• Tidak ada hasil yang ditemukan

KRITIK SOSIAL DALAM LIRIK LAGU KARYA YAB SARPOTE: ANALISIS WACANA KRITIS VAN DIJK

N/A
N/A
john smith

Academic year: 2022

Membagikan "KRITIK SOSIAL DALAM LIRIK LAGU KARYA YAB SARPOTE: ANALISIS WACANA KRITIS VAN DIJK"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

KRITIK SOSIAL DALAM LIRIK LAGU KARYA YAB SARPOTE:

ANALISIS WACANA KRITIS VAN DIJK

SKRIPSI

Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana Program Strata 1 dalam Ilmu Sastra Indonesia

Oleh:

Ira Florencia 13010117120003

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

2021

(2)

ii

HALAMAN PERNYATAAN

Dengan sebenarnya, penulis menyatakan bahwa skripsi berjudul “Kritik Sosial dalam Lirik Lagu Karya Yab Sarpote: Analisis Wacana Kritis van Dijk” ini disusun tanpa mengambil bahan hasil penelitian baik untuk suatu gelar atau diploma yang sudah ada di universitas maupun hasil penelitian lain. Penulis juga menyatakan bahwa skripsi ini tidak mengambil bahan dari publikasi atau tulisan orang lain, terkecuali yang telah disebutkan dalam rujukan. Saya bersedia menerima sanksi bilamana terbukti melakukan plagiasi/penjiplakan terhadap penelitian orang lain.

Yang menyatakan,

Ira Florencia

(3)

iii

MOTTO

“Tuhan menetapkan langkah-langkah orang yang hidup berkenan kepada-Nya;

apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab Tuhan menopang tangannya.”

Mazmur 37:23-24

PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan untuk kedua orang tua penulis.

Terima kasih telah menyayangi, mendukung, dan tak henti-hentinya mendoakan penulis.

Terima kasih juga untuk diri sendiri karena sudah berhasil melewati masa-masa ini.

(4)

iv

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi dengan judul “Kritik Sosial dalam Lirik Lagu Karya Yab Sarpote: Analisis Wacana Kritis van Dijk” ini telah disetujui oleh dosen pembimbing untuk diajukan kepada Tim Penguji Skripsi pada:

Hari : Selasa

Tanggal : 23 November 2021

Disetujui oleh, Pembimbing I

Drs. Ary Setyadi, M.S.

NIP 195809091984031002

Pembimbing II

Dra. Sri Puji Astuti, M.Pd.

NIP 196701161992032002

(5)

v

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi dengan judul “Kritik Sosial dalam Lirik Lagu Karya Yab Sarpote: Analisis Wacana Kritis van Dijk” yang ditulis oleh Ira Florencia telah diterima dan disahkan oleh Panitia Ujian Skripsi skripsi Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro pada:

Hari : Senin

Tanggal : 21 Desember 2021

Panitia Ujian Skripsi

Ketua

Dr. M. Suryadi, M.Hum. :...

NIP 196407261989031001

Anggota I

Drs. Ary Setyadi, M.S. :...

NIP 195809091984031002

Anggota II

Dra. Sri Puji Astuti, M.Pd. :...

NIP 196701161992032002

Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Dr. Nurhayati, M. Hum.

NIP 19661004199002001

(6)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ... ii

MOTTO ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

INTISARI ... xi

ABSTRACT ... xii

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

1. Manfaat Teoritis ... 7

2. Manfaat Praktis ... 7

E. Metode Penelitian ... 7

1. Tahap Pengumpulan Data ... 8

2. Tahap Analisis Data ... 8

3. Tahap Penyajian Hasil Analisis Data... 9

BAB II ... 10

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI ... 10

A. Tinjauan Pustaka ... 10

B. Landasan Teori ... 13

1. Analisis Wacana Kritis ... 13

2. Analisis Wacana Kritis Model van Dijk ... 15

3. Kritik Sosial ... 24

4. Lirik Lagu ... 24

BAB III ... 26

(7)

ix

A. Dimensi Teks ... 26

1. Dimensi Teks dalam Lagu “Jangan Diam, Papua” ... 26

2. Dimensi Teks dalam Lagu “Benih” ... 46

3. Dimensi Teks dalam Lagu “Sudah Tak Ada Lagi Pulang” ... 58

B. Dimensi Kognisi Sosial ... 73

1. Kognisi Sosial dalam Lagu ”Jangan Diam, Papua” ... 74

2. Kognisi Sosial dalam Lagu ”Benih” ... 75

3. Kognisi Sosial dalam Lagu “Sudah Tak Ada Lagi Pulang” ... 75

BAB IV ... 83

PENUTUP ... 83

A. Simpulan ... 83

B. Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85

LAMPIRAN ... 1

(8)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Transkrip Wawancara dengan Yab Sarpote………...1

(9)

xi

INTISARI

Florencia, Ira. 2021. “Kritik Sosial dalam Lirik Lagu Karya Yab Sarpote: Analisis Wacana Kritis van Dijk”. Skripsi (S1) Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro, Semarang. Pembimbing I: Drs. Ary Setyadi, M.S., Pembimbing II:

Dra. Sri Puji Astuti, M.Pd.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan analisis dimensi teks, kognisi sosial, dan konteks sosial dalam ketiga lagu karya Yab Sarpote berjudul “Jangan Diam, Papua”, “Benih”, dan “Sudah Tak Ada Lagi Pulang”. Teori yang diterapkan dalam penelitian ini yaitu teori analisis wacana kritis model van Dijk. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode simak dan metode catat.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lagu “Jangan Diam, Papua”,

“Benih”, dan “Sudah Tak Ada Lagi Pulang” yang ditulis oleh Yab Sarpote berisikan kritik sosial yang hadir karena adanya ideologi yang berkaitan dengan hak dan kebebasan dari sebagian komunitas masyarakat yang dibatasi. Kritik dalam lagu disampaikan dengan menggunakan bahasa yang lugas dan kias. Penggunaan bahasa lugas bertujuan memudahkan pendengar dalam mengimajinasikan permasalahan dalam lagu dan menghindari adanya interpretasi berbeda. Penggunaan bahasa kias mampu memperhalus makna sebuah kata, frasa, atau kalimat. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan Yab Sarpote, ketiga lagu tersebut ditulis dengan melibatkan proses kognisi sosial, yaitu skema dan memori.

Kata kunci: kritik sosial, lirik lagu, analisis wacana kritis

(10)

xii

ABSTRACT

Florencia, Ira. 2021. “Kritik Sosial dalam Lirik Lagu Karya Yab Sarpote: Analisis Wacana Kritis van Dijk”. Thesis (S1) of an Indonesian Literature Study Program, Faculty of Humanity, Diponegoro University, Semarang. Advisor I: Drs. Ary Setyadi, M.S., Advisor II: Dra. Sri Puji Astuti, M.Pd.

This study aims to describe the analysis of three dimensions: text, social cognition, and social context in three songs written by Yab Sarpote entitled

“Jangan Diam, Papua”, “Benih”, and “Sudah Tak Ada Lagi Pulang”. The thoery applied in this study is the theory of critical discourse analysis approach of van Dijk. Data collection methods used are the listening method and the recording method.

The results of this study showed that the songs “Jangan Diam, Papua",

"Benih", and "Sudah Tak Ada Lagi Pulang" written by Yab Sarpote contained social criticism that was present because of the ideology related to the rights and freedoms of some limited communities. Criticism in songs is conveyed using straightforward language and kias language. The use of straightforward language aims to facilitate listeners in imagining problems in songs and avoiding different interpretations. The use of kias language is able to refine the meaning of a word, phrase, or sentence. Based on the results of interviews conducted with Yab Sarpote, the three songs were written involving the process of social cognition, namely schema and memory.

Keywords: social criticism, song lyrics, critical discourse analysis

(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Musik merupakan karya seni yang abadi dari masa ke masa. Bahari (2008:55) mendefinisikan musik sebagai ilmu pengetahuan dan seni tentang kombinasi ritmik yang meliputi vokal serta instrumental dengan fungsinya sebagai ekspresi dari aspek emosional yang ingin diungkapkan. Dilihat dari perkembangan zaman, musik telah menjadi bagian dari masyarakat di seluruh dunia. Salah satu contohnya adalah penggunaan musik sejak zaman abad pertengahan yang berhubungan erat dengan upacara keagamaan (Linggono, 2013:2).

Keberadaan musik tidak lepas dari lirik lagu sebagai komponen penyusunnya. Lirik lagu dimanfaatkan oleh penulisnya sebagai sarana berkekspresi untuk menggambarkan keresahan atau kritikan terhadap permasalahan yang terjadi di sekitarnya. Lirik lagu juga dapat dikategorikan sebagai sebuah karya sastra sebagaimana yang diungkapkan Moeliono (2007:678) bahwa lirik lagu adalah karya sastra (puisi) tentang curahan perasaan pribadi dan susunan kata sebuah nyanyian.

Lagu yang dijadikan media untuk menyampaikan kritik sosial telah ada sejak lama. Tahun 1960-an merupakan titik puncak dari pembuatan lagu protes (Pratt, 1990:8). Pada saat itu, banyak lagu yang menyampaikan kritik terhadap sistem pemerintahan dan ketidakadilan yang terjadi pada kelompok-kelompok kecil. Salah satu contohnya adalah lagu berjudul ”Blowin’ in the Wind” yang ditulis oleh Bob Dylan. Musisi asal Amerika Serikat ini dikenal banyak menyampaikan

(12)

kritik, terutama pada saat Perang Vietnam, Perang Dingin, dan gerakan hak-hak sipil tahun 1960-an.

