjalani kehidupan selibat. Penelitian ini juga akan mempelajari bagaimana biarawati merasakan dan mengalami kehidupan seksualitas dan bagaimana cara mengelolanya.

B.Subjek Penelitian

Subjek yang dipilih pada penelitian ini ialah dua orang biarawati yang sudah memasuki kaul kekal dan memiliki status mahasiswa. Alasan peneliti memilih subyek tersebut karena menurut peneliti biarawati yang memiliki kehidupan dan aktivitas di luar asrama tentu memiliki jangkauan sosial yang lebih luas. Termasuk di dalamnya hubungan dengan lawan jenis baik itu teman sekelas, kenalan dengan program studi yang lain, komunitas tertentu dan berbagai bentuk dinamika yang dapat memicu dorongan seksualitas yang lebih kompleks.

(37)

mengelola seksualitas sehingga mampu bertahan sampai memasuki masa kaul kekal.

C.Teknik Pengumpulan Data

Ada beberapa metode pengumpulan data pada peneltian kualitatif, yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi, Sugiyono (2010: 194). Penelitian ini sendiri menggunakan metode wawancara secara mendalam, dan observasi

1. Wawancara

(38)

Tabel 1. Panduan wawancara

NO ASPEK ITEM PERTANYAAN

1. Emosi a. Bagaimana cara anda mengelola perasaan tertarik terhadap teman lawan jenis?

b. Apa saja hambatan anda mengelola perasaan tersebut? c. Apa yang anda lakukan ketika tidak berhasil

mengelolanya?

2. Sosial a. Apakah anda adalah tipe yang mudah membuka diri dengan orang lain?

b. Apakah anda berelasi secara mendalam dengan oranglain?

c. Apakah anda dengan mudah membangun persahabatan dengan oranglain baik pria maupun wanita?

3. Moral Bagaimana anda mempertanggungjawabkan kepada kerabat maupun Sang Pencipta ketika anda tertarik pada teman lawan jenis?

4. Spiritual a. Bagaimana anda menyadari kehadiran Tuhan dalam misteri seksual dalam diri anda?

b. Sejauh mana anda memahami bahwa seksualitas tidak bertentangan dengan spiritualitas?

(39)

dan menganggap seakan-akan tidak terjadi dalam diri anda?

b. Bagaimana cara anda melakukannya? c. Apakah hal itu berhasil?

6. Supresi Pernahkah anda menolak dorongan seksual yang muncul dalam diri anda?

7. Sublimasi Hal apa saja yang anda lakukan untuk mengarahkan dorongan seksualitas kepada hal lain?

8. Gratifikasi, pelampiasan

a. Pernahkah anda mengalami dorongan seksual yang tidak bisa dikendalikan? (misalnya dalam hal fisik) b. Jika YA, apa grafikasi yang anda lakukan?

c. Jika TIDAK, bagaimana anda mengendalikannya? 9. Integrasi Daripada melihat seks sebagai musuh atau halangan untuk

hidup religius, apakah menurut anda tidak lebih baik mengalami seks sebagai teman yang membantu menghidupi cinta dalam kehidupan selibat?

2. Observasi

(40)

peneliti menggunakan jenis observasi partisipatif moderat dengan terlibat dalam kegiatan sehari-hari subjek. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh subjek dalam beberapa kegiatan. Dengan observasi pastisipan ini, maka data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam, dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap perilaku yang nampak. Dalam setiap observasi ini peneliti menyiapkan catatan lapangan untuk mencatat setiap perilaku dan proses kerja subjek sebagai sumber data. Catatan lapangan juga sering digunakan peneliti ketika dalam proses menjalankan teknik wawancara baik terstruktur maupun tidak terstruktur.

D.Analisis Data

Analisis data pada penelitian ini ialah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara dan catatan lapangan yang didapatkan melalui observasi secara langsung, sehingga mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan pada orang lain. Proses analisis data sendiri dimulai dari pembuatan verbatim melalui rekaman wawancara, reduksi data,

(41)

peneliti. Selanjutnya peneliti membuat analisis berdasarkan data yang sudah ada, dan menyajikannya dalam bentuk teks deskriptif. Berikut ini merupakan prosedur kerja reduksi data dan coding dalam membantu analisis penelitian ini:

1. Reduksi Data

Dalam reduksi data peneliti mengidentifikasi adanya satuan yaitu bagian terkecil yang ditemukan dalam data yang memiliki makna bila dikaitkan dengan fokus dan masalah penelitian (Moleong, 2009: 288). Setelah itu peneliti mulai memilah-milah hal penting, merangkum data, mencari pola atau tema dan membuang data-data yang tidak perlu

2. Pengkodean/Coding

Pengkodean/coding yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengkodean terbuka/open coding (Strauss & Corbin, 2003: 56). Pengkodean terbuka merupakan bagian dari analisis yang terutama berkaitan dengan pemberian nama dan pengelompokan fenomena melalui pemeriksaan data yang cermat. Dalam penelitian ini hanya ada dua prosedur yang digunakan oleh peneliti yaitu:

a. Pelabelan Fenomena

(42)

& Corbin, 2003: 57). Peneliti menggunakan kode yang sesuai dengan hasil lapangan baik wawancara maupun observasi.

b. Variasi cara pengkodean terbuka

Terdapat beberapa cara pendekatan terhadap proses pengkodean terbuka yaitu, analisis dengan pengkodean baris per baris, per kalimat atau paragraf, dan analisis dengan pengkodean yang menggunakan seluruh dokumen, pengamatan, atau wawancara. Penelitian ini sendiri menggunakan analisis dengan pengkodean kalimat per kalimat atau paragraf. Peneliti menentukan gagasan utama yang terkandung dalam kalimat atau paragraf dari wawancara dan catatan lapangan dan memberikannya nama/kode. Selanjutnya dilakukan analisis yang lebih rinci melalui pengkodean yang telah dibuat oleh peneliti (Strauss & Corbin, 2003: 69-70).

