yang Dilakukan Oleh Developer Terhadap Bank Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen ABSTRAK
Pembangunan rumah susun menjadi salah satu cara yang tepat di dalam memecahkan masalah kebutuhan perumahan di daerah perkotaan yang padat penduduk. Masyarakat yang membeli satuan rumah susun yang dikelola oleh developer akan memperoleh Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun melalui berbagai tahapan dalam proses jual beli. Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun berfungsi untuk menjamin adanya kepastian hukum mengenai status hak yang didaftarkan, kepastian mengenai subyek hak dan obyek hak yang didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Namun dalam kenyataannya pembeli satuan rumah susun tidak memperoleh Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun karena tidak dapat melaksanakan Akta Jual Beli meskipun harga jual belinya telah dilunasi. Hal tersebut terjadi karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh developer terhadap Bank, karena developer tidak dapat melunasi pinjamannya kepada Bank.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang mengkaji hukum tertulis dari aspek teori dan undang-undang. Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis yaitu untuk memberikan gambaran tentang perlindungan hukum terhadap konsumen yang tidak dapat melaksanakan Akta Jual Beli atas satuan rumah susun karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh developer terhadap Bank. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan Undang-Undang (statute approach). Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Teknik pengumpulan data adalah melalui studi kepustakaan dan wawancara (interview). Teknik analisis terhadap data yang ada adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa developer untuk menambah modal kerjanya mengajukan permohonan kredit ke Bank, maka terdapat hubungan kontraktual antara developer dan pihak Bank yang dituangkan dalam perjanjian Kredit Modal Kerja Konstruksi sebagai perjanjian pokok dan APHT sebagai perjanjian assesor (accessoir). Developer sebagai debitur bertanggung jawab untuk mengembalikan pinjamannya kepada Bank sebagai kreditur sebagaimana yang tercantum dalam Perjanjian Kredit Modal Kerja Konstruksi. Apabila developer wanprestasi maka Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun atas nama developer yang merupakan sertipikat induk yang dijaminkan oleh developer masih berada dalam penguasaan Bank sehingga tidak dapat dilaksanakan AJB yang mengakibatkan Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun atas nama developer tidak dapat dipecah menjadi Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun atas nama pembeli. Pembeli satuan rumah susun membutuhkan perlindungan hukum berdasarkan UUPK. Oleh karena itu developer sebagai pelaku usaha bertanggung jawab untuk memberikan penggantian kerugian kepada pembeli satuan rumah susun sebagai konsumen dengan mengembalikan sejumlah uang yang sudah diberikan pada saat pembayaran satuan rumah susun. Penyelesaian sengketa antara developer dan konsumen dapat dilakukan melalui pengadilan maupun lembaga di luar pengadilan. Penulis menyarankan agar pemerintah mengawasi Bank yang akan memberikan pinjaman kredit kepada developer dan memberikan sanksi kepada developer yang wanprestasi dan melakukan Perbuatan Melawan Hukum, developer sebaiknya memberikan informasi yang jelas dan jujur kepada konsumen, dan konsumen yang akan membeli satuan rumah susun lebih teliti dan harus memahami dalam membaca isi Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan mendengarkan informasi yang diberikan oleh developer, agar tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari.
JUDICIAL REVIEW OF CONTRACTUAL RELATIONSHIPS BETWEEN CUSTOMER, DEVELOPER AND BANK, LINKED TO CUSTOMER LEGAL AND RIGHTS PROTECTION, WHO’S NOT ABLE TO PERFORM NOTARIAL SALE AND PURCHASE AGREEMENT ON APARTMENT (FLAT) UNIT, DUE TO BREACH OF CONTRACTS BY
DEVELOPER AGAINST THE BANK, BASED ON LAW OF THE REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 20 YEAR 2011 CONCERNING APARTMENTS AND LAW OF THE
REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 8 YEAR 1999 CONCERNING CONSUMER PROTECTION
ABSTRACT
Deployment of flat building become one of the best option to solve the housing needs problem in the densely populated urban areas. People who buy flat units which managed by the developer will obtain a Certificate of Property ownership (Freehold Title) on the flat Unit through the various stages in the process sale and purchage agreement. The purpose of having Certificate of Property ownership (Freehold Title) is to ensure legal certainty regarding the status of Freehold Title registered for the flat units, also to ensure the legal certainty about the subject and object of the ownership, which are registered under National Land Agency. But in reality the buyers did not get the Certificate of Property ownership (Freehold Title) on flats unit because they're unable to process the Sale and Purchase Agreement, although they have settled the payment. These things occurred due to breach of contracts done by developer against the Bank, where most of the case the developer was not able to pay their loan to the Bank.
The methodology used in this research is the normative juridical where the research focus on the written laws of theory. The nature of the research will be analytical descriptive to provide the big picture related to consumer protection law for the consumer Who's not able to perform Notarial Sale & Purchase Agreement on Apartment (Flat) Unit due to breach of contracts by Developer Against The Bank. The method used in this research are conceptual approach and statute approach. Source of data used for analysis is secondary data that obtained through conceptual and literature study. The approach used in this research analysis will be qualitative approach or primarily exploratory research. The objective is to gain a deep understanding of underlying reasonsand motivations about the case study. Data collection method in this research is done through the literature review and interviews. The data analysis will used a qualitative approach.
The research’s result here showed that whenever a Property Developer need additional working capital through Bank's credit, there will be a contractual relationship between the Property Developer and Bank as outlined in the construction work capital credit agreement as a principal agreement an also APHT is an additional agreement to it(accessoir). Property Developeras the debitor responsible to pay back the loan on time to Bank as the creditor, as written in the construction work capital credit agreement. If Property Developer default, then the certificate of Property ownership (Freehold Title) on flats unit that registered under Developer name, where the right for this certificate will still remain with the Bank, as Developer put it as guarantee againts the loan. The consequence is they will not able to proceed to the Sale and Purchase Agreement, in other word certificate of Property ownership (Freehold Title) that still registered under Developer’s name could not transferred and divided into buyer’s name. The buyers of flat unit will need legal assistance according to the consumerlegal and rights protection. Developers shall compensate or reimburse the buyers of the flat units by returning the amount of money that has been given at the time of payment of the flat units. To settle the dispute, Consumers can sue the developer through the courts or institutions outside the court. Author suggest that Government should supervise and observe the Bank that provide the credit loan to Developer, and impose sanctions to the defaulting developer and against the law. The Property Developer should provide clear and honest information to consumers, and consumers who will buy flat units should be more careful when reading the content and must make sure to understand the details binding in sale & purchase Agreement. The potential buyer also should listen properly all information provided by the developers in order to avoid any legal problems in future.
