• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI PENGELOLAAN BARANG BUKTI DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA OLEH SITI HARDYANTI B 111 14 404 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI PENGELOLAAN BARANG BUKTI DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA OLEH SITI HARDYANTI B 111 14 404 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENGELOLAAN BARANG BUKTI DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA

OLEH

SITI HARDYANTI B 111 14 404

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

(2)

i HALAMAN JUDUL

PENGELOLAAN BARANG BUKTI DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA

OLEH SITI HARDYANTI

B111 14 404

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Skripsi Dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana Pada Departemen Hukum Pidana

Program Studi Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2018

(3)

ii

(4)

iii

(5)

iv

(6)

v

(7)

vi ABSTRAK

SITI HARDYANTI (B11114404), Pengelolaan Barang Bukti Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana, (dibimbing oleh Andi Muhammad Sofyan selaku Pembimbing I dan Nur Azisa selaku Pembimbing II).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualifikasi barang bukti yang dapat dikenakan penyitaan dalam proses penyidikan tindak pidana dan untuk mengetahui pengelolaan barang bukti dalam proses penyidikan tindak pidana.

Penelitian ini dilakukan di Polrestabes Makassar dan Rupbasan kelas 1 Makassar. Jenis dan sumber data yaitu data primer dan data sekunder dengan penelitian empiris yuridis yang dianalisis secara kualitatif yang disajikan secara deskriptif.

Hasil yang diperoleh penulis dalam melakukan penelitian ini, yaitu: (1) Barang bukti yang ada kaitannya dengan tindak pidana atau barang bukti yang memenuhi unsur Pasal 39 ayat (1) KUHAP dikualifikasikan sebagai barang bukti yang dapat dikenakan penyitaan dalam proses penyidikan tindak pidana.; (2) Rupbasan adalah tempat penyimpanan barang bukti/benda sitaan sesuai yang diatur dalam Pasal 44 KUHAP akan tetapi, dalam realita sebagian besar barang bukti di simpan dan dikelola oleh SAT TAHTI Polrestabes Makassar. Adapun kendala pengelolaan barang bukti dalam proses penyidikan tindak pidana yaitu tidak memadainya sarana dan prasarana serta kurangnya dukungan pemerintah dalam memfasilitasi sarana dan prasarana penyimpanan barang bukti.

(8)

vii ABSTRACT

SITI HARDYANTI (B11114404), Management of Evidence in the Criminal Investigation Process, (guided by Andi Muhammad Sofyan as First Counselor and Nur Azisa as Second Counselor).

This study aims to determine the qualifications of evidence that can be subject to foreclosure in the process of investigation of crime and to know the management of evidence in the process of investigation of crime.

This research was conducted at Polrestabes Makassar and Rupbasan Class 1 Makassar. The types and sources of data are primary data and secondary data with juridical empirical research which analyzed qualitatively presented descriptively.

The results obtained by the authors in conducting this research, namely:

(1) Evidence that is related to criminal acts or evidences that meet the elements of Article 39 paragraph (1) KUHAP qualified as evidence that can be subject to foreclosure in the process of investigation of crime; (2) Rupbasan shall be storage place of confiscated goods / articles as regulated in Article 44 of KUHAP but in reality most of the evidence is stored and managed by SAT TAHTI Polrestabes Makassar. The obstacle in the management of evidence in the process of investigation of crime is inadequate facilities and infrastructure and lack of government support in facilitating facilities and infrastructure storage of evidence.

(9)

viii KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Syukur Alhamdulillah Penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya yang tak terhingga, yang telah memberikan Penulis kesehatan dan kekuatan sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata satu (S1) di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.

Shalawat dan salam tidak lupa Penulis ucapkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, Nabi termulia yang telah menunjukkan jalan keselamatan dan rahmat bagi seluruh umat manusia. Semoga Allah SWT menjadikan keluarga dan para sahabat beliau yang senantiasa menjaga amanah sebagai umat pilihan dan ahli surga.

Skripsi ini Penulis persembahkan kepada kedua orang tua Penulis yakni, Ayahanda tercinta M. SAID dan Ibunda tercinta ROHANI yang rela berkorban apapun dan bekerja sangat keras demi kebahagiaan Penulis, yang telah memberikan kasih sayang melimpah dan doa yang tiada putusnya, serta senantiasa memberikan nasehat demi kesuksesan Penulis. Selain itu, Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada kakak satu-satunya yakni SOPHIAN RAMADHAN dan adik-adik yang tercinta WALWILDAN dan JIHAN JENNATA yang telah memberikan dukungan, menghibur dan menyemangati penulis.

(10)

ix Pada kesempatan ini pula dengan segala kerendahan hati, Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A., selaku Rektor Universitas Hasanuddin, dan segenap jajarannya.

2. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin beserta jajarannya.

3. Prof. Dr. Andi Muhammad Sofyan, S.H.,M.H dan Dr.

Haeranah, S.H.,M.H selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

4. Prof. Dr. Andi Muhammad Sofyan, S.H.,M.H selaku Pembimbing I dan Dr. Nur Azisa, S.H., M.H selaku Pembimbing II, terima kasih untuk saran, petunjuk serta bimbingannya kepada Penulis.

5. Prof. Dr. Muhadar, S.H., M.S., Dr. Haeranah, S.H., M.H., Dr.

Syamsuddin Muchtar, S.H.,M.H., Amir Ilyas, S.H.,M.H. dan Dr.

Audina Mayasari Muin, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji, terima kasih atas masukan yang diberikan.

6. Fauziah P. Bakti, S.H., M.H., selaku Penasehat Akademik (PA) Penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

7. Dosen-Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang tak bisa Penulis sebutkan namanya satu persatu. Penulis berterima kasih karena telah memberikan dan mengajarkan ilmu

(11)

x yang sangat bermanfaat untuk membangun kualitas penulis sebagai seorang sarjana hukum.

8. Seluruh civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, terkhusus untuk staf tata usaha (Pak Usman, Pak Roni, Ibu Lina, Pak Minggu, Pak Ramalang, dan Pak Budi) dan staf ruang baca, terima kasih atas kerja kerasnya dalam menjalankan tugas, sehingga penulis tidak terkendala dalam hal administrasi persuratan dan lainnya.

9. Para pegawai dan polisi Polrestabes Makassar khusus untuk SAT TAHTI (bapak Aipba Subhan L.), Satuan Research Kriminal (Reskrim) (bapak BRIPKA Riswandi), Satuan Research Narkoba (Resnarkoba) (bapak Aiptu Sumadi) dan Unit Kecelakaan Lalu Lintas Satuan Lalu Lintas (bapak Aiptu Sumadi) serta Bagian SUMDA dan Bagian Hukum. Terima kasih tak terhingga untuk sambutannya yang hangat dan bantuannya selama Penulis melakukan penelitian.

10. Para pegawai Rupbasan Kelas I Makassar khusus untuk Bagian Pengelolaan Basan dan Baran (bapak Andi Erwin Chandra Hasbi) dan Kepala Rupbasan (bapak Muhammad Gustang) yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian.

