• Tidak ada hasil yang ditemukan

Objektivitas Hukuman Pelaku Perkosaan Pendekatan Filsafat Hukum dan Filsafat Hukum Islam, Studi Perbandingan KUHP dan Qanun No. 6 Tahun 2014)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Objektivitas Hukuman Pelaku Perkosaan Pendekatan Filsafat Hukum dan Filsafat Hukum Islam, Studi Perbandingan KUHP dan Qanun No. 6 Tahun 2014)"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

v

OBJEKTIVITAS HUKUMAN PELAKU PERKOSAAN

( Pendekatan Filsafat Hukum dan Filsafat Hukum Islam, Studi Perbandingan KUHP dan Qanun No. 6 Tahun 2014)

SKRIPSI

Diajukan oleh :

FERY SANDRIA

Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum Prodi Perbandingan Mazhab

NIM : 131310153

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

DARUSSALAM - BANDA ACEH

2017 M/1438 H

(2)

vi

( Pendekatan Filsafat Hukum dan Filsafat Hukum Islam, Studi Perbandingan KUHP dan Qanun No. 6 Tahun 2014)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh

sebagai Salah Satu Beban Studi

Program Sarjana (S-1) dalam Ilmu Hukum Islam Oleh :

FERY SANDRIA

Mahasiswa Fakultas Syari‟ah dan Hukum Prodi Perbandingan Mazhab

Nim : 131310153

Disetujui untuk Diuji/Dimunaqasyahkan Oleh :

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Abdul Jalil Salam, M. Ag. Dr. Badrul Munir, MA.

Nip : 197011091997031001 Nip : -

OBJEKTIVITAS HUKUMAN PELAKU PERKOSAAN

( Pendekatan Filsafat Hukum dan Filsafat Hukum Islam, Studi Perbandingan

KUHP dan Qanun No. 6 Tahun 2014)

(3)

vii

Telah Diuji Oleh Panitia Ujian Munaqasyah Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry

dan Dinyatakan Lulus Serta Diterima Sebagai Salah Satu Beban Studi Program

Sarjana (S-1) Dalam Ilmu Hukum Islam

Pada Hari/Tanggal : Rabu, 27 Juli 2017

02 Zulqaidah 1438 H

di Darussalam-Banda Aceh Panitia Ujian Munaqasyah Skripsi

Ketua, Sekretaris,

Dr. Abdul Jalil Salam, M.Ag Dr. Badrul Munir, MA

NIP: 197011091997031001 NIP: -

Penguji I, Penguji II,

Prof. Dr. H. Syahrizal Abbas, MA Arifin Abdullah, S.HI, MA

NIP: 197010271994031003 NIP:

198203212009121005

Mengetahui,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Uin Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh

Dr. Khairuddin, M.Ag NIP: 197309141997031001

(4)

viii

KATA PENGANTAR

ِ ّٰللا ِم ْسِب

ِْيِحَّرلا ِنٰ ْحَّْرلا

Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, yang dari pada-Nya aku berlindung dari dosa-dosa yang pernah kuperbuat dan dari pada-Nya pula aku memohon untuk dijauhkan dari rezeki yang haram. Segala puji bagi-Nya atas segala anugrah yang telah dilimpahkan-Nya kepada penulis. Hanya dengan petunjuk dan bimbingan-Nya, penulis dapat merangkai dan mencoba menguak sebagian kecil ilmu Allah di dunia ini.

Salawat beriring salam tidak lupa pula penulis sanjungkan ke pangkuan junjungan alam Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya, karena berkat jasa beliaulah kita dapat merasakan indahnya hidup di alam yang penuh cahaya ilmu pengetahuan di bawah panji agama Allah SWT.

Sudah merupakan suatu syarat yang berlaku di setiap perguruan tinggi tidak terkecuali di Fakultas Syariah dan Hukum, bagi setiap mahasiswa yang akan menyelesaikan pendidikan berkewajiban menulis karya ilmiah dalam bentuk skripsi. Oleh karna itu penulis memilih skripsi dengan judul : “Objektivitas

Pelaku Perkosaan, Pendekatan Filsafat Hukum dan Filsafat Hukum Islam

(Studi Perbandingan KUHP dan Qanun No.6 Tahun 2014)”.

Dalam rangka penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi. Hal ini disebabkan karena keterbatasan ilmu dan fasilitas yang penulis miliki, namun dengan adanya dorongan dan bantuan dari berbagai pihak serta usaha yang maksimal, maka skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan yang direncanakan.

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa terimakasih yang tak terhingga kepada seluruh pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan semangat dan motivasi dan dukungan selama proses studi kepada :

(5)

ix

1. Bapak Dr. Khairuddin, S.Ag., M.Ag selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry beserta stafnya.

2. Bapak Dr. Ali Abubakar selaku ketua prodi Perbandingan Mazhab beserta seluruh stafnya.

3. Bapak Dr. Jalil Salam selaku pembimbing I dan bapak Dr. Badrul Munir selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan pada waktu yang dijadwalkan.

4. Bapak Dr. Jabbar Sabil selaku konsultan awal yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis sehingga ini dapat terselesaikan juga pada waktu yang dijadwalkan.

5. Bapak Prof. Dr. Al Yasa Abu Bakar atas bantuan, masukan dan arahan yang dapat berguna bagi penulisan skripsi ini.

6. Juga terimakasih saya ucapkan kepada Dosen sefakultas Syariah dan Hukum yang selama ini telah memberikan banyak sekali pelajaran kepada saya, hingga saat ini saya sampai pada penghujung akhir perkuliahan. 7. Dan tidak lupa juga saya ucapkan terimakasih kepada staf, karyawan dan

pihak akademik sefakultas Syariah dan Hukum yang telah banyak membantu saya dalam proses pengurusan baik saat perkuliahan maupun dalam penelitian.

8. Juga terimakasih saya kepada pustakawan, yaitu pusatakawan induk UIN Ar-raniry, pustakawan Fakultas Syariah dan Hukum, pustakawan Wilayah Aceh, dan pustakawan Baiturrahman dan juga lainnya, yang telah

(6)

x

membantu dalam menunjang banyak reverensi dalam penelitian yang saya lakukan.

9. Dan juga saya ucapkan terimakasih kepada kedua orang tua saya beserta keluarga besar yang telah memberikan dorongan motivasi dan semangat yang tak terhingga sehingga saya sampai pada titik penyelesaian perkuliahan seperti saat ini.

10.Dan tak lupa saya ucapkan terimakasih kepada kawan-kawan seperjuangan yang ikut memberikan dukungan dan membantu banyak hal lainyya hingga terselesaikannya karya ilmiyah ini.

Di akhir tulisan ini, penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih sangat banyak kekurangannya. Penulis berharap penulisan skripsi ini bermanfaat terutama bagi peneliti sendiri dan juga kepada para pembaca semua. Maka kepada Allah jualah kita berserah diri dan meminta pertolongan, seraya memohon taufiq dan hidayah-Nya untuk kita semua. Amin Yarabbal Alamin.

Banda Aceh, 25 Mei 2017 Penulis,

(7)

ABSTRAK

Nama : Fery Sandria

Nim : 131310153

Fakultas/Prodi : Syariah dan Hukum/Perbandingan Mazhab

Judul : Objektivitas Hukuman Pelaku Perkosaan (Pendekatan Filsafat Hukum dan Filsafat Hukum Islam,Study Perbandingan KHUP dan Qanun Jinayat No 6 Tahun 2014).

Tanggal Sidang : 27 Juli 2017 Tebal Skripsi : 79

Pembimbing I : Dr. Abdul Jalil Salam, M. Ag Pembimbing II : Dr. Badrul Munir, MA

Kata Kunci : Hukuman Perkosaan, Pendekatan Filsafat Hukum.

