• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hakikat Belajar

Belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap (Winkel, 1983). Sedangkan menurut Gagne dalam Dahar (1989) belajar adalah suatu proses di mana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat dari pengalaman. Dengan belajar tindakan perilaku siswa akan berubah ke arah yang lebih baik. Berhasil baik atau tidaknya belajar tergantung dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut terdiri dari faktor internal, eksternal dan pendekatan belajar.

a) Faktor internal adalah faktor dari dalam diri siswa, yaitu keadaan/kondisi jasmani dan rohani siswa meliputi aspek fisiologis (kondisi tubuh dan panca indera), dan aspek psikologis antara lain: intelegensi dalam, sikap misalnya dalam beradaptasi dengan teman, bakat dalam mengerjakan soal, minat dalam mengikuti pelajaran serta punya kemauan besar untuk belajar dan mempunyai motivasi untuk belajar baik individu maupun dalam kelompok.

b) Faktor eksternal adalah faktor dari luar diri siswa, yaitu kondisi lingkungan di sekitar siswa meliputi faktor lingkungan sosial (guru, teman, masyarakat, dan keluarga) dan faktor lingkungan non-sosial (gedung, sekolah, tempat tinggal, alat belajar, cuaca dan waktu belaj

Untuk mendapatkan pengertian yang objektif tentang belajar, maka berikut beberapa pendapat ahli psikologi, khususnya ahli psikologi pendidikan tentang balajar sebagai berikut: Ruyan (2006) menyatakan bahwa: belajar adalah suatu proses perubahan individu melalui interaksi dengan lingkungan, sedangkan Hamalik dalam Darmawati (2006) memberikan defenisi belajar sebagai berikut: “ Belajar adalah suatu perbuatan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam bertingkah laku berkat pengalaman latihan” Kemudian Slameto (1995) menyatakan bahwa: “Belajar

5

(2)

adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.” Selanjutnya Rahadi (2003) mengemukakan hal yang senada bahwa “ Belajar merupakan usaha yang dilakukan seseorang melalui interaksi dengan lingkungannya untuk merubah prilakunya.”

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah usaha yang dilakukan seseorang dalam proses perubahan tingkah laku yang merupakan hasil pengalaman sendiri, latihan dan kemampuan berinteraksi dengan lingkungan sendiri.

Dari pernyataan yang telah dikemukakan diatas baik itu pengertian mengenai prestasi maupun pengertian mengenai belajar, maka prestasi dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan yang dicapai setelah melakukan kegiatan belajar, hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh Mappa (1972), mengemukakan bahwa Prestasi belajar adalah hasil belajar yang dicapai siswa dalam bidang studi tertentu dengan menggunakan tes standar sebagai alat pengukur keberhasilan belajar seseorang.Hal demikian penguasan pengetahuan dan keterampilan merupakan wujud dari prestasi belajar. Tinggi rendahnya prestasi belajar tergantung pada tingkat penguasaan materi pelajaran kurang maka prestasi belajar yang dicapai kurang atau rendah, demikian pula sebaliknya, bila tingkat penguasaan terhadap materi pelajaran tinggi, maka prestasi belajar pun tinggi.

2.1.2 Hasil belajar

Hasil belajar adalah suatu akibat dari proses belajar dengan menggunakan alat pengukur yaitu berupa tes yang disusun secara terencana, baik tes tertulis, tes lisan , maupun tes perbuatan (Sudjana, 1991). Hasil belajar merupakan suatu perubahan pada individu yang belajar, tidak hanya mengenai pengetahuan tetapi juga membentuk kecakapan dan penghayatan dalam diri pribadi individu yang belajar (Nasution dalam Iskandar, 2009). Hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku seseorang yang belajar.

Orang yang belajar akan berubah atau bertambah perilakunya, baik yang berupa pengetahuan, ketrampilan motorik atau penguasaan nilai-nilai sikap (Winaputra:25).

