i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas karunia-Nya
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah IX dapat diterbitkan.
Seminar dengan tema “Clean Technology untuk Pengelolaan Limbah dan
Lingkungan” telah dilaksanakan pada tanggal 5 Oktober 2011 di Gedung Graha
Widya Bhakti, Kawasan PUSPIPTEK Serpong – Tangerang.
Seminar ini diselenggarakan sebagai media sosialisasi hasil penelitian di
bidang pengelolaan limbah radioaktif dan non radioaktif. Seminar Nasional
Teknologi Pengelolaan Limbah IX dijadikan sebagai media tukar menukar
informasi dan pengalaman, ajang diskusi ilmiah, peningkatan kemitraan di antara
peneliti dengan praktisi, penimbul dengan pengelola limbah, mempertajam visi
pembuat kebijakan dan pengambil keputusan, serta peningkatan kesadaran
kolektif terhadap pentingnya pengelolaan limbah yang handal.
Prosiding ini memuat karya tulis dari berbagai hasil penelitian mengenai
pengelolaan limbah radioaktif, industri dan lingkungan. Makalah dikelompokkan
menjadi lima kelompok, yaitu Kelompok Teknologi Proses, Keselamatan dan
Lingkungan,
Manajemen
dan
Informasi
Limbah,
Dekontaminasi
dan
Dekomisioning, serta Kelompok Penyimpanan dan Transportasi.
Makalah-makalah tersebut berasal dari para peneliti di lingkungan BATAN, BAPETEN,
Universitas Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta dan Institut Pertanian
Bogor.
Semoga penerbitan prosiding ini dapat digunakan sebagai data sekunder
dalam pengembangan penelitian di masa akan datang, serta dijadikan bahan acuan
dalam pengelolaan limbah. Akhir kata kepada semua pihak yang telah membantu,
kami ucapkan terima kasih.
Kepala
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif
Badan Tenaga Nuklir Nasional
ii
SUSUNAN EDITOR
Ketua
:
Ir. Herlan Martono, MMSc.
- BATAN
Anggota
:
1. Prof. Ir. Zainus Salimin, M.Si.
- BATAN
2.
Drs. Gunandjar, SU
- BATAN
3.
Dr. Syahrir
- BATAN
4.
Dr. Budi Setiawan
- BATAN
5.
Heni Suseno, M.Si.
- BATAN
6.
Ir. Sucipta, M.Si
- BATAN
7.
Dr. Yus Rusdian Ahmad
- BAPETEN
8.
Dr. Thamzil Las
- UIN Syarif
Hidayatullah
9.
Ir. Soesaptri Oediyani, M.Eng - FT UNTIRTA
10.
Dra. Erlina Yustanti, M.Si
- FT UNTIRTA
iii
SUSUNAN PANITIA
Pengarah
Pembina
:
Dr. Djarot S. Wisnubroto - BATAN
Penanggung Jawab
:
Drs. R. Heru Umbara – BATAN
Penyelenggara
Ketua
:
Hendra Adhi Pratama, M.Si - BATAN
Wakil Ketua
:
Irwan Santoso, ST., M.Si. - BATAN
Sekretaris
:
Lestari Widowati, SE. - BATAN
Anggota
:
Drs. Heru Santosa, MT. - BATAN
Ir. Suryanto - BATAN
Mas’udhi, SST. - BATAN
Gustri Nurliati, S.Si. - BATAN
Jaka Rachmadetin, S.Si. - BATAN
Budi Arisanto, A.Md. - BATAN
Suparno, A.Md. - BATAN
Mardini - BATAN
Imam Sasmito - BATAN
M. Cecep Cepi Hikmat, SST. - BATAN
Sukismanto Widodo, S. Sos. - BATAN
Adi Wijayanto, A.Md. - BATAN
Staf Pendukung
:
Suhartono, A.Md. - BATAN
Muh. Muhyidin Farid, SST. - BATAN
Sariyadi - BATAN
Yuli Purwanto, A.Md. - BATAN
Aji Suprayoga, A.Md. - BATAN
Rusfarmi Idrus - BATAN
iv
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
...
iSUSUNAN PANITIA
...
iiDAFTAR ISI
...
iii1
Urgensi Amandemen Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun
2002 Tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif ...
Nanang Triagung Edi Hermawan
1
2
Kajian Tentang NSS 9/08 dan INFCIRC/225 Rev 4/99 Terkait
Penentuan
Tingkat
Keamanan
Alam
Pengangkutan
Zat
Radioaktif ...
Togap Marpaung
13
3
Analisis Perhitungan Transmutasi Limbah Aktinida Minor: Kajian
Awal Small-Scale Accelerator Driven System Berbasis Reaktor
Kartini
...
Edi Triyono B.S, Syarip
21
4
Penggunaan Computer Code Origen 2 untuk Estimasi
Perhitungan Radionuklida pada Komponen Reaktor Riset Triga
Mark II ...
Mulyono Daryoko, Nurokhim
33
5
Optimalisasi Pendinginan Bahan Bakar Nuklir Bekas Reaktor
Serbaguna Siwabessy di Kolam Penyimpanan Sementara ...
Kuat Heriyanto, Nurokhim
39
6
Peran Sampel Lingkungan Sebagai Alat Bukti dalam Penegakan
Hukum Terkait Masalah Lingkungan Hidup
...
Lilin Indrayani
51
7
Pengolahan Limbah Radioaktif Terpadu dari PLTN ...
Husen Zamroni, Pungky Ayu Artiani
57
8
Sistem Kedaruratan Nuklir Irlandia ...
Akhmad Khusyairi
67
9
Dasar-Dasar
Penentuan
Tindakan
Keamanan
dalam
Pengangkutan Zat Radioaktif ...
Togap Marpaung
75
10
Pengelolaan Sumber Radioaktif Terbungkus Bekas dari Industri di
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif ...
Bung Tomo, Irwan Santoso, Suhartono
v
11
Perubahan Komposisi Bahan Pembentuk Gelas Terhadap Karakteristik
Gelas Limbah ...
Aisyah
97
12
Imobilisasi Limbah Sludge Radioaktif dari Dekomisioning Fasilitas
Pemurnian Asam Fosfat Menggunakan Bahan Matriks Synroc ...
Gunandjar
111
13
Glass Frit
dan Polimer untuk Solidifikasi Limbah Cair Aktivitas
Rendah Skala Industri
...
Herlan Martono
125
14
Aktivitas Bromelain pada Limbah padat Pengalengan Nenas dan
Pengaruh Semipurifikasi ...
Charlena, Aisjah Girinda, Rifan
133
15
Pengolahan Limbah Cair dari Kegiatan Praktikum Analisis Spot Test
dengan Koagulasi Menggunakan Polialuminium Klorida ...
Eti Rohaeti, Trie Nenny Febriyanti, Irmanida Batubara
141
16
Denitrifikasi Limbah Radioaktif Cair yang Mengandung Asam Nitrat
dengan Proses Biooksidasi ...
Zainus Salimin, Jaka Rachmadetin
149
17
Imobilisasi Limbah Sludge Radioaktif Hasil Dekomisioning Fasilitas
PAF-PKG Menggunakan Bahan Matriks Synroc dengan Proses
Sintering
...
Endang Nuraeni, Gunandjar
159
18
Imobilisasi Limbah Sludge Radioaktif dari Dekomisioning Fasilitas
Pemurnian Asam Fosfat dengan Matriks Campuran Bitumen dan
Pasir ...
Mirawaty, Gunandjar
171
19
Potensi Yeast pada Pengurangan Konsentrasi Uranium dalam Limbah
Organik TBP-Kerosin yang Mengandung Uranium ...
Defi Oriza Satife, Anna Rahmawati, M. Yazid
183
20
Imobilisasi Alumino Siliko Phospat Jenuh Uranium Menggunakan
Polimer Epoksi ...
Yuli Purwanto, Aisyah
193
21
Karakterisasi Bakteri Toleran Uranium dalam Limbah Uranium Fase
Organik TBP-Kerosin ...
Mirna Windiya Jayanti, Bernadetta Octavia, Moch Yazid
vi
22
Konsep Pengelolaan Limbah Radioaktif Program Dekomisioning
Reaktor Riset ...
Sutoto, Suwardiyono
211
23
Inventarisasi Paket Limbah Olahan untuk Penyimpanan Akhir
dalam Disposal Demo Plant ...
Heru Sriwahyuni
217
24
Pengembangan Metode Drastic untuk Analisis Tingkat Kerentanan
(Vulnerability) Pencemaran Air Tanah Calon Lokasi Landfill
Tenorm
...
Moekhamad Alfiyan
225
25
Pemilihan Tapak Potensial untuk Penyimpanan Lestari Limbah
Radioaktif di Pulau Jawa dan Sekitarnya ...
