• Tidak ada hasil yang ditemukan

Istilah pajak dikenal dengan sebutan “tax” dalam bahasa Inggris. Dalam literatur Amerika selain istilah tax dikenal pula istilah tariff.50 Istilah “tax” dalam Black‟s Law Dictionary diartikan sebagai “a charge, usu, monetary, imposed by the government on persons, entities, transactions, or property to yield public

48 Linda Sugin, “Theories Of Distributive Justice And Limitation On Taxation: What Rawls Demands From Tax System”, Fordham Law Review, Vol. 72, 2004, p. 1991.

49 Joseph M. Dodge, “Theories Of Tax Justice: Ruminations On The Benefit, Partnership, And Ability To Pay Principles”, Public Law and Legal Theory, Vol. 150, 2005, p. 2.

50 Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, Granit, Jakarta, 2005, h. 12.

revenue”.51 Dictionary of Law juga mengartikan tax sebagai “money taken compulsorily by the government or by an official body to pay for government services”.52

Pendefinisian pajak cukup rumit, beraneka ragam, dan dengan terciptanya definisi-definisi pajak yang banyak itu maka tidak sedikit bahkan sering kali menimbulkan perbedaan pendapat yang tajam antara pakar hukum pajak. Menurut P.J.A. Adriani, sebagaimana dikutip oleh Santoso Brotodiharjo yang menyatakan bahwa pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan, yang terutang oleh wajib pajak membayar menurut peraturan- peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk, dan gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.53

Robert Anderson Seligman mengemukakan definisi pajak bahwa “a tax is compulsory contribution from the person to the Government to defray the expenses incurred in the common interst of ol without refence to special benefits conferred”. 54 Smeet sebagaimana yang dikutip oleh Chidir Ali yang menyatakan bahwa pajak adalah prestasi-prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum yang diterapakan dan yang dapat dipaksakan tanpa adanya

51 Bryan A. Garner, Blacks Law Dictionary, Ninth Edition, Thomson Reuters, United State of America, 2009, p. 1594.

52 P.H. Collin, Dictionary of Law, Fourth Edition, Bloomsbury Publishing, London, 2004, p. 293.

53 Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Cetakan 20, Refika Aditama, Bandung, 2008, h. 2.

54 Edwin R.A Seligman, Essay on Taxation, New York, 1925, h. 432.

kontra prestsi terhadapnya dan dapat ditujukan dalam hal yang khusus pribadi dimaksud untuk menutup pengeluaran-pengeluaran negara.55

Definisi pajak Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong bahwa “Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”.56 Menurut Rochmat Soemitro,

“Pajak ialah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikelir ke sector pemerintah) berdasarkan Undang-Undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (tegen Prestatie) yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum (publieke uitgaven)”.57

Konsepsi pajak secara yuridis lebih lanjut didefinisikan dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU KUP menyatakan bahwa “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Definisi versi UU KUP dengan definisi Rochmat Soemitro hampir ada kesamaan. Kata-kata “iuran” diganti dengan kata “kontribusi” yang bersifat lebih positif karena mengandung makna partisipasi oleh masyarakat. Kemudian ada tambahan “bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang membuat kata pajak

55 Chidir Ali, Hukum Pajak, Eresco, Bandung, 1993, h. 39.

56 Santoso Brotodiharjo, Op. Cit., h.5.

57 Rochmat Soemitro, Dasar-Dasar Hukum pajak dan Pajak Pendapatan 1944, Op. Cit., h. 22.

lebih bernilai positif karena untuk tujuan kemakmuran rakyat melalui tersedianya barang dan jasa publik.

Prinsip hukum diperlukan dalam pembentukan aturan hukum serta dasar untuk memecahkan suatu persoalan hukum yang timbul apabila aturan yang ada tidak memadai.58 Bruggink menyatakan asas hukum adalah nilai-nilai yang melandasi aturan hukum.59 Prinsip hukum juga merupakan metanorma sebagai landasan pembentukan peraturan Perundang-Undangan, menemukan suatu hukum terhadap kasus-kasus yang dihadapi hakim untuk diputuskan apabila tidak dapat merujuk kepada aturan hukum positif, dan parameter dalam mengukur suatu aturan yang sudah ada pada jalur yang benar (on the right track).60

Prinsip pemungutan pajak harus mengkamodasi prinsip keadilan pada saat dimulainya penyusunan Undang-Undang perpajakan.61 Adam Smith dalam bukunya As Inquiry into the Nature and Causes of the Wealht if Nation yang terkenal dengan nama Wealth of Nations menyatakan pendapatnya mengenai prinsip pemungutan pajak yang dinamakan The Four Maxims atau disebut juga the four canons of adam smith.62 Pedoman untuk menentukan terpenuhinya prinsip pemungutan pajak dalam Perundang-Undangan maka harus memenuhi syarat sesuai dengan The Four Maxims yang diuraikan sebagai berikut:63

58 Y. Sogar Simamora, Prinsip Hukum Kontrak dalam Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, Disertasi, Unair, Surabaya, 2005, h. 22.

