• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan sumber utama penerimaan Negara yang digunakan untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan sumber utama penerimaan Negara yang digunakan untuk"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1. Latar Belakang

Pajak merupakan sumber utama penerimaan Negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin maupun pembangunan agar tercapai kemakmuran dan kesejahteraan. Hal tersebut tertuang dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dimana penerimaan pajak merupakan penerimaan dalam negeri yang terbesar (Muliari, 2011). Di sisi lain, pajak merupakan sebuah tumpuan dalam menjalankan pembangunan negara. Setiap tahun, pajak memberikan kntribusi atas penerimaan negara lebih dari 50%. Oleh karena itulah pajak menjadi penerimaan Negara yang sangat penting. Berikut merupakan tabel kontribusi penerimaan pajak terhadap penerimaan Negara Indonesia.

Tabel 1.1.

Kontribusi Penerimaan Pajak Negara Indonesia terhadap Total Penerimaan Negara Indonesia

(Triliun Rupiah)

Tahun Realisasi

Penerimaan Pajak

Realisasi Penerimaan Negara Indonesia

Rasio Penerimaan Pajak terhadap

Penerimaan

(2)

Negara

2008 658,7 981,6 67,10%

2009 619,9 848,8 73,03%

2010 723,3 995,3 72,67%

2011 873,9 1.210,6 72,19%

2012 980,5 1.338,1 73,28%

2013 1.148,4 1.502,0 76,46%

2014 1.280,4 1.667,1 76,80%

Sumber: kementerian Keuangan (kemenkeu.go.id) data diolah kembali

Berdasarkan data yang telah di tampilkan di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan penyumbang terbesar atas penerimaan Negara Indonesia. Meskipun demikian, masih terjadi penurunan penerimaan pajak pada tahun-tahun tertentu, padahal diharapkan penerimaan pajak tersebut meningkat setiap tahunnya. Seperti pada tahun 2008 – 2009, realisasi penerimaan pajak menurun yaitu sebesar 5,8%

atau sebesar 38,8 triliun rupiah. Selain itu, pada tahun 2009 – 2011 rasio penerimaan pajak terhadap penerimaan Negara mengalami penurunan. Di sisi lain, pada tahun 2008 – 2009 serta tahun 2011 – 2014 rasio tersebut mengalami peningkatan tetap sayangnya peningkatan tersebut tidak terlalu signifikan.

Iim Ibrahim Nur (2009) mengungkapkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan penerimaan negara sehingga diharapkan dapat memperbaiki perekonomian makro Indonesia.

Walaupun begitu, DJP tidak bisa menjadi satu-satunya faktor penentu dalam konteks penerimaan pajak. Diana Sari (2013: 7) mengungkapkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak selaku badan yang mengelola perpajakan Indonesia, pada dasarnya telah melakukan berbagai cara dalam upaya peningkatan penerimaan negara dalam sektor pajak. Untuk mendongkrak peningkatan

(3)

penerimaan negara melalui sektor pajak, dibutuhkan partisipasi aktif dari Wajib Pajak untuk memenuhi segala kewajiban perpajakannya dengan baik. Artinya, peningkatan penerimaan negara ditentukan oleh tingkat kepatuhan Wajib Pajak sebagai Warga Negara yang baik.

Listania Triwigati (2013) mengungkapkan bahwa kepatuhan pajak (tax compliance) merupakan kunci dari keseluruhan sistem perpajakan, sehingga

dengan tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang tinggi niscaya akan mendongkrak tingkat penerimaan pajak yang tinggi pula. Oleh karena itu, permasalahan kepatuhan Wajib Pajak harus diperhatikan melihat kepatuhan Wajib Pajak menjadi kunci dalam mendongkrak tingkat penerimaan pajak. Permasalahan seperti ini dapat dilihat dari beberapa indikator, salah satunya adalah jumlah Wajib Pajak yang terdaftar. Dibandingkan dengan jumlah Wajib Pajak potensial pada tahun 2013, jumlah Wajib Pajak terdaftar masih tergolong rendah. Pada tahun 2013 terdapat 112.761.072 jiwa yang tergolong ke dalam Wajib Pajak potensial tetapi hanya 25.109.959 orang yang telah terdaftar. Perbandingan antara jumlah Wajib Pajak potensial dan Wajib Pajak terdaftar dapat diartikan bahwa pada tahun 2013 rasio tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) hanya 22,7%.

