• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Variabilitas Curah Hujan Terhadap Kejadian Banjir Di Wilayah Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan Variabilitas Curah Hujan Terhadap Kejadian Banjir Di Wilayah Bandung"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

Hubungan Variabilitas Curah Hujan Terhadap Kejadian Banjir Di Wilayah Bandung Siti Fauziah Hilmi

nenenghilmi@gmail.com Emilya Nurjani n_emilya@geo.ugm.ac.id

Abstract

Floods Events that often occur in the Bandung area can be done by high Rain Expenditure and land use change. The purpose of this study is to examine the variability of rainfall that occurs in the Bandung area, and examine the relationship between rainfall variability to flood events in the Bandung area. Rainfall data collection methods and flood event data were obtained from BMKG, BPBD, BPSDA, and CHIRPS, while the method of data analysis was quantitative descriptive. The coefficient value of high rainfall variation occurred in July at 157.4%, while the coefficient value of low rainfall variation was found in March by 20%. The coefficient of variation occurs in the dry season 131%, while the coefficient of variation occurs in the rainy season 27.7%. Variations in annual rainfall in 2011 and the lowest in 2016. Spatially, in 2016 there were 64 flood events. Temporally 5 years of flood events (2013 - 2017) occurred in the first transition season in March, April, May.

Keywords: Variability, Rainfall, Flood

Intisari

Kejadian banjir yang sering terjadi di wilayah Bandung dapat dipengaruhi oleh terjadinya curah hujan yang tinggi dan alih fungsi lahan. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji variabilitas curah hujan yang terjadi di wilayah Bandung, dan mengkaji hubungan antara variabilitas curah hujan terhadap kejadian banjir di wilayah Bandung. Metode pengumpulan data hujan dan data kejadian banjir diperoleh dari BMKG, BPBD, BPSDA, dan CHIRPS, sedangkan metode analisis data dengan deskriptif kuantitatif. Nilai koefisien variasi curah hujan tinggi terjadi pada bulan Juli sebesar 157,4%, sedangkan nilai koefisien variasi curah hujan rendah dijumpai pada bulan Maret sebesar 20%. Koefisien variasi musiman tinggi terjadi pada musim kemarau 131%, sedangkan koefisien variasi musiman rendah terjadi pada musim penghujan 27,7%. Variasi curah hujan tahunan tinggi di tahun 2011 dan rendah di tahun 2016. Secara spasial, pada tahun 2016 terdapat 64 kejadian banjir. Secara temporal kejadian banjir selama 5 tahun (2013 – 2017) banyak terjadi pada musim transisi pertama yaitu bulan Maret, April, Mei.

(2)

2 PENDAHULUAN

Iklim dan cuaca dipengaruhi oleh 5 faktor yang mengaturnya yaitu atmosfer, biosfer, hidrosfer, kriosfer, dan pedosfer (Tjasyono et al., 2009). Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya perbedaan iklim atau anomali cuaca di suatu tempat. Hal tersebut dikenal dengan kendali iklim yang terdiri dari radiasi matahari, sebagai kendali iklim yang sangat penting dan sumber energi di bumi yang menimbulkan gerak udara dan arus laut. Kendali iklim yang lain yaitu distribusi darat dan air, sel semi permanen tekanan tinggi dan rendah, massa udara, pegunungan, arus laut dan badai. Semua kendali iklim tersebut bekerja pada unsur iklim yang menghasilkan jenis iklim dan cuaca yang terjadi disuatu daerah tertentu

