BAB II
KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS
A. Kajian Teori 1. Anak Tunadaksa
a. Pengertian Anak Tunadaksa
Tunadaksa sering diartikan sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang atau otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan berdiri sendiri. Menurut Geniofam (2010), Tunadaksa adalah penderita kelainan fsiik, khususnya anggota badan, seperti tangan, kaki, atau bentuk tubuh. Penyimpangan perkembangan terjadi pada ukuran, bentuk, atau kondisi lainnya (hlm. 21). Menurut Santoso (2010), tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuromuskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh (hlm. 131).
Menurut Soeharso yang dikutip Choiri (2005) anak tunadaksa diartikan sebagai berikut:
1) Salah gerak yang disebabkan sejak lahir, (conginetal deformities).
2) Salah bentuk dan salah gerak yang disebabkan oleh sikap yang slah (static deformities).
3) Salah bentuk dan salah tulang yang disebabkan oleh penyakit pada tulang.
4) Salah bentuk dan salah gerak yang disebabkan penyakit pada otot-otot dan jaringan lainya.
5) Salah bentuk dan salah gerak yang disebabkan pada sendi.
6) Salah bentuk dan salah gerak yang disebabkan penyakit didalam urat syaraf
7) Salah bentuk dan salah gerak yang disebabkan oleh trauma (hlm. 5).
Menurut Choiri (2005) bahwa yang dimaksud dengan anak tunadaksa adalah: “mereka yang memiliki kelainan pada tubuhnya, baik berupa kelainan bentuk tubuh, tidak sempurnanya organ tubuh, atau terjadinya gangguann pada otak, fungsi tulang, otot dan persendian” (hlm. 6).
5
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa anak tunadaksa adalah mereka yang karena berbagai penyakit yang menyerang pada sensomotorisnya baik yang dibawa sejak anak masih dalam kandungan, pada saat lahir maupun setelah lahir, sehingga mereka mempunyai kelainan dan dengan kelainannya tersebut anak mengalami gangguan dalam lokomosinya, dan mereka memerlukan alat bantu untuk melakukan pindah diri.
b. Klasifikasi Anak Tunadaksa
Menurut Hallahan dan Kauffman yang dikutip Efendi (2006), "secara umum karakteristik kelainan anak yang dikategorikan penyandang tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi anak tuna daksa ortopedi (orthopedically bandicapped) dan anak tunadaksa saraf (neurologically bandicapped)" (hlm.
115).
Anak tunadaksa ortopedi (orthopedically bandicapped) ialah anak tunadaksa yang mengalami kelainan, kecatatan, ketunaan tertentu pada bagian tulang, otot tubuh, atuapun daerah persendiria, baik yang dibawa sejak lahir maupun yang diperoleh kemudian (karena penyakit atau kecelakaan) sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi tubuh secara normal.
Berdasarkan insiden terjadinya ketunadaksaan ortopedi, dasar pemberian pertolongan rehabilitasi, dan usaha penempatan kerja, penderita tunadaksa dapat diklasifikasikan menjadi ketunadaksaan karena suatu peperangan, ketunadaksaan karena kecelakaan dalam suatu pekerjaan, ketunadaksaan karena kecelakaan lalu lintas, ketuna-daksanaan karena penyakit, saerta ketunadaksanaan yang didapat sejak lahir.
Menurut Heward dan Orlansky, anak tunadaksa saraf (neurologically bandicapped), yaitu anak tunadaksa yang mengalami kelainan akibat gangguan pada susunan saraf di otak (Efendi, 2006: 116). Otak sebagai pengontrol tubuh memiliki sejumlah saraf yang menjadi pengendali mekanisme tubuh sehingga jika otak mengalami kelainan, sesuatu akan terjadi pada organisme fisik, emosi, dan mental.
Luka pada bagian otak tertentu, efeknya penderita akan mengalami gangguan dalam perkembangan, mungkin akan berakibat ketidakmampuan dalam melaksanakan berbagai bentuk kegiatan. Salah satu bentuk kelainan
yang terjadi pada fungsi otak dapat dilihat pada anak cerebral palsy (CP).
Menurut Krik yang dikutip Efendi (2006), "cerebral palsy yang berasal dari kata cerebral yang artinya otak, dan palsy yang mempunyai arti ketidakmmpuan atau gangguan motorik. Jadi cerebral palsy artinya gangguan aspek motorik yang disebabkan oleh disfungsinya otak" (hlm. 118).
Secara fisik anak tunadaksa ada yang jelas-jelas berbeda bila dibandingkan dengan anak normal, dan ada pula yang tidak nampak adanya perbedaan. Secara garis besar kondisi mereka dapat dibedakan atau dapat dikategorikan dalam dua golongan.
Menurut Choiri (2005) penggolongan anak tunadaksa adalah:
1) Anak tunadaksa yang kecacatannya tidak berhubungan dengan kerusakan otak. Misalnya anak dengan mengalami distropi di otot, mylities, akibat kecelakaan, dan cacat bawaan sejak lahir.
2) Anak cacat daksa yang kecacatanya diakibatkan oleh gangguan dan kerusakan pada fungsi otak, dengan ciri-ciri kelayuan, kelemahan, kelainan fungsi motorik, gangguan koordinasi gerak ditambah dengan kesukaran-kesukaran belajar. Gangguan indra, gangguan psikologi dan kelayuan yang disebabkan oleh gangguan organik (hlm. 6).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, bila dijabarkan, pada dasarnya anak tunadaksa dapat digolongkan menjadi tiga golongan yaitu:
1) Cacat akibat polio
2) Cacat akibat cerebral palsy 3) Cacat tubuh yang lain.
Menurut Koenig (2009: 32), tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan keturunan, meliputi:
a) Club-foot (kaki seperti tongkat) b) Club-hand (tangan seperti tongkat)
c) Polydactylism (jari yang lebih dari lima pada masing-masing tangan atau kaki)
d) Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan yang lain).
e) Torticollis (gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka)
f) Spina-bifida (sebagian dari sumsum tulang belakang tidak tertutup) g) Cretinism (kerdil/katai)
h) Mycrocephalus (kepala yang kecil, tidak normal) i) Hydrocephalus (kepala yang besar karena berisi cairan) j) Clefpalats (langit-langit mulut yang berlubang)
k) Herelip (gangguan pada bibir dan mulut)
l) Conginital hip dislocation (kelumpuhan pada bagian paha)
m) Conginital amputation (bayi yang dilahirkan tanpa anggota tubuh tertentu)
n) Fredresich ataxia (kerusakan pada sum-sum tulang balakang) o) Coxa valga (gangguan pada sendi paha, terlalu besar)
p) Syphilis (kerusakan tulang dan sendi akibat penyakit syphilis) 2) Kerusakan pada waktu kelahiran
a) Erb’s palsy (kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan atau tertarik waktu kelahiran)
b) Fragilitas osium (tulang yang rapuh dan mudah patah) 3) Infeksi
a) Tuberkulosis tulang (menyerang sendi paha sehingga menjadi kaku) b) Osteomylitis (radang di dalam dan sekeliling sum-sum tulang karena
bakteri)
c) Poliomylitis (infeksi virus yang mungkin menyebabkan kelumpuhan) d) Pott’s disease (tuberkulosis sumsum tulang belakang)
e) Still’s dosease (radang pada tulang yang menyebabkan kerusakan permanen pada tulang)
f) Tuberkulosis pada lutut atau pada sendi lain 4) Kondisi traumatik atau kerusakan traumatik
a) Amputansi (anggota tubuh dibuang akibat kecelakaan) b) Kecelakaan akibat luka bakar
c) Patah tulang.
