• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sumber penerimaan pajak sangat penting bagi negara. Penerimaan pajak dapat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sumber penerimaan pajak sangat penting bagi negara. Penerimaan pajak dapat"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Negara dengan tingkat perekonomian maju mempunyai pandangan bahwa sumber penerimaan pajak sangat penting bagi negara. Penerimaan pajak dapat menyediakan pendapatan yang sangat besar bagi negara.1 Untuk itu pentingnya pemungutan pajak sebagai upaya yang ditempuh oleh pemerintah, agar mendapatkan sumber penerimaan negara demi pelaksanaan tugas yang membutuhkan biaya besar. Penyelenggaraan tugas pemerintahan yang dilaksanakan demi kepentingan masyarakat, sehingga tepat kiranya masyarakat dapat dibebani pembiayaan. Pembebanan biaya kepada masyarakat dilakukan secara langsung melalui pajak atau pungutan lainnya yang dimasukkan dalam Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (selanjutnya disingkat Undang-Undang APBN).2

Undang-Undang APBN terdiri dari anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan. Undang-Undang APBN berbeda dengan Undang-Undang lainnya, karena dapat diajukan setahun sekali.3 Hal ini dilakukan agar pengeluaran pemerintah dapat tersedia dengan baik. Kebutuhan dana APBN yang terus meningkat dilakukan dalam rangka kegiatan pembangunan. Hal tersebut disesuaikan dengan perubahan anggaran belanja dan kondisi ekonomi.4 Dasar

1 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, h. 881.

2 M. Hadi, Administrasi Keuangan Republik Indonesia, Gaya Baru, Jakarta, 1981, h. 3.

3 Bohari, Hukum Anggaran Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, h. 15.

4 Ricard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave, Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek, Erlangga, Jakarta, 1991, h. 35.

(2)

hukum ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya ditulis UUD NRI 1945) menyatakan bahwa “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang- Undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat”. Prinsip yang termaktub dalam ketentuan tersebut bahwa penetapan APBN setiap tahun dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Perwujudan kemakmuran rakyat yakni adanya hubungan antara tugas negara dengan pengeluaran negara. Hubungan tersebut merupakan hal yang utama dalam keuangan negara.5 Untuk itu sumber penerimaan atau pendapatan negara harus diatur dalam Undang-Undang yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara6, bahwa Pasal 11 ayat (3) UUKN menyatakan

“Pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah”.

Penerimaan pajak menjadi sumber yang sangat penting bagi pendapatan negara dalam pembiayaan pembangunan. Hal ini dikarenakan sumber-sumber penerimaan dari sektor migas sudah tidak lagi menjadi primadona seperti dulu serta sumber tersebut merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Sementara penerimaan dari aktivitas perdagangan internasional

5 C. Godhart, Garis-garis Besar Ilmu Keuangan Negara, Terjemahan ratmoko, jembatan, 1972, h. 28.

6 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286, untuk selanjutnya disingkat UUKN.

(3)

dikenai ketentuan tarif yang disyaratkan oleh World Trade Organization (WTO).7 Utang atau hibah luar negeri juga semakin sulit didapatkan karena krisis keuangan global dan ketatnya likuiditas. Hal tersebut jelas mengurangi pendapatan negara.8 Selain itu, harapan terhadap utang luar negeri seharusnya tidak dijadikan sumber penerimaan negara karena berdampak dengan tidak stabilnya fiskal dimasa yang akan datang sehingga timbul ketergantungan dengan negara lain. Berikut tabel penerimaan negara Indonesia selama tiga tahun, mulai tahun 2017-2020 yang menandakan begitu pentingnya pajak dalam penerimaan negara:

Tabel 1

Penerimaan Negara (dalam Miliar)

Sumber Penerimaan 2017 2018 2019 2020

Penerimaan Dalam

Negeri 1.654.746,10 1.897.643,40 2.164.676,50 1.698.648,50

Penerimaan

Perpajakan 1.343.529,80 1.548.485,00 1.786.378,70 1.404.507,50 Pajak Dalam Negeri 1.304.316,30 1.506.436,20 1.743.056,90 1.371.020,60 Pajak Penghasilan 637.859,30 761.200,30 894.448,70 670.379,50 Pajak Pertambahan

Nilai 480.724,60 564.682,40 655.394,90 507.516,20 Pajak Bumi dan

Bangunan 16.770,30 17.433,90 19.103,60 13.441,90 Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan

0 0 0

Cukai 153.288,10 155.504,80 165.501,00 172.197,20 Pajak Lainnya 15.672,60 7.614,90 8.608,70 7.485,70 Pajak Perdagangan

Internasional 39.213,60 42.048,80 43.321,80 33.486,90 Bea Masuk 35.066,20 37.600,40 38.899,30 31.833,80

7 Roy Bahl dan Richard M. Bird, “Tax Policy In Developing Countries: Looking back and forward”, National Tax Journal, Vol. LXI, No. 2, 2008, h. 289.

8 IMF, Fiscal Implementation Of The Global Economic An Financial Crisis, IMF Staff Position Note SPN/09/13, 2009.

(4)

Pajak Ekspor 4.147,40 4.448,40 4.422,50 1.653,20 Penerimaan Bukan

Pajak 311.216,30 349.158,30 378.297,90 294.141,00 Penerimaan Sumber

Daya Alam 111.132,00 169.196,30 190.754,80 79.086,90 Bagian laba BUMN 43.904,20 44.695,40 45.589,30 65.000,00 Penerimaan Bukan

Pajak Lainnya 108.834,60 91.962,10 94.069,30 100.053,80 Pendapatan Badan

Layanan Umum 47.345,50 43.304,60 47.884,50 50.000,30

Hibah 11.629,80 5.383,20 435,30 1.300,00

Jumlah 1.666.375,90 1.903.026,60 2.165.111,80 1.699.948,50 Sumber: Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Sumber penerimaan negara dari pajak pada tahun 2017 sebesar 1.343.529,80 dari jumlah total 1.666.375,90 apabila diprosentasekan sekitar 80,6

%. Pada tahun 2018 penerimaan negara dari pajak sejumlah 1.548.485,00, dari jumlah total 1.903.026,60 maka sekitar 81,3% berasal dari pajak. Pada tahun 2019 penerimaan negara dari pajak berkontribusi sebesar Rp. 1.786.378,70 dari jumlah total 2.165.111,80 maka presentase penerimaan dari pajak sebesar 82,5%.. Pada tahun 2020 akibat pandemi covid-19, penerimaan negara mengalami penurunan hingga 12,7 % dari tahun 2019. Berdasarkan revisi target penerimaan negara pada tahun 2020, presentasi penerimaan negara dari pajak sebesar 82,6%. Begitu besarnya penerimaan negara dari pajak, hampir setiap tahun presentasenya mengalami kenaikan

Urgensi pajak sebagai dasar untuk menopang keuangan negara karena dapat mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara. Hal ini sesuai dengan UUD NRI 1945 yang dimuat dalam Pembukaan alinea ke empat, bahwa tujuan negara Indonesia adalah dasar untuk melindungi, mensejahterakan, mencerdaskan, dan mentertibkan kesatuan tanah air serta seluruh rakyat Indonesia. Tujuan

(5)

sebagaimana yang dimaksud, memberikan makna bahwa terdapat amanat untuk memanifestasikan tanggung jawab atas kewajiban tersebut.

