• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Perilaku bully

1.1.1. Definisi perilaku bully

Empat puluh tahun lalu, para guru mengeluh dengan adanya gangguan-gangguan dari siswa, seperti terlalu banyak bicara, keterlambatan, mengunyah permen karet di kelas. Hal tersebut menyebabkan terganggunya sistem belajar mengajar di kelas. Sekarang, pihak sekolah mengidentifikasikan beberapa masalah yang serius dalam masa sekolah, yaitu narkoba, geng, membawa senjata, bahkan pembunuhan. Di antara semua permasalahan tersebut, satu yang menadapat perhatian khusus adalah perilaku bully (Harris & Petri, 2003).

Ketertarikan masyarakat sosial mengenai perilaku bully pertama kali dipelopori oleh masyarakat Swedia pada akhir tahun 1960, kemudian, isu ini menyebar ke bangsa Skandinavia lainnya (Olweus, 2003). Bangsa Skandianavia menggunakan kata “mobbing” atau “mobbning” untuk menggambarkan perilaku yang terkait masalah bully (Olweus, 2003). Kata tersebut sendiri mempunyai banyak arti, namun dalam bahasa Inggris sendiri, “mob” diartikan sebagai seseorang atau sekelompok orang yang dikaitkan dengan kekerasan (Heinemann, dalam Olweus 2003). Olweus (2003) sendiri menggunakan kata “pelaku/korban” dan “whipping boy” dalam penelitiannya mengenai perilaku bully. Sekarang, kata yang biasa digunakan untuk menggambarkan perilaku bully adalah “peer abuse” atau “peer harassment” karena adanya kekerasan dalam perilaku yang ditimbulkan. Sekarang, masyarakat lebih sering menggunakan kata “bully” (Harris & Petrie, 2003)

(2)

Menurut Harris dan Petrie (2003) tidak ada yang bisa mendefinisikan secara pasti apa itu perilaku bully. Biasanya perilaku bully terkait dengan perilaku ekstrim yang berkaitan dengan kekerasan, namun tidak ada definisi yang spesifik mengenai bentuk perilaku ekstrim yang dimaksud. Olweus (2003) mendefinisikan perilaku bully sebagai perilaku negatif yang dilakukan oleh satu orang atau lebih secara berulang. Perilaku negatif yang dimaksud Olweus (2003) adalah perilaku yang menimbulkan ketidaknyamanan bagi orang lain. Perilaku negatif ini dapat juga perilaku verbal seperti ancaman, godaan, pemanggilan nama, ataupun perilaku fisik seperti menendang, memukul, atau mendorong.

Definisi lain dari perilaku bully adalah perilaku agressi dan manipulasi yang dilakukan secara sadar oleh satu orang atau lebih terhadap oranglain atau kelompok lain (Sullivan, 2000). Perilaku bully mempunyai beberapa karakteristik, menurut Sullivan (2000), yaitu:

1. Perilaku yang bersifat kekerasan. 2. Adanya kesenjangan kekuatan. 3. Terorganisir dan sistematis.

4. Perilaku yang berulang, terjadi dalam jangka waktu yang lama, terkadang terjadi secara acak.

5. Pengalaman sebagai korban bully dapat menyebabkan luka secara fisik, maupun secara psikologis.

Dilihat dari beberapa definisi perilaku bully, dapat disimpulkan, perilaku bully adalah perilaku kekerasan secara verbal maupun fisik yang dilakukan oleh sekelompok individu atau hanya seorang individu terhadap kelompok lain atau individu lain.

(3)

1.1.2. Bentuk perilaku bully

Perilaku bully bisa bermacam-macam bentuknya. Sullivan (2000) membagi perilaku bully ke dalam 2 bentuk, yaitu perilaku bully secara fisik, seperti menendang, mencakar, mendorong, menjambak, memukul, merusak barang oranglain, dan bentuk perilaku kekerasan fisik lainnya dan perilaku bully secara non-fisik.

Perilaku non-fisik ini dapat dibagi lagi ke dalam 2 bagian, yaitu secara verbal, dan secara non-verbal. Perilaku bully non-fisik secara verbal dapat berupa mengucapkan kata-kata kasar, intimidasi, mengancam seseorang, menghina hal yang berkaitan dengan ras, pemanggilan nama secara tidak sopan, menyebarkan kabar tidak benar, dan perilaku lainnya. Sedangkan perilaku bully non-fisik secara non-verbal dapat berupa bahasa tubuh yang kasar, muka yang tidak bersahabat, (perilaku secara langsung), merusak pertemanan, mengabaikan atau mengucilkan secara sengaja, mengirim surat tanpa nama yang berisi kata-kata yang jahat (perilaku secara tidak langsung).

2.1.3 Orang-orang yang terlibat dalam perilaku bully 2.1.3.1 Pelaku bully

Baik anak laki-laki mapun anak perempuan dapat menjadi pelaku bully. yang membedakan adalah bentuk perilaku bully yang dilakukan oleh anak laki-laki dan anak perempuan. Menurut Sullivan (2000), anak laki-laki cenderung untuk melakukan perilaku bully secara fisik dan lebih bersifat mengancam dibandingkan dengan anak perempuan. Sedangkan anak perempuan, lebih cenderung untuk melakukan perilaku bully secara tidak langsung seperti mengabaikan teman secara sengaja atau menyebarkan kabar tidak benar (Sullivan, 2000).