Ada pula musisi dalam negeri yang vokal menyuarakan isu-isu sosial pada awal tahun 1980-an, yaitu Iwan Fals. Musisi bernama asli Virgiawan Listanto ini cukup konsisten dalam menyampaikan kritik terhadap rezim Orde Baru melalui karya-karyanya. Salah satu contohnya adalah lagu berjudul ”Surat Buat Wakil Rakyat” yang dirilis pada tahun 1987. Pada masa itu, banyak acara konsernya yang dilarang ataupun dibatalkan oleh pemerintah karena alasan keamanan sebab lagu- lagunya dianggap menyinggung pihak-pihak penguasa dan dapat memicu terjadinya kerusuhan. Hal ini membuktikan bahwa musik menjadi salah satu media yang memiliki pengaruh kuat dalam menyampaikan kritik.

Musisi yang kerap mengangkat isu-isu sosial dalam lagunya disebut dengan musisi folk. Secara historis, musik folk berkaitan dengan komentar terhadap isu sosial atau politik. Setelah musik tersebut digunakan untuk mengekspresikan sentimen antikomunis pada tahun 1950-an, musik folk juga semakin banyak digunakan untuk menyatakan perbedaan pendapat (Friedman, 2013:102). Lirik lagu dalam musik juga banyak dikenal menceritakan permasalahan dari kehidupan sehari-hari.

Jumlah musisi Indonesia yang membawakan genre musik folk pada tahun 2000-an semakin banyak. Mereka membawakan lagu-lagu yang menyinggung isu sosial, politik, ataupun kemanusiaan. Sebagian besar dari musisi tersebut tidak tergabung dalam label rekaman besar sehingga mereka juga disebut sebagai musisi indie. Kata indie berasal dari kata independen yang memiliki arti berdiri

(13)

sendiri, bebas, dan tidak terikat. Oleh sebab itu, musik indie dapat diartikan sebagai musik yang diproduksi dan dipasarkan secara independen. Mereka tidak terikat aturan dari pihak-pihak tertentu sehingga dapat berekspresi lebih bebas dalam setiap karyanya dan tidak memiliki keharusan untuk mengikuti kemauan pasar.

Yab Sarpote merupakan salah seorang musisi asal Yogyakarta yang kerap kali mengangkat isu-isu sosial dalam lagu-lagunya. Yab Sarpote merupakan anagram dari nama aslinya. Buku Pramoedya Ananta

Toer dan Realisme Sosialis karya Eka Kurniawan adalah salah satu buku yang membuatnya mulai tertarik dengan isu sosial, filsafat, ataupun kajian sastra. Pria ini juga pernah menjadi seorang penabuh drum dalam grup musik bernama Ilalang Zaman, yakni grup bentukan aktivis pers mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Setelah grup musik tersebut bubar pada tahun 2015, beliau melanjutkan karirnya sebagai seorang solois. Dikutip dari sebuah wawancara bersama Warning Magz (2015), Yab Sarpote mengungkapkan bahwa musik menjadi salah satu ruang untuk mengekspresikan pemikiran dan perenungan akan permasalahan yang terjadi di dunia.

Lagu pertama yang dirilis ketika menjadi solois adalah “Jangan Diam, Papua” yang sebelumnya juga pernah dirilis pada tahun 2013 saat masih tergabung dalam grup musik Ilalang Zaman. Lagu tersebut pertama kali dinyanyikan dalam acara solidaritas untuk Tambrauw yang diadakan oleh Aliansi Mahasiswa Papua. Pada tahun 2015, lagu “Jangan Diam, Papua” dibuat dalam versi akustik bersama Yolanda Tatogo dan Mateus Auwe (alm.). Lagu ini dilatarbelakangi oleh berbagai kasus penindasan yang telah terjadi di Tanah Papua dan keinginan

(14)

masyarakat Papua untuk bebas dalam menentukan identitasnya sendiri. Lagu ini diharapkan dapat membangkitkan semangat perlawanan terhadap segala penderitaan yang selama ini mereka alami.

Lagu keduanya berjudul “Benih” yang dirilis pada tahun 2016 merupakan salah satu karya terpilih dalam Festival Mengingat Munir, Menyalakan Kemanusiaan dan dikurasi di Museum Hak Asasi Manusia, Omah Munir. Lagu tersebut merupakan sebuah lagu persembahan yang ditujukan untuk Munir, Marsinah, Wiji Thukul, Udin, Salim Kancil, para korban Tragedi Mei 1998, serta semua orang yang hilang atau dibunuh ketika berjuang demi kebenaran, keadilan, dan kemerdekaan. Secara lebih spesifik, lagu “Benih” mengangkat permasalahan mengenai para korban ketidakadilan di negara ini pada masa pemerintahan Orde Baru ataupun setelah Orde Baru. Sebagian dari kasus-kasus tersebut hingga kini bahkan belum selesai. Hal ini juga menunjukkan bahwa masih lemahnya penegakan HAM, hukum, dan keadilan di Indonesia.

Ketiga, lagu berjudul “Sudah Tak Ada Lagi Pulang” dirilis pada tahun 2017. Lagu ini dilatarbelakangi oleh kisah para korban penggusuran paksa.

Penggusuran tersebut merampas lahan tempat tinggal dan lahan pertanian atau perkebunan mereka. Lagu “Sudah Tak Lagi Pulang” mewakili cerita dari pertani- petani yang terkena dampak penggusuran, antara lain akibat proyek infrastruktur, pembangkit listrik, dan industri ekstraksif. Petani-petani tersebut tidak hanya kehilangan hal-hal yang materiel, tetapi juga kehilangan eksistensinya sebagai petani.

(15)

Yab Sarpote dalam menulis lagu-lagunya dipengaruhi oleh dua hal utama.

Pertama, korelasi antara lirik lagu dengan situasi nyata yang terjadi di Indonesia.

Kedua adalah pikiran dan pandangan Yab Sarpote terhadap suatu permasalahan yang dimuat dalam lagu-lagunya. Lagu-lagu yang diciptakannya mengangkat isu sosial yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat. Lagu ”Jangan Diam, Papua”,

”Benih”, dan ”Sudah Tak Ada Lagi Pulang” mengusung tema besar yang sama, yaitu menggambarkan kritik sosial terhadap pemerintah ataupun pihak-pihak yang memiliki kekuasaan di negara ini. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kritik tidak hanya dapat disampaikan melalui dunia politik, tetapi juga dunia seni.

Kritik dalam sebuah lagu disampaikan melalui lirik-liriknya. Pada umumnya, kritikan tersebut tidak disampaikan melalui bahasa yang lugas.

Para penulis lagu biasanya menggunakan berbagai macam gaya bahasa. Kritikan dalam lagu-lagu tersebut pun dapat terlihat lebih halus tetapi pesan yang ingin disampaikan oleh penulis lagu dapat tetap utuh. Lirik lagu dapat dikategorikan sebagai sebuah wacana. Tarigan (2009:26) mendefinisikan wacana sebagai satuan bahasa tertinggi di atas kalimat atau klausa serta memiliki koherensi dan kohensi yang berkesinambungan disampaikan secara lisan atau tertulis.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas lebih jauh mengenai lagu-lagu karya Yab Sarpote, khususnya yang mengangkat tema besar yang sama. Lagu-lagu tersebut adalah “Jangan Diam, Papua”, “Benih”, dan “Sudah Tak Ada Lagi Pulang”. Penelitian ini menggunakan teori analisis wacana kritis van Dijk sebab penelitian tidak hanya fokus pada permasalahan sosial yang ditampilkan dalam lirik lagu, tetapi juga pada kognisi sosial dari Yab Sarpote. Analisis wacana

(16)

kritis tidak hanya menganalisis bahasa dari aspek kebahasaan saja, tetapi juga dihubungkan dengan konteks (Eriyanto, 2009:7). Analisis wacana kritis mempelajari hubungan antara wacana dan masyarakat. Hubungan tersebut dimediasi secara kognitif karena struktur wacana dan sosial memiliki sifat yang berbeda. Keduanya hanya dapat dihubungkan melalui representasi mental dari pengguna bahasa (van Dijk, 2009:64).

Penelitian terhadap penggunaan bahasa dalam lagu “Jangan Diam, Papua”,

“Benih”, dan “Sudah Tak Ada Lagi Pulang” akan menunjukkan bagaimana dan mengapa lirik lagu tersebut dapat terbentuk sehingga kritik sosial yang tersimpan di dalamnya pun dapat diungkap. Begitu pula korelasi antara lirik lagu dengan kondisi nyata yang terjadi di Indonesia, serta bagaimana Yab Sarpote menuangkan ideologinya dalam setiap lagu yang ditulisnya dapat diketahui melalui studi analisis wacana kritis.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang akan diselesaikan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana analisis dimensi teks dalam lirik lagu karya Yab Sarpote?

