• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN UPAH MENURUT UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERLINDUNGAN UPAH MENURUT UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN UPAH

MENURUT UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Oleh Sihar Sihombing

Fakultas Hukum Universitas Jakarta siharsih@yahoo.co.id, sirossih@gmail.com

ABSTRAK

Setiap pekerja/buruh dalam bekerja mengharapkan upah/gaji yang diterima sesuai dengan yang diharapkan dan diterima (saat gajian) tepat waktu sampai pensiun. Kepastian jaminan gaji ini diterima pekerja/buruh selalu tepat waktu, dengan jumlah setidaknya minimum sama dengan ketentuan yang ditetapkan pemerintah diharapkan oleh setiap pekerja/buruh mendapat perlindungan dari pemerintah atau undang-undang disetiap akhir bulan atau awal bulan pasti gajian dibayar tepat waktu oleh perusahaan, sehingga pekerja/buruh merasa aman dan nyaman bekerja mulai dari awal hubungan kerja sampai pensiun/berhenti bekerja dari perusahaan.

Kenyataan menunjukkan tidak selalu demikian, demikian juga dalam penyesuaian/kenaikan upah tidak sesuai dengan ketentuan peraturan dari waktu ke waktu diharapkan mengalami penyesuaian atau kenaikan. Disi lain, pembayaran upah juga belum tentu selalu akan terjamin dibayar tepat waktu. Untuk menciptakan ketenangan kerja bagi pekerja mengharapkan perlu mendapat perlindungan jaminan yang kuat dari segi peraturan perundang-undangan,

Kata kunci: Pekerja/Buruh, Perlindungan dan Upah.

ABSTRACT

Every worker/labourer at work expects wages/salaries to be received as expected and received (at pay day) on time until retirement.

The assurance that this salary guarantee is received by the worker/labourer is always on time, with a minimum amount that is at least equal to the provisions set by the government. It is hoped that every worker/labourer will receive protection from the government or the law at the end of each month or the beginning of the month.

so that workers/laborers feel safe and comfortable working from the beginning of the employment relationship until retirement/quitting from the company. The fact shows that this is not always the case, as well as adjust- ments/increases in wages that are not in accordance with the provisions of the regulations from time to time, it is expected that there will be adjustments or increases. On the other hand, payment of wages is also not always guaranteed to be paid on time. To create peace of mind for workers, it is hoped that they need to get strong guarantee protection in terms of laws and regulations.

Keywords: Workers/Labourers, Protection and Wages.

(2)

PENDAHULUAN

Berjalannya waktu setelah disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja, maka semua peraturan pelaksanaannya sudah diterbitkan dalam waktu kurang dari satu tahun.

Secara teknis melalui berbagai peraturan teknisnya Undang-Undang Cipta Kerja sudah dapat diterapkan melalui peraturan teknis pelaksanaannya tersebut. Selanjutnya masyarakat pekerja sekarang sudah dapat melihat dan merasakan bagaimana sebenarnya satu persatu realisasi dari ketentuan pasal-pasal Undang-Undang Cipta Kerja tersebut. Sekarang saatnya para pekerja dengan Serikat Pekerja/ Serikat Buruh dapat melihat, merasakan dan membuktikan khususnya bagaimana pelaksanaan perlindungan upah di dalam Undang- Undang Cipta Kerja ini.

Pertanyaannya: Apakah terjadi peningkatan yang lebih baik atau sebaliknya justru penurunan yang terjadi? Semua janji pemerintah dan suara gemuruh demonstrans pekerja yang mengkhawatirkan, menyuarakan inspirasi mereka melalui berbagai Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh dari berbagai sektor di Indonesia dan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) benar-benar dapat melihat dan merasakan secara pelan dan pasti satu demi satu bagaimana perubahannya dalam realita Undang-undang Cipta Kerja ini.

Dari semua informasi, data dan pendapat dari berbagai pihak, termasuk dari para ahli, sekarang saatnya untuk nilai serta membuktikan bagaimanakah fakta konkritnya Undang- Undang Cipta Kerja, khususnya di dalam perlindungan upah bagi pekerja dapat memberikan jaminan perlindungan upah pekerja/buruh yang lebih baik.

Dalam penelitian ini penulis akan fokus menyoroti Undang-Undang Cipta Kerja dengan turunannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya di dalam Bab X Perlindungan, Pengupahan, dan dan turunannya di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupanan, bahkan lebih teknisnya di tingkat Menteri.

A. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini, di rumuskan masalahnya sebagai berikut:

1. Apakah Undang-Undang Cipta Kerja dapat memberikan jaminan perlindungan upah bagi pekerja/buruh yang lebih baik?

2. Bagaimanakan pandangan pekerja/buruh atas perlindungan upah yang diatur di dalam Undang-Undang Cipta Kerja ini?

(3)

3. Bagaimanakan pandangan pemberi kerja/pengusaha atas perlindungan upah yang diatur di dalam Undang-Undang Cipta Kerja ini?

B. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Adapun tujuan dari kajian penelitian ini adalah;

1. Untuk membuktikan apakah terpenuhi prinsip pembentukan Undang-Undang, dimana Undang-undang yang baru lebih baik dari Undang-undang sebelumnya dalam mengatur hal yang sama;

2. Untuk memberikan pembuktian dengan fakta, apakah janji pemerintah di dalam pasal-pasal Undang-Undang Cipta Kerja mencerminkan perlindungan upah yang lebih baik dan aman bagi pekerja/buruh.

Sedangkan manfaat penelitian ini adalah:

1. Untuk memberikan fakta secara teori di dalam prinsip pembaharuan/perubahan suatu Undang-Undang yang baru dalam hal ini Undang-Undang Cipta Kerja tercermin lebih baik dari yang lama khususnya bagi pekerja dalam Undang-Undang Cipta Kerja 2. Untuk memberikan suatu pandangan pemahaman kepada masyarakat pada umumnya, jika ada suatu proses pembuatan Undang-Undang di DPR, maka semua lapisan masyarakat sebaiknya dapat menahan diri untuk tidak mudah berkomentar, mudah terprovokasi atau menyimpulkan sesuatu hal dimana kenyataannya atau hasilnya belum tentu sama dengan yang dikatakan orang-orang yang berbicara, tetapi masyarakat yang terkait dengan materi proses suatu Undang-Undang itu sendiri sudah menjadi resah;

3. Dapat dijadikan sebagai salah satu bahan penelitian lanjutan bagi yang berminat.

C. METODE PENELITIAN

Untuk mendapatkan data yang akurat penulis memakai metode penelitian sebagai berikut:

1. Deskriptif Analisis dengan pendekatan yuridis normatif dalam bentuk statute approach baik berupa legislasi maupun regulasi dalam bentuk pencarian asas hukum, interpretasi hukum sesuai dengan konteksnya yaitu mengacu pada bahan hukum primer yaitu:

a. Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja,

b. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, c. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 Tentang Pengupahan,

(4)

d Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 Tentang Pengupahan,

e. Peraturan pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Perlindungan Upah, dan f. Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 102 tahun 2004

Tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.

Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif atau hukum normatif. Analisis berarti mengolah data, mengorganisir data, memecahkannya dalam unit-unit yang lebih kecil, mencari pola dan tema-tema yang sama. Analisis dan penafsiran selalu berjalan seiring.

Pendekatan Undang-Undang ini dilakukan dengan mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan permasalahan yang penulis akan bahas. Dengan menelaah tersebut akan menghasilkan argumen untuk menganalisis dan memecahkan isu yang terjadi.

2. Penelitian Kepustakaan (library research) adalah penelitian yang bersumber dari ba- han pustaka berupa: buku-buku, hasil penelitian, tulisan-tulisan, jurnal, dokumen resmi dan artikel dari media cetak atau elektronik, serta bahan-bahan lainnya yang

3. Metode dan Teknik Pengumpulan Data,

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Karena data dan analisis data yang digunakan bersifat naratif dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang menggunakan penalaran. Analisis kualitatif adalah dari data atau dokumen yang di edit dan di pilih menurut kategori masing-masing dan kemudian dihubungkan satu sama lain atau ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban atas masalah penelitian.

D. PEMBAHASAN

Untuk menyamakan persepsi akan pemakaian istilah yang terkait langsung dengan topik bahasan ini, sebelum peneliti menyampaikan beberapa istilah sebagai kerangka landasan teori dalam tulisan sehingga siapapun yang membaca tulisan ini akan mempunyai pemahaman dasar yang sama atas kata kunci atau yang terkait lainnya yang terdapat dalam tulisan ini antara lain:

1. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 ayat 3 UU No. 13 Tahun 2003);

(5)

2. Perlindungan dalam kamus besar Indonesia berasal dari kata per·lin·dung·an yang artinya 1. tempat berlindung; 2. hal (perbuatan dan sebagainya) memperlindungi;

adalah memberikan perlindungan.1

Dalam tulisan ini perlindungan pekerja/buruh adalah perbuatan, dalam hal ini melalui pembuatan Undang-Undang yang dapat memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh;

3. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan (Pasal 1 ayat 30 UU No. 13 Tahun 2003)2.

4, Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan- badan yang lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 ayat 4 UU No. 13 Tahun 2003);

Dalam pembahasan tulisan ini supaya lebih mudah memahami dan melihat faktanya penulis membandingkan secara langsung, bagaimana pengaturan jaminan perlindungan upah menurut:

I. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, khususnya pasal 88 sampai dengan pasal 98 dan dengan peraturan teknis pelaksanaannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 Tentang Pengupahan.

II. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dalam Bab X dengan judul Perlindungan, Pengupahan dan Kesejahteraan diatur mulai dari pasal 67 sampai dengan pasal 101. Dalam tulisan ini akan fokus pada perlindungan pengupahan yang diatur di dalam pasal 88 sampai dengan pasal 98. dengan peraturan teknis pelaksanaannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 Tentang Pengupahan serta peraturan teknisnya di dalam Peraturan Menteri Tenagakerja Nomor 102 tahun 2004 Tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.

1.KBBI Daring, “Perlindungan”, https://kbbi.web.id diakses 2 Mei 2021.