11. Sahabat terbaikku “Kelelawar Betina” Rahmi Wahyuni, S.H., Nurul Fadillah, S.H., Lisa Yunita, S.H., dan Ira Pratiwi, S.H, terima kasih tak terhingga untuk kebersamaan, canda tawa,

(12)

xi nasehat, dan bantuannya selama ini. Thank you for everything.

So lucky to have you, Guys.. nomu nomu gomawo.. Saranghae.

12. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Hasrun Jaya, S.Adm. atas canda tawa, nasehat dan bantuannya selama ini.

13. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada keluarga besar Anita Natsir, S.H., dan terima kasih banyak yang tak terhingga terkhusus untuk Kak Inna Natsir yang telah banyak membantu penulis.

14. Keluarga besar UKM Karate-Do Universitas Hasanuddin.

Bushido VIII (Puput Purnamasari Naufal, Ulfa Laila Nisrina, Wahyuni Fadliah Thahar, S.Ft, Aisyah Arung Qalam dan kakak Abdul Azis, S.I.P), keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam.

Terima kasih untuk kebersamaan, semangat, nasehat, dan dukungan yang diberikan kepada Penulis.

15. Keluarga besar Klinik Hukum Universitas Hasanuddin Kepada Ibu Birkah Latif, S.H., M.H., LLM., Pak Maskun, S.H., LLM., Pak Ahmad, S.H., M.H., Pak Dr. Kahar Lahae, S.H., M.H, khususnya Klinik Hukum Mediasi (Kak Yusran S.H, Kak Julandi, S.H., Kak Agil, S.H., Jeanette Nawing dan Ira Pratiwi, S.H.) dan Klinik Hukum Lingkungan (Kak Aldi, Galang Ramadhan, SH., Arif Rahman,SH,. Khalis, Zaenab Fauzi R.SH, Ira Wati Muin, Nurul Fadillah, SH, Rahmi Wahyuni, SH, Ira Pratiwi, SH, Ningsih, SH,

(13)

xii Heti, SH.). Terima kasih telah membuat pengalaman yang luar biasa dan perjalanan yang menyenangkan dengan Penulis.

16. Teman-teman KKN Gel. 96 Kecamatan Tiroang Kabupaten Pinrang, terkhusus untuk teman-teman seposko Desa Pammase (Andi Khalil Gibran, Sudarno, Redini syaqila, Siti Lika Hanifah dan Aastrid Ananda Putri)

17. Teman-teman seperjuangan DIPLOMASI 2014 yang tak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu, terima kasih banyak atas bantuan, dukungan dan kebersamaannya. Diplomasi is the best.

Harapan Penulis pada akhirnya, semoga Skripsi ini dapat Penulis pertanggungjawabkan dan memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana. Skripsi ini tentunya tidak luput dari kekurangan sehingga Penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari semua pihak agar menjadi bahan pembelajaran bagi Penulis.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Makassar, Juni 2018

Penulis

(14)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESHAN ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Rumusan Masalah ... 4

B. Tujuan Penelitian ... 5

C. Kegunaan Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Barang Bukti ... 7

1. Pengertian Barang Bukti ... 7

a. Menurut Undang-Undang ... 7

b. Menurut Ahli ... 9

c. Menurut Tata Bahasa ... 11

2. Fungsi Barang Bukti ... 13

3. Barang Bukti Yang Dapat Disita ... 15

4. Perbedaan Barang Bukti Dan Alat Bukti ... 17

B. Tinjauan Umum Tentang Rumah Penyimpanan Benda Sitaan (RUPBASAN)…...28

1. Fungsi Rupbasan ... 30

2. Prinsip Penyimpanan Benda Sitaan ... 30

C. Tinjauan Umum Tentang Penyitaan Sebagai Upaya Paksa Dalam Tindak Pidana ... 34

1. Penangkapan ... 34

2. Penahanan ... 35

3. Penggeledahan... 36

4. Penyitaan... 36

5. Pemeriksaan Dan Penyitaan Surat ... 37

D. Tinjauan Umum Tentang Proses Pemeriksaan Tindak Pidana38 1. Tahap Penyelidikan ... 38

2. Tahap Penyidikan ... 40

(15)

xiv

3. Tahap Penuntutan ... 47

4. tahap pemeriksaan ... 49

BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ... 52

B. Jenis dan Sumber Data ... 52

C. Teknik Pengumpulan Data ... 53

D. Analisis Data ... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kualifikasi Barang Bukti Yang Dapat Di Kenakan Penyitaan Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana ... 54

B. Pengelolaan Barang Bukti Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana... 57

1. Pengelolaan Barang Bukti Di Polres ... 59

2. Pengelolaan Barang Bukti Di Rupbasan ... 68

C. Kendala Pengelolaan Barang Bukti Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana ... 74

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 76

B. Saran ... 77 DAFTAR PUSTAKA ...

LAMPIRAN

(16)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bahwa Negara Republik Indonesia berdasar atas hukum1 (rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat).2 Hal ini mengandung arti bahwa negara Indonesia adalah negara Hukum. Hal ini mengandung arti bahwa Republik Indonesia adalah negara yang demokratis berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, menjunjung hak asasi manusia dan menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada pengecualiannya. Jadi segala tingkah laku dan perbuatan masyarakat Indonesia harus berdasarkan atas hukum berlaku baik hukum yang berlaku tertulis maupun yang tidak tertulis. Sehingga segala sesuatu permasalahan yang timbul maka harus diselesaikan dengan hukum yangberlaku pada saat itu.

Dalam Hukum Acara Pidana, Indoesia mempunya Undang-Undang Nomr 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dengan terciptanyan KUHAP maka pertama kalinya di

1 Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2 Leden Marpaung, 2011, Proses Penanganan Perkara Pidana ”(penyelidikan dan penyidikan” (bagian pertama, edisi kedua), Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1.

(17)

2 Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti seluruh proses pidana dari awal penyidikan sampai pada Kasasi di Mahkamah Agung bahkan sampai meliputi Peninjauan Kembali (herziening) hingga pada pelaksanaan putusan.3

Pejabat yang berwenang melakukan penyidikan sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP yaitu pejabat polisi negara republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Penyidikan adalah langkah panjang yang harus dilakukan oleh polri yang penyidik, langkah aplikasi pengetahuan tentang dua wilayah hukum, yaitu wilayah hukum yang normatif dan wilayah hukum yang progresif sosiologis. Wilayah hukum yang normatif diartikan bahwa polisi yang penyidik itu hanya mengikuti serangkaian peraturan perundang-undangan.

Serangkaian aturan hukum atau pertauran perundang-undangan itulah yang menjadi target atau ukuran selesainya proses hukum ditingkat penyidikan.4

Proses dimulainya penyelidikan dan penyidikan harus selalu berpedoman pada hukum formil atau hukum acara, baik hukum acara yang diatur di dalam KUHAP maupun hukum acara yang diatur di luar KUHAP, termasuk juga hakikat dari kepentingan hukum itu sendiri, karena

3 Tri Wahyuni, 2008, Skripsi, Tinjauan Tentang Pelaksanaan Pengelolaan Benda Sitaan Negara Dan Barang Rampasan Negara Di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) Surakarta, Surakarta, Fakultas Hukum Univesitas Sebelas Maret, hlm. 10.