DAFTAR ISI
Judul ... i
Pernyataan Keaslian ... ii
Pengesahan Pembimbing ... iii
Persetujuan Panitia Sidang ... iv
Pernyataan Telah Mengikuti Sidang ... v
Persetujuan Revisi ... vi
Kata Pengantar ... vii
Abstrak ... xi
Abstract ... xii
Daftar isi ... xiii
Daftar Singkatan ... xviii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Kegunaan Penelitian ... 9
E. Kerangka Pemikiran ... 10
F. Metode Penelitian ... 18
BAB II : TINJAUAN UMUM PERJANJIAN JUAL BELI SATUAN RUMAH SUSUN ANTARA DEVELOPER SEBAGAI PELAKU USAHA DAN PEMBELI SATUAN RUMAH SUSUN SEBAGAI KONSUMEN
A. Hukum Agraria ... 25
1. Sejarah Hukum Agraria ... 25
2. Pengertian Hukum Agraria ... 27
3. Hak-hak atas Tanah ... 31
4. Pendaftaran Tanah ... 36
5. Sertipikat Hak atas Tanah ... 41
6. Peralihan Hak atas Tanah ... 42
B. Hukum Rumah Susun di Indonesia ... 46
1. Pengertian Rumah Susun ... 46
2. Persyaratan Pembangunan Rumah Susun ... 47
3. Status Hak atas Tanah yang Dibangun Rumah Susun ... 54
4. Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun ... 56
5. Kepemilikan Satuan Rumah Susun ... 59
C. Perjanjian Jual Beli Satuan Rumah Susun antara Developer sebagai Pelaku Usaha dan Pembeli Satuan Rumah Susun sebagai Konsumen 1. Perikatan pada Umumnya ... 60
a. Pengertian dan Sumber-sumber Perikatan ... 60
c. Asas-asas Hukum Perjanjian ... 64
d. Macam-macam Perikatan ... 66
e. Wanprestasi dan Akibat Wanprestasi ... 69
f. Hapusnya Perikatan ... 71
2. Aspek Perlindungan Konsumen dalam Perjanjian Jual Beli Satuan Rumah Susun ... 74
a. Dasar Hukum Perjanjian Jual Beli Satuan Rumah Susun ... 74
b. Pengertian dan Pengaturan Perlindungan Konsumen ... 79
c. Hubungan Hukum antara Developer sebagai pelaku usaha dan Pembeli Satuan Rumah Susun sebagai Konsumen ... 84
d. Hak, Kewajiban dan Tanggung Jawab Developer sebagai Pelaku Usaha dalam Perjanjian Jual Beli Satuan Rumah Susun ... 86
e. Hak dan Kewajiban Pembeli Satuan Rumah Susun sebagai Konsumen dalam Perjanjian Jual Beli Satuan Rumah Susun ... 89
BAB III : Tinjauan Umum Hubungan Kontraktual antara Developer sebagai Debitur dan Pihak Bank sebagai Kreditur A.Peranan Bank dalam Kegiatan Perekonomian Masyarakat ... 91
1. Pengertian Bank ... 91
3. Prinsip-prinsip Umum Perbankan ... 99
4. Jenis-jenis Kredit ... 102
B. Hubungan Hukum antara Bank dan Developer sebagai
Nasabah Pengguna Jasa Perbankan
1. Pengertian Nasabah ... 104
2. Perjanjian sebagai Landasan Hubungan Hukum antara Bank
dan Nasabah ... 105
3. Hubungan Kontraktual antara Developer dan Bank ... 108
BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN YANG TIDAK DAPAT MELAKSANAKAN AKTA JUAL BELI ATAS SATUAN RUMAH SUSUN KARENA ADANYA WANPRESTASI YANG DILAKUKAN OLEH DEVELOPER TERHADAP BANK
A. Hubungan Kontraktual antara Developer dan Pihak Bank
atas Jaminan yang Merupakan Perencanaan dari
Pembangunan Rumah Susun ... 115
B. Tanggungjawab Hukum Developer Baik Terhadap Bank
maupun Konsumen dan Perlindungan Hukum bagi Konsumen dalam Hal Terjadinya Wanprestasi oleh
Developer ... 132 1. Tanggung Jawab Hukum Developer terhadap Bank ... 133
2. Tanggung Jawab Hukum Developer terhadap Konsumen ... 137
Wanprestasi oleh Developer ... 144
C. Langkah Hukum yang Dapat Dilakukan Konsumen Bila
Developer Melakukan Wanprestasi ... 147
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan ... 157
b. Saran ... 158
DAFTAR SINGKATAN
1. AJB : Akta Jual Beli
2. APHT : Akta Pemberian Hak Tanggungan
3. BPN RI : Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
4. BPSK : Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
5. HGB : Hak Guna Bangunan
6. HGU : Hak Guna Usaha
7. KUHPer : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
8. PP : Peraturan Pemerintah
9. P.T. : Perseroan Terbatas
10.PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah
11.PPJB : Perjanjian Pengikatan Jual Beli
12.SKMHT : Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
13.UUD 1945 : Undang-Undang Dasar 1945
14.UUHT : Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
15.UUP : Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
16.UUPA : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria
17.UUPK : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial sebagaimana yang dikemukakan oleh
Aristoteles, yang menyatakan bahwa manusia adalah Zoon Politicon. Kata Zoon
Politicon merupakan padanan dari kata Zoon yang berarti “hewan” dan Politicon
yang berarti “bermasyarakat”. Aristoteles menerangkan bahwa manusia
dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain, sehingga
kebutuhan manusia yang satu dapat dipenuhi manusia lainnya. Menurut Abraham
Maslow manusia mempunyai 5 (lima) macam kebutuhan yang membentuk
tingkatan-tingkatan atau hirarki dari yang paling penting hingga yang sulit untuk
dicapai atau didapat. Adapun tingkatan-tingkatan kebutuhan tersebut adalah
kebutuhan fisiologis atau dasar, contohnya sandang, pangan, papan; kebutuhan
akan keamanan, contohnya bebas dari ancaman; kebutuhan sosial, contohnya
memiliki teman dan keluarga; kebutuhan penghargaan, contohnya pujian dan
penghargaan; dan yang terakhir kebutuhan aktualisasi diri, contohnya kebutuhan
untuk berekspresi.1
Berdasarkan teori kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham Maslow,
kebutuhan akan papan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan
akan papan berkaitan dengan ketersediaan tanah. Tanah memiliki peranan yang
sangat penting didalam kehidupan sehari-hari manusia, antara lain untuk tempat
tinggal, bercocok tanam, melakukan kegiatan usaha dan berbagai aktivitas
lainnya, bahkan sampai meninggal pun manusia memerlukan tanah. Dalam bahasa
Yunani, tanah disebut dengan pedon yang artinya bagian kerak bumi yang
tersusun dari mineral dan bahan organik. Seorang ahli geologi yang bernama
Fedrich Fallon mendefinisikan tanah sebagai lapisan bumi teratas yang terbentuk
dari batuan-batuan yang telah lapuk. Demikian pula menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia tanah adalah permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas
sekali.2
Indonesia mengenal tanah dengan sebutan agraria. Agraria memiliki
pengertian urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah.3
Dalam bahasa Inggris Agraria yang disebut agrarian diartikan dengan tanah dan
dihubungkan dengan usaha pertanian. Sebutan agrarian laws bahkan seringkali
digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan-peraturan hukum yang
bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih
memeratakan penguasaan dan pemilikannya.