(4)

Sullivan (2000) berpendapat, perbedaan perilaku bully yang ditunjukkan anak laki-laki dan anak perempuan tersebut terkait dengan pola persahabatan yang mereka jalani. Anak laki-laki cenderung melakukan perilaku bully secara fisik karena mereka cenderung bermain dalam suatu kelompok yang bersifat mendominasi. Selain itu, persahabatan antara anak laki-laki dapat terjalin karena adanya hobi yang sama. Sedangkan pada anak perempuan, perilaku bully yang ditunjukkan cenderung ke arah perilaku secara verbal dan tidak langsung, dengan mengelompok atau merusak pertemanan anak lain. Pola persahabatan pada anak perempuan cenderung lebih intim dan terdapat batas yang kuat antara teman dekat atau anak yang bukan merupakan teman dekat mereka (Olweus, dalam Sullivan, 2000). Keintiman yang terjalin dalam persahabatan anak perempuan inilah yang dapat menjadikan adanya perilaku kekerasan secara tidak langsung, karena pada anak perempuan, pengabaian adalah suatu bentuk hukuman (Lagerspertz dkk., dalam Sullivan 2000).

Pelaku bully merupakan anak laki-laki cenderung stabil pada setiap tingkat sekolah, walaupun jumlah korban bully menurun seiring kenaikan kelas. Sedangkan pelaku anak perempuan jumlahnya juga berkurang dari anak lain (Olweus, dalam Harris & Petrie, 2003).

Ada beberapa tipe pelaku bully menurut Stephenson dan Smith (dalam Sulivan 2000), yaitu :

1. Pelaku bully yang percaya diri

Pelaku yang percaya diri mempunyai penampilan fisik yang kuat, menikmati kekerasan, merasa nyaman dengan lingkungannya serta cukup populer di antara teman-temannya.

(5)

2. Pelaku bully yang mempunyai kecemasan

Pelaku bully dengan rasa cemas mempunyai nilai akademis yang rendah, sulit untuk berkonsentrasi, kurang populer di antara teman-temannya serta merasa kurang nyaman dengan lingkungannya.

3. Pelaku bully sekaligus korban bully

Pelaku sekaligus korban adalah anak yang menjadi pelaku bully di situasi tertentu dan menjadi korban di lain situasi. Pelaku sekaligus korban adalah anak yang sama sekali tidak populer di antara teman-temannya.

Menurut Harris dan Petrie (2003), berikut hal-hal yang menggambarkan pelaku bully :

1. Pelaku bully lebih mudah depresi daripada korban bully.

2. Pelaku bully cenderung mendapat nilai akademik yang tidak bagus dan tidak menyukai sekolah.

3. Merokok dan minum alkohol.

4. Berdasarkan penelitian, 70 persen pelaku bully menunjukkan perilaku rasis. 5. Pelaku bully perempuan mempunyai umur yang sama dengan korbannya. 6. Pelaku laki-laki melakukan bully secara langsung atau merusak

barang-barang, sedangkan pelaku perempuan cenderung mencuri barang-barang pribadi atau merusak properti sekolah.

Terkait dengan keluarga, perilaku bully bisa bersifat regenerasi. Pria yang dulunya seorang bully dan mempunyai sifat agresif saat sekolah mungkin mempunyai anak yang juga seorang pelaku bully dan mempunyai sifat agresif (Farrington, dalam Sullivan 2000). Pelaku bully dapat terbentuk karena kurangnya komunikasi di rumah atau bahkan tidak ada

(6)

komunikasi sama sekali dan hubungan antar anggota keluarga yang tidak baik. Selain itu pola asuh juga berpengaruh dalam pembentukan perilaku bully. Pola asuh yang keras secara fisik, seperti memukul sebagai hukuman, juga dapat menjadikan anak agresif. Pola asuh yang terlalu membebaskan anak juga menghasilkan anak dengan kemampuan sosialisi yang rendah sehingga mereka dapat berperilaku antisosial (Bowers dkk., dalam Sullivan 2000).

Ada 4 faktor yang mendorong terjadinya perilaku bully (Olweus, dalam Olweus 2003; Loeber & Stouthamer-Loeber, dalam Olweus 2003), yaitu :

1. Perilaku negatif yang ditunjukkan orangtua pada anaknya pada masa kanak-kanak.

2. Orang tua yang membiarkan anaknya berbuat agresif tanpa menetapkan sejauh mana perilaku agresif dapat dilakukan.

3. Hukuman fisik dan kekerasan emosional yang ditunjukkan orang tua pada anaknya.

4. Hal yang juga perlu diperhatikan adalah karakteristik anak sendiri. Anak yang mempunyai temperamen tinggi serta cepat marah tentu bisa mengakibatkan terjadinya kekerasan.

Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya perilaku bully adalah adanya tontonan kekerasan yang sering dilihat anak. Hal ini bisa meningkatkan agresivitas serta berkurangnya rasa empati (Pearl dkk., dalam Olweus 2003; Eron & Huesmann, dalam Olweus 2003).

Ada 3 alasan individu melakukan perilaku bully menurut Olweus (2003): 1. Adanya kebutuhan untuk mendominasi dan mengontrol orang lain.

(7)

2. Adanya kepuasan dengan menyakiti orang lain dan perilaku kekerasan yang dibangun dengan lingkungannya.

3. Adanya “keuntungan” yang didapat dari perilakunya, misalnya “meminta” korbannya untuk menyediakan barang-barang yang pelaku inginkan.

