• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Drainase yang berasal dari bahasa Inggris drainage mempunyai arti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Drainase yang berasal dari bahasa Inggris drainage mempunyai arti"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Umum

Drainase yang berasal dari bahasa Inggris drainage mempunyai arti mengalirkan, menguras, membuang, atau mengalihkan air. Dalam bidang teknik sipil, drainase secara umum dapat didefenisikan sebagai suatu tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal dari air hujan, rembesan, maupun kelebihan air irigasi dari suatu kawasan/lahan, sehingga fungsi kawasan/lahan tidak terganggu. Drainase dapat juga diartikan sebagai usaha untuk mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya dengan salinitas. Jadi, drainase menyangkut tidak hanya air permukaan tapi juga air tanah.

Drainase adalah istilah untuk tindakan teknis penanganan air kelebihan yang disebabkan oleh hujan, rembesan, kelebihan air irigasi, maupun air buangan rumah tangga, dengan cara mengalirkan, menguras, membuang, meresapkan, serta usaha-usaha lainnya, dengan tujuan akhir untuk mengembalikan ataupun meningkatkan fungsi kawasan. Secara umum sistem drainase merupakan suatu rangkaian bangunan air yang berfungsi mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan. Drainase dapat juga diartikan sebagai usaha untuk mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya dengan salinitas.

Jika diasumsikan besarnya curah hujan dan intensitas hujan selalu tetap maka limpasan yang dinyatakan dengan dalamnya air rata-rata akan selalu sama. Berdasarkan asumsi tersebut mengingat aliran per satuan luas tetap maka ketinggian aliran sungai akan sebanding sengan luas daerah pengaliran tersebut.

(2)

Akan tetapi hal yang sebenarnya makin besar daerah pengaliran maka makin lama limpasan mencapai titik pengukuran, jadi panjang dasar ketinggian debit banjir menjadi lebih besar dan debit puncaknya berkurang. Salah satu sebab pengurangan debit puncak ialah hubungan antara intensitas curah hujan maksimum yang berbanding terbalik dengan luas daerah hujan tersebut, berdasarkan asumsi tersebut curah hujan dianggap merata, akan tetapi mengingat intensitas curah hujan maksimum yang kejadiannya diperkirakan dalam frekuensi yang tetap menjadi lebih kecil dibanding dengan daerah pengaliran yang lebih besar, maka perkiraan puncak banjir akan menjadi lebih kecil.

Wilayah Sibolga terdapat beberapa anak sungai/alur yang mengalir ke Teluk Tapian Nauli. Alur sungai ini ada yang masih alamiah maupun sudah mengalami perubahan bentuk. Sungai terbesar yang bermuara ke teluk/laut tersebut adalah Sungai Aek Doras dan Aek Horsik. Sebagian besar wilayah kota ini masih merupakan daerah perbukitan dan hutan yang paling berpengaruh di sebelah utara kota. Kemiringan lahan sangat beragam mengikuti kontur tanahnya sehingga air dapat mengalir secara alamiah menuju tempat pembuangan akhir. Secara fungsional, sulit dipisahkan secara jelas antara sistem drainase dan sistem pengendalian banjir. Genangan yang terjadi sehubungan dengan aliran di saluran drainase akibat hujan lokal terhambat masuk ke saluran induk dan/atau ke sungai, sering juga disebut banjir. Membedakan genangan akibat luapan sungai dengan genangan akibat hujan lokal yang kurang lancar mengalir ke sungai, seringkali mengalami kesulitan.

Permasalahan Drainase di Wilayah Perkotaan yang merupakan pusat kegiatan manusia, pusat produsen, pusat perdagangan, sekaligus pusat konsumen.

(3)

Di wilayah perkotaan tinggal banyak manusia sehingga terdapat banyak fasilitas umum, transportasi, komunikasi dan sebagainya.

Saluran drainase di wilayah perkotaan menerima tidak hanya air hujan, tetapi juga air buangan (limbah) rumah tangga, dan mungkin juga limbah pabrik. Hujan yang jatuh di wilayah perkotaan kemungkinan besar terkontaminasi ketika air itu memasuki dan melintasi atau berada di lingkungan perkotaan. Sumber kontaminasi berasal dari udara (asap, debu, uap, gas), bangunan dan/atau permukaan tanah, dan limbah domestik yang mengalir bersama air hujan. Setelah melewati lingkungan perkotaan, air hujan dengan atau tanpa limbah domestik, membawa polutan ke badan air.

Sumber penyebab utama permasalahan drainase adalah peningkatan pertumbuhan jumlah penduduk. Urbanisasi yang terjadi di hampir seluruh kota besar di Indonesia akhir-akhir ini menambah beban daerah perkotaan menjadi lebih berat. Peningkatan jumlah penduduk selalu diikuti dengan peningkatan infrastruktur perkotaan seperti perumahan, sarana transportasi, air bersih, prasarana pendidikan, dan lain-lain. Di samping itu peningkatan penduduk selalu juga diikuti dengan peningkatan limbah, baik limbah cair maupun padat (sampah). Kebutuhan akan lahan untuk permukiman maupun kegiatan perekonomian akan semakin meningkat sehingga terjadi perubahan tataguna lahan yang mengakibatkan peningkatan aliran permukaan dan debit puncak banjir. Besar kecil aliran permukaan sangat ditentukan oleh pola penggunaan lahan, yang diekspresikan dalam koefisien pengaliran yang bervariasi antara 0,10 (hutan datar) sampai 0,95 (perkerasan jalan). Hal ini menunjukkan bahwa pengalihan fungsi lahan dari hutan menjadi perkerasan jalan bisa meningkatkan debit puncak banjir

(4)

sampai 9,5 kali, dan hal ini mengakibatkan prasarana drainase yang ada menjadi tidak mampu menampung debit yang meningkat tersebut.

Manajemen sampah yang kurang baik memberi kontribusi percepatan pendangkalan/penyempitan saluran dan sungai, sehingga kapasitas/kemampuan mengalirkan air dari sungai dan saluran drainase menjadi berkurang. Perubahan fungsi lahan dari hutan (kawasan terbuka) menjadi daerah terbangun (kawasan perdagangan, permukiman, jalan dan lain-lain) juga mengakibatkan peningkatan erosi.

Material yang tererosi, terbawa serta ke dalam saluran dan sungai sehingga turut mengakibatkan pendangkalan dan penyempitan. Oleh sebab itu, setiap perkembangan kota harus diikuti dengan evaluasi dan/atau perbaikan sistem secara menyeluruh, tidak hanya pada lokasi pengembangan, tetapi juga daerah sekitar yang terpengaruh. Sebagai contoh, pengembangan suatu kawasan permukiman di daerah hulu suatu sistem drainase, maka perencanaan drainasenya tidak hanya dilakukan pada kawasan permukiman tersebut, tetapi sistem drainase di hilir juga harus dievaluasi dan/atau diredesain jika diperlukan. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka instansi atau pengembang yang terlibat harus mampu menjamin (secara teknis) bahwa air dari kawasan yang dikembangkan tidak mengalami perubahan dari sebelum dan sesudah pengembangan. Cara lain yang dapat ditempuh adalah pengembang harus menyediakan di kawasan pengembangan tersebut, resapan-resapan buatan seperti sumur resapan, kolam resapan, kolam tandon sementara dan sebagainya.

Permasalahan Drainase Kota di Kawasan Pesisir Pantai Kota-kota besar di Indonesia sebagian besar terdapat di wilayah pesisir pantai. Permasalahan

(5)

drainase di kota-kota pesisir pantai biasanya lebih rumit dibandingkan dengan permasalahan drainase perkotaan secara umum. Permasalahan drainase khususnya kota pantai, bukanlah hal yang sederhana. Banyak faktor yang mempengaruhi dan pertimbangan yang matang dalam perencanaan antara lain peningkatan debit, penyempitan dan pendangkalan saluran, reklamasi, amblasan tanah, limbah cair dan padat (sampah), dan pasang surut air laut.

Amblasan tanah (land subsidence) yang terjadi di banyak kota pantai mengakibatkan genangan banjir makin parah. Amblasan tanah ini disebabkan terutama oleh pengambilan air tanah yang berlebihan, yang mengakibatkan beberapa bagian kota berada sama tinggi dan bahkan di bawah muka air laut pasang. Akibatnya sistem drainase gravitasi akan terganggu, bahkan tidak bisa bekerja tanpa bantuan pompa. Bahkan di beberapa tempat dapat menyebabkan genangan permanen dari air pasang yang biasa dikenal sebagai banjir rob.

Penerapan konsep drainase pengatusan di daerah pedalaman sering menimbulkan/menambah permasalahan di wilayah pesisir, karena terjadi akumulasi debit di saluran primer. Dapat disimpulkan bahwa selain penyebab secara umum seperti tingginya curah hujan dan perubahan tataguna lahan, penyebab lainnya yang menimbulkan permasalahan drainase di kota-kota yang terletak di kawasan pesisir pantai adalah :

a. Kemiringan saluran drainase yang sangat kecil di kawasan yang hampir datar menyebabkan kecepatan aliran cukup kecil dan sering terjadi pengendapan lumpur yang mengurangi kapasitasnya.