Pemerkosaan adalah hubungan seksual terhadap faraj atau dubur orang lain sebagai korban dengan zakar pelaku atau benda lainnya yang digunakan pelaku atau terhadap faraj atau zakar korban dengan mulut pelaku atau terhadap mulut korban dengan zakar pelaku, dengan kekerasan atau paksaan atau ancaman terhadap korban. Namun di dalam dua hukum materil yaitu antara KUHP dan Qanun Jinayat No 6 Tahun 2014, memberikan hukuman yang berbeda yaitu KUHP dengan maksimal hukuman 12 tahun penjara dan sedangkan Qanun No 6 tahun 2014 dengan maksimal hukuman 175 kali cambuk atau denda paling sedikit 1.250 (seribu dua ratus lima puluh) gram emas murni, paling banyak 1.750 (seribu tujuh ratus lima puluh) gram emas murni atau penjara paling singkat 125 (seratus dua puluh lima) bulan, paling lama 175 (seratus tujuh puluh lima) bulan. Rumusan permasalahan yang terdapat skripsi ini adalah bagaimana tingkat keobjektivitasan hukuman pelaku perkosaan dalam KUHP dan Qanun No. 6 Tahun 2014 dan bagaimana kesesuaian hukumnya dengan ketentuan syariat Islam. Sebab terjadi perbedaan di sini karena kedua jenis hukum materil ini berbeda dalam mendefinisikan, menetapkan sanksi dan juga melihat ontologi perkosaan. Dengan menggunakan metode Penelitian normatif sosiologis yang bersifat dua aspek pengumpulan data yaitu kepustakaan dan juga lapangan. Artinya, penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan dan menjelaskan sedetail mungkin tentang norma-norma yang berlaku dalam Islam (Qanun) dan KUHP dalam memandang objektivitas hukuman pelaku perkosaan. Dalam skripsi ini penulis mendapatkan hasil dari penelitian ini bahwa hukuman yang diberikan oleh Qanun lebih objektif bila dibandingkan dengan KUHP karena berdasarkan penalaran Istishlahiyah dari penelitian terhadap nash dengan bertumpu kepada maslahat.

(8)

DAFTAR ISI

LEMBARAN JUDUL………... i

PENGESAHAN PEMBIMBING……….……… ii

PENGESAHAN SIDANG……….... iii

ABSTRAK………. iv

KATA PENGANTAR……….. v

DAFTAR LAMPIRAN………... viii

TRANSLITERASI ……….……… ix

DAFTAR ISI………..………. xiii

BAB SATU PENDAHULUAN.……….. 1

1.1. Latar Belakang Masalah……… 1

1.2. Rumusan Masalah………. 8 1.3. Tujuan Penelitian……….. 8 1.4. Penjelasan Istilah……….. 9 1.5. Manfaat Penelitian………... 10 1.6. Tinjauan Pustaka………....…….…. 10 1.7. Metode Penelitian……… 13 1.8. Sistematika Pembahasan……….. 15

BAB DUA TEORI MAQASHID TENTANG OBJEKTIVITAS HUKUM ISLAM………...……….. 17

2.1. Ontologi Zina dan Perkosaan……….……….. 17

2.2. Teori Maqasid dan Syarat Beramal dengan Maslahat……….. 20

2.3. Objektivitas Hukuman sebagai Kehendak Yuridis……….. 26

BAB TIGA OBJEKTIVITAS HUKUMAN TERHADAP PELAKU PERKOSAAN………. 43

3.1. Hukuman Perkosaan di dalam Kerangka Maqasid Syariah………..… 43

3.2. Hukuman Pelaku Perkosaan dalam kerangka Filsafat Hukum dan menurut KUHP dan Qanun No. 6 Tahun 2014………... 56

(9)

BAB EMPAT PENUTUP………... 75 4.1. Kesimpulan………..……. 75 4.2. Saran………...………..……… 76 DAFTAR KEPUSTAKAAN………..……… 78 LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. SK Pembimbing Skripsi

2. Surat Permohonan Kesedian Memberi Data

3. Daftar Wawancara

4. Daftar Pertanyaan Wawancara

5. Surat Telah Melakukan Pengumpulan Data

(10)

BAB SATU PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkosaan merupakan tindak pidana (jarimah) yang diatur dalam KUHP dan Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah. Kedua sumber hukum materil ini berbeda dalam mendefinisikan dan menetapkan sanksi. Menurut KUHP, perkosaan adalah “paksaan” lalu diterapkan hukuman maksimal 12 tahun penjara1. Sedangkan menurut Qanun No. 6 Tahun 2014, perkosaaan dilihat sebagai “kesengajaan” dan diterapkan hukuman cambuk, denda dan penjara2

. Ini menunjukan perbedaan perspektif dalam melihat ontologi perkosaan. KUHP melihat dari perspektif korban, sehingga ketidakrelaan (terpaksa) menjadi indikator. Sedangkan Qanun melihat dari perspektif pelaku, sehingga kondisi terpaksa pada istri yang sah tidak menjadi indikator perkosaan.

Menurut Pasal 285 KUHP: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Ini terus berlanjut pada pasal berikutnya yaitu pada Pasal 286: yaitu barangsiapa melakukan perkosaan terhadap wanita dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, dan Pasal 287 yaitu berangsiapa yang melakukan perkosaan terhadap anak

1

F. Aqsya, KUHP dan KUHAP, Asa Mandiri, hlm 100.

(11)

yang belum lima belas tahun umurnya diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Begitu juga dengan Pasal 288 KUHP yaitu melakukan perkosaan yang mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, apabila mengakibatkan luka berat maka pidana penjara paling lama delapan tahun, jika mengakibatkan kematian maka dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Dan masih terdapat penjelasan perkosaan yang sama pada Pasal 289, 290, 291 dan juga Pasal 292 dan seterusnya yang lebih meluas pembahasannya3. Semua pasal ini menunjukkan perspektif korban sehingga zina yang dilakukan suka sama suka tidak dikenakan hukuman.

Berbeda dengan Qanun yang menghukum zina, disebutkan bahwa zina adalah persetubuhan antara seorang laki-laki atau lebih dengan seorang perempuan atau lebih tanpa ikatan perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak.4 Pasal 33 (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah zina, diancam dengan „uqubat hudud cambuk 100 (seratus) kali. (2) Setiap orang yang mengulangi perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diancam dengan „uqubat hudud cambuk 100 (seratus) kali dan dapat ditambah dengan „uqubat ta‟zir denda paling banyak 120 (seratus dua puluh) gram emas murni atau „uqubat ta‟zir penjara paling lama 12 (dua belas) bulan. (3) Setiap orang dan/atau badan usaha yang dengan sengaja menyediakan fasilitas atau mempromosikan jarimah zina, diancam dengan „uqubat

3 F. Aqsya, KUHP dan KUHAP, Asa Mandiri, hlm 100-102.

(12)

ta‟zir cambuk paling banyak 100 (seratus) kali dan/atau denda paling banyak 1000 (seribu) gram emas murni dan/atau penjara paling banyak 100 (seratus) bulan.5

„Uqubat terhadap zina ditetapkan berdasarkan nash: surat An-Nuur, ayat 2:

زاَو ُةَيِناًّزلا

اِم اَمٌهْ نِم ٍدِحاَو ًّلُک اوُدِلْجاَف ِنِا

ٸ

َةََ

ٍةَدْلَج

ۖ

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera” ( An-nuur:2)6.

Dalam Islam perkosaan tidak ditetapkan hukumnya dengan nash. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah hukuman terhadap perkosaan dipengaruhi oleh cara pandang dari perspektif hukum positif? (KUHP). Pasal 48 Qanun No. 6 Tahun 2014 menyebutkan: Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan jarimah pemerkosaan diancam dengan „uqubat ta‟zir cambuk paling sedikit 125 (seratus dua puluh lima) kali, paling banyak 175 (seratus tujuh puluh lima) kali atau denda paling sedikit 1.250 (seribu dua ratus lima puluh) gram emas murni, paling banyak 1.750 (seribu tujuh ratus lima puluh) gram emas murni atau penjara paling singkat 125 (seratus dua puluh lima) bulan, paling lama 175 (seratus tujuh puluh lima) bulan.7

Hukuman terhadap tindak pidana perkosaan ini bertambah tiga seperempat hukuman had zina. Hal ini berkonsekuensi terhadap rasio kesesuaian hukuman yang diterapkan, dan rasa keadilan masyarakat. Prinsip dari hukum pidana adalah ada pada sanksinya yang positif, ada tiga prinsip yang diadopsi dalam undang-undang tersebut

5Qanun No 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, bagian ketujuh, tentang perkosaan, hlm 12. 6 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 7, Gema Insani, hlm 315.

7

(13)

yaitu: “Kepastian hukum, persamaan di depan hukum, keseimbangan antara kejahatan dengan hukuman.” Khususnya bagi umat Islam, hal ini bertambah dengan pertanyaan: apakah itu sesuai dengan syariat? Ketidakjelasan rasio kesesuaian hukuman menimbulkan dugaan subjektivitas hukum yang dalam Islam dianggap mengikuti hawa nafsu. Hal ini menarik karena yang pertama (KUHP) melihat dari perspektif korban, sementara yang kedua (Qanun No. 6 Tahun 2014) melihat dari perspektif pelaku.