(3)

Hasil belajar IPA materi proses daur air adalah suatu akibat dari proses belajar dengan menggunakan alat pengukur yaitu berupa tes yang disusun secara terencana, baik tes tertulis, tes lisan , maupun tes perbuatan pada materi proses daur air.

2.1.3 Pembelajaran IPA di SD

Carin (1985) mendefinisikan IPA sebagai sistem pengetahuan alam semesta melalui pengumpulan data yang dilakukan dengan observasi dan eksperimen. Sementara itu Hungerford dan Volk (1990) mendefinisikan IPA sebagai:

a. Proses menguji informasi yang diperoleh melalui metode empiris

b. Informasi yang diberikan oleh suatu proses yang menggunakan pelatihan yang dirancang secara logis

c. Kombinasi antara proses berfikir kritis yang menghasilkan produk informasi yang sahih.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa IPA merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam bentuk kumpulan konsep, prinsip, teori dan hukum. IPA dapat dipandang sebagai produk yaitu sebagai ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah, dan dapat juga dipandang sebagai proses yaitu sebagai pola berfikir atau metode berfikirnya. Sedangkan sikap yang dibutuhkan dalam metode ilmiah berupa sikap ilmiah yang antara lain berupa hasrat ingin tahu, kerendahan hati, jujur, objektif, cermat, kritis, tekun, terbuka, dan penuh tanggung jawab.

Menurut kurikulum untuk SD, IPA yang mulai diberikan di kelas 5 lebih bersifat memberikan pengetahuan yang dimulai dari pengamatan-pengamatan mengenai pelbagai jenis dan perangai lingkungan alam serta lingkungan buatan. IPA untuk anak-anak didefinisikan oleh Paolo & Marten (dalam Iskandar, 1996) sebagai: (1) mengamati apa yang terjadi, (2) mencoba memahami apa yang diamati, (3) mempergunakan pengetahuan baru untuk meramalkan apa yang akan terjadi, dan (4) menguji ramalan-ramalan di bawah kondisi-kondisi untuk melihat apakah ramalan tersebut benar.

Carrin (1985) mengatakan bahwa teori kognitif yang paling kuat memberikan pengaruh terhadap praktek pendidik di SD adalah teori Piaget, berupa empat tahap perkembangan kognitif anak yaitu: (1) Tahap Sensorimotor (0-2 tahun), (2) Tahap

(4)

Praoperasional (2-7 tahun), (3) Tahap Operasi Konkret (7-11 tahun), dan (4) Tahap Operasi Formal (11-diatas 14 tahun). Berdasarkan pengelompokkan tahap perkembangan anak tersebut, berarti anak kelas II SD termasuk dalam tahap perkembangan operasi kongkrit. Menurut Carin (1989), anak yang berada pada operasi kongkrit, berfikir dan belajar pada pengalaman-pengalaman yang nyata. Mereka belum dapat belajar secara abstrak

Menurut Subekti (1995), konsep program praktek pendidikan sesuai perkembangan (developmentally appropriate practice) berpijak pada dua macam kesesuaian: kesesuaian usia dan kesesuaian dengan setiap anak sebagai individu.

Kesesuaian usia ialah rancangan lingkungan belajar yang harus diseduaikan dengan usia siswa. Kesesuaian dengan setiap anak sebagai individu yaitu setiap anak dipandang sebagai mahluk individu yang tumbuh berkembang secara utuh. Sebagai seorang individu setiap anak mempunyai karakteristik yang khas. Dalam cara belajarnya, dalam cara berinteraksi dengan lingkungan, dan dalam cara menggunakan waktu untuk belajar masing-masing anak tidak sama. Perbedaan-perbedaan individu ini berpengararuh besar pada proses pembelajaran. Agar dalam proses pembelajaran dapat behasil secara optimal, seyogyanya guru harus mengenal betul keberadaan masing-masing anak. Dalam menghadapi anak, guru harus membedakan antara yang daya tangkapnya cepat dengan yang daya tanggapnya lambat.

Dari semua pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran IPA di SD kelas 5 menuntut guru untuk menanamkan konsep IPA pada anak dan harus mempertimbangkan karakteristik usia anak dengan metode pembelajaran yang menarik dan tepat.