2. Bagaimana kognisi sosial yang mendasari produksi lirik lagu karya Yab Sarpote?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut:

(17)

1. Mendeskripsikan analisis dimensi teks dalam lirik lagu karya Yab Sarpote.

2. Mendeskripsikan kognisi sosial yang mendasari produksi lirik lagu karya Yab Sarpote.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu linguistik khususnya bidang analisis wacana kritis van Dijk. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan mampu melengkapi atau mengembangkan penelitian-penelitian sejenis terdahulu sehingga dapat menjadi acuan atau tinjauan bagi penelitian yang akan datang.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan perspektif baru bagi masyarakat dalam memahami lagu-lagu yang mengangkat isu-isu sosial. Penelitian ini pun diharapkan dapat menjadi sarana untuk memahami lirik lagu karya Yab Sarpote dari segi teks dan kognisi sosial.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini berlaku sebagaimana penelitian linguistik pada umumnya, yaitu terdiri atas tiga tahapan: (1) tahap penyediaan atau pengumpulan data; (2) tahap analisis data; dan (3) tahap penyajian

(18)

hasil analisis data (Sudaryanto, 2015:6). Tiga tahap tersebut dijabarkan sebagai berikut.

1. Tahap Pengumpulan Data

Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan data sebuah lirik lagu. Teknik yang digunakan dalam metode simak adalah teknik simak bebas libat cakap (SBLC) dan teknik catat. Teknik ini dilakukan dengan cara menyimak lirik lagu yang dinyanyikan oleh Yab Sarpote dan membuat transkrip liriknya. Kemudian, dilanjutkan dengan metode cakap yang menggunakan teknik cakap semuka, teknik rekam, dan teknik catat. Teknik cakap semuka dilakukan dengan mewawancarai Yab Sarpote sebagai penyanyi sekaligus penulis lagu yang dijadikan objek penelitian. Selain itu, dilakukan pula teknik rekam dan teknik catat selama teknik cakap semuka berlangsung.

2. Tahap Analisis Data

Pada tahap analisis lagu, data dianalisis dengan menggunakan pendekatan analisis wacana kritis van Dijk. Analisis dimensi teks dalam teori analisis wacana kritis van Dijk digunakan untuk membedah lebih dalam mengenai penggunaan tipe gaya bahasa yang digunakan Yab Sarpote untuk menyampaikan kritik sosial dalam lagu- lagunya. Kemudian, penulis mengolah data dari hasil wawancara dengan Yab Sarpote. Dalam hal ini, diperlukan adanya proses reduksi data, yaitu memilih hal- hal pokok dari hasil wawancara yang sesuai dengan fokus penelitian. Selanjutnya, data-data yang telah direduksi mampu membantu penulis dalam menganalisis

(19)

kognisi sosial yang memengaruhi Yab Sarpote dalam proses penciptaan lagu- lagunya.

3. Tahap Penyajian Hasil Analisis Data

Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode informal.

Metode penyajian informal adalah penyajian data dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 2015:241). Data yang dihasilkan dalam penelitian ini berbentuk kualitatif serta disajikan secara deskriptif. Tujuannya menyajikan hasil akhir berupa sebuah penelitian mengenai struktur teks yang digunakan oleh oleh Yab Sarpote dalam menyampaikan kritik sosial melalui lirik lagunya serta menjelaskan bagaimana kognisi dan konteks sosial yang mendasari produksi lirik lagunya.

(20)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

Sajian bahasan dalam bab ini berkaitan dengan tinjauan pustaka yang bertolak dari beberapa sumber referensi. Sumber tersebut mendasarkan pada penerapan teori analisis wacana sebagaimana yang digunakan dalam analisis data. Adapun sajian tinjauan pustaka bertolak dari hasil klasifikasi sumber referensi, yaitu jurnal penelitian dan skripsi.

Suharyo, et al. (2014) meneliti “Bahasa dan Ideologi: Mengungkap Ideologi dan Kekuasaan Simbolik di Balik Penggunaan Bahasa”. Penelitian tersebut mengkaji penggunaan bahasa di media Suara Merdeka dan Harian Kompas. Hasil penelitian berdasarkan pilihan kata atau kalimat menunjukkkan Suara Merdeka cenderung berideologi kasar, provokatif, dan konotatif. Sementara itu, Harian Kompas berideologi idealisme pers yang objektif, netral, dan berimbang. Penelitian tersebut membuktikan bahwa diksi yang digunakan dalam sebuah teks dapat mengungkapkan ideologi atau sikap dari pembuat teks terhadap peristiwa tertentu.

Tresnanda (2015) meneliti “Makna Kritik Sosial pada Lirik Lagu Siang Sebrang Istana Iwan Fals (Analisis Wacana Kritis Teun A. van Dijk)”. Penelitian ini berfokus pada struktur teks dengan memanfaatkan analisis linguistik, seperti kosakata, kalimat, proposisi, dan paragraf. Lagu “Siang Sebrang Istana” ditulis berdasarkan pengetahuan, pandangan, dan penilaian dari Iwan Fals mengenai ketidaksetujuan terhadap kemiskinan, kesenjangan sosial, keberpihakan, serta

(21)

pengkotak-kotakan yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia. Kritikan dan sikap perlawan diwakili oleh penggunaan metafora dalam lagu. Dengan demikian, dapat ditunjukkan bahwa lagu dapat menjadi media dalam menyampaikan kekacauan yang terjadi di tengah masyarakat.

Utomo (2017) meneliti “Wacana Antikomunisme dalam Teks dan Konteks Sosial Film Pulau Buru Tanah Air Beta”. Penelitian ini mengungkapkan sudut pandang lain dari sejarah melalui film Pulau Buru Tanah Air Beta. Film ini dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan sutradara film, Rahung Nasution, terhadap apa yang telah dibangun oleh Orde Baru. Memori dan pengalaman hidup seorang mantan tahanan politik, Hersri Setiawan, membantu proses pembuatan film. Oleh sebab itu, tampak jelas bahwa lahirnya sebuah teks sangat dipengaruhi oleh kognisi sosial dari pembuat teks. Kognisi tersebut dapat berupa memori mengenai apa yang pernah diketahui atau dipahami dan memori berdasarkan pengalaman yang pernah dialami sendiri.

Fadilah & Joko (2017) meneliti “Pencitraan Soeharto dalam buku Andai Pak Harto Nyapres, Kupilih! (Kebosanan Orang-orang Pinggiran Menanti Kemakmuran)”. Penelitian ini mendeskripsikan bagaimana pencitraan Soeharto dalam buku Andai Pak Harto Nyapres, Kupilih! karya Maskur Arif Rahman”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa buku tersebut merupakan bentuk kritikan penulis terhadap pemerintahan yang ada. Namun, pencitraan yang dibentuk penulis dalam buku tersebut dianggap tidak netral karena hanya memandang keberhasilan yang pernah dilakukan oleh Soeharto tanpa mempertimbangkan kekurangannya. Dalam

(22)

hal ini, penulis memiliki kebebasan penuh dalam melakukan framing terhadap seorang tokoh atau suatu peristiwa.

Fadhilah (2019) meneliti “Kritik dan Realitas Sosial dalam Musik (Analisis Wacana Kritis pada Lirik Lagu Karya Iksan Skuter Lagu Petani)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa realitas sosial yang diangkat dalam lagu adalah permasalahan konflik agraria di Indonesia yang membuat petani semakin dimiskinkan secara sistem oleh korporasi besar. Penderitaan para petani disebabkan oleh pembangunan pabrik dan penambangan oleh investor besar. Pembangunan dan penambangan tersebut juga mendapatkan dukungan dari pemimpin negara dengan alasan kemajuan pembangunan infrastruktur. Iksan Skuter melalui Lagu Petani ingin mengajak masyarakat melawan sistem korporasi besar dengan melakukan gerakan- gerakan yang lebih modernisasi dan mampu membangkitkan kondisi petani.

Berdasarkan hal tersebut, dapat ditunjukkan bahwa lagu dapat menjadi media dalam mengajak gerakan-gerakan perubahan sosial dalam masyarakat.

Herlianto (2021) meneliti “Representasi Feminisme pada Lirik Lagu Dangdut Koplo Jawa: Analisis Wacana Kritis van Dijk”. Penelitian ini hanya berfokus pada lagu dangdut koplo Jawa modern tahun 2014-2017. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lagu-lagu dangdut koplo Jawa merepresentasikan kesetaraan perempuan terhadap laki-laki. Bentuk feminisme dalam lagu yang ditampilkan melalui penggunaan metafora dipengaruhi oleh konteks historis masyarakat Jawa yang menempatkan perempuan setara dengan laki-laki, seperti gerakan-gerakan perlawanan perempuan atas patriarki di Jawa. Perempuan dalam lagu-lagu tersebut digambarkan memiliki kesempatan untuk memilih masa depan secara independen.

(23)

Hal tersebut menunjukkan bahwa sebuah teks dipengaruhi oleh peristiwa tertentu yang mendasarinya.

Berdasarkan uraian di atas, perbedaan mendasar antara penelitian yang dilakukan penulis dengan beberapa penelitian sebelumnya terletak pada metode dan teknik pengumpulan data. Penelitian ini menggunakan metode cakap, yaitu dengan teknik wawancara terstruktur. Penulis menemukan masih banyak penelitian analisis wacana kritis model van Dijk yang tidak menggunakan teknik wawancara dalam menganalisis aspek kognisi sosial. Teknik wawancara merupakan cara paling efektif untuk mengetahui lebih jauh mengenai kognisi sosial yang mempengaruhi Yab Sarpote dalam membuat lagu-lagunya.

B. Landasan Teori

1. Analisis Wacana Kritis

Istilah wacana kerap muncul di berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan seni. Kushartanti, et al. (2005:25) menjelaskan wacana sebagai kesatuan makna (semantis) antarbagian di dalam suatu bangun bahasa. Banyak pakar linguistik yang mendefinisikan wacana sebagai sesuatu di luar atau lebih besar dari kalimat. Fasold (1990:65) mengartikan studi wacana sebagai studi penggunaan bahasa. Analisis wacana mempelajari bahasa sebagai aspek pusat dari penggambaran suatu subjek dan ideologi yang dimilikinya. Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga alat identifikasi dari pihak mana seseorang atau suatu kelompok berasal.