Perkosaan ini bisa terjadi dikarenakan adanya suatu kehendak di dalam diri seseorang yang lebih tertuju pada kehendak nafsu yang membuat hal itu bisa terjadi. Oleh karena itu orang harus mengakui bahwa kehendaklah yang mengatur hidup, tetapi kehendak yang lebih tertuju pada hawa nafsu bukan kehendak yang dimaksud baik oleh hukum positif maupun hukum Islam. Kehendak yang mengatur hidup ialah kehendak yuridis, yang memegang peranan penting dalam hukum positif. Kehendak yuridis adalah basis dan syarat seluruh hukum positif dan segala pengalaman hukum.8

Di samping kehendak yuridis terdapat juga kehendak moral. Dibedakan karena kehendak moral menentukan kelakuan manusia individu, tetapi tidak mempersatukan secara efektif manusia-manusia dalam hidup ini. Sebaliknya kehendak yuridis mengatur dan menentukan pengalaman-pengalaman kehidupan masyarakat dan mengikat kehendak manusia-manusia secara lahir. Kehendak yuridis adalah suatu kehendak yang mengatasi kehendak pribadi subjektif. Kehendak yuridis

8 A. Gunawan Sretiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, kanisius, hlm 38.

(14)

disebut Stemmler suatu kehendak objektif.9 Hal ini menginspirasi penulis untuk mengkaji, apakah hukuman perkosaan ditetapkan berdasarkan kehendak yuridis atau kehendak moral. Dengan demikian penelitian ini menuntut data lapangan proses penyusunan naskah akdemik Qanun dan para ahli yang terlibat dalam penyusunan Qanun.

Jarimah perkosaan tidak diatur secara eksplisit dalam Islam, namun tidak berarti lepas dari aturan Islam. Mengingat dalam Islam ada konsep maqasid maka objeksivitas hukuman pada pelaku perkosaan ini dapat dikaitkan dengan masalah hifzul-irdi (perlindungan kehormatan), hifzul al-nasli dan hufzun-nafsi (perlindungan jiwa raga) yang berada pada tingkatan keniscayaan menurut terminologi al-Gazali dan al-Syatibi.10 Dengan demikian, objektivitas hukum dikembalikan kepada ajaran Alquran dan Sunnah yang berarti kehendak yuridis, maka penulis menggunakan teori maqasid. Menurut Ibn „Asyur, maqasid syariah adalah makna-makna dan hikmah-hikmah yang telah dijaga oleh Allah dalam segala ketentuan hukum syariah baik yang kecil maupun besar dan tidak ada pengkhususan dalam jenis tertentu dari hukum syariah. Adapun di masa kini, Ibn „Āsyūr (w. 1973 M) menawarkan teori yang menjadikan kumpulan kaidah sebagai tempat kembali yang dirujuk saat timbul

9

A. Gunawan Sretiardja, Dialektika Hukum dan Moral, hlm 39.

10 Jesser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syariah (Pendekatan system), Mizan Pustaka, 2015, hlm 57.

(15)

permasalahan, maksudnya adalah menjadikan kelompok dari kaidah-kaidah yang pasti itu sebagai tempat kembali yang dirujuk saat terjadi perbedaan pendapat.11

Karena di dalam skripsi ini hukuman perkosaan dibandingkan antara KUHP dan Qanun Jinayat Aceh No 6 Tahun 2014, maka tidak cukup apabila hanya menggunakan teori maqashid (filsafat hukum islam) saja, maka dari itu penulis di sini juga menggunakan teori filsafat hukum, agar lebih linier dalam membandingkan KUHP dan Qanun Jinayat Aceh No 6 Tahun 2014 dalam melihat keobjektivitasan hukuman pelaku perkosaan, Istilah filsafat hukum memiliki sinonim dengan legal philosophy, philosophy of law, atau rechts filosofie. Pengertian filsafat hukum pun ada berbagai pendapat. Ada yang mengatakan bahwa filsafat hukum adalah ilmu, ada yang mengatakan filsafat teoritis, ada yang berpendapat sebagai filsafat terapan dan filsafat praktis, ada yang mengatakan sebagai subspecies dari filsafat etika, dan lain sebagainya.12 Secara sederhana, filsafat hukum dapat dikatakan sebagai cabang filsafat yang mengatur tingkah laku atau etika yang mempelajari hakikat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis.13

11 Maqasid menurut Ibn „Asyur, 1. Maqasid al-ammah: adalah makna-makna dan hikmah yang tersembunyi pada seluruh atau mayoritas hukum, yang substansi hukum tersebut tidak terikat ruang hukum secara khusus. 2. Maqasid al-khasah: adalah cara-cara yang dikehendaki syari‟untuk merealisasikan kemanfaatan manusia, atau untuk menjaga kemaslahatan umum dalam amal perbuatan yang khusus.

12 Astim Riyanto, Filsafat Hukum, Yapemdo, Bandung, 2003, hlm. 19.

13 Purnadi Purbacaraka dan Soekanto, Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm 2-4.

(16)

Mengingat penelitian ini adalah kajian perbandingan, maka masalah penelitian didekati dengan pendekatan sirkular. Objek kajian dengan pendekatan sirkular, menurut Amin Abdullah, adalah pendekatan yang memperhatikan kekurangan dan kelemahan pada masing-masing pendapat, dan sekaligus memperbaiki.14 Dengan demikian pendekatan yang digunakan menjadi holistik.15 Adapun metode yang digunakan adalah metode Istishlahiah.16

Berdasarkan uraian di atas serta berbagai persoalan yang timbul dari latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk melakukan kajian lebih lanjut dalam bentuk skripsi dengan judul ” OBJEKTIVITAS HUKUMAN PELAKU PERKOSAAN ( Pendekatan Filsafat Hukum, Studi Perbandingan KUHP dan Qanun No. 6 Tahun 2014)”

14 M. Amin Abdullah dkk, Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman (Yogyakarta: SUKA Press, 2003 ), hlm. 22.

15 Jesser Auda, Membumikan Hukum Islam melaluai Maqasid Syariah (Pendekatan Sistem), PT Mizan Pustaka, 2015, hlm 67.

16 Al Yasa Abubakar, Metode Istishlahiah, (Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul Fiqih), 2012, hlm 69-71.

(17)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, dapat dipahami bahwa perbedaan pendapat di atas terjadi karena mereka berbeda dalam memahami inti dari suatu tidak pidana atau jarimah perkosaan, sehingga berbeda pula dalam menuangkannya dalam pasal-pasal. Dengan demikian permasalahan pokoknya adalah:

1. Bagaimana tingkat keobjektivitasan hukuman pelaku perkosaan dalam KUHP dan Qanun No. 6 Tahun 2014?

2. Bagaimana kesesuaian hukum perkosaan dengan ketentuan syariat Islam? Dari permasalahan yang telah disebutkan, penulis bermaksud mengadakan penelitian terhadap permasalahan tersebut, guna memperoleh kejelasan tentang pemahaman dari masing-masing hukum materil itu.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :

1. Dapat mengetahui hakikat dari tingkat keobjektivitasan hukuman pelaku perkosaan menurut KUHP dan Qanun No. 6 Tahun 2014.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan kesesuaian hukuman perkosaan dengan ketentuan syariat Islam.

(18)

1.4 Penjelasan Istilah

Untuk menghindari kesalah pamahan pembaca dalam memahami judul skripsi ini, ada baiknya penulis menjelaskan beberapa istilah yang terdapat dalam judul skripsi ini di antaranya adalah :

1. Objektivitas

Objektivitas berdasarkan pemaknaan filosofi berarti doktrin dimana pengetahuan berdasarkan kenyataan objektif (berdiri sendiri). lstilah ini mulai digunakan pada tahun 1854. Objektivitas bermula dari istilah filosofis yang dikenal pada tahun 1620 dan memiliki arti "pertimbangan antara hubungan sesuatu dengan obyeknya" (sebagai lawan kata dari subjektif), terbentuk dari pola istilah bahasa Latin di abad pertengahan yaitu objectivus, berasal dari objectum "object" yang berarti "tidak bias, berdiri sendiri (tanpa keterlibatan pribadi)" yang pertama ditemukan pada tahun 1855 dan mendapatkan pengaruh bahasa Jerman objektiv.17

2. Hukuman

Hukuman atau sanksi adalah akibat dari suatu perbuatan atau suatu reaksi dari pihak lain (manusia atau organisasi sosial) atas suatu perbuatan.18

3. Pemerkosaan

Pemerkosaan adalah suatu tindakan kriminal berwatak seksual yang terjadi ketika seorang manusia (atau lebih) memaksa manusia lain untuk melakukan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi vagina atau anus dengan penis, anggota

17 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm 731 18

(19)

tubuh lainnya seperti tangan, atau dengan benda-benda tertentu secara paksa baik dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Praktis

Penelitian ini dimaksudkan agar dapat menjadi suatu pertimbangan terhadap masyarakat dalam melihat kesesuaian antara penetapan hukuman pelaku perkosaan baik dari segi keadilan dan segi lainya pada dua hukum materil ini yaitu KUHP dan Qanun.