2.1.4 Metode Talking Stick

Agar lebih rinci, maka disini perlu pula diketahui pengertian dua kata kunci, yaitu metode dan talking stick.

a. Metode

Dalam pengertiannya, apa yang disebut metode adalah cara yang di dalam fungsinya merupakan alat atau media untuk mencapai suatu tujuan (Surakhmad, 1984).

Hal ini berlaku bagi guru(metode mengajar) maupun kepada murid(metode belajar).

(5)

Karena metode merupakan cara yang dalam pendidikan bertujuan untuk tercapainya tujuan pembelajaran, maka semakin baik metode mengajar yang dipakai guru dan metode belajar yang diterapkan kepada siswa, maka semakin efektif suatu usaha mencapai tujuan-tujuan pendidikan.

b. Talking stick

Talking Stick(tongkat berbicara) adalah metode yang pada mulanya digunakan oleh penduduk asli Amerika untuk mengajak semua orang berbicara atau menyampaikan pendapat dalam suatu forum (pertemuan antar suku), sebagaimana dikemukakan Carol Locust berikut ini. Tongkat berbicara telah digunakan selama berabad-abad oleh suku–

suku Indian sebagai alat menyimak secara adil dan tidak memihak. Tongkat berbicara sering digunakan kalangan dewan untuk memutuskan siapa yang mempunyai hak berbicara. Pada saat pimpinan rapat mulai berdiskusi dan membahas masalah, ia harus memegang tongkat berbicara. Tongkat akan pindah ke orang lain apabila ia ingin berbicara atau menanggapinya. Dengan cara ini tongkat berbicara akan berpindah dari satu orang ke orang lain jika orang tersebut ingin mengemukakan pendapatnya. Apabila semua mendapatkan giliran berbicara, tongkat itu lalu dikembalikan lagi ke ketua/pimpinan rapat.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Talking Stick dipakai sebagai tanda seseorang mempunyai hak suara (berbicara) yang diberikan secara bergiliran/bergantian. Talking Stick termasuk salah satu metode pembelajaran kooperatif.

menurut Kauchack dan Eggen dalam Azizah(1998), pembelajarankooperatif merupakan strategi pembelajaran yang melibatkan siswa untuk bekerja secara kolaboratif dalam mencapai tujuan (Isjoni, 2010). Kolaboratif sendiri diartikan sebagai falsafah mengenai tanggung jawab pribadi dan sikap menghormati sesama. Peserta didik betanggung jawab atas belajar mereka sendiri dan berusaha menemukan informasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dihadapkan pada mereka dan guru hanya bertindak sebagai fasilitator.

]Metode talking stick termasuk dalam pembelajaran kooperatif karena memiliki ciri- ciri yang sesuai dengan pembelajaran kooperatif yaitu:

1) Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya.

2) Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah.

(6)

3) Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang berbeda.

4) Penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu (Anwarholil, 2010).

Metode pembelajaran ini dilakukan dengan bantuan tongkat, siapa yang memegang tongkat wajib menjawab pertanyaan dari guru setelah siswa mempelajari materi pokoknya. Pembelajaran Talking Stick sangat cocok diterapkan bagi siswa SD, SMP, dan SMA/SMK. Selain untukmelatih berbicara, pembelajaran ini akan menciptakan suasana yang menyenangkan dan membuat siswa aktif (Tarmizi, 2010). Adapun metode ini memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan, meningkatkan motivasi, kepercayaan diri dan life skill yang mana pendekatan tersebut ditujukan untuk memunculkan emosi dan sikap positif belajar dalam proses belajar mengajar yang berdampak pada peningkatan kecerdasan otak.

Jadi, Metode Talking Stick ini adalah sebuah metode pendidikan yang dilaksanakan dengan cara memberi kebebasan kepada peserta didik untuk dapat bergerak dan bertindak dengan leluasa sejauh mungkin menghindari unsur-unsur perintah dan keharus paksaan sepanjang tidak merugikan bagi peserta didik dengan maksud untuk menumbuhkan dan mengembangkan rasa percaya diri.