E.Validitas Penelitian

(43)

dengan teknik yang sama. Data diperoleh dari beberapa pihak yang terkait dengan subjek.

Trianggulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Patton, dalam Moleong, 2009: 330-331). Hal itu dapat dicapai dengan jalan, Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi, dan membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan

(44)

29

BAB IV

LAPORAN HASIL PENELITIAN

Bab ini berisi tentang pelaksaaan penelitian, dan informasi-informasi yang telah diperoleh di lapangan sebagai hasil studi fenomenologi dengan metode seperti yang telah dijelaskan pada sebelumnya. Informasi diperoleh langsung dari subjek dan dari pihak terkait. Penulis berusaha mendalami tentang keadaan subjek. Berkaitan dengan kode etik maka nama Subjek dalam studi kasus ini merupakan nama samaran, selain itu beberapa informasi juga disamarkan agar identitas klien tidak diketahui.

A.Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian dengan Subjek I dimulai pada hari kamis, tanggal 22 Mei 2014 dengan datang ke Biara tempat tinggal subjek I. Peneliti mempersiapkan pedoman wawancara, perekam suara berupa handphone dan surat persetujuan untuk menjadi subjek. Penelitian terus berlanjut sampai pada akhir bulan Juni, sedangkan penelitian dengan Subjek II dimulai pada tanggal 2 Juni 2014. Peneliti mempersiapkan hal yang sama ketika melakukan penelitian kepada Subjek I. Penelitian dengan Subjek II masih terus berlanjut sampai pada bulan Juli karena peneliti mengalami kesulitan untuk bertemu dengan Subjek II. Penyebabnya adalah kesibukan dari Subjek II berkaitan dengan tugas kuliah maupun tugas kongregasi yang tidak bisa ditinggalkan oleh Subjek II.

(45)

komunikasi, maupun bertemu langsung. Melalui kedua subjek pula peneliti mendapatkan informan untuk data trianggulasi dalam studi fenomenologi ini. Peneliti mendapat informasi berkenaan tentang seksualitas subjek dari teman se-Kongregasi dan teman kuliah kedua Subjek. Berikut agenda pertemuan peneliti dengan Subjek I, Subjek II, dan Informan terkait:

Tabel 2. Agenda pertemuan peneliti dengan subjek I, subjek II, dan informan

SUBJEK 1

No. Hari/Tanggal Kegiatan Keterangan

1. Kamis, 22 Mei 2014

Wawancara Kegiatan Subjek I di Biara, kegiatan suster sebagai mahasiswa

2. Sabtu, 24 Mei 2014

Wawancara Pandangan Subjek I mengenai seksualitas

Menggali Informasi Kesulitan manajemen waktu antara tugas kuliah dengan tugas

Menggali Informasi a. Gesekan antara sesama suster b. Tidak adanya dukungan dari

sesama teman kongregasi 7. Selasa, 24 Juni

2014

Observasi Mengikuti kegiatan suster dari pagi sampai menjelang malam 8. Jumat, 27 Juni

2014

Wawancara a. Latar belakang kehidupan keluarga

(46)

c. Pertumbuhan jasmani dan

Menggali informasi Sharing kehidupannya bersama Tuhan

2. Kamis, 12 Juni 2014

Menggali informasi Latar belakang kehidupan keluarga

3. Senin, 16 Juni 2014

(47)

B.Subjek I

1. Penghimpunan Data Subjek I

Nama : Suster Mary (nama samaran)

Tempat/Tanggal Lahir : Jawa Tengah, 29 Juli 1982

Usia : 32

Jenis Kelamin : Perempuan Alamat Rumah : Jawa Tengah Alamat Sekarang : Yogyakarta

Penampilan Fisik : Tinggi, kulit sawo matang, mata sipit, kurus Penampilan Psikis : Tenang, cuek, perfeksionis, tegas

Sumber Informasi : Subjek, teman se-Kongregasi dan teman kuliah suster Mary

2. Sejarah kebiarawatian subjek 1

(48)

Pengalaman suster Mary tersebut menghantarkannya pada keputusan menjadi seorang suster. Begitu banyak tantangan yang dihadapi suster Mary untuk menjadi seorang suster ketika itu, termasuk hubungan dengan teman lawan jenis. Akan tetapi seiring berjalannya waktu suster Mary mulai memahami bahwa pengalaman masa kecilnya bukanlah sebuah kebetulan. Saat ini suster Mary menyadari bahwa menjadi suster adalah sebuah panggilan dari Tuhan Allah sendiri yang memintanya untuk menyerahkan diri sepenuhnya dalam pelayanan Tuhan.

3. Analisis Data Subjek I

a. Latar belakang kehidupan keluarga

Latar belakang keluarga suster Mary cukup kompleks jika dikaitkan dengan perannya sebagai seorang suster saat ini. Berikut kutipan langsung latar belakang keluarga suster Mary pada saat wawancara tanggal 27 Juni 2014 tepatnya pada hari jumat dengan peneliti:

(49)

lalu yang 3 masuk muslim sekarang masuk lagi ke Katholik, karena dasarnya memang bapak ibu demokratis” (SrM-W4).

