• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Pendahuluan Epidemiologi Kontaminasi Aflatoksin B1 pada Pakan Ayam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Studi Pendahuluan Epidemiologi Kontaminasi Aflatoksin B1 pada Pakan Ayam"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

(Preliminary Epidemiological Study of Aflatoxin B1 Contamination on Poultry Feeds)

Eny Martindah, Maryam R, Wahyuwardani S, Widiyanti PM

Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. RE Martadinata No. 30, Bogor 16114 emartindah@hotmail.com

ABSTRACT

Aflatoxins are the most dangerous group of mycotoxins, which pays great of concern because of detrimental effect on humans’ and animals’ health. Low levels of aflatoxins, which are more common in feeds and are often fed to animals for longer periods will mainly result in economic losses due to lower performance, chronic toxic effects or reduced resistance to infectious diseases. This is because aflatoxin acts as immunosuppresant. The objective of the study is to obtain information for preliminary epidemiological study of the aflatoxin contamination in poultry feeds. Three hundred and twenty nine (329) samples of poultry feeds have been collected from 22 broiler farms and 11 layer farms in Bogor Districts which consisted of 219 and 110 samples respectively. The samples were analyzed for aflatoxin B1 (AFB1) by ELISA method which has been developed in Indonesian Research Centre for Veterinary Science (BBLitvet) Bogor. The incidences of positive samples of AFB1 in broiler and layer feeds were 91 and 82.73% respectively. The levels of AFB1 contamination in the poultry farms ranged from 0.23 to 18.30 ppb (n = 22 broiler farms) and 0.30 to 23.30 ppb (n = 11 layer farms). The average level of AFB1 contamination in broiler feeds is 3,94±0,318 ppb and in layer feeds is 7,47±0,686 ppb, which are still below the SNI regulation of aflatoxin in poultry feeds. However, 2% of layer feeds samples contaminated with AFB1 higher than value of aflatoxin SNI regulation to feeds layer (≥50 ppb). It was concluded that the incidence of AFB1 contamination on layer and broiler feeds are high, but contamination level is relatively low.

Key Words: Aflatoxin, Poultry Feeds, Epidemiological Study

ABSTRAK

Aflatoksin merupakan salah satu jenis mikotoksin yang paling berbahaya dibandingkan dengan mikotoksin lainnya dan banyak mendapat perhatian, karena dampaknya dapat merugikan kesehatan manusia dan ternak. Meskipun kandungan aflatoksin pada pakan terbilang rendah, namun apabila diberikan kepada ternak dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan kerugian ekonomi karena pertumbuhan (kinerja) ternak menjadi lambat, menimbulkan efek toksik yang kronis, menurunkan kekebalan terhadap penyakit infeksius dan menyebabkan timbulnya residu pada produk ternak. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi dasar studi epidemiologi kontaminasi aflatoksin pada pakan unggas. Sebanyak 329 sampel pakan unggas dikoleksi dari 22 peternakan ayam pedaging dan 11 peternakan ayam petelur di Kabupaten Bogor dan masing-masing terdiri atas 219 dan 110 sampel. Analisis aflatoksin B1 (AFB1) dalam sampel pakan dilakukan menggunakan metode ELISA yang telah dikembangkan di Balai Besar Penelitian Veteriner (BBLitvet) Bogor. Kejadian sampel positif aflatoksin dalam pakan ayam pedaging dan petelur masing-masing 91 dan 82,73%. Kisaran rata-rata konsentrasi AFB1 pada sampel pakan dari peternakan ayam pedaging berkisar antara 0,23-18,30 ppb (n = 22) dan dari peternakan ayam petelur berkisar antara 0,30-23,30 ppb (n = 11). Rata-rata kontaminasi AFB1 pakan ayam pedaging 3,94±0,318 ppb dan pada pakan ayam petelur 7,47±0,686 ppb masih berada di bawah ketentuan regulasi SNI aflatoksin pada pakan. Akan tetapi hasil analisis pakan ayam petelur menunjukkan bahwa 2% dari sampel yang dikoleksi terkontaminasi AFB1 dengan nilai cemaran lebih tinggi dari

(2)

regulasi SNI aflatoksin untuk pakan ayam petelur (≥50 ppb). Disimpulkan bahwa kejadian cemaran AFB1 pada pakan ayam petelur dan pedaging tinggi, tetapi tingkat kontaminasinya relatif rendah.