(24)

Informasi tentang struktur atau jenis teks, serta peran yang dimainkan oleh setiap elemen dalam struktur tersebut dapat diketahui melalui analisis wacana (Harris, 1952:30). Sementara itu, analisis wacana kritis berbeda dengan analisis wacana karena memahami wacana bukan hanya sebagai studi bahasa (Eriyanto, 2009:7). Bahasa tidak hanya dianalisis dari aspek kebahasaan, tetapi juga dihubungkan dengan konteks. Artinya, bahasa dapat digunakan untuk tujuan dan praktik tertentu. Maka dari itu, permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat, seperti ketidakadilan, diskriminasi, dan dominasi dapat diungkap melalui analisis wacana kritis (Haryatmoko, 2019:8).

Analisis wacana kritis bukan hanya sebuah teori, melainkan juga sebuah metode yang biasanya digunakan para peneliti dalam memahami hubungan bahasa dengan masyarakat. Salah satu hal yang membedakan analisis wacana kritis dengan metode analisis wacana lainnya adalah AWK tidak hanya berisikan deskripsi dan interpretasi terhadap konteks wacana, tetapi juga mendeskripsikan mengapa dan bagaimana sebuah wacana dapat terbentuk (Rogers, 2004:2). Sebagaimana yang dijelaskan oleh Wodak & Meyer (2001:2) bahwa analisis wacana kritis tidak hanya menyelidiki aspek linguistik, tetapi juga mempelajari fenomena sosial yang kompleks. Oleh karena itu, analisis wacana kritis perlu dilakukan dengan pendekatan multidisipliner dan multi-metodologi.

Peran bahasa dalam studi analisis wacana kritis adalah merepresentasikan pandangan atau pemikiran dari pembuat teks. Pandangan atau pemikiran tersebut tidak hanya bersifat pendapat atau kritikan, tetapi juga cara pembuat teks dalam meningkatka kesadaran pembacanya dan mengimplikasikan ajakan pergerakan.

(25)

Sebagaimana dijelaskan oleh Haryatmoko (2019:14) mengenai beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh analisis wacana kritis: (1) menganalisis praktik wacana yang menggambarkan masalah sosial; (2) meningkatkan kesadaran para pembaca agar peka terhadap ketidakadilan; (3) mengungkap anggapan terhadap permasalahan sosial; dan (4) memberikan solusi dalam menghadapi hambatan yang menghalangi perubahan sosial.

2. Analisis Wacana Kritis Model van Dijk

Analisis wacana kritis merupakan salah satu studi yang banyak dikembangkan oleh beberapa ahli. Salah satu pendekatan yang paling banyak dipakai adalah teori analisis wacana kritis model van Dijk yang menggabungkan teori linguistik kognitif dan teori sosial. Teun A. van Dijk (dalam Sobur, 2012:71) berpendapat bahwa wacana berfungsi sebagai suatu pernyataan, pertanyaan, tuduhan, atau ancaman.

Van Dijk (2001:374) menjelaskan bahwa analisis wacana kritis mempelajari penyalahgunaan kekuasaan sosial, dominasi, dan ketidaksetaraan. Tujuannya adalah mengungkap permasalahan sosial dan pada akhirnya berusaha melawan ketimpangan sosial tersebut. Semua pendekatan dalam analisis wacana kritis mempelajari hubungan antara wacana dan masyarakat. Hubungan tersebut dimediasi secara kognitif. Hal ini dikarenakan struktur wacana dan struktur sosial memiliki sifat yang berbeda. Keduanya hanya dapat dihubungkan melalui representasi mental dari pengguna bahasa (van Dijk, 2009:64).

Berbeda dengan pendapat para ahli lainnya, van Dijk (2009:63) menyatakan lebih memilih untuk menggunakan istilah studi wacana kritis sebab penggunaan

(26)

istilah analisis wacana kritis hanya menunjukkan sebuah metode analisis wacana biasa. Istilah tersebut tidak menunjukkan adanya perspektif atau sikap kritis dalam bidang studi wacana.

Teori AWK model van Dijk juga sering disebut sebagai kognisi sosial.

Eriyanto (2009:221) menjelaskan bahwa penelitian wacana menurut pandangan van Dijk tidak cukup jika menganalisis teks semata karena teks merupakan hasil dari suatu praktik produksi. Oleh karena itu, diperlukan adanya penelitian tentang bagaimana suatu teks diproduksi sehingga kita bisa mengetahui alasan teks itu dibentuk. Pendekatan seperti itu merupakan bentuk khas yang menjadi kelebihan dari AWK van Dijk. Wacana dalam pandangan van Dijk dibagi menjadi tiga dimensi: teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.

Eriyanto (2009:225) mendeskripsikan tiga dimensi analisis wacana kritis van Dijk sebagai berikut.

a. Dimensi Teks

Fokus dari analisis dimensi teks terletak pada struktur teks yang memanfaatkan ilmu linguistik untuk menjelaskan atau memaknai suatu teks tertentu. Analisis pada dimensi teks menunjukkan bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang digunakan untuk menegaskan suatu tema tertentu (Eriyanto, 2009:224). Dimensi teks dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1) Struktur Makro

Struktur makro mengkaji makna umum dari keseluruhan teks. Hal ini dapat diketahui dengan mengamati elemen tematik yang merupakan gagasan atau topik utama dalam teks. Topik menunjukkan apa yang ingin disampaikan oleh pembuat

(27)

teks serta bagaimana pikiran atau pandangan dari pembuat teks terhadap suatu peristiwa.

Topik atau tema dalam sebuah teks dapat diketahui dengan mengamati pilihan kata atau kalimat yang digunakan. Eriyanto (2009:230) menjelaskan bahwa wacana pada umumnya tidak hanya mencerminkan suatu pandangan atau topik tertentu, tetapi suatu pandangan umum yang koheren. Hal ini yang disebut oleh van Dijk sebagai koherensi global. Topik utama dalam sebuah teks akan didukung oleh subtopik-subtopik lain yang saling mendukung satu sama lain sehingga membentuk teks yang koheren dan utuh.

2) Superstruktur

Superstruktur mengkaji kerangka dari sebuah teks, lebih tepatnya mengenai bagaimana teks tersebut disusun mulai dari bagian awal, isi, penutup, dan kesimpulan. Teks atau wacana pada umumnya memiliki skema atau alur.

Sebagaimana yang dicontohkan Eriyanto, 2009:232) bahwa wacana pengetahuan dalam jurnal ilmiah memiliki skema, yaitu abstraksi, latar belakang, tujuan, hipotesis, isi, dan kesimpulan.

Elemen skematik merupakan salah satu unsur yang perlu diamati dalam superstruktur. Skematik menunjukkan bagian mana dalam teks yang ditonjolkan dan kurang ditonjolkan. Van Dijk memandang elemen skematik sebagai satu kesatuan yang koheren dan padu. Hal ini berarti setiap bagian dalam teks berhubungan dengan bagian-bagian lainnya (Eriyanto, 2009:226).

(28)

Bagian-bagian dalam teks yang disusun dalam skema tertentu mampu memberikan efek kepada para pembaca mengenai bagian mana yang dipentingkan atau ditekankan dan bagian mana yang tidak terlalu dipentingkan. Cara penyusunan seperti ini merupakan merupakan salah satu strategi pembuat teks dalam menyampaikan pesan atau informasi.

3) Struktur Mikro

Struktur mikro mengkaji makna yang terdapat dalam sebuah teks dengan mengamati bagian-bagian seperti penggunaan pilihan kata, kalimat, dan gaya bahasa. Struktur mikro dibagi ke dalam beberapa elemen pembahasan, yaitu elemen semantik, sintaksis, stilistik, dan retoris.

a) Elemen Semantik

Elemen semantik menunjukkan bagaimana cara pembuat teks menekankan makna dalam sebuah teks. Elemen ini terdiri atas unsur-unsur pendukung, yaitu latar dan maksud.

(1) Latar

Setiap teks pada umumnya memiliki latar belakang peristiwa yang mendasari terbentuknya sebuah teks. Latar peristiwa dalam sebuah teks menentukan ke arah mana pandangan pembaca akan dibawa. Hal ini juga menjadi salah satu faktor yang membantu para pembaca dalam memahami maksud yang ingin disampaikan.

(2) Maksud

Persoalan maksud dapat membantu para pembaca melihat informasi yang terkandung dalam teks. Informasi yang menguntungkan pembuat teks ditampilkan

(29)

secara eksplisit, sedangkan informasi yang sekiranya merugikan ditampilkan secara implisit.

b) Elemen Sintaksis

Elemen sintaksis menunjukkan bagaimana bentuk atau susunan kalimat yang digunakan dalam sebuah teks. Elemen ini terdiri atas unsur-unsur pendukung, yaitu bentuk kalimat dan kata ganti.

(1) Bentuk Kalimat

Bentuk atau susunan kalimat dapat menentukan makna yang terkandung dalam teks, seperti yang terjadi dalam kalimat aktif dan pasif. Kalimat aktif bertujuan agar seseorang menjadi subjek dari pernyataannya, sedangkan kalimat pasif menempatkan seseorang menjadi objeknya. Dengan begitu, dapat dilihat bagian mana dalam kalimat yang ingin ditonjolkan atau disembunyikan.