59 Bruggink, Rechtsreflecties, Terjemahan Arif Sidarta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h. 121.

60 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktek di Pengadilan, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2015, h. 27.

61 Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Edisi Revisi, Refika Aditama, Bandung, 2004, h. 14.

62 Y. Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak ,Edisi Revisi, Andi, Yogyakarta, 2007, h.

43.

63 Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Loc. Cit.

a. Equality dan Equity

Equality atau kesamaan merupakan keadaan yang sama atau orang yang berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama.64 Sebagaimana pernyataan Adam Smith bahwa65 “the subject of every state ought to contribute towards the support if government as nearly as possible in proportion to their respective abilities”. Rakyat dari setiap negara mempunyai kewajiban memberikan kontribusi untuk mendukung pemerintah sedekat mungkin dengan proporsi kemampuan bayar mereka masing-masing. Dalam pajak penghasilan, bukan orang yang mempunyai penghasilan yang sama akan dikenakan pajak yang sama tetapi orang mempunyai penghasilan kena pajak yang sama akan dikenakan pajak yang sama. Asas equality dalam sistem perpajakan juga disebut dengan istilah non discrimination. Dalam asas equality ini negara tidak diperbolehkan mengadakan diskriminasi di antara sesama wajib pajak, sehingga orang asing dan warga negara Indonesia yang berada dalam keadaan yang sama akan diperlakukan sama dan dikenakan pajak yang sama besar.66 Asas tersebut berimplikasi menurut Charles Kabera bahwa “That every person should pay the tax according to his ability and not the same amount. It further means that every tax prayer should not pay at the same rate, rather every taxpayer should pay the tax proportion to his income of the taxpayer blanket”.67 Setiap orang harus membayar pajak sesuai

64Santoso Brotodiharjo, Op. Cit., h. 27.

65 Adam Smith, An Enquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, P.F.

Collier & Son, New York, 1762, p. 451.

66 Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum bagi wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak: Menurut UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Refika Aditama, Bandung, 2006, h. 11.

67 Nicholas, T. T. Simiyu, Taxation in Kenya (Principles and Practice), Foundation Inst. Of Professionals, Nairobi, 2003, p. 2.

dengan kemampuannya dan tidak dalam jumlah yang sama. Lebih jauh berarti bahwa setiap wajib pajak tidak akan membayar dengan tarif yang sama, setiap wajib pajak harus membayar pajak proporsional dengan pendapatan wajib pajak.

Implikasi penerapan asas tersebut bahwa didalam equality harus ada equity.

Selain asas equality, ada asas equity sebagai pendamping equality. Equity sebelum dikembangkan oleh Adam Smith, lebih awal diinisiasi oleh Aristoteles yang sesuai dengan pernyataan Jacqueline Nolan-Haley bahwa “Aristotle regarded equity as a corrective to the general laws and a form of justice that was superior to and in tension with strict legal justice”68. Aristoteles dalam The Nicomathean Ethics, Book Vx, 5-xi menyatakan tentang equity bahwa69,

The source of the difficulty is that equity, though just, is not legal justice, but a rectification of legal justice. The reason for this is that law is always a general statement, yet there are cases which it is not possible to cover in a general statement ... Hence, while the equitable is just, and is superior to one sort of justice, it is not superior to absolute justice, but only to the error due to its absolute statement. This is the essential nature of the equitable; it is a rectification of law where law is defective because of its generality.

Equity adalah bentuk khusus dari keadilan yakni “a quality intimately connected with, but distinct from and more precise than, justice”.70 Lebih lanjut Aristoteles bahwa equity atau epieikeia atau billijkheid adalah sebuah kepatutan yang menjadi penjaga dalam pelaksanaan Undang-Undang diluar Undang-Undang

68 Jacqueline Nolan-Haley, “Merger of Law and Mediation: Lessons from Equity Jurisprudence and Roscoe Pound”, Cardozo Journal of Conflict Resolution, Vol. 6, 2004, p. 60.

Dikutip dalam Krisna Darumurti, Konsep Dan Asas Hukum Kekuasaan Diskresi Pemerintah, Disertasi, Surabaya, 2015, h. 107.

