• Tidak ada hasil yang ditemukan

Determinan Perilaku Seks Pasangan Konkuren dari Pelanggan Pekerja Seks Perempuan, Denpasar, Bali, 2014.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Determinan Perilaku Seks Pasangan Konkuren dari Pelanggan Pekerja Seks Perempuan, Denpasar, Bali, 2014."

Copied!
177
0
0

Teks penuh

(1)

DISERTASI

DETERMINAN

PERILAKU SEKS PASANGAN KONKUREN DARI

PELANGGAN PEKERJA SEKS PEREMPUAN,

DENPASAR

,

BALI, 2014

PARTHA MULIAWAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

(2)

i

DISERTASI

DETERMINAN

PERILAKU SEKS PASANGAN KONKUREN DARI

PELANGGAN PEKERJA SEKS PEREMPUAN,

DENPASAR

,

BALI, 2014

PARTHA MULIAWAN NIM: 1090271028

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

DIAJUKAN UNTUK UJIAN

(3)

ii

PERILAKU SEKS PASANGAN KONKUREN DARI

PELANGGAN PEKERJA SEKS PEREMPUAN,

DENPASAR

,

BALI, 2014

Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada Program Doktor, Program Studi Ilmu Kedokteran,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

PARTHA MULIAWAN

NIM: 1090271028

PROGRAM DOKTOR (S3)

PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

iii

DISERTASI INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL: DESEMBER 2015

Promotor

Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D. NIP. 194302151969021001

Kopromotor I, Kopromotor II,

Prof. dr. D. N. Wirawan, MPH. Prof.Dr.dr.K.T. Parwati Merati, Sp.PD-KPTI NIP. 194810101977021001 NIP. 194812281979032001

Mengetahui

Ketua Program Doktor Direktur Program Studi Ilmu Kedokteran Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana, Universtas Udayana,

(5)

iv

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena telah memberi rahmat berupa kesehatan dan semangat untuk penulisan hasil penelitian dalam rangka pembuatan disertasi penddikan S3 pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Penelitian ini berlatar belakang bahwa kejadian HIV/AIDS telah mendunia serta menunjukkan perubahan cara penularan dari jalur pemakai narkoba suntik ke jalur seksual. Selain itu arah epidemi telah menuju kepada generalized HIV epidemic, dengan prevalensi pada beberapa hasil survei di masyarakat umum mendekati angka 1% disertai dengan adanya perilaku seks pasangan konkuren. Di Bali prevalensi HIV pada pekerja seks perempuan di atas 20%, ibu hamil 1%, sehingga timbul pertanyaan: apakah ada perilaku seks pasangan konkuren pada masyarakat di Bali yang akan mendukung terjadinya generalized HIV epidemic? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dilakukan penelitian berjudul: Determinan Perilaku seks pasangan konkuren dari Pelanggan Pekerja Seks Perempuan, Denpasar, Bali, 2014.

Dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan disertasi ini penulis banyak memperoleh dukungan dari berbagai pihak sejak dari penyusunan proposal. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian proposal ini, yaitu:

 Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, SpPD-KEMD. yang telah memberikan ijin, memberikan dorongan untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Juga telah memberikan masukan penyempurnaan proposal dalam ujian proposal.

(6)

v

penelitian ini. Juga kepada ketua sebelumnya Dr. dr. I W. P. Sutirtayasa, M.Si. yang telah memberi semangat selama mengikuti pendidikan dan juga memberi masukan terhadap proposal yang dikembangkan.

 Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Putu Astawa, SpBOrtho(K), M.Kes. yang telah memberi kesempatan melanjutkan dan sekaligus memberikan dorongan dalam studi yang telah ditempuh.

 Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, dr. I Made Ady Wirawan, MPH., PhD. yang telah memberikan dukungan dalam pendidikan serta membantu dalam editing abstrak disertasi

 Promotor Prof. dr. N. T. Suryadhi, MPH., PhD. yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan selama pendidikan berupa persiapan proposal, sampai penyusunan dan ujian disertasi.