Indonesia sebagai negara hukum merupakan suatu hal yang mutlak, hal tersebut didasarkan dalam UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Pengertian yang tersirat bahwa tindakan dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang atau lembaga atau badan hukum harus sesuai dengan aturan hukum. Hal ini berakibat pada tindakan dan perbuatan pemerintah dalam menjalankan kewenangan untuk menyelenggarakan urusan perpajakan harus dilandasi aturan hukum yang tegas.9

Landasan konstitusional penyelenggaraan atas urusan perpajakan diatur dalam Pasal 23 A UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang- Undang”. Sebelum amandemen UUD NRI 1945, ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang”. Rochmat Soemitro menyatakan bahwa dalam pasal tersebut mengandung falsafah pemungutan pajak yang sejalan dengan prinsip yang dianut di Inggris yakni, “No Taxation without representation” dan prinsip yang juga dianut di USA yakni, “Taxation without representation is robbery”.10 Pajak tidak boleh menjadi suatu perampokan kekayaan rakyat, maka pajak harus dipungut dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (disingkat DPR). Pajak merupakan beban rakyat, sehingga

9 Abdullah, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Atas Penggunaan Wewenang Pemerintah Dalam Rangka Pengawasan Pajak, Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya, 2013, h. 3.

10 Rochmat Soemitro, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944, Eresco, Jakarta-Bandung, 1997, h. 19.

(6)

terlebih dahulu meminta persetujuan rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR.

Pengaturan pajak merupakan wujud dalam bentuk Undang-Undang sebagai bentuk representasi pengaturan pajak.

Pengaturan pajak yang dilakukan pada tahun 1983 dengan program Tax Reform merupakan perubahan besar pada sistem hukum pajak. Pada pertengahan tahun 1970-an negara maju maupun berkembang terlibat dalam program tax reform, oleh Hiromitsu Ishi disebut global tax reform movement.11 Pemerintah Indonesia juga tidak stagnan dengan sistem hukum pajaknya. Pembaharuan sistem pajak secara luas meliputi pembaharuan Undang-Undang pajak serta pembenahan aparatur pajak menyangkut prosedur, tata kerja, disiplin, dan mental.

Pembaharuan sistem pajak tersebut dimulai dengan 3 Undang-Undang Pajak yang diundangkan dan ditetapkan sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.12

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.13

11 Hiromitsu Ishi, The Japanese Tax System, Second Edition, Clarendom Press, Oxford, 1993, h. 37.

12 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984), sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740), terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999), untuk selanjutnya disingkat UU KUP.

13 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang

(7)

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Penjualan atas Barang Mewah.14

Serangkaian Undang-Undang pajak yang dihasilkan sejak awal pembaharuan sistem pajak memiliki kaitan sebagai satu paket pembaharuan sistem pajak. UU KUP ditetapkan sebagai ketentuan umum bagi peraturan perpajakan lainnya yang dinyatakan dalam Penjelasan Umum dan Pasal 49 UU KUP. Ketentuan ini menjadi landasan hukum yang mengatur hubungan antara UU KUP dengan UU pajak yang lain dalam rangka kebijakan pembaharuan sistem hukum perpajakan nasional.

Rangkaian kebijakan pembaharuan pengaturan perpajakan dilakukan guna memperbesar penerimaan dari pajak. Hal tersebut dilakukan pemerintah melalui pengaturan pengampunan pajak. Pengampunan pajak dianggap mampu mengatasi pertumbuhan ekonomi yang melambat. Hal tersebut diselaraskan dengan tergabung Indonesia dalam komitmen untuk mencapai suatu ambang batas pembiayaan untuk pembangunan dalam millennium development goals serta komitmen terhadap reformasi pajak dalam Doha Declaration tentang Financing for Development.15 Bagi negara Indonesia yang baru dikukuhkan sebagai negara

Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893), untuk selanjutnya disingkat UU PPh.

14 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga atas Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 150), untuk selanjutnya disingkat UU PPN.

15 United Nation, Doha Declaration on Financing for Development, Outcome Document of the Follow up International Conference on Financing for Development to Review the Implementation of the Monterrey Consensus, United Nations Department of Economic and Social Affairs, Qatar, 2009, h. 17.

(8)

maju oleh pemerintah Amerika Serikat dengan menerbitkan Federal Register Vol.

82 No. 27 pada 10 Februari 2020 yang didalamnya memuat pengumuman dari United States Trade Representatives (USTR).16 Perihal tersebut berdampak bagi pemerintah sebagai negara maju, bahwa pengaturan intensif pajak tidak serta merta dapat diterapkan. Untuk itu tugas yang tidak mudah bagi pemerintah karena belum optimalnya penerimaan pajak akibat rendahnya kepercayaan dan kepatuhan wajib pajak.17

Pengaturan pengampunan Pajak diperlukan sebagai persyaratan untuk menuju keterbukaan informasi perpajakan. Negara yang rasio pajak atau tax rationya rendah harus melakukan pengampunan pajak dulu guna menyongsong pengaturan terkait keterbukaan informasi perpajakan. Indonesia digolongkan dalam tax ratio yang masih rendah, maka kebijakan pengampunan pajak harus dilakukan terlebih dahulu. Pengampunan pajak dianggap mampu untuk mengoptimalkan penerimaan pajak serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak sehingga juga dijadikan dasar dikeluarkannya kebijakan pegampunan pajak.

Kebijakan tersebut bukan untuk pertama kalinya diberlakukan di Indonesia, pada tahun 1964 kebijakan pengampunan pajak mulai diberlakukan akan tetapi dinilai tidak berhasil secara signifikan dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.18

Kebijakan Pengampunan Pajak yang pernah dilaksanakan yakni pada tahun 1964 ditetapkan melalui Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun

16 Ely Damayanti, dkk., “Reaksi Pasar Modal Indonesia Terhadap Pengumuman Indonesia Sebagai Negara Maju”, Jurnal Ekonomi dan Manajemen, Vol. 1 No. 2, 2020, h. 2.

17 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak, h. 3.

18 Ragimun, Analisis Implementasi Pengampunan Pajak (Tax Amnesti) di Indonesia, Kementerian Keuangan, Jakarta, 2016, h. 14.

(9)

1964 tentang Peraturan Pengampunan Pajak19, selanjutnya diikuti Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1984 tentang Pengampunan Pajak.20 Berdasarkan PP No. 5 Tahun 1964 maupun berdasarkan Keppres Nomor 26 Tahun 1984 tersebut, materi atau substansi pengampunan pajak ditujukan kepada wajib pajak orang pribadi maupun badan hukum yang belum terdaftar sebagai wajib pajak atau yang telah menjadi wajib pajak. Kebijakan pengampunan pajak tersebut diberikan berupa pembebasan pajak atas pajak-pajak yang belum pernah atau belum sepenuhnya dikenakan/dipungut pajak menurut peraturan Perundang-Undangan.

Pengaturan pengampunan pajak pada tahun 2016 diberikan payung hukum yang jelas dalam bentuk Undang-Undang yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.21 UU Pengampunan Pajak bermula dari kasus Panama Papers yang berisi informasi tertulis atas nama orang-orang Indonesia yang memiliki perusahaan diluar negeri dalam melakukan transaksi bisnis dan transaksi keuangan sehingga dianggap perlu adanya keterbukaan informasi perpajakan.

