• Tidak ada hasil yang ditemukan

Organising Committee: : Dr. Linda Sunarti : Raisye Soleh Haghia, M. Hum. : Teuku Reza Fadeli, M.A. : Ghamal Satya Mohammad, M.A.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Organising Committee: : Dr. Linda Sunarti : Raisye Soleh Haghia, M. Hum. : Teuku Reza Fadeli, M.A. : Ghamal Satya Mohammad, M.A."

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

SEMINAR NASIONAL SEJARAH LOKAL MUNAS II PPSI 2016

“MENGGALI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM KEHIDUPAN KEBERAGAMAN KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA”

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH UNIVERSITAS INDONESIA

Pelindung dan

Dr. Adrianus L.G. Waworuntu Prof. Dr. Susanto Zuhdi

Penasehat:

Dr. Abdurakhman Dr. Moh. Iskandar Agus Setiawan, Ph.D.

Organising Committee:

Ketua : Dr. Linda Sunarti

Sekretaris : Raisye Soleh Haghia, M. Hum.

Editor : Teuku Reza Fadeli, M.A.

Humas : Ghamal Satya Mohammad, M.A.

PROSIDING UNIVERSITAS INDONESIA SEMINAR SEJARAH LOKAL 2016

Diterbitkan oleh Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

November 2016

(3)

Dirga Fawakih...164

Perjuangan Penjaga Keamanan Rakyat Mempertahankan Kemerdekaan di Bengkulu Agustus – November 1945

Ega Rezeki Margaretha Barus ... 176

Tata Kota Pakwan Pajajaran Abad ke 15-16 Masehi

Etty Saringendiety ... 188

Liberty Manik Pejuang dan Pemersatu Bangsa

Flores Tanjung ... 199

Pekerja Anak di Perkebunan Tembakau di Afdeeling Klaten, 1870-1930

Hayu Adi Darmarastri ... 209

Melacak Jejak Instrumen Genderang Perang dalam Kesusastraan Berbahasa Jawa Kuna Awal

Hendra Santosa ... 218

Kearifan Lokal Bahari Masyarakat Nelayan di Pantai Timur Sumatera

Hidayat...227

Konsep Belanegara dalam Pemikiran KGPAA Mangkunegara IV

H.Y. Agus M ... 241

Wabah Penyakit di Kota Cirebon Masa Kolonial 1906-1940

Imas Emalia ... 252

Budaya Maritim Migran Buton di Pantai Barat Seram (1942-2002)

Kasman Renyaan ... 271

Ruang untuk Pendidikan Perilaku Anak Autis di Bandung

Kharista Astrini Sakya ... 280

Benteng-Benteng di Wakatobi dalam Perspektif Sejarah Lokal dan Global hingga Awal Abad XX

La Ode Rabani ... 287

Subaltern Kekerasan pada Buruh Perempuan di Perkebunan Sumatera Utara

Lukita Ningsih ... 298

Konflik Etnis Penguasa Kalijodo, 2001-2003: Sebuah Kajian Kausalitas Sosio-Historis

Lydiawati ... 306

Ayam Mati dalam Lumbung: Kelaparan di Wilayah Sentra Beras Nasional Karawang pada 1970-an

Muhammad Mulyadi ... 316

Membudayakan Nilai-Nilai Tembang Dolanan sebagai Filter Terhadap Budaya Asing

(4)

Wabah Penyakit di Kota Cirebon Masa Kolonial 1906-1940

Imas Emalia, M. Hum

Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta imas.emalia@gmail.com

085711525505

Abstrak

Makalah ini hendak menyajikan tema lingkungan alam Kota Cirebon sebagai kota pesisir di masa kolonial yang dalam dinamika masyarakatnya mempengaruhi terhadap munculnya berbagai wabah penyakit, sehingga menjadi permasalahan kesehatan yang serius pada masa itu. Karena kesehatan merupakan sendi utama bagi terbentuknya peradaban manusia oleh karena itu tema lingkungan alam dalam kaitannya dengan kesehatan menjadi menarik untuk diteliti lebih jauh. Dalam kajian ini beberapa diulas tentang wabah penyakit yang berkembang di Kota Cirebon pada masa pemerintahan Hindia Belanda terutama dalam rentang tahun 1906-1940. Walaupun Kota Cirebon tidak termasuk bagian dari kota-kota besar yang ada di Jawa saat itu, seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya, namun karena secara geografis letaknya strategis, yaitu di pesisir Pantai Utara Jawa, telah membawa pengaruh besar terhadap pengembangan perekonomian pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu pada tahun 1906 Cirebon dijadikan gemeente atau kotapraja atau kota kolonial dan menggantikan posisi Cirebon yang semula sebagai kota kesultanan. Setelah menjadi Gemeente Cheribon berbagai perubahan terjadi sebagai upaya modernisasi di bidang perekonomian yang menguntungkan Belanda.

Pengaruh lingkungan pesisir di daerah tropis dan adanya fungsi kota berdampak pada populasi penduduk yang semakin meningkat pesat. Kepadatan penduduk tersebut hingga akhirnya membuat tumbuh kampongs sebagai lokasi yang kumuh dan tidak bersih di kota. Akibatnya banyak memunculkan berbagai wabah penyakit yang meluas sampai ke daerah-daerah sekitar Kota Cirebon. Sampai menjelang akhir kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda, wabah penyakit seperti malaria, pes, dan cacar masih terus mengganggu kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Wabah penyakit tersebut disebut wabah yang meng’ijrail’ atau mematikan. Bahkan dari tahun 1918 sampai 1940 wabah influenza termasuk wabah yang mengijrail. Kota Cirebon saat itu termasuk yang mengalami tingkat kematian tertinggi di Jawa akibat wabah influenza. Derajat kesehatan masyarakat pun berada di tingkat terendah dibandingkan dengan kota-kota lainnya di Jawa, sekalipun berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat.

Kata Kunci: Lingkungan, Kota Pesisir Cirebon, Wabah Penyakit, Masa Kolonial, 1906-1940.

A. Pengantar

Sampai saat ini kajian sejarah sosial di tingkat lokal masih menarik untuk di teliti. Dalam kajian sejarah sosial itu sesungguhnya tema kesehatan juga tidak kalah menariknya untuk dikembangkan lebih jauh. Ketika mengkaji kesehatan masyarakat, faktor lingkungan alam (geografis), demografis, ekonomi, politik, maupun konflik, tidak bisa diabaikan. Dalam hal ini dapat membantu menentukan faktor yang dapat mengubah dan mempengaruhi kehidupan

(5)

masyarakat termasuk kesehatannya. Kajian Fernand Braudel1 tentang peradaban Eropa dan dunia, juga menjelaskan bahwa kesejahteraan masyarakat menjadi hal yang penting bagi perkembangan peradaban. Dalam analisanya tentang kesejahteraan masyarakat dan kaitannya dengan penyebaran wabah penyakit, Braudel menjelaskan tentang adanya keterkaitan antara kesehatan dengan faktor lingkungan geografis, tingkat pertumbuhan penduduk, dinamika ekonomi, perang, dan konflik.

Sementara Rosalia Sciortino2 menjelaskan adanya pengaruh yang kuat dari faktor politik terhadap tingkat ketersebaran wabah penyakit sehingga mempengaruhi tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Menurutnya kebijakan politik kesehatan berupa pengobatan, pencegahan penyakit, dan penyelenggaraan sistem pendidikan bagi para tenaga kesehatan menjadi faktor utama derajat kesehatan masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dapat diperkenalkan cara pencegahan penyakit dan pengobatan (dengan cara modern) yang dipandang lebih efektif dan efisien. Tidak lagi melakukan cara lama seperti melakukan pengobatan ke dukun dan budaya yang irasional. Demikian juga kebijakan terkait tata lingkungan yang bersih dan pemukiman sehat bagi penduduk padat di kota dapat menjadi upaya pencegahan terhadap munculnya berbagai wabah penyakit. Kebijakan tersebut tentunya diperuntukkan bagi seluruh masyarakat secara merata.

Tulisan tentang lingkungan Kota Pesisir Cirebon di masa kolonial dalam pengaruhnya terhadap kemunculan berbagai wabah penyakit akan dilihat keterkaitannya dengan berbagai faktor seperti yang telah diungkapkan di atas. Letak geografis Kota Cirebon yang strategis di pesisisr pantai utara Jawa, telah membuat pemerintah Hindia Belanda menjadikan daerah ini sebagai bagian dari pusat pengembangan perekonomian yang sangat menguntungkan Belanda. Karena itu kemudian Cirebon dijadikan gemeente atau kotapraja pada tahun 1906 dan menggantikan posisinya sebagai kota kesultanan. Dengan dalih pengembangan perekonomian, pemerintah Hindia Belanda memindahkan pusat pemerintahan Kota Cirebon dari Keraton Cirebon yang ada di pedalaman ke Kantor Pemerintahan Kolonial Belanda yang dekat dengan Pelabuhan Cirebon. Perubahan fungsi kota ini membawa pengaruh dalam berbagai segi kehidupan masyarakat di Kota Cirebon. Munculnya kampongs di perkotaan telah menampilkan wajah kota yang jauh dari ‘citra dan makna’ modern. Kampongs di perkotaan merupakan daerah kumuh, kotor, dengan tata letak rumah yang tidak ideal sehat, sehingga banyak memunculkan berbagai wabah penyakit yang menyerang masyarakat yang menempatinya. Bahkan kemudian menyebar ke daerah-daerah sekitarnya karena ada kontak lingkungan dan manusia. Saat Cirebon dibentuk gemeente, 1906, pertumbuhan penduduk semakin meningkat akibat adanya urbanisasi. Masyarakat pribumi yang mencari penghidupan di Kota Cirebon kebanyakan tinggal di kampongs tersebut. Mereka kebanyakan bekerja di perkebunan, pabrik, pelabuhan, statsiun, dan kantor pemerintahan sebagai buruh pemerintah maupun swasta. Kontak sosial di lingkungan seperti itulah yang kemudian mempercepat persebaran wabah penyakit menular yang berkembang di masyarakat. Wabah penyakit yang berkembang di Kota Cirebon saat itu di antaranya cacar, malaria, kolera, disentri, pes, dan influenza.