 Ko-promotor I, Prof. dr. D. N. Wirawan, MPH. sekaligus menjadi pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan masukan mulai dari ide, proses pengumpulan data hingga penelitian ini dapat diselesaikan sampai tuntas. Juga telah mengijinkan pemanfaatan lapangan Yayasan Kerti Praja sebagai tempat pengumpulan data.

 Ko-promotor II, Prof. Dr. dr. K. Tuti Parwati Merati, Sp.PD., KPTI. yang telah memberikan suport penulis dalam pendidikan S3 serta membantu dalam penyelesaian penelitian sehingga disertasi ini tersusun.

(7)

vi

penelitian dan analisis data selama menyusun disertasi ini. Juga buat dr. P.A.S. Astuti, MPH., M.A. Hita Pertiwi, S.Si., MSc dan Ni M. Dian Kurniasari, S.KM., MPH. yang telah membantu dalam proses penterjemahan.

 Petugas lapangan Yayasan Kerti Praja Denpasar yang membantu sebagai petugas listing dan pewawancara terhadap pelanggan pekerja seks perempuan siang dan malam tanpa putus asa sampai pengumpulan informasi dapat diselesaikan dengan tuntas.

 Istri, anak dan cucu-cucu tercinta, yang telah setia mendampingi dan memberi semangat dalam menyelesaikan pelaksanaan penelitian dan penyusunan laporannya.

 Semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu-persatu namun telah memberikan dukungan moral dan bantuan fisik dalam penyelesaian penelitian sehingga disertasi ini dapat terselesaikan.

Akhirnya penulis memohon kepada sidang pembaca, khususnya dewan penguji disertasi, dapat mencermati dan memberikan masukan sehingga disertasi ini dapat lebih disempurnakan. Semoga hasil penelitian ini dapat diaplikasikan dalam pengembangan program untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.

(8)

vii

DETERMINAN

PERILAKU SEKS PASANGAN KONKUREN DARI

PELANGGAN PEKERJA SEKS PEREMPUAN,

DENPASAR

,

BALI, 2014

Kejadian infeksi HIV di Bali telah mengarah kepada tipe generalized HIV epidemic dengan ditemukannya prevalensi mendekati 1% pada penduduk umum di Bali, seperti ibu hamil (2,5%) dan donor darah (1%). Selain indikator biologis tersebut, maka penentuan tipe epidemi ditunjang oleh faktor perilaku, yaitu adanya perilaku seks pasangan konkuren di masyarakat. Cara penularan HIV telah mengalami perubahan, sebelumnya lewat pemakaian jarum suntik, khususnya pada kelompok pemakai narkoba suntik, menjadi penularan lewat hubungan seks yang tidak aman. Berdasarkan kenyataan tersebut maka perlu diketahui perilaku seks dan potensi menularkan HIV di masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui determinan perilaku seks pasangan konkuren yang berpotensi menularkan HIV dari pelanggan pekerja seks perempuan (PSP).

(9)

viii

yang bermakna adalah usia ≥31 tahun, tinggal di pedesaan, mempunyai dua orang anak atau lebih, memiliki dua orang atau lebih pasangan seks non-komersial lain dan pernah menderita gejala infeksi menular seksual (IMS). Sedangkan potensi menularkan HIV dipengaruhi oleh usia ≥31 tahun, tinggal di perkotaan, status menikah, mempunyai penghasilan ≥Rp. 2.000.000,-. Dengan temuan tersebut maka disarankan untuk intervensi penanggulangan HIV/AIDS masih terfokus pada populasi kunci disertai pelayanan kesehatan paripurna dan dilakukan sero survei pada penduduk dewasa untuk mengetahui kejadian HIV di masyatakat.