2.Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (LN. No. 39 Tahun 2003) Pasal 1 ayat 30

(6)

Untuk memudahkan di dalam melihat hasil dari penelitian ini, penulis akan menyajikan satu persatu pasal-pasal Undang-undang Cipta Kerja yang mengatur tentang pengupahan mulai pasal 88 sampai dengan pasal 98 dikaitkan dengan peraturan teknisnya di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan dan dengan Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan peraturan teknisnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021. Lebih lanjut diuraikan sebagai berikut:

1. Dalam isi pasal 88 Undang-Undang Cipta Kerja, ayat 1 dikatakan bahwa Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Isi pasal 88 ayat (1) ini persis sama dengan pasal 88 ayat 1 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun penulis ingin menggaris bawahi pengertian dari penghidupan yang layak sebagaimana di dalam penjelasan dari pasal 88 Undang- Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi:

“yang dimaksud dengan penghasilan yang layak adalah jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasai, dan jaminan hari tua”3.

Hal ini penulis sajikan supaya di dalam bahasan lebih lanjut setiap yang membaca tulisan ini akan dapat menyimpulkan sudahkah semua pasal-pasal dari Undang-undang Cipta Kerja dengan Peraturan Pelaksanaannya sudah mencerminkan kebijakan yang yang akan memberikan perlindungan penghidupan yang layak bagi pekerja/buruh, khususnya dari segi finansial/pengupahan dan dari segi ketenangan kenyamanan bekerja yang mencerminkan adanya perlindungan yang lebih baik? Termasuk di dalam ketepatan pembayaran upah sesuai dengan waktu yang ditentukan sebelumnya? lebih lanjut dapat disimak dari hasil tulisan ini.

Penulis berpendapat lalu bertanya: kenapa beberapa item di dalam ayat 3 pasal 88, benarkah dibuang/dihapuskannya beberapa item itu tidak ada masalah dan tidak ada terindikasi hal-hal yang berpotensi menjadi hak atau perlindungan pekerja/buruh yang ada terkandung di dalamnya dihapus/tiadakan?

3.Ibid Penjelasan pasal 88 ayat (1).

(7)

Fairuz Kiron mengatakan di dalam tulisannya Polemik Kecacatan Formil Undang- Undang Cipta Kerja mengatakan bahwa sejak awal RUU Cipta Kerja Omnibus memang bermasalah, dimana banyak pasal-pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja menghilangkan hak buruh/tenaga kerja dan pengusaha diuntungkan 4 . Dalam bahasannya juga mengatakan segi pengupahan menjadi salah satu yang bermasalah.

Jika dilihat sekilas secara kasat mata terlihat sama dengan isi pasal 88 Undang- Undang Cipta Kerja sama dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 dan item ayat yang dihapus sekilas melihat secara sumir terkesan sudah terakomodasi didalam pasal 88 ayat 3 Undang-Undang Cipta Kerja.

Namun jika dilihat secara harfiah hanya berbeda sedikit pada ayat 3 dalam kebijakan pengupahan dirinci hanya point a sampai dengan g (ada 7 point), sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diatur point a sampai dengan point k (ada 11 point). Dengan kata lain ada 4 (empat) poin atau hal yang dihapus. Sekilas dari 4 point itu tidak langsung secara tegas dihapus atau dibuang, tetapi ada diakomodasikan dipasal lain yang dianggap penempatannya lebih tepat.

Namun jika dikaji dan disimak lebih seksama benarkah tidak ada indikasi lain yang akan berpotensi merugikan bagi pekerja/buruh dihapus dari pasal 88. Ketentuan yang tidak dimasukkan atau dihilangkan di dalam pasal 88 Undang-Undang Cita Kerja adalah:

a. ayat (3) e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, b. ayat (3) g. denda dan potongan upah,

c. ayat (3) j. upah untuk pembayaran pesangon, dan d. ayat (3) k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Khusus point a dan b sudah diatur dimasukkan ke dalam pasal yang lain dalam topik yang terkait langsung, sedangkan point c dan point d di dalam Undang-undang Cipta Kerja dirangkum dalam satu kalimat sebagaimana isi di dalam pasal 88 ayat (3).g.

upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajibannya.

Ketentuan ini menghilangkan kepastian yang sudah jelas dan memberikan satu jaminan bagi pekerja cara perhitungannya dengan dasar hukum yang jelas dan kuat, sehingga tidak ada multi tafsir/salah pengertian menurut keinginan pihak pengusaha sendiri yang berpotensi merugikan pekerja dan tidak sesuai dengan Undang-Undang.

4 Fauzul Kirom Politik: “Polemik Kecatatan Formil Undang-undang Cipta Kerja” Retizen (republika.co.id), diakses 3 Pebruari 2022.

(8)

Pasal 88 (4) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 dihapus dan di dalam Undang- Undang Cipta kerja bunyi ayat (4) adalah ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan. Dari judul ini jelas tidak tergambar satu penekanan bahasa yang mencerminkan memberikan jaminan perlindungan dalam pengupahan. Jika kita lihat dan bandingkan bagaimana waktu yang lalu di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1981 judulnya jelas dikatakan tentang PERLINDUNGAN UPAH5. Sehingga di dalamnya terlihat pada umumnya tercermin dan tersirat berbagai perlindungan masalah upah untuk pekerja/buruh.