Selain pelaku bully dan korban bully, ada juga yang menjadi pelaku sekaligus korban bully. Harris dan Petrie (2003) berkata pelaku bully yang sekaligus menjadi korban bully adalah remaja yang pernah menerima perilaku bully, dan setelahnya mencari cara untuk mem-bully orang lain.

Berikut ciri-ciri pelaku yang pernah menjadi korban bully dan kemudian menjadi pelaku bully menurut sebuah penelitian pada remaja tingkat SMA (Harris & Petrie, 2003) :

1. Pelaku/korban mempunyai kecenderungan untuk berperilaku agresif.

2. Lebih suka minum minuman keras dan merokok dibandingkan dengan remaja lain yang seusianya.

3. Memiliki nilai akademik yang kurang bagus dibandingkan korban bully. 4. Memiliki hubungan yang kurang baik dengan teman sekelasnya dan lebih

suka menyendiri dibandingkan pelaku bully.

5. Memiliki orangtua yang permisif dalam hal minum minuman keras.

Ada beberapa ciri-ciri yang dapat dilihat terkait potensi menjadi pelaku menurut Olweus (2003), yaitu :

1. Menggoda dengan cara yang tidak sopan, mengintimidasi, mengancam, merusak barang anak lain.

2. Secara fisik mungkin terlihat kuat dibandingkan teman sebayanya. 3. Adanya kebutuhan untuk mendominasi yang lain,

(8)

4. Temperamen yang tinggi, mudah marah, sulit untuk menaati peraturan.

5. Terlihat tangguh, kasar, dan menunjukkan empati yang sedikit dengan korbannya.

6. Tidak cemas atau merasa sangat percaya diri.

7. Suka melanggar peraturan, menunjukkan agresivitas pada orangtua atau guru, sering mengelak pada situasi yang “sulit”.

8. Melakukan tindakan-tindakan yang terkait dengan perilaku anti sosial termasuk mencuri, merusak barang oranglain, dan mabuk-mabukkan.

9. Mendapat dukungan dari teman-teman sekelasnya, setidaknya beberapa dari mereka.

10. Mempunyai nilai akademis yang rata-rata, di atas, atau di bawah rata-rata saat Sekolah Dasar dan mungkin mempunyai nilai akademis yang lebih buruk saat Sekolah Menengah Pertama dan mulai melakukan perilaku negatif di sekolah.

2.1.3.2 Korban bully

Suatu penelitian yang dikemukakan oleh Borg (1999) dan kawan-kawannya mengupas hal-hal mengenai korban bully (Harris & Petrie, 2003), antara lain:

1. Korban bully cenderung rajin dalam hal akademis daripada pelaku.

2. Korban bully menganggap alasan ia mendapat perilaku bully adalah karena nilai akademis yang bagus.

3. Korban bully lebih mudah cemas daripada teman-teman sebayanya. 4. Pengurangan jumlah korban bully seiring kenaikan tingkat kelas.

(9)

5. Anak laki-laki cenderung mendapatkan perlakuan bully secara langsung daripada korban perempuan.

6. Anak perempuan yang menjadi korban umumnya dipandang sebagai anak yang kurang atraktif.

7. Korban bully, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hubungan yang kurang erat dengan teman-teman sekelasnya.

Ada 3 tipe korban bully (Stephenson & Smith, dalam Sulivan 2000 ; Olweus, dalam Sullivan 2000), yaitu :

1. Korban bully yang pasif

Ciri-cirinya adalah merasa cemas, rendahnya self-esteem dan kepercayaan diri, lemah secara fisik, dan tidak populer di antara teman-temannya. Korban yang pasif ini biasanya tidak berbuat apa-apa untuk membela dirinya.

2. Korban yang provokatif

Ciri-cirinya adalah secara fisik lebih kuat dibandingkan dengan korban bully yang pasif, selain itu mereka juga lebih aktif dibandingkan dengan korban bully yang pasif, sulit untuk berkonsentrasi, menyebabkan ketegangan, kekesalan dan memprovokasi teman-temannya untuk membelanya.

3. Korban sekaligus pelaku bully

Ciri-cirinya adalah mereka memprovokasi dan menghasut perilaku agresivitas pada orang lain.

Dilihat dari keluarganya, korban bully biasanya berasal dari keluarga yang mempunyai tingkat stres, misalnya berasal dari keluarga imigran, keluarga besar, atau

(10)

orang tua yang bercerai (Fabre-Cornali, dalam Sullivan 2000; Mellor, dalam Sullivan 2000).

Olweus (2003) mendeskripsikan beberapa karakteristik individu yang berpotensi menjadi korban perilaku bully :

1. Berpotensi menjadi korban ;

a. Mungkin mempunyai fisik yang lebih lemah daripada teman-teman sebayanya.

b. Mudah curiga, cemas, sensitif, pendiam, pasif, pemalu dan mudah menangis.

c. Mempunyai self esteem yang rendah, secara tidak langsung mereka memberikan “tanda” bahwa mereka tidak berguna, menjadikan mereka target perilaku bully.

d. Kesulitan untuk mendekatkan diri dengan teman-temannya.

e. Lebih mudah berhubungan dengan orang yang lebih tua, seperti orangtua di rumah ataupun guru daripada dengan teman-temannya.

