• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Kajian Guna Lahan Terhadap Tingkat Pelayanan Jalan (Studi Kasus Jalan Marelan Raya Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Kajian Guna Lahan Terhadap Tingkat Pelayanan Jalan (Studi Kasus Jalan Marelan Raya Medan)"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Tata Guna Lahan

2.1.1 Pengertian tata guna lahan

Lahan adalah permukaan bumi tempat berlangsungnya berbagai aktivitas dan merupakan sumber daya alam yang terbatas, dimana pemanfaatannya memerlukan penataan, penyediaan, dan peruntukan secara berencana untuk maksud-maksud penggunaan bagi kesejahteraan masyarakat (Sugandhy, 1998:16). Sedangkan menurut Cooke (1983:33), lahan merupakan keseluruhan kemampuan muka daratan beserta segala gejala di bawah permukaannya yang bersangkut paut dengan pemanfaatannya bagi manusia. Pengertian lahan/tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria adalah permukaan bumi yang dalam penggunaannya termasuk bagian tubuh bumi yang dibawahnya dan bagian ruang diatasnya sesuai dengan tujuan penggunaannya. (Boedi Harsono dalam Soemadi, H, 1999:5).

(2)

Tata Guna Lahan (land use planning) adalah pengaturan penggunaan lahan. Dalam tata guna lahan dibicarakan bukan saja mengenai penggunaan permukaan bumi, tetapi juga mengenai penggunaan permukaan bumi dilautan (Jayadinata,1999:10). Tata Guna Lahan menurut Undang-Undang Pokok Agraria adalah struktur dan pola pemanfaatan tanah, baik yang direncanakan maupun tidak, yang meliputi persediaan tanah, peruntukan tanah, penggunaan tanah dan pemeliharaannya.

Menurut Lindgren (1985), penggunaan lahan (land use) mempunyai arti sama dengan lahan yaitu merupakan tempat tinggal, lahan usaha, lapangan olah raga, rumah sakit dan areal pemakaman. Sedangkan penutup lahan (land cover) cenderung mengarah ke vegetasional dan buatan manusia atas lahan untuk mencukupi kebutuhan manusia.

Penggunaan lahan adalah suatu aktivitas manusia pada lahan yang langsung

berhubungan dengan lokasi dan kondisi lahan (Soegino, 1987). Penggunaan lahan adalah

suatu proses yang berkelanjutan dalam pemanfaatan lahan bagi maksud pembangunan

secara optimal dan efisien (Sugandhy, 1998). Jayadinata mengatakan bahwa penggunaan

lahan adalah wujud atau bentuk usaha kegiatan pemanfaatan suatu bidang tanah pada

satu waktu.

Guna lahan menurut Edy Darmawan (2003) adalah pengaturan penggunaan lahan

untuk menentukan pilihan terbaik dalam bentuk pengalokasian fungsi tertentu, sehingga

dapat memberikan gambaran secara keseluruhan bagaimana daerah pada suatu kawasan

(3)

penilaian yang bertumpu pada ekonomis atau tidaknya jika sebidang tanah dimanfaatkan

baik untuk rumah tinggal maupun melakukan usaha di atas tanah tersebut.

2.1.2 Karakteristik pemanfaatan lahan

Tata guna tanah perkotaan menunjukan pembagian dalam ruang dan peran kota. Misalnya kawasan perumahan, kawasan tempat bekerja, kawasan pertokoan dan juga kawasan rekreasi (Jayadinata, 1999:54). Menurut Chapin (1995:69), pemanfaatan lahan untuk fasilitas transportasi cenderung mendekati jalur transportasi barang dan orang sehingga dekat dengan jaringan transportasi serta dapat dijangkau dari kawasan permukiman dan tempat berkerja serta fasilitas pendidikan. Sementara fasilitas rekreasi, terutama untuk skala kota atau regional, cenderung menyesuaikan dengan potensi alam seperti pantai, danau, daerah dengan topografi tertentu, atau flora dan fauna tertentu.

(4)

2.1.3 Konsep penggunaan lahan

Penggunaan lahan pada suatu kota umumnya berbentuk tertentu dan pola perkembangannya dapat diestimasikan. Keputusan-keputusan pembangunan kota biasanya berkembang bebas, tetapi diupayakan sesuai dengan perencanaan penggunaan lahan. Motif ekonomi adalah motif utama dalam pembentukan struktur penggunaan tanah suatu kota dengan timbulnya pusat-pusat bisnis yang strategis. Selain motif bisnis terdapat pula motif politik, bentuk fisik kota, seperti topografi, drainase. Meskipun struktur kota tampak tidak beraturan, namun kalau dilihat secara seksama memiliki keteraturan pola tertentu. Bangunan-bangunan fisik membentuk zona-zonainternkota. Teori-teori struktur kota yang ada digunakan mengkaji bentuk-bentuk penggunaan lahan yang biasanya terdiri dari penggunaan tanah untuk perumahan, bisnis, industri, pertanian dan jasa (Koestoer, 2001:33).