Sucipta, Budi Setiawan, Dadang Suganda, Arimuladi Setyo Purnomo
233
26
Sorpsi Radionuklida Cs-137 Oleh Batulempung Formasi Daerah
Subang Sebagai Wilayah Potensial untuk Penyimpanan Lestari Limbah
Radioaktif
...
Budi Setiawan
251
27
Konsep Desain Fasilitas Demo-Plant Penyimpanan Limbah
Radioaktif Dekat Permukaan (Near Surface disposal) di Kawasan
Nuklir Serpong
...
Dewi Susilowati, Sucipta, Dadang Suganda
257
28
Karakterisasi Kapang Toleran Uranium pada Limbah Cair Tributil
Fosfat (TBP) – Kerosin yang Mengandung Uranium
...
Dwi Slamet SR, Anna Rahmawati, M. Yazid
265
29
Potensi Ancaman Emisi Udara Sistem Kelistrikan Sumatera
...
Edwaren Liun
273
30
Penyerapan Limbah Uranium dalam Rafinat Menggunakan Resin
Penukar Anion dengan Pengkompleks Karbonat dan Imobilisasi
Menggunakan Polimer Poliester Tak Jenuh ...
Wati
283
31
Model Sebaran Panas Air Kanal Pendingin Instalasi Pembangkit
Listrik Ke Badan Air Laut ...
Chevy Cahyana
293
32
Radioekologi Kelautan di Semenanjung Muria : Studi distribusi dan
Prilaku Radionuklida Ra-226, Ra-228 dan K-40 di Perairan
Pesisir
...
Wahyu Retno Prihatiningsih, Sumi Hudiyono PWS
vii
33
Rona Awal Lingkungan Calon Tapak PLTN Studi Kasus Muntok, Kab.
Bangka Barat
...
Lilin Indrayani
311
34
Pengolahan Limbah Boron-10 dari Operasi PLTN Tipe PWR dengan
Teknik Solidifikasi Hyper Cement
...
Subiarto, Cahyo Hari Utomo
1
URGENSI AMANDEMEN
TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 2002
TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF
Nanang Triagung Edi Hermawan
Staf Direktorat Pengaturan Pengawasan Fasilitas Radiasi dan Zat Radioaktif - BAPETEN
ABSTRAK
URGENSI AMANDEMEN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF. Pemanfaatan zat radioaktif di Indonesia semakin berkembang pesat, meliputi seluruh wilayah provinsi. Kondisi ini menyebabkan kebutuhan pengangkutan zat radioaktif antar wilayah, maupun dari dan ke luar negeri juga mengalami peningkatan. Frekuensi pengangkutan zat radioaktif yang tinggi harus diatur secara komprehensif untuk menjamin keselamatan terhadap personil pengangkut, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 memiliki beberapa kelemahan yang menyebabkan kemampulaksanaan peraturan tersebut tidak optimal. Di sisi lain, isu tentang penerapan aspek keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif perlu dilakukan dengan mempertimbangkan dinamika kondisi keamanan saat ini, baik di tingkat nasional, regional, maupun global. Amandemen terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 memiliki tingkat kemendesakan yang tinggi. Amandemen harus mencakup pengaturan tentang keamanan, serta melengkapi, merinci, dan mempertegas pengaturan teknis. Dengan demikian peraturan pemerintah yang baru akan lebih komprehensif, jelas, tegas, dan memiliki tingkat kemampulaksanaan yang tinggi.
Kata kunci: amandemen, peraturan pemerintah, pengangkutan, zat radioaktif.
ABSTRACT
AMENDMENT URGENCY OF GOVERNMENT REGULATION NUMBER 26 YEAR 2002 ABOUT THE SAFETY TRANSPORTATION OF RADIOACTIVE MATERIAL. The practice of
radioactive material in Indonesia grows quickly, in all province regency. These condition caused transportation of radioactive material inter region, or internationally grows up. High frequency of radioactive material transportation has to be arranged by comprehensive regulation to reach the safety of transportation personnel, member of public, and environment. Government Regulation Number 26 Year 2002 has some leaks that makes the regulation implementation doesn’t optimum. The other issue is implementation security aspect on radioactive material transportation. It needs to be done by considering security condition in national, regional, and global level. Amendment of Government Regulation Number 26 Year 2002 has high urgency. The amendment should cover security issue, complete, detail, and enforce of technical regulations. By the amendment, new government regulation will comprehensive, clear, and has high implementation.
2
PENDAHULUAN
Pemanfaatan tenaga nuklir dewasa ini telah merambah berbagai bidang kegiatan, di antaranya penelitian dan pengembangan, pendidikan, industri, kesehatan, pertanian, dan energi. Hingga saat ini penggunaan zat radioaktif di bidang kesehatan telah mencapai 7.199 izin dengan 2.192 instansi pengguna. Di bidang industri pemanfaatan radiasi dilakukan oleh 662 perusahaan dengan jumlah izin sebanyak 8.352 Khusus untuk kegiatan riset maupun operasional reaktor riset terdapat 79 izin untuk 14 badan hukum [1]. Aplikasi penggunaan zat radioaktif dengan sekian ribu izin tersebut menyebar hampir merata di 33 provinsi, dan diperkirakan akan terus mengalami peningkatan kuantitas dan kualitasnya di masa depan.
Sesuai dengan perkembangan dan peningkatan penggunaan zat radioaktif yang meluas di setiap wilayah sebagaimana tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa kebutuhan untuk pengangkutan zat radioaktif dari satu lokasi menuju ke lokasi yang lain dengan menggunakan moda angkutan umum juga terus meningkat. Moda angkutan yang dimaksud meliputi moda angkutan darat yang terdiri atas kendaraan jalan raya dan kereta, moda angkutan air berupa kapal, serta moda angkutan pesawat udara. Karena pengangkutan zat radioaktif melintasi ranah publik, baik yang bersifat domestik ataupun lintas negara, maka harus diberlakukan peraturan perundang-undangan yang memadai untuk menjamin keselamatan kepada pekerja, anggota masyarakat, maupun kelestarian lingkungan hidup.
Sejarah pengaturan terhadap pengangkutan zat radioaktif diawali dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1975 tentang Ketentuan Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif. Peraturan ini merupakan payung hukum yang dibuat berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom. Seiring dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran [2], maka peraturan pemerintah sebagaimana tersebut di atas diamandemen dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif [3]. Sebagaimana judulnya, peraturan tersebut mengatur pelaksanaan
pengangkutan zat radioaktif dari sisi keselamatan terhadap bahaya radiasi (safety
aspect).
Tragedi 11 September 2001 yang menimpa WTC menyebabkan perhatian dunia terhadap aspek keamanan meningkat. Demikian halnya dalam pemanfaatan zat radioaktif, aspek keamanan menjadi hal yang penting dan tidak dapat dikesampingkan lagi. Aspek keamanan (security) menjadi sejajar prioritasnya sebagaimana keselamatan (safety) dan seifgard (safeguard). Aspek keamanan tidak hanya diterapkan dalam penggunaan zat radioaktif pada fasilitas atau instalasi pemanfaatan saja, namun juga menjadi sangat penting pada saat pengangkutan zat radioaktif yang langsung melalui wilayah publik dimana potensi ancaman berupa sabotase, teror, serta perampokan yang signifikan.
Di samping perlunya pengaturan tentang aspek keamanan selama pengangkutan zat radioaktif, beberapa pengaturan dalam PP No. 26 tahun 2002 dipandang memiliki kelemahan sehingga kurang mampu diterapkan sesuai dengan kebutuhan hukum di lapangan. Beberapa hal terkait dengan desain, pembuatan, pengujian, dan penerbitan sertifikat terhadap zat radioaktif dan bungkusan perlu diatur lebih rinci dan tuntas sehingga peraturan lebih operasional. Dengan demikian amandemen terhadap peraturan pengangkutan zat radiokatif tersebut memiliki kemendesakan dan urgensi untuk segera dilaksanakan.
Pembahasan dalam makalah ini hanya mencakup urgensi pengamandemenan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif dari sudut pandang perkembangan konsep pengaturan di tingkat internasional dan kebutuhan dibentuknya sistem peraturan perundang-undangan yang lebih komprehensif, jelas, serta memiliki kemampulaksanaan di tingkat lapangan.