69 Samantha Hepburn, Principles of Equity and Trusts Law, Cavendish Publishing, Sydney-London, 2001, p. 3.

70 Mark Tebbit, Philosophy of Law: An Introduction, Routledge, London-New York, 2005, p. 9.

yang menuntut keadilan dalam keadaan dan situasi tertentu.71 Undang-Undang dirasakan memberikan keadilan karena memenuhi asas equality, akan tetapi ada kalanya bahwa apa yang adil secara umum belum tentu patut dalam kasus tertentu.72 Penerapan equity diperlukan dalam peraturan yang dapat menghilangkan ketidakadilan dalam hal khusus tersebut.

b. Certainty

Asas Certainty atau asas kepastian hukum merupakan tujuan setiap Undang-Undang.73 Kepastian hukum menghendaki hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati dan dilaksanakan, akan tetapi bagaimana norma-norma atau materi muatan dalam peraturan tersebut memuat prinsip-prinsip dasar hukum. Menurut Tata Wijayanta menyatakan bahwa kepastian hukum dijadikan pedoman bagi masyarakat melalui kejelasan norma yang tersirat.74 Kepastian hukum merupakan jaminan hukum utuk mendapatkan haknya dan putusan dapat dilaksanakan.75 Kepastian hukum juga sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap tindakan sewenang-wenang pemerintah agar seseorang mendapatkan apa yang menjadi haknya.

Dalam pembuatan Undang-Undang serta peraturan yang mengikat umum digunakan bahasa hukum secara tepat, jelas, tegas, dan tidak mengandung makna

71 O. Notohamidjojo, Masalah: Keadilan, Tirta Amerta, Semarang, 1971, h. 9. Dikutip dalam Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana, Jakarta, 2010, h. 65-66.

72 Syofrin Syofyan dan Asyhar Hidayat, Hukum Pajak dan Permasalahannya, Refika Aditama, Bandung, 2004, h. 43.

73 Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Op. Cit., h. 21

74 Tata Wijayanta, “Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam Kaitannya Dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14 No. 2, 2014, h.

219.

75 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990, h. 24-25.

ganda sehingga tidak memberikan peluang untuk ditafsirkan lain.76 Penetapan pajak harus jelas agar tidak dilakukan secara sewenang-wenang.77 Asas ini memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak. Asas ini dimaksudkan agar pajak harus dibayar seseorang harus jelas dan pasti tidak dapat diulur-ulur atau ditawar-tawar (not arbitrary). Asas ini meliputi empat unsur yakni kepastian siapa wajib pajak, kepastian tentang objek pajak sampai dengan jumlah pajak yang harus dibayar, kepastian tentang kapan pajak itu harus dibayar, dan kepastian tentang dimana pajak itu harus dibayar.78 Asas kepastian hukum harus memberikan jaminan kepastian hukum terhadap rakyat atas tindakan pemerintah yang dibebankan oleh peraturan yang berlaku.

c. Convenience of Payment

Asas Convenience of Payment dimaksudkan agar pemungutan pajak harus dilakukan pada saat yang paling tepat. Maksud saat yang paling tepat disini yakni pada saat wajib pajak mempunyai uang. Santoso Brotodiharjo menyatakan bahwa saat yang paling tepat adalah saat sedekat-dekatnya dengan waktu akan diterimanya penghasilan oleh yang bersangkutan.79

Tidak semua wajib pajak mempunyai convenience yang sama, misalkan karyawan, buruh, dan pegawai akan lebih mudah membayar pajak pada saat mereka menerima gaji, upah, atau honorarium. Seorang pedagang akan lebih mudah membayar pajak pada waktu menerima pembayaran dari debiturnya atau

76 Ibid.

77 Tryana A.M. Tiraada, “Kesadaran Perpajakan, Sanksi Pajak, Sikap Fiskus Terhadap Kepatuhan Wpop Di Kabupaten Minahasa Selatan”, Jurnal Emba: Jurnal Riset Ekonomi, Manajemen, Bisnis Dan Akuntansi, Vol. 1 No. 3, 2013, h. 1001.