Perbedaan agama dalam keluarga besar tidak membuat perselisihan dalam keluarga suster Mary. Sesuai pengakuannya keluarga mereka termasuk keluarga yang harmonis. Di luar itu semua, keluarga suster Mary adalah keluarga yang disiplin dan sangat memperhatikan pendidikan. Keluarga akan mengusahakan banyak hal agar semua dapat mendapatkan pendidikan yang sama. Didikan disiplin seperti itulah yang membuat suster Mary terbentuk sebagai pribadi yang perfeksionis, idealis dan tegas.

b. Lingkungan fisik, sosio-ekonomi dan sosio kultural

Lingkungan daerah asal suster Mary termasuk golongan menengah dalam hal ekonomi karena suster Mary tinggal di daerah kota. Kebanyakan masyarakat di sana bekerja di pemerintahan setempat, berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah pinggiran kota, masyarakatnya bekerja sebagai buruh di pabrik rokok. Lingkungan sosialnya baik tidak ada saling menjatuhkan dan saling membantu. Sosio-kultural di daerah suster Mary kebanyakan asli suku Jawa. Tidak banyak pendatang yang tinggal di daerah mereka.

c. Pertumbuhan jasmani dan riwayat kesehatan

(50)

Peristiwa itu sendiri dipercaya sebuah gangguan dari mahluk halus yang meninginkan suster Mary untuk meninggal. Berikut kutipan langsung dari hasil wawancara tanggal 27 Juni 2014:

Peneliti : “Bagaimana riwayat kesehatan suster? Apakah suster pernah mengidap penyakit tertentu?” Subjek I : “Kalau sakit sih ga pernah, paling hanya batuk

pilek biasa.. tapi kalau hampir mati karena mahluk lain pernah waktu kecil.. saya dikira mengganggu daerah “mereka” begitu.. lalu kata orang pinter saya akan sembuh jika diberi bubur kacang merah, ibu saya siapkan dan lalu saya sembuh” (SrM-W4).

Pengalaman suster Mary tersebut tidak mempengaruhi kondisi kesehatannya sampai saat ini, baik itu dalam hal fisiologis maupun pskologis karena suster Mary tidak mengingat hal itu sebagai pengalaman yang menyakitkan sehingga hal itu tidak mempengaruhi perkembangan suster Mary hingga saat ini.

d. Perkembangan kognitif

(51)

menyampaikan pendapat dan mengungkapkan apa yang dipikirkannya sejak dia kecil walaupun notabene dia adalah orang yang cukup pendiam.

e. Perkembangan sosial dan status sosial sekarang ini

Perkembangan sosial suster Mary cukup menarik. Suster Mary merupakan tipe pribadi yang cukup mudah membangun hubungan dengan orang lain, namun suster Mary menjelaskan dia bukan tipe pribadi yang mau membangun relasi secara mendalam dengan orang lain kecuali keluarganya. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan hasil wawancara berkaitan dengan salah satu aspek sosial berikut:

Peneliti : “Apakah Sutser berelasi secara mendalam dengan orang lain, baik pria maupun wanita?” Subjek I : “Hmm.. saya ndak suka membangun relasi

terlalu mendalam.. saya ndak suka kemudian sahabat-sahabatan begitu ya..” (SrM-W3)

(52)

f. Ciri-ciri kepribadian

Suster Mary memiliki kepribadian yang baik. Dia dikenal sebagai pribadi yang cukup tenang. Baik itu dalam mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya, maupun mengatasi konflik yang terjadi dalam dirinya maupun lingkungannya sebagai suster yang juga mahasiswa. Suster Mary adalah pribadi yang cukup pendiam namun dia ramah kepada orang lain. Suster Mary tipe orang yang suka menghabiskan waktu sendirian dan menikmati emosi yang dalam dirinya. Akan tetapi dia cukup terbuka jika ada yang bertanya kepadanya meskipun itu termasuk hal yang sensitif pada umumnya.

C.Subjek II

1. Penghimpunan Data Subjek II

Nama : Suster Pia (nama samaran)

Tempat/Tanggal Lahir : Jawa Tengah, 26 November 1966

Usia : 48

Jenis Kelamin : Perempuan Alamat Rumah : Jawa Tengah Alamat Sekarang : Yogyakarta

Penampilan Fisik : Tinggi, putih, mata sipit, kurus Penampilan Psikis : Tenang, ramah, ceria

(53)

2. Sejarah kebiarawatian Subjek II

Suster Pia mengenal ajaran Katholik dari ibu kandungnya sendiri. Meskipun latar belakang ibu suster Pia dulunya adalah Khong Hu Chu, suster Pia menerima ajaran Katholik yang sangat baik. Pada tahun 1997 ibu suster Pia meninggal sebelum dibaptis. Hal itu sangat membuat suster Pia terpukul. Sejak saat itu suster Pia banyak mengikuti kegiatan pemuda di gereja Katholik. Dia berkata bahwa dia ingin mencari dan merasakan sendiri apa yang dicari oleh ibunya dulu di dalam gereja Katholik. Berikut kutipan hasil wawancara tidak terstruktur tanggl 12 Juni 2014:

Suster Pia: “Saya ingin mencari sendiri apa sih yang dialami? Apa sih yang dirasakan? Apa sih yang dicari ibu saya saat itu? Memang sayang ibu saya sudah dipanggil Tuhan sebelum dia di baptis. Padahal dia sudah berencana sejak lama” (SrP-Wtt1)