Adapun tujuan penulisan paparan mengenai urgensi amandemen terhadap Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2002 diantaranya adalah:
a. menelaah pengaturan tentang keselamatan pengangkutan zat radioaktif yang saat ini berlaku;
3 b. menelaah kelemahan dan kekurangan
sistem pengaturan PP No. 26 Tahun 2002;
c. menelaah perkembangan pengaturan pengangkutan dari aspek keselamatan dan keamanan dari berbagai referensi internasional;
d. memberikan gambaran pokok-pokok pengaturan yang harus diperbarui atau ditambahkan;
e. memberikan wahana kepada setiap pemangku kepentingan dalam pengangkutan zat radioaktif untuk saling berkomunikasi dan memberikan masukan agar terwujud peraturan yang lebih komprehensif dan implementatif di lapangan.
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penyusunan makalah mengenai amandemen terhadap Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif ini, dilakukan dengan metode diskriptif melalui studi pustaka dengan tahapan langkah meliputi pengumpulan literatur dan informasi pendukung, analisa, diskusi dan pembahasan, serta penyusunan laporan. Lingkup pembahasan dititikberatkan mengenai urgensi diperlukannya amandemen peraturan tersebut, dan muatan-muatan baru yang perlu diatur.
PERKEMBANGAN SISTEM INTERNASIONAL
Dunia internasional telah merintis pengembangan publikasi untuk keselamatan pengangkutan barang berbahaya sejak 1953 dengan dibentuknya United Nations Committe of Experts oleh United Nations
Economic and Social Council (Dewan PBB yang menangani masalah Ekonomi dan Sosial). Pada tahun 1959 komite tersebut menjalin kerja sama dengan International
Atomic Energy Agency (IAEA) untuk
merintis perumusan publikasi tentang keselamatan pengangkutan zat radioaktif. Hasilnya adalah diterbitkannya publikasi tentang ketentuan keselamatan dalam pengangkutan zat radioaktif pada tahun 1961. Menindaklanjuti perkembangan teknologi dan kebutuhan operasional di lapangan, IAEA terus menerus mengevaluasi, mengembangkan, untuk kemudian melakukan revisi-revisi penyempurnaan yang diperlukan. Hingga
saat ini telah dilakukan enam kali revisi, masing-masing versi tahun 1967, 1973, 1985, 1996, 2005, dan yang terakhir 2009
(Regulation for the Safe Transport of Radioactive Material) [4].
Dalam hal pengangkutan bahan berbahaya,
International Civil Aviation Organization
(ICAO), International Maritime
Organization (IMO), dan United Nations
Economic Commission for Europe (UNECE)
menyusun publikasi the United Nations
Model Regulations for the Transport of
Dangerous Goods, yang lebih dikenal
sebagai The Model Regulations [5]. Menyadari urgensi peningkatan ancaman keamanan pasca peristiwa 11 September 2001, komite ahli PBB mulai mengintroduksi tindakan untuk meningkatkan keamanan dalam kegiatan pengangkutan barang berbahaya dan barang berbahaya berisiko tinggi pada revisi ke dua belas the Model Regulations yang dicantumkan pada bagian 1.4.
Khusus untuk pengangkutan bahan nuklir, IAEA telah menetapkan pengamanan bahan nuklir dengan mengintroduksi sistem proteksi fisik sejak 1979 dalam the
Convention on the Physical Protection of
Nuclear Material [6], Untuk mendukung
pelaksanaan konvensi tersebut, dikeluarkanlah publikasi the Physical Protection of Nuclear Material and Nuclear Facilities [7] dan panduan teknis dalam
Guidence and Considerations for the Implementation of INFCIRC/225/rev.4 [8].
Secara khusus dalam penerapan aspek keamanan untuk kegiatan pengangkutan zat radioaktif selain bahan nuklir, IAEA telah merumuskan Security in
Transport of Radioactive Material yang diterbitkan September 2008[9]. Fokus utama rekomendasi ini adalah dampak radiologik dan bahaya yang ditimbulkan oleh pemindahan secara tidak sah, sabotase, pencurian, perampokan, dan tindakan melawan hukum yang lain, selama kegiatan pengangkutan zat radioaktif.
POKOK PENGATURAN
Ruang lingkup Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif meliputi perizinan untuk pelaksanaan pengangkutan, kewajiban dan tanggung jawab para pihak yang terlibat dalam pengangkutan, persyaratan mengenai
4
pembungkusan, program proteksi radiasi, pelatihan bagi personil yang terlibat, program jaminan kualitas, jenis dan batasan zat radioaktif yang diangkut, pengaturan tentang pengangkutan zat radioaktif yang memiliki sifat bahaya lain, serta penanggulangan keadaan darurat selama pengangkutan. Isi PP No. 26 Tahun 2002 bab per bab selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 1 [3].
Tabel 1. Pokok-pokok pengaturan
PP No.26 Tahun 2002
BAB POKOK PENGATURAN
I Ketentuan Umum
II Ruang Lingkup dan Tujuan III Perizinan
IV Kewajiban dan Tanggung Jawab V Pembungkusan
VI Program Proteksi Radiasi VII Pelatihan
VIII Program Jaminan Kualitas IX Jenis dan Aktivitas Zat Radioaktif
X Zat Radioaktif dengan Sifat Bahaya Lain
XI Penanggulangan Keadaan Darurat XII Sanksi Administratif
XIII Ketentuan Pidana XIV Ketentuan Penutup
Ketentuan umum berisi tentang definisi peristilahan yang dipergunakan dalam batang tubuh peraturan pemerintah ini. Ruang lingkup merupakan pembatasan keberlakuan peraturan beserta pengecualian-pengecualian terhadap pemindahan zat radioaktif yang tidak diatur dengan peraturan ini. Adapun tujuan pengaturan memberikan uraian tentang maksud disusun dan diberlakukannya peraturan pemerintah tentang pengangkutan untuk menjamin tercapainya keselamatan bagi pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup.
Bab tentang perizinan yang mempersyaratkan bahwa pihak pengirim dan penerima dalam pengangkutan zat radioaktif haruslah pihak yang memiliki izin pemanfaatan zat radioaktif. Di samping memiliki izin pemanfaatan, pada setiap pelaksanaan pengangangkutan zat radioaktif harus diajukan persetujuan pengiriman dari BAPETEN.
Bab ke empat merumuskan aturan tentang kewajiban dan tanggung jawab pengirim, pengangkut, dan penerima.
Pengangkut wajib menyiapkan bungkusan yang akan dikirim, diantaranya dengan memilih bungkusan yang sesuai dengan jenis zat radioaktif yang akan diangkut, memberikan tanda, label ataupun plakat. Khusus dalam pengangkutan bahan nuklir, pengirim harus melakukan sistem proteksi fisik. Pengirim juga memiliki kewajiban untuk memberikan petunjuk tertulis kepada pengangkut dalam hal bungkusan tidak mungkin diserahkan kepada penerima. Demikian halnya petunjuk mengenai penyimpanan bungkusan di tempat transit. Sedangkan kewajiban pengangkut yang diatur adalah tanggung jawab atas keselamatan bungkusan selama pengiriman, serta sistem pelaporan apabila terjadi kerusakan bungkusan atau kehilangan bungkusan saat pengiriman. Adapun pihak penerima memiliki kewajiban untuk memeriksa keutuhan bungkusan pada saat menerimanya, dan memastikan tidak ada kerusakan bungkusan yang mengakibatkan kebocoran atau kontaminasi. Apabila terjadi kebocoran atau kontaminasi, maka penerima harus menginformasikannya kepada pengirim dan BAPETEN.
Bab tentang pembungkusan mengatur kesesuaian isi dan tipe bungkusan yang dipergunakan. Bungkusan harus lolos pengujian dan mendapatkan sertifikat dari laboratorium yang terakreditasi. Bungkusan yang berasal dari luar negeri harus menyertakan sertifikat bungkusan yang kemudian divalidasi oleh BAPETEN. Setiap bungkusan tidak boleh berisi barang lain, dan apabila zat radioaktif memiliki sifat bahaya lain, maka sifat tersebut harus mendapatkan perhatian dan ditangani sesuai dengan ketentuan mengenai penanganan bahan berbahaya dan beracun yang berlaku. Setiap bungkusan yang akan diangkut harus disertai dengan dokumen pengangkutan, diberi tanda, label atau plakat yang jelas. Bab mengenai program proteksi radiasi mengharuskan pengangkutan memenuhi aspek proteksi radiasi. Khusus untuk bahan nuklir harus ditambahkan persyaratan proteksi fisik sesuai dengan golongannya. Bungkusan harus ditempatkan pada jarak aman dari personil pengangkut dan terhadap personil yang dimaksud dilakukan pemantauan dosis radiasi sesuai dengan kondisi pengangkutan. Pemeriksaan bungkusan oleh instansi lain seperti Kepolisian atau Bea Cukai hanya dapat dilakukan apabila dihadiri oleh petugas
5 proteksi radiasi, serta bungkusan yang telah
diperiksa harus dikembalikan seperti kondisi semula untuk diangkut kembali. dikembalikan seperti kondisi semula untuk diangkut kembali.