Variabilitas curah hujan di Indonesia merupakan bagian dari variabilitas monsun (Aldrian, et al. 2003). Adanya variasi curah hujan yang terjadi di Indonesia menyebabkan terjadinya pergeseran musim kemarau dan musim penghujan dengan intensitas hujan yang berbeda tiap tahunnya yang ditandai dengan peningkatan dan penurunan curah hujan akibat fenomena iklim. Hal ini menyebabkan terjadinya beberapa bencana banjir dan kekeringan di beberapa wilayah di Indonesia. Variasi curah hujan merupakan variabel dinamis yang

mempengaruhi bencana banjir di suatu wilayah (Nugroho, 2002). Melanjutkan, Nugroho (2002) mengatakan bahwa pada saat ini bencana banjir memiliki faktor penyebab utama yaitu intensitas curah hujan yang tinggi, sehingga kapasitas sungai tidak mampu mengatuskan limpasan permukaan. Akibatnya, limpasan permukaan menggenangi daerah yang berada disekitarnya. Kejadian bencana banjir yang sering terjadi tidak hanya dipengaruhi oleh curah hujan, faktor alam lain seperti penutup lahan juga mempengarui kejadian bencana banjir yang di suatu wilayah (Kirana, 2017). Selain faktor alam, saat ini penyebab terjadinya banjir dapat berasal dari budaya dan sosial ekonomi yang menimbulkan dampak yang berbeda dan menyebabkan adanya faktor yang lebih kompleks dalam terjadinya bencana banjir (Nugroho, 2002).

Secara umum curah hujan di wilayah Indonesia didominasi oleh adanya pengaruh beberapa fenomena, antara lain sistem Monsun Asia-Australia, El-Nino, sirkulasi Timur-Barat (Walker Circulation) dan Utara-Selatan (Hadley Circulation) serta beberapa sirkulasi karena pengaruh lokal. (Hermawan, 2010). Pergerakan matahari yang berpindah dari 23,5⁰ LU ke 23,5⁰ LS sepanjang tahun mengakibatkan timbulnya aktivitas monsun yang juga ikut berperan dalam mempengaruhi perubahan iklim.

(3)

3 Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang sangat penting. Bahasan mengenai curah hujan dalam studi iklim di suatu area masih terbatas pada area yang kecil. Hal ini disebabkan oleh jumlah stasiun penakar hujan yang terbatas (Aldrian et al., 2003) baik secara temporal maupun spasial. Oleh karena itu, adanya peningkatan akurasi peramalan curah hujan secara global sangat diperlukan dalam jangka pendek maupun panjang untuk memprediksi terjadinya bencana yang berkaitan dengan curah hujan. Salah satu wilayah di Pulau Jawa yang sering mengalami banjir yaitu wilayah Bandung yang secara administrasi terdiri dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi.

Perubahan curah hujan yang terjadi di wilayah Bandung memiliki dampak terhadap kejadian bencana banjir di wilayah Bandung. Hal ini disebabkan karena perubahan awal musim penghujan dan musim kemarau yang terjadi akan berdampak pada kejadian bencana banjir. Bencana banjir merupakan salah satu bencana yang disebabkan oleh curah hujan dengan intensitas yang besar Secara umum permasalahan dalam penelitian ini yaitu kurangnya kajian terkait variabilitas curah hujan yang terkait dengan bencana banjir. Peningkatan pemahaman terkait variasi curah hujan terhadap kejadian bencana banjir di wilayah Bandung sangat diperlukan

untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan oleh bencana banjir mengingat wilayah Bandung merupakan pusat kota dari Provinsi Jawa Barat yang penggunaan lahannya di dominasi oleh pemukiman METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu deskriptif kuantitatif. Data penelitian diperoleh dengan metode survey instansional. Metode ini mmungkinkan peneliti untuk berkunjung secara langsung ke instansi yang dimaksud untuk memperoleh data penelitian yang diperlukan. Data penelitian yang akan digunakan yaitu data sekunder atau data instansi yang berupa data curah hujan harian, data kejadian bencana banjir, data topografi, data penutup lahan, dan beberapa data lainnya yang menunjang penelitian ini Pengujian Stasiun Hujan

Data curah hujan yang diperoleh dari beberapa stasiun hujan yang berada di wilayah Bandung Raya akan di uji tingkat konsistensi antar stasiun hujan sebelum digunakan. Uji konsistensi data hujan digunakan untuk menguji ketidakpanggahan data suatu stasiun dengan data dari stasiun itu sendiri. Uji konsistensi dilakukan dengan double mass curve. Stasiun disekitarnya sebagai sumbu x dan stasiun yang dimaksud yaitu sumbu y