B. Lingkungan Alam Kota Pesisir Cirebon

Secara geografis letak Kota Cirebon berada pada 6,41° LU dan 108,33° BT pantai utara Pulau Jawa. Wilayah Cirebon berada di bagian timur Jawa Barat yang memanjang dari barat

1 Fernand Braudel, Civilization and Cavitalism 15th-18th Century: The Structures of Everiday Life. The Limits of the Possible, Vol. 1, (Translation from the French, Sian Reynold), London: Collins/Fontana Press, 1988, hlm.

31-34

2 Rosalia Sciortino, ‘The Multifariousness of Nursing in the Netherlands Indie’, dalam Peter Boomgaard, et al,

(6)

ke timur sepanjang 8 km dan dari utara ke selatan sepanjang 11 km. Batas Kota Cirebon adalah sebelah utara dibatasi Sungai Kedung Pane, sebelah barat Sungai Banjir Kanal Kabupaten Cirebon, sebelah selatan Sungai Kalijaga, dan sebelah timur dibatasi Laut Jawa. Kota Cirebon menjadi daerah titik pertemuan pergerakan transportasi yang menghubungkan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Letak geografis tersebut menjadikan masyarakat di Kota Cirebon rata-rata bermatapencaharian sebagai nelayan. Namun juga terdapat masyarakat dengan matapencaharian petani, yaitu yang tinggal di pedalaman dan sekitar aliran sungai. Sejak abad ke-14, daerah ini telah banyak menghasilkan produk olahan hasil laut yang berkualitas. Ki Gedeng Alang-alang atau Walangsungsang atau Cakrabumi, yang disebut sebagai nelayan pertama yang menghuni daerah ini telah banyak memproduksi ikan dan rebon (udang kecil) yang menjadi komoditi utama dari Pesisir Cirebon. Pencarian ikan dan rebon saat itu dengan menggunakan ‘jukung’ atau perahu kecil. Namun demikian dapat menghasilkan ikan dan rebon yang banyak sehingga dapat diolah menjadi ‘terasi’ yang berkualitas untuk kemudian diekspor ke luar Kota Cirebon, yaitu untuk Prabu Rajagaluh, Raja Padjajaran. Ini yang kemudian ditetapkan menjadi upeti bagi nelayan rebon sebanyak satu pikul atau 61,76 kg dalam satu tahun.3 Kualitas hasil laut dari daerah pesisir Cirebon membuat daya tarik bagi masyarakat luar Cirebon. Begitu juga hasil alam daerah pedalaman Cirebon, seperti beras, sayuran, dan palawija yang memiliki kualitas yang baik dibanding deari daerah-daerah lainnya di Jawa. Hasil alam tersebut dapat menjadikan daerah Cirebon bertambah ramai karena terjadi proses pertukaran hasil bumi dari masyarakat luar Cirebon. Didukung dengan hasil-hasil bumi dari daerah-daerah pedalaman Cirebon dan daerah-daerah sekitarnya seperti Majalengka dan Kuningan yang subur akan hasil pertaniannya, membuat Cirebon semakin banyak dikunjungi para pendatang untuk melakukan perdagangan.

Di Pasambangan, sebagai daerah pelabuhan, banyak dikunjungi orang dari berbagai negara seperti, Cina, Arab, Persia, India, Malaka, Singapura, dan daerah Nusantara sendiri. Pada abad ke-16 hampir seluruh wilayah Cirebon menjadi daerah lintasan dan imbasan perdagangan internasional sehingga sejak abad itu Cirebon dikenal sebagai jalur sutera untuk lalu lintas laut. Cirebon juga dijadikan sebagai pusat perniagaan terutama untuk daerah antara Batavia dan Jepara, karena Pelabuhan Cirebon mampu menjadi pangkalan tempat pelaut berlabuh dan bermukim. Lebih jauh lagi Pelabuhan Cirebon dipandang dapat dijadikan pusat penampungan barang-barang dagangan baik yang datang dari penduduk lokal maupun dari para pedagang asing. Berita Tome Pires menyatakan bahwa keramaian Cirebon adalah karena daerah sekitarnya menghasilkan beras yang berkualitas dan dapat diekspor sampai ke Malaka sejak tahun 1511-1515:

The land of Cherimon is next to Sunda: its lord is called Lebe Uca. He is vassal of Pate Rodim, lord of Demak. This Cherimon has a good port and there must be three or four junk there. It has a great deal of rice and abundant foodstuffs; it must have as many as ten small lancharas-; This Cherimon must have up to a thousand inhabitants….This Cherimon is about three leagues up the river; junk can go in there, they say….This place has better wood for making junks than anywhere else in Java, although there is not much wood in the whole of Java.4

3 P.S.Sulendraningrat, Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari, Jakarta: Bhratara, 1972, hlm. 9-15. Nina H. Lubis,

Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, Bandung: Alqaprint, 2000, hlm. 27-28. Satu pikul sama dengan 61,76

kg, lihat Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Surakarta 1830-1920, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991, hlm. 215.

4 Armando Cortesao (ed.), The Suma Oriental of Tome Pires and The Book of Francisco Rodrigues, Second

(7)

Daerah penghasil beras dan sayuran di sekitar Cirebon termasuk pada kategori wilayah pedalaman Cirebon, yang tanahnya subur dan dapat digunakan untuk menanam padi dan palawija.5

Bertolak dari kondisi geografis Kota Cirebon, kehidupan dan kegiatan perekonomian masyarakatnya pun disesuaikan dengan kondisi tersebut. Masyarakat maritime di Kota Cirebon, selain hidup di sekitar Pelabuhan Cirebon juga terdapat di sekitar sungai yang melintasi tempat tinggalnya, seperti Sungai Cimanuk, Sungai Pekik, Sungai Kasunanan, dan Sungai Losari yang semuanya menjadi penting sebagai jalur transportasi yang dapat dilayari oleh ‘jung’ untuk menghubungkan dengan daerah-daerah pedalaman. Masyarakat Cirebon sudah terbiasa dengan dunia kemaritiman baik dalam hubungan perekonomian, politik, maupun agama. Kota Cirebon semakin banyak dikunjungi pendatang baik dari Nusantara maupun dari luar. Mereka melakukan pelayaran dan perdagangan dari dan ke daerah ini. Awal abad ke-17 Kota Cirebon menjadi daya tarik VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) atau Perhimpunan Dagang Hindia Timur untuk melakukan dominasi perdagangan dan perekonomian di daerah ini. Pada tahun 1681, VOC akhirnya berhasil membuat perjanjian dengan Kesultanan Cirebon untuk melakukan perdagangan di Pelabuhan Cirebon. Hingga kemudian berhasil memegang hak monopoli atas beberapa jenis komoditas perdagangan di Pelabuhan Cirebon. Selain itu VOC berhasil pula mengembangkan berbagai infrastruktur di sekitar pelabuhan dengan tujuan untuk mengawasi segala aktivitas pelayaran dan perdagangan di sekitar wilayah Pelabuhan Cirebon. VOC juga berhasil mendirikan pusat perdagangan sebagai upaya untuk menjauhkan campur tangan Kesultanan Cirebon terhadap kegiatan perekonomian. Selama VOC mendominasi seluruh aktivitas perekonomian, membuat pusat kota pun bergeser dari keraton yang ada di pedalaman ke wilayah pelabuhan.6 Sampai setelah kebangkrutan VOC (1799) pun kekuasaan politik kerajaan Cirebon tidak kembali ke Kesultanan Cirebon melainkan diambil alih oleh Hindia Belanda dan peranan pelabuhan di Kota Cirebon dalam mengendalikan ekspor-impor berada di bawah kendilnya. Sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, Kesultanan Cirebon tidak lagi difungsikan dan Sultan hanya diberi uang pensiun sebanyak f18,- setahun. Sejalan dengan itu pemerintah Hindia Belanda semakin memandang penting atas peranan Kota Cirebon yang menjadi tempat transit komoditi ekspor-impor bagi daerah-daerah pedalaman dan sekitarnya. Oleh karena itu pada tahun 1859 pemerintah Hindia Belanda melakukan pembenahan dan pembangunan berbagai fasilitas sosial yang mendukung proses perekonomian tersebut terutama pelabuhan. Pelabuhan menjadi daya tarik utama bagi perkembangan Kota Cirebon dan memberikan pengaruh bagi kehidupan sosial-ekonomi masyarakatnya.7

Masyarakat pribumi dari luar Kota Cirebon banyak yang mencari penghidupannya di Kota Cirebon. Terlebih ketika tahun 1870-an, sebagai masa awal modernisasi di Jawa, kota-kota pelabuhan menjadi magnet bagi para petani yang kehilangan pekerjaannya di desa untuk kemudian menjadi tenaga kerja atau buruh di kota yaitu di perkebunan, di pabrik olahan, di pelabuhan, maupun di stasiun kereta api walaupun harus tinggal di lingkungan seadanya

5 Supratikno Rahardjo, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera, Jakarta: Proyek IDSN, 1998, hlm.

55.

6 Uka Tjandrasasmita, ‘Bandar Cirebon dalam Jaringan Pasar Dunia’, Susanto Zuhdi (peny.), Cirebon sebagai

Bandar Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah, Jakarta: Depdikbud, 1997, hlm. 66. Bondan

Kanumoyoso, “ Socio-economic activity and Change in Weswt Java: Forest Production and Agriculture in Cirebon-Priangan 1681-1772” dalam A.B. Lapian et al, (eds.), Jurnal Sejarah: Masyarakat Lokal dalam

Dinamika Sejarah dari Abad XVII hingga Akhir XX, Vol.12 No. 12 Juni 2005, Jakarta: Yayasan Masyarakat

Sejarawan Indonesia-Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 37-57.