4 Hartono, 2010, Penyidikan Dan Penegakan Hukum Pidana, (Melalui Pendekatan Progresif), Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 36-37.

(18)

3 hukum dalam perkara ini sangat menentukan arah identifikasi peristiwa tentang ada dan tidak adanya peristiwa pidana yang telah dilanggar.5

Dalam proses penyelidikan dan penyidikan yaitu tindakan mencari jawaban atas pertanyaan, apakah benar telah terjadi peristiwa pidana.

sasarannya adalah mencari dan mengumpulkan bahan keterangan, ketrangan saksi-saksi, dan alat bukti yang diperlukan yang terukur yang terkait dengan kepentingan hukum dan peraturan hukum pidana, yaitu tentang hakikat peristiwa pidana.6

Pengelolaan barang bukti adalah tata cara atau proses penerimaan, penyimpanan, pengamanan, perawatan, pengeluaran dan pemusnahan benda sitaan dari ruang atau ke tempat khusus penyimpanan barang bukti.7 Barang bukti hasil sitaan penyidik harus dijaga keasliannya guna menunjang pembuktian untuk dihadirkan di persidangan.

Banyaknya benda, atau barang bukti disita dari terdakwa kasus- kasus pidana oleh aparat penegak hukum atau dalam hal ini penyidik masih belum dikelola dengan baik. Bisa kita lihat dengan menumpuknya barang bukti yang disimpan dirumah penyimpanan yang disita oleh aparat penegak hukum. Serta kemungkinan bentuk penyalahgunaan adalah tidak mencatat secara keseluruhan jumlah barang bukti yang disita, karena

5 Ibid, hlm. 1.

6 Ibid, hlm. 3.

7 Pasal 1 angka 7 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Kepolisian Negara Rebuplik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(19)

4 tidak mudah dan hampir tidak mungkin mengecek kebenaran data yang dimumkan penyidik. Penyalahgunaan barang bukti dapat terjadi dalam rentan waktu setelah beberapa saat penyitaan. Artinya barang bukti yang sudah tidak di catat oleh penyidik dalam berita acara dapat dimanfaatkan setelah penyitaan.8

Selain itu barang bukti juga rentan untuk dihilangkan dan disembunyikan, baik dari sengaja dihilangkan/disembunyikan oleh pelaku atau dalam proses penyidikan. Sehingga barang bukti yang dibawa menjadi tidak asli atau berubah dalam proses penyidikan. Sangatlah penting menjaga keaslian barang bukti untuk menunjang pembuktian untuk bisa dihadirkan di persidangan.

Berdasarkan sedikit uraian di atas, maka penulis mengambil judul

“PENGELOLAAN BARANG BUKTI DALAM PROSES PENYIDIKAN PADA TINDAK PIDANA”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah kualifikasi barang bukti yang dapat dikenakan penyitaan dalam proses penyidikan tindak pidana?

2. Bagaimanakah pengelolaan barang bukti dalam proses penyidikan tindak pidana?

8 Fitri Nurnaharini Istiqomah, 2013, Skripsi, Pelaksanaan Pengelolaan Barang Bukti Dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana, Surakarta, Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiah Surakarta, hlm. 4.

(20)

5 C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui kualifikasi barang bukti yang dapat dikenakan penyitaan dalam proses penyidikan tindak pidana.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan pengelolaan barang bukti dalam proses penyidikan tindak pidana.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis ini adalah:

1. Kegunaan Teoritis

a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan yang bermanfaat atau sebagai bahan kepustakaan dan bahan referensi hukum bagi mereka yang berminat pada kajian-kajian ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya. mengenai pengelolaan barang bukti dalam proses penyidikan tindak pidana.

b. Dapat memberikan gambaran, kontribusi atau sumbangsih hasil penelitian mengenai pengelolaan barang bukti dalam proses penyidikan tindak pidana.

2. Kegunaan Praktis

a. Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti dan mampu menerapkan ilmu hukum yang penulis sudah peroleh.

(21)

6 b. Memberikan pengetahuan bagi penulis sendiri mengenai pokok permasalahan yang dibahas dalam permasalahan ini.

(22)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Barang Bukti 1. Pengertian Barang Bukti

a. Menurut Undang-Undang

Dalam HIR Pasal 63 sampai Pasal 67 HIR disebutkan, bahwa “barang-barang yang dapat dipergunakan sebagai bukti, dapatlah dibagi atas:

1) Barang yang merupakan obyek peristiwa pidana 2) Barang yang merupakan produk peristiwa pidana 3) Barang yang dipergunakan sebagai alat

pelaksanaan peristiwa pidana

4) Barang-barang yang terkait dengan peristiwa pidana.

Barang yang merupakan obyek, misalnya dalam tindak pidana pencurian uang, maka uang tersebut dipergunakan sebagai barang bukti, selain itu dibedakan antara obyek mati (tidak bernyawa) dan obyek yang bernyawa. Maka obyek mati adalah benda-benda yang tidak bernyawa. Sedangkan yang bernyawa misalnya pencurian hewan dan lain sebagainya. Barang yang merupakan produk perristiwa pidana misalnya uang palsu atau obat- obatan dan sebaginya. Demikian pula barang yang

(23)

8 dipergunakan sebagai alat pelaksanaan peritiwa pidana, misalnya senjata api atau parang yang dipergunakan untuk penganiayaan atau pembunuhan orang atau sebagainya.

Sedangkan barang yang terkait dalam peristiwa pidana, misalnya bekas-bekas darah (ada pakaian, bekas sidik jari, dan lain sebagainya).

Terminologi barang bukti memang tidak disebutkan secara eksplissit dalam KUHAP. Kata barang bukti tersebut muncul dalam Pasal 181 KUHAP tentang kewajiban hakim untuk menunjukkan barang bukti yang ada kepada terdakwa dan saksi.9 Serta dalam Pasal 39 ayat (1) dijelaskan apa- apa saja yang dapat disita, yaitu:

1) Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian yang diduga yang diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.

2) Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau mempersiapkannya.

3) Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana

9 Akhmad Wiyagus, Analisis Dan Pengelolaan Barang Bukti (Dalam Kajian Teoritis Dan Kerangka Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Barang Bukti). Jurnal, Hlm. 4.

(24)

9 4) Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan

melakukan tindak pidana

5) Benda lain yang berhubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Jadi, barang-barang bukti sebagaimana yng disebutkan di atas adalah sebagai bagian dari pembuktian (evidences) dalam suatu peristiwa pidana.

Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti Di Lingkungan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa yang dimaksud dengan barang bukti adalah benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang telah dilakukan penyitaan oleh penyidik untuk keeperluan pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

b. Menurut Para Ahli

Menurut Martiman Prodjohamidjojo, barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan. Dalam Pasal 181 KUHAP majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenali

(25)

10 barang bukti tersebut. Jika dianggap perlu hakim sidang dapat memperlihatkan barang bukti tersebut.10

Ansori Hasibuan berpendapat “barang bukti adalah barang yang digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu delik, disita oleh penyidik dan digunakan sebagai barang bukti dipengadilan.11

Menurut Andi Hamzah ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti adalah:12

1) Merupakan obyek materill 2) Berbicara untuk diri sendiri

3) Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya

4) Harus diidentifikasi dengan saksi dan ketrangan terdakwa.

Jadi, dari beberapa pendapat sarjana hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan barang bukti adalah:13

1) Barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana

10 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e8ec99e4d2ae/apa-perbedaan- alat-bukti-dengan-barang-bukti-, Perpustakaan Fakultas Hukum UNHAS, Selasa, Jam 14:14 2018.

11 Ibid.

12 Op.Cit, Akhmad Wiyagus, hlm. 4.

13 Ibid.

(26)

11 2) Barang yang digunakan untuk membantu suatu

tindak pidana

3) Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana

4) Benda yang dihasilkannya dari suatu tindak pidana

5) Benda tersebut dapat memberikan suatu keterangan bagi penyelidikan tindak pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun rekaman suara.

6) Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan penting dalam suatu tindak pidana, tetapi kehadiran barang bukti tidak mutlak dalam suatu tindak pidana, karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara lisan (Pasal 310 ayat (1) KUHAP).

c. Barang Bukti Secara Umum

Istilah barang bukti dalam tindak pidana yaitu barang mengenai mana delik dilakukan (obyek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat yang dilakukan yaitu alat yang dipakai untuk melakukan delik misalnya, pisau

(27)

12 yang dipakai untuk menikam orang. Termasuk juga barang bukti ialah dari hasil delik misalnya uang negara yang dipakai (korupsi) untuk membeli rumah pribadi maka rumah pribadi itu menjadi barang bukti, atau hasil delik.14

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “bukti”

terjemahan dari bahasa Belanda, bewijs diartikan sebagai suatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa dalam kamus hukum bewijs diartikan sebagai segala sesuatu yang memperlihatkan fakta tertentu atau ketidakbenaran fakta lain oleh para dalam perkara pengadilan, guna memberikan bahan kepada hakim bagi penilaiannya. Sementara itu, membuktikan berarti memperlihatkan bukti dan pembuktian diartikan sebagai proses, perbuatan, atau cara membuktikan.15

Sedangkan dalam kamus hukum, yang dimaksud barang bukti adalah “barang yang digunakan untuk melakukan suatu kejahatan atau hasil dari suatu kejahatan dan benda-benda yang dipergunakan untuk memperloh hal- hal yang benar-benar dapat meyakinkan hakim akan

14 Satria Wacana, Pertimbangan Hakim Tentang Pembuktian Dalam Perkara Pidana (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Ungara Nomor 82/Pid/B/2009/PN.

Skripsi, Universitas Andalas, hlm. 23. Perpustakaan Fakultas Hukum UNHAS, Selasa, Jam 14:14 2018.

15 Ibid, hlm. 23.

(28)

13 kesalahan terdakwa terhadap tindak pidana yang dituduhkan”.16

Yang lain dari pada yang tercantum dalam KUHAP kita, adalah real evidence yang berupa obyek materil (materil object) yang meliputi tetapi tidak terbatas atas peluru, pisau, senjata api, perhiasan intan permata, televisi dan lain-lain. Real evidence ini tidak termasuk dalam alat bukti meurut KUHAP kita (dan Belanda), yang bisa disebut

“barang bukti”. Barang bukti berupa obyek materil ini tidak ternilai jika tidak diidentifikasi oleh saksi dan terdakwa.17 2. Fungsi Barang Bukti

Dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa:18

“Tiada seorangpun yang dapat dijatuhi pidana apabila karena alat pembuktian yang sah menurut undaang-undang.

Hakim mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang telah dituduhkan atas dirinya”.

Untuk mendukung dan menguatkan alat bukti yang sah sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Dan untuk memperoleh keyakinan Hakim atas yang di dakwaan oleh jaksa penuntut umum kepada terdakwa.

16 Rocky Marbun, 2012, Kamus Hukum Lengkap, Transmedia Pustaka, Jakarta Selatan, hlm.36.

17 Ibid, hlm. 23.

18 http://raypratama.blogspot.co.id/2012/02/fungsi-barang-bukti-dalam-perkara.html, Ruang Baca Fakultas Hukum UUNHAS, Senin 23 April 2018 Pukul 11:32 WITA.

(29)

14 Disinilah letak pentingnya barang bukti tersebut, dengan demikian bukan pelaku atau tersangka tindak pidana saja yang harus dicari atau ditemukan oleh penyidik, melainkan bahan pembuktian harus ditemukan pula. Hal ini mengingat bahwa fungsi utama dari hukum acara pidana adalah tidak lain dari pada me-rekontrucer kembali dari kejadian-kejadian dari seorang pelaku dan perbuatannya dilarang. Sedangkan alat-alat pelengkap dari usaha tersebut adalah barang bukti. Pelaku perbuatanya dan barang bukti merupakan suatu kesatuan yang menjadi fokus dari usaha dan mencari untuk menemukan kebenaran materil. Terhadap pelaku harus dibuktikan bahwa ia dapat dipertanggung jawabkan secara pidana disamping bukti tentang adanya kesalahan (schuld) dan terhadap perbuatannya apakah terbukti sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dari perbuatan tersebut.

Fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan adalah sebagai berikut:

a. Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat (1) KUHAP)

b. Mencari dan menemukan kebenaran materiil atau perkara sidang yang ditangani

c. Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang bukti tersebut dapat

(30)

15 menggunakan keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan jaksa penuntut umum.

3. Barang Bukti Yang Dapat Disita

Terhadap benda apa saja penyitaan dapat dilakukan, atau terhadap jenis benda yang bagaimana penyitaan dapat dilakukan, apabila benda yang bersangkutan ada keterlibatannya dengan tindak pidana guna untuk kepentingan pembuktian pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, ditentukan dalam:

Pasal 39 KUHAP.19 Ayat (1) yang dapat dikenakan penyitaan adalah:

a. Benda atau tagihan terrsangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagiannya diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;

b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan tindak pidana;

c. Benda yang dipergunakan untuk menghalng-halangi penyidikan tindak pidana;

d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan untuk melakukan tindak pidana;

19 M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 275.

(31)

16 e. Benda lain yang mempunyai hubungan langusng dengan

tindak pidana yang dilakukan.

Ayat (2): benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).