Pengaturan tanah di Indonesia adalah berdasarkan Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya dalam skripsi ini disebut UUD 1945),
yang menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.” Penguasaan tanah oleh negara adalah untuk menciptakan
kesejahteraan masyarakat. Salah satu upaya negara Indonesia untuk
mensejahterakan masyarakat di bidang pertanahan adalah melalui pembentukan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria
(selanjutnya dalam skripsi ini disebut UUPA). Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA
menyatakan bahwa:
“(1) Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.”
Dengan demikian yang dimaksud dengan istilah tanah dalam Pasal 4 ayat
(1) UUPA ialah permukaan bumi.4 Permukaan bumi bermakna sebagai bagian
dari tanah yang dapat dihaki oleh setiap orang atau Badan Hukum. Hak atas tanah
bersumber dari hak menguasai dari negara atas tanah. Hak menguasai dari negara
adalah memberi wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan, pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa, menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air
dan ruang angkasa, selain itu untuk menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air dan ruang angkasa.
3 Poerwadarminta W.J.S, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, Cetakan ke-8,
1985, hlm. 18.
4Permukaan bumi memberikan suatu interpretasi autentik tentang apa yang diartikan oleh pembuat
Ketersediaan tanah di Indonesia sangat terbatas, namun kebutuhan
masyarakat akan kepemilikan tanah semakin meningkat. Dalam upaya
meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah yang jumlahnya terbatas tersebut,
terutama bagi pembangunan perumahan dan permukiman serta mengefektifkan
penggunaan tanah terutama di daerah-daerah perkotaan yang padat penduduk
maka perlu adanya pengaturan dan penataan atas penggunaan tanah, sehingga
bermanfaat bagi masyarakat. Apalagi jika dihubungkan dengan hak asasi manusia,
maka tempat tinggal merupakan hak bagi setiap Warga Negara, sebagaimana
diatur dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan”. Kebutuhan dasar tersebut wajib dihormati, dilindungi, ditegakkan dan
dimajukan oleh pemerintah.5 Tempat tinggal sudah menjadi kebutuhan paling
mendasar setiap manusia yang sangat berpengaruh dalam pembentukan
kepribadian bangsa. Tempat tinggal tidak dapat hanya dilihat sebagai sarana
kebutuhan hidup tetapi merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan
tatanan hidup untuk bersosialisasi dengan manusia lainnya.
Pembangunan rumah susun menjadi salah satu cara yang tepat didalam
memecahkan masalah kebutuhan perumahan di daerah perkotaan yang padat
penduduk, karena pembangunan rumah susun dapat mengurangi penggunaan
tanah dan membuka ruang terbuka hijau di perkotaan serta dapat digunakan
sebagai salah satu cara untuk peremajaan kota bagi daerah yang kumuh. Menurut
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun, rumah
susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan
yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik
dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang
masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk
tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah
bersama.
Rumah susun secara yuridis merupakan bangunan gedung bertingkat yang
senantiasa mengandung sistem kepemilikan perseorangan dengan Hak Bersama,
dimana penggunaannya untuk hunian atau bukan hunian, secara mandiri ataupun
secara terpadu sebagai satu kesatuan sistem pembangunan. Terkait dengan itu
terdapat beberapa macam rumah susun. Pertama, rumah susun hunian, yakni
rumah susun yang digunakan untuk akomodasi atau tempat tinggal seperti
perumahan, apartemen dan bangunan lainnya yang berfungsi untuk tempat
tinggal. Kedua, rumah susun komersial, adalah bangunan yang digunakan untuk
kepentingan-kepentingan komersial seperti perkantoran, pertokoan, pabrik,
restoran, bank dan lain sebagainya. Ketiga, rumah susun industri, yaitu merupakan
bangunan yang digunakan untuk kepentingan industri misalnya penyimpanan
barang dalam jumlah besar atau aktifitas pabrik dan industri lainnya. Keempat,
rumah susun keramahtamahan misalnya hotel, motel, hostel dan sebagainya.6
Rumah susun dapat dikelola oleh pengembang atau yang biasa disebut
dengan istilah developer dan dapat juga dikelola oleh pemerintah setempat.
Developer bertanggung jawab penuh atas pembangunan rumah susun sejak proses
pembelian tanah sampai dengan bangunan rumah susun tersebut selesai dibangun.
Pemerintah pun berperan aktif dalam membina para developer selama proses
pembangunan rumah susun dari perencanaan pembangunan, pengaturan,
pengendalian dan pengawasan. Setelah developer mendapatkan izin untuk
membangun rumah susun, maka developer akan memasarkan satuan rumah susun
tersebut dalam bentuk iklan di media elektronik maupun media cetak. Dengan
banyaknya tawaran menarik yang diberikan oleh developer, banyak orang yang
tertarik untuk membeli satuan rumah susun tersebut. Seiring dengan
perkembangan zaman, saat ini banyak orang yang lebih memilih untuk tinggal di
rumah susun dibandingkan di perumahan biasa. Saat ini pun sebagian orang
membeli satuan rumah susun tidak hanya untuk dihuni, melainkan juga untuk
berinvestasi. Rumah susun saat ini bukan lagi merupakan kebutuhan dasar untuk
tempat tinggal, namun sudah menjadi objek investasi bagi orang-orang yang
berpenghasilan cukup.