Kata Kunci: Aflatoksin, Pakan Ayam, Studi Epidemiologi PENDAHULUAN

Aflatoksin merupakan salah satu jenis mikotoksin, berupa senyawa metabolit (toksin) terutama dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus dan A. parasitic yang telah menyebar secara luas (Williams et al. 2004; Lewis et al. 2005). Hingga saat ini aflatoksin, terutama aflatoksin B1 (AFB1) merupakan salah satu diantara lima jenis mikotoksin selain deoksinivalenol, zearalenon, fumonisin dan okratoksin A yang paling banyak mendapat perhatian karena berdampak pada kesehatan manusia dan hewan, seperti efek karsinogenik, mutagenik, teratogenik dan imunosupresif (Zinedine et al. 2007; Rodrigues & Naehrer 2012).

Aflatoksin B1 adalah mikotoksin yang banyak mencemari sekitar 75% dari berbagai komoditas pertanian di dunia yang digunakan untuk pangan dan pakan (Wacoo et al. 2014). Kualitas pakan ternak sangat tergantung pada kualitas bahan bakunya, antara lain jagung yang merupakan komponen utama penyusun pakan. Kondisi yang kondusif untuk pertumbuhan kapang penghasil mikotoksin adalah lingkungan panas dan lembab seperti halnya iklim tropis di Indonesia. Kapang dan produksi mikotoksin pada bahan baku pakan tersebut dapat timbul pada saat sebelum panen (kapang tumbuh selama masih di ladang) dan/atau setelah panen (kapang timbul selama penyimpanan).

Beberapa faktor penting yang mendukung terjadinya kontaminasi aflatoksin termasuk iklim, genotipe tanaman, jenis tanah, temperatur minimum dan maksimum serta kelembaban harian (Strosnider et al. 2006). Selain itu, kontaminasi aflatoksin pada tanaman seralia (crops) juga dipengaruhi oleh kerusakan akibat kekeringan sebelum panen, aktivitas serangga dan pengeringan yang tidak optimal sebelum disimpan. Tingkat kelembaban, temperatur dan penguapan selama penyimpanan juga merupakan faktor penting terkait dengan perubahan iklim global (Cotty & Jaime-Garcia 2007; Paterson & Lima 2010).

Standar untuk meningkatkan jaminan mutu (quality insurance) pakan yang berkaitan dengan konsentrat ayam ras petelur dan pedaging tertuang dalam Standar Nasional Indonesia (SNI 2009a; 2009b), dengan batas maksimum aflatoksin adalah 50 ppb. Di Uni Eropa, tingkat AFB1 maksimum pada pakan unggas yang dapat ditoleransi adalah 20 ppb (EC 2003; FAO 2004). Rahmawati (2005) telah mengkaji persyaratan mutu pakan konsentrat unggas di beberapa negara (diantaranya Jordania, Oman, Peru, Polandi dan Swedia) yang juga menetapkan 20 ppb, demikian juga regulasi di China dan Jepang untuk pakan ayam sebesar 20 ppb (Romer 2012), nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan standar mutu pakan ayam pedaging dan petelur di Indonesia.

Di bidang peternakan, pencemaran kapang dan aflatoksin dapat menyebabkan kerusakan fisik dan kimiawi pada pakan. Cemaran aflatoksin pada pakan, meskipun dengan konsentrasi rendah apabila diberikan dalam jangka waktu lama menyebabkan gangguan keracunan kronis, pertumbuhan (kinerja) ternak menjadi lambat serta menurunkan kekebalan terhadap penyakit infeksius karena aflatoksin bersifat imunosupresif (Pettersson 2012) dan dapat menyebabkan timbulnya residu pada produk ternak yang dihasilkannya (Diaz & Murcia 2011). Aflatoksin menyebabkan kerusakan organ hati dan ginjal. Selain itu juga akan melemahkan sistem imun baik seluler maupun humoral dan pada ternak yang sensitif akan lebih peka terhadap penyakit yang disebabkan oleh bakteri, jamur, virus dan parasit (Miller & Wilson 1994). Hal ini mempengaruhi produktivitas ternak, sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit.