Pertanyaan lebih lanjut: Apakah Peraturan Pemerintah sebagai turunan dari Undang- Undang Cita Kerja tersebut mencerminkan yang lebih baik dari peraturan yang terlama dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981? Untuk itu harus dijawab setelah dibaca dan disimak isinya dengan seksama tentu akan kita jawab belum atau kalau mau lebih tegas tidak.

2. Dalam penambahan 5 (lima) pasal diantara pasal 88 dengan pasal 89 menjadi Pasal 88A, Pasal 88B, Pasal 88C, Pasal 88 D dan Pasal 88E isinya adalah mengambil ketentuan dari pasal-pasal dari Peraturan Pemerintah Nomor: 78 Tahun 20156, digabung/ dirangkum dengan pasal 88 dan 89 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 lalu memuat ulang lalu dikelompokkan dalam satu urutan pasal yang berdekatan karena mengatur hal yang saling terkait dekat satu sama lainnya di dalam Undang- Undag Cipta kerja . Misalnya pasal 88A:

Ayat (6) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.

Ayat (7) Pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.

Ayat (8) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh dalam pembayaran upah.

Ketentuan ketiga ayat ini persis sama pengulangan dari pasal 92 ayat 1, 2 dan 3 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan di dalam

5 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, yang sudah dihapus dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan

6 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan

(9)

turunannya pasal 55 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan.

Yang menarik di dalam pengaturan sanksi atas pelanggaran pasal 88A persis pengaturannya di dalam pasal 185 Undang-undang Cipta Kerja percis sama dengan pasal 185 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Peneliti menemukan suatu hal yang mungkin bisa dibilang unik dan menjadi pertanyaan di hati adalah pasal 88A ayat (3) yang mengatakan bahwa pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja/buruh sesuai dengan kesepakatan. Jika terjadi pelanggaran terhadap kewajiban ini oleh perusahaan akan dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam pasal 185 yang berbunyi: “Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (3), Pasal 88E ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1), atau Pasal 160 ayat (4) dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).”

Pertanyaan yang timbul adalah apakah perhitungan denda di tahun 2003 saat Undang-undang Ketenagakerjaan ditetapkan tanggal 2 Nopember 2003 yang saat itu nilai tukar rupiah ke dolar US = RP.8902/dolar. Sehingga jika denda saat itu Rp.

100.000.000,00: 8902/dolar = 11.233,43069 US $. Jika ini dikurskan ke rupiah untuk pelangaran kasus yang sama dalam Undang-undang Cipta Kerja tanggal 2 Nopember 2020, dimana nilai tukar rupiah ke dolar US saat itu = Rp. 14.650, maka nilai hukuman denda sedikitnya 11.233,43069 US $ X Rp. 14.650 = Rp. 164.569.759,61.

Berdasarkan fakta ini penulis berpendapat:

a. Apakah di dalam peraturan/perundang-undangan yang dibuat bisa menentukan nilai sanksi denda dikaitkan dengan nilai dolar saat diundangkan dan saat diterapkan sesuai dengan nilai tukar rupiah dalam acuan nilai dolar yang ditentukan saat penetapan peraturan tersebut, atau

b. Nilai sanksi saat Undang-Undang ditetapkan dikonversi dengan harga emas logam mulia/gram = berapa gram (berat) emas logam mulia saat peraturan itu ditetapkan.

Sehingga saat sanksi dijatuhkan hukuman ke pengusaha maka sanksi tersebut dikonversi ke berat emas logam mulia saat peraturan itu ditetapkan baru diperhitungkan dengan harga emas logam mulia saat sanksi itu dijatuhkan, itulah besaran sanksi hukumannya.

(10)

c. Saat penetapan peraturan perundang-undangan yang baru untuk mengganti/

mencabut yang lama nilai sanksi dendanya ditetapkan/disesuaikan dengan perkembangan nilai tukar saat ditetapkan, Dalam arti nilai besaran jumlah rupiah saat ketentuan lama dengan ketentuan baru nilainya tidak sama, karena ada pengaruh nilai tukar dolar dengan rupiah atau pengaruh inflasi, atau

d. Ditetapkan nilai besaran denda yang baru tidak sama dengan nilai yang ditentukan dalam ketentuan lama, tetapi tidak juga harus sama dengan jika diperhitungkan dengan nilai tukas dolar saat ketentuan lama dengan nilai tukar dolar saat ketentuan baru dirubah/ditetapkan.

Jika kita melihat logika angka kurs hukuman denda untuk pelanggaran pasal 88A di tahun 2020 sedikitnya jika tidak sama dengan Rp. 164.569.759,64 logikanya tidak akan tetap sama hanya Rp.100.000.000,- Namun ini hanya pendapat pribadi penulis.

Dari aspek logika penghitungan nilai denda dipengaruhi oleh inflasi ini penulis belum mendalami secara khusus, sehingga ketentuan hukuman denda tahun 2003 bisa persis sama besarnya dengan tahun 2020 dalam konteks kasus yang sama tidak akan dibahas lebih dalam di dalam tulisan ini.

3. Dalam pasal 88B yang mengatakan:

(1) Upah ditetapkan berdasarkan: a satuan waktu; dan/atau b. satuan hasil.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 88B ayat (1) isinya persis sama dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Hanya saja perbedaannya di dalam Undang-Undang Cipta Kerja ditambah ayat (2) yang mengatakan ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dengan kata lain sudah diatur dari pemerintah pusat, dan tidak ada lagi kewenangan Menteri untuk itu.