(4)

4 𝐻𝑧 = tan ∝

tan ∝ 0 Keterangan:

Hz = hujan yang dihitung

Tan α = kemirirngan garis setelah ada perubahan

Tan α0 = kemiringan garis double mass curve

sebelum ada perubahan

Uji korelasi dilakukan untuk mengetahui tingkat korelasi antar stasiun hujan. Tingkat korelasi dihitung agar ketelitian peralatan, interpolasi, dan distribusi hujan yang dilakukan dapat diketahui.

𝑅 = 𝑛∑𝑥𝑦 − (∑𝑥) − (∑𝑦)

√{𝑛∑𝑥2− (∑𝑥)} − {𝑛∑𝑦2− (∑𝑦)}

Keterangan:

x = stasiun hujan yang diuji

y = stasiun hujan lainnya (penguji) n = jumlah stasiun hujan yang digunakan (Walpole, 1993; Prabaningrum & Nurjani, 2016)

Variabilitas Curah Hujan

Data variabilitas curah hujan diperoleh dari hasil pengelompokkan dan perhitungan data bulanan dengan menghitung rata – ratanya, standar deviasi, dan koefisien variasinya. Dalam hal ini dilakukan uji statistik dispersi atau ukuran variasi data curah hujan dasarian. Uji

ststistika yang digunakan antara lain yaitu standar deviasi yang merupakan alat satu ukuran disperse penyimpangan yang diperoleh dari akar kuadrat positif varians. Sedangkan variansi adalah rerata hitung dari kuadrat simpangan setiap pengamatan terhadap rerata hitungnya (Supranto, 2008; Indratmoko et al., 2017). Rumus yang digunakan sebagai berikut:

𝜎 = √∑(𝑥−𝑥)

𝑁 𝐶𝑉 = 𝑆𝐷

𝑋 𝑥 100%

(a) Standar Deviasi (b) Koefisien Variasi Hubungan Curah Hujan dengan Kejadian Banjir

Hubungan yang dikaji antara curah hujan dengan kejadian banjir dapat berupa hubungan spasial dan hubungan hubungan temporal. Hubungan spasial memuat informasi terkait kejadian banjir yang terjadi diwilayah penelitian dan kemudian dihubungkan dengan intensitas curah hujan yang terjadi pada waktu yang sama dengan kejadian banjir. Hubungan spasial ini akan menghasilkan hasil interpretasi dari peta kejadian banjir dengan data curah hujan wilayah pada saat terjadi banjir selama 5 tahun (2013 – 2017) dan diuji menggunakan Moran’s Index. Sehingga hasil interpretasi ini dapat dikaitkan dengan faktor penyebab banjir lainnya yang terjadi di wilayah Bandung. Hubungan temporal memuat informasi terkait

(5)

5 kejadian banjir di musim tertentu selama 5 tahun.

HASIL DAN PEMBAHASAN Curah Hujan Wilayah

Stasiun hujan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebanyak 6 stasiun hujan. Pada tiap stasiun hujan memiliki jumlah curah hujan yang berbeda. Perbedaan jumlah curah hujan tersebut menghasilkan range yang kecil, sehingga hujan di wilayah Bandung tidak terdistribusi dengan baik. Curah hujan wilayah diperoleh dengan metode isohyet yang dapat menggambarkan sebaran curah hujan yang ada di wilayah Bandung

Tinggi rendahnya data curah hujan yang dihasilkan pada tiap stasiun pada dasarnya disebabkan oleh besarnya ketinggian dari stasiun tersebut. Namun pada penelitian terjadi anomali seperti Gambar 1.