Personil yang terlibat rutin dalam pengangkutan zat radioaktif harus mendapatkan pelatihan terkait, hal ini menjadi tanggung jawab pengirim. Pengirim harus membuat program jaminan mutu pengangkutan yang akan dilaksanakan oleh pengirim dalam persiapan pengangkutan, dan oleh pengangkut pada saat pengiriman berlangsung. Program jaminan mutu dimaksud harus mendapat persetujuan dari BAPETEN.
Dalam hal terjadi kecelakaan radiasi pada saat pengiriman, pengangkut wajib memberitahukannya kepada pengirim, penerima, BAPETEN, dan instansi lain yang terkait. Apabila terjadi kebocoran atau kontaminasi, pengangkut harus melakukan isolasi dan memberikan tanda-tanda pengamanan lokasi atau isolasi. Pengirim atau penerima harus mengirimkan petugas proteksi radiasi untuk melakukan tindakan pemulihan dan dekontaminasi.
Pengaturan selanjutnya mengenai sanksi administratif sebagai konsekuensi terhadap pelanggaran aturan-aturan yang telah
ditetapkan dalam peraturan pemerintah ini. Sanksi pidana dirujuk kepada Undang-undang No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran sebagai peraturan induk yang mengamanatkan peraturan ini.
PEMBAHASAN
Kelemahan PP No. 26 Tahun 2002
Bila dicermati norma pengaturan dalam PP No. 26 Tahun 2002 ini, terdapat beberapa aturan yang diamanatkan untuk diatur lebih teknis di tingkat Peraturan Kepala BAPETEN. Amanat pengaturan tersebut dapat dilihat dalam Tabel 2.
Semenjak PP No.26 Tahun 2002 diundangkan hingga saat ini, peraturan teknis setingkat Peraturan Kepala BAPETEN tentang pengangkutan zat radioaktif yang berlaku hanyalah Perka No.IV/Ka.BAPETEN/1999 tentang Ketentuan Keselamatan untuk Pengangkutan Zat Radioaktif [10] dan Perka No.05P/Ka.BAPETEN/2000 tentang Pedoman Persyaratan untuk Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif [11], sedangkan sebelas amanat pengaturan sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 2 belum satupun yang diterbitkan. Dengan demikian PP No.26 Tahun 2002 sudah pasti kurang operasional.
Tabel 2. Amanat pengaturan dalam PP No. 26 Tahun 2002
No. Pasal Pengamanatan
1. Pasal 6 ayat (3) Persetujuan pengiriman
2. Pasal 12 ayat (6) Penanganan kebocoran bungkusan
3. Pasal 14 ayat (5) Tipe, kategori, pengujian, dan sertifikat bungkusan 4. Pasal 16 ayat (3) Validasi sertifikat bungkusan yang berasal dari luar negeri 5. Pasal 19 ayat (3) Dokumen, tanda, label dan plakat
6. Pasal 22 ayat (2) Proteksi fisik untuk pengangkutan bahan nuklir 7. Pasal 23 ayat (2) Jarak aman antara bungkusan dan personil pengangkut 8. Pasal 24 ayat (2) Pemantauan dosis terhadap personil pengangkut 9. Pasal 27 ayat (3) Pelatihan personil pengangkut
10. Pasal 28 ayat (4) Program Jaminan Kualitas Pengangkutan 11. Pasal 29 ayat (2) Jenis dan aktivitas zat radioaktif
6
Kemudian dengan mencermati kembali substansi atau pokok-pokok pengaturan dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2002, maka ditemukan beberapa kekurangan atau kelemahan pengaturan baik secara substansi yuridis maupun teknis yang berpengaruh pada kemampulaksanaan dan kepatuhan terhadap peraturan dimaksud. Kekurangan atau kelemahan tersebut meliputi, antara lain [12]:
a. Lingkup pengaturan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 belum mencakup seluruh proses atau elemen yang menjadi bagian dari pelaksanaan kegiatan pengangkutan zat radioaktif. Dengan kata lain ketentuan dalam Peraturan Pemerintah tersebut tidak mampu memberikan arah pengaturan dan solusi hukum untuk kegiatan desain, manufaktur, pengujian zat radioaktif dan bungkusan;
b. Dalam tinjauan subjek hukum, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 tidak secara tuntas memberikan pengaturan. Pengirim, penerima, dan pengangkut yang diatur merupakan subjek hukum yang melaksanakan kegiatan pengangkutan di tahap lanjut atau akhir, sedangkan pada tahap awal seperti desainer atau pabrikan yang merupakan badan hukum terpisah atau tersendiri dalam skema pengangkutan zat radioaktif tidak disentuh;
c. Pengaturan mengenai persetujuan pengiriman yang perlu peninjauan kembali secara praktik, kesesuaiannya dengan praktik internasional, dan kemanfaatan hukumnya;
d. Pengaturan mengenai instrumen yuridis yang diperlukan dalam pengangkutan zat radioaktif tidak mampu laksana. Pengaturan dimaksud meliputi persyaratan dan tata cara sertifikasi zat radioaktif dan bungkusan, validasi, permohonan dan penerbitan persetujuan terhadap zat radioaktif, bungkusan, program proteksi radiasi yang diperlukan dalam pelaksanaan pengangkutan sesuai dengan standar internasional;
e. Pengaturan yang tidak tuntas mengenai persyaratan keselamatan radiasi yang diperlukan untuk pengangkutan zat
radioaktif, seperti misalnya pembungkus dan bungkusan, program proteksi radiasi, penentuan Indeks Angkutan atau Indeks Keselamatan Kekritisan, pemantauan dosis, nilai batas aktivitas (activity limit) atau penentuan dan penggunaan nilai A1 dan A2, pemasangan plakat, dan pelabelan; Perlunya menata dan mengatur kembali tanggung jawab subjek hukum, pelatihan personil yang melaksanakan pengangkutan zat radioaktif, program jaminan mutu, penanggulangan keadaan darurat dalam pengangkutan zat radioaktif; dan
f. Tidak terdapatnya pengaturan mengenai
compliance assurance program yang
jelas dalam pengangkutan zat radioaktif. Memperhatikan dan menimbang kelemahan yang terdapat dalam PP No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif sebagaimana telah diuraikan di atas, maka urgensi kebutuhan untuk mengamandemen peraturan pemerintah tersebut memiliki prioritas kemendesakan yang tinggi.
Tujuan Amandemen
Adapun tujuan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah sebagai amandemen
terhadap PP No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif, di antaranya untuk [12]:
1. Menyempurnakan dan memperkuat landasan hukum yang memiliki kemampulaksanaan, kedayagunaan, dan kehasilgunaan yang optimum terhadap kegiatan pengangkutan zat radioaktif; 2. Menjamin kepastian hukum yang lebih
komprehensif terhadap terwujudnya keselamatan pekerja, anggota masyarakat, serta perlindungan kelestarian lingkungan hidup dari potensi timbulnya bahaya radiasi selama pengangkutan zat radioaktif; dan
3. Memberikan landasan hukum yang jelas dan pasti terhadap internalisasi dan penerapan aspek keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif pada skala nasional.
7
Pertimbangan Amandemen
Sesuai dengan tujuan dilakukannya amandemen terhadap PP No. 26 Tahun 2002 sebagaimana telah diuraikan di atas, maka ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam mensinergikan dan menyelaraskan pola serta substansi terkait dengan aspek keselamatan dan keamanan, diantaranya adalah [12]:
1. Harmonisasi dengan rekomendasi internasional;
2. Kebutuhan hukum pemegang izin yang bertindak sebagai pengirim atau penerima dalam memenuhi dan mematuhi ketentuan, serta pihak pemerintah selaku pelaksana tugas pengawasan pengangkutan zat radioaktif; 3. Kesesuaian dan keselarasan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan pengangkutan bahan berbahaya serta pengangkutan umum di tingkat nasional;
interaksi atau keterkaitan implementasi antara persyaratan keselamatan dan keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif.