(6)

b. Gelombang pasang-surut air laut (rob) yang membentuk semacam tembok penghalang di hilir saluran dan muara sungai sehingga terjadi aliran balik (back water curve).

c. Banyaknya endapan di muara sungai (sebagai saluran drainase primer) menyebabkan kapasitas alirannya berkurang. Kondisi ini diperparah lagi dengan banyaknya sampah dari warga kota yang dibuang ke saluran dan sungai.

d. Reklamasi dan pembangunan di daerah pantai sering tidak memperhatikan kondisi topografi sehingga mengakibatkan hambatan aliran ke laut, sehingga menimbulkan kawasan-kawasan genangan yang baru.

e. Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi di kawasan perkotaan, turut pula bertumbuh kawasan permukiman yang tidak beraturan. Rumah dibangun di atas saluran, dan pembuangan limbah langsung ke saluran yang ada di bawahnya.Hal ini menghambat upaya pemeliharaan saluran dan mengurangi kapasitas alirannya.

Permasalahan di atas masih diperberat lagi dengan kurangnya perhatian dari berbagai pihak dalam mengatasi masalah secara bersama dan proporsional, adanya perbedaan kepentingan drainase dengan prasarana lain seperti jalan, jaringan bangunan bawah tanah, jaringan perpipaan air bersih, telkom, listrik dan sebagainya, serta kurangnya kepastian hukum dalam mengamankan fungsi prasarana drainase, maupun adanya sementara pihak yang tidak mengetahui ketentuan-ketentuan yang berlaku.

(7)

Saat ini sistem drainase sudah menjadi salah satu infrastruktur perkotaan yang sangat penting. Kualitas manajemen suatu kota tercermin dari kualitas sistem drainase di kota tersebut. Sistem drainase yang kurang baik menyebabkan terjadinya genangan air di berbagai tempat sehingga lingkungan menjadi kotor dan jorok, menjadi sarang nyamuk dan sumber penyakit, yang pada akhirnya bukan hanya menurunkan kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat, tetapi dapat juga menggangu kegiatan transportasi, perekonomian dan lain-lain.

Upaya Mengatasi Permasalahan Drainase Kota di Kawasan Pesisir Pantai Sampai saat ini drainase sering diabaikan dan direncanakan seolah-olah bukan pekerjaan penting. Seringkali pekerjaan drainase hanya dianggap sekedar pembuatan got, padahal pekerjaan drainase terutama di perkotaan bisa merupakan pekerjaan yang rumit dan kompleks, sehingga membutuhkan biaya yang cukup besar.

Jika perencana jembatan harus dapat menjawab pertanyaan tentang berapa maksimum beban kendaraan yang bisa melintasi jembatan yang direncanakannya, maka perencana drainase harus dapat menjawab pertanyaan tentang besar intensitas curah hujan ataupun periode ulang yang diterapkan dalam perencanaan, seberapa besar peluang kapasitas saluran tidak mampu menampung debit aliran akibat hujan, daerah mana saja yang merupakan daerah layanan saluran (langsung maupun tidak langsung), apakah dengan saluran yang baru ini tidak akan terjadi pencemaran air tanah, apakah tidak akan menimbulkan masalah di kawasan bagian hilir, apakah koefisien limpasan sudah disesuaikan dengan peruntukkan lahan di kemudian hari (sesuai rencana tata ruang), apakah sudah

(8)

memperhitungkan adanya pengaruh air balik (back water curve), dan berbagai pertanyaan lainnya.

Beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan drainase kota di kawasan pesisir pantai:

a. Reklamasi pantai harus dapat menjamin kemiringan topografi kawasan agar tidak menimbulkan daerah-daerah rawan genangan yang baru. Alternatif lainnya adalah dengan menyediakan akses drainase ke laut berupa saluran-saluran terbuka yang kapasitasnya sudah melalui perencanaan yang mantap.

b. Bagian hilir saluran drainase harus direncanakan mampu mengatasi masalah back water curve. Jika diperlukan, harus dibuat konstruksi penahan pasang surut air laut seperti pintu air yang dibantu oleh kolam tandon dan pompa air, atau membangun tanggul/tembok di sepanjang kiri kanan muara sungai/saluran.

c. Program normalisasi sungai yang memperlebar dan memperdalam alur sungai merupakan cara yang paling tepat untuk mengatasi penyempitan dan pendangkalan/penyumbatan di hilir/muara sungai. d. Meningkatkan upaya non-struktur seperti penyuluhan dan sosialisasi

kepada masyarakat untuk menjaga prasarana drainase, serta penegakan hukum terhadap kegiatan yang merusak prasarana drainase dan menghambat upaya pemeliharaan drainase.

Bangunan pelengkap adalah bangunan yang berada dalam jalur saluran yang dianalisa, Bangunan pelengkap bisa berupa gorong-gorong (culvert), kontrol pemasukan (inlet control), kontrol pengeluaran (outlet control) maupun pintu

(9)

otomatis (pintu klep).Gorong-gorong adalah saluran tertutup (pendek) yang mengalirkan air melewati jalan raya, jalan kereta api atau timbunan lainnya. Gorong-gorongbiasanya terbuat dari beton dengan tampang bermacam-macam disesuaikan dengan bentuk tampang dilokasi yang akan dibuat gorong-gorong.Saluran drainase yang membuang langsung kelaut dipengaruhi oleh pasang surut, sedangkan drainase yang membuang ke kanal dipengaruhi oleh tinggi banjir. Pada kondisi air dihilir tinggi, baik akibat air pasang maupun air banjir, maka air dari saluran drainase yang ada disekitarnya tidak dapat mengalir kepembuang bahkan mungkin terjadi air balik. Untuk itu perlu perencanaan pintu klep di saluran-saluran tertentu untuk menghindari terjadinya air balik.

2.2 Karakteristik Wilayah Studi 2.2.1 Genangan dan Permasalahannya

Suatu drainase berfungsi mengalirkan air limpasan permukaan yang mengalir ke tempat yang diinginkan. Besarnya limpasan air permukaan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor. Drainase yang tidak berfungsi dengan baik akan dapat menyebabkan air permukaan tersebut tidak dapat dialirkan ke tempat pembuangan dengan baik. Hal ini akan menyebabkan terjadinya genangan dan banjir di kawasan yang tidaak kita inginkan. Drainase di Kota Sibolga pada umumnya telah bersifat permanen namun hal ini tidak berarti Kota Sibolga terbebas dari banjir/genangan.

Beberapa hal yang menyebabkan banjir/genangan di kota Sibolga adalah: 1. Terjadinya penyempitan saluran akibat desakan permukiman.

(10)

2. Perubahan tata guna lahan dihulu saluran yang menyebabkan meningkatnya koefisien run of daerah tangkapan (debit banjir makin besar).

3. Daerah hulu saluran yang cukup terjal dan perubahan pemanfaatan lahan mengakibatkan saluran sangat banyak mengangkut sedimen yang pada akhirnya menyebabkan pendangkalan saluran dan bahkan tersumbat.

4. Pertemuan saluran yang kurang tertata/kurangnya perawatan mengakibatkan terjadinya limpahan/berkurangnya kapasitas saluran.

5. Terjadinya penyempitan pada perpotongan jalan yang terjadinya penyempita fasilitas drainase yang ada di bawah jalan.

6. Pemanfaatan daerah pantai sebagai permukiman atau bagunan lain yang tidak terkendali mengakibatkan pembuangan akhir saluran menjadi tidak terkontrol dan tidak terpelihara yang pada akhirnya memperkecil kapasitas saluran.

2.2.2 Letak Geografis

Kota Sibolga terletak di Teluk Tapian Nauli, yaitu di tepi Pantai Barat Pulau Sumatera bagian Utara. Secara geografis wilayah Kota Sibolga berada pada garis 01o 44” Lintang Utara dan 98o 47” Bujur Timur yang membujur sepanjang pinggiran pantai arah selatan ke utara menghadap ke Teluk Tapian Nauli dan berbatasan langsung kaki Bukit Barisan dengan komposisi geologi terdiri dari tanah-tanah berbatu alam dan sedimen yang terjadi akibat penimbunan rawa-rawa. Jarak Kota Sibolga ± 344 km Selatan Kota Medan, dan secara fisiknya berada di wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah atau dengan kata lain di kelilingi oleh Kabupaten Tapanuli Tengah.

(11)

Batas-batas wilayah Kota Sibolga adalah sebagai berikut: - Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kab. Tapanuli Tengah - Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kab. Tapanuli Tengah - Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kab. Tapanuli Tengah

- Sebelah Barat : Berbatasan dengan Teluk Tapian Nauli/Samudera Indonesia Luas wilayah Kota Sibolga adalah 3,536 Ha yang terdiri dari:

a. Daratan seluas : 1,364,99 Ha a.Daratan Sumatera : 1.126,67 Ha b. Daratan Kepulauan : 238,32 Ha b. Lautan seluas : 2.171,01 Ha

Secara topografi kota ini berada antara 1 – 150 m diatas permukaan laut dan beriklim cukup panas dengan suhu maksimum mencapai 32,90˚C. Sementara curah hujan cenderung tidak teratur disetiap tahunnya. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November sebesar 798 mm, sedangkan hari hujan terbanyak berada pada bulan Desember mencapai 26 hari.

Kota ini dapat ditempuh dengan kendaraan roda 4 dengan kondisi jalan yang cukup baik. Jaraknya 347 km dari Kota Medan Ibukota Sumatera Utara, membujur sepanjang pantai dari Utara ke Selatan menghadap ke Teluk Tapian Nauli dan berbatasan langsung dengan kaki Bukit Barisan. Letak yang sedemikian rupa mengakibatkan keadaan topografi wilayah Kota Sibolga terdiri dari 2 kategori yaitu pertama : wilayah landai/datar mempunyai kemiringan lahan 0-2 % yang luasnya mecapai 29,14 % dari total wilayah daratan Kota Sibolga, kedua : wilayah lereng mempunyai kemiringan > 40 % dengan luasnya mencapai 638,2 ha atau mencapai 59,26 % dari total wilayah daratan Kota Sibolga.