7 Singgih Tri Sulistiyono, ‘Perkembangan Pelabuhan Cirebon dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Sosial

(8)

karena terpaksa mendekati tempat kerja mereka. Kehidupan mereka di kota hanya mengandalkan “menjual tenaganya” untuk mencari makan karena rata-rata mereka tidak memiliki modal untuk usahanya di kota. Pemerintah Hindia Belanda pun dengan sengaja mempersempit kesempatan usaha perdagangan bagi masyarakat pribumi, akibatnya mereka menjadi miskin di kota.8

C. Cirebon sebagai Gemeente dan Dinamika Sosial Masyarakat di Perkotaan

Pada awal abad ke-20, bersamaan dengan kepentingan Belanda atas kota-kota di Jawa untuk memenuhi kebutuhan perekonomiannya, secara politis pemerintah Hindia Belanda mengukuhkan fungsi kota-kota di Jawa sebagai kota kolonial yang modern. Tujuannya untuk memudahkan proses modernisasi ekonomi dan industrialisasi. Kebanyakan kota-kota yang mengalami modernisasi tersebut adalah yang memiliki lokasi geografis sebagai kota pesisir atau dekat dengan pelabuhan sebagai tempat yang dapat memudahkan kontrol mobilisasi ekonomi. Proses modernisasi ini kemudian diikuti dengan berbagai pembangunan sarana dan prasarana kota yang mengikuti gaya Eropa. Maka sejak itu kota-kota di Jawa atau disebut sebagai kota-kota kolonial menampilkan wajah baru yang lebih modern dari sebelumnya. Perubahan ini pun mempengaruhi berbagai segi kehidupan masyarakatnya, baik gaya hidup, berbagai latar belakang profesi, komunikasi, dan transportasi. Walau kemudian, menurut S. Margana, lahirnya kota-kota modern ini tidak berarti menjadi bebas dari berbagai permasalahan sosial, karena dalam waktu yang bersamaan banyak muncul permasalahan sosial seperti kriminilitas, kemiskinan, urbanisasi, pengangguran, dan kebutuhan pelayanan kesehatan yang kurang memadai sekalipun termasuk kebutuhan yang mendesak. 9 Permasalahan tersebut banyak menimpa masyarakat pribumi walau ada juga masyarakat asing Eropa, Cina, dan Arab yang mengalaminya.

Sejak ada ketentuan desentralisasi atas beberapa kota di Jawa dan Madura pada tahun 1905, perhatian terhadap berbagai aspek kehidupan ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang disesuaikan dengan kebutuhan daerahnya masing-masing. Seperti untuk pengaturan keuangan, pengairan, sarana dan prasarana kota, termasuk juga kesehatan.10 Perhatian terhadap kesehatan ditetapkan pemerintah bahkan tidak hanya untuk wilayah Jawa dan Madura, melainkan juga Sumatra. Perhatian tersebut seperti terkait biaya kesehatan, pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan dan epidemi.11

Desentralisasi untuk Kota Cirebon sendiri yaitu berdasarkan Staatsblad tahun 1906 No. 122 yang kemudian dibuat keputusan pembentukan kota atau gemeente berdasarkan Staatsblad 1906 No. 276. 12 Kota Cirebon yang semula sebagai kota tradisional atau kota kerajaankemudian mengalami proses modernisasi dan industrialisasi sebagai daerah pusat pengembangan perekonomian perkebunan, khususnya tebu. Luas perkebunan tebu di bawah pengawasan pemerintah Kota Cirebon, sampai setelah adanya Reformasi Agraria 1918, mencapai 7.000 bau di Cirebon Timur dan 6.000 bau di Cirebon Barat. Jumlah luas perkebunan ini yang kemudian membawa konsekuensi pada produksi gula yang sangat membutuhkan jumlah tenaga kerja yang banyak, baik untuk di perkebunan tebu maupun di

8 Hayu Adi Darmarastri, Keberadaan Nyai di Batavia 1870-1928 dalam Lembar Sejarah, Vol. 4, No. 2, 2002,

Yogyakarta: Jurusan Sejarah FIB UGM, 2002, hlm. 13. Chriswardani Suryawati, ‘Memahami Kemiskinan secara Multidimensional’, JMPK Vol. 08/No. 3/September/2005/UGM Online Journal, hlm. 127 diunduh 28 Januari 2016.

9 Sri Margana dan M. Nursam, ed., Kota-kota di Jawa: Identitas, Gaya Hidup dan Permasalahan Sosial,

Yogyakarta: Ombak, 2010, hlm. 1-11.

10 ANRI, Staatsblad van Nederlandsch-Indie, Batavia: Landsdrukkerij, 1905, No. 85 dan 1910, No. 95. 11 ANRI, Staatsblad van Nederlandsche-Indie, 1910, No. 246.

(9)

pabrik gula. Pabrik gula di Cirebon Timur berada di Sindanglaut, Karangsembung, Jatipiring, Tersana Baru, Leuweung Gajah, dan Losari Baru. Pabrik gula di Cirebon Barat berada di Kadipaten, Jatiwangi, Parungjaya, dan Arjawinangun.13 Pekerjaan yang dikerjakan para buruh perkebunan dan pabrik gula ini hampir menghabiskan waktu kehidupan mereka yang tidak seimbang dengan penghasilan atau upah yang didapatkannya. Oleh karenanya tidak sedikit didapati para buruh yang miskin di Kota Cirebon yang mengalami kemerosotan kesejahteraan dalam hidupnya. Bagi para buruh pendatang, kemiskinan terjadi tidak saja diakibatkan karena rendahnya penghasilan yang didapat melainkan juga kehilangan lahan pertaniannya di desa karena telah disewakan kepada pemerintah atau swasta untuk dijadikan sebagai lahan perkebunan.

Penduduk Cirebon semakin memadati wilayah kota akibat urbanisasi yang terjadi setelah dibentuknya Gemeente Cheribon, mereka kebanyakan menjadi miskin di kota. Mereka memadati wilayah Kota Cirebon yang tersebar di 22 kelurahan dan 5 kecamatan yaitu Kecamatan Harjamukti, Kejaksan, Kesambi, Lemahwungkuk, dan Pekalipan. Setelah menjadi gemeente Kota Cirebon memiliki luas wilayah sekitar 1.100 ha dan dengan kepadatan penduduk sebanyak 20.000 jiwa.14

Pada tahun 1926 Gemeente Cheribon ditingkatkan statusnya oleh pemerintah Hindia Belanda menjadi stadgemeente, dengan otonomi yang lebih luas untuk mengatur pengembangan kota. Kebijakan ini pun bertujuan untuk meningkatkan perhatian yang lebih baik kepada para pekerja walau di balik tujuan itu adalah peningkatan hasil ekonomi untuk menguntungkan Belanda. Perubahan status Kota Cirebon pada akhirnya semakin memberikan pengaruh pada jumlah penduduk di kota yang –kemudian- berdampak pada berbagai kebutuhan dan atau munculnya permasalah sosial di kota. Sampai tahun 1930, kenaikan jumlah penduduk akibat adanya urbanisasi di Kota Cirebon berdasarkan sensus penduduk mencapai 18.123 orang atau sekitar 42,5 % dari penduduk Kota Cirebon saat itu. Mereka kebanyakan yang bekerja sebagai buruh baik di pelabuhan maupun di pabrik-pabrik. Selain itu sebagai pedagang dan pekerja pembuatan jalan kereta api. 15 Pertumbuhan penduduk Kota Cirebon dapat digambarkan dalam sebuah bagan di bawah ini, seperti oleh Abdul Wahid,16 yang mengutip dari Boomgaard dalam Changing Economy in Inonesia bahwa pertumbuhan di Kota Cirebon sejak akhir abad ke-19 hingga tahun 1930-an dalam sebuah bagan berikut:

Pertumbuhan Penduduk Kota Cirebon akhir abad ke-19 sampai tahun 1930

No. Kelompok Penduduk Tahun 1890 Tahun 1920 Tahun 1930

1. Orang Pribumi 15.561 25.339 42.667

2. Orang Eropa 398 971 1.653

3. Orang Tionghoa 2.537 5.451 8.191

4. Penduduk Asia lainnya 846 1.290 1.568

Jumlah Total 19.342 33.051 33.051

Menurut Wahid, pertumbuhan penduduk yang pesat di Kota Cirebon adalah karena adanya migrasi penduduk dari luar Cirebon baik orang Eropa, Tionghoa, dan terutama penduduk lokal. Pertumbuhan penduduk ini meliputi hampir seluruh Keresidenan Cirebon. Sementara

13 ANRI, Memorie van Overgave (Memori Serah Jabatan 1921-1930) Jawa Barat, Jakarta: ANRI,

1976, hlm. Cxxvii.

14 ANRI, Memorie van Overgave (Memori Serah Jabatan 1921-1930) Jawa Barat, hlm. LXXI. 15 ANRI, Memorie van Overgave (Memori Serah Jabatan 1921-1930) Jawa Barat, hlm. LXXI. 16 Abdul Wahid, Bertahan di Tengah Krisis: Komunitas Tionghoa dan Ekonomi Kota Cirebon, Yogyakarta:

(10)

dalam Kolonial Verslag (1881) disebutkan tentang pertumbuhan penduduk di Kota Cirebon telah meningkat jauh sebelum pembentukan gemeente. Disebutkan bahwa jumlah penduduk yang ada di Keresidenan Cirebon sebelum Kota Cirebon dibentuk menjadi gemeente adalah Eropa 1.047 orang, Cina 15.740 orang, Arab 1.230 orang, orang asing lain 97 orang dan pribumi 1.609.228 orang,17 dan setelah status kota berubah menjadi gemeente perubahan jumlah penduduk semakin meningkat dengan perhitungan kenaikannya adalah Eropa 1.653 orang, Cina 8.191 orang, dan Asia 1.568 orang.18 Dengan demikian kenaikan populasi penduduk di Kota Cirebon telah mengubah wajah Cirebon menjadi daerah yang padat penduduk yang otomatis mempengaruhi tingkat dinamika sosial-ekonominya.