Gambar 1 Hubungan Curah Hujan dengan Ketinggian Tempat di Wilayah Bandung

Hujan wilayah pada Gambar 2 menunjukan bahwa Stasiun Perkebunan Sedep memiliki curah hujan wilayah tertinggi yaitu 3104 mm dengan luas sebaran hujan 186 km2, sedangkan wilayah stasiun

Pasirjambu memiliki curah hujan wilayah terendah yaitu 1863,4 – 2101 mm dengan luas wilayah sebaran 352 km2 yang meliputi

sebagian kabupaten bandung Barat dan kabupaten Bandung. Hujan wilayah dengan luas sebaran hujan tinggi yaitu dengan intensitas hujan 2292,1 – 2471 mm dengan luas sebaran 1454 km2 yang meliputi

sebagian besar kabupaten Bandung Barat, kabupaten bandung, dan kota Bandung. Hujan wilayah tahunan wilayah Bandung menunjukan bahwa dalam kurun waktu 15 tahun (2003 – 2017), wilayah Bandung didominasi oleh hujan wilayah 2292,1 – 2471 mm. wilayah Bandung sebagai recharge area mengakibatkan curah hujan yang turun ke permukaan lebih banyak dari wilayah lain disekitarnya.

Gambar 2 Peta Hujan Wilayah Bandung 15 Tahun y = 0,4247x + 28,352 R = 0, 50 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 1000 1500 2000 2500 3000 3500 Ke ti ng gi an ( m dp l) Curah Hujan (mm)

Hubungan Curah Hujan dengan Ketinggian Tempat di Wilayah Bandung

(6)

6 Perhitungan curah hujan wilayah Bandung yang dilakukan pada dasarnya menunjukan bahwa distribusi keruangan potensi sumber daya air hujan pada wilayah Bandung berkaitan dengan fisiografi wilayah Bandung. Wilayah dengan elevasi yang tinggi cenderung mempunyai curah hujan wilayah yang tinggi. Hal ini ditemukan pada penelitian Purnomo (2010) yang menjelaskan bahwa wilayah yang berada di bagian lereng atas memiliki potensi sumber daya air yang tinggi, sedangkan kategori sedang pada lereng tengah, dan kategori bawah rendah terdapat dibagian dataran rendah (alluvial).

Variabilitas Curah Hujan

Curah hujan rata – rata digunakan untuk melihat besaran dari curah hujan rata – rata bulanan selama 15 tahun (2003 – 2017) di wilayah Bandung yang kemudian dapat digunakan untuk mencari koefisien variasi curah hujan bulanan selama 15 tahun, sedangkan variabilitas curah hujan digunakan untuk melihat variasi curah hujan yang terjadi di wilayah Bandung selama 15 tahun (2003 – 2017). Jika koefisien variasi curah hujan rendah mengandung arti bahwa wilayah tersebut secara meteorologis distribusi curah hujannya merata atau dapat diperkirakan sebelumnya serta konsistensi curah hujan di stasiun tersebut tinggi, sedangkan jika koefisien variasi tinggi mengandung arti bahwa wilayah tersebut

secara meteorologis memiliki distribusi curah hujan yang tidak merata dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya dengan konsistensi yang rendah. Variabilitas curah hujan bulanan dinyatakan dalam koefisien variasi (%).

Gambar 3 Grafik Koefisien Variasi Hujan Bulanan Di Wilayah Bandung Tahun 2003 –

2017

Nilai koefisien variasi curah hujan bulanan selama 15 tahun yang tinggi terjadi di stasiun Cicalengka sebesar 157,4% pada bulan Juli. Sementara itu, nilai koefisien variasi curah hujan yang terendah dijumpai pada stasiun Perkebunan Sedep yaitu sebesar 20% yang terjadi pada bulan Maret. Pola koefisien variasi curah hujan wilayah Bandung dapat digambarkan pada Gambar 3 yang menunjukan bahwa pada bulan Juni – Oktober di stasiun Cemara Lembang, Montaya, Cicalengka, dan Perkebunan sedep memiliki pola koefisien variasi curah hujan yang sama yaitu menyerupai bukit atau merupakan koefisien variasi curah hujan tertinggi di setiap stasun hujan di