(12)

Secara Administrasi pemerintahan Kota Sibolga terdiri dari 4 Kecamatan dan 17 Kelurahan yaitu:

a. Kecamatan Sibolga Utara a. Kelurahan Sibolga Hilir b. Kelurahan Angin Nauli c. Kelurahan Huta Barangan d. Kelurahan Huta Tonga-tonga e. Kelurahan Simare-mare b. Kecamatan Sibolga Kota

a. Kelurahan Kota Baringin b. Kelurahan Pasar Baru c. Kelurahan Pasar Belakang d. Kelurahan Pancuran Gerobak c. Kecamatan Sibolga Sambas

a. Kelurahan Pancuran Kerambil b. Kelurahan Pancuran Pinang c. Kelurahn Pancuran Dewa d. Kelurahan Pancuran Bambu d. Kecamatan Sibolga Selatan

a. Kelurahan Aek Habil b. Kelurahan Aek Maris c. Kelurahan Aek Parombuan d. Kelurahan Aek Muara Pinang

(13)

2.2.3 Topografi Kota Sibolga

Perencanaan sistem drainase sangat ditentukan oleh topografi wilayah. Kesalahan data topografi akan mengakibatkan kerugian-kerugian yang tidak terduga akibat terjadinya banjir dan genangan yang timbul dari perencanaan sistem drainase yang salah.

Besarnya aliran permukaan tergantung dari banyaknya air hujan yang mengalir setelah dikurangi banyaknya air hujan yang meresap kedalam tanah (infiltrasi), sedang besarnya air yang meresap berubah menjadi aliran antar ( sub-surface flow) mengalir menuju sungai, tergantung pula pada tingkat kerapatan permukaan tanah, dan ini berkaitan dengan penggunaan lahan.

Koefisien limpasan yang digunakan untuk menentukan debit rencana umumnya dikelompokkan atas penggunaan lahan. Oleh karena itu perencanaan saluran drainase harus dilakukan dengan membuat perkiraan yang cukup teliti

TRANSPIRASI

MUKA AIR TANAH ALIRAN ANTARA EVAPORASI HUJAN HUJAN LAUT SALURAN AWAN AWAN ALIRAN PERMUKAAN

ALIRAN AIR TANAH INFILTRASI HUJAN

AWAN

(14)

mengenai rencana pengunaan tanah di masa yang akan datang untuk suatu kawasan yang akan digunakan oleh saluran tersebut.

Untuk pengembangan kota suatu kawasan kota, suatu hal yang harus diteliti dan dipelajari secara menyeluruh dalam menetapkan rencana induk tata guna tanah adalah penyediaan drainase air hujan. Peta topografi sangat diperlukan untuk studi-studi seperti itu. Saluran-saluran alam seringkali menyediakan prasarana pemutusan air hujan ke tempat pembuangan. Namun kuantitas air yang harus ditampung merupakan pertimbangan utama ketika memilih antara saluran tertutup atau saluran terbuka.

Kota Sibolga dipengaruhi oleh letaknya yaitu berada pada daratan pantai, lereng, dan pegunungan. Terletak pada ketinggian di atas permukaan laut berkisar antara 0 - 50 meter, kemiringan (lereng) lahan bervariasi antara 0-2 persen sampai lebih dari 40 persen dengan rincian; kemiringan 0-2 persen mencapai kawasan seluas 3,12 kilometer persegi atau 29,10 persen meliputi daratan Sumatera seluas 2,17 kilometer persegi dan kepulauan 0,95 kilometer persegi; kemiringan 2-15 persen mencapai lahan seluas 0,91 kilometer persegi atau 8,49 persen yang meliputi daratan Sumatera seluas 0,73 kilometer persegi dan kepulauan seluas 0,18 kilometer persegi; kemiringan 15-40 persen meliputi lahan seluas 0,31 kilometer persegi atau 2,89 persen terdiri dari 0,10 kilometer persegi wilayah daratan Sumatera dan kepulauan 0,21 kilometer persegi; sementara kemiringan lebih dari 40 persen meliputi lahan seluas 6,31 kilometer persegi atau 59,51 persen terdiri dari lahan di daratan Sumatera seluas 5,90 kilometer persegi dan kepulauan seluas 0,53 kilometer persegi.Berdasarkan kemiringan lahan tersebut di atas, maka yang paling dominan adalah kemiringan lebih dari 40 persen.

(15)

2.2.4 Hidrologi

Daerah Kota Sibolga terdapat beberapa sungai yang mengalir ke Teluk Tapian Nauli. Sungai terbesar yang bermuara ke Teluk Tapian Nauli adalah Sungai Aek Sibuluan/Aek Sipan Haporas. Sungai-sungai lainnya yang bermuara ke Teluk Tapian Nauli adalah Sungai Aek Horsik, Sungai Aek Doras, Sungai Aek Sarudik, Sungai Aek Muara Male Dan Sungai Sibuluan. Sungai-sungai diwilayah ini telah banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.

Kota Sibolga terdapat banyak Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Sub DAS yang masing-masing merupakan satu kesatuan pengaliran yang mengalir kearah yang sama yaitu Teluk Tapian Nauli. Daerah aliran sungai tersebut masing-masing adalah DAS Sungai Muara Male, DAS Aek Doras, DAS Sungai Aek Sihopo-hopo, DAS Sungai Aek Horsik, DAS Drain, DAS Sungai Aek Sarudik, dan DAS Sungai Aek Sibuluan.

(16)

2.2.5 Klimatologi

Dengan adanya kutipan dari buku Badan Pusat Statistik, kota Sibolga berada antara 1 - 50 meter di atas permukaan laut dan beriklim cukup panas dengan suhu maksimumnya mencapai 32o - 43o dibulan Februari dan minimum 21o – 30o C pada bulan desember dengan kecepatan anginnya tertinggi mencapai 6,7 knot dan terendah 0,7 knot.

Karena hanya berada beberapa meter di atas permukaan laut, iklim Kota Sibolga termasuk cukup panas dengan suhu maksimum mencapai 31,78 dan minimum 21,168 C. Sementara curah hujan di Sibolga cenderung tidak teratur di sepanjang tahunnya. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan September dengan jumlah 406,6 mm, sedang hujan terbanyak terjadi pada November yakni 26 hari.

Dari hal diatas kita dapat mengetahuhui bahwa, permasalahan utama drainase adalah terjadinya genangan. Daerah genangan ini mencakup daerah genangan potensial. Hal-hal yang perlu di catat adalah sebagai berikut :

1. Petakan lokasi genangan yang berada dalam area studi.

2. Catat luas, tinggi, dan lamanya genangan serta frekuensi dan waktu kejadian dalam satu tahun untuk masing-masing daerah genangan. 3. Catat penyebab genangan apakah disebabkan karena hujan atau karena

tidak dapat mengalir dan lain-lain.

Masalah banjir atau genangan yang terjadi pada lokasi tertentu dan penyebab banjir atau genangan tersebut dapat berasal dari kota itu sendiri, akibat kurang berfungsinya saluran drainase yang ada, juga berasal dari luar kota disebabkan meluapnya sungai sekitarnya akibat terlalu mengalir air hujan dari bagian hulu. Besarnya kerugian tergantung besaran genangan meliputi luas,

(17)

frekuensi, tinggi dan lamanya genangan, tetapi yang paling menentukan besarnya kerugian adalah nilai kegiatan yang ada dalam lokasi tersebut. Pendekatan umum mengenai penentuan alternatif pemecahan masalah drainase bertitik tolak dari penyebab utama timbulnya banjir/genangan itu sendiri.

Drainase perkotaan ialah prasarana yang berfungsi mengalirkan air permukaan ke badan air atau ke bangunan resapan buatan di wilayah perkotaan yang berfungsi mengendalikan kelebihan air permukaan, sehingga dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.

Secara umum drainase perkotaan berfungsi :

a. Mengeringkan bagian wilayah kota dari genangan sehingga tidak menimbulkan dampak negatif.

b.Mengalirkan air permukaan kebadan air terdekat secepatnya.

c. Mengendalikan kelebihan air permukaan yang dapat dimanfaatkan untuk persediaan air.

d.Meresapkan air permukaan untuk menjaga kelestarian tanah.

Ditinjau dari segi fungsi pelayanan sistem drainase perkotaan diklasifikasi menjadi sistem drainase utama (major drainage sistem) dan sistem drainase lokal (minor drainage sistem).

a. Sistem Drainase Utama

Yang termasuk dalam sistem drainase utama adalah saluran primer, sekunder dan tersier beserta bangunan kelengkapannya yang melayani kepentingan sebagian besar warga masyarakat. Pengelolaaan sistem utama merupakan tanggung jawab pemerintah kota.

(18)

b. Sistem Drainase Lokal

Yang merupakan dalam sistem drainase lokal adalah sistem saluran awal yang melayani suatu kawasan kota tertentu seperti kompleks permukiman, areal pasar, perkantoran, areal industri dan komersial. Sistem ini melayani area lebih kecil dari 10 Ha.

