1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang- Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Undang-undang nomor 28 tahun 2007). Dari pengertian tersebut diketahui bahwa antara perusahaan dengan pemerintah memiliki kepentingan yang sangat berbeda. Pemerintah ingin perusahaan membayar pajak sesuai dengan yang terjadi karena nantinya pajak tersebut akan digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan negara, sedangkan bagi perusahaan pajak yang dibayarkan merupakan biaya yang dapat mengurangi laba. Perbedaan ini menyebabkan perusahaan cenderung meminimumkan jumlah pajak terutangnya dengan cara melakukan perencanaan pajak (tax planninng) hingga agresivitas pajak (tax aggressiveness).
Perencanaan pajak merupakan langkah awal untuk meminimumkan jumlah kewajiban pajak dengan memanfaatkan kelemahan peraturan perpajakan (Suandy, 2016). Sedangkan agresivitas pajak merupakan tindakan perusahaan yang dipengaruhi oleh kinerja perusahaan dalam merekayasa laporan keuangan sehingga perusahaan dapat meminimumkan penghasilan kena pajak yang dirancang melalui tindakan perencanaan pajak (tax planning) baik secara legal maupun ilegal (Frank et al., 2009). Semakin
banyak kelemahan peraturan perpajakan yang digunakan perusahaan untuk meminimumkan kewajiban pajaknya maka semakin besar penghematan yang dilakukan oleh perusahaan sehingga perusahaan tersebut dinilai menjadi perusahaan yang agresif terhadap pajak.
Dalam publikasi PricewaterhouseCoopers (PwC) tahun 2021 dengan judul “Mine 2021: Great Expectation Seizing Tomorrow”
mengungkapkan bahwa transparansi pajak merupakan cara yang dapat digunakan perusahaan untuk menunjukkan kontribusinya terhadap isu-isu ESG (Evinronmental, Social dan Good Governance). Di lansir pada laman bisnis PricewaterhouseCoopers (PwC) Indonesia menyebut bahwa 70%
dari 40 perusahaan pertambangan besar laporan pajaknya belum transparan, artinya perusahaan pertambangan besar belum sepenuhnya patuh pada ketentuan pajak atau pungutan lain yang telah ditetapkan oleh pemerintah (Suwiknyo, 2021).
PT. Adaro Energy Tbk merupakan salah satu perusahaan pertambangan batu bara yang berkontribusi besar dalam penerimaan pajak negara Indonesia. PT. Adaro Energy Tbk yang mendapatkan penghargaan selama dua kali berturut-turut karena kontribusinya ini diduga melakukan tindakan penghindaran pajak dengan transfer pricing. Dalam laporan Global Witness tahun 2019 dengan judul Taxing Times for Adaro
mengungkapkan bahwa dari tahun 2009 hingga tahun 2017 PT. Adaro Energy Tbk memanfaatkan anak perusahaannya yang terletak di Singapura untuk memindahkan laba yang diperolehnya ke negara yang memiliki tarif
pajak rendah. Dari tindakan tersebut PT. Adaro Energy Tbk dapat meminimumkan pajak yang dibayarkanya hingga US$ 125 juta (Global Witness, 2019). Dari fenomena PT. Adaro Energy Tbk yang diduga melakukan penghindaran pajak membuat perusahaan pertambangan batu bara dan sub sektor pertambangan lainnya dimungkinkan melakukan agresivitas pajak.
Tingkat agresivitas pajak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti laba. Perusahaan yang memiliki kinerja yang baik akan mampu mengoptimalkan laba yang diperolehnya. Semakin tinggi laba yang diperoleh menunjukkan semakin banyak kegiatan yang dilakukan perusahaan. Hal ini tentunya akan berdampak pada lingkungan dan sosial disekitar perusahaan. Stakeholder akan mendorong perusahaan untuk lebih peduli terhadap masalah tersebut dengan pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) dalam laporan tahunannya.
Pada tahun 2020 COVID-19 menjadi salah satu alasan perusahaan untuk mengurangi program yang berkaitan dengan Corporate Social Responsibility (CSR). Namun di lansir pada laman Media Indonesia Sigit
Reliantoro yang merupakan Direktur Jendral Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan bahwasanya masih banyak perusahaan memanfaatkan kondisi krisis untuk menciptakan program CSR yang inovatif guna membantu masyarakat yang terdampak COVID-19 (Machmudi, 2021).