2.1.4 Penentu tata guna lahan

Penentu dalam tata guna lahan bersifat sosial, ekonomi, dan kepentingan umum (Jayadinata, 1999:157-166) adalah sebagai berikut:

1. Perilaku Masyarakat (sosial behaviour) sebagai penentu.

(5)

2. Penentu yang berhubungan dengan kehidupan ekonomi.

Dalam kehidupan ekonomi, peranan daya guna dan biaya sangat penting, maka diadakan pengaturan tempat sekolah supaya lebih ekonomis, program lalita (rekreasi) yang ekonomis berhubung dengan pendapatan perkapita, dan sebagainya. Pola tata guna lahan di daerah perkotaan yang diterapkan dalam teori jalur sepusat, teori sektor, dan teori pusat lipat ganda dihubungkan dengan kehidupan ekonomi.

3. Kepentingan umum sebagai penentu.

Kepentingan umum yang menjadi penentu dalam tata guna lahan meliputi: kesehatan, keamanan, moral, dan kesejahteraan umum (termasuk keindahan, kenikmatan), dan sebagainya.

2.2 Sistem Transportasi

Menurut Papacostas (1987:33), transportasi didefinisikan sebagai suatu sistem yang memungkinkan orang atau barang dapat berpindah dari suatu tempat ke tempat lain secara efisien dalam setiap waktu untuk mendukung aktivitas yang diperlukan oleh manusia. Sedangkan menurut Nasution (2004:97) transportasi sebagai perpindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tujuan mengandung 3 (tiga) hal yakni (a) ada muatan yang diangkut, (b) tersedia kendaraan sebagai alat angkutan dan (c) ada jalan yang dilalui.

(6)

(kendaraan) dan sistem pengoperasian (yang mengkordinasikan komponen prasarana dan sarana). Ini berarti bahwa pengembangan sistem transportasi untuk mendukung kelancaran mobilitas manusia antar tata guna lahan dalam memenuhi kebutuhan kehidupan ekonominya adalah mengembangkan salah satu komponen (elemen) tersebut di atas atau bisa juga ketiganya secara bersamaan kalau keadaan memungkinkan, misalnya kalau ketersedian dana melimpah.

Menurut Tamin (1997:22-29), Sistem transportasi secara makro terdiri dari beberapa sistem mikro, yaitu; (a) sistem kegiatan; (b) sistem jaringan; (c) sistem pergerakan; dan (d) sistem kelembagaan. Masing-masing sistem tersebut saling terkait satu sama lainnya. Sistem transportasi makro tersebut terlihat pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Sistem Transportasi Makro Sumber: Tamin, 1997:27

Dari Gambar 2.1 tersebut, dapat dijelaskan bahwa interaksi antara sistem kegiatan dan sistem jaringan akan menghasilkan suatu pergerakan manusia dan barang dalam bentuk pergerakan kendaraan. Perubahan pada sistem kegiatan akan mempengaruhi sistem jaringan melalui suatu perubahan pada tingkat pelayanan sistem pergerakan. Perubahan pada sistem jaringan akan mempengaruhi sistem

Sistem Kegiatan

Sistem Jaringan

(7)

kegiatan melalui peningkatan mobilitas dan aksessibilitas dari sistem pergerakan tersebut. Sistem pergerakan memegang peranan yang penting dalam mengakomodasikan permintaan akan pergerakan yang dengan sendirinya akan mempengaruhi sistem kegiatan dan jaringan yang ada. Keseluruhan sistem tersebut diatur dalam suatu sistem kelembagaan.

2.2.1 Sistem kegiatan

Pada dasarnya transportasi kota adalah kegiatan yang menghubungkan antara tata guna lahan satu dengan yang lainnya dalam suatu kota. Dalam perencanaan kota, perkembangan transportasi dan perkembangan kota tidak dapat diabaikan karena merupakan dua hal yang saling mendukung.

Berkembangnya tata guna lahan dalam suatu kota merupakan salah satu sebab meningkatnya kebutuhan akan transportasi. Sebaliknya kebutuhan transportasi yang baik dan lancar akan mempercepat perkembangan tata guna lahan dalam suatu kota karena akan mempercepat pergerakan penduduk.