2. Tujuan Metode Talking Stick

Dalam setiap kegiatan belajar, tidak terlepas dari suatu tujuan yang hendak dicapai. Pada dasarnya, pencapaian tujuan pendidikan ditentukan oleh kemampuan guru, karena faktor pendidik sangat besar peranannya. Sekiranya pendidik itu baik, maka hasil pendidikannya akan lebih baik pula. Dansebaliknya, pendidik yang belum siap mengajar tidak akan berhasil di dalam pelaksanaan pengajaran dan pendidikan (Mansyur, 1998).

Dengan demikian, seorang guru pada saat melakukan proses mengajar harus memperhatikan kompetensi dasar yang ingin dicapai oleh murid. Sebab pencapaian pembelajaran khusus erat sekali kaitannya dengan tujuan pembelajaran, tujuan kurikuler, dan tujuan pendidikan nasional. Belakangan perkembangan metode pembelajaran menitik beratkan pada kemampuan murid dalam mengekspresikan seluruh potensi dan pemahamannya pada materi pelajaran. Diproyeksikan pada metode ini, dominasi guru di dalam kelas tidak ada lagi. Karenanya, metode ceramah sebagaimana dilaksanakan sejak

(7)

dulu ditinggalkan. Pada metode ini, partisipasi murid di nomor satukan. Tujuannya adalah untuk memandirikan murid dalam berpikir dan memperoleh pengetahuan, serta mengolahnya hingga murid benar-benar paham terhadap materi pelajaran yang diajarkan.

Perkembangan tujuan pendidikan ini berupa peningkatan pada teknik dan metode yang lebih variatif dan inovatif, dan partisipatif, yang berguna bagi perkembangan hasil belajar siswa. Dan tujuan dari inovasi pendidikan menurut Fuad Ihsan adalah untuk meningkatkan efesiensi, relevansi, kualitas dan efektifitas. Ini sesuai dengan arah inovasi pendidikan Indonesia yaitu: mengejar ketinggalan-ketinggalan yang dihasilkan oleh kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan mengusahakan terselenggaranya pendidikan sekolah maupun luar sekolah yang maju bagi warga negara (Ihsan, 2001). Maka kemudian dikenallah yang namanya pembelajaran kooperatif(Cooperative Learning). Konsep inti dari Cooperative Learning adalah menempatkan pengetahuan yang dipunyai siswa merupakan hasil dari aktivitas yang dilakukannya, bukan pengajaran yang diterima secara pasif.

Menurut Isjoni, Cooperative Learning dapat meningkatkan cara belajar siswa menuju belajar lebih baik, sikap tolong-menolong dalam beberapa perilaku sosial. Tujuan utama dalam penerapan model belajar mengajar Cooperative Learning adalah agar peserta didik dapat belajar secara berkelompok bersama teman-temannya dengan cara saling menghargai pendapat dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengemukakan gagasannya dengan menyampaikan pendapat mereka secara kelompok (Isjoni, 2010).

Menurut (Eggen and Kauchak, 1996: 279) Pembelajaran kooperatif disusun dalam sebuah usaha untuk meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok, memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama siswa yang berbeda latar belakangnya. Jadi dalam pembelajaran kooperatif siswa berperan ganda yaitu sebagai siswa ataupun sebagai guru. Dengan bekerja secara kolaboratif untuk mencapai sebuah tujuan bersama, maka siswa akan mengembangkan keterampilan berhubungan dengan sesama manusia yang akan sangat bermanfaat bagi kehidupan di luar sekolah (Trianto, 2007).

(8)

Dengan sudut pandang tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebuah metode penguasaan haruslah sesuai dengan tujuan pendidikan di atas, yaitu partisipasi murid untuk membangun kemandirian dalam memahami materi pelajaran. Begitu pula dengan metode Talking Stick, bagaimanapun juga harus sesuai dengan tujuan pendidikan di atas.