Pokok Amandemen a. Judul
Mempertimbangkan bahwa salah satu urgensi dilakukannya amandemen terhadap PP No. 26 Tahun 2002 adalah kebutuhan pengaturan dari tinjauan sistem keamanan dalam pengangkutan, maka judul peraturan yang melingkupi aspek keselamatan dan keamanan yaitu Keselamatan dan Keamanan dalam Pengangkutan Zat Radioaktif.
b. Subyek Hukum
Subyek hukum utama dalam kegiatan pengangkutan zat radioaktif adalah pengirim dan penerima. Kedua subyek ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2008 tentang Perizinan Pemanfaatan Sumber Radiasi Pengion dan Bahan Nuklir memiliki kedudukan hukum sebagai pemegang izin [13]. Dengan kedudukan demikian, pengirim dan penerima dipandang memiliki kemampuan yang memadai untuk memahami dan menerapkan persyaratan keselamatan dan keamanan, melaksanakan segala tanggung jawab dan kewajiban hukum dalam setiap tahapan kegiatan pengangkutan zat radioaktif. Dengan
demikian penyiapan bungkusan, pelaksanaan pengiriman, penanganan bungkusan pada saat transit, hingga serah terima kepada pengirim dapat dilaksanakan dengan baik.
Subyek hukum lain adalah pengangkut, dan pendesain, pembuat, atau penguji zat radioaktif maupun bungkusan. Pengirim harus memastikan bahwa pengangkut mengerti dan paham mengenai muatan barang yang diangkutnya secara umum, meliputi gambaran zat radioaktif, sifat dan potensi bahaya, serta tindakan-tindakan yang harus dilakukan dalam hal terjadi situasi kedaruratan. Adapun pengaturan yang lebih jelas dan terinci harus diterapkan kepada orang atau badan yang mendesain, membuat, atau menguji zat radioaktif dan bungkusan yang akan diangkut. Pengaturan dimaksud terkait dengan penerbitan sertifikat persetujuan desain produk, jenis uji yang harus dilakukan dan sertifikat hasil uji oleh lembaga yang terakreditasi.
c. Tujuan Pengaturan
Tujuan pengaturan mencakup dua aspek, yaitu keselamatan dan keamanan, dirumuskan sebagai berikut:
1. menjamin keselamatan dan memberikan perlindungan terhadap pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup dari bahaya radiasi dalam pengangkutan zat radioaktif; dan
2. mencegah upaya pencurian, tindakan sabotase, pemindahan tidak sah, dan perbuatan melawan hukum yang dapat mengakibatkan timbulnya bahaya radiasi terhadap pekerja, anggota masyarakat dan lingkungan hidup akibat tindakan ancaman keamanan.
batasan substansi hukum yang diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan pokok pengaturan dalam PP No. 26 Tahun 2002 sebagaimana telah ditampilkan dalam Tabel 1, lingkup pengaturan teknis dalam amandemen peraturan ini meliputi:
1. Persyaratan keselamatan dalam pengangkutan zat radioaktif;
2. Persyaratan keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif;
3. Kedaruratan dalam pengangkutan zat radioaktif; serta
4. Penatalaksanaan pengangkutan zat radioaktif.
8
Selain merinci ketentuan-ketentuan yang diatur secara normatif pasal per pasal, ada beberapa zat radioaktif yang pengaturan pengangkutannya dikecualikan atau tidak diatur dengan peraturan pemerintah hasil amandemen. Beberapa hal yang tidak diatur tersebut, meliputi:
1. Zat radioaktif yang merupakan bagian tak terpisahkan dari peralatan pengangkutan;
2. Zat radioaktif yang dipindahkan dalam satu kawasan yang tidak melalui sarana jalan atau rel umum; 3. Zat radioaktif yang terpasang atau
melekat pada orang atau binatang untuk keperluan diagnosis atau pengobatan;
4. Zat radioaktif yang terkandung dalam produk konsumen yang distribusi dan peredarannya telah mendapatkan izin pengalihan dari BAPETEN;
5. Bahan galian alam dan bijih yang mengandung zat radioaktif alam (Naturally Occuring Radioactive
Materials, NORM);
6. Benda padat yang terkontaminasi zat radioaktif di permukaannya dimana tingkat kontaminasinya tidak melebihi batas yang telah ditetapkan BAPETEN.
d. Persyaratan Keselamatan
Pokok-pokok pikiran yang akan diatur dalam bab ini, diantaranya klasifikasi zat radioaktif, tipe bungkusan, desain, pembuatan, serta pengujian dan sertifikasi terhadap zat radioaktif dan bungkusan, proteksi radiasi, nilai batas aktivitas, persiapan pengiriman, penanganan bungkusan selama pengiriman, pengiriman dengan pengaturan khusus, serta penanganan kondisional tertentu.
Zat radioaktif yang menjadi isi bungkusan diklasifikasikan dengan mempertimbangkan tipe, jenis, serta aktivitas radionuklida, sifat fisika, kimia dan potensi bahaya, tingkat kontaminasi, dan kemampuan dapat belah. Di samping pertimbangan tersebut, klasifikasi zat radioaktif juga menekankan kepada kebutuhan teknis penanganan pada saat pelaksanaan persiapan, pemuatan, pengiriman, pembongkaran, hingga penyerahan kepada penerima. Dari pertimbangan tersebut, dan sesuai dengan rekomendasi internasional, maka zat
radioaktif yang akan diangkut diklasifikasikan menjadi [4]:
1. Zat radioaktif aktivitas jenis rendah
(low specific activity material);
2. Zat radioaktif bentuk khusus (special
form of radioactive material);
3. Zat radioaktif daya sebar rendah
(low dispersible of radioactive
material);
4. Benda terkontaminasi permukaan
(surface contaminated object);
5. Bahan fisil (fissile material); dan 6. Uranium Hexaflorida (UF6).
Bungkusan merupakan satu kesatuan antara isi bungkusan dan pembungkus. Bungkusan dibuat dengan memenuhi beberapa kriteria atau fungsi, seperti sebagai bahan penyerap (absorbent materials), kerangka (spacing structure), peralatan perawatan dan perbaikan (service
equipment), peredam goncangan (shock
absorbent), penanganan dan pengikat
(handling and tie-down capability),
pengisolasi panas (thermal insulation), pengungkung (containment), serta penyungkup (confinement). Selanjutnya berdasarkan nilai batas aktivitas dan pembatasan zat radioaktif, tipe bungkusan dibedakan menjadi [4]:
1. Bungkusan dikecualikan; 2. Bungkusan industri; 3. Bungkusan Tipe A;
4. Bungkusan Tipe B(U) dan B(M); dan
5. Bungkusan Tipe C.
Zat radioaktif dan bungkusan harus didesain, dibuat dan diuji berdasarkan standar yang berlaku. Untuk zat radioaktif bentuk khusus, zat radioaktif daya sebar rendah, bungkusan yang berisi lebih dari 0,1 kg UF6, bungkusan berisi bahan nuklir, bungkusan tipe B dan C, harus mendapatkan sertifikat persetujuan desain dari BAPETEN. Selanjutnya zat radioaktif dan bungkusan harus diuji oleh lembaga uji yang terakreditasi, dibuktikan dengan sertifikat hasil uji sesuai dengan standar yang berlaku. Khusus untuk zat radioaktif atau bungkusan yang berasal dari luar negeri, sertifikat zat radioaktif atau bungkusan dari negara asal akan divalidasi oleh BAPETEN.
Dalam pengangkutan zat radioaktif, pengirim harus melaksanakan prinsip proteksi radiasi dengan menerapkan limitasi dan optimisasi. Limitasi dosis radiasi dibedakan atas potensi dosis radiasi yang
9 dapat diterima oleh personil pengangkut
dalam satu tahun, meliputi kurang dari 1 mSv, antara 1 – 6 mSv, dan lebih besar dari 6 mSv. Untuk potensi penerimaan dosis kurang dari 1 mSv/thn tidak diperlukan tindakan proteksi khusus. Untuk potensi penerimaan dosis antara 1 - 6 mSv/thn, perlu dilakukan pengukuran paparan radiasi di sekeliling kendaraan pengangkut. Adapun untuk potensi penerimaan paparan personil yang melebihi 6 mSv/thn, selain dilakukan pengukuran paparan radiasi di sekeliling kendaraan pengangkut, setiap personil harus menggunakan alat pemantau dosis personal.
Optimisasi dilakukan dengan mempertimbangkan paparan normal dan paparan potensial. Paparan normal adalah paparan yang diterima personil pengangkutan pada kondisi rutin dan normal. Adapun paparan potensial merupakan paparan yang tidak dapat dipastikan terjadinya, namun memiliki potensi untuk terjadi. Paparan ini dapat berasal dari kecelakaan, atau dikarenakan terjadinya suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang bersifat probabilistik, termasuk kegagalan peralatan dan kesalahan operasi. Tindakan optimisasi yang dilakukan oleh pengirim dan penerima dituangkan secara terstruktur dan sistematis ke dalam dokumen program proteksi dan keselamatan radiasi. Khusus untuk pengangkutan bahan nuklir tindakan yang sama harus tercermin dalam dokumen Laporan Analisis Keselamatan (LAK).