Masyarakat yang membeli satuan rumah susun yang dikelola oleh
developer akan memperoleh Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
melalui berbagai tahapan dalam proses jual beli. Dalam kasus yang diteliti oleh
penulis, proses jual beli diawali dengan ditandatanganinya Perjanjian Pengikatan
Jual Beli (selanjutnya dalam skripsi ini disebut PPJB) dihadapan notaris karena
rumah susun yang akan diperjualbelikan belum selesai dibangun. Berdasarkan
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun,
proses jual beli satuan rumah susun sebelum pembangunan rumah susun selesai
dapat dilakukan melalui PPJB yang dibuat di hadapan notaris.
Setelah penandatanganan PPJB pembeli satuan rumah susun berkewajiban
membayar uang muka kepada developer. Apabila pembangunan rumah susun
telah selesai dan sudah layak huni akan dilaksanakan penandatanganan Akta Jual
Beli (selanjutnya dalam skripsi ini disebut AJB), dan pembeli satuan rumah susun
akan melunasi harga jual belinya. Setelah harga satuan rumah susun dilunasi maka
pembeli akan memperoleh Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun atas
nama pembeli yang bersangkutan yang berasal dari pemecahan sertipikat induk
sebagai bukti kepemilikan atas satuan rumah susun yang telah dibelinya.
Dalam kasus yang diteliti oleh penulis, pembeli satuan rumah susun tidak
memperoleh Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun karena tidak dapat
melaksanakan penandatanganan AJB meskipun harga jual belinya telah dilunasi
dan rumah susun sudah selesai dibangun oleh developer dan sudah dihuni oleh
konsumen yang membeli satuan rumah susun tersebut. Hal ini terjadi karena
adanya wanprestasi yang dilakukan oleh developer terhadap Bank. Wanprestasi
terjadi karena developer tidak dapat melunasi pinjamannya kepada Bank
sehingga Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun atas nama developer
yang merupakan sertipikat induk yang dijaminkan oleh developer kepada Bank
pada saat perencanaan pembangunan rumah susun masih berada dalam
penguasaan Bank.
Tujuan dari penerbitan Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum mengenai status hak yang
didaftarkan, kepastian mengenai subyek hak dan kepastian obyek hak yang
didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (selanjutnya dalam
skripsi ini disebut BPN RI). Wanprestasi yang dilakukan oleh developer terhadap
Bank yang menyebabkan tidak dapat diterbitkannya Sertipikat Hak Milik atas
Satuan Rumah Susun menimbulkan kerugian bagi pembeli satuan rumah susun.
Oleh karena itu pembeli satuan rumah susun sebagai konsumen membutuhkan
perlindungan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (selanjutnya dalam skripsi ini disebut UUPK).
Berdasarkan uraian tersebut diatas penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Hubungan Kontraktual Antara
Konsumen, Developer dan Bank Dihubungkan dengan Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen yang Tidak Dapat Melaksanakan Akta Jual Beli atas Satuan Rumah Susun karena Adanya Wanprestasi yang Dilakukan oleh Developer Terhadap Bank Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen”.
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana hubungan kontraktual antara developer dan pihak Bank atas
2. Bagaimana tanggungjawab hukum developer baik terhadap Bank maupun
konsumen dan perlindungan hukum bagi konsumen dalam hal terjadinya
wanprestasi oleh developer terhadap Bank ?
3. Apakah langkah hukum yang dapat dilakukan konsumen bila developer
melakukan wanprestasi ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan kontraktual antara
developer dan pihak Bank atas jaminan yang merupakan perencanaan dari
pembangunan rumah susun.
2. Untuk mendapatkan gambaran mengenai tanggungjawab hukum developer
baik terhadap Bank maupun konsumen dan perlindungan hukum bagi
konsumen dalam hal terjadinya wanprestasi oleh developer terhadap Bank.
3. Untuk mengetahui langkah hukum yang dapat dilakukan konsumen bila
developer melakukan wanprestasi.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu :
1. Secara teoritis :
Memberikan masukan bagi perkembangan ilmu hukum khususnya mengenai
perlindungan hukum terhadap konsumen yang tidak dapat melaksanakan Akta
oleh developer terhadap bank dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
2. Secara praktis :
a. Memberikan masukan bagi pemerintah dalam memberikan perlindungan
hukum terhadap konsumen yang tidak dapat melaksanakan AJB atas
satuan rumah susun karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh
developer terhadap Bank.
b. Memberikan masukan bagi para praktisi hukum dalam memberikan
perlindungan hukum terhadap konsumen yang tidak dapat melaksanakan
AJB atas satuan rumah susun karena adanya wanprestasi yang dilakukan
oleh developer terhadap Bank.
c. Memberikan masukan bagi masyarakat khususnya yang akan membeli
satuan rumah susun mengenai perlindungan hukum kepada masyarakat
sebagai konsumen yang tidak dapat melaksanakan AJB atas satuan rumah
susun karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh developer terhadap
Bank.
E. Kerangka Pemikiran
Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state). Hal ini dapat
diketahui dari tujuan pembentukan negara Indonesia yang dimuat dalam alinea ke
4 Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa :
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia”.
Negara Indonesia sebagai negara kesejahteraan berperan aktif dalam
menciptakan kesejahteraan masyarakat. Salah satu bentuk tanggung jawab negara
Indonesia dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di bidang pertanahan
adalah dengan memberlakukan UUPA.
Wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai tanah oleh negara
diatur dalam Pasal 4 UUPA yang berbunyi :
“(1) Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi”.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa Pasal 4 UUPA
memberi wewenang kepada pemegang hak atas tanah untuk menggunakan
tanahnya, demikian pula tubuh bumi dan ruang yang ada diatasnya sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan
tanah itu karena hak atas tanah meliputi semua hak yang diperoleh langsung dari
negara yang disebut hak primer dan semua hak yang berasal dari pemegang hak
atas tanah lain berdasarkan pada perjanjian bersama yang disebut hak sekunder.