Adapun tujuan dari dirumuskannya metode Talking Stick bila dilihat dari rumusan konsep metode tersebut, yang didalamnya memperhatikan partisipasi siswa dalam memperoleh dan memahami pengetahuan serta mengembangkannya, karena metode Talking Stick merupakan salah satu metode dalam Cooperative Learnig, maka tujuan pada metode talking stick adalah untuk mewujudkan tujuan pembelajaran.

3. Langkah-langkah Metode Talking Stick

Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam metode talking stick ini adalah sebagai berikut:

1) Guru membentuk kelompok yang terdiri atas 5 orang.

2) Guru menyiapkan sebuah tongkat yang panjangnya 20 cm.

3) Guru menyampaikan materi pokok yang akan dipelajari, kemudian memberikan kesempatan para kelompok untuk membaca dan mempelajari materi pelajaran.

4) Siswa berdiskusi membahas masalah yang terdapat di dalam wacana.

5) Setelah kelompok selesai membaca materi pelajaran dan mempelajari isinya, guru mempersilahkan anggota kelompok untuk menutup isi bacaan.

6) Guru mengambil tongkat dan memberikan kepada salah satu anggota kelompok, setelah itu guru memberi pertanyaan dan anggota kelompok yang memegang tongkat tersebut harus menjawabnya, demikian seterusnya sampai sebagian besar siswa mendapat bagian untuk menjawab setiap pertanyaan dari guru.

7) Siswa lain boleh membantu menjawab pertanyaan jika anggota kelompoknya tidak bisa menjawab pertanyaan.

8) Guru membimbing siswa membuat kesimpulan.

9) Guru melakukan evaluasi/penilaian, baik secara kelompok maupun individu.

10) Guru menutup pembelajaran (Tarmizi, 2007)

(9)

4. Keuntungan dan Kelemahan Metode Talking Stick a. Keuntungan metode Talking Stick yaitu:

1) Meningkatkan kepekaan dan kesetiakawanan sosial

2) Memungkinkan para siswa saling belajar mengenai sikap, keterampilan, informasi, perilaku sosial, dan pandangan-pandangan

3) Memudahkan siswa melakukan penyesuaian sosial

4) Memungkinkan terbentuk dan berkembangnya nilai-nilai sosial dan komitmen 5) Menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri atau egois

6) Membangun persahabatan yang dapat berlanjut hingga masa dewasa

7) Berbagai keterampilan sosial yang diperlukan untuk memelihara hubungan saling membutuhkan dapat diajarkan dan dipraktekkan

8) Meningkatkan rasa saling percaya kepada sesame manusia

9) Meningkatkan kesediaan menggunakan ide orang lain yang dirasakan

10) Meningkatkan kegemaran berteman tanpa memandang perbedaan kemampuan, jenis kelamin, normal atau cacat, etnis, kelas sosial, dan agama (Tarnizi, 2010) 11) Menguji kesiapan siswa

12) Melatih membaca dan memahami dengan cepat 13) Agar siswa lebih giat lagi belajar.

b. Kelemahan metode Talking Stick

1) Sangat tidak rasional kalau kita mengharapkan secara otomatis siswa dapat mengerti dan memahami filsafat Cooperative Learning. Untuk siswa yang dianggap memiliki kelebihan contohnya, mereka akan merasa terhambat oleh siswa yang dianggap kurang memiliki kemampuan. Akibatnya, keadaan semacam ini dapat mengganggu kondisi kerjasama dalam kelompok.

2) Ciri utama dari pembelajaran kooperatif adalah bahwa siswa saling membelajarkan. Oleh karena itu, jika tanpa peer teaching yang efektif, maka dibandingkan dengan pengajaran langsung dari guru, bias terjadi cara belajar yang demikian apa yang seharusnya dipelajari dan dipahami tidak pernah tercapai oleh siswa.