Dalam catatan Masyhuri bahwa menjelang awal abad ke-20 dinamika sosial-ekonomi masyarakat di Keresidenan Cirebon, tepatnya di daerah Indramayu dan Kota Cirebon sendiri sangat tinggi dengan rata-rata matapencahariannya adalah nelayan dan buruh pelabuhan. Hal ini karena perairan pantai Cirebon termasuk daerah yang kaya akan ikan.19 Mereka rata-rata tergolong nelayan komersial walau sesungguhnya mereka masih melakukan sistem penangkapan dan pengolahan ikan secara tradisional.20 Awal abad ke-20 Cirebon masih dikenal sebagai penghasil ikan yang berkualitas. Namun penguasaan atas hasil laut dan pengelolaannya berada di bawah pengawasan para pemilik modal atau pachter yang memiliki relasi luas sampai ke daerah pedalaman. Para pemilik modal tersebut kebanyakan orang Cina sehingga hasil yang didapat masyarakat pribumi merupakan sisa dari pebagian dengan pemodal. Sekitar 58% untuk pemodal dan sisanya yang 42% milik nelayan pribumi yang harus dibagikan sesama nelayan lainnya. Prosentase tersebut menunjukkan kondisi masyarakat Cirebon berada dalam garis kemiskinan.21

Kemiskinan nelayan Cirebon juga menjadi meningkat ketika kebijakan pemerintah kolonial menaikkan harga garam. Hal ini menjadikan para nelayan harus mengeluarkan biaya tinggi untuk pengasinan ikan. Kebijakan ini pun memberatkan penduduk masyarakat pedalaman seperti Majalengka dan Kuningan. Kenaikan harga garam dari harga 20 sen per kati menjadi 40 sen per kati22 membuat masyarakat pedalaman tidak mampu membelinya. Kemerosotan ekonomi yang dialami masyarakat pribumi berakibat pada berbagai gejala sosial23 termasuk buruknya kesehatan masyarakat di Cirebon, karena menderita gizi buruk. Kemiskinan yang mengakibatkan kelaparan dan munculnya berbagai wabah penyakit di Kota Cirebon membuat derajat kesehatan masyarakat semakin menurun, dan angka kematian meningkat. Masyarakat di seluruh Keresidenan Cirebon banyak yang terserang berbagai wabah penyakit seperti typus, demam, malaria, kolera, dan cacar.

Perubahan fungsi kota dari tradisional ke modern banyak memberikan pengaruh bagi kehidupan masyarakat di Cirebon. Sejak dibentuknya gemeente (1906), daerah ini terus mengalami perubahan baik fisik, maupun dinamika masyarakatnya. Pengembangan perekonomian yang menguntungkan pemerintah melalui hasil yang didapat dari pengolahan perkebunan (cash crop) tebu elah mempengaruhi budaya hidup masyarakat pribumi di Kota Cirebon. Tidak saja mengenal pekerjaan baru sebagai buruh kereta api, buruh perkebunan, juga pegawai perkantoran, juga budaya hidup masyarakat di Kota Cirebon telah banyak

17 Kolonial Verslag 1883-1884.

18 Abdul Wahid, Bertahan di Tengah Krisis, hlm. 45-46.

19 Masyhuri, Menyisir Pantai Utara: Usaha dan Perekonomian Nelayan di Jawa dan Madura 1850-1940,

Yogyakarta: KITLV-Pustaka Nusantara, 1996, hlm. 32.

20 Masyhuri. Menyisir Pantai Utara, hlm. 47-4.8 21 Masyhuri, Menyisir Pantai Utara, hlm. 155-156. 22 Masyhuri, Menyisir Pantai Utara, hlm. 141.

23 Koentaraningrat dan A. A. Loedin, Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan Kesehatan, Jakarta:

(11)

menyesuaikan dengan budaya baru yang dibawa orang Eropa (Belanda). Pola kerja yang padat di kota seperti dalam pembuatan jalan kereta api (staatsspoor) yang dimulai tahun 1912 untuk menghubungkan Batavia-Cikampek-Cirebon dalam aktivitas perekonomian, dan dilanjutkan tahun 1916 untuk menghubungkan Cirebon-Kroya-Pekalongan, telah membuat mobilititas perekonomian masyarakat meningkat pesat,24 terutama pekerjaan mengangkut hasil perkebunan maupun hasil olahan. Mobilitas jalur darat juga dilakukan dengan kendaraan yang bukan kereta api untuk jarak dekat. Hal ini karena pemerintah Kota Cirebon telah melakukan perbaikan jalan-jalan yang menghubungkan ke daerah pedalaman dan perkebunan. Sampai tahun 1930 perbaikan jalan-jalan di Kota Cirebon itu dilakukan dengan sistem pengaspalan sepanjang 28,37 kilometer.

Demikian juga pembangunan prasarana lainnya terus dilakukan, agar dapat mengubah kondisi fisik dan citra kota modern bagi Kota Cirebon. Seperti pembangunan prasarana air bersih, penerangan jalan, dan prasarana kesehatan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat kota. Program kebersihan kota melalui pembuatan saluran air, penghilangan genangan air limbah dan hujan, pembuangan sampah dan kotoran, serta pembuatan kakus dan pemandian umum dilakukan untuk menjaga timbulnya bibit penyakit di masyarakat. Sungai yang mengalir ke Kota Cirebon -yang sejak akhir abad ke-19 sudah dikenal sebagai sungai yang kotor dan berbau- dilakukan pengurugan pada tahun 1917 dengan tujuan menghindari munculnya bibit penyakit malaria, kolera, dan disentri.25 Sebelum dilakukan pengurugan masyarakat menyebutnya ‘Kali Bacin’ artinya ‘Sungai Kotor’, setelah pengurugan sebutan itu tidak ada lagi karena pemerintah telah mengubah fungsi sungai menjadi bangunan dan jalan kota yang disebut Jalan Bahagia. Bekas kali tersebut difungsikan untuk jalan, gedung perkantoran, dan pabrik rokok British American Tobacco (BAT). Upaya pemerintah tersebut agar dapat menjadi sebagian dari kebahagiaan masyarakat setelah terhindar dari polusi sungai dan untuk mengurangi tersebarnya wabah penyakit.26

Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Kota Cirebon, pemerintah kota melakukan kerjasama dengan pihak swasta yang telah memiliki balai pengobatan untuk masyarakat. Di Kota Cirebon terdapat sebuah perkumpulan yang disebut ‘Pamitran’ (Perkumpulan Akan Menolong Ibu Terus Rawat Anak Nusunya). Perkumpulan ini berupa sebuah yayasan yaitu Yayasan Pamitran dan memiliki ‘Rumah Sakit Bersalin Pamitran’ yang didirikan pada tahun 1916. Rumah Sakit Bersalin atau Doorgangshuis voor Kraamvrouwen tersebut dirintis oleh dr. H. Van der Hoeve27 untuk menangani kesehatan ibu hamil dan persalinannya, selain juga sebagai balai pengobatan untuk umum. Dari kerjasama itu kemudian pemerintah Dewan Kota, pada tahun 1919, mengajukan usul kepada pemerintah pusat di Batavia untuk pembangunan Rumah Sakit Umum di Kota Cirebon karena dirasa sudah mendesak untuk kebutuhan masyrakat luas. Pada tanggal 14 Maret 1920 pemerintah Hindia Belanda merespon usulan tersebut dengan dilakukan peletakan batu pertama untuk rumah sakit pemerintah yang berlokasi di Jalan Kesambi. Selanjutnya peresmian Rumah Sakit Umum Cirebon dilakukan pada tanggal 31 Agustus 1921 oleh walikota Cirebon (Burgermeester van Cheribon), J. H Johan, dengan nama "Oranje Ziekenhuis" atau Rumah Sakit “Oranje”. Rumah Sakit ini kemudian difungsikan sebagai Rumah Sakit Kota

24 J. Paulus, Encyclopaedie van Nederlansch Indie, Eerste Deel, A-G, Leiden: ‘s Gravenhage-Martinus

Nijhoff, E. J. Brill. 1917, hlm. 474. Singgih Tri Sulistiyono, ‘Dari Lemahwungkuk hingga Cheribon: Pasang Surut Perkembangan Kota Cirebon sampai Awal Abad XX’ dalam Susanto Zuhdi, (peny.), Cirebon sebagai

Bandar Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah, Jakarta: Dirjen Kebudayaan Depdikbud, 1997, hlm.

93-94.

25 ANRI, “Malaria Bestrijding” dalam Gedenkboek der Gemeente Cheribon 1906-1931, hlm. 93.

26ANRI, Wapen van de Gemeente Cheribon, KIT. 994/90. Lihat Susanto Zuhdi, (peny.), Cirebon

sebagai Bandar Jalur Sutra, hlm. 101-103.

(12)

(Gemeemtelijk Ziekenhuis) pada tanggal 1 September 1921 di bawah pimpinan dr. E. Gottlieb sebagai kepala rumah sakit yang pertama.28 Selain itu tahun 1930 Gemeenteraad Cheribon membangun sebuah proyek air bersih yang diambil dari sumber air Cipaniis Kuningan yang dapat digunakan juga untuk kepentingan di Rumah Sakit tersebut.

Dengan demikian sesungguhnya perhatian terhadap kesehatan masyarakat dan upaya mencegah dan menangani wabah penyakit yang beredar di masyarakat Kota Cirebon telah dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda, namun sampai pertengahan abad ke-20 berbagai wabah penyakit di Kota Cirebon tidak dapat terselesaikan. Mulai wabah malaria, pes, kolera, sampai influenza terus menyerang masyarakat sampai tahun 1940, bahkan Kota Cirebon disebut sebagai kota yang mengalami tingkat kesehatan yang buruk akibat wabah penyakit influenza yang banyak mematikan penduduk.

Bila mengamati kajian Braudel yang telah diuraikan di atas, dalam hal ini tentunya banyak faktor yang dapat membuat penyebaran berbagai wabah penyakit di masyarakat dan membuat rendahnya derajat kesehatan masyarakat masa itu. Faktor-faktor tersebut di antaranya lingkungan, kebijakan politik kesehatan pemerintah, maupun budaya atau perilaku hidup sehat masyarakatnya yang ketiganya saling terkait.

D. Wabah Penyakit yang Mematikan dan Derajat Kesehatan Masyarakat Kota Cirebon

Menurut Braudel bahwa kepadatan penduduk di sebuah kota menjadi hal penting dalam melihat pengaruhnya terhadap kesehatan. Dalam kaitan ini, bahwa setelah fungsi kota berubah dari kota tradisional atau kesultanan menjadi gemeente atau kota kolonial, kepadatan penduduk terjadi di kota ini akibat adanya urbanisasi. Masyarakat pendatang di Kota Cirebon antara tahun 1906-1940 baik yang berasal dari pribumi maupun asing telah berinteraksi secara intens dalam segala aspek kehidupan.