5) Tumor
a) Oxostosis (tumor tulang)
b) Osteosis fibrosa cystisa (kista atau kantang yang berisi cairan dalam tulang)
6) Kondisi-kondisi lainnya
a) Flat feet (telapak kaki yang rata, tidak berteluk)
b) Kyphosis (bagian belakang sumsum tulang belakang yang cekung) c) Lordosis (bagian muka sumsum tulang belakang yang cekung) d) Perthes’ disease (sendi paha yang rusak atau mengalami kelainan) e) Rickets (tulang yang lunak karena nutrisi, menyebabkan kerusakan
tulang dan sendi)
f) Sciliosis (tulang belakang yang berputar, bahu dan paha yang miring).
Simpulan dari uraian di atas, bahwa tunadaksa dapat diklasifikasikan karena kerusakan yang dibawa sejak lahir atau keturunan, kerusakan pada waktu melahirkan, terjadinya infeksi, kondisi traumatik atau kerusakan traumatik, tumor, dan karena kondisi-kondisi fisik lainnya.
c. Penyebab Anak tunadaksa
Kartadinata (1996: 102) menyatakan, ketunadaksaan dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1) Sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran a) Faktor keturunan.
b) Trauma dan infeksi pada saat kehamilan.
c) Usia ibu yang sudah lanjut pada waktu hamil dan melahirkan.
d) Pendarahan pada waktu kehamilan.
e) Keguguran yang dialami ibu.
2) Sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran
a) Penggunaan alat-alat bantu kelahiran seperti tang, tabung, vacuum.
b) Penggunaan obat bius pada kelahiran.
3) Sebab-sebab sesudah kelahiran a) Infeksi
b) Trauma c) Tumor
d) Kondisi kondisi lainnya.
Kenyataannya bahwa anak-anak tunadaksa yang baru saja mengalami kecacatan lebih banyak menunjukkan adanya gangguan emosi. Hal ini sesuai anggapan bahwa ketika seseorang baru mengalami kecacatan akan menunjukkan reaksi menolak, tetapi semakin lama ia mengalaminya, semakin baik ia menerima keadaan yang dideritanya.
Menurut Choiri (2005: 6) kecacatan dapat terjadi karena:
1) Faktor bawaan atau dibawa sejak lahir (pre natal)
2) Karena suatu penyakit atau karena akibat dari terjadinya kecelakaan semasa dilahirkanya (natal)
3) Atau dalam pertumbuhan dan dalam perkembanganya (pos natal).
Untuk lebih jelasnya akan penulis uraikan satu persatu masalah tersebut di atas.
1) Faktor Pre Natal
Yaitu faktor penyebab cacat tubuh dimana bayi masih ada dalam kandungan atau anak sebelum dilahirkan. Ini bisa terjadi karena:
a) Sewaktu hamil, ibu sering sakit, sehingga mengganggu pertumbuhan bayi/janin
b) Waktu hamil, ibu tertlalu banyak minum obat/over dosis.
c) Sewaktu hamil ibu kekurangan gizi.
d) Letak bayi dalam kandungan tidak sempurna.
2) Faktor Natal
Yaitu faktor penyebab yang bisa menyebabkan cacat tubuh pada saat lahir, misalnya:
a) Bayi lahir terlalu sukar, sehingga memerlukan alat bantu untuk mengeluarkannya.
b) Kelahiran prematur, ini berakibat belum sempurnanya susunan otak dan susunan anggota tubuh.
3) Faktor Post Natal
Yaitu faktor penyebab anak tunadaksa setelah bayi dilahirkan. Ini bisa terjadi karena:
a) Terjadi encephalitis dan meningitis b) Anak kekurangan gizi
c) Anak terserang virus polio d) Anak jatuh atau kecelakaan.
Simpulan dari penyebab tunadaksa di atas, bahwa tunadaksa dapat disebabkan pada saat sebelum kelahiran atau faktot bawaan (pre antal), pada waktu melahirkan (natal) atau akibat dari terjadinya kecelakaan semasa dilahirkan, dan pada saat sesudah melahirkan atau mada masa perkembangan (pos natal).
d. Ciri-ciri Anak Tunadaksa
Ciri-ciri anak tunadaksa menurut Geniofam (2010), adalah:
1) Anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh.
2) Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali).
3) Terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna lebih kecil dari biasa.
4) Terdapat cacat pada alat gerak.
5) Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam.
6) Kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk, dan menunujukkan sikap tubuh tidak normal.
7) Hiperaktif/tidak dapat tenang (hlm. 22-23).
Ciri khas anak tunadaksa menurut Muslim dan Sugiarmin (1996), ciri-ciri yang timbul tergantung dari jenis kelainan, penyebab, dan kelainan untuk anggota gerak yang disebabkan faktor bawaan dapat dibedakan sebagai berikut:
1) Kelainan Amelia. Cirinya anggota gerak secara keseluruhan tidak ada.
Anggota gerak atas yang tertinggal hanya bahu, sendi bahu tidak ada.
Anggota gerak bawah yang tertinggal hanya pantat, sendi paha atau panggul tidak ada.
2) Kelainan Phocomelia. Cirinya anggota gerak sebagian hilang atau tidak sempurna, anggota gerak yang hilang biasanya, sebagian lengan bawah, di bawah sendi siku, sebagian tungkai, di bawah sendi lutut (hlm. 95).
Untuk anggota gerak yang hilang karena diperoleh setelah lahir, biasanya karena penyakit atau kecelakaan yang dimungkinkan tindakan operasi
berupa amputasi, yaitu berupa pemotongan anggota gerak tubuh. Akibatnya anak mengalami kelainan amputee.
Amputee ini dibedakan menjadi amputee gerak atas dan amputee gerak bawah dengan ciri sesuai dengan batas amputee yang dialaminya. Misalnya amputee di atas siku, maka lengan bawah mulai dari sendi siku tidak ada.