(3)

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi dasar studi epidemiologi kontaminasi AFB1 pada pakan unggas.

MATERI DAN METODE Teknik pengambilan sampel

Kajian epidemiologi prospektif, survey lintas seksional dilakukan untuk memberikan ilustrasi cemaran AFB1. Lokasi survey cemaran aflatoksin pakan unggas adalah di peternakan ayam ras pedaging dan petelur sektor 3, di 11 kecamatan, di Kabupaten Bogor. Penelitian dilakukan pada pertengahan tahun 2014 sampai pertengahan tahun 2015. Pemilihan peternak ayam pedaging dan petelur menggunakan convinient sampling, sedang sampel pakan diambil secara acak (random sampling) (Budiharta & Suardana 2007). Jumlah sampel pakan seluruhnya 329, terdiri atas 219 sampel pakan ayam pedaging dan 110 sampel pakan ayam petelur yang diambil dari 22 peternakan ayam pedaging dan 11 peternakan ayam petelur.

Analisis aflatoksin pada sampel pakan

Ekstraksi

Analisis aflatoksin dalam sampel pakan dilakukan dengan menggunakan metode

enzyme linked immunoabsorbent assay (ELISA) yang telah dikembangkan di Balai Besar Penelitian Veteriner (BBLitvet) (Rachmawati et al. 2004). Sampel pakan digiling dan dilakukan sub-sampling. Sebanyak 25 g sampel diekstrak dengan 100 ml methanol akuades 60%, dikocok selama 30 menit dengan menggunakan shaker, lalu disentrifus 3.000 rpm selama 15 menit. Cairan jernih diambil untuk dianalisis.

ELISA

Seluruh pereaksi dan kit ELISA dikondisikan pada suhu ruang, substrat disiapkan dengan menambahkan 30 µl substrat B ke dalam substrat A yang tersedia di dalam kit. Sebanyak 70 µl sampel dan standar AFB1 masing-masing dimasukkan ke dalam pelat pencampur secara berurutan mulai dari blanko, konsentrasi rendah sampai tertinggi. Sebanyak 140 µl larutan konjugat ditambahkan ke dalam tiap lubang kecuali untuk blanko dan diaduk dengan menggunakan pipet multi channel. Kemudian dipindahkan 75 µl ke dalam pelat berlapis antibodi dengan dua ulangan. Pelat diinkubasi selama 30 menit, larutan dibuang dan dicuci dengan akuades tiga kali, selanjutnya ditambahkan 100 µl substrat yang telah dicampur dan diinkubasi kembali selama 15 menit. Selanjutnya ditambahkan 50 µl larutan penghenti reaksi, dan pelat dibaca pada ELISA reader dengan panjang gelombang 450 nm. Hasil pembacaan dan konsentrasi aflatoksin dalam sampel dihitung dengan menggunakan persamaan garis yang dihasilkan oleh kurva standar (konsentrasi vs % inhibisi).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang ditampilkan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa insidensi cemaran AFB1 dalam pakan ayam pedaging dan petelur masing-masing 91 dan 82,73%. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Bahri et al. (2004) bahwa lebih dari 80% pakan unggas komersial terkontaminasi aflatoksin. Kontaminasi AFB1 dalam sampel pakan ayam

(4)

pedaging berkisar antara 0,03-39,40 ppb dan pada pakan ayam petelur 0,10-82,36 ppb. Sedangkan rata-rata konsentrasi AFB1 pada pakan ayam petelur lebih tinggi yaitu 7,47±0,686 ppb dibandingkan pada pakan ayam pedaging yaitu 3,94±0,318 ppb. Hasil ini masih di bawah regulasi SNI aflatoksin pada pakan 50 pbb (SNI 2009a; 2009b) dan juga masih di bawah batas maksimal AFB1, 20 ng/g (ppb), pada pakan ayam yang diijinkan oleh regulasi Eropa (FAO 2004).