(10)

ix

DETERMINANTS OF

CONCURRENT SEXUAL PARTNERSHIP BEHAVIOR

AMONG FEMALE SEX WORKERS CLIENTS’,

DENPASAR, BALI, 2014

Bali is experiencing a generalized HIV epidemic with a prevalence of greater than 1% in the general population, such as pregnant women (2.5%) and those infected through blood donation (1%). In addition to those biological indicators, the epidemic type is determined by the presence of behavioral factors such as practices of concurrent sexual partnerships. The mode of HIV transmission has also changed from injecting drug users to heterosexual transmissions. Therefore, sexual behaviors in the community need to be examined. Sexual behavior is a private matter and cannot be expressed openly by all people. Hence to obtain the pattern, information is gathered from clients of female sex workers (FSWs) in their respective workplaces. This research was aimed at assessing the concurrent sexual partnership behavior and the potential of transmittig HIV among clients of FSWs.

A cross-sectional study was performed in Denpasar from September to December 2014. The study population is client of FSWs with a sample size of 200. Due to unavailability of client lists, a census among FSWs was carried out and identified 932 direct FSWs. Samples were selected in two stages. Firstly, FSWs were chosen by systematic random sampling. The second stage was consecutive selection of clients of selected female sex workers. The clients is the first clients to be found exiting a room after sexual transaction.

(11)

x

that have a prevalence ratio with significant p values included age ≥31 years, living in the countryside, have two or more children, have two or more non-commercial sex partners and previously suffered symptoms of an STI. While the potential of transmitting HIV was influenced by age ≥31 years, living in urban, marriage status, income ≥Rp. 2.000.000,-. With these findings it is suggested that interventions to combat HIV/AIDS focuss on key populations more comprehensively accompanied by health care with a friendly approach to the targeted population and the conduct of sero survey to the adult population to determine the prevalence of HIV in the community.

(12)

xi

DETERMINAN

PERILAKU SEKS PASANGAN KONKUREN DARI

PELANGGAN PEKERJA SEKS PEREMPUAN,

DENPASAR

,

BALI, 2014

Pendahuluan

Kejadian HIV/AIDS di Indonesia dan khususnya di Bali telah mengarah kepada tipe generalized HIV epidemic dengan ditemukannya prevalensi mendekati 1% pada penduduk umum baik di Indonesia maupun di Bali. Prevalensi infeksi HIV di Bali telah ditemukan sebesar 2,5% pada ibu hamil dan 1% pada darah donor. Sesuai dengan kriteria WHO, maka selain indikator biologis tersebut, generalized HIV epidemic harus ditunjang oleh indikator perilaku. Indikator perilaku yang dimaksud adalah perilaku seks pasangan konkuren di masyarakat. Perilaku seks pasangan konkuren adalah terjadinya hubungan seks dengan lebih dari satu orang dalam periode waktu yang sama. Pelanggan pekerja seks perempuan dan perilaku seks pasangan konkuren mempunyai potensi menularkan HIV dari populasi berisiko tinggi kepada penduduk berperilaku risiko rendah.

(13)

xii Metode

Metode penelitian mempergunakan sampel survei dengan rancangan cross-sectional. Penelitian dilaksanakan di Kota Denpasar yang mempunyai lokasi pekerja seks perempuan lebih stabil di wilayah Provinsi Bali. Lokasi pekerja seks perempuan ini menjadi wilayah binaan Yayasan Kerti Praja (YKP) Denpasar dalam program penanggulangan IMS dan HIV/AIDS. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan September sampai dengan bulan Desember 2014. Populasi penelitian adalah pelanggan pekerja seks perempuan. Pelanggan pekerja seks perempuan dicari di tempat kerja pekerja seks perempuan. Tidak ada registrasi pelanggan pekerja seks, sehingga untuk menetapkan populasinya dilakukan pendekatan dan pencatatan pekerja seks perempuan yang bekerja secara langsung di Kota Denpasar. Jumlah pekerja seks di Kota Denpasar berjumlah 932 orang berdasar hasil sensus. Besar sampel ditetapkan sebanyak 200 orang dan pemilihan sampel dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan pemilihan 200 orang pekerja seks perempuan secara sistematik random sampling. Tahap kedua pemilihan pelanggan pekerja seks perempuan dipilih secara consecutive, yaitu pelanggan pertama yang ditemukan keluar dari kamar pekerja seks perempuan setelah melakukan transaksi seks untuk diminta kesediaannya menjadi ressponden.

(14)

xiii

tetap dalam kurun waktu setahun. Angka ini sangat rendah dibandingkan daerah atau negara lain yang telah masuk kategori generalized HIV epidemic disertai dengan proporsi HIV pada ibu hamil dan darah donor di bawah 1%, maka menunjukkan masih berada pada tipe concentraed HIV epidemic.

Proporsi perilaku seks pasangan konkuren secara bermakna lebih tinggi pada kelompok berumur di atas 30 tahun, status menikah dengan mempunyai dua orang istri dan dua orang anak atau lebih, mempunyai penghasilan di atas rata-rata, mempunyai dua orang pasangan seks non-komersial lain atau lebih dan frekuensi hubungan seks dengan pasangan seks non-komersial lain sebanyak 3-6 kali, mengunjungi dua orang pekerja seks perempuan atau lebih dalam setahun memakai kondom saat berhubungan seks terakhir dengan pekerja seks perempuan, namun jarang yang konsisten dan pernah mengalamai gejala infeksi menular seksual. Faktor determinan perilaku seks pasangan konkuren adalah kelompok usia ≥31 tahun, tinggal di pedesaan, mempunyai >2 orang anak, mempunyai ≥2 pasangan seks non-komersial lain dalam seminggu dan pernah menderita gejala infeksi menular.

Potensi menularkan HIV dari responden bervariasi antara 1,22-4,49 dengan mean 1,73 dan median 1,77. Berdasarkan nilai mean maka potensi tinggi menularkan HIV mempunyai proporsi lebih besar. Potensi tinggi menularkan HIV secara bermakna lebih besar pada kelompok responden yang berumur 31 tahun ke atas, bertempat tinggal di daerah perkotaan dan mempunyai pekerjaan di lapangan. Tiga variabel yang mempunyai prevalens ratio lebih tinggi dan bermakna, yaitu umur di atas 31 tahun ke atas, tinggal di daerah perkotaan dan mempunyai penghasilan Rp. 2.000.000,- atau lebih.

Kesimpulan

Lebih dari sepersepuluh responden mempunyai perilaku seks pasangan konkuren, dan masih aktif melakukan hubungan seks dalam setahun terakhir dengan pemakaian kondom yang tidak konsisten. Perilaku seks pasangan konkuren tidak mendukung terjadinya generalized HIV epidemic.

(15)

xiv Saran

(16)

xv

SAMPUL DALAM i

PRASYARAT GELAR ii

LEMBAR PENGESAHAN iii

UCAPAN TERIMAKASIH iv

ABSTRAK vii

ABSTRACT ix

RINGKASAN xi

DAFTAR ISI xv

DAFTAR TABEL xviii

DAFTAR GAMBAR xix

DAFTAR SINGKATAN xx

DAFTAR LAMPIRAN xxi

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 6

1.3 Tujuan Penelitian 6

(17)

xvi

2.2 Epidemi HIV/AIDS 14

2.3 Pekerja Seks Perempuan 20

2.4 Pelanggan Pekerja Seks Perempuan 25

2.5 Alat Ukur Perilaku Seks dan Pemakaian Kondom 30 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS

PENELITIAN

34

3.1 Kerangka Berpikir 34

3.2 Konsep Penelitian 38

3.3 Hipotesis 39

BAB IV METODE PENELITIAN 40

4.1 Rancangan Penelitian 40

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 41

4.3 Ruang Lingkup Penelitian 41

4.4 Penentuan Sumber Data 41

4.5 Variabel Penelitian 43

4.6 Definisi Operasional Variabel 43

4.7 Instrumen Penelitian 47

4.8 Prosedur Penelitian 47

4.9 Analisis Data 49

(18)