Data kependudukan Kota Cirebon sampai tahun 1930 mencapai 18.123 orang atau sekitar 42,5 % dari penduduk aslinya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.29 Kepadatan penduduk di kota karena arus urbanisasi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat pribumi semakin tergeser kepemilikan tanahnya. Menurut Breman, sejak tahun 1903 saja jumlah petani yang tidak memiliki tanah garapan di Cirebon berjumlah 527.434 orang. Kemudian bertambah menjadi 732.202 orang di tahun 1930.30 Akibat ledakan penduduk inilah pemukiman masyarakat di kota menjadi seolah ‘merebut ruang kota’, meminjam istilah Basundoro.31 Mereka hanya sekedar untuk dapat bertahan hidup di kota. Mereka menempati tempat-tempat yang sekedar bisa dipakai untuk tidur, seperti di tepian stasiun, pelabuhan, maupun di tempat-tempat kumuh lainnya. Dengan begitu mereka tidak dapat meningkatkan keamanannya baik untuk investasi ekonomi, pendidikan, maupun kesehatan. Ledakan penduduk yang terjadi seperti itu otomatis membuat kebutuhan pangan semakin meningkat, sementara lahan pertanian semakin tergeser karena digunakan untuk lahan perkebunan milik perusahaan swasta asing, pemukiman, pertokoan, perkantoran, pasar, dan pembangunan

28www.cirebonkota.go.id diunduh 7 Mei 2016

29 Susanto Zuhdi, (peny.), Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra, hlm. 96.

30 Jan Breman, Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja: Jawa di Masa Kolonial, Terj., Jakarta: LP3ES,

1986, hlm. 126.

31Purnawan Basundoro, Merebut Ruang Kota: Aksi Miskin di Kota Surabaya 1900-1960, Tangerang:

(13)

infrastruktur lainnya.32 Akibatnya kemiskinan di kota menjadi meningkat dan menimbulkan bencana kelaparan sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan. Selain kelaparan, muncul pula wabah penyakit akibat faktor lingkungan kota yang padat dan kumuh. Lingkungan tempat tinggal masyarakat di Kota Cirebon sampai tahun 1940-an berada di pemukiman yang tidak bersih, kotor, berbau, fasilitas kehidupan yang serba kekurangan, tempat tinggal yang jaraknya tidak ideal sehat antara tempat tinggal dan sumber air dan dan tempat buangan kotoran. Akibatnya mereka sering dijangkiti penyakit kolera dan disentri.33 Masyarakat yang terkena wabah penyakit ini seringkali tidak terselamatkan. Tidak karena sulitnya pengobatan yang harus dilakukan oleh masyarakat pribumi, baik karena tidak mampu membayar pengobatan atau juga karena kebijakan kesehatan yang memberatkan. Selain itu juga faktor lingkungan dan budaya hidup masyarakat yang dapat mempercepat penyebaran wabah penyakit. Menurut Schultz,34 masyarakat yang termiskinkan di kota adalah karena mutu modalnya yang rendah, baik modal pendidikan, kesehatan, maupun keamanan sehingga mereka tidak mampu meningkatkan kesejahteraan dan kesehatannya. Padahal tenaga kerja mereka sangat dibutuhkan untuk mendapatkan nilai perekonomian yang tinggi, namun imbalan yang didapatnya tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkannya. Di sini apa yang menurut Barudel bahwa selain karena kepadatan penduduk yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat juga terdapat keterkaitan antara karakteristik “lingkungan bermasalah dan status kesehatan”. Lingkungan bermasalah adalah bagian dari faktor kesehatan masyarakat yang menempatinya.

Pelayanan kesehatan telah dilakukan melalui Dinas Kesehatan Militer (Militaire Geneeskundige Dienst atau MGD, 1818-1942). Akan tetapi pelayanan kesehatan dari lembaga ini khusus diberikan kepada tentara atau militer Belanda yang ada di Jawa dan tentara Belanda asal pribumi,35 sementara bagi masyarakat sipil baik asal pribumi maupun Belanda bisa mendapatkan pelayanan kesehatan tetapi harus melalui izin khusus dari pemerintah Hindia Belanda. Sistem pelayanan kesehatan bagi masyarakat sipil di lembaga itu memang telah berjalan sejak tahun 1818 hingga pemerintah kemudian membentuk institusi kesehatan bagi masyarakat sipil pada tahun 1820 yang disebut Dinas Kesehatan Sipil (Burgelijk Geneeskundige Dienst/BGD), namun bagi masyarakat sipil sampai awal abad ke-20 pelayanan kesehatan dari lembaga ini masih tidak bisa dijangkau. 36 Masyarakat beranggapan bahwa pelayanan kesehatan menjadi hal yang menjadi beban hidup yang berat. Kondisi seperti ini yang dapat mempengaruhi perilaku atau budaya hidup sehat mereka yaitu melakukan pengobatan tradisional dengan mengandalkan bahan-bahan ramuan tetumbuhan yang ada di lingkungannya sendiri, atau bahkan melakukan pengobatan melalui dukun yang

32 ANRI, Gedenkboek der Gemeente Cheribon 1906-1930, hlm. 108.

33 Ridwan Hasyim, ‘Epidemi Kolera di Keresidenan Semarang 1900-1920’, Lembar Sejarah, Vol. 4,

No. 2, 2002, hlm. 105-106. Lihat juga C. Snouck Hurgronje, ‘Kolera dan Islam 1886’, Kumpulan Karangan

Snouck Hurgronje, Jilid V (Terj. Soedarso Soekarno dkk), Jakarta: INIS, 1996, hlm. 23-41.

34 Aris Ananta dan Ismail Budhiarso, ‘Kesehatan, Sumberdaya manusia dan Pembangunan Ekonomi’,

Prisma: Kesehatan untuk Semua: Siapa Mendapat Apa?, No. 6, Tahun XIX, Jakarta: LP3ES, 1990, hlm. 23.

35 Peter Boomgard, et al, Health and Care in Java: Past and Present, Leiden: KITLV Press, 1996, hlm.

8-10. Disebutkan bahwa setelah tahun 1850 jumlah petugas militer termasuk petugas militer kolonial Belanda yang lulusan Dutch Military Medical School di Utrecht semakin meningkat dan antara tahun 1816 dan 1855 jumlah presentasi dari petugas kesehatan tersebut adalah 20-40 % dari orang-orang German.

36 J. W. Tesch, ‘De Ontwikkeling van de Zorg voor de Volksgezondheid in Nederlandsch-Oost-Indie’,

Kolonial Studien, 1941, hlm. 626, lihat juga Satrio, Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia, I, Jakarta: Depkes

RI, 1978, hlm. 29, lihat juga Baha Uddin, ‘Pelayanan Kesehatan Pada Masa Kolonial’, Lembar Sejarah, Vol. 2, No. 2, 2000, hlm. 107-108.

(14)

dianggap bisa mengusir penyakit yang dideritanya. Menurut Jeffers,37 masyarakat hanya akan mencari pengobatan modern bila penyakit yang dideritanya sangat membahayakan dan itu pun mendapatkan kesulitan ketika didapati pelayanan kesehatan yang rumit yang penuh dengan persyaratan yang mengikat. Kondisi seperti ini membuat masyarakat tidak percaya dan ragu untuk memutuskan melakukan pengobatan modern. Kondisi ini pun pada akhirnya mempengaruhi terhadap percepatan penularan wabah penyakit.

Karena itu pula wajah Gemeente Cheribon sampai pertengahan abad ke-20 masih menampilkan apa yang disebut kampongs. 38 Dijelaskan dalam koran Koemandang Masjarakat tahun 1916, bahwa masyarakat khususnya buruh asal pribumi banyak yang menempati tempat-tempat yang tidak sehat atau sanitasinya buruk, dipenuhi kubangan-kubangan yang berbau tidak enak, yang dapat menyebabkan munculnya penyakit malaria.39 Lingkungan Kota Cirebon sampai pertengahan abad ke-20 disebut sebagai kota yang jorok dan dilecehkan atau het geminachte strandnest.40 Keadaan lingkungan kota tidak teratur, kotor, becek, penuh lumpur, dan tidak mempunyai saluran pembuangan air limbah rumah tangga. Apabila musim hujan sering terjadi banjir dengan ketinggian mencapai satu meter dan kelancaran aliran air sungainya sangat tergantung pada pasang-surut air laut sehingga ketika air laut pasang, sampah dan kotoran masuk ke dalam sungai dan kemudian menumpuk di muara sungai. Lingkungan pesisir atau sekitar pantai sangat gersang dan panas. 41 Lingkungan yang sering dilanda banjir seperti ini dapat menjadi faktor penyebab munculnya berbagai wabah penyakit, selain karena banjir juga dapat mengakibatkan kegagalan panen yang berujung pada munculnya kelaparan dan menyusul wabah penyakit lainnya.

Maka faktor perilaku hidup sehat masyarakat, kebijakan kesehatan, dan lingkungan penduduk dapat menjadi faktor penyebab penyebaran wabah penyakit dan rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Perilaku masyarakat yang tergeser akibat perubahan fungsi kota ini seperti tidak lagi memperdulikan kebutuhan kesehatan bagi diri dan lingkungannya. Pergeseran fungsi kota bagi masyarakat pribumi yang telah kehilangan kepemilikan tanahnya, hanya menjadi arena untuk dapat mempertahankan hidupnya saja tanpa memikirkan kualitas hidupnya. Perilaku mandi, minum, dan mencuci dengan menggunakan air sungai yang sama menjadi seperti sebuah ‘abai’ atau ‘pengabaian’ atas kualitas kesehatan. Perilaku ‘pengabaian’ ini seperti apa yang disebut Djoko Suryo ketika menganalisa perilaku tidak sehat di daesa-desa di Semarang.42 Perilaku ‘abai’ di Kota Cirebon yang serupa dengan kasus di Semarang, diungkapkan dr. Schroll, bahwa masyarakat Kota Cirebon sering membuang sampah ke kali, memandikan binatang peliharaannya di kali tersebut, tidak terbiasa membersihkan kandang binatang, membuang kotoran binatang peliharaannya ke kali, sementara air kali tersebut digunakan untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari. Faktor ini menjadi penyebab tersebarnya

37 James R. Jeffers, ‘Pengaruh Faktor-faktor Penawaran, Permintaan dan Ekonomi Sosial terhadap

Pembuatan Kebijakan di Bidang Kesehatan’, Prisma: Kesehatan untuk Semua Siapa Mendapat Apa?, No. 6, XIX, Jakarta: LP3ES, 1990, hlm. 6.