Bila ditinjau dari segi fisik (hirarki susunan saluran), sistem drainase perkotaan diklasifikasikan atas saluran primer, sekunder, tersier dan seterusnya. a. Sistem Saluran Primer

Adalah saluran utama yang menerima masukan aliran dari saluran sekunder dimensi saluran relatif besar. Akhir saluran primer adalah badan penerima air. b. Sistem Saluran Sekunder

Adalah saluran terbuka atau tertutup yang berfungsi menerima aliran air dan saluran tersier dan limpasan air permukaan sekitarnya, dan meneruskan aliran ke saluran primer. Dimensi saluran tergantung pada debit yang dialirkan. c. Sistem Saluran Tersier

Adalah saluran drainase yang menerima air dari sistem drainase lokal dan menyalurkannya ke saluran sekunder.

2.2.6 Kriteria Hidrologi

Dalam menentukan dimensi penampang dari berbagai bangunan pengairan misalnya saluran drainase diperlukan suatu penentuan besar debit rencana. Untuk itu perlu diketahui faktor-faktor yang digunakan untuk mengganalisa debit rencana:

(19)

Hujan merupakan merupakan komponen yang penting dalam analisa hidrologi perencanaan debit untuk menetukan dimensi saluran drainase. Penentuan hujan rencana dilakukan dengan analisis frekuensi terhadap data curah hujan harian maksimum tahunan, dengan lama pengamatan sekurang-kurangnya 10 tahun.

Ada dua macam seri data yang dipergunakan dalam analisis frekuensi curah hujan yaitu:

1. Data maksimum tahunan yaitu tiap tahun diambil hanya satu besaran maksimum yang dianggap berpengaruh pada analisis selanjutnya. Seri data seperti ini dikenal dengan seri data maksimum tahunan (maximum annual series). Jumlah data dalam seri ini akan sama dengan panjang data yang tersedia. Dalam cara ini, besaran data maksimum kedua dalam suatu tahun yang mungkin lebih besar dari beberapa besaran data maksimum dalam tahun yang lain tidak diperhitungkan pengaruhnya dalam analisis. 2. Seri parsial dengan menetapkan suatu besaran tertentu sebagai

batas bawah, selanjutnya semua besaran data yang lebih besardari batas bawah tersebut diambil dan dijadikan bagian seri data untuk yang kemudian dianalisis seperti biasa. Pengambilan batas bawah dapat dilakukan dengan sistem peringkat, dimana semua besaran data yang cukup besar diambil, kemudian diurutkan dari besar kekecil. Data yang diambil untuk analisis selanjutnya adalah sesuai dengan panjang data dan diambil dari besaran data yang paling besar. Dalam hal ini dimungkinkan dalam satu tahun data yang

(20)

diambil lebih dari satu data, sementara tahun yang lain tidak ada data yang diambil.

Dalam analisis frekuensi, hasil yang diperoleh tergantung pada kualitas dan panjang data. Makin pendek data yang tersedia makin besar penyimpangan yang terjadi.

2. Analisa Frekuensi Curah Hujan

Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi dan empat jenis distribusi yang paling banyak digunakan dalam bidang hidrologi adalah:

- Distribusi Normal

- Distribusi Log Normal

- Distribusi Log Person III

- Distribusi Gumbel

Dalam statistik dikenal beberapa parameter yang berkaitan dengan analisis data yang meliputi rata-rata, simpangan baku, koefesien variasi dan koefesien skewness (kecondongan atau kemencengan).

(21)

Tabel 2.1 Parameter statistik yang penting

Parameter Sampel Polpulasi

Rata-rata

= = n i Xi n X 1 1

∞ ∞ − = Ε = (X) xf(x)dx µ Simpangan Baku (standar deviasi)       =

= x x n s n i i 1 ( 1 σ =

{

Ε

[

(

µ

)

2

]

}

12 x Koefesien Variasi x s CV = µ σ = CV Koefesien Skewness 3 1 3 ) 2 )( 1 ( ) ( s n n x x n G n i i − − − =

=

(Suripin, 2003, Sistem DrainasePerkotaan yang Berkelanjutan : 34)

2.2.6.1 Distribusi Normal

Distribusi normal atau kurva normal disebut juga distribusi Gauss. Fungsi densitas peluang normal PDF (Probability Density Function) yang paling dikenal adalah bentuk bell dan dikenal sebagai distribusi normal. PDF distribusi normal dapat dituliskan dalam bentuk rata-rata dan simpangan bakunya, sebagai berikut:

(2.1)

dimana: P(X)= fungsi densitas peluang normal (ordinat kurva normal) X = variabel acak kontinu

µ = rata-rata nilai X

σ = simpangan baku dari nilai X

∞ ≥ ≤ ∞ −       − = x x X P 2 2 2 ) ( exp 2 1 ) ( σ µ π σ

(

)

[

]

3 2 σ µ γ = Ε x

(22)

Dalaam pemakaian praktis, umumnya rumus tersebut tidak digunakan secara langsung karena telah dibuat tabel untuk keperluan perhitungan, dan juga dapat didekati dengan:

(2.2)

Dimana: XT = perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dalam periode ulang T

tahunan

X = nilai rata-rata hitung variat S = deviasi standar nilai variat

KT = faktor frekuensi (nilai variabel reduksi Gauss)

Nilai faktor frekuensi (KT), umumnya sudah tersedia dalam tabel untuk

mempermudah perhitungan, seperti ditunjukkan dalam tabel berikut, biasa disebut sebagai tabel nilai variabel reduksi Gauss (Variable reduced Gauss).

S X X K T T − =

(23)

Tabel 2.2 Nilai Variabel Reduksi Gauss

(Suripin, 2003, Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan : 37)

2.2.6.2Distribusi Log Normal

Jika variabel Y = log X terdistribusi secara normal, maka X dikatakan mengikuti distribusi Log Normal. PDF (Probability Density Function) untuk distribusi Log Normal dapat dituliskan dalam bentuk rata-rata dan simpangan bakunya, sebagai berikut:

(2.3) No. Periode Ulang,

T (tahun) Peluang KT 1 1,001 0,999 -3,05 2 1,005 0,995 -2,58 3 1,010 0,990 -2,33 4 1,050 0,950 -1,64 5 1,110 0,900 -1,28 6 1,250 0,800 -0,84 7 1,330 0,750 -0,67 8 1,430 0,700 -0,52 9 1,670 0,600 -0,25 10 2,000 0,500 0 11 2,500 0,400 0,25 12 3,330 0,300 0,52 13 4,000 0,250 0,67 14 5,000 0,200 0,84 15 10,000 0,100 1,28 16 20,000 0,050 1,64 17 50,000 0,020 2,05 18 100,000 0,010 2,33 19 200,000 0,005 2,58 20 500,000 0,002 2,88 21 1,000,000 0,001 3,09 0 2 ) ( exp 2 1 ) ( 2 2 >       − − = x x X X P T σ µ π σ

(24)

Dimana: P(X)= peluang log normal X = nilai varian pengamatan

µY = nilai rata-rata populasi Y

σ Y = deviasi standar nilai variat Y

Dengan persamaan yang dapat didekati:

(2.4)

(2.5)

Dimana: YT = perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang

T-tahunan

= nilai rata-rata hitung variat S = deviasi standar nilai variat

KT = faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode

ulang

2.2.6.3Distribusi Log Person III

Pada situasi tertentu, walaupun data yang diperkirakan mengikuti distribusi sudah dikonversi kedalam bentuk logaritmis, ternyata kedekatan antara data dan teori tidak cukup kuat untuk menjustifikasi pemakaian distribusi log normal.

Person telah mengembangkan serangkaian fungsi probabilitas yang dapat dipakai untuk hampir semua distribusi probabilitas empiris. Tidak seperti konsep

S Y Y KT T − = σ T T X K Y = + X

(25)

maka distribusi probabilitas hampir tidak berbasis teori. Distribusi ini masih tetap dipakai karena fleksibilitasnya.

Salah satu distribusi dari serangkaian distribusi yang dikembangkan person yang menjadi perhatian ahli sember daya air adalah Log-Person Type III (LP III). Tiga parameter penting dalam LP III yaitu harga rata-rata, simpangan baku dan koefesien kemencengan. Yang menarik adalah jika koefesien kemencengan sama dengan nol maka perhitungan akan sama dengan log Normal.