Pasal 41 KUHAP, paket atau surat atau benda yang pengaangkutannya atau pegirimannya dilakukan oleh kantor pos atau telekomunikasi, jawatan atau perusahaan telekomunikasi atau pengangkutan sepanjang paket, atau benda tersebut diperuntukkan bagi terrsangka atau dari padanya.20

Pasal 43 KUHAP, surat atau tulisan lain dan mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya sepanjang tidak menyangkut rahasia negara.21

Serta benda terlarang seperti senjata api tampa izin, bahan peledak, bahan kimia tertentu, narkoba, buku atau majalah film porno dan uang palsu.22

Menurut Andi Hamzah “biasanya benda yang dapat disita berupa “yang dipergunakan untuk melakukan delik” dikenal

20 Maria Prisilia Djapai, 2017, Jurnal, Pengelolaan Benda Sitaan Menurut Pasal 44 KUHAP. Hlm.37. Perpustakaan Fakultas Hukum UNHAS, Selasa, Jam 14:14 2018.

21 Ibid, 37

22 Ibid,37

(32)

17

”dengan nama delik yang dilkukan” sedangkan secara umum benda yang dapat disita dapat dibedakan menjadi:23

a. Benda yang dipergunakan sebagai alat untuk melakukan tindak pidana (disebut sebagai instrumenta delicti)

b. Benda yang diperole atau hasil dari tindak pidana (disebut sebagai corpora delicti)

c. Benda-benda lain yang secara tidak langsung yang memiliki hubungan dengan tindak pidana, tetapi mempunyai alasan yang kuat sebagai bahan untuk pembuktian

d. Barang bukan pengganti, misalnya obyek yang dicuri itu adalah uang keemudian dengan uang tersebut tersangka membeli radio, dalam hal ini radio tersebut disita sebagai barang bukti pengganti.

4. Perbedaan Barang Bukti dan Alat Bukti a. Barang Bukti

Barang bukti yaitu untuk mengetahui posisinya dalam perbuatan tindak pidana tersebut diperlukan penjelasan pihak lain yang statusnya sebagai alat bukti baik sebagai saksi, surat keterangan tersangka atau terdakwa dan bukti elektonik. Karena tampa ada bukti penjelasan pihak lain

23 Op.Cist, Tri Wahyuni, Skripsi. Hlm. 45. Perpustakaan Fakultas Hukum UNHAS, Selasa, Jam 14:14 2018.

(33)

18 tidak akan diketahui status atau kedudukan barang bukti dalam kasus yang dimaksud.24

Dalam satu kasus, sebilah parang, apakah parang tersebut digunakan untuk membunuh orang, mencongkel rumah, atau yang dicuri dari toko khusus menjual parang dan pisau tajam lainnya. Setelah dijelaskan saksi korban bahwa parang tersebut hilang dari tokonya, saksi lain ada yang melihat membawa parang tersebut, saksi berikutnya ada yang membeli parang tersebut, kemudian tersangka mengakui mengambil parang tersebut kemudian dijual kepada saksi yang menadah tadi. Jadi dengan penjelasan saksi dan tersangka baru diketahui bahwa parang tersebut posisinya dicuri dari toko pisau milik saksi korban.25

Berdasarkan penjelasan di atas, barang bukti tidak ada yang menyebut masuk dalam alat bukti dan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pun tidak ada yang mengatur barang bukti dalam bab khusus. Dalam ketentuan hukum untuk menentukan kesalahan tersangka atau terdakwa hanya memerlukan dua alat bukti dan hakim yakni, sedangkan minimal dua barang bukti tidak dapat menentukan kesalahan tersangka atau terdakwa dan tidak ada diatur dalam ketentuan hukum. Pada umumnya, adanya

24 Monang Siahaan, 2016, Pembaruan Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Widiasarana, hlm. 71.

25 Ibid, hlm. 72-73.

(34)

19 barang bukti dalam suatu kasus sangat besar pengaruhnya dalam membuktikan kesalahan tersangka atau terdakwa, walaupun dalam suatu kasus tidak selalu ada barang bukti.

Mengingat posisi barang bukti cukup penting dalam suatu kasus, maka lebih tepat barang bukti tersebut digunakan untuk memperkuat alat bukti. Sepanjang ada hubungan ketrangan saksi, surat dan keterangan tersangka/terdakwa yang mengakui barang bukti tersebut dimuka persidangan.

b. Alat Bukti

Alat bukti adalah dapat menjelaskan sendiri peristiwa pidana atau tindak pidana dengan kata lain dapat menjelaskan perbuatan pidana tampa bantuan pihak lain.

Menurut Pasal 184 KUHAP alat-alat sebagai berikut:

1) Keterangan saksi

Menjadi saksi adalah kewajiban bagi semua orang, kecuali dikecualikan oleh undang-undang sebagai saksi dapat dikenakan pidana.

Ketentuan mengenai saksi diatur lebih lanjut dalam Pasal 185 KUHAP yaitu :26

a) Melihat sendiri b) Mengalami sendiri c) Mendengar sendiri

26 Suharto dan Junaedi Efendi, 2013, Panduan Praktis Bila Anda Menghadapi Perkara Pidana Mulai Proses Penyelidikan Hingga Proses Persidangan, Kencana, Jakarta, hlm. 74-75.

(35)

20 d) Bukan anggota keluarga terdakwa sampai derajat ketiga, keluarga ayah atau ibu, suami/istri (walaupun sudah cerai).

e) Karena jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia

Untuk tata cara pemeriksaan diatur sebagai berikut:27

a) Saksi dipanggil satu persatu menurut urutan sebaiknya oleh hakim, yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi (Pasal 160 ayat (1) KUHAP).

b) Memeriksa identitas

c) Saksi wajib mengucapkan sumpah (Pasal 160 KUHAP), di dalam sidang/di luar sidang (Pasal 233 KUHAP)

d) Keterangan yang berbeda dengan BAP, hakim wajib mengingatkan (Pasal 163 KUHAP)

e) Terdakwa dapat membantah atau membenarkan keterangan saksi (Pasal 164 ayat (1) KUHAP)

f) Kesempatan mengajukan pertanyaan (Pasal 164 KUHAP)

27 Ibid, hlm. 75.

(36)

21 g) Larangan mengajukan pertanyaan yang

sifatnya menjerat (Pasal 166 KUHAP)

h) Saksi tetap dihadirkan disidang (Pasal 173 KUHAP) atau ditentukan lain (Pasal 172 KUHAP)

i) Pemeriksaan saksi tampa hadirnya terdakwa (Pasal 173 KUHAP).

Selain itu terdapat syarat sah keterangan saksi sebagai alat bukti yaitu:28

a) Disumpah

b) Mengetahui perkara yang dilihat, dialami serta alasan pengetahuannya

c) Harus didukung alat bukti lainnya

d) Persesuaian antara keterangan lainnya.

2) Keterangan ahli

Dalam Pasal 186 KUHAP Keterangan ahli adalah

“Apa yang seseorang ahli nyatakan dalam sidang pengadilan”. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna membuat terang kepentingan pemeriksaan.

28 Ibid, hlm. 75.

(37)

22 Keabsahan keterangan ahli ini juga harus diperrdengarkan dihadapan persidangan, baru akan dianggap keterangan ahli yang sah.29

Namun, terkadang dalam proses penyidikan, penyidik bisa saja menghadirkan seorang ahli guna untuk memperjelas posisi perkara yang sedang disidik, perkara tersebut merupakan suatu tindak pidana atau merupakan ajang konsultasi untuk menentukan alat bukti yang sah.