Mengikuti kegiatan di gereja membuat suster Pia berkenalan dengan banyak suster lain yang kemudian menjadi kerabatnya. Melihat kehidupan para suster, suster Pia berfikir untuk menjadi biarawati. Akhirnya suster Pia berencana dengan beberapa teman gereja untuk menjadi suster bersama-sama. Berikut kutipan wawancara tidak terstruktur tanggal 16 Juni 2014:

Suster Pia: “Awal pengen masuk suster itu janjian sama teman-teman di gereja.. supaya masuk ada temannya.. kan biar ga canggung tuh.”. (SrP-Wtt1)

(54)

hanya karena sebuah janji dengan teman-temannya. Suster Pia lebih memegang janjinya kepada Sang Pencipta karena dia percaya hal yang dialaminya bukanlah sebuah kebetualan, melainkan sebuah panggilan.

3. Analisis Data Subjek II

a. Latar belakang kehidupan keluarga

Suster Pia berasal dari keluarga Khong Hu Chu yang menolak ajaran Kristen khususnya Katholik. Suatu ketika ibu dari suster Pia bertemu dengan seorang teman yang mengajaknya ke gereja Katholik. Di mulai dari coba-coba, ibu suster Pia merasakan bahwa dia menemukan sesuatu yang berbeda dalam gereja. Sejak saat itu ibu suster Pia mulai mengenalkan ajaran Katholik kepada keluarganya, hal itu diterima dengan baik dan positif oleh anak dan juga suaminya.

(55)

b. Lingkungan fisik, sosio-ekonomi dan sosio kultural

Lingkungan daerah tempat tinggal suster Pia adalah tempat yang cukup ramai. Ayah suster Pia sendiri memiliki usaha bengkel motor. Di daerahnya banyak yang membuka usaha mandiri seperti toko, salon, loundry, termasuk bengkel. Melihat lingkungan fisik tempat tinggalnya, tentu sosio-ekonomi di sana termasuk baik, atau dalam arti mencukupi. Di daerah suster Pia penduduk aslinya adalah susku Jawa namun, banyak juga keluarga yang keturunan Cina. Suster Pia salah satu keluarga keturunan Cina. Akan tetapi kedekatan keluarga suster Pia dengan tetangga sekitarnya sangat baik. Misalnya dalam hal tukar-menukar makanan yang ada di rumah masing-masing. Masyarakat disana juga suka gotong-royong bersama membersihkan lingkungan tempat tinggal mereka, sehingga terjalin relasi yang sangat baik.

c. Pertumbuhan jasmani dan riwayat kesehatan

Sejak kecil suster Pia memiliki penyakit asma dan maag. Pada saat kelas 2 SD suster Pia sering dibawa ke rumah sakit untuk berobat. Tetapi dia belum mengerti kalau saat itu dia mengalami penyakit tersebut. Setelah dewasa baru suster Pia menyadari kalau dia memiliki penyakit asma dan maag. Berikut kutipan wawancara tanggal 1 Juli 2014:

(56)

ditumpuk-tumpuk apa ini bantalnya dan itu lega”. (SrP-W1)

Sampai saat ini suster Pia masih mengalami sakit asma dan maag tetapi kambuh hanya ketika suster Pia sedang stres karena sesuatu. Maag nya sendiri muncul ketika suster Pia tegang terhadap sesuatu.

d. Perkembangan kognitif

Perkembangan kognitif suster Pia sangat baik. Sejak kecil suster Pia termasuk anak yang cerdas. Di sekolah juga suster Pia termasuk anak yang berprestasi. Menurut suster Pia hal itu dipengaruhi oleh didikan orangtua di rumah. Meskipun orangtua suster Pia tidak selalu mengawasi ataupun menemani belajar, tetapi suster Pia diharuskan mendapat nilai baik. Sejak kecil suster Pia belajar mengerti bahwa kedua orangtuanya sibuk bekerja sehingga tidak waktu menemenainya belajar. Hal itu membuat suster Pia tumbuh menjadi pribadi yang mudah memahami orang dengan baik.

e. Perkembangan sosial dan status sosial sekarang ini

Perkembangan sosial suster Pia tidak banyak berubah meskipun statusnya sekarang adalah biarawati. Suster Pia termasuk pribadi yang disukai banyak orang karena sifatnya yang ramah, terbuka, dan ceria. Berikut kutipan wawancara tidak terstruktur tanggal 3 Juli 2014 dari salah satu teman sekelasnya di kampus:

(57)

juga rame mba.. soalnya dia suka ketawa.. hahaha..” (CBR-TKS2Wtt)

Suster Pia juga dikenal sebagai pribadi yang bertanggungjawab sehingga banyak teman-temannya yang suka bekerjasama dengannya. Hal itu karena pekerjaan akan terarah, cepat selesai, dan tepat waktu. Suster Pia juga suka mendengarkan teman-temannya yang ingin bercerita padanya. Pemahamannya tentang oranglain seringkali menolong ketika ada teman yang butuh pemecahan dalam masalahnya.

f. Ciri-ciri kepribadian

Dilatih dalam keluarga yang cukup keras, membuat suster Pia menjadi pribadi yang jujur, disiplin, dan bertanggungjawab. Akan tetapi suster Pia tetap lah pribadi yang rendah hati dan menyenangkan. Dia banyak mengerti keadaan orang lain. Suster Pia juga termasuk orang yang ringan tangan. Sebisa mungkin dia akan membantu orang yang meminta bantuan padanya. Karena dia memiliki prinsip, “kalau saya hidup karena bantuan

Tuhan, kenapa saya tidak mau membantu sesama saya?”.