Simpulan dari ciri-ciri anak tunadaksa di atas, bahwa anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh, kesulitan dalam gerakan, terdapat bagian anggota gerak yang tidak tidak, jari tangan kaku, kesulitan bediri/berjalan/duduk, dan hiperaktif/tidak dapat tenang. Ciri khas anak tunadaksa tergantung dari jenis kelainan, penyebab, dan kelainan untuk anggota gerak yang disebabkan faktor bawaan yang dapat dilihat dari kelainan Amelia dan kelainan Phocomelia.
e. Dampak Ketunadaksaan
Sama seperti bentuk kelainan atau ketunaan yang lain, kelainan fungsi anggota tubuh atau tunadaksa yang dialami seseorang memiliki konsekeunsi atau akibat yang hampir serupa, terutama pada aapek kejiwaan penderita, baik berefek langsung maupun tidak langsung. Semua rangkaian problem kejiwaan yang dihadapi akibat kelainannya sama saja.
Tidak dapat dipungkiri bahwa fungsi motorik dalam kehidupan manusia sangat penting, terutama jika seseorang itu ingin mengadakan kontak dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam sekitarnya.
Maka peranan motorik sebagai sarana yang dapat mengantarkan seseorang untuk melakukan aktivitas mempunyai posisi yang sangat stategis, di samping kesertaan indra yang lain. Dalam aplikasinya, baik dilakukan bersama-sama maupun sendiri-sendiri. Menurut Efendi (2006: 124), bahwa “dengan terganggunggunya fungsi motorik sebagai akibat dari penyakit, kecelakaan atau bawaan sejak lahir, akan berpengaurh terhadap keharmonisan indra yang lain dan pada gilirannya akan berpengaruh pada fungsi kejiwaannya.” Choiri dan Karsidi (1999:3) mengemukakan bahwa: kelainan fisik selain berpengaruh terhadap timbulnya permasalahan-permasalahan fisik dan fungsi fisik itu sendiri, juga berpengaruh terhadap timbulnya permasalahan non fisik seperti
rendah diri, konsep diri yang salah, mudah marah, mudah tersinggung, malu berlebihan sampai pada isolasi diri yang berlebihan.
Menurut Sukiadi (200: 3), dampak yang dihadapi oleh anak tunadaksa adalah: 1) Hambatan pada pola perilaku dan gerak langkah yaitu dinamika tingkah laku dalam sikap dan gerak yang dapat mengaburkan suasana kehidupan, perasaan, daya khayal dan cita-cita. 2) Masalah pekerjaan dan ekonomi, yakni orang yang mengalami kerusakan kemampuan untuk bekerja disebabkan karena kecacatannya. 3) Masalah sosial, yakni dikarenakan tidak mendapatkan pekerjaan atau kehilangan pekerjaan yang menyebabkan goncangan fungsional. Permasalahan yang dihadapi anaktuna daksa secara garis besar adalah masalah yang berkaitan dengan fisik dan masalah yang berkaitan dengan gangguan fungsi yang dialami seperti gangguan fungsi mobilisasi, gangguan fungsi mental, gangguan fungsi dalam kegiatan sehari- hari, gangguan dalam aksesibilitas serta gangguan dalam penyesuaian diri.
Simpulan dari penjelasan di atas bahwa tunadaksa memberikan dampak dalam pendidikan maupun dalam aktivitas dalam mengadakan kontak dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam sekitarnya.
Tunadaksa memerlukan pendidikan khusus dan fasilitas pendidikan yang berbeda dangan anak normal pada umunya. Agar tunadaksa tidak memberikan dampak negatif, maka layanan pendidikan bagi anak tunadaksa disesuaikan dengan kondisi ketunaan yang disandangnya.
f. Program Pendidikan Anak Tunadaksa
Anak tunadaksa memilikii karakteristik khusus. Keadaan khusus membuat mereka berbeda dengan anak pada umumnya. Mengingat karakteristik dan hambatan yang dimilikinya, anak tunadaksa memerlukan bentuk pelayanan pendidkkan khusus yaitu sekolah inklusi. Yakni, pola pembelajarann yang disesuaikan dengan kemampuan ABK Misi utama dari penyelenggarakan sistem pendidikan inklusi adalah tarbangunnya tatanan masyarakat inklusif (inclusive society). Sebuah sistem kemasyarakatan yang dibangun dari spirit saling menghormati dan menjunjung tinggi nilai dan fakta keberagaman sebagai bagian dari realitas kehidupan (Santoso, 2010: 141).
Dalam layanan pendidikan bagi anak tunadaksa dapat dibedakan menjadi dua katagori, yaitu: 1) SLB/D untuk anak tunadaksa akibat penyakit polio, amputee, dan kecelakan yang lain. Dalam pelayanan pendidikan, menggunakan kurikulum yang sama dengan sekolah dasar/umum, hanya pada bidang studi tertentu, disesuaikan dengan kelainannya. Apabila proses rehabilitasi dipandang sudah cukup, anak bisa diintegrasikan pada sekolah umum/biasa. 2) SLB/D untuk anak tunadaksa akibat gangguan fungsi otaknya, terutama Cerebral Palsy.
1) Pengertian SLB/D
Banyak definisi yang menyebutkan pengertian tentang Sekolah Luar Biasa/D, diantaranya adalah: Menurut Choiri (2005:54-55), “Sekolah Luar Biasa bagian D adalah suatu lembaga pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan bagi anak cacat daksa, yang programnya bermaksud sebagai dasar mempersiapkan siswa yang akan melanjutkan pelajaran ketingkat yang lebih tinggi.” Hartini dan Endang (1996:22) mengemukakan bahwa: Sekolah luar biasa bagian D adalah suatu lembaga pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan bagi anak cacat daksa, yang programnya bermaksud sebagai dasar mempersiapkan siswa yang akan melanjutkan pelajaran yang lebih tinggi. Program tersebut juga mempersiapkan mereka agar memliki ketrampilan/kemampuan khusus yang masih ada padanya.
Dari uraian tersebut di atas, maka pengertian tentang SLB/D dapat penulis simpulan sebagai suatu lembaga pendidikan formal yang diperuntukkan bagi mereka penyandang cacat tubuh, agar namtinya mereka bisa melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi dan juga agar nantinya mereka bisa memiliki ketrampilan sesuai dengan kemampuan yang masih ada padanya, sebagai bekal hidup dimasyarakat.
2) Fungsi SLB/D
Masalah anak cacat daksa adalah masalah yang sangat kompleks, tidak semata-mata dilihat dari segi jasmaninya saja mengalami kelainan, akan tetapi juga menyangkut masalah kejiwaan dan juga masalah sosialnya.