4. Dalam pasal 88C ini prinsipnya adalah sama dengan bunyi pasal 45 dan 46 Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 20015. jadi tidak ada hal yang baru. Hanya saja yang menjadi sorotan disini adalah di dalam Undang-Undang Cipta Kerja tidak ada dimuat bahwa penetapan upah minimum itu didasarkan atas kebutuhan hidup layak sebagaimana di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015. Tetapi hanya dikatakan bahwa penetapan Upah Minimum itu didasarkan hanya atas dasar pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi pada Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

(11)

Jadi disini jelas terlihat tidak ada sedikitpun pola kebijakan pengupahan yang berpihak pada buruh/pekerja termasuk di dalam pertimbangannyapun juga tidak memikirkan kehidupan layak sebagaimana disebutkan di dalam pasal 88, apalagi untuk merealisasikannya adalah akan lebih sulit. Disini terbukti berbagai hal yang dikhawatirkan pekerja/buruh itu terealisir dihilangkankan yang secara keuangan langsung juga di dalam pola pikir/prinsip perlindungan dihapus/dibuang. dan tidak terlihat ada itikad pembuat Undang-Undang memberikan dasar atau pondasi yang kuat tentang jaminan perlindungan terkait upah bagi pekerja/buruh.

Sekilas terlihat seolah-olah mau memberikan kedudukan hukum yang lebih kuat, tetapi disisi yang lain secara tegas dan kuat menghilangkan dasar pemikiran kebijakan penentuan/ penetapan upah minimum itu.

Hal lain yang dapat dicatat disini tadinya pengaturan lebih lanjut secara teknis tentang Upah Minimum cukup ditingkat Menteri, tetapi sekarang di tingkat Presiden langsung.

5. Pasal 88D memuat tentang formula perhitungan upah minimum, yang lebih didetailkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan mulai pasal 26 s/d pasal 30. Dimana formulanya didasarkan pada kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan saja. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketengakerjaan tidak diatur, namun lebih detail diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015, khususnya pasal 44 yang formula perhitungannya di dasarkan pada biaya hidup yang layak dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Dari dasar pola pikir penentuan/penetapan upah minimum ini sudah akan tergambar hasil akhirnya. Sudah barang tentu Undang-Undang Cipta Kerja tidak akan sampai pada satu titik tujuan harapan yang dicapai buat pekerja tidak ada pemikirannya pada kebutuhkan kehidupan yang layak bagi pekerja/buruh, akhirnya sudah pasti terlihat diakhirnya kelak tidak akan tercipta perlindungan pengupahan buruh/pekerja yang ditetapkan, karena itu tidak masuk dalam pertimbangan/pemikiran dalam penetapannya.

6. Pasal 88E dalam Undang-Undang Cipta Kerja hanya menegaskan upah minimum tersebut hanya berlaku untuk pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari satu tahun dan ditegaskan juga pengusaha tidak boleh membayar upah lebih kecil dari upah minimum. Jika terjadi pelanggaran akan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat

(12)

ratus juta rupiah), sesuai dengan ketentuan pasal 185. Pasal ini hanya menempatkan ulang dari pasal 90 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Jadi pasal 88E hanya hal ini bukan hal yang baru dan bukan menunjukkan perlindungan upah bagi para pekerja/buruh.

7. Pasal 89 dan 90 dihapus, karena sudah dimuat ulang di dalam pasal 88D dan 88E dengan catatan diatas tadi bahwa minus dasar pemikiran pertimbangan pengupahannya nya tidak ada untuk memenuhi kebutuhan hidup layak pekerja/buruh sebagaimana di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Thun 2003.

8. Diantara pasal 90 dan 91 disisipkan 2 (dua) pasal yaitu pasal 90A dan 90B, ketentuan pasal 90A hanya menekankan bahwa untuk upah yang diatas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buru dengan pemberi kerja. Dalam hal ini hanya tergantung pada kebaikan pemberi kerja/pengusaha, karena pekerja tidak punya daya tawar, dan disisi lain pemerintah atau peraturan tidak memberikan sedikitpun arahan/petunjuk untuk meninjau dengan memperhatikan prosentasi kenaikan upah minimum atau yang lainnya.

9. Pasal 90B berbunyi:

(1) Ketentuan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan bagi Usaha Mikro dan Kecil.

(2) Upah pada Usaha Mikro dan Kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/ buruh di perusahaan.

(3) Kesepakatan upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya sebesar persentase tertentu dari rata-rata konsumsi masyarakat berdasarkan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah bagi Usaha Mikro dan Kecil diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal ini bisa diterima sebagai kekhususan, karena benar-benar untuk menumbuhkan Usaha Mikro, namun diharapkan perlu diawasi benar-benar supaya pekerja/buruh tidak menjadi korban dan dieksploitasi, atau tidak terjadi penyalahgunaan.