Berikut ini langkah-langkah penggunaan distribusi Log-Person Type III:

- Ubah data kedalam bentuk logiritmis, X = log X

- Hitung harga rata-rata:

(2.6)

- Hitung harga simpangan baku:

(2.7)

- Hitung koefisien kemencengan:

(2.8)

- Hitung logaritma hujan atau banjir dengan peride ulang T dengan rumus:

(2.9) n X X n i i

= = 1 log log

(

)

0,5 1 2 1 log log             − − =

= n X X S n i i 3 1 3 ) 2 )( 1 ( ) ( s n n x x n G n i i − − − =

= S K X XT log . log = +

(26)

K adalah variabel standar (standardized variable) untuk X yang besarnya tergantung koefesien kemencengan G, dicantumkan pada Tabel 2.3

Tabel 2.3 Nilai K untuk distribusi Log Person III

Interval Kejadian (Recurrence Interval), Tahun (Periode Ulang)

10,101 12,500 2 5 10 25 50 100

Koef. G Persentase Peluang Terlampaui (Percent Chance Of Being Exceeded)

99 80 50 20 10 4 2 1 3.0 -0.667 -0.636 -0.396 0.420 1,180 2,278 3,152 4,051 2.8 -0.714 -0.666 -0.384 0.460 1,210 2,275 3,144 3,973 2.6 -0.769 -0.696 -0.368 0.499 1,238 2,267 3,071 2,889 2.4 -0.832 -0.725 -0.351 0.537 1,262 2,256 3,023 3,800 2.2 -0.905 -0.752 -0.330 0.574 1,284 2,240 2,970 3,705 2.0 -0.990 -0.777 -0.307 0.609 1,302 2,219 2,192 3,605 1.8 -1.087 -0.799 -0.282 0.643 1,318 2,193 2,848 3,499 1.6 -1.197 -0.817 -0.254 0.675 1,329 2,163 2,780 3,388 1.4 -1.318 -0.832 -0.225 0.705 1,337 2,128 2,076 3,271 1.2 -1.449 -0.844 -0.195 0.732 1,340 2,087 2,626 3,149 1.0 -1.588 -0.852 -0.164 0.758 1,340 2,043 2,542 3,022 0.8 -1.733 -0.856 -0.132 0.780 1,336 1,993 2,453 2,891 0.6 -1.880 -0.857 -0.099 0.800 1,328 1,939 2,359 2,755 0.4 -2.029 -0.855 -0.066 0.816 1,317 1,880 2,261 2,615 0.2 -2.178 -0.850 -0.033 0.830 1,301 1,818 2,159 2,472 0.0 -2.326 -0.842 0.000 0.842 1,282 1,715 2,051 2,326 -0.2 -2.472 -0.830 0.033 0.850 1,258 1,680 1,945 2,178 -0.4 -2.615 -0.816 0.066 0.855 1,231 1,606 1,834 2,029 -0.6 -2.755 -0.800 0.099 0.857 1,200 1,528 1,720 1,880 -0.8 -2.891 -0.780 0.132 0.856 1,166 1,448 1,606 1,733 -1.0 -3.022 -0.758 0.164 0.852 1,086 1,366 1,492 1,588 -1.2 -2.149 -0.732 0.195 0.844 1,086 1,282 1,379 1,449 -1.4 -2.271 -0.705 0.225 0.832 1,041 1,198 1,270 1,318 -1.6 -2.238 -0.675 0.254 0.817 0.994 1,116 1,166 1,197 -1.8 -3.499 -0.643 0.282 0.799 0.945 1,035 1,069 1,087 -2.0 -3.605 -0.609 0.307 0.777 0.895 0.959 0.980 0.990 -2.2 -3.705 -0.574 0.330 0.752 0.844 0.888 0.900 0.905 -2.4 -3.800 -0.532 0.351 0.725 0.795 0.823 0.823 0.832 -2.6 -3.889 -0.490 0.368 0.696 0.747 0.764 0.768 0.796 -2.8 -3.973 -0.469 0.384 0.666 0.702 0.712 0.714 0.714 -3.0 -7.051 -0.420 0.696 0.636 0.666 0.666 0.666 0.667

(27)

2.2.6.4 Distribusi Gumbel

Gumbel menggunakan harga ekstrim untuk menunjukan bahwa untuk setiap data merupakan data exponential. Jika jumlah populasi yang terbatas dapat didekati dengan persamaan:

(2.10)

Dimana: = harga rata-rata sampel

S = nilai varian pengamatan

Faktor probabilitas K untuk harga-harga ekstrim Gumbel dapat dinyatakan dalam persamaan:

(2.11)

Dimana: Y = reduced mean yang tergantung jumlah sampel/data ke-n

Sn = reduced standard deviation, yang juga tergantung pada jumlah

sampel/data ke-n

YTR = reduced variated, yang dapat dihitung dengan persamaan

berikut ini.

(2.12)

Tabel 2.4 : Standard Deviasi (Yn), Tabel 2.5 : Reduksi Variat (YTR) dan

Tabel 2.6 : Reduksi Standard Deviasi (Sn) berikut mencantumkan nilai-nilai

Variabel Reduksi menurut Gauss untuk menyelesaikan persamaan 2.11.

KS X XT = + X n n Tr S Y Y K = −      − − − = R R TR T T Y ln ln 1

(28)

Tabel 2.4 Standar Deviasi (Yn) untuk Distribusi Gumbel

(Suripin, 2003, Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan : 51)

Tabel 2.5 Reduksi Variat (YTR) sebagai fungsi Periode Ulang Gumbel

(Suripin, 2003, Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan : 52)

Tabel 2.6 Reduksi Standard Deviasi (Sn) untuk Distribusi Gumbel

(Suripin, 2003, Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan : 52)

N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0.4952 0.4996 0.5035 0.5070 0.5100 0.5128 0.5157 0.5181 0.5202 0.5220 20 0.5236 0.5252 0.5268 0.5283 0.5296 0.5309 0.5320 0.5332 0.5343 0.5353 30 0.5362 0.5371 0.5380 0.5388 0.5396 0.5403 0.5410 0.5418 0.5424 0.5346 40 0.5436 0.5442 0.5448 0.5453 0.5458 0.5463 0.5468 0.5473 0.5477 0.5481 50 0.5486 0.5489 0.5493 0.5497 0.5501 0.5504 0.5508 0.5511 0.5515 0.5518 60 0.5521 0.5524 0.5527 0.5530 0.5533 0.5535 0.5538 0.5540 0.5543 0.5545 70 0.5548 0.5550 0.5552 0.5555 0.5557 0.5559 0.5561 0.5563 0.5565 0.5567 80 0.5569 0.5570 0.5572 0.5574 0.5576 0.5578 0.5580 0.5581 0.5583 0.5585 90 0.5586 0.5587 0.5589 0.5591 0.5592 0.5593 0.5595 0.5596 0.5598 0.5599 100 0.5600 0.5602 0.5603 0.5604 0.5606 0.5607 0.5608 0.5609 0.5510 0.5611 Periode Ulang, TR Reduced Variate, YTR Periode Ulang, TR Reduced Variate, YTR

(Tahun) (Tahun) (Tahun) (Tahun)

2 0.3668 100 4.6012 5 1.5004 200 5.2969 10 2.251 250 5.5206 20 2.9709 500 6.2149 25 3.1993 1000 6.9087 50 3.9028 5000 8.5188 75 4.3117 10000 9.2121 N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0.9496 0.9676 0.9983 0.9971 1.0095 1.0206 1.0316 1.0411 1.0493 1.0565 20 1.0628 1.0696 1.0754 1.0811 1.0864 1.0915 1.0961 1.1004 1.1047 1.1080 30 1.1124 1.1159 1.1193 1.1226 1.1255 1.1285 1.1313 1.1339 1.1363 1.1388 40 1.1413 1.1436 1.1458 1.1480 1.1499 1.1519 1.1538 1.1557 1.1574 1.1590 50 1.1067 1.1623 1.1638 1.1658 1.1667 1.1681 1.1696 1.1708 1.1721 1.1734 60 1.1747 1.1759 1.1770 1.1782 1.1793 1.1803 1.1814 1.1824 1.1834 1.1844 70 1.1854 1.1863 1.1873 1.1881 1.1890 1.1898 1.1906 1.1915 1.1923 1.1930 80 1.1938 1.1945 1.1953 1.1959 1.1967 1.1973 1.1980 1.1987 1.1994 1.2001 90 1.2007 1.2013 1.2020 1.2026 1.2032 1.2038 1.2044 1.2049 1.2055 1.2060 100 1.2065 1.2069 1.2073 1.2077 1.2081 1.2084 1.2087 1.2090 1.2093 1.2096

(29)

2.2.7. Intensitas Curah Hujan

Intensitas curah hujan adalah besar curah hujan selama satu satuan waktu tertentu. Besarnya intensitas hujan berbeda-beda tergantung dari lamanya curah hujan dan frekuensi kejadiannya. Intensitas hujan diperoleh dengan cara melakukan analisa data hujan baik secara statistik maupun secara empiris.

Metode yang dipakai dalam perhitungan intensitas curah hujan adalah Metode Mononobe yaitu apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia yang ada hanya data hujan harian. Persamaan umum yang dipergunakan untuk menghitung hubungan antara intensitas hujan T jam dengan curah hujan maksimum harian sebagai berikut:

(2.13)

Dimana: IT = Intensitas hujan T jam (mm/jam)

R24 = Curah hujan maksimum harian dengan periode ulang yang

direncanakan (mm) T = Waktu dalam jam

Dengan menggunakan persamaan diatas intensitas curah hujan untuk berbagai nilai waktu konsentrasi dapat ditentukan dari besar data curah hujan harian (24) jam.

2.2.8. Koefisien Limpasan

Air hujan yang turun dari atmosfir jika tidak ditangkap oleh vegetasi atau oleh permukaan-permukaan buatan seperti atap bangunan atau lapisan air lainnya, maka hujan akan jatuh ke permukaan bumi dan sebagian menguap, berinfiltrasi

2/3 24 24 24      = T R IT

(30)

atau tersimpan dalam cekungan-cekungan. Bila kehilangan seperti cara-cara tersebut telah terpenuhi, maka sisa air hujan akan mengalir langsung kepermukaan tanah menuju alur aliran yang terdekat.

Dalam perencanaan drainase bagian air hujan yang menjadi perhatian adalah aliran permukaan (surface runoff), sedangkan untuk pengendalian banjir tidak hanya aliran permukaan tetapi limpasan (runoff). Limpasan merupakan gabungan antara aliran permukaan, aliran-aliran yang tertunda pada cekungan-cekungan dan aliran permukaan (surface flow).

Aliran pada saluran atau sungai tergantung dari berbagai faktor-faktor secara bersamaan. Dalam kaitannya dengan limpasan, faktor yang berpengaruh secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu:

- Faktor meteorologi yaitu karakteristik hujan seperti intensitas hujan, durasi hujan dan distribusi hujan.