D.Penghayatan Seksualitas Subjek I dan Subjek II

1. Emosi

(58)

mempunyai perasaan yang sehat terhadap orang lain. Menghayati semua emosi yang berkaitan dengan dirinya sebagai makhluk bergender dan relasinya dengan orang lain juga merupakan hal yang penting.

Berdasarkan hasil wawancara dengan dua biarawati yaitu suster Mary dan suster Pia, ditemukan dua pengalaman yang berbeda dalam menghayati seksualitas. Pengalaman yang dimaksud berkaitan dengan emosi positif, yaitu perasaan jatuh cinta kepada lawan jenis. Menurut suster Mary perasaan jatuh cinta dapat memberikan motivasi dalam kehidupannya. Hal itu membuat suster Mary lebih berani mengalami perasaan jatuh cinta kepada lawan jenis, karena dia menyadari kalau dia sedang jatuh cinta. Artinya suster Mary membebaskan perasaannya untuk menyukai teman lawan jenis. Hal itu dapat dilihat pada kutipan wawancara berikut:

Suster Mary : Tapi saya merasakan adalah perasaan jatuh cinta itu justru memberikan motivasi tersendiri bagi saya untuk ya terus berjuang terus berjalan begitu. Jadi hmm apa ya, saya memahami bahwa saat itu situasi saya sedang bahagia dan saya sadar bahwa saya jatuh cinta. (SrM-W2M)

Pernyataan suster Mary diatas menunjukkan bahwa emosi positif memberikan dampak yang menyenangkan dan menenangkan. Macam dari emosi positif ini seperti tenang, santai, rileks, gembira, dan senang. Ketika seseorang merasakan emosi positif ini, seseorang akan merasakan keadaan psikologis yang positif. (Gohm & Clore, 2002 dalam Safaria & Saputra, 2012).

(59)

menimbulkan pandangan bahwa persyaratan bagi perkembangan manusia seutuhnya adalah sedemikian mendasarnya sehingga terkait dengan kebutuhan biologis dan harus dinamakan instincoid yaitu, menyerupai naluri (Sunarto, dalam Sobur, 2003:421). Ketika dia merasa tertarik dengan teman lewan jenis, suster Pia seringkali mengaitkannya dengan kebutuhan fisik seperti menstruasi. Menurutnya, perubahan yang terjadi pada tubuh mempengaruhi perasaan kepada orang lain, termasuk teman lawan jenis. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan wawancara berikut:

Suster Pia : Saya mencoba untuk mengenali diri saya sendiri dulu. Dalam arti apakah itu ada kaitannya dengan kebutuhan diri, trus juga misalkan pengaruh secara fisik misalkan pada saat masa-masa menstruasi kan mempengaruhi .(SrP-W1MD)

(60)

kenyataannya suster Pia tetap mencintai dan membangun hubungan dengan orang lain, termasuk dengan lawan jenis.

Berkaitan dengan pengelolaan perasaan ketika berada dalam situasi jatuh cinta, peneliti menemukan persaamaan cara yang dilakukan oleh suster Mary dan suster Pia. Melalui hasil wawancara dengan keduanya, menurut mereka yang paling penting ketika mengalami jatuh cinta adalah terbuka. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan wawancara berikut:

Suster Mary : Yang penting saya terbuka pada teman dekat saya yang juga seorang suster yang mengingatkan saya. (SrM-W2T)

Suster Pia : Seandainya saya tidak bisa mengatasi, saya akan share dengan teman dekat yang bisa saya percayai. Butuh keterbukaan, butuh kerendahan hati. (SrP-W1T)

Berdasarkan pernyataan kedua subjek, dapat disimpulkan bahwa dalam mengelola perasaan, mereka tetap membutuhkan orang lain untuk membantu dan mengingatkan. Dialog termasuk dalam langkah persiapan pengambilan keputusan oleh karena setiap putusan yang menyangkut hidup bersama diletakkan dalam kerangka saling mendengarkan, saling terbuka dan saling percaya, Ridick (1987:182). Tidak dapat dipungkiri bahwa pada dasarnya manusia diciptakan memang memiliki perasaan dan memiliki kebutuhan untuk didengarkan, tidak terkecuali biarawati.

2. Sosial

(61)

berelasi secara mendalam dengan orang lain, maupun membangun persahabatan dengan orang lain. Berdasarkan hasil wawancara dengan kedua subjek ditemukan perbedaan dalam menilai kepribadian masing-masing. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan wawancara berikut:

Suster Mary : Ya kalau untuk saya pribadi saya mengatakan bahwa saya sebenarnya terbuka. Tapi untuk orang yang tidak mengenal saya atau sekilas melihat saya, mereka mengatakan saya tertutup kalau ketemu dengan saya takut kalau ketemu dengan saya karena memang saya cenderung diem gitu ya, diem dalam arti ya memang kayak cool-cool sedikit lah. (SrM-W2PD)

Suster Pia : Seringkali teman-teman mengatakan saya orang yang mudah ya, mudah terbuka, ramah, mudah bergurau begitu. Padahal bagi saya sendiri, saya merasanya tidak awal-awal, soalnya saya merasa awalnya saya diam. Ternyata saya mudah dekat. (SrP-W1KM)