Pada tahun 2005 Bahri et al. (2005) melaporkan bahwa tingkat kontaminasi AFB1 pada pakan ayam di Lampung rata-rata 13,5 ppb dengan kisaran 0-40 ppb, sedangkan di Jawa Timur rata-rata 30,7 ppb dengan kisaran 4,1-131,3 ppb. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata kontaminasi AFB1 masih di bawah regulasi SNI. Sedangkan penelitian yang dilakukan Khotimah et al. (2015) menunjukkan bahwa pakan ayam petelur yang dijual di pasar di wilayah Bogor, mengandung AFB1 dengan konsentrasi rata-rata 13,4 ppb. Penelitian yang dilakukan oleh Anjum et al. (2012) di Pakistan pada 410 pakan ayam, menunjukkan bahwa insidensi kontaminasi AFB1 adalah 44,39% dengan rata-rata konsentrasi sebesar 23,75 ppb dan konsentrasi tertinggi sebesar 78 ppb. Studi di Maroko menunjukkan kejadian kontaminasi AFB1 pada pakan ayam 66,6% dengan kisaran 0,05-5,38 ppb dan rata-rata konsentrasi 1,26±0,65 ppb (Zinedine et al. 2007).

Dari data tersebut terlihat bahwa insidensi kontaminasi AFB1 pada sampel pakan ayam pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil di Maroko (Zinedine et al. 2007) maupun Pakistan (Anjum et al. 2012), namun konsentrasinya lebih rendah dibandingkan dengan penelitian sebelumnya di Indonesia oleh Bahri et al. (2005) dan (Khotimah et al. 2015) maupun di Pakistan (Anjum et al. 2012). Meskipun demikian, hasil ini masih di bawah regulasi SNI aflatoksin pada pakan 50 pbb (SNI 2009a; 2009b).

Tabel 1. Kejadian aflatoksin sampel positif pada sampel pakan ayam di Kabupaten Bogor

Jenis sampel Jumlah

sampel Kejadian (%)

Rata-rata* ± SEM (ppb)

Kisaran AFB1 (ppb)

Pakan ayam pedaging 219 91,00 3,94±0,318 0,03-39,40

Pakan ayam petelur 110 82,73 7,47±0,686 0,10-82,36

Pakan ayam pedaging dan petelur

329 88,15 4,68±0,258 0,03-82,36

Rata-rata*: Nilai rata-rata konsentrasi sampel positif AFB1; SEM: Standard error of mean (galat baku)

Kisaran rata-rata kontaminasi aflatoksin sampel positif pada level peternakan disajikan pada Tabel 2. Hasil menunjukkan, kisaran rata-rata konsentrasi AFB1 pada sampel pakan dari peternakan ayam pedaging berkisar antara 0,23-18,30 ppb (n = 22 peternak) dan dari peternakan ayam petelur berkisar antara 0,30-23,30 ppb (n = 11 peternak). Nilai ini mengindikasikan bahwa cemaran AFB1 di level peternakan masih relatif rendah, meskipun ada peternakan ayam petelur yang pakannya terkontaminasi AFB1 dengan rata-rata konsentrasi melebihi 20 ppb.

Tabel 2. Kisaran rata-rata kontaminasi aflatoksin sampel positif di level peternakan ayam di Kabupaten Bogor

Jenis sampel Jumlah peternakan (n) Kisaran rata-rata kontaminasi AFB1 (ppb)*

Pakan ayam pedaging 22 0,23-18,30

Pakan ayam petelur 11 0,30-23,30

(5)

Kontaminasi AFB1yang melebihi 50 pbb ditemukan pada sampel pakan ayam petelur 2,21% (2/91 sampel positif), sedangkan kadar AFB1 dengan konsentrasi 20 - <50 ppb pada pakan ayam pedaging lebih rendah (2,01%) dibandingkan pada pakan ayam petelur (5,49%) (Tabel 3).