Oleh karena itu, SLB/D mempunyai beberapa fungsi. Fungsi tersebut seperti yang dikemukakan oleh Depdiknas (2003: 24), Dalam Pedoman Praktis Penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa D adalah sebagai berikut: a) Fungsi medis; b) Fungsi psikologis; c) Fungsi sosial; d) Fungsi paedagogis.
Untuk lebih jelasnya akan penulis uraikan sebagai berikut:
a) Fungsi medis
Yaitu fungsi SLB/D sebagai tempat pengobatan bagi mereka yang mempunyai kelainan jasmani. Di SLB/D selain terdapat tenaga edukatif, juga disediakan tenaga medis.
b) Fungsi psikologis
Dengan adanya pelayanan pendidikan khusus di SLB/D dapat mngembangkan kepribadianya semaksimal mungkin, sesuai dengan kemampuannya, sehingga diharapakan mereka bisa mandiri dan dapat memberikan keseimbangan antara kebutuhan phisik dan kebutuhan psikis.
c) Fungsi sosial
Dengan mengikuti penididikan SLB/D akan dapat melatih anak untuk bersosialisasi. Mereka akan mengenal dan bergaul denagan teman sebaya, para pendidik, tenaga medis, karyawan dan pengasuh lembaga pendidikan tersebut. Dengan demikian anak akan dilatih untuk berkomunikasi dengan lingkungannya.
d) Fungsi paedagogis
Selain fungsi-fungsi yang telah dikemukakan di atas, SLB/D juga mempunyai fungsi paedagogis, yaitu berfungsi dalam pelayanan terhadap pendidikan anak tuna daksa. Layanan pendidikan ini diberikan setelah anak dianggap mampu untuk mengikuti pendidikan.
Simpulan dari uraian di atas bahwa program pendidikan bagi anak tunadaksa dapat dilaksanakan melalui lembaga pendidikan SLB/D untuk anak tunadaksa akibat penyakit polio, amputee, dan kecelakaan lainnya dan SLB/D untuk anak tunadaksa akbiat gangguan fungsi otaknya terutama anak cerebral palsy.
2. Prestasi Belajar IPA a. Pengertian IPA
Menurut Depdiknas dalam Kurikulum Pendidikan Dasar pengertian IPA atau sains dinyatakan:
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau sains merupakan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis untuk menguasai pengetahuan, fakta- fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, proses penemuan, dan memiliki sikap ilmiah. Pendidikan sains di sekolah dasar bermanfaat bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar (2004:6).
Lebih lanjut pengertian IPA menurut Fisher yang dikutip oleh Amin (1997:3), “Ilmu Pengetahuan Alam adalah salah satu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematik yang di dalamnya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam”. Paolo dan Marten yang dikutip Iskandar (2001) mendefinisikan Ilmu Pengetahuan Alam untuk anak-anak tingkat usia sekolah dasar adalah sebagai berikut:
1) Mengamati apa yang terjadi 2) Memahami apa yang diamati
3) Mempergunakan pengetahuan baru untuk meramalkan apa yang akan terjadi
4) Menguji ramalan-ramalan di bawah kondisi-kondisi untuk melihat apakah ramalan tersebut benar (hlm. 16).
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam merupakan salah satu kumpulan ilmu pengetahuan yang mempelajari alam semesta, baik ilmu pengetahuan yang mempelajari alam semesta yang bernyawa ataupun yang tak bernyawa dengan jalan mengamati berbagai jenis dan perangai lingkungan alam serta lingkungan alam buatan.
b. Fungsi IPA
Fungsi Ilmu Pengetahuan Alam menurut Iskandar (2001) adalah sebagai berikut:
1) Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam berfaedah bagi kehidupan atau pekerjaan anak di kemudian hari.
2) Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam merupakan bagian kebudayaan suatu bangsa.
3) Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam melatih anak berpikir kritis.
4) Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam mempunyai nilai-nilai pendidikan yaitu mempunyai potensi (kemampuan) dapat membentuk pribadi anak secara keseluruhan (hlm. 17).
Darmodjo dan Kaligis (2003) menyatakan bahwa fungsi Ilmu Pengetahuan Alam bagi siswa adalah dengan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam siswa dapat mengembangkan, sikap ingin tahu, sikap berfikir kritis, sikap ingin mendapatkan sesuatu yang baru dan sikap bekerjasama dengan orang lain (hlm. 7).
Sesuai dengan Kurikulum 2004 mata pelajaran IPA di Sekolah Luar Biasa berfungsi untuk menguasai konsep dan manfaat sains dalam kehidupan sehari-hari serta untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB).
Simpulan tujuan pengajaran IPA adalah agar siswa dapat mengetahui, memahami, menganalisis, mensintesis serta menggunakan dan memanfaatkan benda-benda yang berada di sekitar siswa. Fungsi IPA bagi siswa adalah sebagai bekal ilmu untuk kemudian hari, IPA sebagai bagian dari kebudayaan, IPA sebagai pengembang sikap siswa seperti sikap ingin tahu, sikap berpikir kritis serta sikap ingin mendapatkan suatu hal yang baru.
c. Tujuan IPA
Tujuan pengajaran Ilmu Pengetahuan Alam menurut Choiri adalah sebagai berikut:
1) Agar anak dapat mengenal, memahami dan mampu memanfaatkan lingkungan hidup beserta gejala alamnya untuk kepentingan hidupnya sehari-hari misalnya dalam menjalankan ADL (Activity of Daily Living). Contohnya bagaimana mencari air dan memanfaatkan air tersebut.
2) Agar anak terampil menggunakan dan memanfaatkan benda-benda di sekitarnya. Misalnya: menggunakan tanah liat untuk melemaskan otot-otot tangan dengan cara meremas-remas atau membuat bangunan sekaligus untuk menimbulkan daya kreasi anak dan sebagai pengisian waktu luang.
3) Memahami dan bersikap positip terhadap hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya (2000:121).
Tujuan pembelajaran IPA di Sekolah Dasar Luar Biasa bertujuan agar siswa:
1) Menanamkan pengetahuan dan konsep-konsep sains yang bermanfat dalam kehidupan sehari-hari.
2) Menanamkan rasa ingin tahu dan sikap positip terhadap sains dan teknologi.
3) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan.
4) Ikut serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam sekitar.
5) Mengembangkan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat.
6) Menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
Berdasarkan tujuan-tujuan IPA tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pengajaran IPA adalah agar anak dapat mengenal, memahami dan mampu memanfaatkan lingkungan hidup, anak terampil menggunakan dan memanfaatkan benda-benda di sekitarnya, menanamkan rasa ingin tahu dan sikap positip terhadap sains dan teknologi, memahami dan bersikap positip terhadap hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya, dan menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
d. Pengajaran Ilmu Pengetahuan Alam Bagi Anak Tunadaksa
Metode ilmiah untuk pengajaran IPA pada siswa sekolah tingkat dasar harus dikembangkan secara bertahap dan berkesinambungan. Dalam pengajaran IPA di sekolah tingkat dasar harus mengembangkan dan menampilkan ketrampilan-ketrampilan proses, diantara keterampilan tersebut adalah:
1) Ketrampilan mengobservasi, yang meliputi kemampuan untuk dapat
"membedakan", "menghitung", dan "mengukur" termasuk mengukur suhu, panjang, luas, berat dan waktu.
2) Ketrampilan mengkIasifikasi, yang meliputi menggolong-1olongkan atas dasar aspek-aspek tertentu mengurutkan atas dasar aspek tertentu, serta
kombinasi antara menggolongkan dengan mengurutkan.
3) Ketrampilan menginterpretasi, termasuk menginterpretasi data, grafik, maupun mencari pola hubungan yang terdapat dalam pengolahan data.
4) Ketrampilan memprediksi, termasuk membuat ramalan atas dasar kecenderungan yang terdapat dalam pola data yang telah didapat.
5) Ketrampilan membuat hipotesis, meliputi kemampuan berpikir deduktif dengan menggunakan konsep-konsep, teori-teori maupun hukum-hukurn IPA yang telah dikenal.
Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam mengajar Ilmu Pengetahuan Alam bagi anak tunadaksa menurut Choiri (2000) adalah sebagai berikut:
1) Keterbatasan kemampuan berpikir mereka 2) Keterbatasan gerak anggota tubuh mereka 3) Keterbatasan kemampuan bicara mereka
4) Anak kadang-kadang terlalu emosional dan malahan keras kepala, serta mudah tersinggung.
5) Terkadang anak mengalami gangguan tingkah laku (behaviour).
(hlm. 122).
Choiri (2000) mengemukakan berbagai pendekatan yang digunakan dalam mengajar IPA bagi anak tunadaksa, diantaranya adalah:
1) Pendekatan echologis, mengenalkan lingkungan hidup anak dari lingkungan hidup yang lebih terbatas ke yang lebih luas.
2) Pendekatan praktis (applied approach) anak menghayati aktivitas lingkungannya secara praktis.
3) Pendekatan secara pribadi (personal approach). Ini perlu dijalankan karena perbedaan individual antar mereka sangat menyolok (hlm.
122).
Lebih lanjut menurut Choiri (2000) metode yang dapat digunakan untuk mengajar pelajaran IPA bagi anak tuna daksa adalah sebagai berikut:
1) Metode demonstrasi eksperimen 2) Metode partisipasi
3) Metode tugas belajar dan resitasi 4) Metode karya wiasata (hlm. 121).
Mengajar pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam bagi anak tunadaksa harus memperhatikan berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh anak seperti keterbatasan dalam berpikir, keterbatasan dalam gerak, serta keterbatasan dalam emosi. Dalam mengajar guru juga dapat menggunakan berbagai
pendekatan kepada siswa seperti pendekatan pribadi, pendekatan echologis, pendekatan out put, pendekatan praktis ataupun pendekatan audio visual.
Selain berbagai pendekatan itu guru juga harus memilih metode ajar yang sesuai dengan kebutuhan anak tunadaksa.
Simpulan pengajaran IPA bagi anak tunadaksa perlu memperhatikan aspek-aspek kemampuan berpikir, keterbatasan gerak anggota tubuh, kemampuan bicara, emosional, dan tingkah laku (behaviour). Pendekatan yang digunakan dalam mengajar diantaranya pendekatan echologis, praktis (applied approach), dan secara pribadi (personal approach), sedangkan metode yang dapat digunakan antara lain metode demonstrasi eksperimen, partisipasi, tugas belajar dan resitas, dan karya wisata
Pengajaran IPA bagi anak tunadaksa memperhatikan prinsip-prinsip yang perlu mendapatkan perhatian bagi seorang guru. Menurut Richardson yang dikutip Darmodjo dan Kaligis (2003:12), prinsip-prinsip pembelajaran IPA, yaitu: 1) Prinsip keterlibatan siswa secara aktif,siswa harus ikut berbuat sesuatu untuk memperoleh ilmu yang mereka cari. Dengan melakukan kegiatan mencari ilmu dari alam itu sendiri. 2) Prinsip belajar berkesinambungan, pembelajaran dilakukan dengan terus menerus sampai anak memiliki pengetahuan. 3) prinsip motivasi, dalam belajar harus ada dorongan baik yang berasal dari dalam diri siswa atau dari luar diri siswa.
Guru dapat memberikan dorongan dengan cara memberi hadiah, kesempatan, tanggung .jawab ataupun kepercayaan.
Memilih suatu metode mengajar, khususnya dalam mengajar IPA harus memperhatikan prinsip-prinsip: 1) Dapat mengarahkan perhatian siswa terhadap hakekat belajar IPA yang spesifik sehingga ia akan mengetahui dengan pasti tentang apa yang diharapkan. 2) Dapat memberikan atau membangkitkan motivasi untuk belajar IPA. 3) Dapat meningkatkan "interest"
terhadap IPA. 4) Dapat memberikan umpan balik dengan segera. 5) Dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk maju sesuai dengan kecepatan atau kemampuannya sendiri. 6) Dapat menghindarkan dari frustasi dan kegagalan.
7) Dapat meningkatkan "transfer of learning" pada situasi di luar kelas. 8)
Dapat mengembangkan dan membina sikap positif terhadap diri sendiri, guru, materi pelajaran, clan proses pendidikan pada umumnya. (Sudirman dkk, 200:34)
Smpulan yang dapat diambil dari uraian di atas bahwa dalam mengajar IPA harus memperhatikan prinsip-prinsip seperti: perbedaan individual, prinsip berkesinambungan, prinsip penemuan, prinsip totalitas, pengembangan sikap, pengembangan motivasi serta prinsip keterlibatan siswa secara aktif.
e. Pengertian Prestasi Belajar IPA
Menurut Tirtonegoro (2001: 43) bahwa: “Prestasi belajar adalah penilaian hasil usaha kegiatan belajar mengajar yang dinyatakan dalam bentuk simbul, angka, huruf maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang dicapai oleh setiap anak dalam periode tertentu.” Menurut Depdikbud (2001:
70) yang dimaksud prestasi belajar adalah “penguasaan pengetahuan atau ketrampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yang diberikan oleh guru.”