(8)

Demikian juga kalau dikaitkan dengan jumlah perjalanan dari suatu terminal, sangat tergantung pada lokasi terminal tersebut. Jumlah perjalanan yang dihasilkan tidak hanya ditentukan berdasarkan jumlah perjalan masing-masing individu, tetapi terkait dengan tingkat kepadatan, maka akan makin banyak jumlah individu yang melakukan perjalanan (Puskharev, 1977). Puskharev juga mengatakan bahwa jumlah perjalanan ditentukan oleh jarak antar tata guna lahan.

2.2.2 Sistem jaringan

Struktur tata ruang kota pada dasarnya dibentuk dari dua elemen utama, yaitu Link dan Node. Kedua elemen tersebut sekaligus merupakan elemen transportasi Morlok, 1978), Link (jalur) adalah suatu garis yang melewati panjang tertentu dari suatu jalan, rel, atau rute kendaraan. Sedangkan Node akan membentuk suatu pola jaringan jalan transportasi perkotaan secara garis besar dapat dibagi menjadi (Morlok, 1978).

(9)

2. Radial. Tipe ini akan memusatkan pergerakkan pada suatu lokasi, biasanya berupa pusat kota. Sistem radial biasanya dimiliki oleh suatu kota dengan konsentrasi kegiatan pada pusat kota.

3. Circumferential. Tipe ini memisahkan lalu lintas dalam suatu kota, dengan cara menyediakan jaringan jalan untuk lalu lintas menerus. Bentuk jaringan ini umumnya berupa jalan bebas hambatan.

4. Electic, adalah jaringan yang terbentuk karena perluasan kota. Sistem jaringan ini berfungsi untuk menghubungkan dua jaringan yang semula terisolasi.

2.2.3 Sistem pergerakan

Untuk memenuhi kebutuhan manusia melakukan perjalan dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan memanfaatkan sistem jaringan transportasi dan sarana transportasi. Hal ini menimbulkan pergerakan arus manusia, kendaraan dan barang. Pergerakan yang terjadi dalam suatu kota sebagian besar merupakan pergerakan rutin dari tempat tinggal ke tempat kerja. Pergerakan ini akan membentuk suatu pola misalnya alat pergerakan, maksud perjalanan, pilihan moda dan pilihan rute tertentu.

Secara keruangan pergerakan dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu sebagai berikut:

(10)

2. Pergerakan external, Adalah pergerakan dari luar wilayah menuju wilayah tertentu atau sebaliknya.

3. Pergerakan Through, adalah pergerakan yang hanya melewati satu wilayah tanpa berhenti pada wilayah tersebut.

Pergerakan penduduk terbagi atas pergerakan dengan maksud berbelanja, sekolah, bisnis dan keperluan sosial (Saxena, 1989). Maksud pergerakkan akan menentukan tujuan pergerakan yang terbagi atas tujuan utama dan tujuan pilihan (Tamin, 1997). Maksud dari tujuan utama pergerakan adalah tujuan dari pergerakan rutin yang dilakukan oleh setiap orang setiap hari, umumnya berupa tempat kerja atau tempat pendidikan sedangkan tujuan pilihan merupakan tujuan dari pergerakan yang tidak rutin dilakukan, misalnya ketempat rekreasi. Selain itu pergerakan akan mengikuti pola waktu. Pada waktu tertentu, pergerakan akan menyentuh jam sibuk (peak hours) karena volume pergerakan akan tinggi, yaitu pada pagi hari dan sore hari.

2.3 Tingkat Pelayanan

(11)

(Transportation Research Board dalam Khisty dan Lall, 2005:216). Menurut Morlok (1998) klasifikasi tingkat pelayanan jalan (V/C) seperti pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Klasifikasi Tingkat Pelayanan Jalan Tingkat Pelayanan

Jalan Rasio (V/C) Keterangan

A < 0,60 Arus bebas, volume rendah, kecepatan tinggi, pengemudi dapat memilih kecepatan yang dikehendaki.

B 0,60<V/C<0,70 Arus stabil, kecepatan sedikit terbatasi oleh lalu lintas, pengemudi masih dapat memilih

kecepatan yang dikehendaki.

C 0,70<V/C<0,80 Arus stabil, kecepatan dikontrol oleh lalu lintas. D 0,80<V/C<0,90 Arus mulai tidak stabil, kecepatan rendah E 0,90<V/C<1,00 Arus tidak stabil, kecepatan rendah dan

berbeda-beda, volume mendekati kapasitas. F > 1,00 Arus yang terhambat, kecepatan rendah, volume

di atas kapasitas, sering terjadi kemacetan pada waktu yang cukup lama sehingga kecepatan dapat turun menjadi nol.