(2) Kata Ganti

Kata ganti dapat digunakan sebagai alat yang menunjukkan posisi seseorang dalam wacana. Contohnya, penggunaan kata ganti saya dan kami dapat menunjukkan bahwa sikap tersebut lahir dari pembuat teks. Sementara itu, penggunaan kata ganti kita menunjukkan sikap yang mewakili kelompok tertentu.

c) Elemen Stilistik

Elemen stilistik menunjukkan bagaimana pemilihan kata dalam sebuah teks.

Leksikon, unsur yang perlu diamati dalam elemen stilistik, menunjuk pada bagaimana pembuat teks melakukan pemilihan kata dalam menyusun teksnya.

Sebuah kata pada umumnya tentu memiliki alternatif lain yang maknanya sama.

(30)

Namun, pembuat teks akan memilih salah satu dari sekian banyak pilihan yang dapat menunjukkan sikap atau ideologi tertentu.

d) Elemen Retoris

Elemen retoris menunjukkan bagaimana cara pembuat teks menekankan suatu makna dengan memperhatikan penggunaan metafora dalam teks. Pembuat teks sering kali menggunakan kiasan, ungkapan, metafora dalam menuliskan apa yang ingin disampaikan dalam teksnya. Hal tersebut merupakan salah satu strategi pembuat teks dalam menyampaikan landasan berpikir atau pendapat tertentu kepada para pembacanya.

b. Dimensi Kognisi Sosial

Salah satu kelebihan dari analisis wacana kritis model van Dijk terletak pada dimensi kognisi sosial, yaitu mencari tahu bagaimana sebuah teks dapat diproduksi.

Analisis wacana kritis dalam pandangan van Dijk tidak hanya berfokus pada struktur teks, tetapi perlu adanya pendekatan terhadap kesadaran mental atau kognisi sosial dari pembuat teks. Pendekatan terhadap kognisi sosial tersebut membantu dalam mengetahui lebih jauh mengenai makna tersembunyi yang terdapat dalam teks sebab teks pada dasarnya tidak jatuh dari langit, tetapi lahir dari kesadaran, pengetahuan, prasangka atas suatu peristiwa (Eriyanto, 2009:260).

Cara utama untuk memahami produksi berita dalam pandangan van Dijk adalah meneliti proses pembuatan teks, termasuk proses pembuat teks dalam menyimpulkan dan memaknai suatu peristiwa dan menuangkannya ke dalam

(31)

bentuk teks. Eriyanto (2009:261) menjelaskan bahwa peristiwa tersebut dipahami oleh setiap individu berdasarkan pada skema yang juga disebut sebagai model.

Istilah skema pertama kali diperkenalkan oleh Jean Piaget pada tahun 1923.

Skema adalah mental shortcuts yang membantu seseorang dalam mengidentifikasi orang, tempat, objek, atau peristiwa. Hal ini juga yang memungkinkan seseorang untuk belajar dan berpikir lebih cepat. Skema ditentukan oleh pengalaman dan sosialisasi, serta dapat membantu untuk menjelaskan realitas yang terjadi di balik sebuah teks. Martha dan Iain Walker (dalam Eriyanto, 2009) menggambarkan sekma milik van Dijk dalam tabel berikut ini.

Skema Person

Skema ini menggambarkan bagaimana pemikiran dan pandangan seseorang terhadap orang lain.

Skema Diri

Skema ini menggambarkan bagaimana dirinya dipandang dan dideskripsikan oleh dirinya sendiri.

Skema Peran

Skema ini menggambarkan bagaimana pandangan atau pemikiran mengenai peranan seseorang dalam masyarakat.

(32)

Skema Peristiwa

Skema ini menggambarkan bagaimana seseorang memahami atau memaknai pola sikap dalam situasi tertentu.

Skema atau model berhubungan dengan representasi sosial karena dapat mengungkap bagaimana pandangan yang berkembang dalam masyarakat atas peristiwa tertentu. Selain skema, memori juga merupakan elemen penting dalam dimensi kognisi sosial. Memori sebagai tempat penyimpanan segala pengetahuan terhadap suatu hal yang membantu setiap individu dalam mengerti suatu pesan dengan cara memandang realitas.

Memori dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu memori jangka pendek (short-term memory) dan memori jangka panjang (long-term memory). Kedua jenis tersebut didasari oleh bagaimana pemrosesan informasi yang diterima seseorang pertama kali disimpan dalam memori jangka pendek. Kemudian, memori jangka pendek berhubungan dengan memori jangka panjang yang menyimpan seluruh pengetahuan seseorang (Bhinnety, 2015).

Memori jangka panjang merupakan memori yang paling relevan dengan kognisi sosial seseorang (Eriyanto, 2009:265). Memori ini dapat dibedakan lagi menjadi dua jenis, yaitu memori episodik (episodic memory) dan memori semantik (semantic memory). Tulving (1993:67) menjelaskan bahwa memori episodik memungkinkan seseorang untuk mengingat peristiwa yang dialami secara pribadi.

Dengan demikian, memori episodik pada setiap orang tentunya berbeda karena

(33)

menyangkut pengalaman diri dalam ruang dan waktu yang bersifat subjektif.

Sementara itu, memori semantik berfungsi untuk menyimpan pengetahuan tentang dunia dalam artian yang seluas-luasnya.

c. Dimensi Konteks Sosial

Keberadaan wacana yang berkembang dalam masyarakat didasari oleh adanya peristiwa tertentu. Fragmen wacana dapat dianalisis dengan berbagai cara tergantung pada tujuan dan paradigma teoretis yang digunakan. Wacana dianalisis dengan memperhatikan tata dan gaya bahasa, pragmatis, retoris, atau struktur lainnya yang dapat digunakaan dalam berbagai dimensi pada wacana. Namun, tidak banyak yang mementingkan studi mengenai kondisi yang ada dalam wacana tersebut, seperti kondisi sosial, politik, atau budaya. Hal inilah yang disebut sebagai konteks (Van Dijk, 2009:158). Sebagaimana yang dijelaskan oleh van Dijk (dalam Herlianto, 2021:6) bahwa konteks berhubungan dengan situasi atau lingkungan atas peristiwa tertentu yang melingkupi atau mendahului sebuah teks.

Van Dijk (2009:163) juga berpendapat bahwa konteks tidak hanya menjelaskan apa yang dikatakan oleh seseorang, tetapi juga bagaimana mereka mengatakannya. Dalam hal ini, situasi tertentu akan menentukan bagaimana dan mengapa seseorang berbicara. Konteks dalam wacana melatarbelakangi perlunya dilakukan analisis mengenai bagaimana suatu persoalan dalam wacana diproduksi atau dikonstruksi dalam masyarakat (Eriyanto, 2009:271). Dengan demikian, dapat diketahui bagaimana sebuah peristiwa digambarkan dan dipahami oleh masyarakat.

(34)

3. Kritik Sosial

Manusia sebagai makhluk sosial tentunya menemukan berbagai permasalahan sosial yang terjadi di sekitarnya. Hal ini yang mendasari manusia dalam menyampaikan kritik sosial. Kata kritik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti kecaman atau tanggapan yang kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya.

Sementara, kata sosial dalam KBBI memiliki arti berkenaan dengan masyarakat.

Hal ini didukung oleh pendapat Soekanto (2006:64) bahwa sosial berhubungan dengan hal-hal mengenai perilaku satu individu dengan individu lainnya.

Waluyo (1987:119) mendefinisikan kritik sosial sebagai sebuah tema dalam karya sastra mengenai ketidakadilan yang bertujuan mengajak pembaca untuk menegakkan dan memperjuangkan keadilan sosial. Hal senada disampaikan oleh Abar (1997:47) bahwa kritik sosial merupakan bentuk komunikasi untuk mengontrol sistem sosial atau proses bermasyarakat.

Bertolak dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kritik sosial hadir karena adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap hal-hal yang dianggap salah di kehidupan sekitarnya. Dengan demikian, kritik sosial memiliki peran penting dalam menanggapi berbagai penyimpangan dari kehidupan sosial.

4. Lirik Lagu

Lagu diartikan sebagai aransemen musik yang dapat ditambahkan lirik (teks) yang mengungkapkan perasaan dan pikiran penciptanya dengan cara-cara tertentu yang berlaku umum (Sylado, 1983:32). Berdasarkan definisi tersebut, dapat dipahami

(35)

secara jelas mengenai fungsi lirik sebagai media untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan seseorang. Gagasan dan perasaan tersebut biasanya mengandung pesan yang ingin disampaikan oleh pencipta lagu kepada para pendengarnya.

Lirik memiliki persamaan dengan puisi. Hal ini dibuktikan oleh definisi puisi sebagaimana yang diungkapkan Somad (2010:13) bahwa puisi merupakan media ekspresi penyair dalam menuangkan gagasan atau ide. Puisi juga menjadi media untuk menyampaikan kegelisahan hati penyair terhadap suatu peristiwa.

Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa lirik termasuk ke dalam karya sastra, lebih tepatnya puisi.

Pernyataan di atas didukung pula oleh Siswantoro, 2010:39) mengungkapkan bahwa salah satu tipe puisi adalah puisi tipe lirik dengan ciri- cirinya, yaitu ditulis untuk mewujudkan suara penyair yang mengungkapkan sikap, perasaan, serta aspirasi pribadi terhadap suatu peristiwa, musibah, objek, dan pengalaman lain yang terjadi dalam kehidupannya.

