• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PERILAKU INOVATIF. Janssen (2000) mengemukakan perilaku inovatif sebagai upaya yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PERILAKU INOVATIF. Janssen (2000) mengemukakan perilaku inovatif sebagai upaya yang"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

13

A. PERILAKU INOVATIF 1. Pengertian Perilaku Inovatif

Janssen (2000) mengemukakan perilaku inovatif sebagai upaya yang sengaja dilakukan untuk menghasilkan ide baru yang lebih menguntungkan dan bermanfaat bagi individu maupun kelompok. Adapun De Jong (2010) mendefinisikan perilaku inovatif sebagai suatu aktivitas individu yang memiliki tujuan untuk mengenalkan gagasan-gagasan atau ide-ide baru yang bermanfaat, terkait proses, produk, maupun prosedur. Perilaku inovatif juga dapat diartikan sebagai suatu bentuk perubahan baik secara perlahan maupun secara radikal (Mckeown, 2008).

West dan Farr (1989) menjelaskan definisi inovasi sebagai suatu bentuk pengenalan maupun penerapan gagasan, proses, produk, dan prosedur yang baru kepada kelompok maupun perusahaan atau organisasi yang menerapkannya yang secara segaja dirancang untuk memberikan keuntungan bagi organisasi atau perusahaan, kelompok, masyarakat, maupun individu. Terdapat empat jenis perilaku inovatif (Tidd & Bessant, 2009) yaitu inovasi produk, inovasi proses, inovasi posisi, dan inovasi paradigma. Inovasi produk terkait dengan adanya perubahan terkait dengan produk ataupun pelayanan yang ditawarkan oleh organisasi ataupun perusahaan.

(2)

Selain inovasi produk, inovasi proses juga dapat dilakukan. Inovasi proses terkait dengan adanya perubahan terkait dengan cara membuat ataupun mengirimkan produk atau pelayanan oleh organisasi maupun perusahaan (Tidd & Bessant, 2009). Jenis inovasi yang ketiga adalah inovasi posisi terkait dengan adanya perubahan dalam konteks dimana produk atau pelayanan diperkenalkan oleh organisasi maupun perusahaan (Tidd & Bessant, 2009). Jenis inovasi selanjutnya adalah inovasi paradigma merupakan inovasi yang berkaitan dengan adanya perubahan dalam hal model mental yang dilakukan sebuah organisasi maupun perusahaan (Tidd & Bessant, 2009).

Berdasarkan pemaparan definisi perilaku inovatif dari beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku inovatif merupakan perilaku mengenalkan ide-ide atau gagasan-gagasan baru terkait proses, prosedur maupun produk secara sengaja yang bermanfaat bagi individu maupun perusahan atau organisasi.

2. Aspek-Aspek Perilaku Inovatif

Aspek- aspek dari perilaku inovatif terdiri dari tiga aspek menurut Janssen (2000) yaitu:

a. Idea generation

Idea generation merupakan langkah awal perilaku inovasi terbentuk. Idea generation terjadi ketika karyawan memunculkan suatu ide yang baru dan bermanfaat bagi ranah tertentu sebagai akibat dari permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam perusahaan atau organisasi. Ide dapat bersifat orisinil maupun memodifikasi dari proses kerja ataupun produk yang sebelumnya sudah ada atau dilakukan.

(3)

Sebagai contoh, ketika suatu perusahaan menghadapi masalah rendahnya minat konsumen pada produk baru diluncurkan, maka karyawan di bagian pemasaran perlu merancang strategi serta melakukan riset terhadap peluang-peluang di pasaran sehingga produk tersebut dapat dengan mudah diterima dan diminati oleh konsumen. Pada kasus ini, karyawan di bagian pemasaran dapat memunculkan ide baik menciptakan kembali maupun memodifikasi produk agar dapat meningkatkan daya minat konsumen terhadap produk baru yang sedang diluncurkan.

b. Idea promoting

Setelah adanya idea generation, pencipta ide perlu mempromosikan ide baru (idea promoting) yang sudah diciptakan agar dapat diterima oleh rekan-rekan kerjanya maupun perusahaan atau organisasi tempatnya bekerja. Pencipta ide harus mampu meyakinkan atasan dan rekan-rekan kerjanya serta menciptakan koalisi agar dapat mendukung ide baru yang sudah diciptakan sehingga ide baru dapat terlaksana dengan baik. Pelaksanaan promosi ide dapat dilakukan dengan menuangkan ide baik secara lisan maupun tulisan kepada para atasan dan karyawan potensial sehingga dapat saling mendukung satu sama lain. c. Idea realization