2. Berpotensi menjadi korban bully yang profokatif.

a. Mempunyai temperamen yang tinggi, dan lebih mudah untuk melawan balik jika mendapat perlakuan bully.

b. Hiperaktif, sulit untuk berkonsentrasi, mempunyai perilaku yang menjengkelkan.

c. Tidak disukai orangtua termasuk guru.

(11)

2.1.3.3Bystander

Di luar “lingkaran” tindakan bully yang melibatkan pelaku dan korban, ada yang disebut dengan bystanders. Mereka adalah orang-orang di sekitar pelaku dan korban yang menyaksikan tindakan bully tersebut. Bystanders sendiri memberikan respon yang berbeda-beda ketika menyaksikan tindakan bully (Harris & Petrie, 2003). Ada yang mengabaikannya, merasa takut, merasa itu adalah sesuatu yang lucu, atau ikut merasa sedih.

Bagaimanapun juga, tindakan bully berpengaruh pada bystanders. Berikut bentuk-bentuk pengaruh yang dialami bystander (Harris & Petrie, 2003), yaitu :

1. Mengalami mimpi buruk dan merasa takut.

2. Merasa marah atas tindakan bully namun merasa tidak berdaya untuk menolong.

3. Biasanya tidak mau terlibat dalam tindakan bully karena tidak tahu bagaimana harus merespon.

4. Hilangnya self-respect.

5. Biasanya melebih-lebihkan cerita mengenai perilaku bully untuk menunjukkan mereka gagal menolong korban bully.

2.2 Konformitas

2.2.1. Definisi konformitas

Ada beberapa definisi mengenai konformitas. Konformitas didefinisikan sebagai perubahan perilaku seseorang karena pengaruh dari orang lain (Aronson 2007). Myers (2008) mengatakan konformitas adalah perubahan perilaku sebagai hasil dari tekanan yang

(12)

nyata atau imajinasi dari kelompok. Hogg dan Vaughan (2008) mengatakan perubahan perilaku pada individu yang sifatnya jangka panjang, menetap dan individual akibat dari tekanan kelompok. Sedangkan definisi lain mengatakan konformitas adalah kerelaan untuk mengikuti perilaku orang lain (Taylor, Peplau, & Sears, 2006).

Jadi konformitas adalah perilaku yang timbul sebagai hasil dari pengaruh dan tekanan dari individu maupun kelompok yang bersifat menetap.

2.2.2 Bentuk konformitas

Ada 2 alasan yang menjelaskan mengapa individu konform, yaitu adanya keinginan untuk mengetahui hal yang benar (informational influence) dan keinginan untuk disukai orang lain (normative influence) (Taylor, Peplau, & Sears, 2006).

2.2.2.1Informational Social Influence

Terkadang dalam beberapa situasi, kita tidak tahu bagaimana harus berpikir atau bagaimana harus bertindak. Namun kita mempunyai contoh perilaku yang dapat diikuti, yaitu perilaku oranglain. Dengan bertanya pada oranglain apa yang mereka pikirkan atau hanya melihat apa yang mereka lakukan membantu kita untuk mendefinisikan situasi tersebut (Kelley, 1995; Thomas, dalam Aronson, Wilson, & Akert 2007). Ketika kita berperilaku seperti yang lainnya, maka kita diterima. Dengan adanya pengaruh dari orang lain akan membuat kita menyesuaikan diri dengan yang lain. Kita menyesuaikan diri karena kita yakin bahwa interpretasi oranglain tersebut dari situasi yang ambigu akan lebih akurat daripada interpretasi kita, dan interpretasi tersebut akan menuntun kita pada tindakan yang tepat. Inilah yang disebut informational social influence (Cialdini, dalam

(13)

Aronson, Wilson, & Akert, 2007; Cialdini & Goldstein, dalam Aronson, Wilson, & Akert, 2007; Deutsch & Gerard, dalam Aronson, Wilson, & Akert, 2007, dalam Aronson, Wilson, & Akert, 2007).

Dari sanalah mulai muncul istilah private acceptance, di mana hal itu terjadi ketika seseorang menyesuaikan perilakunya dengan perilaku orang lain karena yakin apa yang dilakukan orang tersebut benar (Aronson, Wilson, & Akert, 2007). Hal ini juga terkait dengan public compliance di mana orang akan konform pada orang lain tanpa mempercayai sepenuhnya apa yang orang itu lakukan atau katakan.

Ada beberapa situasi di mana yang menyebabkan individu melakukan konformitas menurut Aronson, Wilson, dan Akert (2007), yaitu :

1. Situasi yang ambigu.

Ambigu saat individu tidak tahu bagaimana harus merespon dengan situasi yang dihadapinya, maka individu tersebut akan terbuka terhadap pengaruh dari individu lain. Semakin ambigu situasi yang dihadapi, individu akan semakin bergantung pada oranglain (Allen, Aronson, Wilson, & Akert, 2007; Renfrow & Gosling, dalam Aronson, Wilson, & Akert, 2007; Tesser, Campbell, & Mickler, dalam Aronson, Wilson, & Akert, 2007; Walther dkk dalam Aronson, Wilson, & Akert, 2007).