Kedua hak tersebut pada umumnya mempunyai persamaan, dimana pemegangnya
untuk mendapat keuntungan dari orang lain melalui perjanjian dimana satu pihak
memberikan hak-hak sekunder pada pihak lain.7
Tujuan dari adanya pengaturan hak-hak atas tanah tersebut adalah untuk
memaksimalkan masyarakat dalam mengelola tanah, sehingga hak-hak atas tanah
tersebut dapat memberikan kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum.
Pemanfaatan tanah diatur di dalam Pasal 9 ayat (2) UUPA yang berbunyi
sebagai berikut :
“Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”.
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun adalah
berdasarkan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah (selanjutnya dalam skripsi ini disebut PP Nomor 24 Tahun
1997) yang menyatakan bahwa :
“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Transaksi jual beli atas satuan rumah susun diawali dengan
ditandatanganinya PPJB dihadapan notaris, kemudian pembeli sebagai konsumen
membayar uang muka kepada developer. Apabila pembangunan rumah susun
telah selesai dan sudah layak huni akan dilaksanakan penandatanganan AJB dan
pembeli akan melunasi harga jual belinya. Setelah harga satuan rumah susun di
lunasi maka pembeli akan memperoleh Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah
Susun atas nama pembeli yang bersangkutan yang berasal dari pemecahan
sertipikat induk sebagai bukti kepemilikan atas satuan rumah susun yang telah
dibelinya.
Dalam kasus yang diteliti oleh penulis, pembeli satuan rumah susun tidak
memperoleh Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun karena tidak dapat
melaksanakan penandatanganan AJB meskipun harga jual belinya telah dilunasi
dan rumah susun sudah selesai dibangun oleh developer dan sudah dihuni oleh
konsumen yang membeli satuan rumah susun tersebut. Hal ini terjadi karena
adanya wanprestasi yang dilakukan oleh developer terhadap Bank. Wanprestasi
terjadi karena developer tidak dapat melunasi pinjamannya terhadap Bank
sehingga Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun atas nama developer
yang merupakan sertipikat induk yang dijaminkan oleh developer kepada Bank
pada saat perencanaan pembangunan rumah susun masih berada dalam
penguasaan Bank. Keberadaan Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
sangat penting bagi pemilik satuan rumah susun tersebut. Tujuan dari penerbitan
Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun adalah untuk menjamin adanya
kepastian hukum mengenai status hak yang didaftarkan, kepastian mengenai
yang dihadapi konsumen tersebut pada dasarnya disebabkan oleh kurang adanya
tanggung jawab pelaku usaha dan juga lemahnya pengawasan pemerintah.8
Wanprestasi merupakan terminologi dalam Hukum Perdata yang artinya
ingkar janji (tidak menepati janji) yang diatur dalam Buku ke III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya dalam skripsi ini disebut KUHPerdata).
Wanprestasi harus didasari adanya suatu perjanjian, baik perjanjian tersebut
dibuat secara lisan maupun tertulis, baik dalam bentuk perjanjian di bawah tangan
maupun dalam bentuk akta otentik. Seseorang tidak dapat dinyatakan wanprestasi,
jika ia tidak terikat hubungan kontraktual.9 Hubungan kontraktual dalam bidang
perbankan adalah hubungan antara Bank dengan nasabah yang dituangkan dalam
bentuk tertulis. Perjanjian tertulis antara Bank dengan nasabah tersebut
dituangkan dalam perjanjian baku. Perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya
dibuat oleh salah satu pihak dan pihak tersebut adalah pihak yang biasanya
mempunyai kekuasaan yang lebih kuat, dalam hal ini adalah pihak Bank. Pihak
lain dalam hal ini adalah nasabah atau developer, cukup memberikan
persetujuannya dengan menandatangani atau tidak menandatangani perjanjian
tersebut.10 Dalam kasus yang diteliti oleh penulis, hubungan kontraktual yang
timbul antara Bank dan developer sebagai nasabah diawali dengan dibuatnya
perjanjian Kredit Modal Kerja Konstruksi. Perjanjian Kredit Modal Kerja
8 Zumrotin, Problematika Perlindungan Konsumen di Indonesia, Sekarang dan yang Akan Datang, Makalah, Disampaikan dalam Seminar Nasional Perlindungan Konsumen dalam Era Pasar Bebas yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tanggal 15 Maret 1997, Surakarta : Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, hlm. 2. 9 Yohanes Sogar Simamora, Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas dalam Kontrak Pemerintah
Indonesia, disampaikan dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya pada hari Sabtu tanggal 8 Nopember 2008, hlm. 10.
Konstruksi merupakan perjanjian baku (standard contract), dimana isi atau
klausula-klausula perjanjian Kredit Modal Kerja Konstruksi tersebut telah
dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (blanko). Calon nasabah debitur
tinggal membubuhkan tanda tangannya saja apabila bersedia menerima isi
perjanjian tersebut, tidak memberikan kesempatan kepada calon debitur untuk
membicarakan lebih lanjut isi atau klausula-klausula yang diajukan pihak Bank.
Pada tahap ini, kedudukan calon debitur sangat lemah, sehingga menerima saja
syarat-syarat yang telah ditentukan secara sepihak oleh pihak Bank, karena jika
tidak demikian calon debitur tidak akan mendapatkan kredit yang dimaksud.11
Setelah dibuatnya perjanjian Kredit Modal Kerja Konstruksi, timbullah
perjanjian berupa pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (selanjutnya
dalam skripsi ini disebut APHT) dihadapan PPAT, yang ditandatangani oleh Bank
(kreditur) sebagai penerima hak tanggungan dan developer (debitur) sebagai
pemberi hak tanggungan yaitu sebagai pihak yang menjaminkan Hak Milik atas
Satuan Rumah Susun yang dibangunnya. Pasal 47 ayat 5 Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun menyatakan bahwa: “Sertipikat Hak Milik
Satuan Rumah Susun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak
tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Dalam
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
(selanjutnya dalam skripsi ini disebut UUHT) disebutkan bahwa APHT memuat
antara lain : identitas para pihak, penunjukan secara jelas utang-utang yang
dijamin, nilai hak tanggungan, uraian mengenai objek hak tanggungan dan
janji-janji hak tanggungan. Dalam praktik perbankan, pemberian hak tanggungan yang
ditandai dengan pembuatan APHT ini dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu :
(a) Penandatanganan APHT dilakukan oleh pemilik jaminan bersamaan
dengan penandatanganan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok;
(b) Dengan membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
(selanjutnya dalam skripsi ini disebut SKMHT). SKMHT dibuat karena
pemilik jaminan pada saat penandatanganan perjanjian kredit, tidak segera
melakukan pembebanan hak tanggungan. SKMHT adalah surat kuasa
khusus yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT atau Notaris yang
ditandatangani pemilik jaminan. Dalam SKMHT pemilik jaminan
memberikan kuasa khusus kepada kreditur (Bank) untuk menandatangani
APHT.