0 30 60 90 120 150 180 Ja n u a ri Fe b ru a ri M a re t A p ri l M e i Ju n i Ju li A gu st u s Se p te m b e r O kt o b e r N o ve m b e r D e se m b e r KO EF O SO EN V A R IA SI (% ) BULAN

Koefisien Variasi Hujan Bulanan di Wilayah Bandung Tahun 2003 - 2017 Cemar a Lemba ng Monta ya Cicale ngka Pasirja mbu Sedep

(7)

7 wilayah Bandung. Namun, stasiun Pasirjambu memiliki tersendiri pada bulan Oktober, yang mana koefisien variasi curah hujan di stasiun Pasirjambu bulan Oktober lebih tinggi dari stasiun yang lainnya, sehingga pola variasinya berbeda

Adapun nilai koefisien variasi hujan tahunan di wilayah Bandung tinggi terjadi di stasiun Pasirjambu 112,2 % tahun 2011, sedangkan koefisien variasi curah hujan rendah terjadi di stasiun Cemara 4,3 % tahun 2016. Hal ini dapat terjadi akibat pengaruh data curah hujan rata – rata. Secara tidak langsung koefisien variasi juga dipengaruhi oleh topografi wilayah. Beberapa stasiun dengan topografi datar seperti Cicalengka dan Pasirjambu cenderung memiliki koefisien variasi hujan yang tinggi, hal ini terjadi karena dataran rendah cenderung memiliki curah hujan yang rendah dan merupakan wilayah bayangan hujan Pengaruh topografi terdahap variasi curah hujan diteliti oleh Iskandar (2012) terkait varibilitas curah hujan di Dak Brantas dan juga Indratmoko et al (2017) terkait variabilitas curah hujan di Kabupaten Kebumen. Kedua peneliti tersebut mengatakan bahwa erat kaitannya topografi dengan variasi curah hujan. Topografi pada wilayah Bandung digambarkan melalui ketinggian atau letak stasiun diatas permukaan laut.

Gambar 4 Grafik Koefisien Variasi Curah Hujan Tahunan di Setiap Stasiun Wilayah

Bandung

Berdasarkan Gambar 4dapat dilihat bahwa pada tahun 2009- 2010 wilayah Bandung memiliki koefisien variasi yang menurun dengan titik terendah pada tahun 2010 dari tiap stasiun. Tahun 2011 tiap stasiun memiliki tren naik dengan puncak tertinggi kecuali stasiun cemara yang memiliki tren menurun dan berbeda dari stasiun lainnya, sedangkan tahun 2013 – 2017 stasiun cemara memiliki koefisien variasi terendah dari stasiun lainnya, hal ini dikarenakan curah hujan stasiun Cemara yang tinggi pada tahun 2013 – 2017. Tahun 2015 dan 2016 terjadi El Nino kuat dan La Nina lemah yang pengaruhnya terlihat pada Indonesia bagian Selatan termasuk pulau Jawa dan mempengaruhi jumlah curah hujan (Athoillah, Et al. 2017).

Sementara itu, koefisien variasi curah hujan musiman di wilayah Bandung berada pada rentang nilai 27,7% - 131% dengan koefisien variasi tinggi terjadi pada

0,0 30,0 60,0 90,0 120,0 150,0 KO EF IS IE N V A R IA SI ( % ) TAHUN

Koefisien Variasi Curah Hujan Tahunan di Setiap Stasiun Wilayah Bandung

Cemar a Lemba ng Monta ya Cicale ngka Pasirja mbu Sedep

(8)