2. Situasi yang gawat.

Situasi yang gawat akan membuat seseorang bertindak tidak rasional. Selain itu, orang akan lebih cepat panik, dan membutuhkan keputusan akan apa yang harus dilakukannya, dengan cepat. Untuk itu, biasanya dalam situasi yang krisis, orang akan melihat bagaimana kebanyakan orang berperilaku.

(14)

3. Ada individu yang lebih ahli.

Bagaimanapun situasi yang dihadapi individu tersebut, apakah ambigu atau situasi yang gawat, individu akan lebih percaya pada individu lain yang lebih berpengalaman dalam situasi tersebut (Allison dalam Aronson, Wilson, & Akert, 2007; Cialdini & Trost dalam Aronson, Wilson, & Akert, 2007).

2.2.2.2Normative Social Influence

Alasan lain konformitas dapat terjadi adalah individu yang bersangkutan ingin diterima oleh kelompoknya. Hal ini disebut sebagai normative social influence. Individu melakukan konformitas pada aturan, kepercayaan serta nilai-nilai yang dianut oleh kelompok tersebut agar dapat diterima dalam kelompoknya. Aturan, kepercayaan, nilai-nilai terebut disebut dengan norma sosial (Aronson, Wilson, & Akert, 2007).

Normative social influence seringkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari, misalnya cara berpakaian. Walaupun hanya sebagian kecil dari individu yang sangat tertarik pada fashion, sebenarnya setiap orang cenderung memakai pakaian yang saat itu sedang menjadi trend. Selain itu, normative social influence juga mempengaruhi kebiasaan, hobi, serta bentuk tubuh individu (Aronson, Wilson, & Akert, 2007).

Tidak setiap saat individu konform dengan isu yang sedang terjadi. Ada saatnya individu tidak konform terhadap hal yang sedang menjadi topik. Social Impact Theory menjelaskan hal ini (Bibb Latane, dalam Aronson, Wilson, & Akert, 2007). Menurut teori ini, ada 3 situasi di mana mempengaruhi seseorang untuk konform :

(15)

Kondisi ini menjelaskan bagaimana peran kelompok terhadap individu. Semakin penting kelompok tersebut, maka individu akan semakin konform pada kelompoknya.

2. Immediacy

Kondisi ini terkait bagaimana hubungan individu dengan kelompoknya, dan bagaimana hubungan tersebut mempengaruhi individu tersebut. Semakin penting kehadiran individu, maka semakin individu akan konform pada tekanan kelompoknya.

3. Number

Hal ini terkait banyak sedikitnya anggota dalam kelompok tersebut. Semakin banyak anggota kelompok, maka pengaruh setiap individu di dalamnya akan semakin sedikit. Jika individu merasakan adanya tekanan kelompok untuk konform, maka menambah anggota dalam kelompok akan membuat perubahan jika anggota kelompok di dalamnya sedikit.

Menurut Taylor, Peplau dan Sears (2006) ada beberapa situasi yang menyebabkan apakah individu konform atau tidak :

1. Ukuran kelompok

Konformitas dapat meningkat jika anggota dalam grup juga mengalami peningkatan. Contohnya, jika ada 5 orang individu di dalam suatu ruangan yang sama. Jika hanya individu pertama yang mengeluh karena merasa tidak

(16)

nyaman, sedangkan 4 individu lainnya tidak mengeluh, maka individu pertama mungkin berpikir ada yang salah dengan dirinya.

2. Group Unanimity

Individu akan konformitas pada suatu kelompok jika kelompok tersebut mempunyai kesatuan yang kuat. Contohnya dalam pengambilan keputusan, jika ada perbedaan pendapat pada tiap individu, kemudian individu lainnya konform terhadap keputusan yang salah, maka individu di luar kelompok tersebut belum tentu akan konform terhadap kelompok tersebut.

3. Komitmen terhadap kelompok

Individu akan konform terhadap suatu kelompok dengan melihat keterikatan anggota kelompok tersebut serta bagaimana komitmen anggota kelompok tersebut terhadap kelompoknya. Adanya “imbalan” jika bergabung dengan kelompok, misalnya ikatan yang kuat antar anggota kelompok, kepercayaan yang kuat untuk menyelesaikan suatu tujuan utama, maupun adanya hukuman jika meninggalkan kelompok akan mempererat komitmen anggota kelompoknya.

4. Keinginan untuk tidak bergantung pada kelompok

Adanya keinginan untuk menjadi individu yang bebas, tidak terikat pada aruran kelompok juga menjadi salah satu alasan apakah individu akan konform terhadap suatu kelompok atau tidak. Dalam hal ini, individu secara sukarela melakukan hal yang berbeda dengan individu lainnya.

(17)

Ada saatnya di mana suatu kelompok lebih mementingkan kohesivitas dan solidaritas kelompok dibandingkan dengan fakta yang realistis. Hal ini disebut dengan groupthink (Janis, 1982 dalam Aronson, Wilson, & Akert, 2007). Dalam pembentukkan groupthink, biasanya individu-individu dalam kelompok akan merasa lebih kuat dan merasa tidak mungkin salah. Anggota-anggota kelompok tidak berani untuk menyuarakan pendapat yang berbeda dari kelompok. Hal tersebut terjadi karena jika ada anggota kelompok yang tidak setuju dengan pendapat kelompok, maka anggota tersebut akan dipaksa untuk konform dengan pendapat kelompok.