Tabel 3. Konsentrasi dan insidensi AFB1 pada pakan ayam pedaging dan petelur Konsentrasi AFB1 pada

sampel pakan (ppb)

Insidensi sampel pakan positif terdeteksi AFB1 (%) Ayam pedaging (n = 199) Ayam petelur (n = 91)

0,03 - <20 195 (97,99) 84 (92,30)

20 - <50 4 (2,01) 5 (5,49)

≥50 0 2 (2,21)

Pada Tabel 3 terlihat bahwa lebih dari 90% kadar kontaminasi AFB1 sampel pakan ayam pedaging dan petelur masih di bawah regulasi SNI AFB1 pada pakan. Hasil-hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa konsentrasi AFB1 pada pakan ayam di Kabupaten Bogor masih relatif rendah, namun tetap harus waspada mengingat insidensinya tinggi.

Dalam industri perunggasan, AFB1 disebut silent killer pembunuh yang tidak nampak, karena jika ayam mengkonsumsi pakan dengan konsentrasi AFB1 di bawah 20 ppb dalam jangka waktu lama tidak menginduksi gejala klinis yang jelas, namun mengurangi penyerapan makanan dan penyebab imunosupresif (Lizárraga-Paulín et al. 2011). Aflatoksin B1 rendah pada pakan, apabila dikonsumsi oleh ayam untuk jangka waktu yang lama akan memberikan efek keracunan kronis dan akan melemahkan sistem imun, akibatnya ayam lebih peka terhadap serangan penyakit karena AFB1 bersifat imunosupresif (Miller & Wilson 1994; Pettersson 2012). Hasil akhirnya adalah produktivitas ayam rendah karena pertumbuhan dan kinerjanya lambat, dan respon terhadap vaksinasi tidak optimal (AgroBioTek International 2009). Hal ini akan berdampak pada kerugian ekonomi yang tidak sedikit.

Kadar aflatoksin yang tinggi pada pakan juga dapat menyebabkan adanya residu toksin pada produk ternak, penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi cemaran aflatoksin pada pakan ayam petelur, menyebabkan residu yang semakin tinggi dalam produk ayam seperti telur, hati, daging, ginjal dan gizzard (Herzallah 2013). Produk ternak yang mengandung residu aflatoksin berbahaya bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya, sehingga perlu diwaspadai cemaran aflatoksin baik pada produk pertanian maupun pada produk ternak (USAID 2012).

KESIMPULAN

Hasil dari studi preliminari epidemiologi kontaminasi aflatoksin pada pakan ayam dapat disimpulkan tingkat kejadian (insidensi) kontaminasi AFB1 cukup tinggi (80-90%), namun konsentrasi cemaran AFB1 pada pakan ayam ras pedaging dan petelur relatif rendah, yaitu masing-masing (0,23-18,30 ppb) dan (0,30-23,30 ppb). Akan tetapi hasil analisis pakan ayam petelur menunjukkan bahwa 2% dari sampel terkontaminasi AFB1 dengan nilai cemaran lebih tinggi dari regulasi SNI aflatoksin untuk pakan ayam petelur (≥50ppb). Pakan dengan konsentrasi AFB1 rendah apabila dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama akan berdampak pada kesehatan dan pertumbuhan ayam, sehingga akan merugikan peternak.

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini didanai oleh DIPA APBN 2014 dan 2015. Ucapan terima kasih ditujukan kepada Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, atas ijin dan kerjasamanya dalam pengumpulan sampel lapang. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada staf UPT Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor dan rekan-rekan teknisi Litkayasa BBLitvet (Sdr. Yulhamuddin, Miharja dan Yudi Mulyadi) yang telah membantu koleksi sampel lapang dan Sdri. Ade Dalilah yang telah membantu dalam menganalisis sampel.

DAFTAR PUSTAKA

AgroBioTek International. 2009. Las Micotoxinas en la agroindustria-aflatoxinas. AgroBioTek Dominic [Internet]. [cited 2015 Aug 1]. Available from: http://www.agrobiotek.com

Anjum MA, Khan SH, Sahota AW, Sardar R. 2012. Assessment of aflatoxin B1 in commercial poultry feed and feed ingredients. J Anim Plant Sci. 22:268-272.