10. Pasal 91 dihapus, khusus ayat satu yang menyatakan kesepakatan upah antara pekerja/

buruh dengan pemberi kerja tidak boleh lebih rendah dari peraturan perundang- undangan yang berlaku sudah dimuat di pasal sebelumnya di dalam pasal 88A ayat (4) dan 88E ayat (2), hanya sanksi pelanggarannya hanya di dalam pasal 88A ayat (5) batal demi hukum. Tidak ada sanksi lainnya, tentu ini sangat ringan jika dibanding dengan sanksi di dalam pasa1 91 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang dihapus berbunya:” Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan

(13)

tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan ini mengatur lebih lanjut atas penyimpangan tersebut yang menyebutkan perusahaan wajib membayar upah buruh/pekerja sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Sekilas redaksional pasal ini sederhana, tetapi disini tercermin adanya pemikiran kebijakan perlindungan pengupahan bagi buruh dan adanya kepastian yang jelas atas besaran upahnya. Inilah perlindungan upah itu salah satunya, yang tidak dimiliki oleh Undang-Undang Cipta Kerja di dalam pengaturan hal yang sama.

11. Pasal 92 Undang-undang Ketenagakerjaan teridi dari 3 ayat, sementara Undang- Undang Cipta kerja terdiri dari 3 ayat. Perubahan pasal 92 ini ada 2 (dua) hal yang menjadi sorotan penulis yaitu:

a. Isinya tidak begitu membawa arti buat pekerja/buruh, karena hanya konsep narasi saja di ayat (2) yang mengatakan struktur dan skala upah digunakan sebagai pedoman pengusaha dalam menetapkan upah. Dalam perubahan ini tidak ada terlihat dampak finansial buat pekerja/buruh. Justru di dalam penerapannya cenderung perngusaha membuat struktur upah yanag akan merugikan pekerja. Dimana di dalam keseharian banyak perusahaan membuat gaji pokok dan tunjangan tetap kecil, sedangkan tunjangan tidak tetap besar, sehingga kalau satu hari saja pekerja tidak masuk kerja potongonnya sangat terasa besarnya bagi. Disamping itu hal-hal lain kebijakan perusahaan terkati dengan upah maka nilai nominalnya akan cenderung kecil karena didasarkan atas gaji pokok yang tidak mencapai 75%

dari upah.

b. ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur upah dan skala upah diatur dalam Peraturan Pemerintah. Ini prinsipnya sama dengan ayat 3 Undang- Undang Ketenagakerjaan, hanya saja ketentuan lebih lanjutnya diatur oleh Menteri. Disini terlihat kewenangan Menteri sudah dipangkas.

Sementara disisi lain penambahan pasal 92A yang mengatakan “ Peninjauan melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas”. ketentuan ini persis sama cdengan pasal 92 ayat (2). Jadi tidak ada gunanya mesti dibuat penambahan satu pasal tersendiri. Seolah-olah ada penonjolah perhatian pada

(14)

pekerja/buruh di anak kalimat yang mengatakan: ”dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas” ini tetap sangat berpeluang besar menghapus hayalan tiap tahun akan ada peninjauan upah. Fakta menyatakan kebanyakan pengusaha selalu berdalih perusahaan merugi, atau paling tidak disampaikan tidak tercapai target, jadi tidak ada kenaikan upah.

Dikatakan bahwa diantara pasal 92 dan 93 disisipkan 1 (satu) pasal yakni pasal 92A.

Setelah pasal 92A langsung membahas pasal 94. Bagaimana status pasal 93? Tidak ada pernyataan dihapus atau dirubah. Ini menjadi pertanyaan serius karena pasal ini isinya menyangkut hak-hak riil pekerja yang detail diatur dengan dasar hukum yang kuat yaitu undang-undang. Diundang-undang ini yang merupakan kewajiban mutlak pengusaha/ pemberi kerja dihilangkan, tidak diatur tetapi ditempatkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 pasal 40 ayat (2), (3) dan (4). Yang paling menyangkut perlindungan upah bagi pekerja/buruh yang tidak masuk kerja namun tetap dibayar tadinya diatur/ditentukan dalam Undang-Undang berapa hari masing- masing hak pekerja di dalam ketentuan lama, tetapi sekarang di semua ketentuan Peraturan Pemerintah tersebut tidak satupun ditetntukan.7

12. Pasal 94: Prinsipnya persis sama dengan pasal 94 Undang-undang Ketenagakerjaan yang memua “t…….maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% (tujuh puluh lima perseratus)…. menjadi …… besarnya upah pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) ….” terlihat hanya sekedar redaksional tadinya disebut sedikit- dikitnya menjadi paling sedikit pengertiannya di dalam realita penerapannya sama saja Menurut peneliti redaksional ini tidak punya arti lebih baik untuk membawa dampak perlindungan kepada pekerja/ buruh.

13. Pasal 95 Undang-Undang Ketenagakerjaan memuat 4 ayat, dimana ayat pertama berbicara tentang pelanggaran karena kesengajaan atau kelalaian pekerja/buruh akan dikenakan denda. Ini dihapus dari pasal 95 Undang-Undang Cipta Kerja, tetapi sudah diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36Ttahun 2021 pasal 59.

Sedangkan ayat 2 tentang keterlambatan pembayaran upah akan dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh. Ini dihapus dan tidak

7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2021 tentang pengupahan, pasal 40 ayat (2) – ayat (4).