Pernyataan suster Mary menunjukkan kepribadian yang lebih percaya diri dengan mengakui bahwa dirinya sebenarnya adalah pribadi yang terbuka, walaupun dia sendiri menyadari bahwa oranglain tidak berfikir hal yang sama tentang dirinya. Akan tetapi jika dilihat dari beberapa pernyataan teman kelas suster Mary, ditemukan bahwa sebenarnya suster Mary bukanlah pribadi yang terbuka. Salah satu pernyataan tersebut dapat dilihat dari kutipan catatan lapangan wawancara tidak terstruktur pada tanggal 29 Juni 2014 berikut:

(62)

Terjadi ketidaksesuaian antara pernyataan suster Mary dengan teman kelasnya. Peneliti menyimpulkan bahwa suster Mary kurang membuka diri dalam membangun persahabatan dengan oranglain. Hal tersebut mungkin dipengaruhi oleh kepribadian suster Mary yang memang dari awal tidak ingin membangun relasi secara mendalam dengan oranglain. Sedangkan yang terjadi pada suster Pia adalah pada awalnya dia kurang menyadari kalau dia sebenarnya adalah pribadi yang mudah terbuka dan membangun relasi secara mendalam dengan oranglain. Akan tetapi sesuai pernyataan teman kelasnya dalam pembahasan perkembangan sosial, suster Pia sangat senang dapat membantu dan berelasi dengan oranglain. Sampai saat ini akhirnya suster Pia menyadari bahwa dia adalah pribadi yang membangun hubungan sosial dengan baik.

(63)

3. Moral

Menyangkut kemampuan untuk menilai tingkah laku dan tindakan suster, dan bagaimana menjaga keseimbangan dalam mengekspresikan energi seksualitas secara baik, kedua suster memilih untuk mempertanggungjawabkan semuanya langsung kepada Sang Pencipta. Menurut kedua subjek jujur kepada Tuhan tentang perasaan maupun tingkah laku mereka adalah pilihan yang paling tepat. Dalam pemahaman moral yang lebih dinamis, tidak cukup berhenti pada tindakan, melainkan perlu juga meliputi jangkauan yang lebih jauh, yakni sifat atau sikap pribadi manusia itu sendiri, termasuk ketakutan akan Tuhan, (Go, 2007: 133, 135). Hal ini sesuai dengan kutipan hasil wawancara terstruktur dengan kedua subjek:

Suster Mary : Ndak justru yang paling pokok untuk saya sendiri itu adalah jujur dengan Tuhan ya. Saya selalu bilang Tuhan, saya itu jatuh cinta lho. Saya senang dengan orang itu. Perhatiannya dia, selalu ketika ada masalah saya cerita, dia mendengar menerima saya. Ya saya pie ya caranya supaya perasaan itu tidak semakin mendalam? Ya saya jujur sama Tuhan. Malah saya lebih bisa terbukanya sama Tuhan. Mungkin karena Dia ga kelihatan ya. (SrM-W2JdT)

Suster Pia : Jujur, hal yang membuat saya mempertanggungjawabkan adalah, kita bisa membohongi sesama manusia tapi kita tidak bisa membohongi Tuhan. Nah disitu ketakutan saya akan Allah. Dalam arti Allah itu tidak jahat, tidak menghukum. Tapi mengajak kesadaran bahwa Allah itu mencintai saya, saya diberi rahmat panggilan. (SrP-W1JdT)

(64)

peneliti menemukan perasaan yang muncul ketika suster Mary mengatakan

“Mungkin karena Dia ga kelihatan ya”, yaitu perasaan malu dan cemas jika bercerita kepada orang yang terlihat secara fisik. Kecemasan itu sendiri terjadi karena ketakutan akan munculnya persepsi negatif dari orang lain. Priest (dalam Safiria & Saputra, 2012: 49) berpendapat bahwa kecemasan adalah suatu keadaan yang dialami ketika berfikir tentang sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi. Calhoun dan Acocella (dalam Safiria & Saputra, 2012: 49) menambahkan, kecemasan adalah perasaan ketakutan baik realistis maupun tidak realistis yang disertai dengan keadaan peningkatan reaksi kejiwaan.

Sesuai pengalaman, suster Mary sendiri pernah melakukan kontak fisik dengan lawan jenis walaupun dia tidak melupakan perannya sebagai suster. Sesuai pengakuan suster Mary, pada acara tertentu dia pernah dicium di bagian pipi, dan digandeng ketika berjalan. Suster Mary juga mengakui bahwa dia merasa senang melakukan itu karena muncul perasaan diperhatikan dan disayangi. Hal tersebut yang mempengaruhi suster Mary merasa lebih nyaman bercerita kepada yang tidak terlihat, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Berbeda dengan suster Pia yang sama sekali belum pernah melakukan kontak fisik dengan teman lawan jenis sebelumnya. Sehingga secara moral dia tidak perlu malu untuk bercerita dengan orang lain selain Tuhan. Dia terbuka dengan teman sesama biarawati dan juga kepada keluarganya.

(65)

religius. Kehidupan tersebut menuntut biarawati untuk menanggung beban moral yang lebih berat pula, demi menghindari pandangan masyarakat yang nantinya akan mengganggu peran mereka sebagai biarawati.