Zat radioaktif harus dibungkus dengan pembungkus yang sesuai dengan tipe bungkusan. Batasan isi bungkusan tipe A adalah nilai A1 untuk zat radioaktif bentuk khusus, dan nilai A2 untuk zat radioaktif bentuk lain. Untuk zat radioaktif yang aktivitas atau konsentrasi aktivitasnya melebihi nilai 3000A1 atau 3000A2, harus diangkut menggunakan bungkusan tipe B atau C.
Setelah zat radioaktif dibungkus dengan tipe bungkusan yang sesuai, selanjutnya dilakukan penentuan indeks angkutan. Indeks angkutan ditentukan dengan mengukur laju paparan radiasi maksimum pada jarak 1 m dari permukaan bungkusan atau pembungkus luar. Indeks angkutan berfungsi sebagai dasar pemisahan bungkusan dari bahan non radioaktif, seperti film yang belum diolah atau barang kiriman lainnya. Selain itu indeks angkutan juga berguna sebagai batasan tingkat paparan radiasi bagi anggota masyarakat, dan personil pengangkut, serta pengaturan untuk penyimpanan selama kendaraan transit. Khusus untuk isi bungkusan berupa bahan fisil harus ditentukan pula indeks keselamatan kekritisan.
Bungkusan, termasuk pembungkus luar atau tambahan, harus ditentukan pengkategorisasiannya untuk penentuan tanda, label, maupun plakat. Kategorisasi ini didasarkan kepada nilai indeks angkutan dan tingkat radiasi pada permukaan. Kategori bungkusan terdiri atas kategori I-Putih, II-Kuning, dan III-Kuning. Penentuan kategori sebagaimana dimaksud di atas dilakukan berdasarkan nilai pada Tabel 3.
e. Persyaratan Keamanan
Pengirim, pengangkut, dan penerima harus menerapkan tindakan keamanan sesuai dengan lingkup tanggung jawab masing-masing, berdasarkan kepada potensi tingkat acaman. Tanggung jawab utama perencanaan program keamanan dilakukan oleh pengirim. Khusus untuk pengangkutan bahan nuklir, tindakan keamanan yang dilakukan harus sesuai dengan ketentuan mengenai proteksi fisik bahan nuklir selama pengangkutan.
Tabel 3. Kategori Bungkusan dan Pembungkus Luar [4]
Kondisi
Kategori Indeks Angkutan
(IA)
Tingkat radiasi maksimum di permukaan (mSv/jam)
0 0,005 < R I – PUTIH
0 < IA < 1 0,005 < R < 0,5 II – KUNING 1 < IA < 10 0,5 < R < 2 III – KUNING
10
Untuk bungkusan yang berisi zat radioaktif selain bahan nuklir, persyaratan keamanan diberlakukan sesuai dengan tingkat keamanan. Tingkat keamanan dimaksud meliputi tingkat keamanan umum
(prudent management level), dasar (basic
security level), dan lanjut (enhanced security
level).[9] Persyaratan dimaksud, diantaranya meliputi:
1. Data identitas personil pengangkut; 2. Sistem segel dan/atau penguncian; 3. Rencana keamanan;
4. Pelatihan untuk personil pengangkut;
5. Prosedur tertulis;
6. peralatan pemantau posisi dan komunikasi; dan/atau
7. pengawalan untuk pengiriman penggunaan tunggal.
Penerapan persyaratan sebagaimana tersebut di atas, dilakukan sesuai dengan tingkatan risiko ancaman keamanan. Dalam hal pelaksanaan pengiriman memerlukan transit di suatu tempat, maka pengirim harus memastikan bahwa pengangkut melakukan tindakan keamanan selama transit sebagaimana tindakan keamanan pada saat penggunaan atau penyimpanan di lokasi pemanfaatan.
f. Kedaruratan dalam Pengangkutan
Zat Radioaktif
Keadaan kedaruratan dalam pengangkutan zat radioaktif dapat terjadi karena faktor tidak tercapainya tindakan keselamatan maupun karena adanya ancaman keamanan. Pengirim harus membuat rencana atau program penanggulangan keadaan darurat yang menjadi satu kesatuan dengan dokumen program proteksi dan keselamatan radiasi atau laporan analisis keselamatan. Dalam rencana tersebut paling tidak terdapat prosedur atau instruksi yang jelas perihal tindakan yang harus dilakukan oleh personil pengangkut, ataupun masyarakat di sekitar lokasi kejadian. Pengangkut harus melakukan tindakan sucukupnya untuk mengamankan kendaraan dan barang kiriman. Selanjutnya ia melaporkan kejadian darurat tersebut kepada polisi setempat.
Dalam hal terdapat dugaan telah terjadi kerusakan pada bungkusan, maka pengangkut harus memberitahukan kepada pengirim atau petugas proteksi radiasi. Jika terdapat tanda-tanda kebocoran atau
kontaminasi zat radioaktif di luar bungkusan, maka kendaraan harus dilokalisir sedemikian sehingga terdapat jarak aman dari paparan radiasi. Tindakan penanganan selanjutnya harus menunggu instruksi atau kedatangan petugas proteksi radiasi di lokasi kejadian. Untuk keadaan darurat yang dipicu oleh ancaman keamanan, seperti sabotase, perampokan, pencurian, ataupun penyanderaan terhadap barang kiriman, maka pengirim harus memastikan terdapat prosedur pelaporan kepada pengirim, penerima, BAPETEN, termasuk kepada kepolisian. Di samping itu harus ada juga tindak lanjut untuk melakukan pelacakan, penyidikan, dan penyelidikan untuk menelusuri dan menemukan keberadaan zat radioaktif yang telah berpindah tangan ke pihak yang tidak bertanggung jawab.
g. Penatalaksanaan Pengangkutan Zat Radioaktif
Sebelum melakukan pengangkutan zat radioaktif, pengirim harus memperoleh persetujuan pengiriman dari BAPETEN. Pengajuan tersebut dilakukan dengan mengisi formulir dan dilengkapi dengan: 1. Salinan sertifikat zat radioaktif; 2. Salinan sertifikat bungkusan;
3. Program proteksi dan keselamatan radiasi;
4. Program keamanan selama pengangkutan zat radioaktif; dan/atau
5. Program proteksi fisik, khusus untuk pengangkutan bahan nuklir.
Dalam pelaksanaan pengangkutan zat radioaktif, pengangkut harus melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan dalam hal memerlukan transit, pengangkutan bersamaan dengan barang lain, pengangkutan zat radioaktif dengan sifat bahaya lain, pengangkutan bahan fisil, dan apabila bungkusan tidak dapat terkirim ke tempat tujuan.
Kendali operasional selama transit dilakukan antara lain dengan cara melakukan pemisahan atau pengaturan jarak antara bungkusan zat radioaktif dari personil pengangkut rutin, kelompok masyarakat kritis, film fotografi yang belum diolah, serta terhadap bahan berbahaya dan beracun.
Apabila bungkusan zat radioaktif diangkut bersamaan dengan barang lain yang non radioaktif, maka bungkusan tidak boleh berisi barang lain selain zat radioaktif, bungkusan harus dipisahkan dari barang
11 berbahaya dan beracun yang lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur bahan berbahaya dan beracun. Di samping itu pembungkus zat radioaktif tidak boleh dipergunakan untuk mengangkut barang atau bahan lain, kecuali pembungkus tersebut telah didekontaminasi dan mencapai batasan aman sesuai ketentuan.
Untuk pengangkutan bahan fisil, pengirim harus melakukan tindakan pencegahan kekritisan dengan memastikan bahwa bungkusan tidak mengalami kebocoran, efisiensi penyerap dan moderator netron tetap terjaga, tidak dilakukan penata-ulangan bungkusan di perjalanan, jarak antar bungkusan tidak berubah, bungkusan tidak terendam air, temperatur bungkusan stabil, dan ketentuan terkait indeks kritikalitas tetap terpenuhi.
Dalam hal bungkusan tidak dapat terkirim ke tempat tujuan, maka pengirim harus memberikan prosedur atau petunjuk agar pengangkut menempatkan bungkusan tersebut di tempat yang aman. Selanjutnya pengangkut harus memberitahukan perihal tersebut kepada pengirim, penerima, dan BAPETEN.