2.3 Remaja

2.3.1. Perkembangan Remaja

Secara fisik, masa remaja ditandai dengan terjadinya pubertas dalam tubuh. Pubertas, menurut Santrock (2007) adalah perubahan pada tubuh serta hormon yang menandai kematangan secara fisik, yang terjadi pada awal masa remaja.

Ada beberapa hal yang menandai terjadinya pubertas menurut Santrock (2007), yaitu :

1. Hereditas

Pubertas terjadi juga dipengaruhi oleh gen yang terdapat dalam individu tersebut (Adair, dalam Santrock, 2007; Eaves dkk., dalam Santrock, 2007; Mustanski dkk., dalam Santrock, 2007). Namun pada umur 9–16 tahun, faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi lama tidaknya pubertas pada individu. 2. Hormon

(18)

Hormon adalah zat kimia dalam tubuh yang terbentuk oleh kelenjar endokrin dan dibawa ke seluruh tubuh melalui aliran darah.

3. Berat badan

Salah satu hormon yang berperan dalam proses pubertas pada remaja adalah hormon leptin. Hormon ini berperan untuk memberikan tanda jika kebutuhan lemak untuk reproduksi telah terpenuhi. Selain itu, hormon leptin juga berfungsi dalam masa kehamilan saat remaja. Hormon leptin pada anak perempuan lebih tinggi daripada anak laki-laki. Selain itu, hormon leptin juga terkait jumlah lemak pada anak perempuan dan zat androgen pada anak laki-laki.

4. Perkembangan tubuh

Karakteristik lain yang menandai terjadinya pubertas adalah perkembangan tubuh. Perkembangan tubuh yang dimaksud adalah tinggi badan. Santrock (2007) mengatakan, pada awal masa remaja, anak perempuan akan lebih tinggi daripada anak laki-laki. Namun, pada akhir Sekolah Menengah Pertama, anak laki-laki akan lebih cepat tinggi daripada anak perempuan. 5. Kematangan seksual

Ciri-ciri fisik secara seksual pada anak laki-laki ditandai dengan ukuran alat penis yang membesar, pertumbuhan testis, dan tubuhnya bulu-bulu pada penis. Sedangkan ciri-ciri pada anak perempuan meliputi ukuran payudara yang membesar, tumbuhnya rambut pada ketiak diiringi dengan tinggi badan yang meningkat. Selain itu, ukuran pinggul lebih besar daripada bahu, dan terakhir terjadinya menstruasi.

(19)

Selain pertumbuhan secara fisik, terjadinya pubertas juga ditandai dengan perubahan psikologis menurut Santrock (2007). Hal-hal psikologis yang terjadi pada masa pubertas adalah :

1. Body image

Hal ini terkait dengan pandangan individu terhadap perubahan tubuhnya. Bagaimana individu khawatir mengenai bentuk tubuh yang tidak sesuai keinginannya. Masa pubertas adalah masa di mana kecemasan akan bentuk tubuh yang tidak sesuai keinginan ini semakin menguat dibandingkan dengan akhir masa remaja.

2. Kematangan dini dan kematangan akhir

Ada perbedaan cara berpkir remaja yang mengalami kematangan lebih cepat atau lebih lambat daripada teman sebaya mereka. Remaja yang mengalami kematangan lebih cepat mempunyai pandangan kesuksesan yang lebih besar daripada remaja yang mengalami kematangan yang lebih lambat (Jones, dalam Santrock 2007).

Akhir-akhir ini, banyak penelitian yang membuktikan bahwa kematangan yang lebih cepat menyebabkan peningkatan terhadap masalah pada remaja perempuan. Remaja perempuan yang mengalami kematangan dini akan lebih mudah depresi, mengalami gangguan makan, minum minuman keras, serta pengalaman-pengalaman seksual yang lebih cepat.

3. Perkembangan otak

Salah satu bagian otak, yaitu amygdala akan lebih cepat “matang’ daripada korteks prefrontal. Amygdala berfungsi untuk mengatur emosi, sedangkan

(20)

korteks prefrontal berfungsi untuk mengatur kognitif (Santrock, 2007). Saat masa remaja, amygdala dan hippocampus yang di dalamnya terdapat sistem limbik untuk mengatur emosi akan mengalami peningkatan. Dengan perkembangan otak pada bagian yang mengatur emosi individu, maka akan berpengaruh pada psikologis individu itu sendiri.

Menurut Erikson (Zander, Crandell, & Crandell, 2007), pada masanya, remaja berusaha mengembangkan dan menemukan jati dirinya. Erikson menekankan remaja, individu akan menghadapi banyak hal yang berhubungan dengan identitasnya. Individu pada masa remaja masih “dibayangi” oleh pengalaman masa kecilnya, sekaligus mendapatkan pengalaman-pengalaman yang menuju pada masa dewasa. Individu juga akan menghadapi negative identity, yang akan berpengaruh terhadap peran sosial serta gambaran individu akan dirinya sendiri. Selain itu, bagi sebagian individu, mereka akan mengalami deviant identity, di mana pada masa ini ada gaya hidup remaja yang tidak sesuai dengan nilai yang berlaku di masyarakat serta harapan masyarakat itu sendiri.

2.3.2. Remaja dan Identitasnya

James E. Marcia (Zander, Crandell, & Crandell 2007) membagi status identitas remaja ke dalam 4 tahapan, yaitu :

1. Identity diffusion

Pada masa ini, remaja mengalami kebingungan akan siapa dirinya. Ia melakukan sesuatu tanpa tahu alasan yang jelas, dan belum mempunyai tujuan yang pasti.