38 Kampung atau kampongs adalah lokasi sekitar tempat bekerja para pekerja di perkotaan yang ditempati oleh

para migran atau pendatang dari desa untuk mencari pekerjaan di kota. Lokasi ini terlihat sangat ramai, padat, miskin, kumuh, dan kotor. Lokasi ini muncul akibat adanya perubahan lingkungan dan sosial di kota. W. F. Wertheim and The Siaw Giap, ‘Social Change in Java 1900-1930’, Pacific Affairs, Vol. 35, No. 3 (Autumn, 1962), Pacific Affairs University of British Columbia, hlm. 233-234, http://www.jstor.org.stable/2753184

diunduh 4 Maret 2015.

39 Koemandang Masjarakat, 21 Juli 1940.

40 ‘De Nieuwe Haven van Cheribon’, Weekblad voor Indie, No. 15, 1918-1919, hlm. 407. Lihat dalam Susanto

Zuhdi, (peny.), Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra, hlm. 122.

41www.cirebonkota.go.id diunduh 7 Mei 2016.

42 Djoko Suryo, Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-1900, Yogyakarta: PSAU Studi

(15)

berbagai wabah penyakit secara cepat, seperti gatal-gatal, wabah penyakit malaria, kolera, diare, pes, dan disentri.43

Wabah penyakit malaria yang menimpa masyarakat Kota Cirebon diberitakan dalam laporan Binnendlansch Bestuur 1940-1942, bahwa penyakit ini telah berkembang di Cirebon sejak tahun 1870-an. Penyakit yang awalnya banyak menyerang masyarakat di Kuningan, sebelah selatan Kota Cirebon, kemudian menyebar ke daerah-daerah sekitarnya seperti Cirebon, Indramayu, Galuh, dan Majalengka. 44 Permasalahan wabah penyakit malaria telah mengganggu kesehatan masyarakat di Kota Cirebon. Residen Cirebon mengulas permasalahan wabah penyakit malaria dalam laporannya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 11 Mei 1869 dan surat kabar Teradjoe tahun 1927, bahwa sejak tahun 1805 wabah penyakit di Kota Cirebon telah menyebar di masyarakat. Alasannya karena dinamika masyarakatnya semakin kompleks, karena itu pula kemudian Cirebon menjadi daerah yang mengalami kesulitan air bersih untuk dikonsumsi sehari-hari. Selain itu karena iklim di Cirebon yang tidak menentu.45

Selain melaporkan wabah malaria, Residen Cirebon juga melaporkan adanya penyakit cacar dan demam yang mewabah di seluruh Keresidenan Cirebon, baik di Kabupaten Cirebon, di Afdeling Indramayu, Afdeling Kuningan, maupun di Afdeling Majalengka. Di tahun 1869 beberapa daerah di Keresidenan Cirebon mengalami kesehatan yang buruk karena dilanda wabah demam dan cacar. Epidemi demam dan cacar di wilayah Kuningan, Majalengka, Galuh, Plumbon, dan Indramayu diberitakan dalam surat keputusan gubernur (Besluit Gubernemen) bulan Februari dan Desember 1869 dan disebutkan bahwa epidemi tersebut telah menghabiskan slot anggaran pemerintah. Dalam laporan itu diberitakan juga tentang kondisi kesehatan masyarakat di Cirebon sejak tahun 1816-1870. Berikut bagan jumlah penderita penyakit cacar, demam, dan kolera di Cirebon selama bulan Maret sampai Mei 1870:

Jumlah Penderita Penyakit Cacar, Demam, dan Kolera di Cirebon Tahun 187046

No. Wilayah Epidemi Maret April Mei Keterangan

1. Afdeling Indramayu 366 orang 757 orang 74 orang 2. Afdeling Galuh 191 orang 36 orang

3. Afdeling Majalengka Kesehatan tidak

begitu buruk 4. Afdeling Kuningan 31 orang 39 orang 44 orang

5. Kabupaten Cirebon Ada indikasi

kesehatan buruk

Jumlah 588 orang 832 orang 128 orang

43 ‘De Gezondmaking van Cheribon’ , Overdruk Uit de Koloniale Studien, Weltevreden: Albrecht & Co, 1916,

hlm. 21. lihat ‘De Cheribonsche Opstand van 1806’, Tijdspiegel, hlm. 393.

44 ANRI, “Malaria Bestrijding Verordening Regentschap Koeningan”, Departement van Binnendlansch

1940-1942, No. 1893, Buku I.

45 Teradjoe, 17 Januari 1927. Susanto Zuhdi, (peny.), Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra: Kumpulan

Makalah Diskusi Ilmiah, Jakarta: Depdikbud, 1997, hlm. 123-124.

46 Data diolah dari ANRI, “Gezonheids Rapporten Cheribon 1869-1880” dalam Inventaris Arsip Cirebon K-7

No. 66a. 4. Jakarta: ANRI, 1985. “Laporan Negara tentang data orang-orang sakit kolera pe-hari”dalam Medica 16. “Laporan Negara tentang data orang-orang sakit cacar dan demam” dalam Medica 20, No. 2500, 11 Januari

(16)

Wabah penyakit yang mematikan di daerah Cirebon di tahun 1870 mencapai angka 1548 orang dan yang paling banyak menyerang masyarakat di wilayah Afdeling Indramayu. Dari data tersebut jumlah penduduk di Afdeling Indramayu yang terserang wabah cacar, demam, dan kolera mencapai 366 orang di bulan Maret, 757 orang di bulan April, dan 74 orang di bulan Mei. Di Afdeling Galuh jumlah sekitar 191 orang di bulan Maret dan 36 orang di bulan April. Afdeling Majalengka didapati sebagai daerah yang kesehatannya tidak begitu buruk dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Di Afdeling Kuningan 31 orang di bulan Maret, 39 orang di bulan April, dan 44 orang di bulan Mei. Adapun keadaan kesehatan di Kabupaten Cirebon tidak ditemukan data jumlah penderita penyakit cacar, demam, dan kolera tersebut hanya disebutkan bahwa di daerah ini terdapat indikasi kesehatan buruk. Upaya pemerintah dalam mengahadapi berbagai wabah penyakit mematikan itu telah dilakukan sejak tahun 1816. Dari laporan Residen Cirebon tanggal 12 Juni 1816 dan tanggal 11 Mei 1869 disebutkan tentang adanya upaya pemberantasan penyakit yang terjadi akibat virus yang sporadis itu. Namun tidak disebutkan tentang jenis upaya yang dilakukan. Baru dari laporan Residen Cirebon tanggal 10 Mei 1870 disebutkan adanya upaya vaksinasi penyakit cacar untuk seluruh daerah di Kersedienan Cirebon. Laporan tentang kondisi kesehatan masyarakat di Kabupaten Cirebon, khususnya, juga tidak banyak ditemukan beberapa penjelasan secara detail. Dalam analisa Gani terhadap laporan Residen Cirebon tentang kondisi kesehatan masyarakat Cirebon ketika diminta oleh Gubernur Thomas Stamford Raffles (1808-1811), adalah adanya penolakan disebabkan kondisi kesehatan yang buruk. Alasannya adalah karena masyarakat masih meyakini pengobatan tradisional yang dapat menyembuhkan penyakitnya dan tidak melakukan pengobatan yang ditawarkan pemerintah. Dalam kenyataannya bahwa kondisi kesehatan yang buruk adalah karena adanya ketidakpuasan masyarakat pribumi atas upaya kesehatan dari pemerintah Hindia Belanda yang bersifat diskriminatif. Menurut Gani bahwa pelayanan kesehatan bagi masyarakat sipil dibuat hanya karena alasan untuk menghindari tertularnya berbagai penyakit kepada orang-orang Belanda yang ada di kota bukan karena bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat pribumi.47 Dalam hal ini faktor budaya hidup sehat dan faktor politik dapat menjadi hal penting dalam dinamika kesehatan.

Laporan Residen Cirebon tahun 1869-1870 yang menyebutkan tentang upaya pemerintah untuk mengatasi wabah penyakit cacar dan demam tersebut, seperti vaksinasi48 pun terkendala dengan jumlah biaya yang besar yang dianggap menghabiskan slot anggaran dana pemerintah.49 Kendala yang datang dari pemerintah seperti itulah yang menurut Sciortino adalah sebagai ancaman besar bagi buruknya kesehatan masyarakat pribumi. Apabila kebijakan politik kesehatan tidak baik maka masyarakat menderita sakit yang parah dan lama. Sistem kesehatan yang bersifat top-down memiliki ketergantungan pada kesuksesan pemerintah dalam melakukan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat.