Berlakunya kebijakan pengaturan keterbukaan informasi keuangan yang khususnya dalam perpajakan diatur sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan22 yang selanjutnya

19 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2677, untuk selanjutnya disingkat PP No. 5 tahun 1964.

20 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 13, untuk selanjutnya disingkat Keppres Nomor 26 tahun 1984.

21 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5899, untuk selanjutnya disingkat UU Pengampunan Pajak.

22 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6051, untuk selanjutnya disingkat Perppu IKKP.

(10)

diatur menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang23 sebagai bentuk pembaharuan sistem perpajakan.

Rangkaian kebijakan pembaharuan sistem perpajakan tersebut membuat Direktur Jenderal Pajak (selanjutnya disingkat Dirjen Pajak) memiliki tugas dan fungsi yang sangat besar. Kewenangan kepada Dirjen Pajak atas akses yang luas bagi otoritas pajak untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dapat dimaknai keterbukaan informasi perpajakan, karena ada peran serta wajib pajak dan lembaga keuangan dalam pengaturan tersebut.

Kewenangan tersebut diberikan karena terdapat keterbatasan akses bagi otoritas pajak Indonesia untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan yang diatur dalam Undang-Undang dalam bidang perpajakan, perbankan, perbankan syariah, dan pasar modal, serta peraturan Perundang-Undangan lainnya. Akan tetapi tugas dan fungsi dalam kelembagaan Direktorat Jenderal Pajak (selanjutnya disingkat DJP) hanya diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.01/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak24, sehingga terdapat kelemahan perangkat hukum dalam menjalankan kewenangan.

Gugatan kasus atas pengujian UU IKKP diajukan oleh E. Fernando M.

Manullang dalam registrasi perkara konstitusi Nomor 102/PUU-XV/2017 tentang perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan

23 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6112, untuk selanjutnya disingkat UU IKKP

24 Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1961.

(11)

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Berkaitan dengan pengujian tersebut, pemohon memberikan parameter kerugian konstitusional atas berlakunya UU IKKP. Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”

selanjutnya pasal 28G (1) UUD NRI 1945 menyatakan “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Berdasarkan hak konstitusional tersebut, terdapat kerugian dengan diberlakukannya UU IKKP atas perlindungan diri dapat dilanggar oleh lembaga keuangan sebagai akibat pembatalan ketentuan-ketentuan perundangan terkait kerahasiaan nasabah. Pelaksanaan hak asasi merupakan tanggung jawab dan kewajiban negara. Hal yang harus digaris bawahi bahwa pengaturan keterbukaan informasi perpajakan tidak boleh melanggar hak asasi manusia.

Perluasan kewenangan tersebut tidak diimbangi dengan masih banyaknya kasus yang dilakukan oleh petugas pajak dengan melakukan penyalahgunaan kewenangan. Beberapa kasus pegawai pajak masih banyak terjadi penyalahgunaan kewenangan. Kasus Gayus Tambunan menjadi kisah kasus yang telah mencoreng

(12)

dunia perpajakan Indonesia.25 Gayus Tambunan terbukti bersalah dengan menerima suap dari beberapa perusahaan. Selain itu ditemukannya kembali kasus yang melibatkan petugas pajak pada tahun 2018, dengan ditangkapnya Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Ambon beserta dua petugas lainnya untuk mengurangi tagihan pajaknya. Pada tahun 2019 juga terjadi penangkapan empat orang pegawai pajak DJP karena menerima suap guna untuk menyetujui pengajuan restitusi pajak oleh pengusaha dealer mobil mewah.26 Untuk itu penting adanya bentuk jaminan pemerintah dalam perlindungan hukum terhadap pengaturan keterbukaan informasi perpajakan bagi wajib pajak.

Sesuai dengan tema sentral dalam penelitian ini yaitu “Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Terhadap Keterbukaan Informasi Perpajakan”. Untuk itu isu hukum yang dikemukakan adalah sebagai berikut:

a. Landasan filosofis keterbukaan informasi perpajakan dalam keuangan negara.

b. Perlindungan hukum bagi wajib pajak dalam keterbukaan informasi perpajakan berdasarkan Good Governance Principles.

c. Tanggung Jawab pemerintah dan wajib pajak dalam keterbukaan informasi perpajakan.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain:

a. Menemukan landasan filosofis keterbukaan informasi perpajakan dalam

25 Lumbanrau, R. E., Rentetan Kasus Korupsi yang Menjerat Pegawai Pajak, https://m.cnnindonesia.com/nasional/20161122162351-12-174492/rentetan-kasus-korup-si-yang- menjerat-pegawai-pajak, 2016, diakses 20 September 2020.

26 Mohammad, Y., Korupsi dan Pengkhianatan Petugas Pajak Ambon. Diunduh dari https://beritagar.id/artikel/berita/korupsi-dan-pengkhianatan-petugas-pajak-ambon, 2018, diakses 20 September 2020.

(13)

keuangan negara.

b. Menemukan prinsip perlindungan hukum wajib bagi pajak dalam implementasi pembuatan peraturan hukum berkaitan dengan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan terhadap good governance principles.

c. Menemukan pertimbangan hakim dalam pada pembuatan putusan Mahkamah Konstitusi serta tanggung jawab pemerintah dan wajib pajak dalam keterbukaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.

1.3. Manfaat Penelitian

Temuan yang dihasilkan dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan manfaat sebagai berikut:

a. Memberikan sumbangan ide berkaitan dengan temuan prinsip yang mendasari pembentukan UU tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan agar sesuai dengan hakikat sistem pajak nasional berdasarkan UUD NRI 1945.

b. Memberikan sumbangan kepada badan legislasi, untuk menemukan prinsip dan karakteristik keterbukaan informasi perpajakan sebagai bahan penyempurnaan UU IKKP, UU KUP, UUKN, dan Undang-Undang terkait, agar dapat meningkatkan penerimaan keuangan negara dan kewenangan pemerintah dalam informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.

c. Memberikan sumbangan kepada Lembaga Direktorat Jenderal Pajak, sebagai pedoman dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan pengaturan keterbukaan informasi perpajakan agar memperhatikan Undang-Undang pajak yang terkait.

(14)

1.4. Orisinalitas Penelitian

Berikut ini dikemukakan subtansi penelitian dari beberapa disertasi mengenai hukum pajak agar jelas perbedaannya dengan disertasi ini:

1. Disertasi Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Wajib Pajak, 2006. Fokus penelitian ini meliputi penegakan hukum luar lembaga peradilan pajak dalam penyelesaian sengketa melalui cara penagihan secara biasa, penagihan seketika dan sekaligus secara paksa, serta penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan pajak yang terdiri dari lembaga keberatan dan pengadilan pajak.

2. Disertasi Joedo Hindartono, Prosedur Restitusi Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah Di bidang Ekspor Barang Kena Pajak dan Tanggung Jawab Berkaitan dengan Penerbitan Keputusan Restitusi, dipertahankan di Universitas Airlangga tahun 2008. Fokus penelitian ini meliputi prosedur pelayanan kepabeanan dan restitusi Pajak Petambahan Nilai (disingkat PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah di bidang ekspor barang kena pajak, dan pertanggungjawaban atas diterbitkannya keputusan restitusi PPN dalam rangka ekspor.