Tabel 1.2.

Rasio Jumlah Wajib Pajak orang Pribadi (WPOP) Terdaftar Tahun Pajak Jumlah Penduduk

Usia Produktif yang Bekerja

Jumlah WPOP terdaftar

Rasio Jumlah WPOP dengan Usia Produktif yang Bekerja

(4)

2009 104.870.663 13.861.253 13,22%

2010 108.207.767 16.880.649 15,60%

2011 109.670.399 19.881.684 18,13%

2012 110.808.154 22.131.323 19,97%

2013 112.761.072 25.109.959 22,27%

Sumber: Indonesian Tax Review Volume VI/Edisi 15/2013

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa sepanjang tahun 2009 – 2013 rasio jumlah WPOP terdaftar dengan usia produktif yang bekerja masih terbilang rendah. Di sisi lain, peningkatan rasio tersebut tiap tahunnya tidak signifikan. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena dengan jumlah rasio seperti ini menandakan bahwa masih banyak usia produktif yang telah bekerja yang belum sepenuhnya sadar dalam memenuhi kewajiban pajaknya. Kewajiban Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri telah diatur dalam peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2013:

1) Wajib Pajak yang telah memenuhi persayaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan, wajib mendaftarkan diri pada KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan, dan tempat kegiatan usaha Wajib Pajak, dan kepada Wajib Pajak diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

2) Tempat tinggal atau tempat kedudukan sebagaimana dimaksud pada ayan (1) merupakan tempat tinggal atau tempat kedudukan menurut keadaan yang sebenarnya.

3) Wajib Pajak yang wajiib mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

(5)

a. Wajib Pajak orang pribadi, termasuk wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena:

1) hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim;

2) menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta; atau

3) memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya meskipun tidak terdapat keputusan hakim atau tidak terdapat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta,

yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak;

b. Wajib Pajak Orang Pribadi, termasuk wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena:

1) hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim;

2) menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta; atau

3) memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya meskipun tidak terdapat keputusan hakim atau tidak terdapat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta,

yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.

(6)

Di samping masalah WPOP yang belum terdaftar (memiliki NPWP), terdapat masalah lain yang berkaitan dengan kepatuhan pajak. Masalah tersebut adalah tingkat kepatuhan pajak WPOP terdaftar yang masih rendah.

Indikator lain yang dapat dijadikan penilaian atas tingkat kepatuhan yaitu tingkat penyampaian SPT tahunan. Di tahun 2011, rasio penyampaian SPT tahunan mencapai angka terendah sepanjang tahun 2009 – 2013. Angka sebesar 52,47% menjadi titik terendah atas rasio penyampaian SPT tahunan.

Tabel 1.3.

Rasio Kepatuhan Penyampaian SPT Tahunan

Tahun 2009 2010 2011 2012 2013

Wajib Pajak Terdaftar Wajib SPT

9.996.620 14.101.933 17.694.317 17.659.278 17.731.736

SPT Tahunan

5.413.114 8.209.309 9.332.626 9.482.480 10.790.650 Rasio

Kepatuhan

54,15% 58,16% 52,74% 53,70% 60,86%

Sumber: laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2009 – 2013 (data diolah kembali)

Berdasarkan data yang telah ditampilkan pada tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa masih terdapat kesenjangan antara jumlah terdaftar dengan jumlah SPT tahunan yang dilaporkan. Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 74/PMK.03/2012 Wajib Pajak yang patuh adalah Wajib Pajak yang memiliki kriteria tertentu. Diantaranya tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), tidak mempunyai tunggakan pajak, laporan keuangan diaudit dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), dan tidak pernah dipidana.