8 musim kemarau di Stasiun Cicalengka dengan nilai koefisien variasi 131%, sedangkan koefisien variasi rendah terjadi pada musim penghujan di Stasiun Sedep dengan nilai koefisien variasi 27,7%. Pola koefisien variasi curah hujan musiman di wilayah bandung dapa dilihat pada Gambar 5 menunjukan bahwa terdapat pola yang sama yaitu masing - masing stasiun mengalami peningkatan nilai koefisien variasi pada musim kemarau sebagai puncak tertinggi dan rendah pada musim penghujan sesuai dengan nilai rata – rata curah hujan yang dihasilkan dari masing – masing stasiun hujan yang berada di wilayah Bandung. Secara keseluruhan, musim penghujan dan musim transisi I merupakan bulan basah dan cenderung memiliki curah hujan yang tinggi. Adapun musim kemarau

Gambar 5Grafik Koefisien Variasi Musiman Tahun 2003 - 5017 di Wilayah Bandung

dan musim transisi II merupakan bulan kering dan cenderung memiliki curah hujan yang lebih rendah. Stasiun Cicalengka merupakan salah satu staisun hujan yang

berada di Kabupaen Bandung memiliki koefisien variasi tinggi yang artinya, curah hujan musim kemarau di stasiun Cicalengka lebih rendah dari stasiun lainnya.

Variabilitas curah hujan pada umumnya dipengaruhi oleh curah hujan rata – rata dan standar deviasi curah hujan. Koefisien variasi yang bernilai tinggi menunjukan bahwa data curah hujan di wilayah tersebut memiliki data curah hujan yang heterogen dengan persebaran yang tidak merata, sedangkan wilayah dengan nilai koefisien variasi yang rendah mengandung arti bahwa data curah hujan di wilayah tersebut homogen dan tersebar merata.

Pola Spasial Kejadian Banjir

Potensi banjir di Indonesia sangat besar jika dilihat dari topografi dataran rendah, cekungan dan sebagian besar wilayahnya adalah lautan. Curah hujan di daerah hulu dapat menyebabkan banjir di daerah hilir. Apalagi untuk daerah-daerah yang tinggi permukaan tanahnya lebih rendah atau hanya beberapa meter di atas permukaan air laut

Kejadian banjir tersebar tidak merata di seluruh wilayah Bandung dengan Kejadian banjir terbanyak terjadi di kabupaten Bandung sebanyak 46 kejadian pada tahun 2016, sebagian kejadian banjir membentuk pola mengelompok di arah

0,0 30,0 60,0 90,0 120,0 Koef is ie n Varia si (% ) Musim

Grafik Koefisien Variasi Musiman Tahun 2003 - 2017 di Wilayah Bandung Cemara Lembang Montaya Cicalengk a Pasirjamb u Sedep

(9)

9 selatan wilayah Bandung dan juga di kota Cimahi seperti yang ditampilkan pada Gambar 6dengan frekuensi kejadian teracak namun didominasi oleh kejadian satu kali disetiap daerah yang terdampak kejadian banjir. Pola mengelompok ini cenderung terjadi di kabupaten Bandung dan kota Cimahi dengan daerah terdampak yang sama.

Gambar 6 Peta Kejadian Banjir di Wilayah Bandung

Pola mengelompok banjir yang terjadi di wilayah Bandung di temukan di sebelah Timur yang berbatasan dengan kabupaten Sumedang dan sebelah Tenggara yang berbatasan dengan kabupaten Garut. Kedua pola mengelompok ini terdapat pada kabupaten Bandung dengan rata – rata frekuesi kejadian 1 – 4 kali kejadian banjir. Pola Temporal Kejadian Banjir

Data kejadian banjir di wilayah Bandung tahun 2013 – 2017 memperlihatkan bahwa kejadian terbanyak terjadi pada bulan Maret dengan total 48

kejadian banjir, sedangkan bulan Juli dan Agustus memiliki frekeunsi kejadian banjir terkecil yaitu sebanyak 2 kejadian banjir.