3. Disertasi Abdullah, Perlindungan Hukum bagi Wajib Pajak atas Penggunaan Wewenang dalam Rangka Pengawasan Pajak, dipertahankan di Universitas Airlangga pada tahun 2013. Fokus penelitian mencakup asas dan konsep pengawasan pajak, wewenang pengawasan pemerintah di bidang perpajakan dan implikasi pengawasan pajak terhadap perlindungan hukum wajib pajak.

4. Disertasi Etty Rochaety, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam

(15)

Penyelesaian Sengketa Perpajakan. Dipertahankan di Universitas Diponegoro pada tahun 2013. Fokus penelitian ini meliputi substansi hukum pajak yang yang berkaitan dengan perlindungan hukum wajib pajak dalam penyelesaian sengketa pajak, struktur hukum pajak yang berkaitan dengan perlindungan hukum wajib pajak dalam penyelesaian sengketa pajak, dan budaya hukum wajib pajak dan pejabat pajak yang berperan dalam perlindungan hukum wajib pajak dalam penyelesaian sengketa pajak.

5. Disertasi Simon Nahak, Politik Hukum Pidana dalam Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perpajakan di Indonesia. Dipertahan di Universitas Brawijaya pada tahun 2013. Fokus penelitian pada gagasan kebijakan dan penerapan sanksi dalam penanggulangan tindak pidana perpajakan. Beberapa putusan pengadilan dengan terdakwa wajib pajak dengan sanksi yang ringan dan menyimpulkan dampak dalam penerapan sanksi tersebut.

6. Disertasi Iwan Suhardi, Eksistensi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Dalam Pembangunan Sistem Hukum Pajak Nasional. Dipertahankan di Universitas Airlangga pada tahun 2016. Fokus Penelitian ini meliputi prinsip hukum sebagai dasar pembentukan sistem hukum pajak nasional, kedudukan UU KUP dalam sistem hukum pajak nasional sebagai ketentuan umum bagi peraturan pajak yang lain, dan faktor penghambat dan faktor pendukung penyatuan dalam hukum pajak formal.

7. Disertasi Asri Agung Putra, Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perpajakan.

Dipertahankan di Universitas Airlangga pada tahun 2018. Fokus penelitian

(16)

disertasi ini adalah filosofi tindak pidana korupsi di bidang perpajakan yang meliputi kepastian hukum dama pemungutan pajak, keadilan bagi wajib pajak dan masyarakat, pengawasan terhadap pelaksanaan wewenang dan diskresi pegawai Direktorat Jenderal Pajak, serta karakteristik tindak pidana perpajakan yang berimplikasi sebagai tindak pidana korupsi.

Perbedaan dengan disertasi tersebut yakni penelitian ini untuk menemukan landasan filosofis pengaturan keterbukaan informasi perpajakan dengan tetap memberikan perlindungan hukum bagi pemerintah, wajib pajak, dan pihak ketiga.

Prinsip perlindungan hukum bagi wajib pajak didasarkan good governance principles yang terkandung dalam pengaturan keterbukaan informasi perpajakan sebagai bentuk pelayanan publik dengan tujuan kesejahteraan rakyat. Penelitian ini menitikberatkan kepada asas proporsionalitas, asas transparansi, dan asas tanggung jawab yang terkandung dalam keterbukaan informasi perpajakan. Selain itu penelitian ini mengkaji bentuk tanggung jawab baik pemerintah, wajib pajak, dan lembaga keuangan guna terpenuhinya asas keadilan sebagai tanggung jawab dalam perpajakan.

Akhirnya penelitian ini berusaha untuk meneliti dan menyajikan pembahasan perlindungan hukum bagi wajb pajak terhadap keterbukaan informasi perpajakan yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD NRI 1945. Untuk itu penelitian terdahulu tidak ada satupun yang membahas perlindungan hukum berdasarkan good governance principles serta tanggung jawab wajib pajak dan pemerintah terhadap keterbukaan informasi perpajakan yang menjadi fokus penelitian dalam disertasi ini.

(17)

1.5. Kerangka Konseptual dan Teoritik 1.5.1. Teori Keadilan

Negara sebagai organisasi tertinggi dalam masyarakat dipandang sebagai organisasi yang penting serta mempunyai spesifikasi tersendiri sehingga mempunyai kewenangan dalam menggunakan kekuatan daya paksa.27 Aktulisasi khusus tersebut berasal dari kedaulatan yang dimiliki hanya dimiliki oleh negara sehingga tidak dimiliki oleh organisasi lainnya. Negara pada umumnya mempunyai dominasi dalam menggunakan sifat memaksaanya atau dapat disebut monopoli.28 Kebijakan pajak merupakan salah satu yang dimonopoli oleh Negara dinyatakan bahwa “Principal: Taxes are imposed at both the national and regional levels”.29

Judith Freedman dan John Vella dalam jurnalnya menyatakan bahwa pajak merupakan poin penting dalam hal ini menghubungkan perorangan dengan pemerintah. Pajak membutuhkan sejumlah uang untuk dinegosiasikan dan dipastikan disatu pihak, pajak yang diusulkan oleh pihak berwenang (legislator) ditarik atau dikumpulkan secara efisien, sementara di lain pihak, hak wajib pajak tetap dihormati.30 Penghormatan terhadap hak wajib pajak merupakan hal yang harus diutamakan, sehingga dapat dirasakan keadilannya. Keadilan harus terwujud dalam kehidupan dan setiap produk manusia, karena akan melahirkan

27 Rozikin Daman, Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 1993, h. 8.

28 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, h.

40.

29 Doing business and Investing in Indonesia, Price Waterhouse Cooper, 1994, p. 130.

30 Judith Freedman And John Vella, “HMRC‟s Management Of The U.K. Tax System: The Boundaries Of Legitimate Discretion”, Legal Research Paper Series, Vol. 73, 2012, p. 79.

(18)

keseimbangan.31 Keadilan tidak boleh terpisah dari moralitas yang didasarkan pada nilai-nilai absolut atas wahyu tuhan.32 Keadilan juga didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terdapat kesamaan perlakuan dimata hukum, kesamaan hak kompensasi, hak hidup secara layak, hak menikmati pembangunan dan tidak adanya pihak yang dirugikan serta adanya keseimbangan dalam setiap kehidupan.

Pemahaman seputar keadilan apabila dihubungkan dengan kepentingan yang komplikasi merupakan suatu hal yang rumit bahkan absurd.33 Anthony D‟Amato34 menyatakan bahwa “We can all agree on what is unjust, whereas we find it hard to say what justice is”. Hukum harus mewujudkan keadilan karena ketidakadilan tidak dikehendaki, yakni dalam pengertian “a condition in which the humanity of the people living in it, both as individuals and as social creatures, is fundamentally denied”.35 Hubungan antara hukum dan keadilan bahwa keadilan adalah tujuan hukum. Lebih dari itu keadilan ada sebelum adanya hukum.

Aristoteles dalam karyanya “Nichomachean ethnics” menyatakan bahwa keadilan adalah berbuat kebajikan atau kebajikan yang utama.36 Selain itu menurut Aristoteles37 bahwa “Justice consist in treating equals equally and unequals unequally, in proportion to their inequality”. Asas ini berasumsi akan

31 Sukarno Aburaera, Muhadar, dan maskun, Filsafat Hukum: Teori dan Praktek, Prenadamedia Group, Jakarta, 2015, h. 177.

32 Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2007, h.7.

33 James Penner, Introduction to Jurisprudence and Legal Theory: Commentary and Material), Butterworrths, London, 2002, p. 719.