(10)

3) Keberhasilan pembelajaran kooperatif dalam upaya mengembangkan kesadaran berkelompok memerlukan periode waktu yang cukup panjang, dan hal ini tidak mungkin dapat tercapai hanya dengan satu kali atau sekali-kali penerapan strategi ini (Sanjaya, 2007)

2.2 Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan Tabel 1

Kajian Penelitian yang Relevan

Nama Peneliti Judul Hasil Penelitian

Mutarto

(2011)

Penerapan model pembelajaran talking stick untuk meningkatkan pembelajaran IPA kelas 4 SDN 2 Pringapus Kecamatan Dongko Kabupaten Trenggalek

- meningkatkan ketuntasan belajar dari semula hanya 24,67 % menjadi 88,81 %.

- Meningkatkan nilai rerata dari 56,54 menjadi 87,5

Rokhani

(2012)

Pengaruh Penggunaan Metode Talking Stick Pada Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial Terhadap Motivasi Belajar Siswa Kelas 5 SDN Jambusari 03 Jeruklegi Cilacap

- Metode talking stick berpengaruh positif signifikan terhadap hasil belajar.

2.3 Kerangka Pikir

Berdasarkan kajian teori, maka peneliti menyusun kerangka berpikir sebagai berikut:

Pembelajaran IPA pada siswa kelas 5 semester 1 pada tahap prasiklus, peneliti belum menggunakan metode yang menarik sehingga hasil belajar siswa dan kualitas pembelajaran relatif rendah. Pada tahap siklus I, peneliti sudah menggunakan metode talking stick sehingga hasil belajar dan kualitas pembelajaran meningkat ( dua indikator keberhasilan tercapai). Peneliti melanjutkan tindakan pada tahap siklus II dengan pada kompetensi dasar selanjutnya. Pada tahap ini diperoleh peningkatan hasil belajar dan kualitas pembelajaran yang optimal. Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir di

(11)

atas, diduga pembelajaran IPA pada siswa kelas 5 semester 1 menggunakan metode talking stick dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

2.4 Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kerangka berpikir, disusun hipotesis tindakan sebagai berikut:

penggunaan metode talking stick dapat meningkatkan hasil belajar IPA pada siswa kelas 5 SDN Jolosekti Kabupaten Batang semester 1 tahun pelajaran 2012/2013.

SIKLUS I

SIKLUS II hasil belajar siswa rendah Pembelajaran belum

menggunakan metode talking stick

Kondisi Awal

TINDAKAN

Pembelajaran sudah menggunakan metode talking stick

Diduga pembelajaran IPA menggunakan metode talking stick dapat

meningkatkan hasil belajar Kondisi

Akhir

(12)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian tentang Perbedaan Efek Fisiologis Pada Pekerja Sebelum Dan Sesudah Bek- erja Di Lingkungan Kerja Panas diperoleh simpulan sebagai berikut: Ada perbedaan

Penelitian ini menyimpulkan bahwa ada hubungan antara suhu ruangan (p=0,000), umur (p=0,004), lama kerja (p=0,000), masa kerja (p=0,000), waktu istirahat (p=0,000) dan

Penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan media Computer Assisted Instructions model tutorial yang layak dan efektif untuk digunakan dalam proses pembelajran pada

Kinerja Individu pengguna Core Banking System di Bank BPD Bali. Hal ini berarti semakin tinggi faktor kemanfaatan Core Banking System maka menghasilkan kinerja individu yang

Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan uji chi-square didapatkan nilai p-value sebesar 0,000, yang berarti nilai signifi kan lebih kecil dari taraf signifi kan 5%

Dihasilkan Media Pembelajaran interaktif pada mata pelajaran Komposisi Foto Digital Menggunakan Software Autoplay Media Studio untuk SMK N 2 Pariaman yang

Sasaran Kegiatan Lokasi kegiatan Frekuensi kegiatan Waktu Implementasi Bahan dan media yang digunakan Pelaksana (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) Masyarakat

Berdasarkan jawaban dari responden dapat diinterpretasikan bahwa pihak- pihak yang terlibat lansung dalam program Soft Skills siswa yakni kepala sekolah, guru, semua stakeholder