Sebagaimana puisi yang memberikan aspek estetika, lirik lagu juga memberikan aspek estetika melalui diksi yang digunakan. Penulis lagu dalam menyusun liriknya secara kreatif akan memilih diksi yang dapat menambah nilai estetis atau memperkuat pesan. Hermintoyo (2018) menyatakan bahwa lirik lagu dibuat dengan pilihan kata dan susunan yang baik, serta adanya koherensi internal sehingga dapat dikatakan bahwa fungsi bahasa yang menonjol bersifat puitik.

(36)

26

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ketiga berkaitan dengan analisis data yang didasari oleh teori analisis wacana kritis Teun A. van Dijk. Secara lebih spesifik, analisis wacana kritis van Dijk mencakup tiga dimensi, yaitu dimensi teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Teori analisis wacana kritis dalam penelitian ini akan digunakan untuk membongkar kritik sosial yang terdapat dalam tiga lagu karya Yab Sarpote, yaitu “Jangan Diam, Papua”, “Benih”, dan “Sudah Tak Ada Lagi Pulang”.

A. Dimensi Teks

Van Dijk membagi teks ke dalam tiga struktur, yaitu struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Struktur makro dapat menunjukkan makna umum yang diperoleh dari topik atau tema dalam sebuah teks. Superstruktur menunjukkan bagian-bagian dalam teks tersusun secara utuh. Kemudian, struktur mikro menunjukkan makna yang diperoleh dengan mengamati bagian kecil dari sebuah teks, seperti pilihan kata, kalimat, dan gaya bahasa.

1. Dimensi Teks dalam Lagu “Jangan Diam, Papua”

Analisis lirik lagu “Jangan Diam, Papua” dalam dimensi teks dibagi menjadi tiga struktur: (1) struktur makro; (2) superstruktur; dan (3) struktur mikro.

(37)

a. Struktur Makro

Tema dalam sebuah lagu memuat pesan yang ingin disampaikan penulis kepada para pendengarnya. Tema utama yang terdapat dalam lagu “Jangan Diam, Papua”

adalah bentuk penindasan yang terjadi di Tanah Papua. Tema tersebut ditunjukkan dalam satuan lingual berbentuk kalimat.

(1) Pace, hari ini penindasan rantai kaki tangan kami (2) Mace, hari ini kerakusan perkosa bumi kami

Data (1) dan (2) merupakan satuan lingual berbentuk kalimat yang berfungsi untuk menunjukkan bentuk penindasan. Kata penindasan dalam data (1) makna denotatifnya sama, yaitu penindasan atau tindak kekerasan. Kata denotatif digunakan penulis untuk menghindari interpretasi tambahan pembaca (Keraf, 1996:28). Makna denotatif tersebut bertujuan agar para pendengar lagu dapat mengerti dengan jelas mengenai gagasan yang disampaikan dalam lirik tersebut.

Peristiwa konflik berkepanjangan memang telah terjadi di Tanah Papua sejak lama. Dikutip dari Down To Earth (2011), konflik tersebut di antaranya adalah pelanggaran HAM, perusakan lingkungan, kemiskinan, dan eksploitasi sumber daya alam di Papua. Wilayah Papua memang memiliki kekayaan alam yang melimpah. Berdasarkan data Bappeda Provinsi Papua tahun 2009, Papua memiliki 2,5 miliar ton kandungan cadangan bahan tambang Emas dan Tembaga, 540 juta meter kubik potensi lestari kayu komersial, dan 9 juta hektare hutan konversi perkebunan skala besar (Bhakti & Pigay, 2016:2).

Ada pula subtema yang dapat ditemukan dalam lirik lagu tersebut. Subtema ditunjukkan dalam satuan-satuan lingual, yaitu sebagai berikut.

(38)

1) Bentuk Kata

Penggunaan satuan lingual berupa kata ditemukan dalam lirik lagu “Jangan Diam, Papua”. Satuan lingual tersebut terdapat dalam kata berikut.

(3) Oh Papua, sungaiku diubah darah, tanahku dibakar api Air mata tak lagi menggugah nurani

Oooh.. Bangkitlah

(4) Oh Papua, darahku tak harus merah, tulangku tak mesti putih Jangan tanya arti kemerdekaan diri

Oooh.. Lawanlah

Data (3) dan (4) merupakan satuan lingual berbentuk kata yang termasuk kata perintah. Kata perintah ini bertujuan membangkitkan semangat masyarakat Papua dalam melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan yang terjadi. Selain itu, penggunaan partikel -lah dalam data (3) dan (4) dimanfaatkan untuk memberi efek penegasan. Kehadiran partikel -lah tersebut menunjukkan bahwa kata bangkitlah dan lawanlah merupakan bagian yang dipentingkan dalam lagu.

2) Bentuk Frasa

Penggunaan satuan lingual berbentuk frasa ditemukan dalam lirik lagu “Jangan Diam, Papua”. Satuan lingual tersebut terdapat dalam data berikut.

(5) Kaka, esok hari bintang kejora sambut mentari pagi ini

Data (5) merupakan satuan lingual berbentuk frasa yang menunjukkan subtema dalam lagu. Secara harfiah, bintang kejora memiliki arti ’bintang yang biasa terlihat besar dan terang di sebelah timur pada dini hari’ (KBBI, 2021). Frasa bintang kejora termasuk dalam bentuk kiasan yang memiliki makna simbol

(39)

pengharapan masyarakat Papua. Penggunaan frasa dalam lagu tersebut menunjukkan adanya keinginan dan harapan masyarakat Papua untuk terbebas dari penindasan.

3) Bentuk Kalimat

Penggunaan satuan lingual berbentuk kalimat ditemukan dalam lirik lagu “Jangan Diam, Papua”. Satuan lingual tersebut terdapat dalam data berikut.

(6) Jangan diam, dia hancurkan Papuaku

Data (6) merupakan satuan lingual berbentuk kalimat yang menunjukkan subtema dalam lagu. Kalimat dalam data (6) termasuk ke dalam jenis kalimat larangan. Chaer (2011:356) mendefinisikan kalimat larangan sebagai kalimat yang mengharapkan adanya reaksi berupa tindakan atau perbuatan dari pendengar atau pembaca. Kalimat ini mendukung subtema yang ditunjukkan data (3) dan (4), yaitu untuk membangkitkan semangat masyarakat Papua.

Kata jangan dalam data (6) berkolerasi dengan kata hancurkan karena menunjukkan hubungan sebab akibat. Kata hancurkan berasal dari kata dasar hancur yang secara harfiah dapat berarti ’merusak’ atau ’suasana hati yang sangat sedih’ (KBBI, 2021). Dengan demikian, kehadiran kata hancurkan dalam kalimat jangan diam, dia hancurkan Papuaku dapat merefleksikan kekecewaan masyarakat Papua atas kerusakan alam dan kesedihan yang selama ini dialami. Penggunaan kalimat perintah dalam lagu ini mengharapkan adanya reaksi dari masyarakat Papua agar tidak menyerah dan lebih berani bersuara.

(40)

b. Superstruktur

Karya sastra terbentuk dari sebuah struktur. Struktur tersebut terdiri atas beberapa unsur yang memiliki hubungan yang saling berkaitan dan menentukan (Pradopo, 2009:118). Hal ini yang mendasari pentingnya sebuah puisi untuk dianalisis secara struktural. Sehubungan dengan itu, teori analisis wacana kritis juga memandang setiap bagian dalam teks berhubungan dengan bagian-bagian lainnya.

Bertolak dari uraian tersebut, lirik lagu perlu dianalisis secara struktural agar dapat memahami makna keseluruhan yang ingin disampaikan. Berikut merupakan hasil analisis struktural lirik lagu “Jangan Diam, Papua”.

Jangan Diam, Papua

Pace, hari ini penindasan rantai kaki tangan kami Mace, hari ini kerakusan perkosa bumi kami Rendah sudah kini harga diri

Sabar tak berarti lagi

Oh Papua, sungaiku diubah darah, tanahku dibakar api Air mata tak lagi menggugah nurani

Oooh… Bangkit lah

Oh Papua, darahku tak harus merah, tulangku tak mesti putih Jangan tanya arti kemerdekaan diri

Oooh… Lawanlah

Jangan diam, dia hancurkan, Papuaku

Kaka, esok hari kuingin senyum tawa datang lagi Kaka, esok hari bintang kejora sambut mentari pagi ini Rendah sudah kini harga diri

Diam sama saja mati

Oh Papua, sungaiku diubah darah, tanahku dibakar api Air mata tak lagi menggugah nurani

Oooh… Bangkitlah

(41)

Oh Papua, darahku tak harus merah, tulangku tak mesti putih Jangan tanya arti kemerdekaan diri

Oooh… Lawanlah

Jangan diam, dia hancurkan

Jangan diam, dia hancurkan Papuaku

Oh Papua, sungaiku diubah darah, tanahku dibakar api Air mata tak lagi menggugah nurani

Oooh… Bangkitlah

Oh Papua, darahku tak harus merah, tulangku tak mesti putih Jangan tanya arti kemerdekaan diri

Oooh… Lawanlah

Jangan diam, dia hancurkan Jangan diam, dia hancurkan Jangan diam, dia hancurkan

Jangan diam, dia hancurkan Papuaku Papua, papua, papua

Papuaku

Lirik lagu di atas berisi kritikan atas penindasan yang selama ini terjadi pada masyarakat Papua. Judul “Jangan Diam, Papua” yang dipilih oleh Yab Sarpote mampu mewakili pesan utama yang disampaikan dalam lagu tersebut. Pemilihan kata diam dalam poros paradigmatik sebagai kata yang hadir dapat dipertukarkan dengan kata lain yang tidak hadir. Jika dilihat dari poros paradigmatik, kata diam memiliki padanan kata, yaitu kata bungkam, bisu, menyerah, atau berhenti. Kata- kata tersebut dapat disejajarkan dan menjadi pilihan bagi pengarang lagu. Namun, kata diam merupakan kata yang dipilih dari berbagai pilihan tersebut.