34 Anthony D„Amato, Analytic Jurisprudence Anthology, Anderson Publishing Co., Cincinnati-Ohio, 1995, p. 251.

35 Hilaire McCoubrey and Nigel D. White, Textbook on Jurisprudence, Blackstone Press Ltd., London, 1996, p. 287.

36 O. Notohamidjojo, Masalah: Keadilan, Tirta Amerta, Semarang, 1971, h. 18-19.

37 Raymond Wacks, Jurisprudence, Blackstone Press Limited, London, 1995, p. 178.

(19)

sesuatu hal yang harus diperlakukan dengan proporsional yakni sesuatu hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal yang tidak sama juga diperlakukan juga tidak sama. Lebih lanjut Aristoteles menyatakan bahwa hukum tidak akan pernah dapat menjadi sangat adil38, sehingga permasalahan keadilan hukum harus dipahami dari segi kesamaan yang terdiri dari tiga keadilan yaitu keadilan berbasis kesamaan (justicia cummulative), keadilan distributif (justicia distributive), dan keadilan korektif (justicia corectiva).39 Keadilan kumulatif mencakup dua kesamaan yaitu kesamaan numerik, yang melahirkan prinsip

“semua orang sederajat di depan hukum” atau non diskriminisasi, dan kesamaan proporsional, yang melahirkan prinsip bahwa “memberi tiap orang apa yang menjadi haknya”. Keadilan distributif identik dengan keadilan atas dasar kesamaan proporsional. Sedangkan keadilan korektif yakni keadilan dengan memberikan kepada setiap orang sama banyaknya tanpa memperhatikan jasa atau baktinya melalui adanya sanksi dan adanya ganti rugi .40

Pada zaman Romawi pandangan aliran stoa yang berpengaruh kaitannya dengan masalah keadilan. Aliran stoa menyatakan adil dalam arti sempit yakni dalam berhubungan dengan sesama manusia jika menerapkan 2 (dua) prinsip.

Pertama, neminem laedere (bertindak jangan merugikan orang lain) dan prinsip yang kedua, unicueque suum tribuere (berikanlah kepada setiap orang apa yang

38 Aristotle, Politics, translated by C.D.C. Reeve, Indianapolis, Hackett Publishing Company, 1998, p. 82.

39 John Rawls, A Theory of Justice, Harvard University Press, Massachusetts, 1999, p. 45.

40 Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, h. 45.

(20)

menjadi haknya).41 Pandangan tentang keadilan dinyatakan Thomas Aquinas pada abad pertengahan, keadilan menurut Thomas Aquinas yakni, apa yang sepatutnya bagi orang lain menurut sesuatu kesamaan proporsional, berdasarkan pengertian keadilan tersebut Thomas Aquinas membedakan golongan dalam masyarakat dapat bertindak yang terbaik menurut bidang tempatnya Ketiga golongan tidak boleh saling mengintervensi dalam pelaksanaan tugas, ketika hal itu terjadi ekses yang timbal adalah pertentangan yang mengakibatkan kehidupan masyarakat menjadi tidak harmoni.42 Keadilan secara khusus dibedakan atas keadilan distributif (Justitia distributiva), keadilan komutatif (Justitia commutativa), dan keadilan vindikatif (Justitia vindicativa). Keadilan distributif diterapkan secara proporsional dalam hukum publik pada umumnya, keadilan komutatif berkaitan soal prestasi dengan kontraprestasi, dan keadilan vindikatif memberikan hukuman sesuai dengan pelanggaran dan tindak kejahatannya.43

Keadilan menurut Ulpianus digambarkan sebagai “justitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi” yakni kehendak yang tetap dan terus menerus akan diberikan kepada masing-masing apa yang menjadi haknya.44 Keadilan berkaitan dengan fungsi atau peran masyarakat. Fungsi dan peran masyarakat ini dapat berupa tindakan-tindakan yang bermaksud baik dengan memberikan hak miliknya dan menggunakan hak milik itu bagi orang lain yang berlandaskan kemurahan hati dan rasa belas kasihan. “We may therefore say that

41 Dani Elpah, Perincian dan Penormaan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya, 2010, h. clxviii.

42 Ibid., h. clxviii- clxix.

43 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, ed revisi, cet V, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, h. 157.

44 O. Notohamidjojo, Loc. Cit.

(21)

justice as fairness rests on the assumtion of a natural right of all men adn womenn to equality of concern and respect, a right they possess not by virtue of birth or characteristic or merit or excellence but simply as human beings with the capacity to make plans and give justice”.45 Asas keadilan dalam perspektif moral tidak dimaksudkan untuk menciptakan individualistik pada masyarakat, namun asas keadilan ini bertujuan untuk penghormatan atas persamaan hak dalam perpajakan.

H. L. A. Hart menyatakan tentang keadilan bahwa “„treat like cases alike‟;

thought we need to add to the latter „and treat different cases diffferently‟”.46 Terjemahan: perlakukan hal-hal yang sama terhadap kasus yang sama meskipun kita perlu menambahkan padanya dan perlakukan hal-hal yang berbeda dengan cara yang berbeda. Pemberlakuan setiap kasus sebagaimana mestinya dianggap H.

L. A. Hart suatu sebab yang penting, karena pada kondisi tertentu manusia dapat dinyatakan memiliki kesamaan sebagai manusia yang harus diberlakukan sama.

Terhadap situasi dan kondisi tertentu maka manusia yang satu dengan yang lainnya harus diperlakukan berbeda disebabkan faktor faktor yang berbeda pula.47 Pengertian keadilan yang dikemukakan oleh Plato, Aristóteles, aliran stoa, Thomas Aquinas, Ulpianus, dan H. L. A. Hart adalah tindakan adil bermula dari yang positif.

45 Ronald Dworkin, Taking Right Seriously, Gerald Duckworth, London, 2009, p. 182.

46 H. L. A. Hart, The Concept Of Law, terjemahan M. Khozim, cetakan I, Nusa Media, Bandung, 2009, h. 266.

47 Feri Amsari, “Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Pemenuhan Tujuan Hukum dalam Kasus Sekte Al-Qiyadah (Kajian Putusan Nomor: 64/Pid.B/2008/PN.PDG)”, Yudisial, Vol. 3 No.

2, 2010, h. 105.

(22)

Keadilan dalam perpajakan dapat diartikan keadilan hak-hak yang dihasilkan dari sebuah rezim pajak tertentu.48 Aturan keadilan pajak menangani masalah-masalah yang berbeda dari masalah peraturan pajak pemerintah pada umumnya. Menurut Joseph M. Dodge dalam jurnalnya bahwa “The following are the most commonly cited substantive tax fairness norms: the equal sacrifice norm, the benefits received from government norm, the “well being” (or “standard of living”) norm, and the ability to pay norm. In order that a fairness norm can be reasonably implemented, it must be capable of “objective” application”.49 Aturan subtantif mengenai keadilan pajak yang paling sering dikuti adalah aturan pengorbanan yang sama, aturan keuntungan diterima dari pemerintah, aturan standar hidup, dan aturan kemampuan untuk membayar. Agar sebuah aturan keadilan dapat diimplementasikan, maka aturan tersebut harus berlaku secara obyektif. Untuk itu aturan keadilan pajak adalah sebuah prinsip, teori, atau ideologi terkait rasio pendapatan pemerintah terhadap tujuan pemerintah dan teori umum mengenai keadilan.