(15)

dimuat dalam pasal 95 Undang-Undang Cipta Kerja, karena sudah dimuat di dalam pasal 88A ayat (6). Kedua ayat ini telah ditempatkan sama nilainya di dalam Undang- Undang Cipta Kerja. Selanjutnya ayat 3 dan 4 Undang-Undang Cipta Kerja dimuat dalam pasal 95 Undang-Undang Cipta Kerja dirinci menjadi 3 ayat yang berbunyi demikian.

(1) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, upah dan hak lainnya yang belum diterima oleh pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.

(2) Upah pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya sebelum pembayaran kepada semua kreditur.

(3) Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.

Letak permasalahannya, khusus bagi yang tidak teliti disinilah salah satu hilangnya perlindungan upah dan hak lainnya dari pekerja/buruh di ayat (3) jelas hak lainnya itu adalah termasuk uang pesangon, uang jasa dan hak-hak lainnya terkait dengan upah di dalam hal perusahaan pailit bukan lagi utang yang didahulukan pembayarannya. Tetapi itu baru dibayar jika ada sisa dari pemegang hak jaminan atas kebendaan. Dengan demikian jika tidak ada sisanya pupuslah harapan pekerja/buruh untuk mendapatkan uang pesangon atau uang pisah dan uang yang lain ya.

Hal ini jelas-jelas penurunan mutu undang-undang baru, yang jelas-jelas merugikan buruh/pekerja dan hilanglah perlindungan hukumnya. Pasal ini terlihat sangat jelas mengalirnya menghilangkan hak pekerja/buruh dan memberikan hak utama kepada pihak lain khususnya pemegang hak jaminan atas kebendaan yang jelas adalah pihak perusahaan pemilik uang banyak.

14. Pasal 96 Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.

Pasal ini dihapus di dalam Undang-Undang Cipta Kerja, hal ini berati tidak ada waktu kadaluarsa untuk menuntut pembayaran upah dan hak-hak lainnya yang timbul dari

(16)

hubungan kerja. Hal ini dapat dimaknai berbeda oleh dua pihak atau sisi yang akan menafsirkan sesuai dengan kebutuhannya antara lain:

1. Bagi pengusaha setelah terjadi pemutusan hubungan kerja maka saat itu selesai tidak ada lagi keterkaitannya dengan pembayaran uang terkait upah. Tidak ada istilah masih kurang atau keliru masih ada yang belum diperhitungkan dan dibayar perusahaan, atau suatu waktu tertentu tidak bakal ada lagi tuntutan terkait upah pekerja yang sudah berakhir hubungan kerjanya dengan perusahaan.

2. Bagi pekerja berarti kadaluarsa untuk menggugat haknya yang timbul karena hubungan kerjanya yang sudah lampau lama bisa dituntut kembali beberapa tahun kemudian tidak ada batasnya,

Kondisi ini berpotensi untuk menimbulkan perselisihan antara pengusaha/

pemberi kerja dengan pekerja/buruh.

15. Pasal 97 Dihapus dimana pasal ini sebenarnya berbicara tentang penghasilan yang layak, dalam kebijakan pengupahan kebutuhan yang layak dan perlindungan pengupahan sebagaimana diatur dalam pasal 88 Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 itu dihapus.

Hal yang sangat krusial disini adalah hal-hal yang menyangkut dengan kebijakan pengupahan yang mencerminkan perlindungan pengupahan bagi pekerja/buruh dihapus dan memang terlihat satu persatu digerogoti secara halus perlindungan itu dihapus, termasuk seperi di dalam pasal 95 dan 96 sebagaimana diuraikan diatas.

16. Pasal 98 hanya sekedar tambahan pertimbangan yang kurang dimaknai besar buat perlindungan pengupahan bagi pekerja/buruh. Hanya ditambahkan keanggotaan Dewan Pengupahan dengan menyertakan Pakar. Pertanyaannya akankah masuknya anggota dari kepakaran akan dapat berpengaruh dalam menentukan rumusan kebijakan berdampak pada besaran usulan pengupahan? atau siginifikankah pakar di dalam meberikan pembelaan perlindungan kepada pekerja/buruh?

Dari sudat pandang pekerja/buruh belum bisa merasa optimis dan berharap banyak punya posisi dan daya suara anggota pakar yang kuat untuk memberikan warna yang membawa inspirasi hati nurani pekerja/buruh.

Dari uraian daitas terlihat bahwa kebijakan/pengaturan terkait perlindungan pengupahan sudah ditangani langsung ditingkat Presiden melalui Peraturan, tidak ada lagi di tingkat Menteri.

(17)

PENUTUP 1. Simpulan

Berdasarkan uraian pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a. Bahwa Undang-Undang Cipta Kerja dalam memberikan Perlindungan Upah bagi Pekerja/buruh, sangat jauh dari harapannya bahkan bukan lebih baik, tetapi cenderung semua mengecewakan, karena nyatanya semua mengarah kepada penurunan, pengurangan dan bahkan penghapusan perlindungan hak-hak pengupahan dari pekerja/buruh.

b. Pandangan pekerja/buruh atas perlindungan upah yang diatur di dalam Undang- Undang Cipta Kerja sangat mengecewakan karena:

1) tidak hanya berkurang atau menurun, tetapi bahkan ada yang dihapus, termasuk di dalam pasal-pasal Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang sudah baikpun turut dihapus.