78 Wiratni Ahmadi, Op. Cit., h. 11

79 Santoso Brotodiharjo, Op. Cit., h. 28.

kliennya. Seseorang yang menerima deviden atau bunga, lebih mudah membayar pajak pada waktu menerima itu. Pajak harus dipungut saat ketika atau cara kemungkinan besar wajib pajak menjadi nyaman untuk membayarnya, sehingga pembayaran pajak tidak terkesan adanya paksaan.

d. Economic of collection

Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-hematnya jangan sampai biaya pemungutan pajak melebihi pemasukan pajak. Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti menyatakan bahwa biaya pemungutan pajak harus lebih kecil dibandingkan dengan uang pajak yang masuk.80 Memang seharusnya biaya pemungutan pajak harus lebih kecil dari pada pemasukan pajak, karena akan percuma apabila sebagian besar hasil dari pajak yang masuk digunakan untuk biaya memungut pajak.

Pendapat yang sama oleh Ibnu Khaldun yang menekankan asas perpajakan dalam bukunya berjudul “muqaddimah” yakni meliputi asas kesamarataan dan kenetralan dan juga menekankan pada prinsip-prinsip kemudahan dan produktivitas yang tidak menindas.81 Prinsip tersebut didasari oleh faktor terpenting untuk prospek usaha adalah memberikan keringanan seringan mungkin beban pajak bagi pengusaha untuk menggairahkan kegiatan bisnis dengan menjamin keuntungan yang lebih besar, sehingga membuat rakyat memiliki dorongan agar lebih aktif dalam kegitan perekonomian.82 Parameter dari prinsip keadilan dalam pemungutan pajak terlihat pada adanya pemerataan dan perlakuan

80 Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Op. Cit., h.25

81 Yudha Bhakti, Penemuan Hukum Nasional dan Internasional: Pancasila Sebagai Landasan Pengembangan Sistem Hukum Pajak Indonesia, Fikahati aneska bekerjasama dengan Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 2012. h. 103.

82 Ibid.

yang sama serta perlindungan terhadap warga negara terhadap tindakan penyalahgunaan kewenangan oleh penguasa dalam pemungutan pajak.

Selain prinsip pemungutan pajak, perlu pemahaman pengertian pengampunan pajak yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Pengampunan Pajak yakni “Pengampunan pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana dalam bidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”. Berakhirnya hutang pajak, salah satunya adalah dengan penghapusan pajak. Konsep penghapusan pajak diberikan karena keadaan wajib pajak bukan keadaan negara.

Istilah pengampunan pajak secara etimologis berasal dari kata “tax amnesty”. Kata “amnesty” berasal dari bahasa Yunani “amnestia” dapat diartikan, melupakan atau suatu tindakan melupakan.83 Di Amerika Serikat, istilah amnesty juga biasa diidentikkan dengan pardon atau pengampunan.84 Blacks Law Dictionary memberikan definisi bahwa “A pardon extended by the goverment to a group or class of person”.85 Dictionary of Law juga memberikan definisi bahwa

“a pardon, often for political crimes, given to several people at the same time”.86 Mengacu pada pengertian amnesty, maka pengampunan pajak merupakan konsep penghapusan sanksi yang diberikan oleh Presiden dalam situasi tertentu kepada wajib pajak yang telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang

83 Ifhdal Kasim, “Menghadapi Masa Lalu: Mengapa Amnesti”, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), No.2 Tahun I, 2000, h.2.

84 Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, h. 344.

85 Bryan A. Garner, Op. Cit., p. 99.

86 P.H. Collin, Op. Cit., p. 14

perpajakan. Zainul Muttaqin menyatakan bahwa pengampunan pajak merupakan pemberian fasilitas perpajakan berupa pembebasan dalam periode atau tenggang waktu tertentu atas harta kekayaan atau penghasilan yang sebelumnya tidak atau belum sepenuhnya dikenakan pajak dari pengenaan, pemeriksaan, pengusutan, dan penuntutan. Hal ini dilandasi oleh adanya pengakuan kesalahan dengan menyesali kesalahan tersebut dan janji tidak akan mengulangi kesalahan oleh wajib pajak.87

Daniel Deak dalam jurnalnya Hungary‟s Halfway Tax Amnesty menyatakan bahwa “The legislature must assess the general propensity to pay taxes and launch an amnesty depending on how much progress can be expected in improving tax compliance. The legislature must determine to whom an amnesty program can be addressed, what scope of transactions must be covered, and what types of incentives can be applied”.88 Pembuatan UU Pengampunan pajak harus menentukan kepada siapa program pengampunan pajak dapat ditangani dan apa jenis insentif yang dapat diterapkan. Kebijakan tersebut juga memberikan suatu bentuk insentif kepada wajib pajak agar dengan sukarela untuk mengungkapkan hartanya yang berada di luar negeri sehingga pemerintah dapat memiliki informasi mengenai pola menyembunyikan harta dan penghasilan dari pengungkapan tersebut.89 Banyak negara menggunakan pola tersebut dengan diterapkan dalam