Ide yang muncul dapat dikatakan sebagai inovasi setelah didukung dan disetujui yang kemudian direalisasikan dengan cara membuat sebuah prototipe atau model dari ide yang telah muncul menjadi sebuah produk atau proses kerja yang dapat diterapkan dalam lingkup pekerjaan, golongan atau kelompok, maupun organisasi. Karyawan perlu

(4)

bekerjasama untuk menerapkan dan melaksanakan ide dalam kinerja sehari-hari sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Pelaksanaan realisasi ide ini diperlukan konsistensi sehingga evaluasi harus dilakukan secara berkala agar ide yang diterapkan dapat berjalan dengan efektif.

Berdasarkan uraian aspek-aspek perilaku inovatif yang dikemukakan Janssen (2000) di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek perilaku inovatif meliputi idea generation (memunculkan ide), idea promotion (promosi ide), dan idea realization (realisasi ide).

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Inovatif

Terdapat beberapa faktor baik secara internal maupun eksternal yang dapat mempengaruhi perilaku inovatif yaitu:

a. Faktor Internal

Faktor internal yang dimaksudkan adalah faktor yang berasal dari dalam diri karyawan yang mampu menggerakkan karyawan untuk memunculkan perilaku inovatif. Faktor ini penting karena karyawan merupakan pelaku utama yang menggerakkan suatu ide dapat dijalankan. Faktor internal yang dapat mempengaruhi perilaku inovatif pada karyawan, yaitu:

a) Tipe kepribadian

Tipe kepribadian karyawan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi munculnya perilaku inovatif karyawan (Etikariena & Muluk, 2014). Hal ini dikarenakan ketika karyawan memiliki kepribadian yang mendorong pada perubahan-perubahan diri ke arah yang lebih baik maka karyawan juga akan terdorong

(5)

untuk selalu memperbaiki dirinya. Ketika karyawan melakukan perubahan-perubahan yang lebih baik maka karyawan akan berusaha mencari alternatif-alternatif solusi agar dirinya tidak kembali menjadi pribadi yang ditinggalkan. Demikian, karyawan juga akan memunculkan perilaku-perilaku inovatif yang dapat menunjang karyawan melakukan pekerjaannya dengan lebih baik serta selalu berusaha memperbaiki hasil kerja menjadi lebih efektif.

b) Level pendidikan

Level pendidikan karyawan juga dapat mempengaruhi perilaku inovatif yang muncul pada karyawan (Etikariena & Muluk, 2014). Karyawan yang memiliki level pendidikan yang lebih tinggi memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk memunculkan perilaku inovatif. Hal ini dikarenakan semakin tinggi level pendidikan yang dimiliki maka karyawan akan memiliki wawasan yang luas sehingga mampu mengembangkan wawasan-wawasan yang dimiliki menjadi ide-ide yang dapat direalisasikan.

c) Gaya penyelesaian masalah

Gaya penyelesaian masalah yang tepat akan mendorong karyawan memunculkan perilaku inovatif sebagai solusi maupun tindakan preventif suatu permasalahan (Etikariena & Muluk, 2014). Karyawan yang memiliki gaya penyelesaian masalah problem solves maupun problem seekers akan terdorong memunculkan penyelesaian-penyelesaian masalah serta melakukan antisipasi permasalahan sehingga terdorong berperilaku inovatif sebagai tindakan peventif agar masalah tidak terjadi. Sedangkan karyawan

(6)

yang abai terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi akan cenderung untuk tidak berbuat apa-apa sehingga perilaku inovatif dimungkinkan tidak muncul.

d) Motivasi Kerja

Karyawan yang mampu memotivasi diri untuk melakukan pekerjaan dengan baik akan mampu memunculkan perilaku inovatif (Etikariena & Muluk, 2014). Adanya motivasi kerja yang baik menjadikan karyawan terdorong untuk melakukan inovasi-inovasi yang akan menjadi karyawan tersebut menghasilkan kinerja yang memuaskan. Sedangkan karyawan yang kurang mampu memotivasi diri untuk menghasilkan kinerja yang baik makan akan menghasilkan kinerja yang statis.

e) Keberanian menggambil risiko

Karyawan yang berani mengambil risiko atas segala sesuatu yang dikerjakannya akan berpeluang untuk melakukan inovasi (Etikariena & Muluk, 2014; Helmi. 2011). Keberanian dalam mengambil risiko menjadikan karyawan lebih leluasa dalam mengekspresikan idenya serta melakukan implementasi atas ide-ide yang diciptakan. Berbeda ketika karyawan memiliki ketakutan dalam mengambil risiko akan membatasi karyawan dalam mengekspresikan serta mengimplementasikan ide-idenya dengan baik.