Gambar 7Grafik Kejadian Banjir di Wilayah Bandung Tahun 2013 – 2017

Gambar 7 menjelaskan bahwa terjadi penonjolan kejadian pada musim transisi, baik transisi pertama maupun transisi kedua. Bulan April termasuk kedalam musim transisi pertama dengan frekuensi kejadian banjir sebanyak 36 kali kejadian banjir dan menjadi urutan kedua setelah bulan Maret. Fenomena iklim seperti La Nina dan Dipole Mode Negative berperan penting dalam terjadinya banjir di suatu wilayah.

Hubungan Curah Hujan dengan Kejadian Banjir

Hubungan antara curah hujan dan banjir juga dapat digambarkan melalui grafik regresi linier dengan variabel bebas curah hujan dan variabel terikat kejadian banjir. Gambar 6 dapat menunjukan bahwa antara curah hujan dengan banjir memiliki pengaruh yang berbanding lurus, namun

0 5 10 15 20

jan feb mar apr me

i ju n jul ag s se p o kt n o v d e s Fre ku en si Ke ja d ian Ba n jir Bulan

Kejadian Banjir di Wilayah Bandung Tahun 2013 - 2015

(10)

10 dengan nilai korelasi yang sedang yaitu 0,66. Hal ini menjelaskan bahwa adanya pengaruh curah hujan baik intensitas maupun durasi terhadap kejadian banjir di wilayah Bandung, koefisien variasi data hujan memiliki pengaruh yang berbanding terbalik dengan kejadian banjir dan curah hujan rata – rata wilayah Bandung.terbalik dengan kejadian banjir dan curah hujan rata – rata wilayah Bandung.

Gambar 8 Grafik Regresi dan Nilai Korelasi antara Curah Hujan Tahunan dengan Kejadian

Banjir di Wilayah Bandung

Jika curah hujan di suatu wilayah tinggi, maka akan berpotensi banjir. Namun, terkadang curah hujan yang tinggi tidak selalu mengakibatkan banjir. Adanya pengaruh curah hujan baik intensitas, tebal, maupun durasi terhadap kejadian banjir di wilayah Bandung, namun pengaruh tersebut tidak tinggi. Kombinasi antara curah hujan, lahan terbangun yang terus meningkat, penumpukan sampah di badan air, serta adanya kiriman banjir dari wilayah lain

menyebabkan terjadinya banjir di wilayah Bandung

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Koefisien variasi curah hujan bulanan di wilayah Bandung Nilai koefisien variasi curah hujan tinggi terjadi di stasiun Cicalengka sebesar 157,4% pada bulan Juli. Sementara itu, nilai koefisien variasi curah hujan yang terendah dijumpai pada stasiun Perkebunan Sedep yaitu sebesar 20% pada bulan Maret. Adapun koefisien curah hujan tahunan memiliki nilai koefisien variasi curah hujan tinggi terjadi di stasiun Pasirjambu 112,2 % tahun 2011, sedangkan koefisien variasi curah hujan rendah terjadi di stasiun Cemara 4,3 % tahun 2016. Koefisien variasi musiman tinggi terdapat pada musim kemarau di Stasiun Cicalengka 131% sedangkan koefisien variasi curah hujan musiman rendah terdapat pada musim penghujan di Stasiun Sedep 27,7%.

2. Hubungan spasial yang terdapat pada curah hujan dan kejadian banjir yaitu frekuensi kejadian banjir tertinggi terjadi pada tahun 2016 sebanyak 64 kejadian banjir. Secara temporal kejadian banjir selama 5 tahun (2013 – 2017) banyak terjadi pada musim transisi pertama yaitu bulan Maret, April, Mei. Hasil regresi yang diperoleh curah hujan memiliki y = 0,0241x - 25,52 R²= 0,66 0 20 40 60 80 1000,0 2000,0 3000,0 4000,0 5000,0 b an jir (Fre ku en si) Curah Hujan (mm)

Hubungan Curah Hujan Tahunan dengan Kejadian Banjir

(11)

11 pengaruh terhadap kejadian banjir dengan korelasi yang sedang

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian, E. & Susanto, R. D. (2003). Identification of Three Dominant Rainfall Regions Within Indonesia and Their Relationship To Sea Surface Temperature, Internatonal Journal of Climatology, 23, 1435-1452