4. Spritual

Menyadari relasi dengan Tuhan dalam mengalami seksualitas, bagaimana suster menjadi sadar bahwa seksualitas tidak bertentangan dengan spiritualitas tetapi justru saling membantu dan menguatkan, dan bagaimana menyadari kehadiran Tuhan dalam misteri seksualitas yang dialami merupakan point dalam pembahasan spiritualitas. Berdasarkan hasil wawancara dengan suster Mary dan suster Pia yang memang terbiasa tinggal dalam kehidupan spiritual, seksualitas bukanlah hal yang bertentangan dengan kehidupan spiritual. Alasannya adalah karena Allah sendiri yang menciptakan manusia dan seksualitas dan tentu memang hal yang wajar apabila manusia mengalami seksualitas termasuk biarawati. Berikut kutipan hasil wawancara terstruktur dengan kedua subjek:

Suster Mary : Yang saya pahami bahwa relasi antara pria dan wanita di dalam hidup membiara itu sebenarnya tidak jadi masalah kalau hanya persahabatan. Yang jadi masalah adalah persahabatan yang eksklusif tadi itu. Yang menjurus pada hal-hal yang tidak diperbolehkan di biara. Jadi ga masalah kalau secara jujur mengakui. (SrM-W2TB)

Suster Pia : Tidak bertentangan karena seksualitas kan menyeluruh ya, beda dengan seks ya. Kalau seksualitas itu kan ada rasa-rasa afeksi diri itu ya yang tadi saya katakan bahwa ada kasih eros. Kalau seks kan hanya pada kebutuhan-kebutuhan diri, kesenangan-kesenangan akan bertentangan dengan

(66)

bertentangan dengan spiritualitas apabila meninggalkan panggilan. Kalau secara spiritualitas kita menyadari bahwa Allah sendiri yang memberikan rasa cinta, perjumpaan, pertemanan. (SrP-W1TB)

Pemahaman akan kehadiran Tuhan dalam seksualitas yang dialami merupakan kunci utama kedua suster menghayati kehidupannya dalam membangun hubungan dengan oranglain. Kehidupan spiritual dapat membantu dalam merenungkan dan mempertimbangkan sesuatu. Kita dapat menilai, mengevaluasi, dan membuat abstraksi dan melampaui keterbatasan diri kita sendiri, (Ridick 1987: 47). Seksualitas sendiri dianggap bagian dari dalam diri yang harus disyukuri sebagai pemberian Allah. Seperti pernyataan suster Pia bahwa seksualitas bisa menjadi salah satu jalan yang menghasilkan keselamatan dengan oranglain.

5. Represi

(67)

adalah membebaskan perasaan dengan cara tertentu. Kutipan hasil wawancara terstruktur dengan kedua subjek di bawah ini akan menjelaskan.

Suster Mary : Bukan menekan sebenarnya ya, tapi membebaskan perasaan itu. Kalau menekan kan lebih kepada memaksa diri kita untuk sebenarnya saya kangen tapi ga berani ngomong. (SrM-W2TM)

Suster Pia : Tidak ya. Terkadang ada kebutuhan-kebutuhan psikofisik itu misal pada masa menstruasi kita tertarik pada lawan jenis itu, kan kita bisa menyalurkannya dengan cara masturbasi atau onani begitu kan, nah bagi saya, saya menyadari itu kalau dilakukan menjadi tidak baik, begitu kan. Ntah itu bagi kesehatan dan itu juga dosa. Nah kalau tidak melakukan, bukan berarti harus menekan. Tapi menyadari dan disitu kita menyadari rahmat Tuhan kembali. Itulah seksualitas, itu merupakan hal-hal yang perlu aku syukuri, aku bisa merasakan seperti ini. Ini karya Tuhan bahwa saya harus bersyukur, saya wanita normal, punya perasaan bisa mencintai orang lain, bisa merasakan dorongan-dorongan nafsu, nah kaitannya relasi dengan Tuhan sendiri. (SrP-W1TM)

(68)

lain yang dilakukan suster Mary adalah mengunjungi seminari tempat sesama rekan selibater tinggal untuk bertemu dan mengobrol, meskipun dalam waktu yang singkat. Tindakan tersebut akan membuat suster Mary merasa nyaman dan senang. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan wawancara terstruktur dengan suster Mary:

Suster Mary : Saya kalau kangen ya telfon dan aku bilang aku kangen. Kalau tidak sms bilang “kak aku kangen” begitu. waktu dia disini kalau saya kangen saya dateng kok. Meskipun hanya seperempat jam ya main ke seminari. (SrM-W2TN)

Berbeda dengan suster Pia yang memilih untuk berdoa dan memohon rahmat Tuhan ketika mengalami perasaan-perasaan akibat dari membangun seksualitas. Dengan rendah hati dan penuh ketekunan ia akan memohon rahmat kesetiaan pada Tuhan dan Tuhan tidak akan menolak mereka yang berdoa dan memohon dengan tulus hati, (Ridick 1987: 126). Dapat dilihat dalam kutipan hasil wawancara terstruktur dengan suster Pia berikut:

Suster Pia : Tuhan ini aku, mohon rahmatMu untuk kesanggupan, untuk bisa mengelola diriku, ini kejatuhanku, kok ingin ketemu terus, ingin disentuh, ingin disayang, gitu kan, itu perlu rahmat Allah sendiri. (SrP-W1B)

(69)

6. Supresi

Pembahasan supresi ini seperti represi, tetapi dengan kesadaran dan pilihan. Orang mengatakan “TIDAK” pada sesuatu yang sebenarnya “YA”. Misalnya, seorang suster tidak mau melakukan seks meski dia tahu hal itu. Ia memilih untuk tidak melakukannya. Pengenalan diri sendiri kembali menjadi hal yang utama bagi kedua suster. Maka meskipun tidak secara langsung mengatakan tidak terhadap situasi yang memungkinkan untuk melakukan dosa seksualitas, tentu kedua suster mengetahui batasan yang harus dijalani. Dosa seksualitas yang dimaksud tentu hubungan seksual yang tidak sejalan dengan perintah Allah. Hal tersebut dikaitkan dengan hati nurani.