Bahri S, Maryam R, Widiastuti R. 2004. Tinjauan efek mikotoksin terhadap performans unggas. J Mikol Kedokteran Indonesia. 5:53-64.

Bahri S, Maryam R, Widiastuti R. 2005. Cemaran aflatoksin pada bahan pakan dan pakan di beberapa daerah Provinsi Lampung dan Jawa Timur. JITV. 10:236-241.

Budiharta S, Suardana IW. 2007. Buku ajar epidemiologi dan ekonomi veteriner. Putra DKH, penyunting. Denpasar (Indonesia): Universitas Udayana.

Cotty PJ, Jaime-Garcia R. 2007. Influences of climate on aflatoxin producing fungi and aflatoxin contamination. Int J Food Microbiol. 119:109-115.

Diaz GJ, Murcia HW. 2011. Biotranformation of aflatoxin B1 and its relationship with the differential toxicological response to aflatoxin in commercial poultry species. In: Guevara-Gonzales RG, editor. Aflatoxin-Biochemistry Mol Biol [Internet]. Rijeka (Croatia): InTech. Available from: http://www.intechopen.com/books/aflatoxins-biochemistry-and-molecular-biology -biotransformation-of-aflatoxin-b1-and-its-relationshop-with-the-differential-http://www.intechopen.com/books/aflatoxins-biochemistry-and-molecular-biology- -biotransformation-of-aflatoxin-b1-and-its-relationshop-with-the-differential-biology-response

EC. 2003. Commission regulation No. 2174/2003 of 12 December 2003 amending directive no 466/2001 concerning maximumlevels for aflatoxins in foodstuffs. Aberdeen (UK): European Commission.

FAO. 2004. Worldwide regulations for mycotoxins in food and feed in 2003. Rome (Italy): FAO. Herzallah AM. 2013. Aflatoxin B1 residues in eggs and flesh of laying hens fed aflatoxin B1

contaminated diet. Am J Agric Biol Sci. 8:156-161.

Khotimah K, Indrawati A, Latif H. 2015. Identification of fungi and mycotoxin in layer feed sold in traditional markets of Bogor,Indonesia. Int J Curr Res Biosci Plant Biol. 2:97-104.

Lewis L, Onsongo M, Njapau H, Schurz-Rogers H, Luber G, Kieszak S, Nyamongo J, Backer L, Dahiye AM, Misore A, et al. 2005. Aflatoxin contamination of commercial maize products during an outbreak of acute aflatoxicosis in eastern and central Kenya. Environ Health Perspect. 113:1763-1767.

Lizárraga-Paulín EG, Moreno-Martínez E, Miranda-Castro SP. 2011. Aflatoxins and their impact on human and animal health: An emerging problem. In: Guevara-Gonzalez RG, editor. Aflatoxins-Biochem Mol Biol [Internet]. Rijeka (Croatia): InTech. Available from: http://www.intechopen.com/books/aflatoxins-biochemistry-and-molecular-biology/aflatoxins-and-their-impacton-human-and-animal-health-an-emerging-problem

(7)

Miller DM, Wilson DM. 1994. Veterinary diseases related to aflatoxin. In: Eaton DL, Groopman JD, editors. The toxicology of aflatoxins: Human health, veterinary and agricultural significance. San Diego (US): Academic Press. p. 347-364.

Paterson RRM, Lima N. 2010. How will climate change affect mycotoxins in food? Food research international. 43:1902-1914.

Pettersson H. 2012. Mycotoxin contamination of animal feed. In: Fink-Gremmels J, editor. Animal feed contamination: Effects on livestock and food safety. Cambridge (UK): Woodhead Publishing Ltd. p. 233-285.