- Karekteristik DAS meliputi luas dan bentuk DAS, topografi dan tata guna lahan.

Ketetapan dalam menentukan besarnya debit air yang harus dialirkan melalui saluran drainase pada daerah tertentu sangatlah penting dalam penentuan dimensi saluran.Disamping penentuan luas daerah pelayanan drainase dan curah hujan rencana,juga dibutuhkan besaran harga koefisien pengaliran (C).

Harga koefisien C akan berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan tanaman penutupnya atau tata guna lahannya. Oleh karena itu pegambilan harga C harus disesuaikan dengan rencana perubahan tata guna lahan yang terjadi pada waktu yang akan datang. Berikut ini koefisien C untuk metode rasional oleh McGuen, 1989 disajikan secara Tabel 2.4

(31)

Tabel 2.7 Koefisien Limpasan Berdasarkan Tata Guna Lahan untuk Metode Rasional, McGuen, 1989.

(Suripin, 2003, Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan : 81)

2.2.9 Debit Rencana

Beberapa metode yang umum digunakan dalam mengestimasi besar debit (rencana) yang berdasarkan data curah hujan adalah dengan mempergunakan metode empiris dan metode rasional. Pemilihan atas metode yang digunakan untuk menghitung besarnya debit aliran permukaan dalam satuan internasional

Deskripsi Daerah

Koefisien Limpasan

Sifat Permukaan Tanah

Koefisien Limpasan

Perdagangan

Daerah kota/dekat kota

• Pemukiman

• Rumah tinggal terpencar

• Kompleks perumahan • Permukiman (suburban) Apartemen Industri Industri ringan Industri berat Taman,kuburan Lapangan bermain Daerah halaman KA

Daerah tidak terawat

0,70 - 0,95 0.50 - 0.70 0.30 - 0.50 0.40 - 0.60 0.25 - 0.40 0.50 - 0.70 0.50 - 0.80 0.60 - 0.90 0.10 - 0.25 0.10 - 0.25 0.20 - 0.40 0.10 - 0.30 Jalan • Aspal • Beton • Batu bata • Batu kerikil Jalan raya dan trotoir

Atap Lapangan rumput Tanah berpasir • Kemiringan 2 persen • Rata-rata 2-7 persen • Curam (7 persen) Lapangan rumput Tanah keras • Kemiringan 2 persen • Rata-rata 2-7 persen • Curam (7 persen) 0.70 - 0.95 0.80 - 0.95 0.70 - 0.85 0.15 - 0.35 0.70 - 0.85 0.75 - 0.95 0.005 - 0.10 0.10 - 0.15 0.15 - 0.20 0.13-0.17 0.18-0.22 0.25-0.35

(32)

Q = 0,002778 CIA (2.14) Dimana: Q = Debit aliran (ha/detik)

I = Intensitas hujan (mm/jam),dengan periode ulang tahun dan dengan waktu konsentrasi tc jam.

A = Luas daerah pelayanan (ha)

C = Koefisien pengaliran (tanpa dimensi)

Koefisien limpasan tergantung dari kemiringan, jenis tanah, penutup tanah, dan waktu konsentrasi. Koefisien limpasan harus dipilih dari pengetahuan akan daerah yang ditinjau terhadap pengalaman, dan harus dipilih dengan jenis pembangunan yang ditetapkan oleh rencana kota. Untuk daerah-daerah dimana penggunaan tanah telah diketahui secara pasti, suatu koefisien air hujan yang tepat dapat diterapkan. Bagaimanapun pada waktu merencanakan sebuah struktur drainase yang terletak dibagian hilir dengan berbagai jenis penggunaan tanah yang mempengaruhi limpasan, suatu koefisien limpasan gabungan harus dipergunakan.

Jika daerah aliran sungai terdiri dari berbagai macam penggunaan lahan dengan koefesien aliran permukaan yang berbeda maka C yang dipakai adalah koefesien daerah aliran sungai yang dapat dihitung dengan persamaan berikut:

(2.15) (2.16)

= = = n i i n i i i DAS A A C C 1 1

= − Ι = n i i n i i i A A C Q 1 1 . . 002778 , 0

(33)

2.2.10 Waktu Konsentrasi

Waktu konsentrasi suatu DAS adalah waktu yang diperlukan oleh air hujan yang jatuh, untuk mengalir dari titik terjauh sampai ketempat keluaran DAS (titik kontrol), setelah tanah menjadi jenuh dan depresi-depresi kecil terpenuhi. Dalam hal ini diasumsikan bahwa bila durasi hujan sama dengan waktu konsentrasi, maka setiap bagian DAS secara serentak telah menyumbangkan aliran terhadap titik kontrol. Salah satu metode untuk memeperkirakan waktu konsentrasi adalah dengan rumus yang dikembangkan oleh Kirpich (1940) yang ditulis sebagai berikut:

(2.17)

Dimana: tc = waktu konsentrasi (jam) L = panjang saluran (km)

S = kemiringan rata-rata saluran (m/m)

Waktu konsentrasi dapat juga dihitung dengan membedakannya menjadi dua komponen yaitu waktu yang diperlukan air untuk mengalir dipermukaan lahan sampai saluran terdekat (t0) dan waktu perjalanan dari pertama masuk

saluran sampai titik keluaran td sehingga tc = to + td.

(2.18) (2.19) 385 . 0 2 1000 87 . 0       = xS xL tc     = S n xLx x t 3.28 3 2 0 V L t s d 60 =

(34)

Dimana: to = inlet time ke saluran terdekat (menit)

td = conduit time sampai ke tempat pengukuran (menit)

n = angka kekasaran manning

S = kemiringan lahan (m/m)

L = panjang lintasan aliran diatas permukaan lahan (m) Ls = panjang lintasan aliran didalam saluran/sungai (m) V = kecepatan aliran didalam saluran (m/detik)

Gambar 2.3 Lintasan Aliran Waktu Inlet Time (To) dan Counduit Time (Td)

2.2.11 Kriteria Hidrolika

Kriteria hidrolika bertujuan untuk menentukan acuan yang digunakan dalam menentukan dimensi hidrolis dari saluran drainase maupun bangunan pelengkap lainnya dimana aliran air dalam suatu saluran dapat berupa aliran saluran terbuka maupun saluran tertutup.

Saluran To Td Titik Terjauh Titik Pengamatan To Titik Terjauh Jar ak A liran Jar ak A liran Jarak Aliran

(35)

2.2.11.1 Saluran Terbuka

Pada saluran terbuka terdapat permukaan air yang bebas, permukaan bebas ini dapat dipengaruhi oleh tekanan udara luar secara langsung. Kekentalan dan gravitasi mempengaruhi sifat aliran pada saluran terbuka.

Saluran terbuka umumnya digunakan pada daerah yang: - Lahan yang masih memungkinkan (luas)

- Lalu lintas pejalan kakinya relatif jarang - Beban di kiri dan kanan saluran relatif ringan

Beberapa rumusan yang menentukan rumusan yang digunakan dalam menentukan dimensi saluran:

• Kecepatan Dalam Saluran Chezy

(2.20)

Dimana: V = Kecepatan rata-rata dalam m/det C = Koefisien Chezy

R = Jari-jari hidrolis (m)

I = Kemiringan atau gradien dari dasar saluran

Koefisien C dapat diperoleh dengan menggunakan salah satu dari pernyataan berikut: - Kutter : (2.21) - Manning : (2.22)

RI

C

V

=

(

)

s R n n s C 00155 , 0 23 1 1 00155 , 0 23 + + + + = 6 / 1

1

R

R

C

=

(36)

- Bazin: (2.22)

Dimana: V = kecepatan (m/det)

C = koefesien Chezy (m1/2/det) R = jari-jari hidraulis (m)

S = kemiringan Dasar Saluran (m/m) n = koefesien kekasaran Manning (det/m1/3)

m = koefesien kekasaran, harganya tergantung jenis bahan saluran • Debit aliran bila menggunakan rumus Manning

(m3/det) (2.23)

Kondisi debit aliran berfluktuasi sehingga perlu memperhatikan kecepatan aliran. Diupayakan agar pada saat debit pembuangan kecil masih dapat mengangkut sedimen, dan pada keadaan debit besar terhindar dari bahaya erosi.

• Penampang Saluran

Penampang saluran yang paling ekonomis adalah saluran yang dapat melewatkan debit maksimum untuk luas penampang basah, kekasaran dan kemiringan dasar tertentu. Berdasarkan persamaan kontiunitas, tampak jelas bahwa untuk luas penampang melintang tetap, debit maksimum dicapai jika kecepatan aliran maksimum. Dari rumus Manning maupun Chezy dapat dilihat bahwa untuk kemiringan dasar dan kekasaran tetap, kecepatan maksimum dicapai jika jari-jari hidraulik R maksimum. Selanjutnya untuk penampang tetap, jari-jari

R m C + = 1 87 . . 1 . R23I12 A n V A Q= =

(37)

pahami tersebut memberi jalan untuk menentukan dimensi penampang melintang saluran yang ekonomis untuk berbagai macam bentuk seperti tampang persegi dan tampang trapesium.

1. Penampang Persegi Paling Ekonomis

Pada penampang melintang saluran berbentuk persegi dengan lebar dasar B dan kedalaman air h, luas penampang basah A = B x h dan keliling basah P. Maka bentuk penampang persegi paling ekonomis adalah jika kedalaman setengah dari lebar dasar saluran atau jari-jari hidrauliknya setengah dari kedalaman air.