Keterangan ahli atau lebih dikenal dengan saksi ahli, pada prinsipnya tidak boleh memberatkan atau memiliki kecendrungan dalam mengeluarkan pendapat. Seorang saksi harus mengeluarkan pendapat berdasarkan kemampuan akademis ataupun keahliannya.30

Keterangan ahli dapat berupa keterangan lisan dan dapat juga berupa tulisan (visum et repertum yang dijelaskan oleh seorang ahli)31

3) Surat

Selain Pasal 184 KUHAP yang menyebut alat bukti, maka ada satu pasal yang mengatur

29 Rocky Marbun, 2011, Kiat Jitu Menyelesaikan Kasus Hukum, Transmedia Pustaka, Jakarta Selatan, hlm. 336.

30 Ibid, hlm. 336.

31 Op. Cit, Suharto dan Junaedi Efendi, hlm. 76.

(38)

23 tentang alat bukti surat yaitu Pasal 187 KUHAP, yang terdiri:

a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.

b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perudang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat menganai hal yang dimaksud dalam tata laksana yang menjadi tanggug jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;

(39)

24 d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Ada beberapa hal yang tidak dijelaskan disitu antara lain tentang hubungan alat bukti surat dalam hukum perdata dan hukum pidana. Dalam HIR dan Sv. Yang lama ditentukan bahwa ketentuan tentang kekuatan pembuktian dari surat-surat umum maupun bagi surat-surat khusus di dalam hukum acara perdata berlaku juga dalam penilaian hukum acara pidana tentang kekuatan bukti surat-surat. Tetapi dalam Ned sv.

Yang baru tidak lagi diatur hal yang demikian.

Kepada hakimlah dimintai kecermatan dalam mempertimbangkan alat bukti surat.32

Menurut Andi Hamzah, karena KUHAP juga tidak mengatur hal yang demikian, maka sesuai dengan jiwa KUHAP kepada hakimlah yang diserahkan pertimbangan tersebut. Dalam hal ini hanya akta autentik yang dapat dipertimbangkan, sedangkan surat yang di bawah tangan seperti dalam hukum

32 Op. Cit, Tri Wahyuni, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Surakarta, Hal. 13.

(40)

25 perdata tidak dipakai lagi dalam hukum acara pidana.33

4) Petunjuk

Dalam praktik persidangan, penerapan alat bukti petunjuk hakim digunakan dengan sangat hati- hati karena sangat dekat dengan kesewenang- wenangan yang didominasi oleh penilaian subyektif. Oleh sebab itu, hakim harus penuh dengan kearifan, bijaksana dan penuh dengan kecermatan berdasarkan hati nuraninya dalam menggunakan alat bukti petunjuk, seperti yang dijelaskan dalam pasal 188 KUHAP ayat (3) bahwa “penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesekeksamaan berdasarkan hati nuraninya”.34

Dengan demikian, hakim dapat menghindari penggunaan alat bukti petunjuk dalam penilaian pembuktian kesalahan terdakwa, sehingga alat

33 Ibid, hlm. 13.

34 Syaiful Bakhri, 2012, Beban Pembuktian Dalam Beberapa Praktik Peradilan, Gramata Publishing, Jakarta, hlm. 76.

(41)

26 bukti yang sangat penting untuk dipergunakan dapat didesakkan saja.

5) Keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa secara limitatif diatur oleh Pasal 189 KUHAP, yaitu:

a) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri.

b) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang. Asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

c) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

d) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

(42)

27 Dari keterangan Pasal 189 KUHAP di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa keterangan terdakwa dapat dinyatakan dalam sidang pengadilan dan dapat pula diberikan di luar sidang. Apabila keterangan terdakwa dinyatakan di dalam sidang pengadilan, agar dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah, hendaknya berisikan penjelasan atau jawaban yang dinyatakn sendiri oleh terdakwa dalam menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya terhadap perbuatan yang ia lakukan, ia ketahui atau ia alami sendiri. Sedangkan terhadap keterangan terdakwa di luar sidang pengadilan, hanya dapat dipergunakan dalam eksistensinya “membantu” menemukan sidang di pengadilan. Selain itu, juga secara teoritik keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri dan keteragan terdakwa tidaklah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Dalam praktik, semenjak era KUHAP yang tidak mengejar “pengakuan terrdakwa”, pada tahap pemeriksaan di depan persidangan terdakwa di jamin kebebasannya dalam memberikan keterangannya. Dilarang diajukan pertanyaan bersifat menjerat terhadap terdakwa (Pasal 166 KUHAP), terdakwa berhak untuk tidak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya (Pasal 175 KUHAP).

(43)

28 Oleh karena itu, hakim dilarang menunjukan sikap atau mengeluarkan pernyataan disidang tetang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa (Pasal 158 KUHAP). Begitu juga sebaliknya, walaupun keterangan terdakwa berisikan “pengakuan” tentang perbuatan yang ia lakukan, barulah mempunyai nilai pembuktian apabila didukung dan berkesesuaian dengan alat bukti lainnya (Pasal 184 ayat (1) huruf a, b, c dan d KUHAP).35

B. Tinjauan Umum Tentang Rumah Penyimpanan Benda Sitaan (RUPBASAN)

Berdasarkan Pasal 44 KUHAP benda sitaan disimpan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan yang selanjutnya disebut Rupbasan.

Pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan negara adalah tugas Rupbasan selaku Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakataan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan sehingga dapat menunjang peradilan yang sederhana, cepat dan ringan yang mengandung aspek pelayanan, pengamanan, pemeliharaan agar keutuhan arang bukti tetap terjamin.36

35 Lilik Mulyadi, 2007, Hukum Acara Pidana (Normative, Teoritis, Praktik Dan Permasalahannya), P.T. Alumni, Bandung, hlm. 191.

36 Tim Pengkajian Hukum Febrian dkk, 2013, Lembaga Penyitaan Dan Pengelolaan Barang Hasil Kejahatan, Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia R.I Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jurnal Jakarta. Hlm. 41. Perpustakaan Fakultas Hukum UNHAS, Selasa, Jam 14:14 2018.

(44)

29 Penyimpanan benda sitaan tersebut dilaksanakan dengan sebaikbaiknya dan tanggung jawabnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda terebut diarang untuk dipergunakan oleh siapapun.

Di Rupbasan adalah suatu rangkaian kegiatan yang merupakan suatu sistem dimulai sejak proses penerimaan dan pengeluaran benda sitaan. Rangkaian kegiatan tersebut meliputi:37

1. Penerimaan, penelitian, penilaian, pendaftaran dan penyimpanan benda sitaan

2. Pemeliharaan benda sitaan 3. Pemutasian benda sitaan

4. Pengeluaran dan penghapusan benda sitaan 5. Penyelamatan dan pengamatan benda sitaan.

Setelah melakukan penyitaan atas benda yang tersangkut dalam tindak pidana, maka benda tindak pidana tersebut harus diamankan oleh penyidik yaitu menempatkannya di Rupbasan.