APHT harus segera didaftarkan ke kantor pertanahan setempat.
Berdasarkan APHT yang telah didaftarkan kantor pertanahan akan menerbitkan
Sertipikat Hak Tanggungan yang kemudian diserahkan kepada Bank (kreditur)
sebagai pemegang hak tanggungan.12
Dalam kasus yang diteliti oleh penulis kewajiban developer untuk
melunasi pinjamannya terhadap Bank tidak dapat dipenuhi, sehingga
menimbulkan kerugian bagi pembeli satuan rumah susun karena tidak dapat
Utama, 2003, hlm. 265.
melaksanakan penandatanganan AJB, yang mengakibatkan pemilik satuan rumah
susun tidak dapat memperoleh Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.
Pembeli satuan rumah susun sebagai konsumen yang dirugikan karena developer
melakukan wanprestasi kepada Bank harus mendapatkan perlindungan hukum
berdasarkan UUPK.
Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan
perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua
hak-hak yang diberikan oleh hukum.13
Maria Theresia Geme mengartikan perlindungan hukum adalah berkaitan
dengan tindakan negara untuk melakukan sesuatu dengan memberlakukan hukum
negara secara eksklusif dengan tujuan untuk memberikan jaminan kepastian
hak-hak seseorang atau kelompok orang.14
Menurut Pasal 19 ayat (1) dan (2) UUPK :
“(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
13Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 54.
Ketentuan tersebut diatas merupakan upaya untuk memberikan perlindungan
hukum kepada konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha. Demikian pula dalam
transaksi jual beli satuan rumah susun antara developer sebagai pelaku usaha dan
pembeli satuan rumah susun sebagai konsumen, apabila konsumen mengalami
kerugian karena tidak dapat melaksanakan AJB karena adanya wanprestasi yang
dilakukan oleh developer terhadap Bank, maka ia berhak untuk menuntut
penggantian kerugian kepada developer yang bersangkutan.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode penelitian Yuridis Normatif. Metode penelitian Yuridis Normatif adalah
penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek yang meliputi
aspek teori, sejarah, filosofis, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan
materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal dan kekuatan
mengikat suatu undang-undang.15 Metode penelitian Yuridis Normatif digunakan
untuk menemukan kebenaran dalam suatu penelitian hukum, yang dilakukan
melalui cara berpikir deduktif dan kriterium kebenaran koheren.
1. Sifat Penelitian
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka
penulis menggunakan sifat penelitian deskriptif analisis, yaitu suatu
penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang
atas satuan rumah susun karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh
developer terhadap Bank.
2. Pendekatan Penelitian
Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan
konseptual (conceptual approach) dan pendekatan Undang-Undang (statute
approach). Pendekatan konseptual (conceptual approach) dilakukan dengan
menelaah konsep-konsep yuridis yang berkaitan dengan perlindungan hukum
terhadap konsumen yang tidak dapat melaksanakan AJB atas satuan rumah
susun karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh developer terhadap
Bank. Pendekatan Undang-Undang (statute approach) dilakukan dengan
menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perlindungan hukum terhadap konsumen yang tidak dapat melaksanakan AJB
atas satuan rumah susun karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh
developer terhadap Bank.
3. Jenis Data
Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini digolongkan sebagai
data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan.
Data sekunder diperoleh dengan studi kepustakaan yang dilakukan dengan
mengumpulkan, menyeleksi dan meneliti peraturan perundang-undangan,
buku-buku dan sumber bacaan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Kepustakaan
Data sekunder diperoleh dengan cara studi kepustakaan yang
dilakukan untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori atau
pendapat-pendapat mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen yang tidak
dapat melaksanakan AJB atas satuan rumah susun karena adanya
wanprestasi yang dilakukan oleh developer terhadap Bank. Data sekunder
meliputi :
1. Bahan hukum primer yang berupa :
a. Undang-Undang Dasar 1945.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria.
d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah.
e. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
f. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
g. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman.
h. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah
Susun.
i. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1988 Tentang Rumah
Susun.
j. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah.
k. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah.
l. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002
Tentang Bangunan Gedung.
m. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun
1989 Tentang Bentuk dan Tata Cara Pengisian Serta
Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun.
n. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun
1989 Tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Buku Tanah
serta Penerbitan Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah
o. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah.
p. Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor
11/KPTS/1994 Tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah
Susun.
q. Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor
09/KPTS/1995 Tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah.
2. Bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku, berbagai hasil
penelitian dan karya ilmiah yang berkaitan dengan perlindungan
hukum terhadap konsumen yang tidak dapat melaksanakan AJB
atas satuan rumah susun karena adanya wanprestasi yang dilakukan
oleh developer terhadap Bank.
3. Bahan hukum tersier yang berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Kamus Hukum, Black’s Dictionary Law dan Majalah Hukum dan
Pembangunan.
b. Wawancara (interview)
Untuk memperoleh data primer yang berfungsi untuk mendukung
interview) dengan para responden, yaitu suatu wawancara yang disertai
dengan suatu daftar pertanyaan yang disusun sebelumnya.16
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis terhadap data yang ada adalah dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Dalam pendekatan secara kualitatif tidak
digunakan parameter statistik guna menganalisis data yang ada.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri atas 5 (lima) bab yaitu sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan
BAB I memaparkan mengenai latar belakang, identifikasi masalah, tujuan
penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN UMUM PERJANJIAN JUAL BELI SATUAN RUMAH SUSUN ANTARA DEVELOPER SEBAGAI PELAKU USAHA DAN PEMBELI SATUAN RUMAH SUSUN SEBAGAI KONSUMEN Bagian ini memuat tentang teori-teori hukum yang berhubungan dengan kasus
yang dibahas dalam penulisan skripsi ini yaitu Hukum Agraria, Hukum
Rumah Susun di Indonesia dan Perjanjian Jual Beli Satuan Rumah Susun
antara developer sebagai pelaku usaha dan pembeli satuan rumah susun
sebagai konsumen.