2). pekerja/buruh menilai anggota DPR sama sekali tidak mendengan suara, usulan bahkan demo yang dilakukan pekerja/buruh tidak berarti dan pemerintahpun dilihat tidak ada membela apalagi berpihak kepada pekerja/buruh.

3). pemerintah atau pejabat yang berbicara dinilai pekerja/buruh omong kosong saja.

4). pekerja/buruh menilai pihak pengusaha/pemberi kerja berhasil sukses besar melobby DPR dan pemerintah sehingga semua keinginannya nyata-nyata atau secara halus redaksional bahasanya diberbagai kewajibannya dikurangi, bahkan dihapus.

c. Pandangan pemberi kerja/pengusaha atas perlindungan upah yang diatur di dalam Undang-Undang Cipta Kerja sangat baik, dan berjalan lancar, karena disana sini keberpihakan isi undang-undang tersebut banyak mengurangi kewajibannya bahkan beberapa diantaranya dihapus. Sehingga hasilnya sangat memuaskan bagi mereka.

Demikian juga pandangan pekerja/buruh terhadap pengusaha/pemberi kerja.

2. Saran

Berdasarkan hasil kajian penelitian penulis dan kesimpulan di atas disampaikan saran sebagai berikut:

a. Harapan masyarakat sama dengan filosofi/prinsip pembuatan perubahan peraturan lama ke yang baru seogianya harus lebih baik jangan lebih buruk, khususnya untuk

(18)

pihak-pihak yang tidak berdaya perlu dilindungi dengan prinsip hukum tersebut perlu dilindungi.

b. Dengan disahkannya Undang-Undang baru setahun kemudian idealnya sudah turun/terbit peraturan teknis ditingkat Menteri sebagaimana diterapkan di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, misalnya Peraturan Menteri tentang Upah Minimum, Peraturan tentang waktu kerja lembur dan upah kerja lembur dan yang lainnya.

c. Untuk meminimais masalah atas pasal-pasal krusial di dalam Undang-Undang Cipta Kerja, perlu dengan cerdas dan segera disikapi dengan menuangkannya ke dalam Peraturan Pemerintah atau melihat selah melalui Peraturan Menteri.

d. Saat pembahasan suatu Undang-Undang sedianya Pemerintah bersama dengan DPR seharusnya mendengarkan dan mengakomodasikan inspirasi masyarakat khususnya bagi yang terdampak langsung dengan materi pembahasan Undang-undang tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Armansyah, Koesparmono Irsan, Hukum Tenaga Kerja Suatu Pengantar, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2016.

Bisri Ilham, Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, 2017.

Khakim Abdul, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014.

Kusmohamidjojo Budiono, Teori Hukum Dilema antara Hukum dan Kekuasaan, Bandung:

Yrama Widya,2017.

Prasetyo Teguh, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2021.

Subekti, R. Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni, 1981.

Peraturan perundang-undangan

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Undang-Undang Cipta Kerja Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan

(19)

Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.

Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1981 tentang Perlindungan Pengupahan

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Kep.102/MEN/VI/2004 Tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur

Internet

Tsarina Maharani:” UU Cipta Kerja Hapus Hak Libur Pekerja 2 Hari dalam Seminggu”.

Kompas.com-05/10/2020,20:01WIB

https://nasional.kompas.com/read/2020/10/05/20011331/uu-cipta-kerja-hapus-hak-libur- pekerja-2-hari-dalam-seminggu?page=all,diakses26Maret2021.

KBBI Daring, “Perlindungan”, https://kbbi.web.id diakses 2 Mei 2021.

Fauzul Kirom Politik: “Polemik Kecatatan Formil Undang-undang Cipta Kerja” Retizen (republika.co.id), diakses 3 Pebruari 2022

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu penerapan model faktor-faktor yang mempengaruhi S/C pada sapi perah di Provinsi Lampung yang berasal dari peternak dan ternak dapat dihitung dengan

Berdasarkan hasil penelitian, pada bagian contoh soal di buku teks sudah memuat soal-soal dengan jawaban yang dijelaskan secara rinci pada buku tersebut. Dalam

Dengan ini diberitahukan kepada jemaat GKI Gunung Sahari, bahwa pada hari Minggu, 3 Juni 2012 dalam kebaktian ke-III (pk.10:00) akan dilayankan Baptis Dewasa

Melakukan Kerjasama Operasi (KSO) dengan Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT) yang dimiliki oleh pemerintah Kota Bogor dalam mengikuti proses tender “Buy The Service” (BTS)

Dalam bab ini mencangkup segala konsep yang mendasari penelitian meliputi pengertian pengendalian intern, kelemahan pengendalian intern, pertumbuhan ekonomi, ukuran

Salah satu bentuk perlindungan hukum bagi pekerja dalam pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi akibat pandemi berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan adalah

Dalam penelitian, peneliti menganalisis data secara deskriptif yang sebagaian besar berasal dari wawancara dan catatan pengamatan di lapangan yaitu faktor dan

Inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh naiknya enam indeks kelompok pengeluaran, yaitu kelompok bahan makanan naik 0,40 persen;