Keputusan-keputusan hati nurani seringkali menggunakan istilah

“seharusnya”. Maksudnya, keputusan-keputusan itu berupa

pernyataan-pernyataan dalam keadaan konkret, “seharusnya kita bertindak dengan cara lain

dan tidak menmpuh cara itu”, (Chang 2001: 134-135). Contoh yang paling jelas

adalah meskipun kedua suster mengalami perasaan dengan teman lawan jenis dalam perjalanan membangun hubungan seksualitas, keduanya tetap memegang komitmen untuk tidak meninggalkan panggilan. Terbukti sampai pada saat keduanya melewati batasan kaul kekal. Tentu keduanya mampu karena tidak terlepas dari pertolongan Allah sendiri.

7. Sublimasi

(70)

menyakitkan, maka kepuasan seksual terletak pada keberhasilannya menghilangkan ketegangan tersebut (Freud, dalam Sobur 2003: 420). Berbeda dengan Suparno (2007:85) yang menyatakan bahwa sublimasi adalah tindakan mengarahkan dorongan seksual kepada suatu tindakan atau kegiatan yang lain, misalnya kerja, karya sosial, seni, dan sebagainya. Banyak religius melakukan sublimasi dorongan seksual mereka dengan giat melakukan kerasulan, membantu orang lain, melakukan karya seni, olahraga, membangun relasi, dan sebagainnya. Sesuai dengan sublimasi yang dilakukan oleh suster Mary dan suster Pia. Keduanya memiliki cara yang mereka pikir paling tepat untuk dirinya dalam melakukan sublimasi. Dapat dilihat dari kutipan wawancara terstruktur dengan keduanya:

Suster Mary : Biasanya saya jalan-jalan keliling Jogja. Ya kalau misalnya pulang dari kampus saya keliling melewati jalan mana yang belum pernah saya lewati. Ya kayak orang ilang. (SrM-W1CPT)

Suster Pia : Kalau saya ya lebih kepada olahraga itu. Seringkali saya mengenali kalau ada dorongan-dorongan seksual seperti ini, yasudah saya keluar. Pokoknya tidak dalam situasi seperti itu. Misalkan ketika duduk ada dorongan seksual ya kita bergerak. Apalah, kemanalah, jalanlah, begitu. (SrP-W1CPT)

(71)

lapangan wawancara tidak terstruktur di bawah ini. Wawancara dilakukan pada tanggal 30 Juni dan 3 Juli 2014.

Suster Ria (nama samaran) : Oh.. itu pasti dong, itu kan wajar. Kalau suster Mary jalan-jalan saya biasanya mengecek kembali tugas-tugas kongregasi, atau ngobrol ya. Kalau biasanya lebih nyaman kalau ada teman sih ya. Tapi suster melakukan sublimasi itu wajar. Paling sebentar saja dia itu jalan-jalan. Kan orang butuh sendiri to.. (SrK-TKRS1/Wtt)

Suster Kaira (nama samaran) : Seringkali memang para suster melakukan hal itu ya. Dan itu hal yang wajar. Saya sendiri melakukan sublimasi. Misalnya dengan merapikan kamar, membantu orang dapur, olahraga juga saya lakukan ya bersama dengan teman suster lainnya. Kami juga sering bercocok tanam merapikan kebun bersama suster Pia. (SrR-TKR2/Wtt)

Hal tersebut yang dilakukan oleh suster Mary dan suster Pia dalam mengarahkan perasaannya kepada hal lain, mereka tidak memungkiri bahwa doa tetap harus diimbangi oleh usaha sebagai manusia yang diberikan kemampuan untuk memunculkan ide dan kemudian melakukannya.

8. Gratifikasi, pelampiasan

Gambar

Tabel 2. Agenda pertemuan peneliti dengan subjek I, subjek II,
Tabel 1. Panduan wawancara
Tabel 2.  Agenda pertemuan peneliti dengan subjek I, subjek II, dan informan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penjelasan diatas hubungan loyalitas pada teman sebaya akan sangat berperan penting jika tidak seimbang dengan kontrol diri yang baik maka dari itu untuk

Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma dapat memberi pendekatan dan ruang yang lebih kepada mahasiswa untuk menjaga serta

Efikasi diri merupakan keyakinan akan kemampuan diri dalam konteks belajar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat efikasi diri siswa SMP kelas IX dan yang

Pernyataan “Dalam berkomunikasi, saya termasuk orang yang sulit dalam merangkai kata” menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa Bimbingan dan

Seluruh guru BK SMA di Sleman sudah sepakat menggunakan Panduan Operasional Pelaksanaan BK (POP BK) sebagai arah penyelenggaraan layanan Bimbingan dan Konseling di

Untuk itu diharapkan orang tua dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, dimana orang tua diharapkan melakukan diskusi dengan anak, memberikan kasih sayang dan kehangatan

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa mahasiswa angkatan 2016 Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta memiliki tingkat kecenderungan

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa (1) Peranan guru bimbingan dan konseling dalam meningkatkan motivasi belajar siswa kelas IX yang pernah memiliki motivasi