(21)

2. Identity foreclosure

Pada masa ini, individu belum mempunyai kemandirian atas keputusan yang diambilnya. Ia akan menerima dan melakukan sesuatu yang baginya memang itu yang seharusnya dilakukan. Misal, seorang remaja akan masuk sebuah universitas terkenal karena hal tersebut adalah harapan orangtuanya. Maka, itulah yang akan dilakukan remaja tersebut tanpa mempertimbangkan hal lain, karena hal tersebut adalah keinginan orang tuanya.

3. Identity moratorium

Pada masa ini, individu sudah mempunyai keinginan untuk mencoba dan mengeksplorasi hal-hal dalam hidupnya. Walaupun begitu, bukan berarti individu tersebut sudah menentukan pilihan-pilihannya. Pada masa ini, individu akan mencoba berbagai hal untuk menemukan kecocokan dalam dirinya.

4. Identity achievement

Pada masa ini, individu telah melihat dirinya seperti yang orang lain lihat pada dirinya. Misalnya, seorang remaja melihat dirinya sebagai orang yang bisa dipercaya, dan memang itulah yang orang lain lihat pada dirinya (Zander, Crandell, & Crandell, 2007).

2.3.2 Remaja dan Hubungannya dengan Orang Lain

Selain berhubungan dengan dirinya sendiri, individu pada masa remaja juga akan berhubungan dengan lingkungannya, terutama teman sebayanya. Teman sebaya atau peers

(22)

mempunyai peran yang penting dalam kehidupan individu pada masa remaja. Peers akan membentuk perkembangan dan proses karakter individu pada masa remaja (Sullivan, dalam Zander, Crandell, & Crandell, 2007). Di dalam peers, individu akan menghadapi berbagai karakter peers-nya sekaligus perilaku mereka. Hal-hal tersebut mempengaruhi perkembangan individu pada masa remajanya.

Dalam hal ini, remaja membentuk clique dan crowd. Cliques adalah sekelompok remaja yang sebaya dengan kesukaan yang sama. Sedangkan crowds adalah sekelompok remaja dengan anggota yang lebih banyak dari cliques, namun antara satu anggota dengan yang lainnya tidak se erat cliques.

2.3.4 Remaja dan Perilaku bully

Dijkstra, Lindenberg, dan Veenstra (2008) melalui penelitiannya mengaitkan keberadaan remaja di sekolah dengan perilaku bully yang terkait penerimaan individu di lingkungan teman-teman sebayanya. Tempat yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah ruang kelas. Hasil menunjukkan adanya efek negatif pada perilaku bully dalam penerimaan teman sebaya dan efek positif pada penolakan teman sebaya dalam perilaku bully yang dilakukan oleh remaja populer. Dalam penelitian ini, ruang kelas juga berpengaruh dalam perilaku bully. Ruang kelas terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok populer dengan kelompok non-populer. Perilaku bully yang dilakukan oleh kelompok populer lebih cenderung terkait pada status sosialnya.

Pembahasan kembali dilakukan Salmivalli (2009) mengenai remaja dengan keterkaitannya dengan perilaku bully. Dalam artikelnya, Salmivalli membahas keterlibatan kelompok dalam perilaku bully, salah satunya adalah motivasi individu untuk

(23)

“berpartisipasi” dalam perilaku bully. Motivasi yang dimaksud adalah keinginan individu akan status sosial yang tinggi, penuh kekuasaan, dan keinginan untuk mendominasi dalam kelompoknya (Pellegrini, 2002, Salmivalli & Peets, 2008 dalam Salmivalli, 2009). Selain motivasi Estidaknya perilaku bully adalah suasana ruang kelas. Ruang kelas adalah salah satu tempat di mana perilaku bully terjadi. Dalam hal ini, keterlibatan anggota kelas juga berpengaruh dalam perilaku bully. Walaupun individu tidak bisa memilih teman sekelasnya, namun proses seleksi sosial terjadi di sana (Kandel, dalam Salmivalli, 2009). Di kelas, clique dan persahabatan terbentuk. Perilaku yang terkait perilaku bully adalah salah satu karakteristik di mana anggota clique cenderung untuk “berbagi” (Espelage, Holt, & Henkel, dalam Salmivalli, 2009; Witvliet dkk, dalam Salmivalli 2009). Clique ini kemudian terbagi dalam struktur sosial yaitu kelompok yang mendukung perilaku bully dengan kelompok yang menolak perilaku bully (Salmivalli, Huttunen, & Lagerspetz, dalam Salmivalli 2009).

Terkait dengan pencegahan perilaku bully, penelitian Dake, Price, Telljohann, dan Funk (2003) membahas persepsi dan praktek pencegahan perilaku bully yang telah dilakukan oleh guru. Sebanyak tujuh ratus orang guru dilibatkan dalam penelitian ini sebgaia partisipan yang dipilih secara acak. Dari hasil penelitian ini adalah sebanyak 83,6% partisipan mengaku telah melakukan pembicaraan serius dengan pelaku dan korban perilaku bully, 31,2% partisipan mengaku telah membuat peraturan di kelas mengenai pencegahan perilaku bully, dan 31,7% partisipan telah mendiskusikan perilaku bully di kelas mereka. Kebanyakan partisipan menganggap adanya aktivitas yang diciptakan setelah perilaku bully terjadi adalah hal yang paling penting dalam mengurangi tingkat

(24)

perilaku bully. Hal tersebut diikuti dengan pengawasan guru kepada murid-muridnya, serta adanya aktivitas lingkungan yang terkait pencegahan perilaku bully.