(7)

Manurung (2013) mengungkapkan bahwa beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya kepatuhan Wajib Pajak antara lain ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan publik, pembangunan infrastruktur yang tidak merata dan banyaknya kasus korupsi yang dilakukan pejabat tinggi.

Kepatuhan pajak (tax compliance) merupakan aspek yang sangat penting dalam membangun negara melihat kontribusi pendapatan terbesar Indonesia berasal dari pajak. Rochmat Seomitro (dalam Jamin, 2001) menyatakan bahwa tugas penting untuk dilaksanakan agar tercapainya penerimaan pajak secara optimal adalah upaya membangkitkan kesadaran pajak (tax consciousness) untuk menjadi Wajib Pajak patuh. Oleh karena itu, untuk

mewujudkan hal tersebut, Pemerintah Indonesia melakukan pembaharuan administrasi pajak atau reformasi. Tujuan reformasi pajak selain untuk mningkatkan kesadaran pajak, namun juga bertujuan menerapkan konsep good governance dalam sistem administrasi perpajakam melalui peningkatan

kualitas pelayanan kepada Wajib Pajak, serta peningkatan pengawasan dalam pelaksanaan administrasi pajak baik kepada fiskus maupun kepada Wajib Pajak (Rahayu, 2010: 99).

Sedarmayanti (2004: 5), terdapat unsur penting yang perlu diperhatikan

agar terselenggara praktek good governance yang efektif meliputi:

a. Transparansi (transparency);

b. Tanggung jawab (responsibility);

c. Keadilan (fairness); dan

(8)

d. Akuntabilitas (accountability).

DJP telah melakukan prinsip-prinsip good governance tersebut. Bukti nyata dari penerapan prinsip penerapan good governance di lingkungan DJP adalah sebagai berikut:

1. Prinsip transparansi

DJP telah menerapkan prinsip transparansi dengan memublikasikan Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak yang dapat diakses dan diunduh melalui www.pajak.go.id.

2. Prinsip tanggung jawab

Salah satu penerapan prinsip tanggung jawab di tubuh DJP yaitu adanya pelayanan Kring Pajak 500200 yang berfungsi untuk memberikan layanan informasi, konsultasi perpajakan umum, dan konsultasi aplikasi perpajakan elektronik. Pengembangan Kring Pajak 500200 merupakan kontribusi DJP yang lebih profesional, transparan, dan bertanggung jawab (www.pajak.go.id).

3. Prinsip keadlian

Penerapan prinsip kadilan salah satunya dilakukan DJP dengan tetap memungut pajak dari UKM (Usaha Kecil dan Menengah) sesuai dengan artikel yang ditampilkan di www.pajak.go.id:

“Demi prinsip keadilan, DJP tetap akan memungut pajak dari pelaku UKM”.

(9)

4. Prinsip akuntabilitas

Salah satu penerapan prinsip akuntabilitas pada tubuh DJP adalah adanya situs resmi di internet yang dapat diakses oleh masyarakat guna mempublikasikan aturan-aturan baru atau pun informasi lain yang dibutuhkan masyarakat. Contoh situs yang ada saat ini adalah www.pajak.go.id.

Penerapan good governance yang telah diuraikan di atas diharapkan dapat membuat DJP menyediakan pelayanan prima kepada masyarakat dalam masalah perpajakan. Uraian tersebut membuktikan bahwa penerapan good governance dapat dirasakan secara cepat dan tepat oleh masyarakat melalui

pelayanan publik salah satunya yaitu pelayanan pajak agar penerimaan pajak dapat dioptimalkan sesuai dengan tujuan yang telah diuraikan. Boris Sembiring Kembaren (2013) melakukan penelitian mengenai pengaruh penerapan good governance dalam pelayanan pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cakung Dua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan good governance dalam pelayanan pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan Wajib Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cakung Dua.