1.5.2 Manfaat Teoritis

Penelitian ini untuk memperkaya ilmu pengetahuan baik untuk penulis sendiri dan juga diharapkan agar dapat menjadi suatu rujukan untuk orang banyak dalam memperkaya ilmu pengetahuan.

1.6 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka ini dimakasudkan bukan untuk membuat kesamaan tema dengan skripsi yang sudah ada sebelumnya, tapi untuk mencari dan membuat perbedaan, apa yang menjadikannya berbeda dibandingkan dengan skripsi yang sudah ada sebelumnya.

a. Skripsi, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Pemerkosaan (Perbandingan Hukum Islam dengan Hukum Positif), Diajukan Oleh :

(20)

Halimaton, Program Studi : Perbandingan Mazhab, Fakultas Syari‟ah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, 2016.

Kejahatan pemerkosaan benar-benar perbuatan yang keji, karena selain dari perbuatan ini tidak disenangi masyarakat terutama keluarga yang menjadi korban, Allah juga melaknat bagi pelaku pemerkosaan. Banyak kasus pemerkosaan yang sering ditemui dalam masyarakat, yang sering dijadikan korban adalah anak di bawah umur dan pelaku biasanya orang yang dikenal dekat seperti tetangga, teman, ayah kandung, ayah tiri dan saudara laki-laki sendiri. Sanksi terhadap pelaku pemerkosaan terhadap anak di bawah umur, dimuat dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP dan Pasal 82 Undang Undang Perlindungan Anak.19

Skripsi di atas berbicara perlindungan hukum terhadap anak korban pemerkosaan dan juga berbicara bagaimana dampak yang ditimbulkan dari suatu tindakan pemerkosaan, yang ditinjau dari sudut pandang hukum positif dan hukum Islam. Penulis melihat di dalam skripsi di atas juga ada membahas Pasal 287 KUHP yang berdekatan dengan pasal yang penulis gunakan untuk tulisan yang penulis tulis, namun yang membedakannya di sini yaitu penulis mengggunakan Pasal 285, dan juga tulisan yang penulis tulis di sini mempunyai perbandingan yang berbeda juga yaitu dengan pendekatan filsafat hukum studi perbandingan KUHP dan Qanun Aceh No 6 Tahun 2014. Perbendaan lainnya adalah penulis berbicara tentang objektivitas

19 Halimaton, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Pemerkosaan (Perbandingan Hukum Islam dan Hukum Positif), Skripsi, Perbandingan Mazhab, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, hlm 2.

(21)

hukuman pelaku perkosaan yang tentunya berbeda ruang lingkup pembahasanya dengan skripsi di atas.

b. Skripsi, Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Perkosaan Anak (Studi Kasus Putusan PN/Perkosaan Nomor. 36/Pid.B/2013/PN.LBT) Oleh Muhammad Anta Yasin, Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makasar, 2013.

Anak harus dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya supaya anak tersebut dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang terdidik dan bermoral baik buat keluarga dan bangsa. Terlebih pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri-dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya. Kondisi yang paling memungkinkan guna pencapaian hasil yang optimal atas cita-cita tersebut adalah terciptanya kondisi sosial yang kondusif, dan merupakan tanggung jawab negara dalam menciptakan kondisi yang semacam itu. Di dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dijelaskan “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungai anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara

(22)

optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.20

Di dalam skripsi di atas yang berjudul Tinjauan Yuridis terhadap Tindak Pidana Pemerkosaan Anak, sama menggunakan kata yuridis dan juga sama-sama menggunakan masalah perkosaan, namun yang membedakannya dengan judul yang penulis kaji adalah penulis membahas suatu kehendak yuridis sehingga berbeda arti dengan skripsi di atas, sehingga bagaimana kesesuaian hukuman pelaku perkosaan dan dasar hukumannya, dan yang paling berbeda dari yang penulis buat adalah, penulis membandingkannya dengan dua hukum materil yaitu KUHP dan Qanun No.6 Tahun 2014.

1.7. Metode Penelitian

1.7.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian normatif sosiologis yang bersifat dua aspek pengumpulan data yaitu kepustakaan dan juga lapangan. Artinya, penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan dan menjelaskan sedetail mungkin tentang norma-norma yang berlaku dalam Islam (Qanun) dan KUHP dalam memandang objektivitas hukuman pelaku perkosaan.

20 Muhammad Anta Yasin, Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemerkosaan Anak (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri tentang Perkosaan Nomor. 36/Pid.B/2013/PN.LBT), skripsi, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makasar 2013, hlm 1.

(23)

1.7.2 Sumber Data

Berdasarkan rumusan masalah yang digunakan maka penelitian ini menggunakan data kepustakaan dan juga data lapangan, sedangkan sumber datanya adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui bahan pustaka dengan cara mengumpulkan dari berbagai sumber bacaan yang berhubungan dengan masalah yang sedang diteliti. Data sekunder meliputi:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah bahan bahan hukum yang mengikat, seperti dalam penelitian ini yaitu KUHP dan Qanun No 6 Tahun 2014.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, terdiri dari referensi literatur hukum persaingan usaha.21

Kemudian dikemukakan pendapat para ahli di setiap masalah yang didapat dari semua sumbernya dengan cara “comparative study”. Maksudnya, data hasil analisa dipaparkan sedemikian rupa dengan cara membandingkan pendapat-pendapat yang ada di sekitar masalah yang dibahas, guna memperjelas dan sebagai pembuktian atas keabsahan perkataan terhadap sumbernya. Kemudian juga disertakan al-adillah dan al-hujjah yang menjadi rujukan para ahli hukum positif dan ulama sesuai dengan bidangnya.

21

(24)

Sedangkan teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan ini mengacu kepada buku Panduan Penulisan Karya Tulis dan Pedoman Transliterasi Arab-Latin yang diterbitkan oleh Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh tahun 2016. Sedangkan mengenai bahasa penulisan, penulis berusaha menggunakan bahasa yang lugas dan mudah dipahami sesuai dengan kemampuan penulis.

1.8 Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dan untuk mendapat gambaran umum mengenai keseluruhan isi penelitian ini, maka perlu dikemukakan secara garis besar pembahasan melalui sistematika penulisan sebagai berikut yang membuat sistematika dalam 4 Bab, yaitu :

Bab satu: Pendahuluan, berisi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Penjelasan Istilah, Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, Sistematika Pembahasan.

Bab dua: Landasan Teori, bab ini berisi teori-teori pendukung penganalisaan yang meliputi: Landasan teori maqashid tentang objektivitas hukum Islam. Ontologi zina dan perkosaan, teori maqashid dan syarat beramal dengan maslahat, objektivitas hukuman sebagai kehendak yuridis., serta teori-teori lainnya yang digunakan untuk mendukung penganalisaan yang diusulkan.

(25)

Bab tiga: Analisis tentang Objektivitas hukuman terhadap pelaku perkosaan, bab ini menjelaskan tentang penganalisaan objektivitas hukuman terhadap pelaku perkosaan. Hukuman perkosaan di dalam kerangka maqasid syariah yang meliputi dalil-dalil terkait, hukuman pelaku Perkosaan menurut KUHP dan Qanun No. 6 Tahun 2014 beserta pendapat para ahli, dan analisis objektivitas hukuman yang menjadi poin inti dari analisa dalam skripsi ini.

Bab empat: Penutup, ini adalah akhir dari penelitian yang meupakan bab penutup. Berisi tentang kesimpulan hasil analisa dalam rangka menjawab tujuan penelitian yang diajukan, serta saran-saran yang penulis berikan untuk lebih memaksimalkan karya tulisan ini, dan daftar pusataka yang berisi tentang judul-judul buku, artikel-artikel yang terkait dalam skripsi ini. Juga berisi lampiran-lampiran seperti SK pembimbing skripsi, surat permohonan kesediaan memberi data, daftar wawancara, surat telah melakukan pengumpulan data, dan daftar riwayat hidup.

(26)

BAB DUA

TEORI MAQASHID TENTANG OBJEKTIVITAS HUKUM ISLAM. 2.1. Ontologi Zina dan Perkosaan

2.1.1 Ontologi zina

Zina adalah persetubuhan antara seorang laki-laki atau lebih dengan seorang perempuan atau lebih tanpa ikatan perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak.22 Kemudian dijelaskan dalam pasal 33 Qanun No. 6 Tahun 2014 bagian kelima tentang zina bahwa ; setiap orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Zina, diancam dengan „Uqubat Hudud cambuk 100 (seratus) kali.23

Al-Lahyani mengatakan, “Zina (dibaca pendek) adalah bahasa penduduk Hijjaz, sedangkan zina (dibaca panjang) adalah bahasa Bami Tamim.” Dan kata „zina‟ defenisi Syara‟ dan bahasa adalah seorang laki-laki yang menyetubuhi wanita melalui qubul (kemaluan), yang bukan miliknya (isteri atau budaknya) atau berstatus yang mempunyai hak miliknya. Tegasnya, setiap hubungan badan yang tanpa melalui nikah atau syubhatu nikah (menyerupai pernikahan) atau perbudakan. Hal ini disepakati oleh mayoritas ulama Islam. Zina atau perbuatan yang keji, baik melalui qubul maupun dubur, termasuk dosa besar, yaitu laki-laki dan perempuan yang melakukan hubungan badan tanpa pernikahan yang sah antara keduanya.24

22

Qanun No 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, Bagian ke Lima, tentang Zina, hlm 4.