Pilihan kata diam dalam judul dikatakan tepat karena penggunaan kata tersebut mengandung makna ’tidak bersuara, tidak bergerak, dan tidak berbuat (berusaha) apa-apa’ (KBBI, 2021). Ketiga hal ini dapat mewakili pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat Papua. Pada bait pertama, ditemukan kalimat hari ini penindasan rantai kaki tangan kami yang menggambarkan ketidakbebasan yang

(42)

dirasakan oleh masyarakat Papua. Sumber daya alam Papua yang banyak dikeruk juga secara jelas digambarkan dalam bait pertama: hari ini kerakusan perkosa bumi kami. Beberapa kata dalam poros sintagmatik dapat diubah urutannya tanpa mengubah makna kalimat, seperti yang terjadi pada bait pertama diubah menjadi penindasan rantai kaki tangan kami (sampai) hari ini dan kerakusan perkosa bumi kami (sampai) hari ini.

Lagu ini dibuka dengan lirik yang menggambarkan rintihan masyarakat Papua terhadap segala bentuk penderitaan yang secara lebih lanjut juga digambarkan pada bait ke-2 dan 3. Tujuannya adalah mengarahkan pikiran dan pandangan pendengar lagu mengenai latar belakang lagu tersebut. Dengan begitu, para pendengar lagu akan dapat lebih memahami keseluruhan isi lagu.

Penggunaan unsur citraan juga ditemukan dalam lirik sehingga para pendengar lagu mendapatkan gambaran konkret tentang apa yang ingin disampaikan melalui lagu ini. Citraan penglihatan ditemukan dalam bait ke-1 dan 3 untuk menggambarkan penderitaan yang terjadi pada masyarakat Papua, yaitu penindasan rantai kaki tangan. Citraan tersebut membuat pendengar lagu seolah- olah melihat bagaimana keadaan masyarakat Papua yang terbelenggu. Kutipan sungaiku diubah darah dan tanahku dibakar api dalam bait ke-3 seolah-olah memberikan gambaran adanya kerusakan alam akibat eksploitasi yang terjadi di Papua.

(43)

Bait 13

Jangan diam, dia hancurkan Jangan diam, dia hancurkan Jangan diam, dia hancurkan

Jangan diam, dia hancurkan Papuaku Papua, papua, papua

Papuaku

Pada bait terakhir, para pendengar lagu akan menemukan banyak pengulangan kata atau repetisi. Repetisi merupakan gaya bahasa yang mengulang bunyi, suku kata, kata, frasa, atau kalimat yang ingin diberikan tekanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Astuti (2008:13) bahwa repetisi merupakan pengulangan satuan lingual yang dianggap penting. Bait tersebut menggunakan gaya bahasa repetisi jenis epizeukis. Epizeukis merupakan jenis repetisi dengan mengulang kata-kata yang ingin ditekankan atau dipentingkan selama beberapa kali berturut- turut (Tarigan, 2013:182). Bait ke-13 dalam lagu tersebut mengulang lirik jangan diam, dia hancurkan selama 4 kali.

Pesan yang terkandung dalam lagu ini adalah ajakan bagi masyarakat Papua agar lebih berani menyuarakan berbagai permasalahan yang terjadi pada mereka.

Permasalahan yang terjadi di antaranya adalah kekerasan politik dan pelanggaran HAM, eksploitasi SDA, kerusakan lingkungan, dan ketidakadilan sosial-ekonomi (Mambraku, 2015:78). Masyarakat Papua diharapkan tidak menyerah dalam memperjuangkan keadilan. Selain itu, makna yang ingin ditegaskan atau ditonjolkan secara sengaja diletakkan pada bait terakhir untuk menunjukkan simpulan lagu ini.

(44)

c. Struktur Mikro

Analisis struktur mikro dilakukan dengan melihat struktur teks, seperti kata, kalimat, dan gaya bahasa. Kemudian, ada beberapa elemen yang perlu diamati dalam struktur mikro, yaitu semantik, sintaksis, stilistik, dan retoris. Elemen- elemen tersebut menjadi dasar untuk menganalisis lirik lagu “Jangan Diam, Papua”

yang diuraikan sebagai berikut.

1) Elemen Semantik

Semantik merupakan cabang ilmu linguistik yang mempelajari hubungan hal-hal yang menjadi tanda linguistik dan hal-hal yang ditandainya (Chaer, 2009:2).

Dengan kata lain, semantik merupakan ilmu yang mempelajari makna. Analisis elemen semantik dapat menunjukkan makna yang terdapat dalam lirik lagu “Jangan Diam, Papua” yang diperoleh dengan mengamati makna primer dan makna sekunder dalam teks. Elemen semantik berkaitan dengan dua unsur, yaitu (a) latar dan (b) maksud.

a) Latar

Salah satu hal yang mendasari pembuatan teks adalah latar belakang peristiwa.

Latar dapat mengarahkan pandangan khalayak hendak dibawa (Eriyanto, 2009:235). Dengan begitu, pesan yang ingin disampaikan oleh penulis dapat tersampaikan sepenuhnya kepada para pendengar lagu. Latar peristiwa dalam lagu

“Jangan Diam, Papua” yang diletakkan di bagian awal bertujuan mengarahkan pemikiran atau pandangan para pendengar lagu terhadap realitas yang terjadinya di Tanah Papua.

(45)

Latar tersebut dapat diketahui dengan mengamati makna primer dalam lagu, khusunya pada makna denotatif yang terdapat dalam kata penindasan pada bait pertama. Kata penindasan dalam lagu “Jangan Diam, Papua” memiliki makna denotatif, yaitu ’perbuatan yang dilakukan dengan sewenang-wenangnya atau dengan kekerasan’ (KBBI, 2021). Menurut studi yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam buku Papua Road Map (2009), terdapat beberapa akar permasalahan di Papua: (1) marginalisasi, diskriminasi, serta kurangnya pengakuan atas kontribusi Papua bagi Indonesia; (2) kurangnya pembangunan infrastruktur; (3) proses integrasi politik, ekonomi, sosial budaya yang belum selesai; (4) kekerasan politik yang belum dituntaskan; dan (5) pelanggaran HAM yang tak terselesaikan, seperti kasus Wasior, Wamena, dan Paniai.

Selain itu, makna sekunder yang terdapat dalam lagu “Jangan Diam, Papua”

juga berperan dalam menunjukkan latar peristiwa mengenai eksploitasi sumber daya alam di Papua secara berlebihan. Makna sekunder yang ditemukan ialah makna gramatikal dan makna figuratif. Makna gramatikal adalah makna yang muncul karena adanya proses gramatikal, seperti proses afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Makna gramatikal dalam lagu ini terdapat pada kutipan lirik rantai kaki tangan yang hadir akibat adanya proses komposisi. Kata rantai memiliki arti

’sebuah tali dari cincin yang biasanya terbuat dari logam, plastik, dan sebagainya’

(KBBI, 2021). Ketika kata rantai digabungkan dengan frasa kaki tangan, maknanya berubah menjadi keadaan seseorang yang merasa terbelenggu. Dengan demikian,

(46)

kutipan lirik rantai kaki tangan dapat dipahami sebagai gambaran keadaan masyarakat Papua yang merasa terbelenggu.

Makna sekunder lain yang ditemukan dalam lagu “Jangan Diam, Papua”

ditunjukkan pada kehadiran kata perkosa. Pada umumnya, kata perkosa dimaknai sebagai ’perbuatan memaksa dengan kekerasan yang menimpa seseorang’ (KBBI, 2021). Hal ini berbeda dengan makna yang ingin ditampilkan dalam lagu. Kata perkosa dalam lagu tersebut dimaksudkan sebagai tindakan eksploitasi yang terjadi pada alam Papua. Dengan demikian, kata perkosa di sini termasuk dalam makna figuratif karena memiliki bentuk kebahasaan yang menyimpang dari referen biasanya dan juga bertujuan memberi nilai estetis.

b) Maksud

Elemen maksud dapat menunjukkan informasi yang diuraikan secara eksplisit maupun implisit dalam sebuah teks. Berdasarkan tema dan latar yang telah diuraikan sebelumnya, maksud lagu “Jangan Diam, Papua” dapat dipahami secara jelas. Maksud yang ditampilkan dalam lagu ini ialah menyampaikan keinginan penulis lagu agar masyarakat Papua terbebas dari segala bentuk penindasan. Dilihat dari keseluruhan liriknya, lagu ini secara eksplisit memberi semangat kepada masyarakat Papua untuk bangkit melawan penindasan yang terjadi.

Persoalan maksud ditampilkan pada bait ke-3, 4, dan 5 dengan kata kuncinya: bangkitlah, lawanlah, dan jangan diam. Partikel -lah dapat menandai adanya predikat kalimat suruh bentuk inversi (Setyadi, 2018:114). Hal ini sesuai dengan penggunaan partikel -lah dalam kata bangkitlah dan lawanlah. Dalam

(47)

konteks ini, penggunaan partikel -lah juga berfungsi untuk menegaskan bagian yang dipentingkan dalam lagu.