Dalam Pasal 1 butir 3 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 juga dijelaskan suatu tempat penyimpanan benda yang disita oleh negara untuk proses peradilan. Mengingat bahwa untuk mewujudkan terbentuknya rumah untuk tempat penyimpanan benda sitaan negara yang memerlukan waktu yang cukup lama maka dalam penjelasan Pasal 44 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa selama belum ada rumah tempat

37 Ibid, Hlm. 41.

(45)

30 penyimpanan benda sitaan negara ditempat yang bersangkutan, penyimpanan benda sitaan tersbut dapat dilakukan di kantor kepolisian, di kantor kejaksaan negeri, kantor pengadilan, dan di Bank Pemerintah. Dan dalam keadaan memaksa di tempat penyimpanan lain atau tetap ditempat seula benda itu di sita. Rupbasan itu berada, menurut Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 ditiap Ibu Kota Kabupaten atau kota madya dibentuk Rupbasan oleh Menteri Kehakiman. Apabila dipandang perlu dapat membentuk Rupbasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang merupakan cabang Rupbasan. Kepala Cabang Rupbasan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman.38

1. Fungsi Rupbasan

a. Melakukan pengadministrasian benda sitaan dan barang rampasan negara

b. Melakukan pemeliharaan benda sitaan dan barang rampasan negara

c. Melakukan pengamanan benda sitaan dan barang rampasan negara

d. Melakukan surat menyurat kearsipan 2. Prinsip Penyimpanan Benda Sitaan39

Masalah penyimpanan benda sitaan, merujuk pada ketentuan Pasal 44 KUHAP. Dari ketentuan perundang-undangan

38 Op, Cit. Tri Wahyuni. Hlm. 48.

39 Op. Cit, Yahya Harahap, hlm. 287-288.

(46)

31 ini ada beberapa prinsip hukum yang perlu diperhatikan, antara lain:

a. Pasal 44 ayat (1) KUHAP : benda sitaan di simpan dalam Rupbasan memang prinsip ini “ditentukan” oleh penjelasan Pasal 44 KUHAP ayat (1) itu sendiri,berupa aturan: selama belum ada Rupbasan ditempat yang bersangkutan, penyimpanan data dilakukan di kantor Polri, di kantor Kajari, di kantor Pengadilan Negeri (PN), Gedung Bank Pemerintah dan dalam keadaan yang memaksa dapat disimpan di tempat penyimpanan lain atau tetap ditempat semula benda itu sita.

b. Tanggung jawab atas benda sitaan

Tanggung jawab secara fisik berada dipundak Kepala Rupbasan, sedang tanggung jawab yuridis berada pada aparat dan instansi penegak hukum sesuai dengaan tingkat tahap pemeriksaan.

Sehubungan dengan masalah tanggung jawab ini perlu diperhatikan penerapan berikut:

1) Fungsi dan tanggung jawab “penerimaan” yang berkenaan dengan pengaturan penempatan, menjual lelang atau memusnahkan memberi kuasa penyimpanan, pencatatan penerimaan.

(47)

32 2) Fungsi “pemeliharaan dan pengamanan” yang berkenaan dengan pemeriksaan dan pengawasan berkala, pemeliharaan khusus benda yang berbahaya, penjagan dari pencurian, mencatat kerusakan atau penyusutan, mencegah dari kebakaran dan banjir lain sebagainya.

3) Fungsi “pengeluaran dan pemusnahan” benda sitaan Benda sitaan yang disimpan di Rupbasan selalu diperlukan dalam pemeriksaan perkara mulai tingkat pemeriksaan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan. Adakalanya benda itu dihadirkan dalam pemeriksaan perkara guna menjernihkan dan membuktikan suatu peristiwa atau suatu keadaan. Dalam keperluan yang demikianlah benda itu dikeluarkan dari Rupbasan.

Demikian serba ringkas fungsi Kepala Rupbasan atas benda sitaan. Permasalahannya yang mesti diperhatikan oleh ketua Pengadilan Negeri apabila ditempat tersebut belum ada Rupbasan, kemudian Pengadilaan Negeri bersedia untuk meminta penyimpanan fisik di kantor Pengadilan Negeri, berarti dengan sendirinya dengan semua fungsi yang

(48)

33 dibebankan oleh hukum kepada Kepala Rupbasan, berada di pundak Ketua Pengadilan Negeri.

Benda itu diserahkan sesuai dengan amar putusan yang digariskan Pasal 194 ayat (1) KUHAP.

“Apabila penuntut umu lalai atau memperlambat pelaksanaan amar putusan mengenai benda sitaan barang bukti), Ketua Pengadilan Negeri harus

“memberitahukan” dan “memperingatkan” penuntut umu tentang fungsinya berdasarkan Pasal 270 KUHAP”.

c. Prinsip selanjutnya, diatur dalam Pasal 44 ayat (2) KUHAP: “dilarang digunakan oleh siapapun” . prinsip ini bertujuan untuk mempertahankan keutuhan dan keberadaan benda agar tetap tersedia sebagaimana mestinya, sampai tiba saat eksekusi. Setiap pemakaian atau penggunaan benda sitaan, dianggap

“penyalahgunaan wewenang” oleh pejabat yang bersangkutan.

d. Menegakkan ketentuan

Menegakkan ketentuan Pasal 194 ayat (3) KUHAP:

“menyerahkan” barang bukti (benda sitaan) segera dilakukan tampa syarat apapun, apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap. Sekiranya bena sitaan yang disimpan di kantor Pengadilan Negeri, perintah

(49)

34 penyerahan benda tersebut harus segera dilakukan tampa syarat.

C. Tinjauan Umum Tentang Penyitaan sebagai Upaya Paksa dalam Tindak Pidana

Secara etimologi upaya paksa adalah upaya yang dilakukan aparat penegak hukum berupa penangkapan, penggeledahan, penahanan, penyitaan dan pemeriksaan dalam rangka pelaksanaan proses peradilan.

Sementara itu, pakar Hukum Acara Pidana Universitas Islam Indonesia Mudzakkir sesungguhnya upaya paksa hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan. Karena pada tahap penyidikan menurut beliau belum sampai ppada tahap penegakan hukum pidana. Pengaturan upaya paksa secara eksplisit diatur dalam Pasal 112 ayat (1) dan ayat (2) dalam KUHAP.40 Jenis-jenis upaya pakssa yaitu sebagai berikut:

1. Penangkapan

Menurut pasal 1 angka 20 KUHAP menyebutkan bahwa penangkapan adalah suatu tindakan penyidikan berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan

40 Azzahra Rizki Ananda, 2016, Upaya Korban Yang Mengalami Salah Penangkapan (Studi Pada Penyidikan Polresta Bandar Lampung), Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung, hlm. 29. Perpustakaan Fakultas Hukum UNHAS, Selasa, Jam 14:14 2018.