Kepatuhan pajak sangat diperlukan karena merupakan bentuk kepedulian terhadap Negara Indonesia sehingga DJP selaku badan yang mengelola perpajakan perlu melakukan upaya dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak melalui pelayanan. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian lebih lanjut

(10)

mengenai penerapan good governance dalam pelayanan di lingkungan DJP dalam upaya meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.

Dalam penelitian ini menggunakan 2 (dua) variabel penelitian yaitu penerapan good governance pada pelayanan pajak sebagai variabel indpenden dan kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai variabel dependen. Hal inilah yang membedakan penelitian sekarang dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Boris Sembiring Kembaren (2013), dalam penelitiannya menggunakan 2 (dua) variabel penelitian yaitu penerapan good governance pada pelayanan pajak sebagai variabel independen dan kepatuhan

Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai variabel dependen. Dari uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan pengembangan penelitian terdahulu mengenai penerapan good governance pada pelayanan pajak dalam upaya peningkatan kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi dengan judul

“PENGARUH PENERAPAN GOOD GOVERNANCE PADA PELAYANAN PAJAK TERHADAP TINGKAT KEPATUHAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA BANDUNG CIBEUNYING”

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:

(11)

1. Bagaimana penerapan good governance dalam pelayanan pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bandung Cibeunying.

2. Bagaimana pengaruh penerapan good governance dalam pelayanan pajak terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi.

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana penerapan good governance dalam pelayanan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying.

2. Untuk mengetahui pengaruh penerapan good governance dalam pelayanan pajak terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi.

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan manfaat dari berbagai pihak, antara lain:

1. Bagi peneliti

Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tentang penerapan good governance dalam pelayanan pajak serta pengaruhnya terhadap tingkat

kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi di wilayah Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying.

2. Bagi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan di kantor pajak untuk meningkatkan kualitas pelayanan dengan berpegang terhadap

(12)

prinsip-prinsip good governance demi meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi yang berpengaruh pada penerimaan negara.

3. Bagi pihak lain

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan literature untuk menambah wawasan terhadap penerapan good governance dalam pelayanan pajak yang diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak khususnya Wajib Pajak Orang Pribadi dan dapat menjadi bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.

1.5. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi Penelitian dalam Skripsi ini adalah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bandung Cibeunying yang berlokasi di Jalan Purnawarman Nomor 21, Bandung. Penelitian ini dilakukan pada bulan September sampai selesai.

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, Salah satu ayat yang dapat diintrepestasikan dalam konteks akuntansi yaitu Allah SWT memerintahkan agar senantiasa dapat menjalankan amanat untuk

Bahan hukum primer merupakan Bahan hukum utama yang dimaksud dalam bentuk Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

Operasional penyebaran kuesioner dilakukan dengan cara mendatangi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Polonia kemudian memberikan kuesioner kepada Wajib Pajak Orang

“Alhamdulillah, hari ini kami bisa melaksanakan agenda PHBI Maulid Nabi sekaligus Wisuda Santri Tahfidz yang kali ketiga di Lapas Khusus Kelas IIA Gunung Sindur.” “Ada salah

Arief Rachman, dkk (2008) menyimpulkan dalam penelitiannya yang bertema Pengaruh Pemahaman, kesadaran, serta kepatuhan wajib Pajak Bumi dan Bangunan terhadap

Dengan mengucap syukur kehadirat Allah Ta’ala yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan karunia-Nya dan senantiasa bersholawat kepada Nabi Muhammad

Sedangkan gangguan yang datang dari dalam sistem dapat berupa kegagalan dari fungsi peralatan jaringan, kerusakan dari peralatan jaringan, kerusakan dari peralatan

tujuan dari penelitian ini adalah menerapkan metode clustering dengan Algoritma Fuzzy C-Means dalam kasus pengelompokkan mahasiswa berdasarkan transkip nilai mata