Dengan melakukan program CSR perusahaan dapat membangun citra baik dihadapan stakeholder. Selain itu, pengungkapan CSR dapat dijadikan sebagai pengurang beban pajak. hal ini dikarenakan Semakin luas pengungkapan CSR yang dilakukan perusahaan, maka semakin tinggi agresivitas pajaknya. Pengungkapan CSR secara berlebihan menyebabkan pendapatan yang seharusnya menjadi objek pajak berkurang. Tindakan ini membuat pemerintah mengalami kesulitan dalam melacak cashflow yang terjadi.
Sebaliknya perusahaan yang memiliki kinerja kurang baik akan kurang mampu dalam mengoptimalkan laba yang diperolehnya. Hal ini dapat terjadi apabila perusahaan sedang mengalami kesulitan keuangan (financial distress) seperti tidak mampu melunasi liabilitas secara tepat waktu. Perusahaan dalam kondisi ini memiliki tingkat risiko akan kebangkrutan. Untuk itu umumnya manajemen perusahaan akan memanfaatkan beban pajak yang merupakan arus kas keluar untuk menghadapi risiko kebangkrutan.
Di lansir pada laman CNBC Indonesia, tax ratio pada tahun 2020 mengalami penurunan sebesar 6,9% atau 1,5% lebih rendah dibandingkan pada tahun 2019 sebesar 8,4% (Sembiring, 2021). Penurunan tax ratio dapat terjadi karena krisis ekonomi yang disebabkan pandemi COVID-19 sehingga perusahaan mengalami penurunan pendapatan dan berada pada kondisi financial distress. Perusahaan yang mengalami financial distress cenderung melakukan agresivitas pajak untuk meminimumkan beban
Pajak, karena dengan melakukannya perusahaan dapat menghemat pengeluaran sehingga perusahaan memiliki keuntungan yang maksimal.
Beberapa penelitian empiris menggunakan proksi Effective Tax Rate (ETR) telah dilakukan untuk meneliti pengaruh CSR terhadap
agresivitas pajak. Penelitian yang dilakukan Zahira & Ratnawati (2021) serta Gunawan (2017) membuktikan bahwa CSR berpengaruh positif terhadap agresivitas pajak. Sebaliknya penelitian yang dilakukan oleh Pradnyadari & Rohman (2015,) Kurniawati (2019), serta Andhari &
Surakartha (2017) yang menggunakan Net Profit Margin Index membuktikan bahwa CSR berpengaruh secara negatif terhadap agresivitas pajak.
Penelitian empiris yang dilakukan Putri & Chariri (2017) mengenai pengaruh financial distress terhadap agresivitas pajak menggunakan proksi ETR membuktikan bahwa financial distress berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Octaviani & Sofie (2019) menggunakan proksi Cash Effective Tax Rate (CETR) membuktikan bahwa financial distress tidak berpengaruh terhadap agresivitas pajak.
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) dan Financial Distress terhadap Agresivitas Pajak”
(Studi empiris pada Perusahaan Pertambangan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia).
B. Perumusan Masalah
1. Apakah pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) berpengaruh terhadap agresivitas pajak?
2. Apakah financial distress berpengaruh terhadap agresivitas pajak?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini:
1. Menguji secara empiris pengaruh pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) terhadap agresivitas pajak.
2. Menguji secara empiris pengaruh financial distress terhadap agresivitas pajak.
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pembaharuan penelitian sebelumnya dan dapat dijadikan sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya, serta dapat dijadikan sebagai tambahan pengetahuan bagi literatur akuntansi guna melakukan pengembangan teori yang berkaitan dengan pengaruh pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) dan financial distress terhadap agresivitas pajak.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perusahaan guna melakukan evaluasi, peningkatan kinerja, dan kepatuhan dalam melakukan pembayaran pajak terutang yang sesuai
karena hal ini akan berpengaruh terhadap masa depan perusahaan.
Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai refrensi bagi Direktorat Jendral Pajak (DJP) untuk menilai agresivitas pajak yang telah dilakukan perusahaan, sehingga DJP dapat memperbaiki regulasi guna mengatasi kelemahan-kelemahan perpajakan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi investor sebelum melakukan penanaman modal pada perusahaan.