BAB III : TINJAUAN UMUM HUBUNGAN KONTRAKTUAL ANTARA DEVELOPER SEBAGAI DEBITUR DAN PIHAK BANK SEBAGAI KREDITUR
Bagian ini memuat tentang teori-teori hukum yang berhubungan dengan kasus
yang dibahas dalam penulisan skripsi ini, yaitu peranan Bank dalam kegiatan
perekonomian masyarakat dan hubungan hukum antara Bank dan developer
sebagai nasabah pengguna jasa perbankan.
BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN YANG TIDAK DAPAT MELAKSANAKAN AKTA JUAL BELI ATAS SATUAN RUMAH SUSUN KARENA ADANYA WANPRESTASI YANG DILAKUKAN OLEH DEVELOPER TERHADAP BANK
Bagian ini berisi uraian yang memuat pembahasan dan analisis mengenai
hubungan kontraktual antara developer dan pihak Bank atas jaminan yang
merupakan perencanaan dari pembangunan rumah susun, tanggung jawab
hukum developer baik terhadap Bank maupun konsumen dan perlindungan
hukum bagi konsumen dalam hal terjadinya wanprestasi oleh developer
terhadap Bank dan langkah hukum yang dapat dilakukan konsumen bila
developer melakukan wanprestasi.
BAB V : PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian serta saran-saran yang relevan
WANPRESTASI YANG DILAKUKAN OLEH DEVELOPER TERHADAP BANK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna menempuh Sidang Ujian Sarjana dan meraih gelar Sarjana Hukum
Oleh :
Dina Pinkan Tambunan 1287049
Pembimbing :
Dr. P. Lindawaty S. Sewu, S.H., M.Hum., M.Kn. Dr. Yenny Yuniawaty, S.H., S.E., Ak., Not.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. P.T. X sebagai developer untuk menambah modal kerjanya mengajukan
permohonan kredit kepada Bank Y yang dituangkan dalam perjanjian Kredit
Modal Kerja Konstruksi. Untuk menjamin pengembalian kreditnya P.T. X
meletakkan jaminan atas rumah susun yang dibangunnya yang dituangkan
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Dengan demikian hubungan
kontraktual antara developer dan pihak Bank Y dituangkan dalam perjanjian
Kredit Modal Kerja Konstruksi sebagai perjanjian pokok dan APHT sebagai
perjanjian assesoir.
2. Developer bertanggung jawab untuk mengembalikan pinjamannya kepada
Bank Y sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian Kredit Modal Kerja
Konstruksi. Apabila debitur wanprestasi maka Sertipikat Hak Milik atas
Satuan Rumah Susun atas nama developer yang merupakan sertipikat induk
yang dijaminkan oleh developer masih berada dalam penguasaan Bank Y
sehingga tidak dapat dilaksanakan AJB yang mengakibatkan Sertipikat Hak
Milik atas Satuan Rumah Susun atas nama developer tidak dapat dipecah
menjadi Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun atas nama pembeli.
Pembeli satuan rumah susun membutuhkan perlindungan hukum berdasarkan
lelang yang akan melaksanakan AJB dengan pembeli satuan rumah susun dan
menyerahkan Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun kepada pembeli.
3. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun, langkah hukum yang dapat ditempuh dalam penyelesaian
sengketa di bidang rumah susun adalah dengan terlebih dahulu diupayakan
berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Jika dalam hal penyelesaian
sengketa melalui musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, pihak yang
dirugikan dapat menggugat melalui pengadilan yang berada di lingkungan
pengadilan umum atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan yang disepakati
para pihak yang bersengketa melalui penyelesaian sengketa. Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan dilakukan melalui arbitrase, konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, dan/atau penilaian ahli sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
B. Saran
Berdasarkan pembahasan dalam skripsi ini dan kesimpulan yang
dirumuskan di atas, maka penulis memberikan saran sebagai berikut:
1. Sebaiknya pemerintah lebih ketat dalam mengawasi Bank yang akan
memberikan pinjaman kepada developer, mengawasi kinerja developer pada
saat pembangunan rumah susun dan memberikan sanksi administratif kepada
developer, seperti pencabutan izin usaha hingga penutupan lokasi
hanya memikirkan kepentingan dan keuntungannya dari menjual satuan rumah
susun kepada pembeli tanpa memperhatikan kepentingan konsumen.
2. Sebaiknya ada peraturan yang mengatur jika rumah susun di lelang oleh pihak
Bank, maka syarat keikutsertaan lelang, peserta lelang sudah diminta untuk
melanjutkan pengalihan hak atas satuan rumah susun. Hal tersebut bertujuan
agar kepentingan konsumen untuk mendapat unit satuan rumah susun tetap
terlindungi. Selain itu developer P.T. X sebaiknya memberikan informasi yang
benar dan sesuai dengan kenyataannya dan tidak menyesatkan para pembeli
satuan rumah susun agar hak-haknya sebagai konsumen tidak dirugikan.
3. Sebaiknya para konsumen atau calon pembeli satuan rumah susun teliti dan
harus memahami dalam membaca dan mendengarkan informasi yang
diberikan oleh developer. Konsumen juga harus lebih waspada mengingat
seringnya pihak developer melakukan penyampaian informasi secara
berlebihan. Untuk itu konsumen perlu selektif terhadap informasi yang
diberikan dan berusaha mencocokkannya dengan kenyataan yang ada pada
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU-BUKU:
A. Anwar Prabu, Evaluasi Kerja SDM, Bandung : Sinar Grafika, 2010.
A.P Parlindungan, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung: Mandar Maju, Cetakan Ke-6, 1991.
Adrian Sutedi (1), Hukum Rumah Susun & Apartemen, Jakarta : Sinar Grafika, Cetakan Pertama, 2010.
_____________ (2), Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo (1), Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Raja Grafindo, 2000.
_____________ (2), Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta: Transmedia Pustaka, 2001.
Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalilea Indonesia, 1986.
Arie S. Hutagalung, Kondominium dan Permasalahannya, Cet I Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998.
Arie Sukanti Hutagalung, Program Retribusi Tanah di Indonesia, Jakarta : Rajawali, 1995.
Arthur P, Crabtree, You and the law, Chapter VI, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2000.
Az. Nasution (1), Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit Media, 2001.
_____________ (2), Konsumen dan Hukum, Jakarta: Sinar Harapan, 2000.
Bachsan Mustofa, Hukum Agraria dalam Perspektif, Bandung: Remadja Karya, 1998.