Apabila dalam proses pengiriman dilakukan pemeriksaan terhadap isi bungkusan oleh instansi selain BAPETEN, seperti kepabeanan atau kepolisian, maka tindakan tersebut hanya dapat dilakukan dengan disaksikan oleh petugas proteksi atau inspektur keselamatan BAPETEN. Hal ini untuk memastikan tidak terjadi kesalahan prosedur atau tindakan yang dapat memberikan paparan radiasi berlebih terhadap personil lain. Selanjutnya bungkusan hanya dapat diangkut kembali atau meneruskan perjalanan, apabila sudah dipastikan bahwa bungkusan dikembalikan sebagaimana kondisi dan keadaan semula.
h. Inspeksi
Pengaturan tentang pelaksanaan inspeksi oleh inspektur keselataman nuklir BAPETEN harus diatur berdasarkan kewenangan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan ini perlu dilakukan untuk memastikan terpenuhinya segala persyaratan pengangkutan zat radioaktif sehingga akan tercapai keselamatan dan keamanan.
j. Pengaturan hal lain
Pengaturan lain yang dimaksud adalah perihal sanksi administratif, ketentuan peralihan, dan penutup. Pengaturan ketiga hal tersebut harus mengacu kepada konstruksi dan formulasi norma batang tubuh rancangan peraturan amandemen secara utuh.
KESIMPULAN
Dari uraian dan analisis sebagaimana telah dipaparkan dalam malakah ini, maka dapat disimpulkan bahwa amandemen terhadap Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan dalam Pengangkutan Zat Radioaktif memiliki tingkat kemendesakan dan urgensi yang tinggi. Amandemen yang dilakukan harus mencakup aspek keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif, serta mampu menutup kelemahan-kelemahan pengaturan sebelumnya. Dengan pengaturan yang lebih lengkap, rinci, tegas, dan jelas, akan terbentuk sistem peraturan yang memiliki kemampulaksanaan tinggi di lapangan, dan mempunyai kedudukan hukum yang kuat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim, Nuclear Safety with BAPETEN, BAPETEN, Jakarta, 2011;
2. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif;
4. IAEA, Regulation for the Safe Transport
of Radioactive Material , TSR-1, IAEA, Vienna, 2009;
5. United Nations, the United Nations
Model Regulations for the Transport of
Dangerous Goods, New York, 2009;
6. IAEA, the Convention on Physical
Protection of Nuclear Material, IAEA, Vienna, 1979;
7. IAEA, the Physical Protection of
Nuclear Material and Nuclear Facilities, INFCIRC/225/rev.4, IAEA, Vienna, 1999;
8. IAEA, Guidance and Considerations for
the Implementation of
INFCIRC/225/rev.4, IAEA TECDOC
967(rev.1), IAEA, Vienna,
9. IAEA, Security in Transport of
Radioactive Material, NSS No.9, IAEA, Vienna, 2008;
12
10. Peraturan Kepala BAPETEN Nomor 04/Ka.BAPETEN/V-99 Tahun 1999 tentang Ketentuan Keselamatan untuk Pengangkutan Zat Radioaktif;
11. Peraturan Kepala BAPETEN Nomor 05P/Ka.BAPETEN/VII-00 Tahun 2000 tentang Pedoman Persyaratan untuk Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif;
12. Anonim, Rancangan Konsepsi Amandemen PP No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan dalam Pengangkutan Zat Radioaktif, BAPETEN, Jakarta, 2010.
13
KAJIAN TENTANG NSS 9/08 DAN INFCIRC/225 REV 4/99
TERKAIT PENENTUAN TINGKAT KEAMANAN DALAM
PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF
Togap Marpaung
Kepala Subdirektorat Pengaturan Kesehatan,Industri dan Penelitian-BAPETEN
ABSTRAK.
KAJIAN TENTANG NSS 9/08 DAN INFCIRC/225 REV 4/99 TERKAIT DENGAN PENENTUAN TINGKAT KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF. Peraturan
Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan dalam Pengakutan Zat Radioaktif akan diamendemen tahun 2010 ini dan salah satu alasannya adalah aspek keamanan akan menjadi bagian yang akan diatur. Amendemen PP ini akan menjadi harmonis dengan rekomendasi IAEA karena tidak hanya mengatur aspek keselamatan tetapi juga aspek keamanan. IAEA melalui Safety Standards Series TSR-1, Tahun 2005 merekomendasikan keselamatan dalam pengangkutan zat radioaktif yang mencakup sumber radioaktif dan bahan nuklir. Namun, untuk bahan nuklir berupa bahan fisil harus diperhatikan secara khusus, karena dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai akibat neutron lambat. Bahan fisil meliputi 233, U-235, Pu-239, Pu-241. Seiring dengan meningkatnya ancaman keamanan terhadap zat radioaktif selama pengangkutan maka IAEA melalui Nuclear Security Series No. 9 Tahun 2008 (NSS 9/08) merekomendasikan keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif. Oleh karena itu, ada perkiraan bahwa NSS 9/08 sama seperti TSR-1/05 juga mencakup sumber radioaktif dan bahan nuklir. Tetapi hal ini agak membingungkan juga karena pada tahun 1999 IAEA sudah menerbitkan publikasi INFCIRC/225/Rev.4 (Corrected) yang merekomendasikan proteksi fisik bahan nuklir, secara khusus bahan fisil. NSS No.9/08 menentukan tingkat keamanan berdasarkan aktivitas zat radioaktif sedangkan INFCIRC/225/Rev.4/99 membagi tingkat proteksi fisik berdasarkan massa bahan nuklir. Agar dapat diketahui apakah ada hubungan penentuan tingkat keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif maka dilakukan suatu kajian dengan cara mengaitkan kedua besaran parameter: aktivitas zat radioaktif dan massa bahan nuklir dengan menggunakan faktor konversi yaitu aktivitas jenis masing-masing radionuklida.
Kata kunci: keamanan, pengangkutan, zat radioaktif, sumber radioaktif, bahan nuklir.
ABSTRACT.
STUDY ON NSS 9/08 AND INFCIRC/225 REV 4/99 RELATED TO THE DETERMINATION OF TRANSPORT SECURITY LEVEL RADIOACTIVE MATERIAL. Government Regulation (GR) No.
26 of 2002 on the Transport Safety of Radioactive Material will be amended this year and one reason is the security aspect would be the parts to be regulated. Thus the GR is going to be in harmony with the IAEA recommendations because it would regulate the safety and security aspects. IAEA through Safety Standards Series TSR-1, Year 2005 recommended safety in the transport of radioactive material including radioactive sources and nuclear materials. However, for fissile materials should be of particular concern, because it can produce a fission chain reaction due to slow neutrons. Fissile materials include: U-233, U-235, Pu-239, and Pu-241. Along with the increasing security threat to radioactive material during transport IAEA through the Nuclear Security Series No. 9 Year 2008 recommended security in the transport of radioactive material. Therefore, there is an estimation that either NSS 9 / 08 or TSR-1/05 includes radioactive sources and nuclear materials. But it’s confusing because in 1999 the IAEA has issued a publication INFCIRC/225/Rev.4 (Corrected) which recommended the physical protection of nuclear material, particularly of fissile material. NSS No.9/08 determine security level based on the activity of radioactive material while INFCIRC/225/Rev.4/99 determine levels of physical protection by mass of nuclear material. In order to understand whether there is a relationship in determining the level of security in the transport of radioactive material then a study is done by linking the two scale parameters: the activity of radioactive material and nuclear materials masses by using a conversion factor, namely specific activity of each radionuclide.
14
PENDAHULUAN
Makalah kajian tentang NSS No.9/08 dan INFCIRC/225 Rev 4/99 Terkait Penentuan Tingkat Keamanan dalam Pengangkutan Zat Radioaktif ini merupakan lanjutan dari makalah tentang “Dasar-dasar Penentuan Tindakan Keamanan dalam Pengangkutan Zat Radioaktif.” Masalah pengangkutan zat radioaktif ini akan semakin kompleks sehingga sulit dipahami karena pengangkutan zat radioaktif sebagai barang kiriman mencakup zat radioaktif berupa sumber radioaktif maupun bahan nuklir serta limbah radioaktif.
Latar Belakang Kajian ini adalah
sehubungan dengan adanya kegiatan BAPETEN untuk mengamendemen PP No. 26 yang memperkirakan bahwa pengertian zat radioaktif dalam konteks keamanan juga termasuk bahan nuklir seperti pengertian dalam konteks keselamatan dalam pengangkutan.
METODE
Metode Kajian adalah studi literatur
terhadap 2 (dua) publikasi IAEA, yaitu: (1) IAEA, The Physical Protection of Nuclear
Material and Nuclear Facilities,
INFCIRC/225/Rev. 4 (Corrected), 1999; dan (2) Nulear Security Series No.9, 2008.