Selain wabah penyakit cacar, demam, dan kolera, wabah penyakit pes merebak di Kota Cirebon dan menjadi epidemi bagi daerah-daerah sekitarnya. Tahun 1925 pemerintah Kota Cirebon membentuk Dinas Pemberantasan Pes (Pesbestrijding Dienst) yang bertempat di Kuningan sebelah selatan Cirebon. Dinas ini berada di bawah Kesehatan Sipil (Dienst der Volksgezonheid/DVG) atau yang sebelumnya disebut Burgelijk Geneeskundige Dienst (BGD) yang berfungsi melakukan kontak langsung dengan masyarakat dalam menangani kesehatan

47 A. Jaelani Gani, Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942, Bandung, Syabas Book, 2013

48 ANRI, “Laporan Residen Cirebon No. 4251 10 Agustus 1869” dalam Inventaris Arsip Cirebon K-7 No. 66a.

4. Gezonheid Rapporten.

49 ANRI, “Laporan Residen Cirebon No. 4840 14 Desember 1869” dalam Inventaris Arsip Cirebon K-7 No.

(17)

masyarakat, baik bersifat kampanye melawan endemi dan epidemi penyakit pes.50 Upaya pemerintah untuk membantu pembasmian wabah penyakit pes ini dilakukan dengan mengirimkan dokter pemerintah untuk memimpin laboratorium pemeriksaan tikus. Pada tahun 1929 di daerah Kuningan ditempatkan pemimpin pemberantasan penyakit pes yang daerah tugasnya meliputi Cirebon, Indramayu, dan Tasikmalaya, dan selain itu juga ditempatkan sejumlah 9 orang penyuluh untuk penyakit Pes. Mereka juga dibantu oleh pegawai-pegawai Dinas Penyuluhan Pes dari Jawa Tengah yang sudah tidak banyak tugasnya melainkan dapat diperbantukan untuk daerah Jawa Barat.51 Jumlah angka kematian akibat penyakit pes di Cirebon di awal abad ke-20 (1922-1930) itu sangat tinggi.

Wabah penyakit lain yang mematikan dan menyebar di Kota Cirebon adalah wabah penyakit penyakit malaria. Dalam koran Bintang Tjirebon disebutkan wabah penyakit malaria yang sering disebut masyarakat Cirebon sebagai ‘penyakit demam maut’ atau ‘mengijrail’ menjalar di kampung-kampung di Kota Cirebon,52 seperti di Kejaksan, Cangkol, dan Kanggraksan hingga kemudian menyebar ke seluruh Karesidenan Cirebon.53 Sebutan penyakit ‘demam maut’ oleh masyarakat Kota Cirebon untuk penyakit malaria adalah karena penderitanya mengalami gejala-gejala seperti demam dengan fluktuatif yang teratur dan kurang darah yang berakhir dengan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh parasit yang disebarkan oleh nyamuk dari jenis Anopheles yang menghalangi jalan darah ke otak sehingga menyebabkan koma, mengigau, dan berakhir dengan kematian. Walaupun ditularkan oleh nyamuk, penyakit malaria sebenarnya merupakan suatu penyakit ekologis. Kata malaria sendiri berasal dari bahasa Italia yaitu male dan aria yang berarti hawa buruk. Sebelumnya manyarakat beranggapan bahwa malaria disebabkan oleh udara yang kotor. Seperti halnya di Perancis dan Spanyol yang mengenal penyakit malaria dengan nama “paladisme atau paludismo“, yang berarti daerah rawa atau payau karena penyakit ini banyak ditemukan di daerah pinggiran pantai. Malaria juga dikenal dengan istilah marsh fever, remittent fever, intermittent fever, dan hill fever atau demam yang mematikan. Dalam pengertian ini penyakit malaria sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lingkungan yang memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dan berpotensi melakukan kontak dengan manusia dan menularkan parasit malaria. Contoh faktor-faktor lingkungan yang menyebabkan tumbuh dan berkembangnya wabah malaria adalah iklim yang terkadang tidak menentu yang menimbulkan hujan dan kelembaban pada suhu udara, juga karena arah, kecepatan, dan ketinggian angin. Air hujan yang tergenang dan dibiarkan di lingkungan yang lembab dengan suhu 20-27 derajat celcius, dapat menjadi faktor esensial bagi perkembang-biakan nyamuk dan parasit malaria berkembang sangat cepat.

Sebetulnya wabah malaria menyerang juga masyarakat di Batavia dan di kota-kota lainnya di Jawa, terutama daerah perkebunan dan daerah pantai. Penduduk Cina dan penduduk Belanda di Batavia menyebut penyakit malaria sebagai kutukan dan gangguan roh jahat, karena penderitanya mengalami demam, menggigil, mengingau kemudian mati. Namun laporan pertama tentang adanya penyakit malaria adalah dari Residen Cirebon. Bahwa wabah malaria telah terjadi di Cirebon sejak tahun 1805 dan pada tahun 1852-1854. Wabah penyakit malaria ini bisa diatasi dengan getah dari batang pohon cinchona (kina) yang sebenarnya beracun tetapi menekan pertumbuhan protozoa dalam jaringan darah. Kina mengandung lebih dari 20 alkoloid yang terutama adalah kinina dan atabrine. Kandungan ini telah dianggap lebih

50 Peter Boomgard, ‘The Development of Colonial Health Care in Java: an Exploratory Introduction’, Bijdragen

tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 149, 1ste, hlm. 87.

51 ANRI, Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Barat), hlm. CXLVI

52 Bintang Tjirebon, 12 Mei 1914.

53ANRI, ‘Malaria Bestrijding’, Gedenkboek Der Gemeente Cheribon 1906-1931, hlm. 93-127. ANRI,

(18)

mampu menangkal dan menyembuhkan demam malaria secara total dan lebih efektif dalam menekan jenis-jenis malaria. Pemerintah Hindia Belanda telah berupaya mengatasi wabah malaria tersebut melalui penanaman pohon kina sejak tahun 1865 di daerah-daerah yang memiliki tingkat kelembaban yang tinggi di Jawa, seperti di Pangalengan Bandung Selatan. Upaya ini dilakukan oleh Charles Ledger dari Peru. Sejak tahun 1907 upaya penanganan dan pemberantasan wabah malaria ini adalah dengan cara pemerikasaan atas mayat penderita penyakit malaria. Peraturan ini disebut verplichte doodschouw (kewajiban pemeriksaan mayat) yang dipersyaratkan untuk dapat memperoleh surat keterangan kematian.upaya ini bertujuan untuk mendata urutan sebab kematian pada masyarakat. Dari hasil pelaksanaan peraturan tersebut, dapat diketahui urutan sebab dan urutan kematian yang terjadi di daerah-daerah di Jawa, terutama di tiga kota besar. Seperti di Batavia, urutan sebab kematian adalah kolera, longtuberculose (TBC paru), tipus, malaria, dan disentri. Di Semarang adalah kolera, malaria, tipus, TBC, dan disenteri. Adapun di Surabaya malaria, TBC, kolera, tipus, dan disentri. Namun pada pelaksanannya upaya penanganan dan pemberantasan atas wabah penyakit malaria ini baru dilakukan sekitar tahun 1911 dan 1914. Di Kota Cirebon, berdasarkan sumber yang didapat urutan wabah penyakit yang mematikan adalah influenza, cacar, malaria, pes, kolera, dan disentri. Semua wabah penyakit tersebut, khususnya malaria di Kota Cirebon menyerang anak-anak dan dewasa. Pemerintah memandang wabah ini sebagai ‘musuh negara’ karena telah mengganggu kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. Upaya pemberantasan wabah penyakit malaria juga wabah penyakit lainnya adalah dengan membuat tanggul sepanjang garis pantai yang tingginya melebihi tinggi air laut saat pasang, begitu juga pada tanah di belakang tanggul. Selain itu dengan membuat saluran air yang bermuara ke pantai. Sedangkan pemberantasan malaria di daerah pedalaman adalah dengan menaburkan obat atau racun kinine di kolam-kolam ikan tawar. Selain pemberatasan tersebut, pada tahun 1924 pemerintah Hindia Belanda Belanda mengirimkan petugas kesehatan untuk dari Dinas Higiene ke daerah-daerah pedalaman. Pada perkembangannya, usaha pemberantasan wabah penyakit menular dan mematikan lebih ditekankan pada usaha kuratif sehingga menuju ke-arah preventif. Usaha kuratif dan preventif mulai digalakan dan dikembangkan di perusahaan-perusahaan perkebunan milik pemerintah maupun swasta. Demikian juga di daerah perkebunan yang ada di bawah pengawasan Kota Cirebon. Pemerintah Hindia Belanda telah memiliki tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan para pekerja perkebunan dengan demikian dapat meningkatkan daya kerja (arbeidscapaciteit) dan daya produksinya (productie capaciteit).54 Namun demikian upaya penanganan secara modern tidak mampu meningkatkan derajat kesehatan bagi masyarakat Kota Cirebon.

Wabah influenza tetap menjadi wabah yang mematikan di kota sejak tahun 1918-1940 dan menyerang secara merata di seluruh Karesidenan Cirebon. Angka kematian masyarakat Kota Cirebon akibat wabah penyakit influenza dalam rentang waktu tersebut merupakan angka tertinggi dibanding di tahun-tahun sebelumnya. Bahkan di tahun 1918 Keresidenan Cirebon termasuk ke dalam lima derah terburuk di Jawa akibat terserang wabah influenza, setelah Madura, Banten, Kediri, dan Surabaya.55 Upaya pembasmian berbagai wabah penyakit dilakukan oleh pemerintah termasuk perbaikan rumah-rumah penduduk yang terkena penyakit, terutama juga untuk penyakit pes. Tetapi seperti terdapat dualisme dalam menghadapi permasalahan kesehatan masyarakat ini. Bahwa ketika pemerintah mengadakan

54 ‘Malaria di Cirebon Masa Kolonial’ dalam

http://kesehatanlingkungan.wordpress.com/penyakit-menular/malaria-pembunuh-terbesar-sepanjang-abad/ diunduh Sabtu 8 Oktober 2016.

55 Sri Margana dan M. Nursam, (peny.), Kota-Kota di Jawa, hlm. 2-3 dan 9-10. Lihat J. Paulus,

Encyclopaedie van Nederlands Indie, hlm. 477. Siddhart Chandra, ‘Mortality from the Influenza Pandemic of

1918-1919 in Indonesia’ dalam Population Studies, Vol. 67 No. 2, 2013, hlm. 185-193,

(19)

perubahan atas fungsi kota dari kota tradisional ke kota modern, sekaligus juga memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat modern untuk masyarakat. Namun hal tersebut menjadi memberatkan masyarakat karena berbagai persyaratan yang dibebankan. Masyarakat bisa melakukan pengobatan di lembaga kesehatan milik pemerintah namun biaya pengobatannya tidak dapat dijangkau oleh masyarakat pribumi karena mahal. Selain itu mereka tidak boleh meninggalkan pekerjaannya sekalipun dalam keadaan sakit. Kebijakan ini pada akhirnya membuat masyarakat semakin memburuk kesehatannya. Begitu juga ketika masyarakat diperkenalkan hidup sehat dan pengobatan yang modern, terdapat sikap penolakan atas upaya pemerintah tersebut. Masyarakat lebih mengambil cara pengobatan yang diyakininya sendiri baik melalui dukun, atau hanya berdiam dirawat di rumah, atau meramu obat-obatan tradisional, atau bahkan tetap beraktifitas sosial sekalipun dalam keadaan sakit sehingga memudahkan penularan bibit penyakit. Permasalahan ini nampak seperti tidak ada solusi. Faktor-faktor yang terkait baik lingkungan, kebijakan, dan budaya hidup sehat menjadi sulit diurai untuk masa itu.