1.5.2. Konsep Pajak dan Prinsip Pemungutan Pajak

Istilah pajak dikenal dengan sebutan “tax” dalam bahasa Inggris. Dalam literatur Amerika selain istilah tax dikenal pula istilah tariff.50 Istilah “tax” dalam Black‟s Law Dictionary diartikan sebagai “a charge, usu, monetary, imposed by the government on persons, entities, transactions, or property to yield public

48 Linda Sugin, “Theories Of Distributive Justice And Limitation On Taxation: What Rawls Demands From Tax System”, Fordham Law Review, Vol. 72, 2004, p. 1991.

49 Joseph M. Dodge, “Theories Of Tax Justice: Ruminations On The Benefit, Partnership, And Ability To Pay Principles”, Public Law and Legal Theory, Vol. 150, 2005, p. 2.

50 Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, Granit, Jakarta, 2005, h. 12.

(23)

revenue”.51 Dictionary of Law juga mengartikan tax sebagai “money taken compulsorily by the government or by an official body to pay for government services”.52

Pendefinisian pajak cukup rumit, beraneka ragam, dan dengan terciptanya definisi-definisi pajak yang banyak itu maka tidak sedikit bahkan sering kali menimbulkan perbedaan pendapat yang tajam antara pakar hukum pajak. Menurut P.J.A. Adriani, sebagaimana dikutip oleh Santoso Brotodiharjo yang menyatakan bahwa pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan, yang terutang oleh wajib pajak membayar menurut peraturan- peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk, dan gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.53

Robert Anderson Seligman mengemukakan definisi pajak bahwa “a tax is compulsory contribution from the person to the Government to defray the expenses incurred in the common interst of ol without refence to special benefits conferred”. 54 Smeet sebagaimana yang dikutip oleh Chidir Ali yang menyatakan bahwa pajak adalah prestasi-prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum yang diterapakan dan yang dapat dipaksakan tanpa adanya

51 Bryan A. Garner, Blacks Law Dictionary, Ninth Edition, Thomson Reuters, United State of America, 2009, p. 1594.

52 P.H. Collin, Dictionary of Law, Fourth Edition, Bloomsbury Publishing, London, 2004, p. 293.

53 Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Cetakan 20, Refika Aditama, Bandung, 2008, h. 2.

54 Edwin R.A Seligman, Essay on Taxation, New York, 1925, h. 432.

(24)

kontra prestsi terhadapnya dan dapat ditujukan dalam hal yang khusus pribadi dimaksud untuk menutup pengeluaran-pengeluaran negara.55

Definisi pajak Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong bahwa “Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”.56 Menurut Rochmat Soemitro,

“Pajak ialah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikelir ke sector pemerintah) berdasarkan Undang-Undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (tegen Prestatie) yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum (publieke uitgaven)”.57

Konsepsi pajak secara yuridis lebih lanjut didefinisikan dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU KUP menyatakan bahwa “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Definisi versi UU KUP dengan definisi Rochmat Soemitro hampir ada kesamaan. Kata-kata “iuran” diganti dengan kata “kontribusi” yang bersifat lebih positif karena mengandung makna partisipasi oleh masyarakat. Kemudian ada tambahan “bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang membuat kata pajak

55 Chidir Ali, Hukum Pajak, Eresco, Bandung, 1993, h. 39.

56 Santoso Brotodiharjo, Op. Cit., h.5.

57 Rochmat Soemitro, Dasar-Dasar Hukum pajak dan Pajak Pendapatan 1944, Op. Cit., h. 22.

(25)

lebih bernilai positif karena untuk tujuan kemakmuran rakyat melalui tersedianya barang dan jasa publik.

Prinsip hukum diperlukan dalam pembentukan aturan hukum serta dasar untuk memecahkan suatu persoalan hukum yang timbul apabila aturan yang ada tidak memadai.58 Bruggink menyatakan asas hukum adalah nilai-nilai yang melandasi aturan hukum.59 Prinsip hukum juga merupakan metanorma sebagai landasan pembentukan peraturan Perundang-Undangan, menemukan suatu hukum terhadap kasus-kasus yang dihadapi hakim untuk diputuskan apabila tidak dapat merujuk kepada aturan hukum positif, dan parameter dalam mengukur suatu aturan yang sudah ada pada jalur yang benar (on the right track).60

Prinsip pemungutan pajak harus mengkamodasi prinsip keadilan pada saat dimulainya penyusunan Undang-Undang perpajakan.61 Adam Smith dalam bukunya As Inquiry into the Nature and Causes of the Wealht if Nation yang terkenal dengan nama Wealth of Nations menyatakan pendapatnya mengenai prinsip pemungutan pajak yang dinamakan The Four Maxims atau disebut juga the four canons of adam smith.62 Pedoman untuk menentukan terpenuhinya prinsip pemungutan pajak dalam Perundang-Undangan maka harus memenuhi syarat sesuai dengan The Four Maxims yang diuraikan sebagai berikut:63

58 Y. Sogar Simamora, Prinsip Hukum Kontrak dalam Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, Disertasi, Unair, Surabaya, 2005, h. 22.

59 Bruggink, Rechtsreflecties, Terjemahan Arif Sidarta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h. 121.

60 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktek di Pengadilan, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2015, h. 27.

61 Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Edisi Revisi, Refika Aditama, Bandung, 2004, h. 14.

62 Y. Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak ,Edisi Revisi, Andi, Yogyakarta, 2007, h.

43.

63 Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Loc. Cit.

(26)

a. Equality dan Equity

Equality atau kesamaan merupakan keadaan yang sama atau orang yang berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama.64 Sebagaimana pernyataan Adam Smith bahwa65 “the subject of every state ought to contribute towards the support if government as nearly as possible in proportion to their respective abilities”. Rakyat dari setiap negara mempunyai kewajiban memberikan kontribusi untuk mendukung pemerintah sedekat mungkin dengan proporsi kemampuan bayar mereka masing-masing. Dalam pajak penghasilan, bukan orang yang mempunyai penghasilan yang sama akan dikenakan pajak yang sama tetapi orang mempunyai penghasilan kena pajak yang sama akan dikenakan pajak yang sama. Asas equality dalam sistem perpajakan juga disebut dengan istilah non discrimination. Dalam asas equality ini negara tidak diperbolehkan mengadakan diskriminasi di antara sesama wajib pajak, sehingga orang asing dan warga negara Indonesia yang berada dalam keadaan yang sama akan diperlakukan sama dan dikenakan pajak yang sama besar.66 Asas tersebut berimplikasi menurut Charles Kabera bahwa “That every person should pay the tax according to his ability and not the same amount. It further means that every tax prayer should not pay at the same rate, rather every taxpayer should pay the tax proportion to his income of the taxpayer blanket”.67 Setiap orang harus membayar pajak sesuai

64Santoso Brotodiharjo, Op. Cit., h. 27.

65 Adam Smith, An Enquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, P.F.

Collier & Son, New York, 1762, p. 451.

66 Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum bagi wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak: Menurut UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Refika Aditama, Bandung, 2006, h. 11.

67 Nicholas, T. T. Simiyu, Taxation in Kenya (Principles and Practice), Foundation Inst. Of Professionals, Nairobi, 2003, p. 2.

(27)

dengan kemampuannya dan tidak dalam jumlah yang sama. Lebih jauh berarti bahwa setiap wajib pajak tidak akan membayar dengan tarif yang sama, setiap wajib pajak harus membayar pajak proporsional dengan pendapatan wajib pajak.