(50)

35 penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.41

Adapun prosedur penangkapan diatur dalam pasal 18 KUHAP yaitu; adanya surat perintah penangkapan yang memuat identitas tersangka, alasan penangkapan, uraian singkat perkara dan tempat diperiksa. Surat tembusan surat perintah penagkapan juga harus disampaikan kepada keluarga tersangka. 42

2. Penahanan

Penahanan sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut undang-undang ini.43

Jenis- jenis penahanan yang diatur dalam Pasal 22 ayat (1) adalah penahanan rumah tahanan negara, penahanan rumah dan penahanan kota. Penahanan rumah dilaksanan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan Penahanan Kota dilaksanakan di Kota tempat tinggal atau kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban

41 Op, Cit. Suharto dan Jonaedi Efendi, hlm. 49.

42 Ibid, hlm. 49.

43 Op,Cit. Azzahra Rizki Ananda, hlm. 31.

(51)

36 tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan.44

3. Penggeledahan

Pasal 32 KUHAP menyatakan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.

Penggeledahan rumah sebagaimana yang disebutkan tersebut dijelaskan dalam Pasal 17 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi:45

“Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan/atau penangkapan dalam hal dana menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Penggeledahan badan dalam Pasal 18 angka 1, yang berbunyi:46

“Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk melakukan pemeriksaan badan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita”.

4. Penyitaan

Pasal 1 angka 16 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana memberika pengertian penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah

44 Ibid. hlm. 32.

45 Lidya Lestarica, 2016, Skripsi, Pelaksanaan Upaya Paksa Penggeledahan Penyidik POLRI Dalam Perkara Pidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus di Polda SUMUT), Medan, Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, hlm. 30. Perpustakaan Fakultas Hukum UNHAS, Selasa, Jam 14:14 2018.

46 Ibid, hlm. 30.

(52)

37 penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Berdasarkan ketentuan tersebut dalam konteks ini maka penyitaan harus hanya dilakukan oleh penyidik untuk kepentingan pembuktian dalam rangka melaksanakan penegakan hukum dalam system peradilan pidana.47

Adapun obyek yang dapat disita adalah benda atau tagihan tersangka/terdakwa, yang seluruhnya atau sebagiannya diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.48barang yang dapat disita49, yaitu:

a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian yang diduga yang diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.

b. Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau mempersiapkannya.

c. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana

d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana

e. Benda lain yang berhubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

47 Op,Cit. Suharto dan Jonaedi Efendi, hlm. 59.

48 Ibid. hlm. 59.

49 Pasal 39 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

(53)

38 5. Pemeriksaan dan Penyitaan Surat

Upaya pemeriksaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 15 huruf d Perkap Nomor 14 Tahun 2012 dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu terhadap saksi, ahli dan tersangka yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan yang ditanda tangani oleh penyidik/ penyidik pembantu yang melakukan pemeriksaan dan orang yang diperiksa.50

Surat-surat yang dapat diperiksa dan disita adalah surat yang dicurigai dan mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.51

D. Tinjauan Umum Tentang Proses Pemeriksaan Tindak Pidana 1. Tahap Penyelidikan

a. Pengertian Penyelidik dan penyelidikan 1) Penyelidik

Menurut Pasal 1 angka 4 KUHAP jo Pasal 1 angka 8 Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa yang dimaksud dengan penyelidik adalah

“pejabat polisi negara republik Indonesia yang

50 Op, Cit. Tolib Effendi. Hlm. 108.

51 Andi Sofyan, 2013, Hukum Acara Pidana, Rangkang, Yogyakarta, hlm. 173.

(54)

39 diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan”.52

2) Penyelidikan

Menurut Pasal 1 angka 5 KUHAP jo jo Pasal 1 angka 9 Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2002, bahwa yang dimaksud dengan Penyelidikan adalah "serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini".53

Dengan perkataan lain, penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan. Perlu digaris bawahi kalimat mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Sasaran “mencari dan menemukan” tersebut adalah

“suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana”.

Dengan perktaan lain “mencari dan menemukan” berarti penyelidik berupa atas inisiatif sendiri untuk menemukan peristiwa yang diduga sebagai perkara pidana.54

Tujuan utama penyelidikan adalah untuk menentukan apakah suatu peristiwa dapat dilanjutkan ke tingkat penyidikan atau tidak. Syarat untuk dapat dilanjutkan ke

52Ibid, hlm. 88.

53Ibid, hlm. 87.

54 Op. Cit, Leden, hlm. 6.

(55)

40 tingkat penyidikan adalah peristiwa tersebut merupakan tindakan pidana.

b. Wewenang Penyelidik

Dalam rangka penyelidikan, penyelidik mempunyai wewenang sebagaimana ditentukan dalam pasal 5 KUHAP, yaitu:55

1) Karena kewajibannya mempunyai wewenang:

a) Menerima laopran atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;

b) Mencari keterangan dan barang bukti;

c) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

d) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

2) Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:

a) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penahanan;

b) Pemeriksaan dan penyitaan surat;

c) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

d) Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik.

55 Op. Cit, Andi Sofyan. Hlm. 91-92.

(56)

41 2. Tahap Penyidikan

a. Pengertian Penyidik dan Penyidikan 1) Penyidik

Menurut menurut Pasal 1 angka 1 KUHAP jo Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Reppublik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa yang dimaksud dengan penyidik adalah “Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”, demikian pula menurut Pasal 6 KUHAP bahwa penyidik adalah:56

a) Pejabat polisi negara republik Indonesia

b) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

2) Penyidikan

Dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah Opsporing, Inggris investigation dan Malaysia “penyiasatan” atau “siasat”.57

Menurut Pinto, menyidik (opsporing) berarti

“pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat

56 Ibid, hlm. 88-89.

57 Andi Hamzah, 2000, Hukum Acara Pidana Indonesia (edisi revisi), Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 118.

(57)

42 yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum.58

Menurut Pasal 1 angka 1 KUHAP jo Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya”.59

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana), menjelaskan tentang penyidikan, yang berbunyi sebagai berikut:60 “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk

58 Ibid, hlm. 118.

59 Andi Sofyan, Op.Cit, hlm. 89.

60 Hartono, Op. Cit, hlm.32.

Referensi

Dokumen terkait

Perancangan file “hrf_v.ngc” bertujuan untuk membuat file yang akan dieksekusi oleh EMC dalam mode operasi Auto sehingga sistem XY-Table dapat menggambar huruf kapital “V”

Hasil penelitian ini menunjukkan (1) pemenuhan sumber daya pendidik profesional dipenuhi dengan cara konvensional, yakni melalui pemberian penghargaan terhadap profesi

Tanpa seka kultural apapun (termasuk sekat etnis, ras, agama. geografis, dan strata sosial) individu bebas melalukan aktivítas di ruang cyberpublik. la

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Tetapi pada tahun 2018, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2018

Alhamdulillah rabbil‟alamiin, puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, izin, petunjuk, dan bimbingan-Nya, tesis yang berjudul “Pelaksanaan

Pengelolaan data tersebut ditujukan sebagai fungsi dalam menampung data yang berasal dari penyuplai data pariwisata Indonesia baik profil wisata, agenda wisata,

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun