TUGAS AKHIR
Diajukan Oleh :
FRANSISKUS X. E. LIE
0953210064
Pembimbing 1 : Ir . Made D. Astawa,. MT
Pembimbing 2 : Ir . Wahyu Kar tini,. MT
PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
PERENENCANAAN BEAM-COLOUM J OINT DENGAN MENGGUNAKAN
METODE BETON PRATEGANG PARTIAL GEDUNG PERKANTORAN
BPR J ATIM
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Tugas Akhir
Progam Studi Teknik Sipil FTSP UPN “Veteran” Jawa Timur
Pembimbing Utama
Ir. Made D. Astawa, MT., NIP. 19530191 198601 1 00 1
Pembimbing Pendamping
Ir. Wahyu Kartini, MT., NPT. 3 6304 94 0031 1
Tim Penguji
Penguji I
Candra Wijaya
Penguji II
Ir. Ali Arifin, MT., NPT. 3 7102 99 0167 1
Penguji III
Sumaidi, ST.,
NIP. 3 7603 09 0274 1
Mengetahui,
Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
ii
Dengan mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini sebagai salah satu syarat akademis dalam menyelesaikan program pendidikan Strata 1 (S-1) di Jurusan Teknik Sipil - FTSP Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur. Dalam menyusun tugas akhir yang berjudul “Perenencanaan Beam-Coloum Joint Dengan Menggunakan Metode Beton Prategang Partial Gedung Perkantoran BPR Jatim“ ini, penulis berusaha menerapkan segala sesuatu yang penulis peroleh baik dari bangku kuliah maupun dari literatur yang berkaitan, serta arahan-arahan dari dosen pembimbing. Penulis sadar, dengan segala keterbatasan yang ada, laporan ini masih jauh dari kesempurnaaan. Akhirnya tidak lupa penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan tugas akhir ini.
Surabaya, 23 Oktober 2013
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI... iii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 2
1.3 Maksud dan Tujuan ... 3
1.4 Ruang Lingkup ... 3
1.5 Lokasi ... 4
BAB II TINJ AUAN PUSTAKA 2.1 Umum ... 5
2.2 Material beton prategang ... 7
2.2.1 Beton ... 7
2.2.2 Baja... 8
2.3 Metode Parsial Pratekan ... 9
2.3.1 Prategang Penuh ... 9
2.3.2 Partial Prestress ... 10
2.4 Tegangan Ijin Beton Pratekan ... 13
2.5 Metode ACI ... 13
2.6 Kehilangan Prategang ... 14
2.7.2 Lendutan Awal Saat Jacking... 22
2.7.3 Lendutan Total ... 25
2.8 Momen Retak ... 25
2.9 Gaya Gempa... 27
2.9.1 Perhitungan Periode Alami Struktur T ... 27
2.9.2 Penentuan Faktor Respon Gempa (C1) ... 28
2.9.3 Penentuan Faktor Keutamaan (I) ... 28
2.9.4 Penentuan Parameter Daktalitas Struktur (R) ... 29
2.9.5 Perhitungan Gaya Geser Gempa (V) ... 29
2.9.6 Eksentrisitas Pusat Massa Terhadap Pusat Rotasi Lantai... 30
2.9.7 Analisa Waktu Getar Struktur Dengan Cara T-Rayleigh ... 31
2.10 Momen Nominal (Momen Batas) ... 31
2.11 SRPMK (Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus) ... 32
2.12 Hubungan Balok Kolom (HBK) ... 32
BAB III METODOLOGI 3.1 Pengumpulan Data ... 33
3.2 Gambar Bangunan ... 34
3.3 Langkah Kerja ... 34
BAB IV PERENCANAAN STRUKTUR 4.1 Data Dan Perencanaan ... 37
4.1.1 Pembebanan Tributari ... 37
4.1.2.1 Berat Gedung ... 59
4.1.2.2 Periode Alami Struktur... 60
4.1.2.3 Penentuan Faktor Respon Gempa ... 61
4.1.2.4 Penentuan Faktor Keutamaan ... 62
4.1.2.5 Penentuan Faktor Daktalitas Struktur ... 62
4.1.2.6 Perhitungan Gaya Geser Gempa ... 62
4.1.2.7 Eksentrisitas Pusat Massa ... 63
4.1.2.8 Analisa Waktu Getar Struktur Dengan Cara T-Reyleigh ... 64
4.1.2.9 Analisa Batas Kerja Batas Layan Dan Batas Ultimit ... 66
4.2 Perencanaan Balok Pratekan ... 76
4.2.1 Tegangan Ijin Beton Pratekan ... 76
4.2.2 Dimensi Penampang ... 77
4.2.3 Mencari Momen Akibat Berat Sendiri Dan Komposit ... 80
4.2.3.1 Akibat Berat Sebelum Komposit ... 80
4.2.3.2 Akibat Beban Gempa, Mati Dan Hidup Setelah Komposit ... 81
4.2.4 Penentuan Daerah Limit Kabel Dan Gaya Awal Prategang ... 82
4.2.4.1 Desain Pendahuluan ... 82
4.2.8 Pekerjaan Grouting ... 93
4.2.9 Kehilangan Prategang... 94
4.2.9.1 Kehilangan Prategang Langsung ... 94
4.2.9.2 Kehilangan Prategang Tidak Langsung ... 100
4.2.10 Kontrol Tegangan Setelah Kehilangan... 108
4.3 Kontrol Lendutan ... 110
4.3.1 Lendutan Ijin ... 110
4.3.2 Lendutan Awal Saat Jacking... 110
4.3.3 Lendutan Saat Beban Bekerja Saat F Efektif ... 113
4.3.4 Lendutan Total ... 114
4.4 Momen Retak ... 114
4.5 Penulangan Non Prategang ... 116
4.6 Penulangan Geser Pada Balok ... 129
4.7 Perencanaan Penampang Kolom ... 131
4.7.1 Kontrol Kelangsingan Kolom ... 131
4.7.2 Kelangsingan Kolom Arah X ... 131
4.7.3 Perhitungan Tulangan Lentur Kolom ... 134
4.7.4 Perhitungan Tulangan Geser Kolom ... 134
4.7.5 Konsep Balok Lemak - Kolom Kuat ... 135
4.8 Persyaratan SRPMK ... 138
4.9 Partial Prestressing Ratio (PPR) ... 139
5.1 Kesimpulan ... 143
5.2 Saran…. ... 145
Gambar 2.1 Kurva Beban Lendutan, Penampang Bertulang-Kuat
(Overreinforced) dan Bertulang-Lemah (Underreinforced) ... 11
Gambar 2.2 Kurva Beban-Lendutan untuk Berbagai Tingkat Prategang (untuk Penampang Bertulang-Lemah Balok Terekat) ... 12
Gambar 2.3 Respons Spektrum Gempa Rencana ... 28
Gambar 3.1 Tampak Depan Gedung BPR Bank Jatim ... 34
Gambar 4.1 Pembebanan Balok Prategang ... 38
Gambar 4.2 Pembebanan Balok B2A ... 39
Gambar 4.3 Pembebanan Balok B2 ... 40
Gambar 4.4 Pembebanan Balok Prategang ... 40
Gambar 4.5 Pembebanan Balok Prategang ... 41
Gambar 4.6 Pembebanan Balok B3 ... 42
Gambar 4.7 Pembebanan Balok B2 ... 43
Gambar 4.8 Pembebanan Balok Prategang ... 44
Gambar 4.9 Pembebanan Balok B2A ... 45
Gambar 4.10 Pembebanan Balok B2 ... 46
Gambar 4.11 Pembebanan Balok Prategang ... 46
Gambar 4.12 Pembebanan Balok Prategang ... 47
Gambar 4.13 Pembebanan Balok B3 ... 48
Gambar 4.14 Pembebanan Balok B2 ... 49
Gambar 4.18 Pot. Memanjang Tributari Akibat Beban Mati ... 54
Gambar 4.19 Pot. Memanjang Tributari Akibat Beban Hidup ... 55
Gambar 4.20 Pot. Melintang Beban Ekivalen Tributari Akibat Beban Mati ... 56
Gambar 4.21 Pot. Melintang Beban Ekivalen Tributari Akibat Beban Hidup ... 56
Gambar 4.22 Potongan Memanjang Beban Ekivalen Tributari Akibat Beban Mati…….. ... 57
Gambar 4.23 Potongan Memanjang Beban Ekivalen Tributari Akibat Beban Hidup 58 Gambar 4.24 Analisa 3D Menggunakan Software ETABS V.9.7.1 ... 59
Gambar 4.25 Respons Spektrum Gempa Rencana ... 61
Gambar 4.26 Penyaluran Gaya Gempa Pada Portal ... 63
Gambar 4.27 Diagram Momen Yang Terjadi Pada Balok B150... 69
Gambar 4.28 Diagram Momen Yang Terjadi Pada Balok B151... 70
Gambar 4.29 Diagram Momen Yang Terjadi Pada Balok B152... 71
Gambar 4.30 Diagram Momen Yang Terjadi Pada Balok B153... 72
Gambar 4.31 Diagram Momen Yang Terjadi Pada Balok B154... 73
Gambar 4.32 Diagram Momen Yang Terjadi Pada Balok B155... 74
Gambar 4.33 Diagram Momen Yang Terjadi Pada Balok B156... 75
Gambar 4.34 Penampang Balok Pratekan ... 78
Gambar 4.35 Momen Sebelum Komposit ... 80
Gambar 4.36 Momen Setelah Komposit ... 81
Gambar 4.41 Penampang Angker Tengah Bentang Dengan 9 Strand ... 92
Gambar 4.42 Potongan Angker ... 93
Gambar 4.43 Hasil Analisa SAP Akibat Kekangan Kolom ... 99
Gambar 4.44 Penampang Balok Prategang ... 103
Gambar 4.45 Diagram Tegangan Setelah Kehilangan Prategang ... 109
Gambar 4.46 Tulangan Geser Pada Balok ... 131
Gambar 4.47 Tulangan Pada Kolom Menggunakan PCA COL ... 134
Gambar 4.48 Tulangan pada Kolom Menggunakan PCA COL sesuai dengan konsep Strong Column-Weak Beam... 137
Gambar 4.49 Tinggi Efektif Balok ... 139
Gambar 4.50 Penampang Balok ... 140
Gambar 4.51 Hubungan Balok Kolom ... 142
Tabel 4.2 Pembebanan Ekivalen Pelat Lantai ... 51
Tabel 4.3 Berat lantai bangunan ... 60
Tabel 4.4 Distribusi beban gempa dengan V = 250,78 ton ... 62
Tabel 4.5 Perhitungan eksentrisitas rencana ed pada arah x ... 64
Tabel 4.6 Perhitungan eksentrisitas rencana ed pada arah y ... 64
Tabel 4.7 T-Rayleight arah x ... 65
Tabel 4.8 T-Rayleight arah y ... 65
Tabel 4.9 Analisa Δ s terhadap arah X ... 66
Tabel 4.10 Analisa Δ s terhadap arah Y ... 67
Tabel 4.11 Analisa Δ m akibat gempa arah x ... 68
Tabel 4.12 Analisa Δ m akibat gempa arah y ... 47
Tabel 4.13 Tabel Koefisien Susut Post Tension ... 104
Tabel 4.14 Nilai momen yang diakibatkan oleh gempa ... 117
FRANSISKUS X E LIE 0953210064
ABSTRAK
Dalam tugas akhir ini, penulis mencoba mendisain balok beton prategang pada bangunan gedung BPR Bank Jatim yang awalnya menggunakan balok beton bertulang biasa pada ruangan lantai 6 yang digunakan sebagai ruangan pertemuan, dengan digunakannya balok prategang diharapankan bisa bertambah luas space ruangannya karena menghilangkan kolom di tengah-tengah ruangan pada lantai tersebut. Adapun perubahan panjang bentang bangunan, yang awal mulanya bentang dari panjang 10,5 meter menjadi 15 meter dan balok induk beton bertulang yang berukuran 3 meter menjadi balok prategang dengan bentang 15 meter.
Metode yang digunakan untuk mendisain beton prategang ini adalah metode prategang sebagian. Dalam metode ini tulangan lunak yang digunakan dalam mendisain balok prategang ikut diperhitungkan untuk menahan momen akibat gaya lateral gempa yang terjadi pada bangunan yang sesuai dengan peraturan ACI 2008. Dengan asumsi, bahwa tendon hanya menerima gaya gempa sebesar 25% saja, sedangkan 75% dari gaya gempa yang terjadi akan dilimpahkan pada baja tulangan lunak. Adapun program bantu tambahan yang digunakan untuk mempermudah perhitungan struktur dalam laporan tugas akhir ini yaitu program ETABS Nonlinear
Version 9.7.1.
Dan setelah dilakukan perhitungan, maka dibutuhkan 1 selongsong tendon yang berisi 9 buah strand dengan diameter 15,2 mm. Untuk medukung motode
prestress partial dibutuhkan tulangan lunak tarik sebanyak 6D20 dan tulangan tekan
3D20 pada daerah tekan pada daerah tumpuan. Sedangkan tulangan lunak tarik sebanyak 3D20 dan tulangan lunak tekan sebanyak 3D20 pada daerah lapangan. Untuk tulangan geser balok digunakan tulangan ϕ8-100 pada daerah tumpuan, sedangkan ϕ8-250 pada daerah lapangan. Pada kolom direncanakan dimensi 600 x 600 dan dibutuhkan tulangan longitudinal sebanyak 20D28. Dan tulangan transverse dengan tulangan ϕ8-150 Sedangkan pada pertemuan hubungan balok kolom, digunakan sengkang ϕ8-150.
1.1. Latar Belakang
Dewasa ini penggunaan dari beton prategang telah banyak digunakan dalam
pembangunan gedung-gedung bertingkat, bahkan gedung pencakar langit. Beton
prategang yang saat ini sering kita gunakan merupakan hasil penelitian yang
dilakukan oleh para insinyur dan ilmuwan dalam bidang teknik sipil selama kurun
waktu tertentu. Di samping itu, beton prategang mempunyai kelebihan dibandingkan
dengan beton bertulang biasa, antara lain dapat menghemat dimensi struktur yang
direncanakan sehingga pemanfaatan ruangan lebih optimal dan dengan kekuatan
yang sama atau malah lebih tinggi dari beton bertulang biasa.
Beton prategang merupakan kombinasi beton mutu tinggi dan baja mutu
tinggi yang kemudian diangkurkan pada beton. Dipilihnya beton mutu tinggi dalam
perencanaan agar tidak hancur ketika menerima gaya prategang dan dipilihnya baja
mutu tinggi agar baja mampu menerima gaya tarik akibat gaya prategang dan gaya
luar yang disebabkan oleh beban hidup. Dengan dilakukan penarikan pada baja
diharapkan baja dapat digunakan dengan efektif. Apabila baja tidak dilakukan
penarikan atau hanya dipasang seperti penulangan biasa akan mengakibatkan retak
pada daerah tarik. Hal ini tentunya tidak diinginkan.
Karena keuntungan dari beton prategang diatas, maka balok beton bertulang
biasa gedung BPR Bank Jatim pada lantai 6 akan diganti menjadi balok beton
Penggantian dari balok beton bertulang biasa ke balok beton prategang partial
disebabkan fungsi ruangan tersebut sebagai ruangan pertemuan. Sehingga alangkah
baiknya bila tidak ada kolom di tengah-tengah ruangan tersebut. Dan akibat dari
pengurangan dari kolom adalah bertambahnya dimensi pada balok beton bertulang
biasa, karena besarnya beban akan secara langsung diterima oleh balok tanpa ada
bantuan kolom, yang awal mulanya dipakai untuk menerima beban pada titik
tersebut. Karena bertambahnya dimensi dari sturktur balok tersebut, maka space
tinggi ruangan akan berkurang. Maka dari itu dicoba menggunakan balok prategang
partial yang bisa didisain dengan penampang yang lebih ramping dari balok beton
biasa. Sistem atau metode yang akan digunakan dalam perencanaan balok beton
prategang ini adalah metode beton prategang partial atau sebagian. Selain mendesain
balok beton prategang partial, dalam tugas akhir ini akan membahas tentang
hubungan balok kolom yang terjadi antara balok beton prategang dengan metode
partial dan kolom beton bertulang biasa.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakan diatas, bisa diambil suatu rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana desain balok beton prategang partial agar mampu menahan beban
pada bangunan.
2. Bagaimana desain hubungan balok kolom dari balok beton prategang dengan
motode partial dan kolom beton bertulang yang akan memenuhi agar mampu
3. Bagaimana menganalisis struktur pratekan pada balok dengan beban gempa
lateral sesuai dengan peraturan ACI pasal 21 yang hanya menganjurkan bahwa
balok pratekan partial hanya boleh menerima gaya lateral gempa paling besar
25% dari gaya gempa yang terjadi.
1.3. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari perencanaan ini adalah :
1. Dapat mengetahui desain balok beton prategang partial yang mampu menahan
beban pada struktur bangunan.
2. Dapat mengetahui desain dari hubungan balok kolom dari balok beton pretegang
partial dengan metode partial dan kolom beton bertulang biasa yang mampu
menahan gaya lateral dan gaya gravitasi yang bekerja pada gedung.
3. Dapat mengetahui analisis struktur pratekan pada balok dengan beban gempa
lateral.