Untuk bentuk penampang persegi yang ekonomis:

(2.24) (2.25) (2.26) Jari-jari hidrolisnya: (2.27) B h B h

Tampang Persegi Tampang Trapezium

Gambar 2.4. Penampang Saluran

mh mh 1 m h B A= . h h A P= +2 2 2h A= 2 h P A R= =

(38)

2. Penampang Saluran Trapesium Paling Ekonomis

Luas penampang melintang A dan Keliling basah P, saluran dengan penampang melintang bentuk trapesium dengan lebar dasar b, kedalaman h dan kemiringan dinding 1: m (gambar 2.3.) dapat dirumuskan sebagai berikut:

(2.28)

(2.29)

Penampang trapesium paling ekonomis adalah jika kemiringan dindingnya m = 1/√3 atau θ = 600.Dapat dirumuskan sebagai berikut:

(2.30)

(2.31)

- Kemiringan dinding saluran m (berdasarkan kriteria)

- Luas penampang (A) = (b + mh) h (m2)

- Keliling basah (P) = b + 2h 2

1+m (m)

- Jari-jari jari hidrolis R = A/P (m)

- Kecepatan aliran V = 1/n. R⅔. I½ (m/det)

2.2.11.2 Saluran Tertutup

Ketentuan-ketentuan mengenai aliran bagi saluran tertutup yang penuh adalah tidak berlaku pada saluran terbuka. Aliran dalam saluran terbuka digerakkan oleh gaya penggerak yang dilakukan oleh jumlah berat aliran yang mengalir menuruni lereng, sedang pada saluran tertutup gaya penggerak tersebut dilakukan oleh gradient tekanan. Pendekatan yang digunakan di Indonesia dalam

(

B mh

)

h A= + 1 2 2+ + =B h m P 3 3 2 h B= 3 2 h A=

(39)

merancang drainase perkotaan masih menggunakan cara konvensional, yaitu dengan menggunakan saluran terbuka.Bila digunakan saluran yang ditanam dalam tanah biasanya berbentuk bulat atau persegi,maka diasumsikan saluran tersebut tidak terisi penuh (dalam arti tidak tertekan), sehingga masih dapat dipergunakan persamaan saluran terbuka.

Saluran tertutup umumnya digunakan pada : • Daerah yang lahannya terbatas (pasar, pertokoan). • Daerah yang lalu lintas pejalan kakinya padat. • Lahan yang dipakai untuk lapangan parkir.

2.2.11.3 Cara Pengukuran Kecepatan

Ada beberapa cara pengukuran kecepatan aliran dalam suatu penampang basah antara lain dengan cara:

a. Garis lengkung kecepatan kearah vertical

Cara ini memerlukan pengukuran pada banyak titik dalam satu garis vertikal dari permukaan air sampai dasar sungai. Pada umumnya pengukuran dilakukan pada setiap 1/10 bagian ke dalam mulai dari titik 0,1 sampai 0,9 bagian. Pengukuran cara ini disarankan agar mengukur pada titik 0,2; 0,6 dan 0,8 yang akan mempermudah menentukan hubungan antara kecepatan rata-rata dengan kecepatan aliran pada ketiga titik tersebut.

Untuk menghindari adanya pengaruh gesekan udara maupun dasar sungai maka disarankan untuk tidak mengukur pada titik kedalaman kurang dari 0,15 meter baik dari permukaan air maupun dari dasar sungai. Sedangkan untuk alat jenis pigmy disarankan tidak mengukur pada titik kedalaman kurang dari 0,09 meter dari permukaan air maupun dari dasar sungai. Rata-rata kecepatan aliran

(40)

dapat dihitung dengan cara mengukur luas antara garis lengkung kecepatan dan kedua sumbu ordinat kemudian membaginya dengan panjang sumbu ordinat. Umumnya cara ini digunakan pada lokasi yang kondisinya sangat tidak baik. b.Pengukuran dua titik kedalaman

Pengukuran kecepatan aliran dengan cara ini dilangsungkan pada titik kedalaman 0,2 dan 0,8 dari permukaan air. Rata-rata kecepatan aliran diperoleh dengan merata-ratakan kecepatan pengukuran pada kedua titik tersebut.

Cara ini disarankan untuk tidak digunakan mengukur kecepatan pada sungai yang kedalamannya kurang dari 0,76 m, karena pada kedalaman kurang dari 0,76 m pada titik kedalaman 0,8 dan 0,2 akan kurang dari 0,15 m baik dari permukaan maupun dasar sungai. Dengan mengingat bahwa diameter baling-baling 0,12 m maka hal ini akan ada pengaruh gesekan sungai maupun udara. c. Pengukuran pada titik 0,2 kedalaman

Cara pengukuran kecepatan aliran ini dilakukan pada titik 0,6 kedalaman dari permukaan air. Cara ini dilakukan apabila cara dua titik tidak dapat dilakukan. Hasil pengukuran pada titik 0,6 kedalaman ini adalah merupakan kecepatan rata-rata pada vertikal yang bersangkutan.

Cara ini baru dapat dilakukan apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

o Apabila kedalaman air antara 0,25 dan 0,7 m

o Apabila aliran sungai membawa banyak sampah sehingga sulit untuk

mengukur pada banyak titik.

o Apabila ada suatu sebab lain sehingga alat ukur arus tidak dapat diletakkan

(41)

o Apabila tinggi permukaan air sungai cepat berubah dan pengukuran harus

dilaksanakan secara cepat.

d.Pengukuran pada titik 0,6 kedalaman

Cara pengukuran ini dilakukan pada titik 0,2 kedalaman dan untuk menghitung rata-rata kecepatan pada vertical yang bersangkutan masih harus dikalikan dengan koefesien tertentu. Cara ini biasanya dilakukan untuk pengukuran banjir dengan kecepatan aliran sangat tinggi sehingga pengukuran pada titik 0,6 dan 0,8 tidak dapat dilakukan, Apabila tidak mungkin menduga kedalaman maka titik 0,2 kedalaman dapat ditentukan dari penampang melintang di pos yang sudah ada. Harga koefesien yang bias digunakan untuk menghitung kecepatan rata-rata dengan cara pengukuran pada 0,2 kedalaman adalah 0,8. e. Pengukuran pada tiga titik kedalaman

Pengukuran dilakukan pada tiga titik yaitu 0,2; 0,6 dan 0,4 kedalaman permukaan air. Sebenarnya cara ini merupakan gabungan antara cara dua titik dengan pengukuran 0,6 kedalaman, rata-rata kecepatan tiap jalur vertikal diperoleh dengan merata-ratakan hasil pengukuran pada 0,2 dan 0,8 kedalaman kemudian hasil rata-ratakan lagi dengan hasil pengukuran pada 0,6 kedalaman.

Cara ini bisa digunakan apabila distribusi kecepatan kearah jalur vertikal dianggap tidak normal, berdasarkan hasil pengukuran pada 0,2 dan 0,8 kedalaman oleh karena cara pengukuran tiga titik ini hanya pada beberapa jalur vertikal saja. f. Pengukuran bawah permukaan

Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang baik alat ukur arus dan perlengkapannya harus baik, lokasi pengukuran harus memenuhi syarat, waktu pengukuran harus cukup dan kondisi pengukur harus benar-benar baik.

(42)

Lokasi pengukuran harus diusahakan sedekat mungkin dengan bangunan pos duga air data yang diukur betul-betul merupakan data pada lokasi pos. Dalam keadaan tertentu lokasi pengukuran dapat dilakukan di hulu atau di hilir lokasi pos duga air asalkan bentuk penampang melintangnya masih mendekati bentuk penampang pada pos duga air. Lokasi pengukuran sebaiknya harus pada alur sungai yang lurus, sifat aliran seragam, aliran tidak melimpah, mudah dicapai, aman dan tidak ada sesuatu yang mengganggu aliran.

Dalam melaksanakan pengukuran tidak boleh tergesa-gesa walau waktu yang tersedia sangat terbatas. Apabila sampai dilokasi pengukuran sudah sore hari maka sebaiknya pengukuran ditunda besok harinya. Kecuali apabila membawa perlengkapan yang memadai untuk pengukuran malam hari, situasi memungkinkan dan hasil pengukuran pada ketinggian muka air saat itu sngat diperlukan maka pengukuran dapat dilaksanakan saat itu juga.

Lokasi pengukuran yang sulit dicapai dan tidak aman bagi pengukur akan sangat mempengaruhi kualitas hasil pengukuran. Adanya gangguan pada aliran misalnya banyak kayu hanyut, akan mempangaruhi kualitas pengukuran.

(43)

Gambar 2.5. Cara Pengukuran Kecepatan

2.2.11.4 Perhitungan Profil Muka Air

Ada beberapa cara yang dapat dipakai untuk menghitung profil muka air pada aliran permanent tidak beraturan diantaranya adalah Metode Intergrasi Grafis, Metode Bresse, Metode Deret, Metode Flamant, Metode Tahapan Langsung dan Metode Tahapan Standard. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pada aliran tidak beraturan persoalannya adalah sebelum menghitung

0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 0,2 0,8 0,2 0,6 0,8 0,6 0,2

Cara Dua Titik Cara Tiga Titik

Cara 0,6 kedalaman Cara 0,2 kedalaman

(44)

perubahan kedalaman air sepanjang jarak tertentu. Disini hanya akan dibahas metode Tahapan Standard.