E. Kesimpulan

Dalam mengkaji sejarah kesehatan maka tidak bisa terlepas dari keterkaitannya dengan faktor geografi lingkungan, politik, dan budaya masyarakat. Sesungguhnya adanya asumsi semakin tinggi tingkat kemajuan suatu daerah maka semakin dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakatnya. Derajat kesehatan masyarakat dapat menjadi faktor penentu tingkat kesejahteraan dan kemakmuran suatu daerah atau kota. Namun upaya meningkatkan derajat kesehatan apabila terkendali dengan kebijakan yang diskriminasi di satu sisi dan budaya tradisional di sisi lain, membuat asumsi tersebut tidak terbukti. Masyarakat yang menjadi investasi negara tidak lagi dapat turut serta dalam pembangunan modernisasi. Demikian juga masyarakat yang ‘terpaksa’ berada dalam lingkungan kota yang sudah mengalami proses modernisasi baik lingkungan maupun dinamika sosialnya, secara ‘terpaksa’ pula harus menyesuaikan proses modernisasi tersebut dengan tidak ‘mengabaikan’ perilaku hidup sehatnya.

Lingkungan pesisir yang mengalami perubahan untuk mendukung perekonomian menjadi ironis bagi kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. Lingkungan kota yang mengalami modernisasi telah mengakibatkan munculnya berbagai wabah penyakit yang banyak menyebar khususnya di masyarakat pekerja. Munculnya kampongs telah membuat wajah lingkungan kota pun menjadi pangkal munculnya bibit penyakit, di samping adanya iklim yang tidak menentu yang mengakibatkan sering banjir dan membuat munculnya rawa-rawa, kubangan kotor, dan sungai meluap di lingkungan tersebut.

Lingkungan Kota Cirebon pada masa kolonial telah menjadi tempat yang baru dan memaksa masyarakat untuk berperilaku kurang sehat sehingga mengakibatkan berbagai bibit penyakit datang dan menyebar dengan cepat, dari malaria sampai influensa. Dengan demikian faktor lingkungan, kebijakan politik, dan perilaku masyarakat dapat menentukan derajat kesehatan yang dianggap sebagai barometer peradaban manusia.

Untuk itu kajian sejarah kesehatan dapat dikembangkan lebih dalam lagi untuk melengkapi kajian sejarah sosial baik di tingkat lokal maupun global, terlebih pula untuk dapat menjawab permasalahan kesehatan di masa lalu yang tidak bisa disejajarkan keberhasilannya dengan tingkat ketercapaian proses modernisasi.

BIBLIOGRAFI

(20)

A. Sumber Primer

ANRI, Kolonial Verslag 1883-1884.

ANRI, Gedenkboek der Gemeente Cheribon 1906-1931. ANRI, Wapen van de Gemeente Cheribon, KIT. 994/90.

ANRI, “Gezonheids Rapporten Cheribon 1869-1880”, Inventaris Arsip Cirebon K-7 No. 66a. 4. .

ANRI, “Laporan Negara tentang data orang-orang sakit kolera pe-hari”, Medica 16.

ANRI, “Laporan Negara tentang data orang-orang sakit cacar dan demam” dalam Medica 20, No. 2500, 11 Januari – 4 Juli 1870.

ANRI, “Malaria Bestrijding Verordening Regentschap Koeningan”, Departement van Binnendlansch 1940-1942, No. 1893, Buku I.

A.2. Arsip Tercetak

ANRI, Staatsblad van Nederlandsch-Indie, Batavia: Landsdrukkerij, No. 85, 1905.

ANRI, Staatsblad van Nederlandsch-Indie, Batavia: Landsdrukkerij, No. 122 dan 276, 1906. ANRI, Staatsblad van Nederlandsch-Indie, Batavia: Landsdrukkerij, No. 95 dan 246, 1910. Marell, J van der, ‘Memorie Resident Cheribon 22 April 1922’,Memorie van Overgave (Memori Serah Jabatan 1921-1930) Jawa Barat, Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah No. 8, Jakarta: ANRI,1976.

B. Sumber Skunder B.1. Majalah

Prisma, Kesehatan untuk Semua: Siapa Mendapat Apa?, No. 6, Tahun XIX, Jakarta, LP3ES, 1990.

Prisma, Politik Ekonomi Kaum Pinggiran, No. 5, Tahun XX, LP3ES, 1991.

‘De Gezondmaking van Cheribon’ , Overdruk Uit de Koloniale Studien, Weltevreden: Albrecht & Co, 1916.

‘De Cheribonsche Opstand van 1806’, Tijdspiegel, hlm. 393.

‘De Nieuwe Haven van Cheribon’, Weekblad voor Indie, No. 15, 1918-1919.

B.2. Surat Kabar

Bintang Tjirebon, 12 Mei 1914. Koemandang Masjarakat, 1939-1940. Teradjoe, 17 Januari 1927.

Weekblad voor Indie, No 15, 1918-1919.

(21)

Adi Darmarastri, Hayu, “Keberadaan Nyai di Batavia 1870-1928”, Lembar Sejarah, Vol. 4, No. 2, Yogyakarta: Jurusan Sejarah FIB, UG, 2002.

Bondan Kanumoyoso, “ Socio-economic activity and Change in Weswt Java: Forest Production and Agriculture in Cirebon-Priangan 1681-1772” A.B. Lapian et al, (eds.), Jurnal Sejarah: Masyarakat Lokal dalam Dinamika Sejarah dari Abad XVII hingga Akhir XX, Vol.12 No. 12 Juni 2005, Jakarta: Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia-Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Boomgard, Peter, ‘The Development of Colonial Health Care in Java: an Exploratory Introduction’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 149, 1ste.

Chandra, Siddhart, ‘Mortality from the Influenza Pandemic of 1918-1919 in Indonesia’ dalam Population Studies, Vol. 67 No. 2, 2013.

Hasyim, Ridwan, ‘Epidemi Kolera di Keresidenan Semarang 1900-1920’, Lembar Sejarah, Vol. 4, No. 2, Yogyakarta: Jurusan Sejarah FIB UGM, 2002.

Suryawati, Chriswardani, ‘Memahami Kemiskinan secara Multidimensional’, JMPK Vol. 08/No. 3/September/2005/UGM Online Journal.

Tesch, J. W., ‘De Ontwikkeling van de Zorg voor de Volksgezondheid in Nederlandsch-Oost-Indie’, Kolonial Studien, 1941.

Uddin, Baha, ‘Pelayanan Kesehatan Pada Masa Kolonial’, Lembar Sejarah, Vol. 2, No. 2, 2000.

Wertheim, W. F., and The Siaw Giap, ‘Social Change in Java 1900-1930’, Pacific Affairs, Vol. 35, No. 3 (Autumn, 1962), Columbia: Pacific Affairs University of British.

B.4. Buku

Basundoro, Purnawan, Merebut Ruang Kota: Aksi Miskin di Kota Surabaya 1900-1960, Tangerang: Marjin Kiri, 2013.

Boomgard, Peter, et al., Health Care in Java: Past and Present, Leiden: KITLV Press, 1996. Braudel, Fernand, Civilization an Capitalism 15th-18th Century: The Structures of Everyday

Life The Limits of Possible, Vol. 1, Translation from the French Revised by Sian Reynold, London: Collins/Fontana Press, 1988.

Breman, Jan, Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja: Jawa di Masa Kolonial, Jakarta: LP3ES, 1983.

Cortesao, Armando, (ed.), The Suma Oriental of Tome Pires and The Book of Francisco Rodrigues, Second Series No. LXXXIX, Vol. I, Germany: 1944.

Ensklopedia Nasional Indonesia, Jilid VII, Jakarta: PT.Cipta Adikarsa, 1989.

Gani, A. Jaelani , Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942, Bandung, Syabas Book, 2013

Hurgronje, C. Snouck, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, Jilid V (Terj. Soedarso Soekarno dkk), Jakarta: INIS, 1996.

Kementerian Kesehatan RI, Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Jakarta: tanpa penerbit, 2009.

Referensi

Dokumen terkait

Skrining gizi adalah proses identifikasi karakteristik yang mempunyai hubungan dengan masalah gizi, sehingga dapat ditentukan status gizi pasien yang berguna

Apabila perusahaan tidak dapat memperoleh hasil yang lebih besar dari modal yang diinvestasikan dalam aktiva tetap dibandingkan aktiva lancarnya maka sebaiknya

P value = 0,446 lebih besar dari alpha (0,05) jadi tidak ada hubungan bermakna antara umur saat menikah dengan persepsi disfungsi seksual perempuan pada pemakai

Menurut Sidjabat bukan hanya buku Seri Selamat saja untuk menjadi bahan pembinaan warga gereja, tetapi juga keteladanan Andar sebagai penulis buku Seri Selamat menjadi penting

Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh 1 satu atau beberapa satuan kerja sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program yang terdiri

Hasil dari pengujian hipotesis mengindikasikan bahwa customer capital yang dimiliki oleh PT BPR Setia Karib Abadi Semarang telah digunakan secara optimal dan memiliki

Model pengembangan kurikulum merupakan suatu alternatif prosedur dalam rangka mendesain (designing), menerapkan (implementation), dan mengevaluasi (evaluation)

Faktor risiko yang berpotensi menyebabkan kanker meliputi pola perilaku, pola makan serta faktor internal (genetik). Berkaitan dengan faktor resiko kanker payudara,