Hermawan., E. (2010). Pegelompokkan Pola Curah Hujan Yang Terjadi Di Beberapa Kawasan Pulau Sumatera Berbasis Hasil Analisis Teknik Spektral. Jurnal Meteorologi Dan Geofisika. Vol 11(2): 75- 85

Hernawati., R. & Muhamad., Y. A. (2017). Analisis Pola Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue Di Kota Bandung Menggunkan Indeks Moran. Jurnal Rekayasa Hijau. Vol 1(3): 221 – 233

Indriatmoko, S.. Djoko, H., Eko, K. (2017). Variabilitas Curah Hujan Di

Kabupaten Kebumen. Jurnal

Geografi Lingkungan Tropik. Vol 1 (1): 29 – 40

Kirana., P.A. Dyah., R.H. Pramono., H. (2017). Pengaruh Curah Hujan Dan Perubahan Penutup Lahan Terhadap Banjir Di Kabupaten Bandung Tahun 1995 – 2015. Jurnal Bumi Indonesia. Vol 6(4): 1- 9

Nugroho., S.P. (2002). Evaluasi Dan Analisis Curah Hujan Sebagai faktor Penyebab Bencana Banjir

Jakarta. Jurnal Sains Dan Teknologi Modifikasi Cuaca. Vol 3(2): 91 – 97

Prabaningrum, R & Emilya, N. (2016). Identifikasi Perubahan Zona Agroklimat Metode Oldeman di Provinsi Jawa Barat. Jurnal Bumi Indonesia. Vol. 5(4): 1 – 9

Purnama, S. (2010). Potensi Sumberdaya Air DAS Serayu. JRL. Vol. 17(2): 291 – 302

Tjasyono, B. dan Harijono, S.W.B. (2009). Meteorologi Indonesia 2 Awan dan Hujan Monsun. Bandung: Badan Meteorologi dan Geofisika

Gambar

Gambar 1 Hubungan Curah Hujan dengan  Ketinggian Tempat di Wilayah Bandung
Gambar 3 Grafik Koefisien Variasi Hujan  Bulanan Di Wilayah Bandung Tahun 2003 –
Gambar 4 Grafik Koefisien Variasi Curah  Hujan Tahunan di Setiap Stasiun Wilayah
Gambar 5 Grafik Koefisien Variasi Musiman  Tahun 2003 - 5017 di Wilayah Bandung  dan  musim  transisi  II  merupakan  bulan  kering dan cenderung memiliki curah hujan  yang  lebih  rendah
+3

Referensi

Dokumen terkait

24 Pengaruh dalam penelitian ini maksudnya adalah pengaruh motivasi belajar dan kemandirian belajar selama masa pandemi Covid–19 terhadap hasil belajar siswa kelas XII

Menurut Goldstone (2009, p14), Unity3D membuat produksi game menjadi lebih mudah dengan memberikan beberapa logika untuk membangun skenario game yang sudah

Analisa data dilakukan dengan menggunakan data fieldspec dan Hymap dari survey lapang (jumlah data adalah 104). Analisis PLSR ditampilkan dalam reflektan tunggal

 Indeks yang dipilih akan ditampilkan dalam warna garis di samping nama indeks  Untuk melihat harga indeks pada waktu yang dipilih, arahkan mouse pada grafik  Anda dapat

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan jenis strategi kesantunan dan tingkat pengaruh tindakan mengancam muka dalam pernyataan perintah yang ditemukan dalam

Penjamin emisi (Underwriter) merupakan perusahaan yang membuat kontrak dengan emiten untuk melakukan penawaran umum bagi.. 37 kepentingan emiten, dengan atau tanpa kewajiban

Dari Gambar 2.7 tersebut dapat dilihat keefektifan sengkang spiral dalam menahan inti beton lebih baik daripada sengkang persegi, karena pada pengekangan spiral

Dengan mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Allat SWT atas berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Akhir