1.4. Ruang Lingkup
Masalah-masalah yang akan dibahas pada proposal ini meliputi :
1. Tidak menghitung pondasi tiang pancang.
2. Beban-beban yang dihitung adalah beban mati, hidup dan gempa lateral.
3. Menghitung penampang balok beton prategang partial pada lantai 6.
4. Menghitung gaya geser yang terjadi pada sambungan hugungan balok kolom.
5. Menghitung kolom.
7. Perencanaan balok prategang partial hanya pada lantai 6.
2.1. Umum
Beton adalah suatu bahan yang mempunyai kekuatan tekan yang tinggi, tetapi
kekuatan tariknya relatif rendah. Sedangkan baja adalah suatu material yang
mempunyai kekuatan tarik yang sangat tinggi. Dengan mengkombinasikan beton dan
baja sebagai bahan struktur maka tegangan tekan dipikulkan ke beton sementara
tegangan tarik dipikulkan ke baja. (Budiadi, 2008)
Pada struktur dengan bentang yang panjang, struktur bertulang biasa masih
cukup untuk menahan tegangan lentur, tetapi untuk menahan gaya lentur tersebut
diperlukan dimensi dari beton bertulang yang sangat besar. Karena diakibatkan oleh
dimensi yang sangat besar untuk keperluan bentang 15 meter, maka bisa mengurangi
tinggi efisien dari tinggi ruangan yang digunakan. Sehingga untuk memecahkan
masalah ini, dicoba menggunakan beton prategang. Karena bila dikonfersikan,
dimensi beton prategang lebih ramping 25% dari dimensi beton bertulang biasa. Hal
ini disebabkan tegangan tekan yang ada pada beton prategang tidak hanya berasal
dari kuat tekan beton saja. Tetapi kekuatan tekan beton prategang juga berasal dari
tendon yang diangkurkan pada ujung-ujung balok beton pratengang. Eugene
Freyssinet (1928), seorang insinyur Perancis, berhasil memberikan pratekan terhadap
struktur beton sehingga dimungkinkan untuk membuat desain dengan penampang
Selain itu keuntungan dari beton prategang dari pada beton bertulang biasa
adalah sebagai berikut: (Budiadi, 2008)
1. Dapat memikul beban lentur yang lebih besar dari pada beton bertulang.
2. Dapat dipakai pada bentang yang lebih panjang dengan mengatur
defleksinya.
3. Ketahanan geser dan puntirnya bertambah dengan adanya penegangan.
4. Dapat dipakai pada rekayasa konstruksi tertentu, misalnya pada
konstruksi jembatan segmen.
5. Berbagai kelebihan lain pada penggunaan struktur khusus, seperti struktur
pelat dan cangkang, struktur tangki, struktur pracetak, dan lain-lain.
6. Pada penampang yang diberi penegangan, tegangan tarik dapat
dieliminasi karena besarnya gaya tekan disesuaikan dengan beban yang
akan diterima.
Selain kelebihan ada juga kekurangan dari struktur beton prategang, tetapi
relatif lebih sedikit dibandingkan berbagai kelebihannya, di antaranya : (Budiadi,
2008)
1. Memerlukan peralatan khusus seperti tendon, angkur, mesin penarik
kabel, dll.
2. Memerlukan keahlian khusus baik dalam perencanaan maupun
pelaksanaannya.
Di Indonesia istilah Prestressed Concrete dikenal dengan dua istilah, yaitu
Beton Prategang dan Beton Pratekan. Kedua istilah tersebut relatif sama artinya.
sedangkan metode external prestrssing (tendon di luar penampang) diperkenalkan di
Apendiks.
2.2. Material beton pr ategang
2.2.1. Beton
Beton yang digunakan untuk beton prategang adalah beton mutu menengah
sampai mutu tinggi. Kekuatan tekan yang cukup tinggi dengan nilai f’c lebih besar
dari 30 MPa. Kuat tekan yang tinggi diperlukan untuk menahan tegangan tekan pada
serat tertekan pengangkuran tendon, mencegah terjadinya keretakan, mempunyai
modulus elastisitas yang tinggi dan mengalami rangkak lebih kecil. (Budiadi, 2008)
Kuat tarik beton mempunyai harga yang jauh lebih rendah dari kuat tekannya.
Untuk tujuan desain, SNI 2002 menetapkan kuat tarik beton sebesar σ ts = 0,6 ′ .
Perubahan bentuk (deformasi) pada beton adalah langsung dan tergantung waktu
(time dependent). Pada beban tetap, perubahan bentuk bertambah dengan waktu dan
jauh lebih besar dibanding harga langsungnya. Pengembangan regangan sepanjang
waktu disebabkan oleh susut (shrinkage) dan rangkak (creep). Susut tidak
disebabkan oleh tegangan, tetapi merupakan akibat dari hilangnya air dalam proses
pengeringan beton, sementara rangkak disebabkan oleh bekerjanya tegangan. Susut
dan rangkak menyebabkan perubahan bentuk aksial, kelengkungan (curvature) pada
penampang, kehilangan tegangan, redistribusi tegangan lokal antara beton dan baja,
serta redistribusi aksi internal pada struktur statis tak tentu. Susut dan rangkak juga
bisa mengakibaktan retak yang dapat memperngaruhi kemapuan layan dan keawetan
seiring dengan berjalannya waktu ketika beton bertambah kekuatan dan
kekakuannya. (Budiadi, 2008)
2.2.2. Baja
Baja yang dipakai untuk beton prategang dalam praktik ada empat macam,
yaitu : (Budiadi, 2008)
1. Kawat tunggal (wires), biasanya digunakan untuk baja prategang dengan
sistem pratarik.
2. Untaian kawat (strand), biasanya digunakan untuk baja prategang dengan
sistem pascatarik.
3. Kawat batangan (bars), biasanya digunakan untuk baja prategang dengan
sistem pratarik.
4. Tulangan biasa, sering digunakan untuk tulangan non-prategang (tidak
ditarik), seperti tulangan memanjang, sengkang, tulangan untuk
pengangkuran dan lain-lain.
Yang digunakan dalam perencanaan tugas akhir ini adalah untaian kawat
(strand) dengan sistem pascatarik. Untaian kawat yang dipakai harus memenuhi
syarat seperti yang terdapat pada ASTM A416. Untaian kawat yang banyak dipakai
adalah untaian tujuh kawat dengan dua kualitas: Grade 250 dan Grade 270 (seperti di
Amerika Serikat). Diameter untaian kawat bervariasi antara 7,9-15,2 mm. Tegangan
2.3. Metode Parsial Pratekan
Beton prategang adalah beton yang mengalami tegangan internal dan
didistribusikan sedemikian rupa, sehingga dapat mengimbangi sampai pada batas
tertentu tegangan yang diakibatkan beban eksternal. Pada dasarnya beton prategang
memakai tulangan baja yang ditarik dan dikenal sebagai tendon. Tendon terdiri dari
untaian (strand) mutu tinggi, kabel, atau batang-batang baja (bar). Dalam
perencanaan beton prategang dikenal dua metode yaitu :
2.3.1 Pr ategang penuh
Metode ini memperlakukan beton sebagai bahan yang elastis. Ini merupakan
buah pemikiran Eugene Freyssinet tentang beton prategang yang pada dasarnya
adalah beton yang ditransformasikan dari bahan yang getas menjadi bahan yang
elastis dengan memberikan tekanan (desakan) terlebih dahulu (pratekan) pada beton.
Beton yang tidak mampu menahan tarik dan kuat memikul tekan, didisain
sedemikian rupa sehingga bahan yang getas dapat memikul tegangan tarik. Dari
konsep ini lahirlah kriteria “tidak ada tegangan tarik” pada beton pratekan. Sehingga
beton yang awalnya berupa bahan getas berubah menjadi bahan yang elastis. (Lin
dan Burns, 1996)
Atas dasar pandangan ini, beton divisualisasikan sebagai benda yang
mengalami dua sistem pembebanan, yaitu gaya internal prategang dan beban
eksternal, dengan tegangan tarik akibat gaya eksternal dilawan oleh tegangan tekan
akibat gaya prategang. Begitu juga retak pada beton akibat beban eksternal dicegah
2.3.2 Parsial prestress
Ketika beton prategang diperkenalkan pada tahun 1930-an, filosofi desainnya
adalah menemukan suatu jenis bahan baru dengan membuat beton berada dalam
keadaan tertekan sedemikian rupa, sehingga tidak ada bagian dari beton tersebut
yang tertarik, setidaknya pada tahap beban kerja. Pada akhir tahun 1940-an,
pengamatan atas struktur-struktur yang sebelumnya yang telah dibuat, menunjukan
adanya kekuatan ekstra pada elemen struktur tersebut. Oleh karena itu, sebagian
insinyur percaya bahwa tegangan tarik dengan jumlah tertentu dapat diijinkan dalam
desain. (Lin dan Burns, 1996)
Berbeda sekali dengan kriteria sebelumnya yang tidak memperkenankan
adanya tegangan tarik pada elemen struktur, yang disebut “prategang penuh” (full
prestressing). Metode desain yang mengijinkan adanya sejumlah tegangan tarik pada
elemen sturktur ini sering dinamakan “prategang sebagian” (partial prestressing).
Pada dasarnya tidak ada perbedaan mendasar antara kedua metode ini, karena
meskipun suatu struktur dapat didesain tanpa tegangan tarik pada tingkat beban
kerja, struktur tersebut akan mengalami tarikan pada kondisi beban berlebih
(overload). Dengan demikian, perbedaan diatas sekedar menyangkut tingkatan
tegangan tarik, yang akan lebih tinggi dan akan terjadi lebih sering untuk struktur
yang sama jika didesain sebagai prategang sebagian dibandingkan untuk prategang
penuh. (Lin dan Burns, 1996)
Suatu keuntungan penting dari prategang sebagian adalah berkurangnya
lendutan keatas (camber). Pengurangan lendutan keatas awal juga berarti
keseragaman lendutan keatas. Untuk memahami desain balok prategang sebagian,
kita harus mempelajari perilaku balok prategang sebagian tersebut dengan mengubah
jumlah tulangan serta jumlah prategang. Perbedaan perilaku balok bertulang-kuat
(overreinforced) dan bertulang-lemah (underreinforced) dapat dilihat dengan
membandingkan kurva-kurva dalam gambar 2.1. (Lin dan Burns, 1996)
Suatu penampang yang diberi tulangan-kuat (overreinforced), gambar 2.1,
akan hancur akibat tekanan pada beton sebelum tegangan tarik pada tulangannya
melampaui batas elastis. Jadi, deformasi baja dan lendutan-batas balok relatif masih
kecil, dan diperoleh “keruntuhan getas” (brittle failure). Jika diberi tulangan yang
sangat kuat, bahkan jika tulangan tersebut tidak diprategangkan, lendutan balok
sebelum runtuh masih akan terbatas. Bila balok diberi tulangan lemah
(underreinforced), maka lendutan akan bertambah secara sangat nyata, dan ini akan
memberikan peringatan yang cukup sebelum keruntuhan. (Lin dan Burns, 1996)
Gambar 2.2 Kurva Beban-Lendutan untuk Berbagai Tingkat Prategang (untuk Penampang Bertulang-Lemah Balok Terekat) (Lin dan Burns, 1996)
Keuntungan dari pratekan sebagian :
1. Pengendalian lendutan ke atas (camber) yang lebih baik.
2. Penghematan dalam jumlah baja prategang.
3. Penghematan dalam pekerjaan penarikan dan pengangkuran ujung.
4. Kemungkinan kekenyalan yang lebih besar pada struktur.
5. Pemanfaatan yang ekonomis dari baja lunak.
Kerugian dari pratekan sebagian :
1. Retak yang lebih dini.
2. Lendutan yang lebih besar akibat beban-berlebih (overload).
3. Tegangan baik utama yang lebih tinggi di bawah beton kerja.
4. Sedikt pengurangan dalam kekuatan lentur batas untuk jumlah baja yang
2.4 Tegangan Ijin Beton Prategang
Sebelum menetukan gaya awal pretegang yang terjadi harus terlebih dahulu
dihitung tegangan ijin pada balok prategang baik tegangan ijin beton maupun
tegangan ijin baja sesuai SNI 03-2847-2002 pasal 20.4. Adapun data perancangan
dan perhitungan tegangan ijin balok prategang adalah sebagai berikut :
Mutu beton (fc’)
1. Tegangan ijin beton sesaat setelah penyaluran gaya prategang (saat jacking).
- Tegangan Tekan : σ ci = 0,6 x fci (SNI 03-2847-2002 Ps 20.4.1 (1)) ……..(2.1)
- Tegangan Tarik : σ ti = 0,25 x (SNI 03-2847-2002 Ps 20.4.1 (2)) ….(2.2)
2. Tegangan ijin beton sesaat sesudah kehilangan prategang (saat beban bekerja).
- Tegangan Tekan : σ c = 0,45 x fc (SNI 03-2847-2002 Ps 20.4.2 (1))…….(2.3)
- Tegangan Tarik : σ t = 0,5 x (SNI 03-2847-2002 Ps 20.4.2 (3))……..(2.4)
2.5 Metode ACI
Metode ACI mendasarkan desainnya menggunakan peraturan ACI 318-2008
pasal 21.5.2.5 dimana tendon prestress diperbolehkan menerima 25% momen positif
atau negatif beban gempa yang terjadi. Dalam perancangan kali ini 25% momen
yang dibebankan pada tendon prestress adalah momen negatif dengan mengandalkan
2.6. Kehilangan Prategang
Adalah suatu kenyataan yang jelas bahwa gaya prategang awal yang
diberikan ke elemen beton mengalami proses reduksi yang progresif selama waktu
kurang lebih lima tahun. Dengan demikian, tahapan gaya prategang perlu ditentukan
pada setiap tahap pembebanan, dari tahap transfer gaya prategang ke beton, sampai
ke berbagai tahap prategang yang terjadi pada kondisi beban kerja, hingga mencapai
ultimit. Pada akhirnya, reduksi gaya prategang dapat dikelompokkan ke dalam dua
kategori: (Nawy, 2001)
1. Kehilangan elastis langsung, yang terjadi pada saat proses fabrikasi atau
konstruksi yaitu perpendekan beton secara elastis, kehilangan karena
pengangkuran, kehilangan karena gesekan dan kehilangan akibat kekangan
kolom.
2. Kehilangan yang bergantung pada waktu, seperti rangkak, susut dan kehilangan
yang diakibatkan karena efek temperatur dan relaksasi baja, yang semuanya
dapat ditentukan pada kondisi limit tegangan akibat beban kerja di dalam elemen
beton prategang.
Kehilangan prategangan ini perlu diprediksi dengan cermat agar prategangan
efektif dapat dihitung dengan tepat dan momen perlawanan yang direncanakan dapat
bekerja sesuai rencana.
2.6.1 Kehilangan Prategang Langsung
Kehilangan prategang langsung meliputi 4 hal, yaitu akibat perpendekan
kolom. Pada subbab ini keempat hal tersebut akan dibahas lebih mendetail. (Nawy,
2001)
1. Kehilangan Prategang Akibat Perpendekan Elastis
Akibat dari gaya jacking yang terjadi oleh tendon prategang maka beton akan
mengalami perpendekan elastis (karena tekanan gaya prestress yang cukup besar),
struktur balok akan memendek dan kabel juga akan ikut mengalami perpendekan
yang menyebabkan berkurangnya gaya prategang awal. Namun pada konstruksi
pasca tarik dengan satu tendon saja kehilangan akibat elastisitas beton sangatlah kecil
dan cenderung diabaikan, karena penarikan kabel hanya terjadi satu kali dan
kehilangan akibat tarikan tendon terakhir. Sehingga kehilangan prategang akibat
perpendekan elastis tidak perlu diperhitungkan.
2. Kehilangan Akibat Gesekan
Kehilangan prategang akibat gesekan terjadi di antara tendon dan
bahan-bahan disekelilingnya. Besarnya kehilangan ini merupakan fungsi dari alinyemen
tendon yang disebut sebagai efek kelengkungan dan deviasi lokal dalam alinyemen
yang disebut efek tendon yang biasa disebut sebagai efek wobble. Pada saat tendon
ditarik dengan gaya Fo di ujung pendongkrakan, maka tendon tersebut akan
mengalami gesekan sehingga tegangan pada tendon akan bervariasi dari bidang
pendongkrakan ke jarak L di sepanjang bentang. Sedangkan, efek wobble
mengakibatkan gesekan antara beton dan tendon baja yang dapat menyebabkan
kehilangan oleh ketidaksempuranaan dalam alinyemen di sepanjang tendon.
FpF = Fi x e-((µxα)+(KxL)) ………(2.5)
Δ fpF = Fi – FpF ………...(2.6)
Dimana:
FpF = gaya prategang setelah terjadi kehilangan akibat friction.
Δ fpF = besarnya gaya kehilangan prategang akibat friction
Fi = gaya prategang awal
α = sudut kelengkungan
µ = koefisien friction (gesekan)
K = koefisien wobble
L = panjang balok
Nilai sudut kelengkungan didapat dengan rumus sebagai berikut:\
α = ……….(2.7)
dengan f adalah panjang fokus tendon (dari cgs)
3. Kehilangan Akibat Slip Angkur
Kehilangan ini terjadi pada saat tendon ditarik sampai nilai gaya prategang
penuh kemudian dongkrak dilepas sehingga gaya prategang teralihkan ke angkur.
Pada metode pasca tarik setelah pemberian gaya prategang dan dongkrak dileas gaya
jacking dialihkan ke angkur. Perlengkapan dalam angkur yang mengalami tegangan
pada saat peralihan cenderung mengalami deformasi, sehingga tendon dapat
tergelincir sedikit. (Nawy, 2001)
Besarnya nilai kehilangan prategang akibat slip angkur dapat dihing dengan
perumusan berikut:
Δ fpA= 2fst x + x x ……….……….(2.9)
Dimana:
FpA = kehilangan gaya prategang akibat slib angkur
Aps = luas penampang tendon
Δ fpA = jumlah kehilangan tegangan prategang akibat angkur.
fst = besarnya tegangan ijin baja tendon minimum yang disyaratkan SNI
03-2002-2847.
α = sudut kelengkungan
µ = koefisien friction = 0,15 rad
K = koefisien wobble = 0,0016 /m = 0,0000016 /mm.
L = panjang balok
X = koefisien slip angkur berdasarkan bentuk profil tendon (digunakan profil
tendon parabola.
X = < ………..(2.10)
Dimana:
Eps = 180000 hingga 205000 Mpa diambil 200000 Mpa
4. Kehilangan Akibat Kekangan Kolom
Konstruksi beton prategang dengan desain cor monolit perlu diperhitungkan
kehilangan prategang akibat kekangan kolom. Hal ini dapat terjadi karena saat
dilakukan jacking, beton terkekang oleh kekakuan kolom. Gaya berlawanan yang
diberikan oleh kolom menahan reaksi perpendekan beton akibat gaya jacking yang
terjadi. Gaya perlawanan kolom ini menyebabkan berkurangnya gaya pratekan
karena sebagian gaya prategang digunakan untuk mengatasi perlawanan gaya kolom.
Semakin kaku komponen kolom yang mengekang balok prategang maka
semakin besar gaya prategang yang hilang untuk melawan kolom agar mengikuti
lenturan balok akibat gaya jacking. Hal ini juga meyebabkan semakin besarnya
momen yang diterima kolom sebagai kontribusi dari jacking yang terjadi, demikian
pula jika kolom didesain tidak kaku, maka semakin kecil gaya kehilangan prategang
balok akibat kekangan dan semakin kecil momen yang diterima kolom akibat gaya
jacking yang terjadi.
Δ FH = FpF + FpA + FpR ………(2.11)
Fi = F - Δ FH ………(2.12)
Dimana:
Fi = sisa gaya prategang
F = gaya prategang rencana
Δ FH = Total kehilangan prategang akibat proses kehilangan langsung
FpA = kehilangan gaya prategang akibat slib angkur
FpR = kehilangan gaya prategang akibat kekangan kolom
2.6.2 kehilangan Prategang Tidak Langsung
Kehilangan Prategang tidak langsung terjadi bergantung pada fungsi waktu.
Kehilangan ini terjadi dari susut (shringkage), rangkak (creep) dan relaksasi baja
(steel relaxation). Kehilangan prategang tidak langsung ini dibagi menjadi tahapan
dari sesaat setelah gaya prategang diberikan hingga umur rencana gedung. Umumnya
tahapan dibagi menjadi 3 hingga 4. Tahap pertama dihitung pada waktu sesaat
setelah penyaluran gaya prategang yang mana pada perancangan ini pemberian gaya
prategang dilakukan pada hari ke 7 setelah dilakukan proses curing (perawatan)
selama 5 hari, tahap kedua dihitung pada waktu 60 hari pada saat beban mati
tambahan dan beban hidup mulai bekerja, tahap terakhir dihitung saat akhir umur
rencana gedung (dalam hal ini gedung direncanakan memiliki umur rencana 10
tahun).
1. Kehilangan Prategang Akibat Relaksasi Baja
Tendon low relaxation mengalami kehilangan pada gaya prategang sebagai
akibat dari perpanjangan konstan terhadap waktu dengan kehilangan yang lebih kecil
dibanding dengan tendon strand relieved. Besarnya pengurangan gaya prategang
tidak hanya pada durasi gaya prategang yang ditahan, melainkan juga pada rasio
antara prategang awal dan tegangan leleh tendon prategang dimana fci adalah
tegangan prategang awal setelah jacking dan kehilangan langsung dengan nilai yang
sesuai dengan tegangan ijin tendon, sedangkan nilai fpy = 0,9 fpu untuk tendon low
baja sangat terjadi bahkan tidak terjadi kehilangan akibat relaksasi baja. Besarnya
nilai kehilangan akibat relaksasi baja dapat dihitung dengan perumusan sebagai
berikut:
Δ fpRe =fci − 0,55 ………(2.13)
(Nawy Edward, 2001 pers 3.8)
RET1 = Δ fpRe x Aps ………(2.14)
Dimana :
Δ fpRe = Tegangan yang hilang akibat relaksasi baja
RET1 = Kehilangan gaya prategang akibat relaksasi baja tahap 1
Aps = Luas penampang tendon prestress
fci = Tegangan prategang awal setelah jacking dan kehilangan langsung
fpy = Tegangan leleh tendon prategang
t1 = Waktu awal interval tahapan yang dihitung
t2 = Waktu akhir interval tahapan yang dihitung
2. Kehilangan Prategang Akibat Rangkak (creep)
Rangkak merupakan deformasi lateral akibat tegangan longitudinal yang
dapat menyebabkan hilangnya sebagian gaya prategang. Tegangan tersebut hanya
terjadi akibat beban yang terus – menerus selama riwayat pembebanan elemen beton
prategang, rangkak dianggap terjadi dengan beban mati permanen yang ditambakan
pada komponen struktur setelah dilakukan gaya jacking prategang. Karena pada
pelaksanaannya dilakukan grouting maka perhitungan rangkak didasarkan pada
Δ fpCe = nKre(fcs – fcsd) ………(2.15)
(Nawy Edward, 2001 pers 3.11b)
Dimana :
Δ fpCe = tegangan yang hilang akibat rangkak
n = Ratio modulus (perbandingan Es dan Ec)
Kcr = Koefisien creep 1,6 untuk post tension dan 2 untuk prestension
fcs = Tegangan beton pada daerah cgs akibat gaya prategang sesaat setelah transfer
fcsd = Tegangan beton di daerah cgs setelah beban mati tambahan bekerja
3. Kehilangan Prategang Akibat Susut (Shringkage)
Susut pada beton adalah regangan yang terjadi akibat penguapan air yang
bergantung pada kelembapan, ukuran bentuk penampang dan waktu. Kehilangan
prategang akibat susut untuk komponen struktur pasca tarik bernilai lebih kecil
karena sebagian susut telah terjadi sebelum pemberian gaya prategang. Besarnya
nilai kehilangan akibat susut dapat dilihat pada persamaan berikut: (Nawy, 2001)
Δ fPsh = 8,2 x 10-6 Ksh Es 1 − 0,0236 X (100 – RH) ……….(2.16)
Dimana :
Δ fPsh = Tegangan yang hilang akibat susut
Es = Modulus elastisitas batang prategang = 2 x 105
KSH = Koefisien susut sebesar 1 untuk pre tension dan sesui Tabel 4.1 untuk post
RH = Kelembaban udara relatif sekitar diambil 78%
= Ratio volume permukaan (dalam satuan sentimeter)
2.7. Kontrol Lendutan
Kemampuan layan struktur beton prategang ditinjau dari perilaku defleksi
komponen tersebut. Elemen beton prategang memiliki dimensi yang lebih langsing
dibanding beton bertulang biasa sehingga kontrol lendutan sangat diperlukan untuk
memenuhi batas layan yang disyaratkan.
2.7.1 Lendutan Ijin
Lendutan ijin pada komponen beton prategang harus memenuhi syarat Tabel
9 SNI 03-2847-2002 pasal 11.5 yaitu lendutan untuk konstruksi yang menahan atau
yang disatukan oleh komponen non struktural sebesar:
Δ ijin = ………...(2.17)
2.7.2 Lendutan Awal Saat Jacking
Pada saat awal transfer gaya prategang nilai lendutan yang terjadi adalah
sebagai berikut:
• Lendutan Akibat Saat Jacking
Tekanan tendon menyebabkan balok tertekuk keatas sehingga lendutan
mengarah ke bawah, sehingga lendutan akibat tendon dapat melawan lendutan
kebawah yang diakibatkan oleh beban dan berat sendiri. (Lin dan Burns, 1996)
Δ lPO = x ………...(2.18)
Dengan nilai P sebesar
Po = ………(2.19)
Dimana :
Fo = Gaya Awal Prategang (sebelum kehilangan, N)
f = Fokus tendon (eksentrisitas dari cgs, mm)
l = Panjang efektif (dalam mm)
Ec = Modulus elastisitas beton (MPa)
I = Inertia balok (dalam mm)
• Lendutan Akibat Eksentrisitas Tepi Balok
Eksentrisitas tepi balok terhadap cgc pada letak tendon menyebabkan
lendutan ke awah bawah (karena menyebabkan momen negatif). Besarnya
lendutan ini dipengaruhi oleh momen akibat gaya dan eksentrisitas tepi balok
terhadap cgc. Besarnya nilai lendutan yang diakibatkan oleh eksentrisitas adalah :
(Lin dan Burns, 1996)
Fo = Gaya awal prategang (sebelum kehilangan, N)
e = eksentrisitas terhadap cgc pada tepi balok
l = Panjang efektif (dalam mm)
Ec = Modulus elastisitas beton (MPa)
I = Inertia balok (dalam mm)
• Lendutan akibat berat sendiri
Berat sendiri balok menyebabkan balok tertekuk ke bawah sehingga yang
terjadi berupa lendutan ke bawah. Besarnya lendutan ke bawah akibat berat
sendiri adalah: (Lin dan Burns, 1996)
Δ lqO = x ………...(2.21)
Dimana :
qo = Berat sendiri saat jacking (N/mm)
f = Fokus tendon (eksentrisitas dari cgs, mm)
l = Panjang efektif (dalam mm)
Ec = Modulus elastisitas beton (MPa)
I = Inertia balok (dalam mm)
2.7.3 Lendutan Total
Sehingga total lendutan pada saat beban – beban telah bekerja dengan gaya
prategang efektif (dengan mengasumsikan tanda (-) adalah lendutan ke atas karena
berlawanan arah dengan arah terjadinya lendutan) sebesar: (Lin dan Burns, 1996)
Δ lA = Δ lPO + Δ lme + Δ lqO ………...(2.23)
2.8 Momen Retak
Perhitungan kuat ultimate dari balok prategang harus memenuhi persyratan
SNI 03-2847-2002 pasal 20.8.3 mengenai jumlah total baja tulangan non prategang
dan prategang harus cukup untuk dapat menghasilkan beban terfaktor paling sedikit
1,2 beban retak yang terjadi berdasarkan nilai modulus retak sebesar 0,7 ,
sehingga didapat ϕM n ≥ 1,2 MCr dengan nilai ϕ = 0,85.
Perhitungan momen retak dan momen batas akan dibahas menjadi dua yaitu
untuk tumpuan dan lapangan. Karena kebutuhan tulangan lunak pada daerah
tumpuan lebih dibutuhkan mengingat kontrol tarik pada daerah tumpuan tidak
memenuhi syarat. Selain itu pada serat atas sedangkan pada lapangan tegangan tarik
terjadi pada serat bawah.
Momen retak adalah momen yang menghasilkan retak – retak rambut
pertama pada balok prategang dihitung dengan teori elastis, dengan menganggap
bahwa retak mulai terjadi saat tarik pada serat beton mencapai modulus
merupakan ukuran permulaan retak rambut pertama yang sering kali terlihat oleh
mata secara langsung. Nilai momen retak dapat dihitung sebagai berikut (dengan
asumsi tanda (+) adalah serat yang mengalami tekan):
• Untuk serah bawah mengalami tarik (pada daerah lapangan) maka:
- Fr = + x Yb - ………..………...…..(2.24)
MCr = + + ………...………(2.25)
MCr = ( ) + ( ) + ( ) ………..…………...………(2.26)
Dimana :
Fi = Gaya prategang efektif
KT = Kern atas = 16,86 cm
e = eksentrisitas dari cgc
fr = modulus keruntuhan = 0,7
• Serat bawah mengalami tekan (pada daerah tumpuan), maka
- fr = + x YA - ………...………..(2.27)
MCr = + + ………..…...…………(2.28)
MCr = ( ) + ( ) + ( ) …….………..…………(2.29)
Fi = Gaya prategang efektif
KB = Kern bawah
e = eksentrisitas dari cgc
fr = modulus keruntuhan
2.9 Gaya Gempa
2.9.1 Perhitungan periode alami struktur (T)
Untuk perhitungan empiris peiode alami struktur berdasarkan UBC-97 pasal
1630.2.2 Metode A. Data data gedung sebagai berikut:
- Tinggi gedung (hn)
- Koefisien untuk bangunan beton bertulang (Ct)
Sehingga periode alami struktur
T= Ct x (hn)3/4 ………...(2.30)
Kontrol pembatas T sesuai pasal 5.6 SNI 03-1726-2002
maka nilai T = ξ x n ………..(2.31)
Dimana:
- Jumlah tingkat gedung yang ditinjau (n)
2.9.2 Penentuan faktor r espon gempa (C1)
Berdasarkan respon spectrum gempa rencana, SNI 03-1726-2002. Penentuan nilai C1
dapat dilihat dibawah ini:
Faktor respon gempa (C1) = ,
Gambar 2.3 Respons Spektrum Gempa Rencana
2.9.3 Penentuan faktor keutamaan (I)
Penentuan faktor keutamaan bisa dilihat dari tabel faktor keutamaan (I) dalam SNI
03-1726-2002. Dalam hal ini bangunan digunakan sebagai gedung perkantoran,
Tabel 2.1 Faktor keutamaan gedung
(*dikutip dari SNI 03-1726-2002)
2.9.4 Penentuan parameter daktalitas struktur (R)
Berdasarkan tabel parameter daktalitas struktur (R) dalam SNI 03-1728-2002.
SRPMK dengan taraf kinerja : elastis penuh.
2.9.5 Perhitungan gaya geser gempa (V)
Untuk menghitung gaya geser gempa pada portal diperlukan pedoman rumus dari
SNI 03-1726-2002 pasal 7.1.3
V = x Wt ………(2.32)
Dimana:
- C1 = nilai faktor respons gempa
- I = faktor keutamaan gedung
- Wt = berat total bangunan
Faktor Keutamaan ( I) Gedung umum seperti penghunian, perniagaan dan
perkantoran.
Monumen dan bangunan monumental. 1 Gedung penting pasca gempa seperti rumah sakit, instalasi
air bersih, pembangkit tenaga listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan darurat, fasilitas radio dan televisi.
Gedung untuk menyimpan bahan berbahaya seperti gas, produk minyak bumi, asam dan bahan beracun.
Cerobong, tangki di atas menara. 1,25 1,5 Kategori gedung atau bangunan
1
Untuk menghitung distribusi gaya gesernya berdasarkan peraturan SNI
03-1726-2002 pasal 6.1.3
V Z W
Z W
F n
i
∑
= =1 1 1
1 1
(Pasal 6.1.3 SNI 03-1726-2002) ...(2.33)
Dimana:
- Fi = gaya geser horisontal akibat gempa pada lantai ke – i
- zi = ketinggian lantai pada tingkat ke – i
- Wi = berat lantai pada tingkat ke – i termasuk beban hidup
- V = gaya geser nominal
2.9.6 Eksentrisitas pusat massa terhadap pusat rotasi lantai
Menurut SNI 03-1726-2002 dinyatakan bahwa harus ada penunjauan eksentrisitas
rencana ad antara pusat massa dan pusat rotasi lantai.
• Untuk e < e < 0,3b
Ed = 1,5 e + 0,05 b atau ed = e – 0,05 b
• Untuk e > 0,3 b
Ed = 1,33 e + 0,1 b atau ed = 1,17 e – 0,1 b
Dimana :
b = ukuran horisontal terbesar denah struktur pada lantai gendung yang ditinjau,
tegak lurus arah pembebanan gempa.
2.9.7 Analisa waktu getar struktur dengan cara T-Rayleigh
Pada tahap selanjutnya adalah melakukan analisa waktu getar struktur,
dengan cara membandingkan waktu getar yang telah didapatkan dengan cara empiris
dan waktu getar dengan cara T- Rayleigh. Rumusnya sebagai berikut:
di
= (Pasal 6.2.1 SNI 03-1726-2002) ..……….(2.34)
Dimana:
- Fi = gaya geser horisontal akibat gempa pada lantai ke-i
- Wi = berat lantai tingkat ke-I termasuk beban hidup
- di = simpangan horisontal lantai ke-i
2.10 Momen nominal (momen batas)
Desain penampang balok prategang dengan tendon dan tulangan terpasang
harus memenuhi kontrol momen batas yang diisyaratkan oleh SNI 03-2847-2002
pasal 20.7.4 terhadap batas ultimitnya. Selain terhadap kekuatan momen nominal
yang dihasilkan balok juga harus dikontrol terhadap retak untuk keperluan
2.11 SRPMK (Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus)
Yaitu sistim rangka ruang dalam mana komponen-komponen struktur dan
joint-jointnya menahan gaya yang bekerja melalui aksi lentur, geser dan aksial,
sistim ini pada dasarmnya memiliki daktilitas penuh dan wajib digunakan di zona
resiko gempa tinggi yaitu di zona 5 hingga zona 6. Struktur harus direncanakan
menggunakan sistim penahan beban lateral yang memenuhi persyaratan detailing
yang khusus dan mempunyai daktilitas penuh.
2.12 Hubungan Balok Kolom (HBK)
Karena suatu sambungan merupakan penghubung yang paling lemah di
dalam sistem struktural keseluruhan, maka sambungan tersebut harus didesain
dengan kuat nominal yang lebih besar daripada elemen-elemen yang disambungnya.
Dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Gaya – gaya pada tulangan longitudinal balok dimuka hubungan balok kolom
harus ditentukan dengan mengganggap bahwa tegangan pada tulangan tarik
lentur adalah 1,25 fy. (SNI 03-2847-2002 pasal 23.5.1)
2. Kuat hubungan balok kolom harus direncanakan menggunakan faktor reduksi
kekuatan sesuai dengan SNI 03-2847-2002 pasal 11.3.
3. Tulangan longitudinal yang berhenti pada suatu kolom harus diteruskan hingga
03-2847-2002 pasal 23.5.4 untuk tulangan tarik dan SNI 03-2847-2002 pasal
Metode penelitian merupakan suatu rancangan yang berisi langkah-langkah
dalam melakukan penelitian Tugas Akhir sehingga dapat terencana dengan baik agar
tujuan dan arah permasalahan tidak menyimpang. Metodologi penelitian berisi
tentang bagaimana mendapatkan data-data yang diperlukan, perhitungan yang
diperlukan dalam pengolahan data dan menarik kesimpulan serta saran-saran yang
dapat diberikan dari hasil yang diperoleh.
Pada bab ketiga ini akan dijelaskan secara detail langkah-langkah yang akan
dilakukan selama penelitian dilaksanakan sehingga didapatkan hasil akhir penelitian
yang diharapkan.
3.1 Pengumpulan Data
Berikut data-data bangunan yang telah ada dan akan diperhitungkan yaitu :
a. Nama Gedung : Gedung Perkantoran BPR Jatim
b. Lokasi : Jl. Ciliwung no 11 Surabaya
c. Fungsi Bangunan : Perkantoran
d. Jumlah Lantai : Enam Lantai
e. Ketinggian Lantai : 4 meter dan 3 meter
f. Tinggi Bangunan : 23,5 meter
g. Struktur Utama : Struktur beton bertulang ( gambar dilampirkan )
h. Data Bangunan :
2. Mutu beton (fc) = 35 MPa
3. Berat beton = 2400 kg/m3
3.2 Gambar Bangunan
Gambar 3.1 Tampak Depan Gedung BPR Bank Jatim
3.3. Langkah Kerja
Dalam melakukan analisa rangka beton prategang pada struktur gedung
1. Studi literature
2. Pengumpulan data sekunder, berupa data gambar struktur dan data
pembebanan yang direncanakan untuk memikul struktur tersebut.
3. Pemodelan struktur sesuai gambar dari gedung yang akan ditinjau.
4. Analisa data, berupa analisa struktur rangka beton terhadap beban-beban
yang dipikul dengan menggunakan software SAP 2000 ataupun ETABS.
5. Cek analisa kebutuhan tulangan yang dibutuhkan dengan kemampuan
yang dipikul struktur dengan menggunakan software SAP 2000 ataupun
ETABS.
6. Kontrol atau cek efisiensi dimensi kolom, balok dan tulangannya.
Apabila tidak mampu menahan beban maka akan dilakukan perubahan
dimensi balik dan kolom.
7. Setelah dilakukan perbaikan dengan normalisasi, maka dilakukan
pemodelan terhadap tulangan tersebut dan diaplikasikan dalam gambar
STUDY LITERATUR MULAI
PENGUMPULAN DATA
- Data gambar struktur dan beban-beban
PERENCANAAN AWAL
- Desain gambar pada software
- Memasukan data-data yang akan dianalisa
ANALISA STRUKTUR DENGAN SOFTWARE
- Beban mati - Beban hidup - Beban gempa TIDAK
GAMBAR TULANGAN
- Balok prategang - Hubungan balok kolom
SELESAI
DESAIN TULANGAN GESER DAN LENTUR : - Balok prategang
- Kolom beton bertulang - Hubungan balok kolom
YA
PERENCANAAN STRUKTUR
4.1 Data Dan Perancangan
4.1.1 Pembebanan Tributari
Berdasarkan PPIUG 1983 tabel 2.1 :
Pelat Atap
Beban mati :
1. Berat pelat: 0,1 x 2400 kg/m³ = 2400 N/m²
2. Plafond + penggantung = 180 N/m²
3. Aspal (t = 1 cm): 1 x 14 kg/m² = 140 N/m²
4. AC dan perpipaan = 400 N/m² +
DL = 3120 N/m²
Beban hidup lantai LL = 1000 N/m²
Pelat Lantai
Beban mati :
1. Berat pelat: 0,12 x 2400 kg/m³ = 2880 N/m²
2. Plafond + penggantung = 180 N/m²
3. Spesi (t= 1 cm): 1 x 21 kg/m² = 210 N/m²
4. Penutup lantai (t = 1 cm) 1 x 24 kg/m² = 240 N/m²
5. AC dan perpipaan = 400 N/m² +
DL = 3910 N/m²
lx = 5 m
ly = 6 m
4.1.1.1 Beban Equivalen Pelat Atap
1. Balok Prategang (40/60)
lx = 2,5 m
4. Balok prategang (40/60)
lx = 4,5 m
5. Balok prategang (40/60)
lx = 5 m
ly = 6 m
4.1.1.2 Beban Equivalen Pelat Lantai
1. Balok Prategang (40/60)
lx = 2,5 m
4. Balok prategang (40/60)
lx = 4,5 m
5. Balok prategang (40/60)
Gambar 4.16 Pot. Melintang Tributar i Akibat Beban Mati
qd = 1774,89 kgm qd = 1044 kgm qd = 1044 kgm
qd = 2158,56 kgm qd = 1749 kgm qd = 1749 kgm
qd = 2158,56 kgm qd = 1749 kgm qd = 1749 kgm
qd = 2158,56 kgm qd = 1749 kgm qd = 1749 kgm
qd = 2158,56 kgm qd = 1749 kgm qd = 1749 kgm
qd = 2158,56 kgm qd = 1749 kgm qd = 1749 kgm
ql = 384,26 kgm ql = 300 kgm ql = 300 kgm
ql = 960,64 kgm ql = 750 kgm ql = 750 kgm
ql = 960,64 kgm ql = 750 kgm ql = 750 kgm
ql = 960,64 kgm ql = 750 kgm ql = 750 kgm
ql = 960,64 kgm ql = 750 kgm ql = 750 kgm
ql = 960,64 kgm ql = 750 kgm ql = 750 kgm
Gambar 4.20 Pot. Melintang Beban Ekivalen Tr ibutari Akibat Beban Mati
Gambar 4.22 Potongan Memanjang Beban Ekivalen Tributar i Akibat Beban
Gambar 4.23 Potongan Memanjang Beban Ekivalen Tributar i Akibat Beban
4.1.2.1 Berat Gedung
Kombinasi pembebanan yang digunakan sebagai berikut :
1. 1,4 DL
2. 1,2 DL + 1,6 LL
3. 1,2 DL + 1 LL ± 1 EX
4. 1,2 DL + 1 LL ± 1 EY
5. 0,9 DL ± 1 EX
6. 0,9 DL ± 1 EY
bangunan sebagai berikut:
Tabel 4.3 Berat lantai bangunan
Lantai Massa Komulatif Massa Per Pantai Berat (kg) Atap 32390 32390 317745.9 Lantai 6 71630 39240 384944.4 Lantai 5 113300 41670 408782.7 Lantai 4 155300 42000 412020 Lantai 3 197300 42000 412020 Lantai 2 240100 42800 419868
total 2355381
Sehingga Wt = 2355381 kg = 2355,381 T
4.1.2.2 Perhitungan Periode Alami Struktur (T)
Untuk perhitungan empiris peiode alami struktur berdasarkan UBC-97 pasal 1630.2.2
Metode A. Data data gedung sebagai berikut:
- Tinggi gedung (hn) = 23,45 m
- Koefisien untuk bangunan beton bertulang (Ct) = 0,0731 (struktur rangka pemikul
momen beton)
Sehingga periode alami struktur
T= Ct x (hn)3/4 = 0,0731 x 23,453/4 = 0,78 detik
Kontrol pembatas T sesuai pasal 5.6 SNI 03-1726-2002
maka nilai T = ξ x n = 0,15 x 7 = 1,05 detik > 0,78 detik ……….ok
Dimana:
- Jumlah tingkat gedung yang ditinjau ditambah atap (n) = 7
Berdasarkan respon spectrum gempa rencana, SNI 03-1726-2002. Penentuan nilai C1
dapat dilihat dibawah ini:
1. Wilayah Gempa (WG) = 6
2. Periode alami struktur = 1,05 detik
3. Jenis tanah = lunak
4. Faktor respon gempa (C1) = ,
= ,
, = 0,905
Penentuan faktor keutamaan bisa dilihat dari tabel faktor keutamaan (I) dalam
SNI 03-1726-2002. Dalam hal ini bangunan digunakan sebagai gedung perkantoran,
sehingga faktor keutamaan (I) = 1.
4.1.2.5 Penentuan Parameter Daktalitas Struktur (R)
Berdasarkan tabel parameter daktalitas struktur (R) dalam SNI 03-1728-2002.
SRPMK dengan taraf kinerja : elastis penuh.
Elastis penuh, µ = 5,3 ; R = 8,5
4.1.2.6 Perhitungan Geya Geser Gempa (V)
Untuk menghitung gaya geser gempa pada portal diperlukan pedoman rumus dari
SNI 03-1726-2002 pasal 7.1.3
V = x Wt ……… (4.1)
V = ,
, x 2355,381 ton = 250,78 ton
Untuk menghitung distribusi gaya gesernya berdasarkan peraturan SNI 03-1726-2002
pasal 6.1.3
Tabel 4.4 Distribusi beban gempa dengan V = 250,78 ton
Tinggi Berat F x 30%
(m) (ton) (ton)
Atap 23.45 317.746 7451.14 61.29 18.39 Lantai 6 19.45 384.944 7487.17 61.58 18.47 Lantai 5 15.45 408.783 6315.69 51.95 15.58 Lantai 4 11.45 412.02 4717.63 38.80 11.64 Lantai 3 7.45 412.02 3069.55 25.25 7.57 Lantai 2 3.45 419.868 1448.54 11.91 3.57
Gambar 4.26 Penyalur an Gaya Gempa Pada Portal
Fi adalah gaya horizontal akibat distribusi gaya geser dasar yang bekerja pada pusat
massa tiap lantai gedung. Dengan menggunakan bantuan softwere ETABS 9.7.1,
beban gempa dapat lebih mudah dimodelkan.
4.1.2.7 Eksentrisitas Pusat Massa Terhadap Pusat Rotasi Lantai
Menurut SNI 03-1726-2002 pasal 5.4.3 dinyatakan bahwa harus ada peninjauan
eksentrisitas rencana ed antara pusat massa dan pusat rotasi lantai.