Pengertian prestasi belajar menurut Maslow (dalam Sudjana, 2007: 22) bahwa: prestasi belajar suatu masalah yang bersifat perenial dalam sejarah kehidupan manusia karena sepanjang rentang kehidupan manusia selalu mengejar prestasi menurut bidang dan kemampuan masing-masing kehadiran prestasi belajar dalam kehidupan manusia pada tingkat dan jenis tertentu pula manusia yang berada di bangku sekolah.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang telah dicapai siswa dengan bekerja keras, ulet, tekun, sehingga bisa memberikan kepuasan dan pemenuhan hasrat ingin tahu siswa. Sedangkan prestasi belajar IPA adalah hasil siswa setelah melakukan suatu proses belajar IPA.
f. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Tinggi atau rendahnya prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar menurut Purwanto (2002: 107) sebagai berikut: “1) Faktor dari luar, meliputi: lingkungan dan
instrumental; 2) Faktor dari dalam, meliputi: fisiologis dan psikologis: bakat, minat, kecerdasan, motivasi, dan kemampuan kognitif.” Masing-masing faktor dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Faktor dari luar
a) Faktor lingkungan.
Lingkungan yang berwujud alam dan sosial. Lingkungan alam seperti keadaan udara, suhu, kelembaban. Belajar dengan udara yang segar, akan lebih baik hasilnya, bila dibandingkan dengan keadaan udara yang panas dan pengap. Lingkungan sosial merupakan hubungan antara individu dengan keluarga, pola asuh, maupun lingkungan masyarakat.
b) Faktor instrumental
Faktor instrumental adalah faktor yang keberadaannya dan penggunaannya sudah direncanakan, sesuai dengan hasil belajar yang diharapkan. Seperti: gedung, perlengkapan belajar dan administrasi kelas atau sekolah. Faktor ini diharapkan dapat membawa hasil belajar yang baik.
2) Faktor dari dalam a) Faktor fisiologi
Kondisi fisiologi pada umunya, seperti kesehatan jasmani akan berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Jasmani yang sehat, segar, akan mudah menerima informasi dari guru. Lain halnya bagi siswa yang dalam lesu dan sering mengantuk. Keadaan panca indera siswa, terutama penglihatan dan pendengaran apabila terganggu, maka hasil belajarnya juga kurang baik.
b) Faktor psikologis
Setiap manusia pada dasarnya memiliki kondisi psikologis yang berbeda- beda, karena perbedaan itu juga mempengaruhi hasil belajar. Faktor psikologis yang dianggap utama dalam pengaruhnya terhadap hasil belajar adalah: bakat, minat, kecerdasan, motivasi, dan kemampuan kognitif.
(1) Bakat
Bakat merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap hasil belajar seseorang. Apabila seseorang belajar pada bidang yang sesuai dengan bakatnya, maka kemungkinan berhasilnya akan lebih besar.
(2) Minat
Kalau siswa tidak berminat mempelajari sesuatu, tidak dapat diharapkan akan berhasil dengan baik, sebaliknya bila siswa berminat mempelajari sesuatu, maka hasilnya akan lebih baik.
(3) Kecerdasan
Kecerdasan besar peranannya dalam menentukan berhasil tidaknya seseorang mempelajari sesuatu. Orang yang cerdas pada umumnya lebih mampu belajar, daripada orang yang kurang cerdas. Kecerdasan seseorang biasanya dapat diukur dengan menggunakan alat tertentu, sedangkan hasil pengukuran dinyatakan dengan angka yang menunjukkan perbandingan kecerdasan, yang terkenal dengan sebutan Inteligence Quotient (IQ). Memahami taraf IQ setiap siswa, maka seorang guru dapat memperkirakan tindakan yang harus diberikan kepada siswa secara tepat.
(4) Motivasi
Motivasi adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi belajar adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar, oleh karena itu, meningkatkan motivasi belajar siswa menjadi bagian yang amat penting, dalam rangka mencapai hasil belajar yang maksimal.
(5) Kemampuan kognitif
Tujuan belajar meliputi tiga aspek, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Namun pada umumnya pengukuran kognitif lebih diutamakan dalam rangka menentukan keberhasilan belajar di sekolah. Karena itu, kemampuan kognitif merupakan faktor penting dalam belajar siswa.
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar di atas dapat disimpulkan bahwa faktor tersebut dapat berasal dari luar dan dari dalam diri siswa. Faktor dari luar, meliputi: lingkungan dan instrumental; 2) Faktor dari dalam, meliputi: fisiologis dan psikologis, antara lain: bakat, minat, kecerdasan, motivasi, dan kemampuan kognitif. Faktor dari dalam dari luar memberikan kontribusi yang signifikan terhadap prestasi belajar siswa.
g. Evaluasi Belajar
Mengungkapkan dan mengukur prestasi belajar IPA harus dilakukan evaluasi. Adapun yang dimaksud dengan evaluasi menurut Moore (dalam Rahim, 2007: 137) adalah suatu proses pengumpulan, menganalisis data, mempertimbangkan dan membuat keputusan tentang hasil belajar siswa.
Menurut Iskandar (2009: 219), “evaluasi pembelajaran adalah proses penentuan apakah materi atau metode pembelajaran telah sesuai dengan tujuan yang diharapkan.” Menurut Anastasi yang dikutip Azwar (2001: 2) “evaluasi berarti penilaian atau pengukuran yang objektif dan standar terhadap sampel perilaku.”
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa evaluasi belajar merupakan penilaian yang standar terhadap tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam pelajaran pada kurun waktu tertentu dalam bentuk nilai (angka). Sedangkan evaluasi belajar IPA adalah penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam pelajaran IPA pada kurun waktu tertentu dalam bentuk nilai (angka).
Konteks pelaksanaan pendidikan, evaluasi memiliki beberapa tujuan, antara lain sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui kemajuan belajar siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dalam jangka waktu tertentu.
2) Untuk mengetahui efektivitas metode pembelajaran.
3) Untuk mengetahui kedudukan siswa dalam kelompoknya.
4) Untuk memperoleh masukan atau umpan balik bagi guru dan siswa dalam rangka perbaikan (Iskandar, 2009: 220).
Evaluasi dilaksanakan sepanjang proses pembelajaran. Bentuknya tidak sekaku dan seformal tes yang ada. Pengajar punya kebebasan menentukan bentuk evaluasinya, intinya evaluasi di sini terdapat pada perencanaan dan pengorganisasiannya. Jadi pembelajaran itu tidak hanya menganalisis, diskusi, dan presentasi selama satu semester, tapi ada evaluasi yang benar-benar menggiring pembelajar agar dia berhasil dalam mencapai tujuan.
Simpulan dari tujuan dari evaluasi adalah untuk mengetahui kemajuan belajar siswa, untuk mengetahui efektivitas metode pembelajaran, untuk mengetahui kedudukan siswa dalam kelompoknya, dan untuk memperoleh masukan atau umpan balik bagi guru dan siswa dalam rangka perbaikan melalui perencanaan dan pengorganisasiannya.