_____________ (2), Memperoleh Tanah bagi Keperluan Instansi Pemerintah dan Badan-Badan Hukum Milik Negara/Pemerintah Daerah, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2000.
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jilid 1. Cetakan ke-9, Jakarta: Djambatan, 2003.
Budi Santoso, Sukses Berinvestasi Tanah, Rumah, dan Properti Komersial, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2009.
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Djuhaendah Hasan. Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
Ellen Pantouw, Sumber Pinjaman untuk Usaha Anda, Jakarta: Mediatama, 2009.
Erwin Kallo, Perlindungan Hukum untuk Pemilik/Penghuni Rumah Susun, Jakarta: Minerva Athena Pressindo, 2009.
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
G.M. Verryn Stuart dalam Thomas Suyatno dkk, Kelembagaan Perbankan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993.
H. Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Jilid 1, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2004.
H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Fikahati Aneske dan BANI, 2002.
H. Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni, 2006.
H. Salim, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
H. Zainal Asikin, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010.
Howar D, Cross dan George H. Hempel, Management Politic for Commercial Bank, Prentice Hall, Inc, Englewood Cliffs, N.J. 1973.
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty, 1981.
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010.
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi 6, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Mariam Darus Badrulzaman (1), Aneka Hukum Bisnis, Bandung : Alumni, 2005.
_____________ (2), Perjanjian Kredit Bank, Cetakan kedua, Bandung: Alumni, 1983.
_____________ (3), Perjanjian Kredit Bank, Medan: Gramedia Pustaka, 2000.
_____________ (4), Keputusan-keputusan Tentang Perkara Perdata Bappit Cabang Sumatera Utara, Medan: Gramedia Pustaka, 1962.
Muhammad Yamin Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Bandung: Mandar Maju, 2010.
Munir Fuady (1), Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-Undang Tahun 1998, Buku Kesatu, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.
_____________ (2), Hukum Perbankan Modern, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.
Nurul Ichsan Hasan, Pengantar Perbankan, Jakarta: Referensi (Gaung Persada Press Group), 2014.
Oliver G. Wood, Jr, Commercial Banking, New York: D. Van Nostrand Company, 1978.
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2009.
R. Serfianto Dibyo Purnomo, Iswi Hariyani, Cita Yustisia, Kitab Hukum Bisnis Properti, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011.
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Jakarta: Bina Cipta, 1977.
R. Subekti (1), Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1979.
_____________ (2), Hukum Perjanjian, Cetakan kelima, Jakarta: Intermasa, 1975.
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Rosmidi, Mimi dan Imam Koeswahyono, Konsepsi Hak Milik atas Satuan Rumah Susun dalam Hukum Agraria, Malang : Setara Press, 2010.
Ruddy Tri Santoso, Mengenal Dunia Perbankan, Yogyakarta: Andi Offset, 1998.
S. Imran, Asas-Asas dalam Berkontrak: Suatu Tinjauan Historis Yuridis pada Hukum Perjanjian, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
S. Twum, Banking Law, London: Sweet & Maxwell, 1970.
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000.
Sentosa Sembiring (1), Hukum Perbankan Edisi Revisi, Jakarta : Mandar Maju, 2012.
_____________ (2), Hukum Perbankan Edisi Revisi, Jakarta: Mandar Maju, 2013.
Soedikno Mertokusumo, Hukum dan Politik Agraria, Universitas Terbuka, Jakarta: Karunika, 1988.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.
Subekti, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta: Liberty, 1980.
Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria (1960) dan Peraturan Pelaksanaannya (1996), Bandung : Citra Aditya Bakti, Cetakan Kesepuluh, 1997.
Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Sutedi, Hukum Perbankan, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010.
Th. Anita Christiani, Hukum Perbankan, Yogyakarta, Universitas Atma Jaya, 2001.
Totok Budisantoso dan Nuritomo, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat, 2006.
Try Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia Simpan, Jasa dan Kredit, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2006.
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Cetakan-2, Jakarta: Kencana. 2000.
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2009.
Wibowo Tunardy, Pemasaran dan Jual Beli Rumah Susun, Jurnal Hukum, 11 Maret 2015.
Winarto, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008.
YLBHI, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia : Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007.
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Bentuk dan Tata Cara Pengisian Serta Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1989 Tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Buku Tanah serta Penerbitan Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
C. KAMUS
Amran Halim, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1967.
Black’s Law Dictionary, USA: West Publishing Co, 1991.
Boedi Harsono, Berbagai Masalah Hukum Bersangkutan dengan Rumah Susun dan Pemilikan Satuan Rumah Susun, Jakarta: Majalah Hukum dan Pembangunan, 1989.
Poerwadarminta W.J.S, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cetakan ke-8, 1985.
D. HASIL PENELITIAN
Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerjasama dengan ELIPS, Hukum Jaminan Indonesia, dalam makalah yang disajikan Gerald G. Thain, Dasar-dasar Hukum Transaksi Jaminan, Jakarta: ELIPS, 1998.
Maria Theresia Geme, Perlindungan Hukum terhadap Masyarakat Hukum Adat dalam Pengelolaan Cagar Alam Watu Ata Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur, disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2012.
E. KARYA ILMIAH
Mubyarto, Demokrasi Ekonomi Pancasila, disampaikan dalam ceramah yang diselenggarakan di Gedung Kebangkitan Nasional, Jakarta, pada tanggal 16 Mei 1981.
Tan Kamello, Karakter Hukum Perdata dalam Fungsi Perbankan melalui Hubungan Antara Bank dengan Nasabah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum, diucapkan di hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara, Kampus USU, Medan, 2 September 2006.
Yohanes Sogar Simamora, Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas dalam Kontrak Pemerintah Indonesia, disampaikan dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya Pada Hari Sabtu tanggal 8 Nopember 2008.
Zumrotin, Problematika Perlindungan Konsumen di Indonesia, Sekarang dan yang Akan Datang, Makalah, Disampaikan dalam Seminar Nasional Perlindungan Konsumen dalam Era Pasar Bebas yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tanggal 15 Maret 1997, Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Wawancara dengan Bapak Agus Setiawan selaku Legal Officer di P.T. Istana Group Bandung, pada tanggal 10 Juni 2016 di Ruang Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha Bandung.
Wawancara dengan Bapak Arman Tjoneng selaku Pengacara, pada tanggal 1 Juni 2016 di Ruang Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha Bandung.