23

Qanun No 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat hlm 12.

24

(27)

Para fuqaha (ahli hukum Islam) mengartikan zina, yaitu melakukan hubungan seksual dalam arti memasukkan zakar (kelamin pria) ke dalam vagina wanita yang dinyatakan haram, bukan karena syubhat, dan atas dasar syahwat.25

Menurut Abdul Qader „Audah, Hubungan seksual yang diharamkan itu, adalah memasukan penis laki-laki ke vagina perempuan, baik seluruhnya atau sebagian (iltiqaa’ khitaanain).26

2.2.1. Ontologi Perkosaan

Sedangkan pemerkosaan adalah hubungan seksual terhadap faraj atau dubur orang lain sebagai korban dengan zakar pelaku atau benda lainnya yang digunakan pelaku atau terhadap faraj atau zakar korban dengan mulut pelaku atau terhadap mulut korban dengan zakar pelaku, dengan kekerasan atau paksaan atau ancaman terhadap korban.27 Kemudian dijelaskan dalam pasal 48 Qanun No. 6 Tahun 2014 bagian ke tujuh tentang perkosaan bahwa, Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Pemerkosaan diancam dengan „Uqubat Ta‟zir cambuk paling sedikit 125 (seratus dua puluh lima) kali, paling banyak 175 (seratus tujuh puluh lima) kali atau denda paling sedikit 1.250 (seribu dua ratus lima puluh) gram emas murni, paling banyak 1.750 (seribu tujuh ratus lima puluh) gram emas murni atau

25 Zainuddi Ali, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafiks, Jakarta 2012, hlm 37.

26 Neng Djubaedah, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam, Kencana, Jakarta 2010, hlm 119.

(28)

penjara paling singkat 125 (seratus dua puluh lima) bulan, paling lama 175 (seratus tujuh puluh lima) bulan.28

Menurut Pasal 285 KUHP: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”29

Perbedaan ontology antara zina dan perkosaan seperti yang telah dijelaskan di atas, zina berarti melakukan hubungan persetubuhan antara seorang laki-laki atau lebih dengan perempuan tanpa adanya ikatan pernikahan dan dilakukan suka sama suka sehingga di dalam hukum pidana Indonesia (KUHP) tidak dihukum atau tidak terdapat hukuman padanya, tetapi dalam hukum Islam sangat jelas hukumnya dan termasuk dosa besar dan dihukum atasnya berlaku Hadd zina yaitu hukuman Hudud cambuk 100 (seratus) kali. Sedangkan perkosaan terdapat hukumannya dalam dua hukum materil yaitu KUHP dan Qanun No.6 tahun 2014, yang mana perkosaan itu diartikan oleh KUHP dengan aspek “paksaan” lalu diterapkan hukuman maksimal 12 tahun penjara. Sedangkan menurut Qanun No. 6 Tahun 2014, perkosaaan dilihat sebagai “kesengajaan” dan diterapkan hukuman cambuk dan denda. Ini menunjukan perbedaan perspektif dalam melihat ontologi perkosaan. KUHP melihat dari perspektif korban, sehingga ketidakrelaan (terpaksa) menjadi indikator. Sedangkan

28Qanun No 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat hlm 16.

(29)

Qanun melihat dari perspektif pelaku, sehingga kondisi terpaksa pada isteri yang sah tidak menjadi indikator perkosaan.

2.2. Teori Maqasid dan Syarat Beramal dengan Maslahat. 2.2.1. Teori Maqasid.

Maqasid berasal dari bahasa Arab jamak dari maqsad yang bermakna maksud, sasaran, prinsip, niat, tujuan, tujuan akhir. Maqasid hukum Islam adalah sasaran-sasaran atau maksud-maksud di balik hukum itu. Bagi sejumlah teoretikus hukum Islam, Maqasid adalah pernyataan alternatif untuk masaalih atau kemaslahatan-kemaslahatan.

Maqasid hukum Islam diklasifikasikan dengan berbagai cara, berdasarkan sejumlah dimensi :

a. Tingkatan-tingkatan keniscayaan, yang merupakan klasifikasi tradisional. b. Jangkauan tujuan hukum untuk menggapai Maqasid.

c. Jangkauan orang yang tercakup dalam Maqasid.

d. Tingkatan keumuman Maqasid, atau sejauh mana Maqasid itu mencerminkan keseluruhan Nas.

Klasifikasi tradisional membagi Maqasid menjadi tiga „tingkatan keniscayaan‟ (levels of necessity), yaitu keniscayaan atau darruriat, kebutuhan atau hajjiat, dan kelengkapan atau tahsiniat. Daruriat terbagi menjadi „perlindungan agama‟ atau hifzun-nafsi (hifz al-nafs), „perlindungan harta‟ atau hifzulmali (hifz

(30)

al-mal), „perlindungan akal‟ atau hifzul-aqali (hifz al-„aql) dan „perlindungan keturunan‟ atau hifzun-nasli (hifz al-nasl). Beberapa pakar ushul fikih menambahkan „perlindungan kehormatan‟ atau hifzul-irdi (hifz al-„ird) di samping kelima keniscayaan yang sangat terkenal di atas.

Daruriat dinilai sebagai hal-hal esensial bagi kehidupan manusia sendiri. Ada kesepakatan umum bahwa perlindungan daruriat atau keniscayaan ini adalah „sasaran di balik setiap hukum ilahi‟. Adapun Maqasid pada tingkatan kebutuhan atau hajjiat dianggap kurang esensial bagi kehidupan manusia. Terakhir, Maqasid pada tingkatan kelengkapan atau tahsiniat adalah yang „memperindah Maqasid‟ yang berada pada tingkatan sebelumnya, menurut ungkapan tradisional.30

Teori Maqasid Islam berkembang dari abad ke abad, terutama pad abad ke 20 M. para teoretikus kontemporer mengkritik klasifikasi keniscayaan model tradisional sebagaimana tersaji dengan beberapa alasan, antara lain :

a. Jangkauan Maqasid tradisional meliputi seluruh hukum Islam. Tetapi, upaya para penggagas Maqasid tradisional itu tidak memasukan maksud khusus dari suatu atau sekelompok nas/hukum yang meliputi topik fikih tertentu.

b. Maqasid tradisional lebih berkaitan dengan individu, dibandingkan keluarga, masyarakat, atau umat manusia.

c. Klasifikasi Maqasid tradisional lebih memasukan nilai-nilai: yang paling umum seperti keadilan dan kebebasan.

30

Jesser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syariah (pendekatan system), Mizan Pustaka, 2015, hlm 32-34.

(31)

d. Maqasid tradisional dideduksikan dari kajian „literatur fikih‟, ketimbang sumber-sumber Syariat (al-qur‟an dan sunnah).

Cendikiawan Muslim modern dan kontemporer memperkenalkan konsep dan klasifikasi Maqasid yang baru dengan memasukan dimensi-dimensi Maqasid yang baru, guna memperbaiki kekurangan pada konsep Maqasid Tradisional.31

Ijtihad pada berbagai kasus-kasus tertentu telah menceritakan tentang pemahaman dan pengalaman Maqasid di era para sahabat, memiliki signifikansi penting. Signifikansinya adalah para sahabat tidak selalu menerapkan „dalalah lafal‟ (dilalah al-lafz) dalam istilah para pakar Ushul Fikih. „Dalalah lafal‟ berarti implikasi langsung dari suatu bunyi bahasa, dalam hal ini „bunyi Nas‟. Para Sahabat menerapkan implikasi praktis yang didasarkan pada „dalalah maksud‟ (dilalah al-maqsid). Dalalah maksud ini memungkinkan fleksibilitas yang lebih besar dalam memahami teks (lafz) dan meletakanya dalam konteks situasi seperti contoh yang diilustrasikan dalam kasus-kasus pada masa sahabat itu.