(7)

f) Kondisi Psikologis

Perets, Binyamin, dan Carmeli (Rulevy & Parahyanti, 2016) menemukan bahwa kondisi psikologis yang positif dalam ruang lingkup pekerjaan dapat meningkatkan motivasi serta menanamkan keterikatan karyawan dalam memunculkan ide-ide inovatif. Kondisi psikologis yang positif mejadikan individu lebih termotivasi untuk menjadi lebih produktif serta bersemangat mencapai tujuan. Sehingga individu dapat terdorong memunculkan ide-ide baru untuk dapat menjadi lebih produktif dan mencapai tujuan.

b. Faktor Eksternal

a) Peran Pemimpin atau Atasan

Pekerja yang berkualitas hanya akan memunculkan performa maksimalnya ketika dipimpin oleh pemimpin yang berkualitas. Pemimpin yang berkualitas memiliki pandangan yang jauh ke depan (visioner) sehingga mampu memacu para anggotanya dalam memunculkan perilaku inovasi serta mampu bersinergi menggerakkan orang-orang di dalam perusahaan atau organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Sebaliknya, pemimpin juga dapat menjadi penghancur bagi perusahaannya ketika tidak dapat menggerakkan para anggotanya untuk melakukan perubahan dan pembaruan (Ancok, 2012; Etikariena & Muluk, 2014).

b) Iklim Organisasi

Schneider dan Reichers (Octara & Salendu, 2013) menjelaskan bahwa iklim organisasi dapat mempengaruhi perilaku inovatif pada karyawan. Hal ini dikarenakan iklim organisasi mampu

(8)

merefleksikan keyakinan serta psychological meanings yang dimiliki oleh setiap karyawa terhadap lingkungannya dan berusaha untuk mewujudkannya. Selain itu, iklim organisasi terbentuk dari kepribadian, sikap, serta perilaku yang dimiliki seluruh anggota organisasi sehingga ketika organisasi memiliki orang-orang yang secara positif mendukung adanya perubahan menjadi lebih baik maka dimungkinkan perilaku inovatif akan muncul.

c) Tipe pekerjaan

Tipe pekerjaan memiliki andil dalam mempengaruhi karyawan memunculkan perilaku inovatif. Hal ini dikarenakan tipe pekerjaan membuat karyawan memutuskan untuk berperilaku inovasi atau tidak. Karyawan yang dituntut untuk melakukan pekerjaan yang dinamis akan mendorong dirinya untuk melakukan perkembangan dan perubahan secara aktif sehingga karyawan dapat memunculkan ide-ide inovatif yang nantinya akan menunjang pekerjaan mereka. Selain itu, pekerjaan yang memiliki batas waktu yang cepat juga akan mendorong karyawan menghasilkan ide-ide atau gagasan secara cepat sehingga dapat menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan batas waktu yang ditentukan (Etikariena & Muluk, 2014).

Berdasarkan beberapa pemaparan beberapa faktor di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi perilaku inovatif adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi tipe kepribadian, level pendidikan, gaya penyelesaian masalah, motivasi, dan keberanian pengambilan resiko. Sedangkan faktor eksternal meliputi peran pimpinan atau atasan, iklim kerja, dan tipe pekerjaan yang dikerjakan oleh karyawan.

(9)

B. MODAL PSIKOLOGIS 1. Pengertian Modal Psikologis

Luthans, Youssef, dan Avolio (2007) mendefinisikan modal psikologis sebagai keadaan perkembangan psikologis individu secara positif yang ditandai dengan adanya kepercayaan diri untuk menghadapi serta berusaha menyelesaikan tugas-tugas yang menantang (self-efficacy), atribusi positif untuk mencapai kesuksesan masa kini dan masa yang akan datang (optimism), tekun dan mampu mengarahkan langkah untuk mencapai tujuan (hope), serta tetap tegar dalam menghadapi berbagai masalah sehingga dapat bangkit kembali dan mencapai kesuksesan (resiliency).