Tujuan Kajian ini adalah untuk
memastikan apakah tingkat keamanan pengangkutan zat radioaktif berdasarkan pada NSS. No 9 Tahun 2008 berlaku untuk bahan nuklir yang dilakukan dengan cara mengetahui hubungan massa bahan nuklir dengan nilai 10 D atau 3000 A2.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Keamanan
Tingkat keamanan dalam pengangkutan zat radioaktif terdiri dari: (1) Praktik Manajemen Pruden; (2) Tingkat
Keamanan Dasar; dan (3) Tingkat Keamanan Dinaikkan. Mengingat Tingkat keamanan dinaikkan merupakan tingkat yang paling tinggi maka bahan nuklir ketika diangkut diperkirakan akan diklasifikasikan ke dalam Tingkat keamanan dinaikkan.
Tingkat Keamanan Dinaikkan
Tingkat keamanan dinaikkan ini diterapkan untuk bungkusan zat radioaktif dengan isi sesuai atau melebihi ambang batas radioaktivitas. Nilai ambang batas per bungkusan, ditentukan dengan 2 (dua) parameter sebagai berikut:
1. 10 D per bungkusan, untuk radionukilda-radionuklida sebagaimana diberikan pada Tabel 1, dengan pengertian:
• nilainya dapat mengakibatkan efek deterministik yang parah; dan • nilainya sama dengan ambang batas
yang digunakan mengenai impor dan ekspor sumber radioaktif. 2. 3.000 A2 per bungkusan, untuk
radionuklida-radionuklida lain
• nilainya menunjukkan hubungan akibat penyebaran radioaktivitas yang sudah diperhitungkan; dan • nilai A2 digunakan secara luas dan
digunakan dalam keselamatan pengangkutan.
Nilai ”D” (dangerous value) merupakan tingkat aktivitas spesifik, yang menunjukkan jika aktivitas sumber radioaktif di atas nilai D maka sumber radioaktif dianggap sebagai ”sumber yang berbahaya”, karena sumber radioaktif tersebut berpotensi besar menimbulkan efek deterministik yang parah apabila tidak diawasi dan digunakan sesuai ketentuan.
Penentuan tingkat keamanan selama pengangkutan zat radioaktif diuraikan sebagaimana diberikan pada Gambar 1.
15
Gambar 1. Diagram Alir Penentuan Tindakan Keamanan
dalam Pengangkutan Zat Radioaktif
Tabel. 1 Radionuklida Ambang Batas
Keamanan
Radio-nuklida
Ambang Batas Keamanan untuk Pengangkutan (10 D) dalam (TBq) Am-241 0,6 Au-198 2 Cd-109 200 Cf-252 0,2 Cm-244 0,5 Co-57 7 Co-60 0,3 Cs-137 1 Fe-55 8.000 Ge-68 7 Gd-153 10 Ir-192 0,8 Ni-63 600 Pd-103 900 Pm-147 400 Po-210 0,6 Pu-238 0,6 Ra-226 0,4 Ru-106 3 Se-75 2 Sr-90 10 Tl-204 200 Tm-170 200 Yb-169 3
Hubungan antara Tabel 1 dan Diagram alir pada Gambar 1, dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat kemanan adalah aktivitas zat radioaktif yang diangkut baik untuk zat radioaktif bentuk khusus maupun bukan bentuk khusus.
2. Parameter A2 adalah identik dengan zat radioaktif bukan bentuk khusus, tetapi bukan berarti tidak bisa digunakan untuk nilai batasan pada zat radioaktif bentuk khusus, karena untuk radionuklida yang sama nilai A2 pasti lebih kecil atau sama dengan A1 sehingga dari segi keselamatan dapat menjadi “lebih selamat”.
3. Nilai 10 D hanya berlaku untuk radionuklida ada dalam Tabel 1. 4. Nilai 3.000 A2 digunakan untuk
radionuklida selain dari pada Tabel 1. 5. Dalam NSS No.9 tahun 2008 tidak dijelaskan secara eksplisit, apakah nilai 10D berlaku hanya untuk zat radioaktif bentuk khusus atau berlaku juga untuk zat radioaktif bukan bentuk khusus, dan aktivitas jenis rendah (AJR-II dan AJR-III) maupun benda terkontaminasi permukaan (BTP-II).
Pengertian Bahan Nuklir Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1997
Dalam pasal 1, Bab I Ketentuan Umum UU No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, yang dimaksud dengan
16
Bahan Nuklir adalah bahan yang dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai atau bahan yang dapat diubah menjadi bahan yang dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai. Bahan Galian Nuklir adalah bahan dasar untuk pembuatan bahan bakar nuklir. Bahan Bakar Nuklir adalah bahan yang dapat menghasilkan transformasi inti berantai. Dalam pasal 2, Bahan Nuklir terdiri atas: (a) Bagan Galian Nuklir; (b) Bahan Bakar Nuklir; dan (c) Bahan Bakar Nuklir Bekas.
Pengertian Bahan Nukir Dalam Konteks Sains Nuklir
Dalam konteks sains nuklir dikenal istilah fissile material, fissionable material
dan fertile material. Fissile material adalah bahan yang dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai akibat interaksi dengan neutron lambat (thermal neutron).
Fissionable material adalah bahan yang dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai akibat neutron cepat (fast neutron), yang berarti tidak dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai akibat interaksi dengan neutron lambat. Fertile material adalah bahan yang tidak dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai tapi dapat diubah menjadi bahan yang dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai. Jika diilustrasikan kaitan antara pengertian bahan nuklir yang ada dalam UU dan sains nuklir maka akan diperoleh skema, sebagaimana diberikan pada Gambar 2.
17
Perhitungan Massa Bahan Fisil
TSR-1 Tahun 2005 memberikan pengertian bahwa semua zat radioaktif (“radioactive material”) termasuk bahan nuklir. Namun untuk pengangkutan bahan nuklir berupa bahan fisil harus diperhatikan secara khusus, karena dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai akibat neutron lambat. Bahan fisil meliputi: (1) U-233; (2) U-235; (3) Pu-239, dan (4) Pu-241.
NSS No.9 Tahun 2008 juga menyebutkan barang kiriman yang diangkut adalah zat radioaktif tetapi tidak menyinggung mengenai bahan nuklir ataupun bahan fisil. Tingkat keamanan
dalam pengangkutan zat radioaktif ditetapkan hanya dengan menggunakan parameter aktivitas zat radioaktif. Uraian NSS No. 9 Tahun 2008 tersebut menjadi membingungkan karena sebelumnya IAEA pada tahun 1999 sudah menerbitkan publikasi INFCIRC/225/Rev.4 (Corrected) yang membagi tingkat proteksi fisik berdasarkan massa untuk bahan nuklir, secara khusus bahan fisil, diberikan pada Tabel 2. Untuk mengaitkan kedua besaran parameter, yaitu: (1) aktivitas zat radioaktif dan (2) massa bahan nuklir harus menggunakan faktor konversi, yaitu aktivitas jenis masing-masing radionuklida.
Tabel 2. Kategorisasi Bahan Nuklir
No Bahan
Nuklir
Bentuk Kategori I Kategori II Kategori IIIc
1. Plutoniuma Tidak teriradiasi b ≥ 2 kg 500g < massa < 2 kg 15 g < massa ≤ 500g 2. Uranium-235 Tidak teriradiasi b
- Uranium diperkaya ≥ 20% U-235 - Uranium diperkaya antara 10%-20% - Uranium diperkaya ≤ 10% ≥ 5 kg - - 1 kg < massa <5 kg ≥ 10 kg - 15 g < massa ≤ 1 kg 1 kg < massa <10 kg ≥ 10 kg
3. Uranium-232 Tidak teriradiasi b ≥ 2 kg 500g < massa < 2 kg 15 g < massa ≤ 500g
4. Bahan bakar teriradiasi
urainum terdeplesi atau uranium alam, thorium atau bahan bakar pengkayaan rendah (kurang dari 10% bahan fisil)d/e
Keterangan:
a. Semua Plutonium, kecuali yang memiliki konsentrasi isotop plutonium-238 lebih dari 80%. b. Material tidak teriradiasi dalam reaktor atau teriradiasi dalam reaktor tetapi dengan paparan
≤ 1 gy/jam (100 rad/jam) pada jarak 1 m tidak terbungkus.
c. Jumlah yang tidak masuk pada kategori III dan pada uranium alam, uranium terdeplesi dan thorium harus dilindungi paling tidak sesuai dengan prudent management practice.
d. Meskipun penggolongan level proteksi ini direkomendasikan, tetapi semua diserahkan ke Negara asal untuk menentukan kategori proteksi fisik yang berbeda berdasarkan evaluasi untuk keadaan-keadaan tertentu.
Bahan bakar lain yang kandungan bahan fisil aslinya diklasifikasikan sebagai Katergori I atau II sebelum iradiasi dapat dikurangi satu level kategori ketika paparan dari bahan bakar tesebut melebihi 1 Gy/jam (100 Rad/jam) pada jarak 1 m tidak terbungkus.