Namun, mazhab fikih (Neo-) Tradisionalis tidak menilai pemahaman para Sahabat di atas sebagai „dalalah Maksud‟, yang berbeda dengan „dalalah lafal‟ dari suatu Nas. Neo–Tradisionalis mengklaim bahwa ada „sebab-sebab‟ atau ilat (illah) di balik hukum Syariat yang dipahami para Sahabat di atas; dan hukum tersebut tidak

(32)

lagi diterapkan ketika ilat itu sudah tidak ada atau sudah ditakhsis (dispesifikasi) oleh Nas lain.32

Oleh karena itu perkosaan ini tidak diatur secara eksplisit dalam Islam tapi seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa adanya Maqasid dalam Islam yang pada tingkat keniscayaan menurut al-syatibi, yaitu dalam hal perkosaan ini yang jadi tujuan Maqasid nya adalah „pelindungan kehormatan‟ atau hifzul-irdi dan hifzun-nafsi atau „perlindungan jiwa raga‟. Ini sudah dikemukakan terlebih dahulu oleh al-Amiri dengan istilah „hukuman‟ terhadap „pelanggaran kehormatan‟ dan oleh al-juwaini dengan istilah „penjagaan kehormatan‟ (hifz al „ird)33

2.2.2. Syarat Beramal dengan Maslahat.

Pengertian maslahah dalam bahasa Arab berarti “perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia”. Dalam arti yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan atau kesenangan; atau dalam menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudaratan atau kerusakan. Jadi setiap yang mengandung manfaat patut disebut maslahah. Dengan begitu maslahah itu mengandung dua sisi, yaitu menarik atau mendatangkan kemaslahatan dan menolak atau menghindarkan kemudaratan.34

32 Jesser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syariah hlm 44. 33 Jesser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syariah hlm 57. 34

(33)

Hukum Islam mempunyai tujuan yaitu meraih kemaslahatan di dunia dan di akhirat. Yang dimaksud dengan maslahat memiliki kriteria-kriteria tertentu di kalangan ulama, yang apabila disimpulkan sebagai berikut :

1. kemaslahatan itu harus diukur kesesuaiannya dengan maqashid al-syari’ah, dalil-dalil kulli (general dari Al-quran dan As-Sunnah), semangat ajaran, dan kaidah kulliyah hukum Islam.

2. Kemaslahatan itu harus meyakinkan, dalam arti harus berdasarkan penelitian yang akurat, hingga tidak meragukan lagi.

3. Kemaslahatan itu harus memberi manfaat pada sebagian besar masyarakat, bukan pada sebagian kecil masyarakat.

4. Kemaslahatan itu memberikan kemudahan, bukan mendatangkan kesulitan dalam arti dapat dilaksanakan.

Majlis ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional ke VII Tahun 2005, dalam keputusannya No. 6/MUNAS/VII/MUI/10/2005 memberikan kriteria sebagai berikut:

1. Kemaslahatan menurut hukum Islam adalah tercapainya tujuan syariah (maqashid al-syari’ah), yang diwujudkan dalam bentuk terpeliharanya lima kebutuhan primer (al-dharuriat al-khams), yaitu agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.

2. Kemaslahatan yang dibenarkan oleh syariat adalah kemaslahatan yang tidak bertentangan dengan nash.

(34)

3. Yang berhak menentukan maslahat dan tidaknya sesuatu menurut syariat adalah lembaga yang mempunyai kopetensi di bidang syariat dan dilakukan melalui ijtihad jama’i.35

Adapun syarat-syarat khusus untuk dapat berijtihad dengan menggunakan Maslahah mursalah yaitu di antaranya adalah :

1. Maslahah mursalah itu adalah maslahah yang hakiki dan bersifat umum, dalam arti dapat diterima oleh akal sehat bahwa ia betul-betul mendatangkan manfaat bagi manusia dan menghindari mudarat dari manusia secara utuh. 2. Yang dinilai akal sehat sebagai suatu maslahah yang hakiki betul-betul sejalan

dengan maksud dan tujuan syara’ dalam menetapkan setiap hukum, yaitu mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia.

3. Yang dinilai akal sehat sebagai suatu maslahah yang hakiki dan telah sejalan dengan tujuan syara’ yang telah ada, baik dalam bentuk nash Al-Qur‟an dan Sunnah, maupun ijma‟ ulama terdahulu.

4. Maslahah mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang seandainya masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada dalam kesempitan hidup, dengan ini harus ditempuh untuk menghindari umat dari kesulitan36.

35

A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta, Kencana, 2010, hlm165.

36

(35)

2.3 Objektivitas Hukuman Sebagai Kehendak Yuridis

Di dalam lalu lintas hukum sering terjadi hubungan hukum, baik secara sendiri-sendiri maupun secara kelompok. Dalam hubungan ini ada obyek hukum. Obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum (manusia atau badan hukum) dan yang dapat menjadi pokok suatu perhubungan hukum, karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subyek hukum. Demikian pula E. Utrecht menegaskan bahwa: yang dimaksud dengan obyek hukum dalam suatu hubungan hukum menurut hukum pidana ialah Hukuman (pidana) yang dapat dijatuhi pada pelanggar.37

Objektivitas merupakan salah satu syarat sebuah hukuman yang dianya adalah bagian dari hukum yang karenanya agar bisa dikatakan berkualitas. Namun kini adanya dugaan bahwa hukum dan atau hukuman yang diterapkan terhadap suatu tindak kejahatan atau pidana (jarimah) tidak mampu menerapkan keobjektivitasan dalam pemberian hukuman yang sesuai. Tidak dipungkiri adanya dugaan hukuman yang diterapkan tidak terlepas dari subjektivitas hukum atau tidak objektif.

Dari segi teoritik suatu tindak pidana terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur objektif berkaitan dengan suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukuman. Yang dijadikan titik utama dari pengertian objektif di sini adalah tindakannya. Sedangkan unsur subjektif berkaitan dengan tindakan tindakan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini

37

(36)

mengutamakan adanya pelaku baik seseorang maupun beberapa orang. Yang dimaksud dengan unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku,38 dan termasuk ke dalamnya yaitu segala yang terkandung di dalam hati dan pikirannya.

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus dan culpa);

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain;

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

5. Perasaan takut seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Adanya unsur subjektif lainnya, unsur ini meliputi :

a. Kesengajaan (dolus), dimana hal ini terdapat di dalam pelanggaran kesusilaan (Pasal 281 KUHP), perampasan kemerdekaan (Pasal 333 KUHP), pembunuhan (Pasal 338).

38

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, edisi revisi, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2013, hlm 17.

(37)

b. Kealpaan (culpa), dimana hal ini terdapat di dalam perampasan kemerdekaan (Pasal 334 KUHP), dan menyebabkan kematian (Pasal 359 KUHP), dan lain-lain.

c. Niat (voornemen), dimana hal ini terdapat di dalam percobaan atau poging (Pasal 53 KUHP)

d. Maksud (oogmerk), dimana hal ini terdapat dalam pencurian (Pasal 362 KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP), dan lain-lain

 Dengan rencana lebih dahulu (met voorbedachte rade), dimana hal ini terdapat dalam membuang anak sendiri (Pasal 308 KUHP), membunuh anak sendiri (Pasal 341 KUHP), membunuh anak sendiri dengan rencana (Pasal 342 KUHP).39

Sementara unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah : 1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;40

39 F.Aqsya, KUHP dan KUHAP, Asa Mandiri, hlm 108-117. 40

(38)

3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Dalam membahas persoalan objektivitas hukum dan hukumannya, ada tiga prinsip yang diadopsi dalam undang-undang tersebut yaitu :

a. Kepastian hukum ; yaitu adalah suatu jaminan bahwa suatu hukum harus dijalankan dengan cara yang baik dan tepat. Kepastian pada intinya merupakan tujuan utama dari hukum itu sendiri, oleh karena itu juga suatu hukuman juga harus mempunyai kepastian hukum, dalam arti harus tepat dalam membuat dan memutuskan atau hukuman yang diberikan memiliki sisi baik untuk menjatuhkan hukuman terhadap suatu tindakan pidana (jarimah). b. Persamaan di depan hukum; artinya tidak ada beda antara warga Negara di

depan hukum, baik pejabat maupun orang biasa, hukum tidak memberatkan seseorang apabila ada dua orang yang sedang dijatuhi hukuman atas perbuatan mereka.

c. Keseimbangan antara kejahatan dengan hukuman; apabila seseorang melakukan suatu kejahatan atau suatu tindak pidana (jarimah), maka harus sesuai antara besar kecilnya kejahatan yang ia lakukan dengan hukuman yang ia dapatkan, jadi apabila ketiga prinsip ini benar-benar sudah terlaksana baru mencapai suatu basis hukum positif (kehendak yuridis atas suatu hukum), juga seperti prinsip yang ketiga ini yaitu seimbangnya kejahatan dan

(39)

hukumannya maka jika itu sudah tercapai tentu sudah bisa dikatakan baik hukum maupun hukuman tersebut sudah objektif.