2.3.5 Remaja dan Konformitas

Sehubungan dengan masa remaja, konformitas meningkat. Konformitas sendiri dapat berakibat positif dan negatif. Seperti berbicara dengan kata-kata kasar, mencuri, atau mengerjai guru dan orangtua (Santrock, 2009).

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Santor, Masservey, dan Kusumakar pada tahun 1999 dilakukan untuk melihat hubungan konformitas dan tekanan teman sebaya pada remaja terkait nilai akademis yang buruk, perilaku seksual, dan penyalahgunaan obat. Pengambilan subjek untuk penelitian ini menggunakan berbagai pengumuman yang diumumkan melalui sebuah SMA lokal. Subjek yang diambil berasal dari berbagai etnis, yaitu 70% merupakan individu kulit putih, 25% merupakan individu kulit hitam, dan sisanya berasal dari etnis lain. Hasil menunjukkan adanya prediktor kuat yang mengarahkan pada perilaku-perilaku berisiko, seperti penyalahgunaan obat, perilaku ilegal, perilaku seksual dan nilai akademis yang buruk. Prediktor tersebut lebih kuat ketimbang kebutuhan untuk populer dan konformitas secara umum. Walaupun ada hubungan kuat antara kebutuhan untuk populer dan tekanan teman sebaya, namun hubungan tersebut tidak mengarahkan pada perilaku-perilaku yang berisiko.

Terkait hubungannya dengan keluarga, penelitian Zhang dan Thomas (1994) yang menggunakan teori modernisasi memberi hasil adanya tingkat konformitas yang lebih tinggi pada remaja di Cina dan Taiwan, daripada remaja di Amerika Serikat. Penelitian ini bertujuan melihat tingkat konformitas pada remaja di Cina, Taiwan, dan Amerika

(25)

Serikat, terkait 3 aspek, yaitu keluarga, pendidikan, dan agama saat modernisasi telah berkembang di negara mereka. Konsep modernisasi sendiri berasal dari Emile Durkheim dan Max Weber. Modernisasi adalah perubahan besar yang terjadi dalam lingkup sosial saat industrialisasi, birokrasi dan urbanisasi berkembang. Perubahan sosial tersebut juga terjadi dalam aspek keluarga, agama, dan pendidikan. Perubahan itu juga membawa pengaruh pada hubungan interpersonal seseorang. Hasil penelitian menunjukkan tingkat konformitas dalam keluarga yang lebih tinggi pada remaja di Cina daripada remaja di Amerika. Sedangkan dilihat pada aspek agama, remaja Amerika memiliki tingkat konformitas yang lebih tinggi daripada remaja di Cina. Adanya komunisme selama 40 tahun terakhir menjadi alasan mengapa tidak banyak variasi agama. Bagi orang Taiwan, agama juga tidak sepenting institusi sosial lainnya. Mereka mempunyai perilaku negatif dalam hal beragama dan prakteknya yang dibawa ke daratan Cina. Hal ini mengapa tingkat konformitas remaja dalam hal agama tidak setinggi remaja di Amerika. Dalam aspek pendidikan, tingkat konformitas paling tinggi terjadi pada remaja di Taiwan, walaupun tingkat konformitasnya tidak berbeda jauh dengan remaja Cina. Orang Cina memang sudah sejak awal memiliki rasa hormat dan menghargai terhadap bidang pendidikan.

Salah satu penelitian lain yang terkait konfomitas dilakukan oleh Darmawan (2007). Berlatang belakangkan berbagai hal yang dapat mempengaruhi agresivitas anak, maka Darmawan membuat penelitian mengenai konfomitas yang dikaitkan dengan perilaku garesif. Hasil penelitian menujukkan adanya hubungan yang berarah positif antara konfomitas dengan perilaku agresif pada anak.

(26)

2.4Kerangka berpikir Konformitas pada kelompok Ukuran kelompok Group Unanimity Komitmen pada kelompok Keinginan untuk berdiri sendiri Solidaritas kuat Peer pressure Perilaku bully

Referensi

Dokumen terkait

Nilai α merupakan tinggi dari garis trend pada titik rata- rata waktu; dan β merupakan slope atau konstanta. perubahan vertikal

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan sukrosa sebagai bahan pemanis dan CMC Na sebagai bahan pengental berpengaruh terhadap sifat fisik dan rasa sirup ekstrak

Lagian untuk kegiatan masyarakat begini kalau sudah ada yang memulai ya kita harus mendukung, mumpung yang mau menggerakkan juga semangat kita juga harus

(2) Dukungan anggaran kegiatan deteksi/penyelidikan intelijen, pengamanan dan penggalangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf f, harus dibuat rencana kegiatan

Setiap tanggal 22-30 setiap bulannya, Komisi Tugas Akhir akan menentukan usulan judul skripsi yang diterima beserta nama dosen pembimbing utama, kedua dan (dosen penguji menjelang

mengetahui apakah program yang telah dibuat dapat berjalan secara maksimal, untuk itu maka program tersebut harus diuji dahulu mengenai kemampuannya agar