Implikasi penerapan asas tersebut bahwa didalam equality harus ada equity.

Selain asas equality, ada asas equity sebagai pendamping equality. Equity sebelum dikembangkan oleh Adam Smith, lebih awal diinisiasi oleh Aristoteles yang sesuai dengan pernyataan Jacqueline Nolan-Haley bahwa “Aristotle regarded equity as a corrective to the general laws and a form of justice that was superior to and in tension with strict legal justice”68. Aristoteles dalam The Nicomathean Ethics, Book Vx, 5-xi menyatakan tentang equity bahwa69,

The source of the difficulty is that equity, though just, is not legal justice, but a rectification of legal justice. The reason for this is that law is always a general statement, yet there are cases which it is not possible to cover in a general statement ... Hence, while the equitable is just, and is superior to one sort of justice, it is not superior to absolute justice, but only to the error due to its absolute statement. This is the essential nature of the equitable; it is a rectification of law where law is defective because of its generality.

Equity adalah bentuk khusus dari keadilan yakni “a quality intimately connected with, but distinct from and more precise than, justice”.70 Lebih lanjut Aristoteles bahwa equity atau epieikeia atau billijkheid adalah sebuah kepatutan yang menjadi penjaga dalam pelaksanaan Undang-Undang diluar Undang-Undang

68 Jacqueline Nolan-Haley, “Merger of Law and Mediation: Lessons from Equity Jurisprudence and Roscoe Pound”, Cardozo Journal of Conflict Resolution, Vol. 6, 2004, p. 60.

Dikutip dalam Krisna Darumurti, Konsep Dan Asas Hukum Kekuasaan Diskresi Pemerintah, Disertasi, Surabaya, 2015, h. 107.

69 Samantha Hepburn, Principles of Equity and Trusts Law, Cavendish Publishing, Sydney- London, 2001, p. 3.

70 Mark Tebbit, Philosophy of Law: An Introduction, Routledge, London-New York, 2005, p. 9.

(28)

yang menuntut keadilan dalam keadaan dan situasi tertentu.71 Undang-Undang dirasakan memberikan keadilan karena memenuhi asas equality, akan tetapi ada kalanya bahwa apa yang adil secara umum belum tentu patut dalam kasus tertentu.72 Penerapan equity diperlukan dalam peraturan yang dapat menghilangkan ketidakadilan dalam hal khusus tersebut.

b. Certainty

Asas Certainty atau asas kepastian hukum merupakan tujuan setiap Undang- Undang.73 Kepastian hukum menghendaki hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati dan dilaksanakan, akan tetapi bagaimana norma- norma atau materi muatan dalam peraturan tersebut memuat prinsip-prinsip dasar hukum. Menurut Tata Wijayanta menyatakan bahwa kepastian hukum dijadikan pedoman bagi masyarakat melalui kejelasan norma yang tersirat.74 Kepastian hukum merupakan jaminan hukum utuk mendapatkan haknya dan putusan dapat dilaksanakan.75 Kepastian hukum juga sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap tindakan sewenang-wenang pemerintah agar seseorang mendapatkan apa yang menjadi haknya.

Dalam pembuatan Undang-Undang serta peraturan yang mengikat umum digunakan bahasa hukum secara tepat, jelas, tegas, dan tidak mengandung makna

71 O. Notohamidjojo, Masalah: Keadilan, Tirta Amerta, Semarang, 1971, h. 9. Dikutip dalam Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana, Jakarta, 2010, h. 65-66.

72 Syofrin Syofyan dan Asyhar Hidayat, Hukum Pajak dan Permasalahannya, Refika Aditama, Bandung, 2004, h. 43.

73 Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Op. Cit., h. 21

74 Tata Wijayanta, “Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam Kaitannya Dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14 No. 2, 2014, h.

219.

75 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990, h. 24-25.

(29)

ganda sehingga tidak memberikan peluang untuk ditafsirkan lain.76 Penetapan pajak harus jelas agar tidak dilakukan secara sewenang-wenang.77 Asas ini memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak. Asas ini dimaksudkan agar pajak harus dibayar seseorang harus jelas dan pasti tidak dapat diulur-ulur atau ditawar- tawar (not arbitrary). Asas ini meliputi empat unsur yakni kepastian siapa wajib pajak, kepastian tentang objek pajak sampai dengan jumlah pajak yang harus dibayar, kepastian tentang kapan pajak itu harus dibayar, dan kepastian tentang dimana pajak itu harus dibayar.78 Asas kepastian hukum harus memberikan jaminan kepastian hukum terhadap rakyat atas tindakan pemerintah yang dibebankan oleh peraturan yang berlaku.

c. Convenience of Payment

Asas Convenience of Payment dimaksudkan agar pemungutan pajak harus dilakukan pada saat yang paling tepat. Maksud saat yang paling tepat disini yakni pada saat wajib pajak mempunyai uang. Santoso Brotodiharjo menyatakan bahwa saat yang paling tepat adalah saat sedekat-dekatnya dengan waktu akan diterimanya penghasilan oleh yang bersangkutan.79

Tidak semua wajib pajak mempunyai convenience yang sama, misalkan karyawan, buruh, dan pegawai akan lebih mudah membayar pajak pada saat mereka menerima gaji, upah, atau honorarium. Seorang pedagang akan lebih mudah membayar pajak pada waktu menerima pembayaran dari debiturnya atau

76 Ibid.

77 Tryana A.M. Tiraada, “Kesadaran Perpajakan, Sanksi Pajak, Sikap Fiskus Terhadap Kepatuhan Wpop Di Kabupaten Minahasa Selatan”, Jurnal Emba: Jurnal Riset Ekonomi, Manajemen, Bisnis Dan Akuntansi, Vol. 1 No. 3, 2013, h. 1001.

78 Wiratni Ahmadi, Op. Cit., h. 11

79 Santoso Brotodiharjo, Op. Cit., h. 28.

(30)

kliennya. Seseorang yang menerima deviden atau bunga, lebih mudah membayar pajak pada waktu menerima itu. Pajak harus dipungut saat ketika atau cara kemungkinan besar wajib pajak menjadi nyaman untuk membayarnya, sehingga pembayaran pajak tidak terkesan adanya paksaan.

d. Economic of collection

Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-hematnya jangan sampai biaya pemungutan pajak melebihi pemasukan pajak. Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti menyatakan bahwa biaya pemungutan pajak harus lebih kecil dibandingkan dengan uang pajak yang masuk.80 Memang seharusnya biaya pemungutan pajak harus lebih kecil dari pada pemasukan pajak, karena akan percuma apabila sebagian besar hasil dari pajak yang masuk digunakan untuk biaya memungut pajak.

Pendapat yang sama oleh Ibnu Khaldun yang menekankan asas perpajakan dalam bukunya berjudul “muqaddimah” yakni meliputi asas kesamarataan dan kenetralan dan juga menekankan pada prinsip-prinsip kemudahan dan produktivitas yang tidak menindas.81 Prinsip tersebut didasari oleh faktor terpenting untuk prospek usaha adalah memberikan keringanan seringan mungkin beban pajak bagi pengusaha untuk menggairahkan kegiatan bisnis dengan menjamin keuntungan yang lebih besar, sehingga membuat rakyat memiliki dorongan agar lebih aktif dalam kegitan perekonomian.82 Parameter dari prinsip keadilan dalam pemungutan pajak terlihat pada adanya pemerataan dan perlakuan

80 Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Op. Cit., h.25

81 Yudha Bhakti, Penemuan Hukum Nasional dan Internasional: Pancasila Sebagai Landasan Pengembangan Sistem Hukum Pajak Indonesia, Fikahati aneska bekerjasama dengan Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 2012. h. 103.