Metode ini sangat cocok digunakan untuk daerah-daerah yang saluran pembuangan drainasenya langsung ke laut. Metode ini digunakan untuk menganalisa propil muka air yang disebabkan air balik (backwater). Cara perhitungan di mulai dengan mengetahui tinggi energi total dititik kontrol. Metode ini dikembangkan dari persamaan energi total dari aliran saluran terbuka dengan persamaan:

(2.32)

E1 = E2 + hf (2.33)

Gambar 2.6. Perhitungan Muka Air Dengan Metode Tahapan Standar Dimana: z = Ketinggian dasar saluran dari garis referensi

h = kedalaman air dari dasar saluran V = Kecepatan rata-rata

g = percepatan gravitasi

hf = kehilangan energi karena gesekan dasar saluran f h g V h z g V h z + + = + + + 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 V12/2g V22/2g h1 h2 hf = Sf. ∆X ∆Z= S0. ∆X S0 Sf ∆X

(45)

Dari Gambar 2.4 diperoleh persamaan berikut:

(2.34)

(2.35)

2.2.11.5 Kondisi Banjir/Genangan di Kota Sibolga

Setelah melakukan tindakan pengamatan lapangan dan hasil wawancara dengan penduduk di masing-masing tempat diperoleh gambaran banjir/genangan kota Sibolga seperti berikut ini. Uraian banjir/genangan dan permasalahan drainase masing-masing sub drainase diuraikan pada uraian berikut ini.

1. Permasalahan Sub Drainase M.T. Haryono

Pada sistem drainase M.T. Haryono, terdapat saluran pembuangan utama (primer dipinggir jalan Anggrek), saluran ini merupakan penampung drainase di jalan M.T. Haryono dan jalan Zainul Arifin. Pada persimpangan Jl. Zainul Arifin dengan Jl. MT Haryono jika hujan turun terdapat gena- ngan dengan luas kurang lebih 1.45 ha dengan kedalaman maksimum mencapai 50 cm. Frekuensi genangan ini cukup tinggi yakni diatas 5 kali dalam setahun walaupun lama genangan cukup rendah yakni dibawah 3 jam.

Penyebab genangan ini adalah :

• Terjadi penyempitan pada saluran persimpangan Jl. Zainul Arifin dengan Jalan MT Haryono.

• Pertemuan saluran MT Haryono dengan saluran Zainul Arifin yang terlalu menyudut mengakibatkan tertahannya aliran dari arah Zainul Arifin.

1 0 2 1 S S E E X − − = ∆ 2 2 1 f f f S S S = −

(46)

Gambar 2.7 Genangan seputar Zainul Arifin

Gambar 2.8 Genangan seputar M.T. Haryono 2. Permasalahan Sub Drainase di Aek Doras

Sungai Aek Doras mengalir dari hulu sungai yang cukup terjal menuju pantai. Cukup terjalnya bagian hulu sungai mengakibatkan kecepatan air pada bagian hulu cukup tinggi mengakibatkan terjadinya erosi. Akibat erosi dibagian hulu sungai tersebut sangat banyak membawa sedimen yang pada bagian hilir akan menyebabkan endapan. Seiring dengan pertambahan waktu sungai Aek

(47)

disekitarnya akibat tingginya endapan yang pada akhirnya menyebabkan peninggian dasar sungai. Untuk menghindari pendangkalan pada bagian hilir sungai secara berkala perlu pengangkatan sedimen secara berkala agar saluran tersebut terpeliharan dan tidak menimbulkan banjir disekitar bantaran sungai sampai ke muara. Disamping itu pemanfaatan lahan di bagian hulu sungai yang cukup terjal perlu pengendalian yang ketat agar tidak menimbulkan bencana yang lebih besar dibagian hilir sungai.

3. Permasalahan Sub Drainase F.L. Tobing

Pembuangan akhir pada sub drainase ini adalah saluran yang memotong Jl. Yos Sudarso. Saluran utama terdapat di Jl. FL Tobing yang mengalir mulai dari Jl. SM Raja memotong Jl. Zainul Arifin terus masuk ke saluran memotong Jl. Yos Sudarso. Pada Sub drainase ini terdapat genangan yakni Jl. Zainul Arifin, Jl. FL. Tobing, Jl. KS Tuban, Jl. Tandean, Jl. Thamrin. Luas genangan mencapai 3,73 ha dengan kedalaman mak- simum mencapai 60 cm. Frekuensi genangan cukup tinggi yakni diatas 4 kali dalam setahun dengan lama genangan 3 jam.

Penyebab banjir /genangan ini adalah sebagai berikut :

• Saluran persimpangan Zainul Arifin dan Jl. FL Tobing terlalu rendah sehingga terjadi penyempitan.

• Dimensi saluran di Jl. Zainul Arifin (Depan Bank Sumut) terlalu kecil sehingga debit banjir tidak tertampung.

• Pertemuan saluran yang menyilang mengakibatkan terjadinya kehilangan energi saluran pada pertemuan saluran mengakibatkan peninggian muka air banjir.

(48)

• Pola aliran sekitar jalan Tandean, MH Tamrin dan Sutomo sekitarnya kurang terpola.

Gambar 2.9 Genangan seputar Jl. F.L. Tobing 4. Permasalah Sub Drainase Imam Bonjol

Pembuangan akhir pada sub drainase ini adalah saluran yang terdapat di Jl. Imam Bonjol. Saluran ini merupakan saluran tertutup. Pemakaian saluran tertutup mengakibatkan sulitnya pemeliharaan saluran. Desakan permukiman ke saluran mengakibatkan saluran menyempit pada beberapa bagian drainase.

Pada Sub drainase ini terdapat genangan yakni Jl. Imam Bonjol dan Jl. Ahmad Yani. Luas genangan mencapai 1.2 ha dengan kedalaman maksiimum mencapai 40 cm Frekuensi genangan cukup tinggi yakni diatas 6 kali dalam setahun dengan lama genangan 3 jam.

(49)

Gambar 2.10 Genangan seputar Jl. Imam Bonjol 5. Permasalahan Sub Drainase Diponegoro

Saluran utama yang terdapat di Sub Drainase ini adalah saluran di Jl. Diponegoro. Saluran ini berasal dari daerah non urban seluas 28,45 ha. Sebagaimana saluran lain yang berasal dari hulu non urban yang cukup terjal akan terdapat masalah sedimen. Pada sub drainase ini terdapat genangan dise- kitar Jl. Ahmad Yani, Jl Diponegoro dan sebagi- an Jl. Junjungan Lubis. Luas genangan ini men- capai 5,69 ha dengan kedalaman 45 cm. Frekuensi banjir disini cukup tinggi mencapai 6 kali dalam setahun dengan lama genangan 2.5 jam.

Penyebab genangan ini adalah :

• Terjadinya pendangkalan drainase Jl. Diponegoro dan Penyempitan saluran. • Pertemuan saluran yang menyudut.

(50)

Gambar 2.11 Genangan seputar Jl. Diponegoro 6. Permasalaha Sub Drainase Jl. Jati

Kurang berfungsinya saluran drainase Jl Jati menambah limpasan di kawasan Jl, Peralihan. Luas genangan di sub drainase ini mencapai 17,10 ha dengan kedalaman mencapai 90 cm. Periode ulang banjir disini cukup sering yakni diatas 10 kali dalam setahun. Lama genangan mencapai 5 jam.

Penyebab banjir dikawasan ini adalah :

• Kapasitas saluran Sibolga Baru tidak mampu menampung debit banjir dari hulu yang yang merupakan daerah non urban.

• Pendangkalan saluran dibagian hilir akibat endapan serta desakan permukiman terhadap drainase memperkecil kapasitas saluran sehingga saluran melimpah.

Gambar

Gambar 2.1. Terbentuknya Drainase Alamiah
Gambar 2.2. Tofografi Kota Sibolga
Tabel 2.5 Reduksi Variat (Y TR ) sebagai fungsi Periode Ulang Gumbel
Tabel 2.7 Koefisien Limpasan Berdasarkan Tata Guna Lahan untuk Metode  Rasional, McGuen, 1989
+5

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Dokumen tender adalah suatu dokumen yang dibuat oleh konsuktan perencana atas permintaan klien. Dokumen tender akan memberikan penjelasan kepada peserta lelang,

Kapasitas adalah tingkat arus maksimum dimana kendaraan dapat diharapkan melalui suatu potongan jalan pada periode waktu tertentu untuk kondisi lajur, lalu lintas,

Secara umum, kapasitas dari suatu fasilitas adalah jumlah per-jam maksimum dimana orang atau kendaraan diperkirakan akan dapat melintasi sebuah titik atau suatu ruas jalan

Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu beban pada jembatan yang merupakan elemen non struktural, dan besarnya dapat berubah selama umur

Kapasitas suatu ruas jalan didefinisikan sebagai jumlah maksimum kendaraan yang dapat melintasi suatu ruas jalan yang uniform per jam, dalam satu arah untuk jalan dua jalur dua

Design capacity (kapasitas rencana), adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat melintasi suatu penampang tertentu dari suatu jalan selama satu jam pada keadaan kondisi

Adalah adalah jembatan yang dibuat khusus bagi para pejalan kaki.. khususnya pada jalan dengan arus kendaraan berkecepatan tinggi. Jembatan penyeberangan akan

Sistem Drainase Lokal Minor Urban Drainage Sistem drainase minor yaitu sistem saluran dan bangunan pelengkap drainase yang menampung dan mengalirkan air dari daerah tangkapan hujan,