Karena hukum adalah yang menjamin adanya ketertiban dan keteraturan. Oleh karena harus diakui bahwa kehendaklah yang hendak mengatur hidup, ialah kehendak yuridis, yang memegang peranan penting dalam hukum positif. Kehendak yuridis adalah basis dan syarat seluruh hukum positif dan segala pengalaman hukum. Kehendak yuridis adalah suatu kehendak yang mengatasi kehendak pribadi subjektif, kehendak yuridis disebut oleh Stammler suatu kehendak objektif.

Di samping kehendak yuridis juga terdapat kehendak moral. Kehendak moral mengatur materi perbuatan-perbuatan manusia dalam hidup batin manusia dengan tujuan untuk menghayati hidup bersama dengan orang-orang lain sesuai dengan norma-norma batin. Kehendak moral dibedakan dari kehendak yuridis, sebab kehendak moral menentukan kelakuan manusia individu, tetapi tidak mempersatukan secara efektif manusia-manusia dalam hidup ini. Sebaliknya kehendak yuridis mengatur dan menentukan pengalaman-pengalaman kehidupan masyarakat dan mengikat kehendak manusia-manusia secara lahir. 41

Bila berbicara mengenai objeksivitas hukuman pelaku perkosaan maka harus diketahui terlebih dahulu apa sebenarnya tujuan dari hukuman dilihat dari sudut pandang hukum positih (KUHP) dan juga hukum Islam yang pada judul penelitian ini

41

A. Gunawan Sretiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, kanisius, hlm 39.

(40)

terincikan dengan Qanun. Maka dari itu tujuan pemidanaan atau tujuan penghukuman itu sendiri ditentukan dalam pasal 51 rancangan KUHP Juli tahun 2006, yang tujuan pemidanaan yaitu :

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

3. Menyelasaikan konflik yang ditimbulkan oleh pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.42

Dalam salah satu laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional tahun 1980, dinyatakan bahwa :

a. Sesuai dengan politik hukum pidana maka tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat/ Negara, korban dan pelaku.

b. Atas dasar tujuan tersebut maka pemidanaan harus mengandung unsur-unsur yang bersifat:

42 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, edisi revisi, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2013, hlm 14-15.

(41)

1. Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang;

2. Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan;

3. Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat.43

Sedangkan dalam fiqih Islam hukuman yang diberikan kepada pelaku jarimah dibagi kepada lima golongan yaitu :

1. Berdasarkan pertaliannya, hukuman itu dibagi menjadi empat macam, yaitu : a. Hukuman pokok, seperti qishas untuk jarimah pembunuhan dan potong

tangan untuk mencuri.

b. Hukuman pengganti bila hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan, seperti diyat pengganti qishas atau ta‟zir pengganti hudud.

c. Hukuman tambahan mengikuti hukuman pokok, seperti terhalang mewarisi bagi pembunuh keluarga, tanpa perlu penetapan sendiri.

43 Barada Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang, CV. Ananta, 1994, hlm 82.

(42)

d. Hukuman pelengkap yang mengikuti hukuman pokok dengan keputusan tersendiri, seperti mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong tangannya.

2. Berdasarkan hukuman hakim dalam menentukan berat ringannya hukuman : a. Hukuman yang hanya mempunyai satu batas, seperti hukuman cambuk 80

kali atau 100 kali.

b. Hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan terendah sesuai keputusan hakim, seperti hukuman penjara atau hukuman cambuk pada perkara ta‟zir. 3. Berdasarkan besarnya hukuman yang telah ditentukan, terbagi dua:

a. Hukuman yang telah ditentukan jenisnya dan besarnya dan hakim tidak boleh mengurangi, menambah, atau menukar dengan hukuman lain, disebut juga uqubah lazimah.

b. Hukuman yang bebas dipilih hakim dari sekumpulan hukuman yang telah ditetapkan syara‟ agar bisa disesuaikan dengan keadaan dan pelaku jarimah, disebut juga uqubah mukhayyarah.

4. Hukuman berdasarkan tempat dilaksanakan, terbagi tiga :

a. Hukuman badan, seperti dipancung, dicambuk, dipenjara dan sebagainya. b. Hukuman jiwa, seperti ancaman, peringatan dan teguran.

(43)

5. Berdasarkan bentuk jarimah, ada empat macam : a. Hukuman hudud untuk jarimah hudud

b. Hukuman qishas-diyat untuk jarimah qishas-diyat

c. Hukuman kafarat untuk jarimah qishas diyat dan sebagian ta‟zir. d. Hukuman ta‟zir untuk jarimah ta‟zir.

Semua hukum yang berlaku di dunia selalu memiliki tiga aspek dalam penerapan sanksinya, yaitu prepentif, represif dan rehabilitatif. Aspek prepentif dimaksudkan untuk mencegah agar orang tidak melakukan dan mengulangi kejahatan dan orang lain yang belum melakukan kejahatan agar tidak berbuat kejahatan. Aspek represif merupakan penindakan terhadap pelaku kejahatan, menegakkan supremasi hukum dan memberikan hukuman terhadap pelakunya sesuai dengan kejahatannya. Sedangkan rehabilitatif merupakan upaya pembinaan agar kejahatan yang sama tidak diulangi oleh penjahat bila ia masih hidup, atau membina orang yang belum berbuat kejahatan agar mereka tidak melakukan kejahatan. Ketiga aspek ini berlaku secara integral dalam setiap hukum, dimana setiap upaya prepentif selalu diiringi dengan upaya represif jika kejahatan terjadi, dan dilanjutkan dengan upaya rehabilitatif jika pelaku kejahatan masih hidup.44

44 Jurnal, Khusnul khotimah, Dosen Fakultas Syari‟ah dan Ekonomi Islam IAIN Bengkulu, Hukuman dan Tujuannya dalam Perspektif Hukum Islam.

(44)

Dalam hukum Islam, upaya prepentif itu terlihat dalam setiap ketentuan hukum jarimah, seperti memberi pengertian tentang betapa berharganya jiwa manusia sehingga membunuh satu orang laksana membunuh banyak orang, firman Allah : Q.S, Al-Maidah ayat 32 :

“Bahwa barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia.”45

Bila seseorang tetap melakukan pembunuhan maka hukuman yang diberikan kepadanya adalah dibunuh pula atau diberi denda yang sangat berat (diyat) bila mendapat maaf dari keluarga korban. Dengan hukuman yang seberat ini maka orang tentu berfikir panjang untuk membunuh.

Di samping upaya preventif dan revresif, dalam hukum Islam juga terdapat upaya rehabilitasi, yaitu upaya membina agar setiap muslim dapat mentaati semua hukum Islam atas dasar iman. Makanya dalam sejarah Islam masa 13 tahun Nabi di Mekah difokuskan untuk membina akidah dan keimanan umat Islam agar mereka menjadi muslim yang taat. Selain pembinaan akidah dan iman dalam Islam juga diajarkan tobat bagi orang Islam yang terlanjur berbuat kejahatan. Menurut Ibnu Taimiyah, beberapa hukuman hudud dapat digugurkan bila pelakunya telah bertobat sebelum dibawa ke hadapan hakim. Ada beberapa ayat yang menyatakan bahwa taubat itu dapat menghapuskan hukuman had, antara lain:

45

(45)

“Kecuali mereka yang telah bertobat, mengadakan perbaikan dan menjelaskan (nya), mereka itulah yang Aku terima tobatnya dan Akulah Yang Maha Penerima tobat, maha penyayang”46

.

Dari ayat tersebut di atas terlihat bahwa beberapa jenis hukuman had menjadi gugur bila pelaku jarimah telah bertobat. Di antara jarimah hudud yang digugurkan hukumannya menurut ayat di atas antara lain zina, hirabah dan pencurian. Namun pendapat ini tidak diterima oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi`i, menurut mereka tobat tidak menghalangi pelaksanaan hukuman had, karena beberapa contoh dari Rasulullah beliau tetap memotong tangan Maiz dan Ghamidiyah yang telah mencuri dan menyerahkan diri kepada Rasul dan bertobat. Demikian juga Rasul memotong tangan Amar ibn Samurah karena mengaku mencuri.

Pembinaan iman dan aqidah serta pemberian kesempatan untuk bertobat secara betul-betul merupakan salah bentuk upaya rehabilitatif bagi pelaku jarimah. Sedangkan terhadap orang yang belum pernah melakukan kejahatan namun bisa jadi ia berpotensi berbuat kejahatan maka kepada setiap umat Islam diperintahkan untuk saling menasehati untuk kebenaran dan kesabaran.