3. Model Pembelajaran Media Alam Sekitar a. Pengertian Model Pembelajaran
Menurut Rohani (2004: 69), hakikat pembelajaran adalah kegiatan yang mencakup semua/meliputi, yang secara langsung dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan khusus pengajaran (menentukan entry-behavior peserta didik, menyusun rencana pelajaran, memberikan informasi, bertanya, dan menilai, dan sebagianya).
Pengertian model pembelajaran menurut Winataputra yang dikutip Yusuf (2012: 3):
Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sitematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para prancang pembelajran dan para pengajar dalam merencankaan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran.
Ada beberapa model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran siswa di sekolah, diantaranya adalah: 1) Model pembelajaran konsep; 2) Model berpikir induktif; 3) Model inquiry training; 4) Model scientific inquiry; 5) Model penumbuhan kognitif; 6) Model advance organizer; 6) Model memory (Uno, 2009: 10).
Berdasarkan pengertian pembelajaran dan model pembelajaran di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah kegiatan untuk mencapai tujuan-tujuan khusus pengajaran melalui kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sitematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar dan berfungsi sebagai pedoman bagi guru dalam merencankaan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran melalui beberapa model pembelajaran.
Beberapa model pembelajaran di atas, model inquiry training yaitu pembelajaran alamiah yang diajarkan secara langsung yang berkaitan dengan prestasi belajar IPA siswa tunadaksa kelas III SDLB. Siswa kelas III tunadaksa merupakan individu yang penuh rasa ingin tahu akan segala sesuatu. Oleh karena itu, prosedur ilmiah dapat diajarkan secara langsung kepada siswa melalui media alam sekitar.
b. Pengertian Media Alam Sekitar
Media pembelajaran memiliki banyak pengertian sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa ahli, dimana satu dengan yang lain memiliki perbedaan yang pada prinsipnya memiliki kesamaan. Dari pengertian berbagai ahli dapat dijelaskan seperti berikut.
Media pembelajaran terdiri dari dua kata, yaitu kata “media” dan
“pembelajaran”. Kata media secara harfiah berarti perantara atau pengantar, sedangkan kata pembelajaran diartikan sebagai suatu kondisi untuk membantu seseorangmelakukan suatu kegiatan belajar (Dale. 2009:1). Menurut Hamalik (2004:12) “media pembelajaran adalah metode dan teknik yang digunakan untuk mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam proses pendidikan dan pengajaran.”
Menurut Association for Educational Communications Technology (AECT) di Amerika yang dikutip oleh Arsyad (2002:3) media pendidikan ialah segala bentuk saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan/informasi. Sementara itu Gagne yang dikutip Sadiman, dkk. (2003:6):
“media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar.”
Berdasarkan ketiga pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan, media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari guru ke siswa sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses pembelajaran terjadi dan berlangsung lebih efisien.
Menurut Anderson (2003), media terdiri atas bermacam-macam jenis, antara lain (1) audio, (2) cetak, (3) audio cetak, (4) proyeksi visual diam, (5) proyeksi audio visual diam, (6) visual gerak, (7) audi visual gerak, (8) objek fisik, (9) komputer, serta (10) manusia dan lingkungan.
Alam sekitar atau lingkungan memiliki pengertian yang bervariasi dipandang dari sudut pandang yang berbeda-beda. Menurut Rohani (2004: 19),
”Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri individu. Adapun lingkungan pengajaran merupakan segala apa yang bisa mendukung pengajaran itu sendiri yang dapat difungsikan sebagai ”sumber pengajaran”
atau ”sumber belajar”. Media alam sekitar tidak jauh berbeda dengan media realia, media realia adalah benda nyata yang digunakan sebagai bahan atau sumber belajar. Pemanfaatan media relia tidak harus dihadirkan secara nyata dalam ruang kelas melainkan dapat dengan cara mengajak siswa melihat langsung (observasi) benda nyata tersebut ke lokasinya (Depdiknas, 2003: 3).
Berdasarkan pengertian di atas, media realia dapat digunakan dalam kegiatan belajar dalam bentuk sebagaimana adanya tidak perlu dimodifikasi, tidak ada pengubahan kecuali dipindahkan dari kondisi lingkungan aslinya.
Ciri media realia adalah benda yang masih dalam keadaan utuh, dapat dioperasikan, hidup, dalam ukuran yang sebenarnya dan dapat dikenali sebagai wujud aslinya. Pengajaran yang tidak menghiraukan prinsip lingkungan akan mengakibatkan peserta didik tidak mampu beradaptasi dengan kehidupan tempat ia hidup.
Media lingkungan (alam sekitar) merupakan media yang murah meriah, namun dapat digunakan untuk hasil yang maksimal. Media ini memiliki banyak kelebihan jika dibandingkan dengan media-media lain, salah satunya
dapat menghilangkan kejenuhan siswa karena terus belajar di ruangan kelas.
Belajar di alam seitar tentunya akan lebih menyenangkan dan menimbulkan motivasi belajar yang lebih tinggi bagi para siswa. Hal ini tentunya akan menghasilkan dampak yang positif bagi pembelajaran.
Media alam sekitar atau lingkungan sekitar dalam pembelajaran dapat dikenalkan kepada siswa melalui berbagai usaha. Menurut Rohani (2004), usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk melaksanakan prinsip lingkungan di antaranya adalah:
1) memberi pengetahuan tentang lingkungan peserta didik,
2) mengusahakan agar alat yang digunakan berasal dari lingkungan yang dikumpulkan baik oleh guru maupun peserta didik,
3) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk melaksanakan penyelidikan sesuai dengan kemampuannya melalui bacaan-bacaan dan observasi, kemudian mengekspresikan hasil penemuannya dalam bentuk percakapan, karangan, gambar, pameran, perayaan, dan sebagainya (hlm. 20)
Pada saat proses pengajaran berlangsung, guru berupaya agar siswa memusatkan perhatian (konsentarsi). Upaya untuk mendorong siswa agar konsentrasi (memusatkan perhatiannya) dan melakukan sesuatu penyelidikan serta menemukan sesuatu yang dapat digunakan kelak untuk kehidupan di dalam masyarakat, maka pada setiap pengajaran, guru dituntut untuk dapat mengatur atau mengelola pelajaran sedemikian rupa.