Osigweh (Sukamto, 2013) mendefinisikan modal psikologis sebagai suatu pendekatan yang ditandai dengan adanya dimensi-dimensi yang mampu membantu individu melakukan pekerjaannya secara optimal. Modal psikologis mampu mendorong karyawan untuk bekerja sesuai dengan pekerjaan yang sudah ditentukan di dalam deskripsi pekerjaan (job description) maupun yang belum ditetapkan (extra-role).

Berdasarkan pendapat kedua ahli terkait definisi modal psikologis dapat disimpulkan bahwa modal psikologis merupakan perkembangan psikologis individu secara positif ditandai dengan adanya dimensi-dimensi yang membantu individu melakukan pekerjaannya secara optimal.

(10)

2. Aspek-Aspek Modal Psikologis

Menurut Luthans, Youssef, dan Avolio (2007) terdapat empat aspek yang membentuk modal psikologis, yaitu:

a. Efikasi Diri (Self Efficacy)

Efikasi diri merupakan keyakinan yang dimiliki oleh seseorang terhadap kemampuan untuk menumbuhkan motivasi, sumber daya kognitif, serta mampu menentukan tindakan-tindakan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu (Bandura, 1997). Efikasi diri yang baik akan menunjang karyawan dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam perusahaaan. Karyawan menjadi termotivasi untuk memikirkan ide-ide penyelesaian masalah yang cocok sehingga permasalahan dapat segera teratasi.

Karyawan yang memiliki efikasi diri yang baik akan mampu menentukan target yang tinggi serta mampu mengerjakan tugas-tugas yang sulit. Selain itu karyawan juga melakukan berbagai usaha untuk mencapai tujuan yang sudah dibuat sehingga meskipun terdapat banyak hambatan akan selalu memiliki ide untuk mengatasi hambatan tersebut (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007).

b. Optimisme (Optimism)

Optimisme merupakan bagaimana cara seseorang memandang positif suatu permasalahan yang sedang dihadapi (Seligman, 1998). Seseorang melakukan pengharapan akan terjadinya hal baik dan masalah yang terjadi akan terselesaikan dengan hasil akhir yang baik. Optimis yang dimaksudkan pada aspek modal psikologis ini adalah perpaduan realistis dan fleksibel (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007; Schneider, 2001). Sikap

(11)

optimis dibutuhkan karyawan agar karyawan memiliki kepercayaan terhadap dirinya dalam menghadapi tantangan-tantangan yang menghampirinya saat bekerja. Adanya optimisme pada diri karyawan menjadikan mereka lebih bersemangat dalam melakukan pekerjaanya secara efektif.

c. Harapan (Hope)

Keseluruhan kemampuan individu yang mengarahkan pada tercapainya tujuan yang diinginkan dibarengi dengan motivasi untuk mengikuti arahan-arahan tersebut (Snyder, 2000). Perlu adanya tujuan yang mungkin dapat dicapai untuk memiliki pengharapan yang lebih kuat. Adanya harapan menjadikan karyawan lebih termotivasi untuk menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan. Selain itu juga dapat mendorong karyawan untuk melakukan suatu tindakan yang lebih baik akibat dari pengharapan yang baik.

d. Resiliensi (Resiliency)

Resiliensi merupakan kapasitas yang dapat dikembangkan untuk bangkit kembali dari keterpurukan, permasalahan, kegagalan, bahkan peristiwa-perstiwa positif, kemajuan, maupun penambahan tanggung jawab (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). Resiliensi sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan-tantangan dalam pekerjaan. Pasalnya setiap pekerjaan yang dilakukan akan selalu dibayangi dengan resiko kegagalan, permasalahan, penambahan tanggung jawab dan lainnya sehingga dibutuhkan resiliensi agar karyawan dapat tetap bertahan dalam kondisi-kondisi yang sulit dan berubah-ubah. Adanya resiliensi yang baik

(12)

diharapkan dapat mendorong karyawan untuk tetap bekerja secara optimal dalam situasi dan kondisi apapun.

Berdasarkan pemaparan aspek di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat empat aspek yang dimiliki oleh modal psikologis menurut Luthans, Youssef, dan Avolio (2007) yaitu efikasi diri, optimisme, harapan, dan resiliensi.

C. Hubungan Antara Modal Psikologis dan Perilaku Inovatif

Keterlibatan individu di dalam perusahaan atau organisasi berkaitan erat dengan perilaku inovasi. Hal ini dikarenakan di setiap proses perilaku inovasi membutuhkan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh karyawan. Karyawan secara inividu merupakan faktor internal yang berperan sebagai kunci dari perilaku inovatif yang terjadi di dalam suatu perusahaan (West & Farr, 1989). Perilaku inovatif muncul dari karyawan sebagai solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi oleh perusahaan atau organisasi.