82 Ibid.

(31)

yang sama serta perlindungan terhadap warga negara terhadap tindakan penyalahgunaan kewenangan oleh penguasa dalam pemungutan pajak.

Selain prinsip pemungutan pajak, perlu pemahaman pengertian pengampunan pajak yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Pengampunan Pajak yakni “Pengampunan pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana dalam bidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”. Berakhirnya hutang pajak, salah satunya adalah dengan penghapusan pajak. Konsep penghapusan pajak diberikan karena keadaan wajib pajak bukan keadaan negara.

Istilah pengampunan pajak secara etimologis berasal dari kata “tax amnesty”. Kata “amnesty” berasal dari bahasa Yunani “amnestia” dapat diartikan, melupakan atau suatu tindakan melupakan.83 Di Amerika Serikat, istilah amnesty juga biasa diidentikkan dengan pardon atau pengampunan.84 Blacks Law Dictionary memberikan definisi bahwa “A pardon extended by the goverment to a group or class of person”.85 Dictionary of Law juga memberikan definisi bahwa

“a pardon, often for political crimes, given to several people at the same time”.86 Mengacu pada pengertian amnesty, maka pengampunan pajak merupakan konsep penghapusan sanksi yang diberikan oleh Presiden dalam situasi tertentu kepada wajib pajak yang telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang

83 Ifhdal Kasim, “Menghadapi Masa Lalu: Mengapa Amnesti”, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), No.2 Tahun I, 2000, h.2.

84 Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, h. 344.

85 Bryan A. Garner, Op. Cit., p. 99.

86 P.H. Collin, Op. Cit., p. 14

(32)

perpajakan. Zainul Muttaqin menyatakan bahwa pengampunan pajak merupakan pemberian fasilitas perpajakan berupa pembebasan dalam periode atau tenggang waktu tertentu atas harta kekayaan atau penghasilan yang sebelumnya tidak atau belum sepenuhnya dikenakan pajak dari pengenaan, pemeriksaan, pengusutan, dan penuntutan. Hal ini dilandasi oleh adanya pengakuan kesalahan dengan menyesali kesalahan tersebut dan janji tidak akan mengulangi kesalahan oleh wajib pajak.87

Daniel Deak dalam jurnalnya Hungary‟s Halfway Tax Amnesty menyatakan bahwa “The legislature must assess the general propensity to pay taxes and launch an amnesty depending on how much progress can be expected in improving tax compliance. The legislature must determine to whom an amnesty program can be addressed, what scope of transactions must be covered, and what types of incentives can be applied”.88 Pembuatan UU Pengampunan pajak harus menentukan kepada siapa program pengampunan pajak dapat ditangani dan apa jenis insentif yang dapat diterapkan. Kebijakan tersebut juga memberikan suatu bentuk insentif kepada wajib pajak agar dengan sukarela untuk mengungkapkan hartanya yang berada di luar negeri sehingga pemerintah dapat memiliki informasi mengenai pola menyembunyikan harta dan penghasilan dari pengungkapan tersebut.89 Banyak negara menggunakan pola tersebut dengan diterapkan dalam

87 Zainal Muttaqin, Tax Amnesty di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2012, h. 30.

88 Daniel Deak, “Hungary‟s Halfway Tax Amnesty”, Tax Note International, Vol. 53/7, 2009, p. 603.

89 Vokhid Urinov, “Tax Amnesty as a Transitional Bridge to Automatic Excange of Information”, Bulletin for International Taxation, Vol. 69/3, 2015.

(33)

kebijakan Offshore Voluntery Disclosure Program (OVDP) yang memiliki karakteristik hampir sama dengan pengampunan pajak.90

Ralph C. Bayer, Harald Oberhofer, dan Hannes Winner juga menyatakan bahwa pengampunan pajak juga merupakan program sekali waktu yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu yang berlangsung secara singkat dan diharapkan tidak berulang. Pemberlakuan pemungutan pajak dalam jangka pendek sangat dipengaruhi oleh apakah sejumlah besar wajib pajak memilih untuk ambil bagian dalam pengampunan pajak atau tidak.91 Pendapat yang sama juga disampaikan Ira A. Jackson bahwa Pengampunan pajak diharuskan untuk membayar denda atas pajak yang tidak dibayarkan, sehingga mengijinkan untuk membayar pajak lebih sedikit daripada wajib pajak yang membayar pajaknya tepat waktu.92 Andrian Sawyer juga mengemukan hal sama, bahwa pengampunan pajak merupakan sebuah kegiatan untuk memaafkan hal-hal yang telah dilakukan dimasa lalu dan melupakan pajak yang terhutang dengan syarat-syarat tertentu.93 Pengampunan pajak lebih baik jika pemerintah memaafkan pajak terhutang dan dendanya, akan tetapi tetapi tidak akan pernah memaafkan wajib pajak yang dengan sengaja mengambil keuntungan dari pengampunan pajak.94

90 Leandra Lederman, “The Use of Voluntary Disclosure Inititives in Battles Against Offshore Tax Evasion”, Villanova Law Review, Vol. 57, 2012, h. 582.

91 Ralph C. Bayer, Harald Oberhofer, and Hannes Winner, “The Occurrence of Tax Amnesties: Theory and Evidence”, Oxford University Centre For Business Taxation, Vol. 14/02, 2014, h. 1.

92 Ira A. Jackson, “Amnesty And Creative Tax Administration”, National Tax Journal, Vol.

39/ 3, 1986, h. 317.

93 Andrian Sawyer,” Industry Partnerships And Targeted Amnesties At Ingrained Evasion – A New Approach To An Old Tax Problems?”, Revenue Law Journal, Vol. 16: Iss. 1, Article 3, 2006, h. 25.

94 Ibid., h. 26.

Referensi

Dokumen terkait

Masalah yang ditemukan adalah Kitab Undang Undang Hukum Pidana masih berbentuk buku selain itu sangat mudah sobek dan bahkan rusak, tujuan dirancangnya Aplikasi

Metode yang digunakan dalam akuisisi data yaitu metode seismik refraksi dengan interpretasi data menggunakan Metode Hagiwara untuk menentukan kedalaman suatu lapisan tanah

Parameter kualitas air yang penting di sekitar keramba jaring apung di Danau Maninjau telah menunjukkan kadar yang tidak mendukung untuk kehidupan ikan di dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Tugas Perencanaan Unit Pengolahan Pangan dengan judul:

Desain stator dan rotor dari generator linier ini masih sama dengan desain yang digunakan pada penelitian sebelumnya namun terdapat perubahan pada sisi spesifikasi

Peserta didik bersama kelompok menyusun pertanyaan yang berkaitan dengan menyajikan data dan informasi dalam bentuk berita secara lisan dan tulis dengan memperhatikan struktur,

Maka debit banjir yang digunakan untuk perencanaaan check dam di DAS Keduang Desa Brangkal diambil dari perhitungan metode weduwen dengan periode ulang 50 tahun yaitu sebesar Q