Di samping itu, lagu “Jangan Diam, Papua” juga memiliki maksud lain yang disampaikan secara implisit. Berdasarkan paparan mengenai penderitaan yang dirasakan oleh masyarakat Papua, kritik dalam lagu ini berkaitan dengan keterbatasan kebebasan yang dirasakan oleh masyarakat Papua. Hal ini juga membuktikan bahwa kritikan dapat disampaikan melalui media seni. Kritikan yang disampaikan melalui seni cenderung efektif. Meskipun penyampaiannya sering kali tidak menggunakan bahasa yang lugas, pesan yang disampaikan tetaplah utuh.

2) Elemen Sintaksis

Sintaksis merupakan cabang ilmu linguistik yang berfungsi untuk membagi kalimat dalam sebuah struktur, yaitu subjek (S), predikat (P), objek (O), komplemen (Kom), dan keterangan (Ket) (Chaer, 2015:20). Ada dua hal yang perlu diamati dalam elemen sintaksis, yakni (a) bentuk kalimat dan (b) kata ganti.

a) Bentuk Kalimat

Analisis bentuk kalimat tidak hanya fokus pada kebenaran tata bahasa, tetapi juga dapat menentukan makna yang ingin disampaikan pembuat teks melalui susunan kalimat yang ditulisnya. Analisis ini merupakan bagian dari segi sintaksis yang berhubungan dengan prinsip kausalitas, yakni prinsip sebab akibat. Contohnya penulisan kalimat aktif dan kalimat pasif. Dalam kalimat berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek dalam situasi tertentu. Sementara itu, seseorang akan menjadi objek jika ditulis dalam kalimat berstruktur pasif. Penggunaan kalimat

(48)

pasif ditemukan dalam lagu “Jangan Diam, Papua” yang terdapat dalam potongan lirik berikut.

(7) Sungaiku diubah darah

S P KET.

(8) Tanahku dibakar api

S P KET.

Berdasarkan strukturnya, kalimat (7) dan (8) di atas merupakan jenis kalimat pasif. Fungsi subjek dalam kalimat tersebut terletak pada kata sungaiku dan tanahku. Sementara, kata darah dan api menempati fungsi keterangan sebab.

Dilihat dari penempatan katanya, kata sungaiku dan tanahku diletakkan pada bagian awal kalimat. Hal ini dapat memberi kesan tentang apa yang ingin ditonjolkan atau difokuskan dalam lagu tersebut, yaitu dampak yang terjadi pada alam Papua.

b) Kata Ganti

Kata ganti mengacu pada kata benda lain. Penggunaan kata ganti dapat menunjukkan posisi seseorang dalam sebuah wacana. Penggunaan kata ganti juga ditemukan dalam lirik lagu “Jangan Diam, Papua”, seperti penggunaan kata kami, dia, dan -ku.

(9) Pace, hari ini penindasan rantai kaki tangan kami (10) Mace, hari ini kerakusan perkosa bumi kami

Kata ganti kami termasuk dalam jenis kata ganti persona jamak. Penggunaan kata ganti dalam data (9) dan (10) menunjukkan bahwa lagu tersebut ingin mewakili masyarakat Papua untuk mengungkapkan penderitaan yang selama ini mereka alami. Penggunaan kata ganti kami secara tidak langsung juga dapat menunjukkan

(49)

bentuk solidaritas atau aliansi dari masyarakat Papua yang ingin ditunjukkan kepada para pendengar lagu.

(11) Jangan diam, dia hancurkan Papuaku

Kata ganti dia dalam data (11) termasuk ke dalam jenis kata ganti persona tunggal ketiga. Kata ganti dia ditujukan untuk pihak-pihak yang dikritik dalam lagu ini, yaitu pemerintah dan aparat keamanan.

(12) Sungaiku diubah darah, tanahku dibakar api (13) Darahku tak harus merah, tulangku tak mesti putih (14) Jangan diam, dia hancurkan Papuaku

Kata ganti -ku dalam data (12), (13), dan (14) merupakan jenis kata ganti kepemilikan. Kata ganti ini digunakan untuk menunjukkan bentuk kepemilikan masyarakat Papua. Penggunaan kata ganti -ku dapat memperkuat pesan yang ingin disampaikan dalam lagu tersebut, yaitu membangun rasa solidaritas antarmasyarakat Papua.

3) Elemen Stilistik

Stilistika merupakan kajian sastra yang berkaitan dengan penggunaan bahasa dan bertujuan pada aspek estetikanya (Ratna, 2009:152). Hasil analisis elemen stilistik akan mengungkapkan sikap dan ideologi tertentu yang ingin disampaikan oleh pembuat teks. Hal ini dapat diketahui dengan memperhatikan pemilihan kata yang digunakannya.

(50)

a) Leksikon

Fokus analisis elemen leksikon berkaitan dengan pemilihan kata yang dilakukan pembuat teks. Sebuah kata umumnya memiliki alternatif lain yang maknanya sama.

Namun, seorang pembuat teks akan memilih salah satu kata yang dapat menunjukkan sikap dan ideologi tertentu. Berikut merupakan beberapa pilihan kata dalam lirik lagu “Jangan Diam, Papua” yang menjadi salah satu strategi dari Yab Sarpote dalam menyampaikan pesan kepada para pendengar lagunya.

(15) Mace, hari ini kerakusan perkosa bumi kami

Kata kerakusan berasal dari kata dasar rakus yang memiliki arti ’ingin memperoleh lebih banyak daripada yang diperlukan’. Penggunaan kata kerakusan dalam kalimat mace, hari ini kerakusan perkosa bumi kami ditujukan untuk menyindir pihak-pihak yang mengeksploitasi sumber daya alam di Papua.

(16) Kaka, esok hari bintang kejora sambut mentari pagi ini

Penggunaan frasa bintang kejora dalam lirik lagu “Jangan Diam, Papua”

ditemukan dalam kalimat kaka, esok hari bintang kejora sambut mentari pagi ini.

Seperti yang diketahui bahwa bintang kejora sangat identik dengan Papua sehingga penggunaan frasa tersebut sangatlah tepat dalam lagu yang memang memiliki tema tentang Papua. Dikutip dari tirto.id (2016), Clemens Runaweri, mantan politisi Papua Barat, menyatakan bahwa Bintang Kejora atau Bintang Pagi adalah bintang yang muncul sebelum matahari terbit. Oleh sebab itu, Bintang Kejora sering kali dijadikan penunjuk arah bagi para nelayan ketika mereka berada di tengah lautan tanpa kompas navigasi. Hal tersebut dapat mendasari alasan Bintang Fajar juga dianggap sebagai simbol pengharapan orang Papua. Frasa tersebut dapat memberi

(51)

kesan kepada para pendengar lagu “Jangan Diam, Papua”, khususnya bagi mereka yang berasal dari Papua agar merasa lebih dekat dengan lagu tersebut. Dengan demikian, penggunaan frasa bintang kejora dapat menjadi salah satu strategi dari Yab Sarpote dalam menyampaikan pesan kepada para pendengarnya.

(17) Pace, Mace, Kaka

Kata pace, mace, dan kaka merupakan kata sapaan yang digunakan oleh masyarakat Papua. Pace adalah bentuk panggilan untuk seorang laki-laki. Mace adalah bentuk panggilan untuk seorang perempuan. Sementara, kaka merupakan bentuk panggilan untuk seorang laki-laki atau perempuan. Pada awalnya, panggilan pace atau mace hanya digunakan untuk panggilan kepada orang yang usianya tua.

Namun, pada saat ini panggilan pace dan mace juga dapat digunakan untuk orang- orang yang masih berusia muda sebagai bentuk kenyamanan dan keakraban.

Dengan demikian, penggunaan kata pace, mace, dan kaka dalam lagu ini sangatlah tepat karena dapat memberi kesan bahwa lagu tersebut familier dan dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Papua.

4) Elemen Retoris

Retorika merupakan seni berbicara. Hal ini sejalan dengan pendapat (Keraf, 1996:1) bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam retorika, yaitu pengetahuan mengenai bahasa, penggunaan bahasa yang baik, dan pengetahuan mengenai objek yang ingin disampaikan. Fokus elemen retoris dalam teori analisis wacana kritis berkaitan dengan cara pembuat teks menekankan makna atau pesan dalam teks. Salah satu caranya adalah menganalisis penggunaan metafora.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis data diperoleh dua simpulan, yakni: (1) Konteks yang membangun lirik lagu Iwan Fals yang mengandung kritik sosial adalah konteks fisik,

3) Makna filosofi pesan Komunikasi Islam yang terkandung dalam lirik lagu Wali Band: Lafdz (pesan sederhana yang disampaikan secara lisan yang dapat dipahami maknanya), Qaul (kata

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna kritik sosial pada lirik lagu “Fought the System” karya Tuan Tigabelas. Metode penelitian yang di gunakan

Musik merupakan gabungan dari nada nada indah dan syair atau lirik yang merepresentasikan sesuatu, didalam sebuah lirik lagu terdapat suatu pemikiran yang

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah struktur pada lirik lagu karya .Feast dan kritik

di dalam lirik lagu Camelia ditemukan satu konjungsi dan , seperti pada

Objek penelitian ini adalah kritik sosial pada lirik-lirik lagu Rhoma Irama, sedangkan sumber data pada penelitian ini adalah lirik-lirik lagu Rhoma

Simpulan dan Saran Berdasarkan hasil analisis pemaknaan kritik sosial pada lirik lagu karya marjinal dalam album predator kajian sosiosemantik, bentuk dan pemaknaan kritik sosial dari