Namun bila berbicara mengenai hukuman, asosiasi yang ada senantiasa tertuju kepada seperangkat ketentuan hukum yang memiliki sanksi serta tujuan pemberian sanksinya. Dalam hukum Islam, jenis-jenis sangsi bagi pelaku jarimah hudud telah disebutkan dengan jelas, demikian pula halnya dengan jarimah qishas-diyat.

46

(46)

Sedangkan jarimah ta‟zir diserahkan kepada penguasa untuk menentukan jenis, bentuk dan ukuran sanksinya, dengan perkiraan hukuman ta‟zir itu memiliki potensi preventif, revresif dan rehabilitatif.

Tujuan pemberian hukuman dalam hukum Islam adakalanya diterangkan langsung dalam nash al-Qur‟an atau sunnah. Sebagai contoh adalah tujuan hukuman qishas, langsung diterangkan Allah dalam firmanNya :

”Dan dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertaqwa”

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa penerapan hukuman qishas mempunyai hikmah yang sangat besar untuk menjaga kehidupan manusia, dimana pembunuhan juga dibalas dengan pembunuhan, sehingga orang jadi takut untuk membunuh karena nanti akan dibunuh pula. Dengan demikian daya preventif hukuman qishas ini sangatlah efektif.

Selain menyebutkan langsung tujuan hukuman, ada juga yang tidak disebutkan secara langsung seperti fiman Allah :

“Pezina perempuan dan pezina laki-laki deralah masing-masing keduanya seratus kali, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman”.

Tujuan hukuman terhadap pelaku zina ini ada dua bentuk, yaitu fisik dan pisikis. Hukuman yang bersifat fisik adalah hukuman cambuk atau dera, yang akan

(47)

menimbulkan rasa sakit dan menimbulkan kengerian bagi pelaku dan masyarakat yang melihatnya. Hukuman yang bersifat psikis yaitu pelaku zina diberi malu dengan dihukum di hadapan orang banyak, demikian juga bagi orang yang belum melakukan zina akan berpikir panjang untuk melakukan zina karena akan mendapatkan siksaan yang pedih dan rasa malu yang besar, sehingga rusak nama baiknya dan jatuh harga dirinya di mata masyarakat.

Namun tidak semua aturan hukum jinayah yang disebutkan tujuan hukumannya, untuk itu diberikan kesempatan kepada manusia untuk menggali hikmahnya mengapa suatu perbuatan jarimah diberi hukuman. Hanafi berpendapat yang kalau disimpulkan yaitu bahwa tujuan hukuman itu ada empat yaitu mencegah, mengancam, memperbaiki, dan mendidik.47

Mencegah dan mengancam artinya menahan pelaku kajahatan agar jera, tidak mengulangi atau tidak terus menerus berbuat kejahatan dan agar orang lain tidak melakukan jarimah yang sama. Untuk mewujudkan tujuan pencegahan ini maka hukuman yang ditetapkan haruslah cukup untuk mewujudkan perbuatan itu, tidak boleh kurang atau lebih meskipun hukumannya berbeda-beda untuk setiap kasus, sehingga hukuman itu betul-betul mencerminkan keadilan.

Selain mencegah dan mengancam, hukum Islam juga bermaksud untuk memperbaiki pelaku jarimah dengan menyuruhnya bertobat dan mendidiknya agar konsisten dengan tobatnya, yaitu menghentikan perbuatan jahat dan menggantinya

47

(48)

dengan perbuatan baik (amal shaleh) sehingga betul-betul terbentuk pribadi yang taat pada ketentuan agama.

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa tujuan hukuman menurut hukum Islam adalah menciptakan kemaslahatan, menegakkan supremasi hukum dan keadilan bagi manusia serta menjauhkan dari mafsadat yang akan merugikan dirinya dan orang lain.48

2.3.1 Objektivitas Hukuman Sebagai Kehendak Yuridis dari Sudut Pandang

Kaidah-kaidah Maqashid.

Untuk melihat keobjektivitasan hukuman perkosaan ini maka harus menggunakan juga kaidah maqashidiyyah umum, yang dengan kaidah-kaidah umum tersebut akan menunjukkan suatu hukuman perkosaan tersebut dapat dikatakan telah objektif maupun tidak. Di antara kaidah-kaidah yang dapat digunakan adalah seperti kaidah bahwa al-syari’ menetapkan syariat berdasarkan maslahat seperti Kaidah berikut:

َأ ن

َشلا

ِرا

َع

َو

َض

َع

شلا

ِر ْ ي َع

ُة

َع

َىل

ِا

ْع ِت

َب

ِرا

ْا

َل

َص

ِلا

ِح

ِب

تا

َف

ِقا

.

“Disepakati bahwa al-Syāri„ menetapkan syariat berdasarkan maslahat”. Perintah dan larangannya kembali pada kebutuhan dan kemaslahatan si mukallaf, seperti Kaidah pertama:

48Jurnal, Khusnul khotimah, Dosen Fakultas Syari‟ah dan Ekonomi Islam IAIN Bengkulu,

(49)

َقلا

ِعا

َد ُة

ُلا

َق

رر

ُة

َأ ،

ن

شلا

َر ِئا

َع

ِإ ََن

ِج ا

ْي َء

َِب

ِل ا

َم

َص

ِلا

ِح

ْا

ِعل َب

ِدا

َف

َْلا

ْم ُر

َو

نلا

ْه

ُي

َو

تلا

ِخ

ْ ي َ ي

ُر

َ ب ْ ي َ ن

ُه َم

َر ا

َجا

ِع ُة

ِإ

َل

ِح

ِّظ

ْا

ُل

َك ِّل

ِف

َو َم

َص

ِِلا

ِو

.

“Kaidah yang disepakati, bahwa syariat diturunkan untuk kemaslahatan hamba, maka perintah dan larangan serta pilihan antara keduanya kembali kepada kebutuhan mukallaf dan kemaslahatannya”.

Maka dalam hal apapun yang telah ada ketentuan syariat padanya itu pasti mengandung unsur kemaslahatan bagi umat, untuk masalah yang belum ada kekhususan atau kurang rincinya dijelaskan oleh hukum Islam atau bahkan tidak terdapat dalil yang menjelaskan secara eksplisit tentang suatu hal maka apabila itu suatu jarimah tentu berlakunya hukuman berupa ta‟zir, yang berdasarkan berbagai pertimbangan-pertimbangan agar suatu hukuman yang diberikan dapat membawa dampak kepada suatu maslahat dan dapat dikatakan sebagai hukuman yang objektif.

Hukuman perkosaan ini dalam konteks Qanun jinayat berlaku hukuman ta‟zir dan hukuman yang diberikanpun melebihi hukuman yang diberikan kepada pelaku jarimah zina yang suka sama suka, dalam setiap hukuman termasuk hukuman perkosaan ini diberikan untuk menolak terjadinya atau timbulnya suatu mafsadat seperti halnya perkosaan jika dilihat dari sisi korban perkosaan, maka aspek terpaksa disini menjadi indikator terpenting dimana si korban secara terpaksa kehilangan kehormatannya dan bahkan bisa saja sampai hamil dan mempunyai anak, oleh karena itu untuk menghindari atau menjaga agar kemafsadatan seperti itu tidak menimpa si korban perkosaan maka hukuman yang dijatuhi terhadap pelaku jarimah perkosaan

Referensi

Dokumen terkait

Dengan memahami dan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh guru, siswa mampu membuat sebuah buklet mengenai berbagai macam kegiatan manusia yang dapat memengaruhi..

The results showed that EEAfL in combination with doxorubicin induced apoptosis more than necrosis cells, suggesting that EEAfL is better to be used in combination

Variabel Inovasi Layanan Aplikasi (X2) terhadap Keputusan Penggunaan Jasa (Y) menunjukkan nilai koefisien sebesar 0,504 dengan t statistic 5,987 lebih besar dari

Individu yang mengalami kondisi flow sangat terlibat dalam aktivitas yang dilakukannya, keterlibatan dalam aktivitas dikarenakan terjadinya proses kognitif dan

Suprawoto (2009) memberikan definisi bahan ajar sebagai berikut: 1) segala bentuk bahan yang digunakan oleh guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di

Selama periode tersebut sebanyak 146 pasien dirawat dengan diagnosis infark miokard, 76 di antaranya memiliki data kadar CK-MB saat masuk rumah sakit kemudian sebanyak 16 pasien

Secara umum dengan beberapa indikator kepuasan konsumen belanja online shop lazada yang meliputi barang dan jasa berkualitas, hubungan pemasaran, program

Petugas penguji emisi kendaraan bermotor roda 4 (empat) di Unit pelaksana Teknis Dinas (UPTD) pada Dinas perhubungan komunikasi, dan informatika Kota Banda Aceh mempunyai tugas