Sumber: Morlok, 1998

Berdasarkan Highway Capacity Manual dalam Morlok (1998:211-212) faktor-faktor tingkat pelayanan meliputi: hambatan atau halangan lalu lintas, kebebasan untuk maneuver, keamanan (kecelakaan dan bahaya-bahaya potensial lainnya), kenikmatan dan kenyamanan mengemudi, dan ekonomi (biaya operasi kendaraan)

(12)

Menurut Tamin (1997:66-67) terdapat dua definisi tingkat pelayanan suatu ruas jalan, yaitu:

1. Tingkat Pelayanan (tergantung arus).

Hal ini berkaitan dengan kecepatan operasi atau fasilitas jalan, yang tergantung pada perbandingan antara arus terhadap kapasitas. Oleh karena itu, tingkat pelayanan pada suatu jalan tergantung pada arus lalu lintas. Definisi ini digunakan oleh Highway Capacity Manual, diilustrasikan dengan Gambar 2.2, yang mempunyai enam buah tingkatan pelayanan yaitu sebagai berikut:

a. Tingkat pelayanan A-arus bebas.

b. Tingkat pelayanan B-arus stabil (untuk merancang jalan antar kota). c. Tingkat pelayanan C-arus stabil (untuk merancang jalan perkotaan). d. Tingkat pelayanan D-arus mulai tidak stabil.

e. Tingkat pelayanan E-arus tidak stabil (tersendat-sendat). f. Tingkat pelayanan F-arus terhambat (berhenti, antrian, macet).

(13)

2. Tingkat pelayanan (tergantung fasilitas).

Hal ini sangat tergantung pada jenis fasilitas, bukan arusnya. Jalan bebas hambatan mempunyai tingkat pelayanan yang tinggi, sedangkan jalan yang sempit mempunyai tingkat pelayanan yang rendah.

2.4 Manajemen Lalu Lintas

Manajemen lalu lintas adalah suatu istilah yang biasa digunakan untuk menjelaskan suatu proses pengaturan sistem lalu lintas dan sistem prasarana jalan dengan menggunakan beberapa metoda, ataupun teknik rekayasa tertentu, tanpa mengadakan pembangunan jalan baru, dalam usaha untuk mencapai tujuan-tujuan ataupun sasaran tertentu yang berhubungan dengan masalah lalu lintas.

Manajemen lalu lintas sangat berkepentingan dengan kualitas dan keselamatan pengoperasian suatu sistem transportasi jalan dan terlibat dalam masalah gerakan dari kendaraan dan pejalan kaki, perilaku masyarakat, pengaruh dari kondisi geometrik dan permukaan jalan dan daerah sekitarnya.

Manajemen lalu lintas erat kaitannya dengan teknik lalu lintas, dimana manajemen lalu lintas merupakan pengontrolan arus lalu lintas berdasarkan dasar-dasar teknik lalu lintas berupa hasil rancangan geometrik infrastruktur jalan dengan objektif keamanan dan efesiensi dari gerakan kendaraan dan pemakai jalan lainnya.

(14)

aliran lainnya yang diturunkan dari variabel utama adalah kecepatan (v), volume (q), dan kepadatan (k). Tiga variabel lainnya yang digunakan dalam analisis arus lalu lintas adalahheadway(h),spacing(s), danoccupancy(R). Juga berhubungan dengan spacing dan headway adalah dua parameter lain, yaitu clearance (c) dan gap (g) (Khisty dan Lall, 2005).

1. Kecepatan adalah jarak yang di tempuh suatu kendaraan per satuan waktu, umumnya dalam mil/jam (mph) atau kilometer per jam.

2. Volume atau arus lalu lintas (flow) adalah jumlah sebenarnya dari kendaraan yang diamati atau diperkirakan melalui suatu titik selama rentang waktu tertentu.

3. Kepadatan/konsentrasi (density) adalah jumlah kendaraan yang menempati suatu panjang tertentu dari lajur atau jalan, dirata-ratakan terhadap waktu, yang dinyatakan dengan kendaraan per mil (kendaraan/mil) atau per kilometer.

4. Senjang waktu (headway) adalah pengukuran interval waktu antara dua kendaraan yang melintasi titik pengamatan pada jalan raya secara berturut-turut dalam arus lalu lintas.

(15)

Dalam proses mewujudkan manajemen lalu lintas yang baik, sangat terkait terhadap tingkat pelayanan (level of service) yang menyatakan tingkat kualitas arus lalu lintas yang sesungguhnya terjadi. Tingkat ini dinilai oleh pengemudi atau penumpang berdasarkan tingkat kemudahan dan kenyamanan pengemudi.

2.5 Hambatan Samping

Hambatan samping adalah dampak terhadap kinerja lalu-lintas dari aktifitas samping segmen jalan. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI, 1997) hambatan samping yang mempengaruhi kapasitas dan kinerja jalan perkotaan adalah: pejalan kaki; angkutan umum dan kendaraan lain behenti; kendaraan lambat (misalnya becak); kendaraan keluar dan masuk dari lahan samping jalan.

2.6 Pengertian dan Perhitungan Kapasitas Jalan 2.6.1 Pengertian kapasitas jalan

(16)

Menurut keperluan penggunaannya kapasitas ada tiga macam, yaitu sebagai berikut:

1. Basic capacity (kapasitas dasar), adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat dilewati suatu penampang pada jalur jalan selama satu jam dalam keadaan kondisi jalan dan lalu lintas yang ideal.

2. Possible capacity (kapasitas yang mungkin), adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat melintasi suatu penampang tertentu dari suatu jalan selama satu jam pada kondisi jalan serta lalu lintas yang ada.

3. Design capacity(kapasitas rencana), adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat melintasi suatu penampang tertentu dari suatu jalan selama satu jam pada keadaan kondisi jalan serta lalu lintas yang sedang lewat tanpa mengakibatkan kemacetan lalu lintas, kelambatan dan bahaya yang masih dalam batas-batas yang diijinkan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas jalan antara lain sebagai berikut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI, 1997):

1. Kondisi Geometri, merupakan faktor penyesuaian dimensi geometri jalan terhadap geometri standar jalan kota, meliputi tipe jalan, lebar efektif lapisan keras yang termanfaatkan, lebar efektif bahu jalan dan lebar efektif median jalan.

(17)

jumlah dua arah pergerakan), gangguan samping dari jalan, juumlah pejalan kaki dan akses keluar masuk.

3. Kondisi lingkungan, mengenai kapasitas jalan yang dipengaruhi oleh karakteristik jaringan jalan berupa kondisi geometrik, yang kemudian disesuaikan dengan standar yang telah ditetapkan oleh Manual Kapasitas Jalan Indosesia (MKJI).

2.6.2 Perhitungan kapasitas jalan

Jaringan jalan ada yang memakai pembatas median dan ada pula yang tidak, sehingga dalam perhitungan kapasitas, keduanya dibedakan. Untuk ruas jalan berpembatas median, kapasitas dihitung terpisah untuk setiap arah, sedangkan untuk ruas jalan tanpa pembatas median, kapasitas dihitung untuk kedua arah. Persamaan umum untuk menghitung kapasitas suatu ruas jalan menurut metode Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI, 1997) untuk daerah perkotaan adalah sebagai berikut:

C=CoxFCWxFCSPxFCSFxFCCS(smp/jam)………..…..(2.1)

Dimana:

CO = Kapasitas Dasar (smp/jam)

FCW = Faktor penyesuaian kapasitas untuk lebar jalur lalu lintas

FCSP = Faktor penyesuaian kapasitas untuk pemisah arah

FCSF = Faktor penyesuaian kapasitas untuk hambatan samping

(18)

1. Kapasitas Dasar (Co).

Kapasitas segmen jalan pada kondisi geometri, pola arus lalu lintas dan faktor lingkungan yang ditentukan sebelumnya. Kapasitas dasar yang diperoleh ditentukan berdasarkan jumlah lajur dan jalur jalan yang ada di kawasan studi, seperti pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Kapasitas Dasar (Co) Tipe Jalan Kapasitas Dasar

(smp/jam)

Keterangan

Jalan 4 lajur pembatas median atau jalan satu arah

1.650 Per lajur

Jalan 4 lajur tanpa pembatas median 1.500 Per lajur Jalan 2 lajur tanpa pembatas median 2.900 Total 2 arah Sumber: MKJI, 1997

2. Lebar Jalur Jalan (FCw).

Faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat lebar jalur lalu lintas seperti pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Lebar Jalur Lalu Lintas (FCW) Tipe Jalan Lebar Jalan Efektif (m) FCW 4 Lajur berpembatas median atau jalan satu arah Per lajur

3,00 4 lajur tanpa pembatas median Per lajur

(19)

Tabel 2.3 (Lanjutan)

Tipe Jalan Lebar Jalan Efektif (m) FCW 2 lajur tanpa pembatas median Dua Arah

5

3. Median atau pemisah Jalan (FCsp).

Faktor koreksi FCSP ini dapat dilihat pada Tabel 2.4. Penentuan faktor

koreksi untuk pembagian arah didasarkan pada kondisi arus lalu lintas dari kedua arah atau untuk jalan tanpa pembatas median. Untuk jalan satu arah dan/atau jalan dengan pembatas median, faktor koreksi kapasitas akibat pembagian arah adalah 1,0.

Tabel 2.4 Faktor Penyesuaian Akibat Pemisah Arah (FCSP)

Pembagian Arah (%-%) 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30

2 lajur 2 arah tanpa pembatas median

(2/2 UD)

1,00 0,97 0,94 0,91 0,88

4 lajur 2 arah tanpa pembatas median 1,00 0,985 0,97 0,955 0,94

Sumber: MKJI, 1997

4. Hambatan Samping (FCSF).

Faktor koreksi untuk ruas jalan yang mempunyai bahu jalan didasarkan pada lebar bahu jalan efektif (WS) dan tingkat gangguan samping yang

(20)

kapasitas akibat gangguan samping (FCSF) untuk jalan yang mempunyai

bahu jalan dapat dilihat pada Tabel 2.6.

Tabel 2.5 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Gangguan Samping (FCSF) Kelas Gangguan

Sedang 300-499 Daerah industry dengan beberapa took di pinggir jalan

Tinggi 500-899 Daerah komersil, aktivitas pinggir jalan tinggi Sangat Tinggi >900 Daerah komersil dengan aktivitas perbelanjaan

pinggir jalan

Sumber: MKJI, 1997

Tabel 2.6 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Hambatan Samping (FCSF)

Untuk Jalan Yang Mempunyai Bahu Jalan

Tipe Jalan Kelas Hambatan atau jalan satu arah (4/2 D)

Sangat Rendah

Jalan 4 lajur tanpa pembatas median (4/2 UD)

Jalan 2 lajur tanpa pembatas median (2/2 UD) atau jalan satu arah

(21)

5. Ukuran Kota (FCCS).

Faktor koreksi FCCS dapat dilihat pada Tabel 2.7 dan faktor tersebut

merupakan fungsi dari jumlah penduduk kota.

Tabel 2.7 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Ukuran Kota (FCCS)

Ukuran Kota (Juta Penduduk) Faktor Koreksi Untuk Ukuran Kota

<0,1 0,86

0,1-0,5 0,90

0,5-1,0 0,94

1,0-1,3 1,00

> 1,3 1,03

Sumber: MKJI, 1997

2.7 Keterkaitan Tata Guna Lahan dan Transportasi

Kegiatan atau aktifitas-aktifitas manusia seperti bekerja, berbelanja, belajar dan berekreasi, semuanya dilakukan pada potongan-potongan tanah yang telah diwujudkan sebagai kantor, pabrik, gedung sekolah, pasar, pertokoan, perumahan, objek wisata, hotel dan lain sebagainya. Aktifitas di potongan tanah (lahan) tersebut dinamakan tata-guna lahan (Miro, 2002).

(22)

Pergerakan arus manusia, kendaraan dan barang mengakibatkan berbagai macam interaksi. Terdapat interaksi antara pekerja dengan tempat mereka bekerja, antara ibu rumah tangga dan pasar, antara pelajar dan sekolah. Hampir semua interaksi tersebut memerlukan perjalanan yang menghasilkan pergerakan arus lalu lintas (Tamin, 1997).

Sasaran umum perencanaan transportasi adalah membuat interaksi yang terjadi antar sistem tata guna lahan dan transportasi diharapkan mampu memberikan kemudahan dan seefisien mungkin, kebijakan yang perlu di lakukan untuk mewujudkan sasaran umum tersebut, adalah sebagai berikut:

1. Sistem kegiatan yaitu berupa rencana tata guna lahan yang baik (lokasi toko, sekolah, perumahan dan lain-lain) dapat mengurangi kebutuhan akan perjalanan yang panjang sehingga membuat interaksi menjadi lebih mudah.

2. Sistem jaringan yaitu meningkatkan kapasitas pelayanan prasarana yang ada yaitu melebarkan jalan, menambah jaringan jalan baru, dan lain-lain. 3. Sistem pergerakkan yaitu mengatur teknik dan manajemen lalu lintas

(jangka pendek), fasilitas angkutan umum yang lebih baik (jangka pendek dan menengah), atau pembangunan jalan (jangka panjang).

(23)

perubahan dan besaran pergerakkan serta pemilihan moda pergerakkan merupakan fungsi dari adanya pola perubahan guna lahan diatasnya. Sedangkan setiap perubahan guna lahan dipastikan akan membutuhkan peningkatan yang diberikan oleh sistem transportasi dari kawasan yang bersangkutan (Black, 1981).

Aktifitas pada suatu lahan merupakan kemampuan atau potensi untuk membangkitkan lalu lintas, maksudnya jika potensi tata guna lahan dari sepetak lahan yang memiliki aktifitas tertentu, akan membangkitkan sejumlah arus lalu lintas tertentu pula. Analisis tata guna lahan merupakan cara praktis untuk mempelajari aktifitas-aktifitas yang menyebabkan terjadinya pembangkitan perjalanan karena pola perjalanan (rute dan arus lalu lintas) dipengaruhi oleh jaringan transportasi dan tata guna lahan (Khisty dan Lall, 2005).

(24)

Gambar 2.3 Siklus Tata Guna Lahan-Transportasi Sumber: Khristy dan Lall, 2003

Suatu perubahan pemanfaatan lahan akan menyebabkan meningkatnya bangkitan pergerakan. Peningkatan ini akan menyebabkan meningkatnya tingkat aksesibilitas yang nantinya akan menyebabkan naiknya nilai lahan suatu kawasan, peningkatan nilai lahan pada akhirnya akan menyebabkan tumbuhnya aktivitas-aktivitas yang sesuai dengan kondisi kawasan, sehingga memicu perkembangan intensitas bangunan yang tinggi pada guna lahan tersebut.

Bila akses transportasi ke suatu ruang kegiatan (persil lahan) diperbaiki, maka ruang kegiatan tersebut akan lebih menarik dan biasanya menjadi lebih berkembang. Dengan berkembangnya ruang kegiatan, akan meningkat pula kebutuhan akan transportasi.

(25)

(Tamin, 2000:503). Hubungan antara transportasi dengan guna lahan dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Siklus Guna Lahan–Transportasi Sumber: Paquatte, 1980 dalam Tamin, 2000:503

Dalam pemodelannya, sistem tata guna lahan-sistem transportasi mengandung dua buah variabel yang dapat diidentifikasikan dan diukur (Black, 1981 dalam Miro, 2005:43-44), kedua variabel tersebut adalah:

1. Variabel Bebas (Independent Variable).

a. Sistem tata guna lahan/aktivitas, berupa Jumlah penduduk; jumlah lapangan kerja; luas lahan untuk kegiatan; pola penyebaran lokasi kegiatan; pendapatan dan tingkat kepadatan penduduk; pemilikan kendaraan.

(26)

2. Variabel terikat yang akan dihitung, diramalkan (Dependent Variable), berupa jumlah kebutuhan transportasi yang dihitung dari jumlah arus lalu lintas penumpang, barang dan kendaraan di jalan raya per satuan waktu. Menurut Victoria (Transport Policy Institute, 2004:2-3), faktor-faktor tata guna lahan yang mempengaruhi transportasi yaitu:

1. Kepadatan dan pengelompokan (density and clustering), kepadatan mengacu pada jumlah penduduk atau pekerjaan yang tersedia di daerah tersebut, Lokasi aktifitas yang saling berhubungan berdekatan.

2. Aksesibilitas guna lahan (land use accessibility), sejumlah tujuan potensial yang terbentang di sepanjang area cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya kepadatan penduduk dan angkatan kerja, mengurangi jarak perjalanan dan kebutuhan akan mobil pribadi.

3. Pilihan transportasi (transportation choice), peningkatan kepadatan akan meningkatkan pilihan transportasi yang tersedia yang didasarkan oleh tingkat perekonomian.

4. Tata ruang yang baik akan menghasilkan model yang efisien.

2.8 Bangkitan dan Tarikan Pergerakan

(27)

(meninggalkan) dari suatu zona/kawasan dan jumlah pergerakan yang datang/tertarik (menuju) ke suatu zona/kawasan pada masa yang akan datang (tahun rencana) per satuan waktu (Miro, 2002).

Pergerakan lalu lintas merupakan fungsi tata guna lahan yang menghasilkan pergerakan lalu lintas. Bangkitan lalu lintas ini mencakup lalu lintas yang meninggalkan suatu lokasi dan lalu lintas yang menuju atau tiba ke suatu lokasi (Tamin, 1997), seperti dijelaskan pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Bangkitan Perjalanan Untuk Dua Zona Asal dan Tujuan Sumber: Well (1975) dalam Tamin, 1997

Hasil keluaran dari perhitungan bangkitan dan tarikan lalu lintas berupa jumlah kendaraan, orang atau angkutan barang per satuan waktu, misalnya kendaraan/jam. Kita dapat dengan mudah menghitung jumlah orang atau kendaraan yang masuk dan keluar dari suatu luas lahan tertentu dalam satu hari (atau satu jam) untuk mendapatkan bangkitan dan tarikan pergerakan. Bangkitan dan tarikan lalu lintas tersebut tergantung pada dua aspek tata guna lahan, yaitu jenis tata guna lahan dan jumlah aktivitas (dan intensitas) pada tata guna lahan tersebut.

(28)

jenis lalu lintas (pejalan kaki, truk, mobil); lalu lintas pada waktu tertentu (kantor menghasilkan arus lalu lintas pada pagi dan sore hari sedangkan pertokoan menghasilkan arus lalu lintas di sepanjang hari).

Bangkitan pergerakan bukan saja beragam dalam jenis tata guna lahan, tetapi juga tingkat aktivitasnya. Semakin tinggi tingkat penggunaan sebidang tanah, semakin tinggi pergerakan arus lalu lintas yang dihasilkannya (Tamin, 1997).

Tujuan dasar bangkitan pergerakan adalah menghasilkan model hubungan yang mengkaitkan tata guna lahan dengan jumlah pergerakan yang menuju ke suatu zona atau jumlah pergerakan yang meninggalkan suatu zona. Berdasarkan definisi dasar, bangkitan pergerakan digunakan untuk suatu pergerakan berbasis rumah yang mempunyai tempat asal dan tujuan adalah rumah atau pergerakkan yang dibangkitkan oleh pergerakan berbasis bukan rumah. Tarikan pergerakan digunakan untuk suatu pergerakan berbasis rumah yang mempunyai tempat asal dan tujuan bukan rumah atau pergerakan yang tertarik oleh pergerakan berbasis bukan rumah, (Gambar 2.6).

Gambar 2.6 Bangkitan dan Tarikan Pergerakan Sumber: Tamin, 1997

(29)

a. Bangkitan pergerakan untuk manusia yaitu: pendapatan, pemilikan kendaraan, struktur rumah tangga, ukuran rumah tangga, nilai lahan, kepadatan daerah permukiman, dan aksesibilitas. Empat faktor utama (pendapatan, pemilik kendaraan, struktur rumah tangga dan nilai lahan) telah digunakan pada beberapa kajian bangkitan pergerakan, sedangkan nilai lahan dan kepadatan daerah permukiman hanya sering dipakai untuk kajian mengenai zona.

b. Tarikan pergerakan untuk manusia, faktor yang sering digunakan adalah luas lantai untuk kegiatan industri, komersial, perkantoran, pertokoan dan pelayanan lainnya. Faktor lain yang dapat digunakan adalah lapangan pekerjaan. Akhir-akhir ini beberapa kajian mulai berusaha memasukkan ukuran aksesibilitas.

Gambar

Gambar 2.1  Sistem Transportasi Makro
Tabel 2.1 Klasifikasi Tingkat Pelayanan Jalan
Gambar 2.2  Tingkat Pelayanan (Tergantung Arus)Sumber: Tamin, 1997
Tabel 2.2 Kapasitas Dasar (Co)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Syukur Alhamdulillah tiada hingga penulis ucapkan teruntuk Allah SWT, Tuhan semesta alam atas semua nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

Nomor 3547) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional

Berdasarkan hasil penelitian pada siswa kelas III Sekolah Dasar Swasta Bawamai Pontianak Kota dengan materi memelihara lingkungan alam dan buatan yang diajarkan

Bedasarkan observasi kegiatan ekstrakurikuler SMA Negeri 1 Tanjung Batu Dari hasil pengamatan dilapangan banyak pemain yang mempunyai kelincahan pada saat menggiring

Terlaksana Sukses Mandiri adalah dengan menggunakan tim penjual, dimana sebelum melakukan orderan atau pemasaran barang, semua tim penjual melakukan pengecekan barang

No Nomor Peserta Nama Tempat/Tanggal Lahir NUPTK Instansi Mapel... Al-Falah

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan dan melimpahkan segala karunia, nikmat dan rahmat-Nya yang tak terhingga kepada penulis,

Alat pengumpulan data adalah kuesioner dan untuk mengetahui pengaruh risiko dilakukan dengan menghitung nilai OR pada 95% CI menggunakan Statcalc pada