Rachmawati S, Lee A, Murdiati TB, Kennedy I. 2004. Pengembangan enzyme linked

immunosorbent assay (ELISA) teknik untuk analisis aflatoksin B1 pada pakan ternak. Dalam:

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner. Bogor 20-21 April, 2004. Bogor (Indonesia): Kerjasama Balai Penelitian Veteriner, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan dengan Department for Internatinal Development (DFlD-UK). hlm. 143-160. Rahmawati S. 2005. Aflatoksin dalam pakan ternak di Indonesia : Persyaratan kadar dan

pengembangan teknik deteksinya. Wartazoa. 15:26-37.

Rodrigues I, Naehrer K. 2012. Prevalence of mycotoxins in feedstuffs and feed surveyed worldwide in 2009 and 2010. Phytopathol Mediterr. 51:175-192.

Romer. 2012. Mycotoxin Legislation-ASIA. Romer Labs [Internet]. [cited 2015 Aug 1]. Available from: http://www.romerlabs.com/es/knowledge/mycotoxin-regulations/regulations-asia/#c1566

SNI. 2009a. SNI 3148.3:2009. Pakan konsentrat-Bagian 3: Ayam ras petelur (layer concentrate). Jakarta (Indonesia): Badan Standardisasi Nasional.

SNI. 2009b. SNI 3148.5:2009. Pakan konsentrat-Bagian 5: Ayam ras pedaging (Broiler

concentrate). Jakarta (Indonesia): Badan Standardisasi Nasional.

Strosnider H, Azziz-Baumgartner E, Banziger M, Bhat R V., Breiman R, Brune MN, DeCock K, Dilley A, Groopman J, Hell K, et al. 2006. Workgroup report: Public health strategies for reducing aflatoxin exposure in developing countries. Environ Health Perspect. 114:1898-1903. USAID. 2012. Aflatoxin: A syntesis of the research in health, agriculture and trade. New York

(US): United State Agency for International Development.

Wacoo AP, Wendiro D, Vuzi PC, Hawumba JF. 2014. Methods for detection of aflatoxins in agricultural food crops. J App Chem. 2014:1-15.

Williams JH, Phillips TD, Jolly PE, Stiles JK, Jolly CM, Aggarwal D. 2004. Human aflatoxicosis in developing countries: A review of toxicology, exposure, potential health consequences and interventions. Am J Clin Nutr. 80:1106-1122.

Zinedine A., Juan C, Soriano JM, Moltó JC, Idrissi L, Mañes J. 2007. Limited survey for the occurrence of aflatoxins in cereals and poultry feeds from Rabat, Morocco. Int J Food Microbiol. 115:124-127.

Gambar

Tabel 1. Kejadian aflatoksin sampel positif pada sampel pakan ayam di Kabupaten Bogor
Tabel 3. Konsentrasi dan insidensi AFB1 pada pakan ayam pedaging dan petelur  Konsentrasi AFB1 pada

Referensi

Dokumen terkait

Selain penelitian yang menunjukkan hubungan antara kinerja keuangan dengan aktivitas merger dan akuisisi suatu perusahaan, penelitian mengenai faktor-faktor yang

Karo koreliatų projekto autorių parengtuose duomenų rinkiniuose pateikiamas vaizdas apie.. 4

Pertumbuhan iman pada proses melalui sentuhan kandungan ayat-ayat Allah, baik yang tertulis ( al-ayat al-Maktubah ) maupun yang terbentang di jagat raya ( al- ayat al-Kauniyyah )

The resulting position is an ersatzist version of presentism that admits merely non-present entities as abstracta deprived of physical existence.. Ersatzist presentism both escapes

Lama kerja sebagai operator ojek selain indikator waktu keberadaan ojek di suatu lokasi juga merupakan data yang akan digunakan untuk memperhitungkan rata-rata jangka

Memanfaatkan kesesuaian visi dan misi dengan kondisi kepariwisataan, sebagai landasan untuk menambah daya tarik wisata melalui kondisi ekonomi, sosial budaya yang

Istilah apa yang digunakan pada tindakan pemberian uang dalam tari

Riset keyword pada intinya adalah mencari kata kunci yang sering diketikan oleh orang di mesin pencari sesuai dengan topik bisnis atau usaha yang anda jalani.. Misalnya