87 Zainal Muttaqin, Tax Amnesty di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2012, h. 30.

88 Daniel Deak, “Hungary‟s Halfway Tax Amnesty”, Tax Note International, Vol. 53/7, 2009, p. 603.

89 Vokhid Urinov, “Tax Amnesty as a Transitional Bridge to Automatic Excange of Information”, Bulletin for International Taxation, Vol. 69/3, 2015.

kebijakan Offshore Voluntery Disclosure Program (OVDP) yang memiliki karakteristik hampir sama dengan pengampunan pajak.90

Ralph C. Bayer, Harald Oberhofer, dan Hannes Winner juga menyatakan bahwa pengampunan pajak juga merupakan program sekali waktu yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu yang berlangsung secara singkat dan diharapkan tidak berulang. Pemberlakuan pemungutan pajak dalam jangka pendek sangat dipengaruhi oleh apakah sejumlah besar wajib pajak memilih untuk ambil bagian dalam pengampunan pajak atau tidak.91 Pendapat yang sama juga disampaikan Ira A. Jackson bahwa Pengampunan pajak diharuskan untuk membayar denda atas pajak yang tidak dibayarkan, sehingga mengijinkan untuk membayar pajak lebih sedikit daripada wajib pajak yang membayar pajaknya tepat waktu.92 Andrian Sawyer juga mengemukan hal sama, bahwa pengampunan pajak merupakan sebuah kegiatan untuk memaafkan hal-hal yang telah dilakukan dimasa lalu dan melupakan pajak yang terhutang dengan syarat-syarat tertentu.93 Pengampunan pajak lebih baik jika pemerintah memaafkan pajak terhutang dan dendanya, akan tetapi tetapi tidak akan pernah memaafkan wajib pajak yang dengan sengaja mengambil keuntungan dari pengampunan pajak.94

90 Leandra Lederman, “The Use of Voluntary Disclosure Inititives in Battles Against Offshore Tax Evasion”, Villanova Law Review, Vol. 57, 2012, h. 582.

91 Ralph C. Bayer, Harald Oberhofer, and Hannes Winner, “The Occurrence of Tax Amnesties: Theory and Evidence”, Oxford University Centre For Business Taxation, Vol. 14/02, 2014, h. 1.

92 Ira A. Jackson, “Amnesty And Creative Tax Administration”, National Tax Journal, Vol.

39/ 3, 1986, h. 317.

93 Andrian Sawyer,” Industry Partnerships And Targeted Amnesties At Ingrained Evasion – A New Approach To An Old Tax Problems?”, Revenue Law Journal, Vol. 16: Iss. 1, Article 3, 2006, h. 25.

94 Ibid., h. 26.

Alm, M. McKee, dan Beck dalam penelitiannya mengenai akibat pengampunan pajak dalam jangka panjang terhadap wajib pajak yang taat, menemukan bahwa ketika pengampunan pajak diberlakukan tanpa menimbulkan perubahan terhadap sistem pajak, maka jumlah wajib pajak yang selama ini taat akan jauh berkurang daripada sebelum diberlakukannya pengampunan pajak.

Sebaliknya, ketika pengampunan pajak digunakan untuk memberlakukan aturan yang lebih ketat di masa depan, jumlah taat pajak akan semakin meningkat dari sebelum diberlakukan. Selain itu, pemberlakuan pengampunan pajak saat ini memunculkan harapan akan adanya pemberlakuannya kembali di masa akan datang.95

Andrian Sawyer dalam jurnal yang berbeda menyatakan bahwa pengampunan pajak sebaiknya tidak dideklarasikan atau diberlakukan apabila tidak ada alasan yang tak terbantahkan atau mendesak.96 Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat dampak negatif, salah satunya berkurangnya ketakutan dan kekhawatiran wajib pajak yang tidak taat pajak akan sanksi yang akan dikenakan karena mereka telah dinyatakan bersih atau dimaafkan, akan tetapi dalam jangka waktu lama, mungkin akan muncul dampak positif pengampunan pajak yang didesain untuk diberlakukan sanksi dan aturan yang lebih ketat terhadap wajib pajak.

95 Alm, M. McKee, dan W. Beck, “Amazing Grace: Tax Amnesty and Complience”, National Tax Journal, Vol. 43, 1990, h. 23.

96 Adrian sawyer, “Targeting Amnesties at Ingrained Evasion-A New Zealand Initiative Warranting Wider Consideration?”, Journal of The Australasian Tax Teachers Association, Vol.

30, 2005, h. 19.

Dokumen terkait