Berdasarkan beberapan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa media alam sekitar adalah segala sesuatu yang sifatnya alamiah seperti keadaan geografis, iklim, suhu udara, musim, curah hujan, flora (tumbuhan), fauna (hewan), sumber daya alam (air, hutan, tanah, batu-batuan dan lain-lain) yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari guru ke siswa sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses pembelajaran terjadi dan berlangsung lebih efisien.
c. Manfaat Media Alam Sekitar
Pengenalan lingkungan sekitar memiliki beberapa manfaat. Manfaat media lingkungan sekitar dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis 2) Menimbulkan kegairahan belajar
3) Memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara siswa dengan lingkungan dan kenyataan
4) Memungkinkan siswa belajar sendiri-sendiri menurut kemampuan dan minatnya (Sadiman, dkk., 2003: 7).
Dengan adanya konsentrasi (memusatkan perhatian) pembelajaran melalui pengenalan lingkungan sekitar akan diperoleh manfaat sebagai berikut:
1) Akan membangkitkan minat siswa untuk menaruh perhatian dalam pengajaran dan menimbulkan daya konsentrasi itu sendiri.
2) Dapat mengorganisasikan bahwa pelajaran yang menjadi suatu problem yang mendorong siswa selalu aktif dalam hal mengamati, menyelidiki, memecahkan, dan menentukan jalan penyelesaiannya sekaligus bertanggung jawab atas tugas yang diserahkan kepadanya.
3) Dapat memberikan struktur bahan pelajaran sehingga merupakan totalitas yang bermakna bagi siswa yang dapat digunakan untuk menghadapi lingkungan tempat ia hidup (Rohani, 2004: 21).
Pengenalan lingkungan sekitar agar dapat memberikan manfaat maka hendaknya guru membuat setiap bahan pelajaran agar mengandung suatu masalah yang menarik perhatian siswa dan merangsang untuk berusaha menyelidiki serta memecahkan masalah tersebut. Guru menghubungkan bahan pelajaran dengan masalah dan tugas konkret yang dapat dikerjakan siswa secara kelompok. Guru menghubungkan bahan pelajaran dengan bidang kegiatan tertentu dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari upaya pemberdayaan lingkungan untuk kepentingan pembelajaran meliputi:
1) Upaya memberikan perubahan iklim suasana pembelajaran kepada peserta didik yang sebelumnya selalu terkurung di dalam ruangan kelas yang terbatas menjadi sedikit lebih luas dengan sirkulasi udara yang lebih segar.
2) Kegiatan ini memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan praktikum terhadap apa yang telah dipelajarinya di kelas.
3) Program ini memperpendek jarak antara teori dan praktek, peserta didik diharapkan dapat menyaksikan langsung kaitan antara teori dan praktik dalam pengalaman nyata.
4) Upaya ini juga dapat memperluas wawasan peserta didik tentang berbagai fakta keilmuan yang ditemukan di alam nyata (Suhartini, 2012: 7).
Dengan diajak untuk langsung terjun ke alam sekitar maka siswa akan merasa bahwa pembelajaran tidak melulu membosankan tetapi sebenarnya adalah menambah pengalaman hidup yang tidak akan terlupakan dan dibawa sampai ia dewasa kelak, apakah pengalaman itu berkesan atau tidak akan ditentukan oleh perlakuan di masa ini, sebab masa anak adalah masa yang tidak akan terulang kembali.
Berdasarkan beberapa manfaat media alam sekitar di atas dapat disimpullan bahwa media alam sekitar memperjelas penyajian pesan, menimbulkan kegairahan belajar atau minat siswa, memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara siswa dengan lingkungan dan kenyataan atau melakukan praktikum, memperpendek jarak antara teori dan praktek, memperluas wawasan siswa di alam nyata, dan memungkinkan siswa belajar sendiri-sendiri menurut kemampuannya.
d. Langkah-langkah Pembelajaran Melalui Pengenalan Lingkungan Sekitar Pembelajaran melalui pengenalan lingkungan sekitar dapat dilaksanakan melalui beberapa langkah. Ada bermacam-macam cara untuk menggunakan sumber-sumber dalam lingkungan untuk kepentingan pelajaran. Pada umumnya dapat dibagi dalam dua golongan:
1) Membawa anak ke dalam lingkungan dan masyarakat untuk keperluan pelajaran (karyawisata, service projects, school camping, survey, interview).
2) Membawa sumber-sumber dari masyarakat ke dalam kelas untuk kepentingan pelajaran (resource persons, benda-benda, seperti pameran atau koleksi) (Nasution, 2000: 133).
Kedua jenis ini tidak lepas satu sama lain, karena siswa-siswa sering mengunjungi lingkungannya lalu membawa benda-benda dan contoh-contoh ke dalam kelas. Langkah yang dilakukan hanya untuk menanamkan konsep IPA sesuai apa yang dilihat siswa di alam sekitar yang beraneka ragam. Dan masing-masing memiliki ciri atau bentuk yang berbeda sesuai dengan nama dan sifatnya.
C. Kerangka Berpikir
Karangka berpikir merupakan arahan penalaran untuk sampai pada hipotesis. Adapun kerangka berpikir penelitian ini sebagai berikut:
Peningkatan prestasi belajar IPA dipengaruhi oleh faktor dari dalam dan dari luar diri siswa. Media alam sekitar seperangkat pendukung meningkatkan prestasi belajar IPA yang merupakan pengaruh faktor dari luar diri siswa. Media alam sekitar merupakan salah satu media pembelajaran yang mudah dikenal di dalam kegiatan pembelajaran. Melalui media alam sekitar dapat ditunjukkan ke alam nyata, selain itu juga dapat memberikan gambaran tentang maksud dari pembelajaran. Melalui media alam sekitar, guru dapat menerjemahkan ide-ide abstrak dalam bentuk yang lebih konkrit untuk siswa tunadaksa kelas III SDLB yang dalam pembelajaran IPA didukung media alam sekitar akan memiliki prestasi yang lebih baik dibanding sebelum menerapkan media alam sekitar.
Adapun alur kerangka pemikiran yang ditujukan untuk mengarah jalannya penelitian adalah sebagai berikut:
Bagan 2.1. Kerangka Berpikir
Prestasi belajar IPA siswa tunadakasa kelas III SDLB YPAC
Surakarta rendah
Pembelajaran IPA melalui model pembelajaran media alam sekitar
Prestasi belajar IPA siswa tunadakisa kelas III SDLB YPAC
Surakarta meningkat Kondisi Awal
Tindakan
Kondisi Akhir
C. Hipotesis
Hipotesis merupakan tafsiran sementara yang masih perlu diuji kebenarannya, mengenai bukti-bukti secara ilmiah. Hipotesis tindakan yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Melalui penerapan model pembelajaran media alam sekitar dapat meningkatkan prestasi belajar IPA pada siswa tunadaksa kelas III semester II di SDLB YPAC Surakarta tahun pelajaran 2012/2013".