Ide-ide baru yang muncul diharapkan dapat membawa perubahan positif sehingga perusahaan dapat bertahan dari berbagai masalah yang dihadapinya. Perubahan-perubahan yang terjadi tidak luput dari peran sumber daya manusia di dalamnya. Sumber daya manusia di dalamnya perlu memiliki dorongan untuk melakukan perubahan sehingga dapat berperan secara optimal. Sumber daya manusia di dalam perusahaan perlu memiliki modal psikologis yang baik sehingga mampu memunculkan ide-ide yang mengarah pada perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik. Modal psikologis dapat mendorong individu untuk menjadi karyawan yang lebih unggul dalam kompetisi secara berkelanjutan (Rulevy & Parahyanti, 2016).

(13)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Abbas dan Raja (2015) menyatakan bahwa modal psikologis dan perilaku inovatif memiliki hubungan yang positif. Semakin tinggi modal psikologis yang dimiliki oleh karyawan maka akan semakin tinggi perilaku inovatif yang dimunculkan. Modal psikologis dapat mempengaruhi kesiapan individu untuk berubah (Munawaroh & Meiyanto, 2017). Oleh karena itu, dengan adanya modal psikologis yang baik, karyawan akan memiliki dorongan untuk melakukan perubahan yang kemudian dapat dituangkan dalam bentuk ide-ide sebagai solusi terhadap permasalahan yang terjadi.

Modal psikologis memiliki empat aspek menurut Luthans, Youssef, & Avolio (2007), yaitu efikasi diri, optimisme, harapan, dan resiliensi. Efikasi diri merupakan keyakinan yang dimiliki seseorang untuk dapat menumbuhkan motivasi dalam diri serta dapat menentukan tindakan penyelesaian tugas-tugas yang telah diberikan. Efikasi diri mendorong munculnya solusi-solusi dari karyawan atas masalah yang sedang di hadapi di dalam perusahaan atau organisasi. Solusi-solusi yang muncul dapat berupa ide-ide baru yang belum pernah ada atau dilakukan maupun memodifikasi hal-hal yang sudah dilakukan sebelumnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Rulevy dan Parahyanti (2016) membuktikan bahwa adanya efikasi diri yang baik menjadikan karyawan melihat tantangan sebagai sesuatu yang dapat diatasi dengan kemampuan dan usaha yang cukup. Hal ini menjadikan karyawan cenderung mengeksplorasi peluang-peluang serta ide-ide untuk mengatasi tantangan yang ada. Oleh karena itu, efikasi diri yang baik akan cenderung memiliki tingkat perilaku inovatif yang baik juga.

(14)

Pada aspek kedua yaitu optimisme yang berkaitan dengan cara seseorang memandang positif permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi. Sikap optimis dibutuhkan dalam melakukan inovasi karena pada dasarnya optimis menjadikan seseorang percaya bahwa mereka dapat menyelesaikan masalah dan mendapatkan hasil yang baik (Sameer, 2018). Demikian karyawan yang memiliki sikap optimis yang tinggi akan mendorong untuk melakukan inovasi-inovasi yang dipercayai akan berdampak baik bagi pekerjaannya maupun perusahaannya.

Abbas dan Raja (2015) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki optimisme yang tinggi memiliki kemungkinan kecil untuk menyalahkan diri sendiri serta berputus asa ketika mengatasi masalah dengan solusi inovatif. Karyawan yang memiliki tingkat optimis yang tinggi akan berusaha semaksimal mungkin untuk menemukan serta menjalankan ide-ide agar masalahnya dapat terselesaikan dengan baik. Sameer (2018) menjelaskan bahwa sikap optimis cenderung menghasilkan ide-ide baru karena inndividu akan memiliki harapan positif tentang keberhasilan dari ide-ide mereka. Adanya sikap optimis yang dimiliki karyawan akan memunculkan berbagai gagasan-gagasan yang nantinya akan menjadi penyelamat bagi perusahaan yang sedang terpuruk.

Pada aspek ketiga yaitu, harapan berkaitan dengan kemauan dan keyakinan untuk mengeksplorasi secara kreatif berbagai cara untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan (Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). Seseorang yang memiliki harapan yang tinggi dapat mengarahkan dirinya untuk bergerak melakukan berbagai cara untuk dapat mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Karyawan yang memiliki harapan tinggi mampu mengambil resiko serta mencari cara-cara lain ketika cara lama sudah tidak dapat digunakan dalam mengatasi permasalahan yang sama (Synder, 1994). Demikian, karyawan dapat

(15)

menemukan gagasan-gagasan inovatif sebagai hasil dari usaha mengatasi serta memanfaatkan peluang dari masalah yang menerpa. Selain itu, individu yang penuh harapan akan lebih cenderung menjadi inovatif karena terdorong menghasilkan berbagai cara untuk mencapai tujuannya (Sameer, 2018).

Aspek keempat adalah resiliensi yang berkaitan dengan kapasitas yang dapat dikembangkan sehingga mampu untuk bertahan dan bangkit dari permasalahan, keterpurukan serta kegagalan. Adanya resiliensi menjadikan karyawan terus berusaha meyakinkan dirinya untuk terus berjuang dan berusaha untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Resiliensi yang baik menjadikan karyawan mampu beradaptasi pada berbagai situasi yang tidak menentu. Sameer (2018) menjelaskan bahwa individu yang memiliki resiliensi yang lebih tinggi akan cenderung lebih inovatif karena individu cenderung berani mengambil risiko dan lebih dapat menerima perubahan. Karyawan akan terdorong untuk melakukan pengambilan resiko serta memungkinkan untuk menunjukkan perilaku inovatif.

Peneliti melihat bahwa modal psikologis dengan empat aspek yang ada di dalam individu dapat menjadi salah satu dari beberapa faktor internal yang mempengaruhi munculnya perilaku inovatif. Perets, Binyamin, dan Carmeli (Rulevy & Parahyanti, 2016) menemukan bahwa kondisi psikologis yang positif dalam lingkungan kerja dapat meningkatkan motivasi serta menanamkan keterikatan karyawan dalam memunculkan ide-ide inovatif. Oleh sebab itu, jika individu memiliki kondisi psikologis yang positif seperti modal psikologis yang baik akan mendorong individu untuk memunculkan perilaku inovatif.

(16)

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keempat aspek modal psikologis tersebut dapat mempengaruhi perilaku kerja inovatif. Modal psikologis dapat membantu mengambarkan dan memprediksi kinerja kreatif secara umum dan idea generation khususnya (Sweetman, Luthans, Avey, & Luthans, 2011).

Gambar 1

Bagan Hubungan Modal psikologis dan Perilaku Inovatif

PERILAKU INOVATIF FAKTOR INTERNAL FAKTOR EKSTERNAL Tipe Kepribadian n Level Pendidikan Gaya Penyelesaian masalah Motivasi Kerja Pengambilan Risiko Kondisi Psikologis Peran Pemimpi n Iklim Organisasi Tipe Pekerjaan  Efikasi diri  Harapan  Optimisme  Resiliensi

MODAL PSIKOLOGIS

(17)

A. Hipotesis penelitian

Berdasarkan kajian teoritis terhadap modal psikologis dan perilaku inovatif, maka hipotesis dari penelitian ini adalah ada hubungan positif antara modal psikologis dengan perilaku inovatif.

Referensi

Dokumen terkait

menjamin kecukupan pangan yang semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Bahwa peningkatan produksi padi tahun 2017 difokuskan pada peningkatan

Kota

APTVM ~ Penyiasatan Penyakit dan Kajian Epidemiologi akan menjelaskan arahan, prosedur dan peranan serta hubungannya dengan perkhidmatan yang lain.. Maka denganini

7.7 EpiS hendaklah dirujuk untuk Penyakit Haiwan tertentu dan perlu menyediakan sokongan teknikal, menyelaras dan men- jaga stok secukupnya bagi reagen diagnostik dan

Tangerang Tahun 2012, telah mengadakan Pemberian Penjelasan Pekerjaan (Aanwijzing) untuk Pemilihan Langsung Jasa Pekerjaan Konstruksi paket Pekerjaan Pembangunan Laboratorium

vial bagi kegunaan di Jabatan kami... Te rna

Penjelasan Dokumen Pengadaan (Aanwijzing) dipimpin langsung oleh Sofi Isnaini, selaku Ketua Panitia Pengadaan Barang/Jasa Paket Pekerjaan Rehabilitasi Ruang Kelas

Haiwan yang menunjukkan simptom penyakit kronik atau haiwan yang memerlukan rawatan kecemasan, mestilah diberikan rawatan kecemasan dan dirujuk dengan kadar segera oleh