• Untuk 0 < e ≤ 0,3b
Ed = 1,5 e + 0,05 b atau ed = e – 0,05 b
• Untuk e > 0,3 b
Ed = 1,33 e + 0,1 b atau ed = 1,17 e – 0,1 b
Dimana :
b = ukuran horizontal terbesar denah struktur pada lantai gendung yang ditinjau,
tegak lurus arah pembebanan gempa.
saat perhitungan berat lantai sebagai berikut.
Tabel 4.5 Perhitungan eksentrisitas rencana ed pada arah x
Tabel 4.6 Perhitungan eksentrisitas rencana ed pada arah y
4.1.2.8 Analisa Waktu Getar Str uktur Dengan Car a T-Rayleigh
Pada tahap selanjutnya adalah melakukan analisa waktu getar struktur, dengan
cara membandingkan waktu getar yang telah didapatkan dengan cara empiris dan
waktu getar dengan cara T- Rayleigh. Rumusnya sebagai berikut:
Pusat kekakuan Pusat massa b ed x
(arah x) (arah x) (arah y)
atap 19.988 19.897 0.09 15 0.89 0.659 0.89
6 20.005 19.69 0.31 15 1.22 0.435 1.22
5 20.041 19.699 0.34 15 1.26 0.408 1.26
4 20.092 19.888 0.20 15 1.06 0.546 1.06
3 20.193 19.82 0.37 15 1.31 0.377 1.31
2 20.228 20.463 0.23 15 1.10 0.515 1.10
(1.5* e)+(0.05* b) e - 0.05* b
Lant ai e
Pusat kekakuan Pusat massa b ed y
(arah y) (arah y) (arah x)
atap 7.146 7.419 0.273 40 2.41 1.73 2.41
6 7.122 7.412 0.29 40 2.44 1.71 2.44
5 7.127 7.352 0.225 40 2.34 1.78 2.34
4 7.137 7.386 0.249 40 2.37 1.75 2.37
3 7.161 7.372 0.211 40 2.32 1.79 2.32
2 7.195 7.718 0.523 40 2.78 1.48 2.78
(1.5* e)+(0.05* b) e - 0.05* b
Tabel 4.8 T-Rayleight arah y
Sehingga nilai T-rayleigh bisa dihitung sebagai berikut:
T rayleigh = 6,3
981 x 480509,28
6854398,46
= 0,75 detik
Maka bila dihitung dengan rumus T rayleigh akan menghasilkan 0,75 detik. Dan sesuai
dengan SNI 03-1726-2002 pasal 6.2.2, T rayleigh (0,75) tidak boleh menyimpang 20%
dari T empiris (0,78) …..(ok)
Hal ini akan menghasilkan koefisien gempa dasar C = 0,905 sesuai. Yang berarti
menghasilkan nilai yang sama dengan cara perhitungan empiris. Maka dengan
demikian distribusi akhir gaya geser horizontal akibat gempa sepanjang tinggi gedung
sudah benar.
Lantai Wi (kg) dix (cm) dix2 Fix (kg) Wi.dix2 Fix.dix atap 317745.9 2.5866 6.69 61286.1 2125878.80 158522.70 STORY 6 384944.4 2.2992 5.29 61582.5 2034939.53 141590.38 STORY 5 408782.7 1.9302 3.73 51947 1522990.28 100268.08 STORY 4 412020 1.4333 2.05 38802.8 846432.83 55616.07 STORY 3 412020 0.8454 0.71 25247.2 294471.17 21344.02 STORY 2 419868 0.2659 0.07 11914.4 29685.85 3168.03
Σ 6854398.46 480509.28
Lantai Wi (kg) diy (cm) diy2 Fiy (kg) Wi.diy2 Fiy.diy atap 317745.9 0 0.00 61286.1 0.00 0.00 STORY 6 384944.4 0 0.00 61582.5 0.00 0.00 STORY 5 408782.7 0 0.00 51947 0.00 0.00 STORY 4 412020 0 0.00 38802.8 0.00 0.00 STORY 3 412020 0 0.00 25247.2 0.00 0.00 STORY 2 419868 0 0.00 11914.4 0.00 0.00
Sesuai SNI 03y-1726-2002 pasal 8 tentang kinerja struktur, maka struktur
gedung harus memenuhi persyaratan kinerja batas layan dan batas ultimit.
1. Kinerja Batas Layan (Δ s)
Kinerja batas layan struktur gedung ditentukan oleh simpangan antara tingkat
akibat pengaruh gempa rencana yang memenuhi persyaratan, Δ s simpangan antar
tingkat tidak boleh lebih besar dari:
Δ s = ,
, atau 30mm
Dimana hi adalah tinggi tingkat yang ditinjau.
Δ s = ,
, 4000
= 21,82 mm
Sehingga kinerja batas layan Δ s antar tingkat tidak boleh melebihi 21,62 mm. untuk
menghitung kinerja batas layan antar tingkat, dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.9 Analisa Δ s terhadap arah X
drift Δ s Syarat drift Δ s antar tingkat (mm) (mm)
atap 4 25.8659 2.87 21,82 Ok
6 4 22.9921 3.69 21,82 Ok
5 4 19.3017 4.97 21,82 Ok
4 4 14.3331 5.88 21,82 Ok
3 4 8.4535 5.79 21,82 Ok
2 4 2.6588 2.66 21,82 Ok
Δ s (mm) Ket.
2. Kinerja Batas Ultimit (Δ m)
Kinerja batas ultimit (Δ m) ditentkan oleh simpangan dan simpangan antar
tingkat maksimum struktur gedung akibat pengaruh gempa rencana dalam kondisi
struktur gedung di ambang keruntuhan. Dimaksudkan untuk membatasi kemungkinan
terjadinya keruntuhan struktur gedung yang dapat menimbulkan korban jiwa dan
benturan antar gedung. Menurut SNI 03-1726-2002 Ps. 8.2.1 simpangan dan
simpangan antar-tingkat ini harus dihitung dari simpangan struktur gedung akibat
pembebanan gempa nominal, dikalikan dengan suatu faktor pengali (ζ);
Δ m = ζ x Δ s
dimana ζ = 0,7 x R (untuk struktur gedung beraturan)
Menurut SNI 03-1726-2002 Ps. 8.2.2, untuk memenuhi persyaratan, kinerja batas
ultimit Δ m tidak boleh lebih besar dari :
Δ m = 0,02.hi hi = 4000 mm
= 0,02 x 4000
= 80 mm
Contoh perhitungan :
Δ s = 20.2653 - 16.8362 = 3.43 mm
drift Δ s Syarat drift Δ s antar tingkat (mm) (mm)
atap 4 30.3395 3.36 21,82 Ok
6 4 26.9796 4.50 21,82 Ok
5 4 22.4785 6.15 21,82 Ok
4 4 16.3304 6.71 21,82 Ok
3 4 9.6165 6.79 21,82 Ok
2 4 2.8263 2.83 21,82 Ok
Tabel 4.11 Analisa Δ m akibat gempa arah x
Tabel 4.12 Analisa Δ m akibat gempa arah y
drift Δ s drift Δ m Syarat drift Δ m
antar tingkat (mm) antar tingkat (mm) (mm)
atap 4 2.87 17.10 80 Ok
6 4 3.69 21.96 80 Ok
5 4 4.97 29.56 80 Ok
4 4 5.88 34.98 80 Ok
3 4 5.79 34.48 80 Ok
2 4 2.66 15.82 80 Ok
Lantai hi (m) Ket.
drift Δ s drift Δ m Syarat drift Δ m
antar tingkat (mm) antar tingkat (mm) (mm)
atap 4 3.36 19.99 80 Ok
6 4 4.50 26.78 80 Ok
5 4 6.15 36.58 80 Ok
4 4 6.71 39.95 80 Ok
3 4 6.79 40.40 80 Ok
2 4 2.83 16.82 80 Ok
4.2.1 Tegangan Ijin Beton Prategang
Sebelum menetukan gaya awal pretegang yang terjadi harus terlebih dahulu
dihitung tegangan ijin pada balok prategang baik tegangan ijin beton maupun
tegangan ijin baja sesuai SNI 03-2847-2002 pasal 20.4. Adapun data perancangan
dan perhitungan tegangan ijin balok prategang adalah sebagai berikut :
Mutu beton (fc’) = 37 Mpa
fci (curing 14 hari) = 0,88 x 37 = 32,56 Mpa
1. Tegangan ijin beton sesaat setelah penyaluran gaya prategang (saat jacking).
- Menurut SNI 03-2847-2002 Ps 20.4.1 (1)
Tegangan Tekan : σ ci = 0,6 x fci ……… (4.2)
σ ci = 0,6 x 32,56 = 19,536 Mpa
- Menurut SNI 03-2847-2002 Ps 20.4.1 (2)
Tegangan Tarik : σ ti = 0,25 x ………... (4.3)
σ ti = 0,25 x 32,56 = 1,427 Mpa
2. Tegangan ijin beton sesaat sesudah kehilangan prategang (saat beban bekerja).
- Menurut SNI 03-2847-2002 Ps 20.4.2 (1)
Tegangan Tekan : σ c = 0,45 x fc ………..………….... (4.4)
σ c = 0,45 x 37 = 16,65 Mpa
- Menurut SNI 03-2847-2002 Ps 20.4.2 (3)
Tegangan Tarik : σ t = 0,5 x ………...….... (4.5)