xvii

5.2 Perilaku Seks Pasangan Konkuren 56

5.3 Faktor Determinan Perilaku Seks Pasangan Konkuren 62

5.4 Potensi Menularkan HIV 66

BAB VI PEMBAHASAN 70

6.1 Perilaku Seks Pasangan Konkuren 71

6.2 Karakteristik dan Perilaku Pelanggan Pekerja Seks Perempuan

74

6.3 Faktor Determinan Perilaku Seks Pasangan Konkuren 80

6.4 Potensi Menularkan HIV 85

6.5 Temuan Baru (Novelty) 87

6.6 Keterbatasan Penelitian 87

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 89

7.1 Simpulan 89

6.2 Saran 90

DAFTAR PUSTAKA 91

(19)

xviii

Tabel 2.1 Perkiraan Jumlah Pekerja Seks Perempuan dan Pelanggannya di Bali Tahun 2009

25

Tabel 4.1 Definisi Operasional Variabel 44

Tabel 5.1 Karakteristik Pelanggan Pekerja Seks Perempuan 55 Tabel 5.2 Distribusi Responden menurut Pasangan Seks 56

Tabel 5.3 Perilaku Responden 59

Tabel 5.4 Faktor Determinan Perilaku Seks Pasangan Konkuren 63 Tabel 5.5 Faktor Determinan yang Paling Berpengaruh terhadap

Perilaku Seks Pasangan Konkuren

65

Tabel 5.6 Distribusi Responden Menurut Karakter dan Potensi Menularkan HIV

68

Tabel 5.7 Faktor Determinan yang Mempengaruhi Potensi Menularkan HIV

69

Tabel 6.1 Temuan Perilau Seks Pasangan Konkuren di Berbagai Negara

(20)

xix

Pasangan Konkuren Pelanggan Pekerja Seks Perempuan dan Potensi Menularkan HIV

Gambar 4.1 Skema Rancangan Cross-sectional 40

Gambar 5.1 Besaran Populasi dan Sampel yang mempunyai Perilaku Seks Pasangan Konkuren

(21)

xx

CDC : Centers of Disease Control and Prevention CSP : Concurrent Sexual Partnership

HIV : Human Imunodeficiency Virus IMS : Infeksi menular seksual IO : Infeksi oportunistik IRT : Ibu rumah tangga LBT : Lelaki berisiko tinggi

LSM : Lembaga swadaya masyarakat LSL : Lelaki suka seks dengan lelaki MDGs : Mileneum Development Goals Penasun : Pemakai narkoba suntik

PITC : Provider introduced testing and councelling PMTCT Preventiom Mother to Child Transmission PS : Pekerja seks

PSP : Pekerja seks perempuan

STHP : Survei terpadu HIV dan perilaku

TB : Tuberkulosis

(22)

xxi

Lampiran 1 Jadwal Kegiatan 108

Lampiran 2 Inform Consent 109

Lampiran 3 Kuesioner 113

Lampiran 4 Etical Clearance 124

(23)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Acquired Immuno Deficiency Syndromes (AIDS) telah melanda seluruh negara di dunia dan telah menimbulkan pandemi. Cara penularannya telah diketahui dengan pasti, yaitu melalui pertukaran cairan tubuh yang terkontaminasi oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Cairan tubuh manusia yang dominan menjadi habitat hidup virus HIV adalah darah, cairan kelamin (cairan sperma dan cairan vagina) serta air susu ibu (ASI). Sehingga cara-cara penularan HIV yang utama adalah: a) jalur darah melalui transfusi darah beserta produknya dan pemakaian jarum suntik, khususnya pemakai narkotika suntik (penasun), b) transmisi seksual, baik hubungan heteroseks maupun homoseks, dan c) penularan dari ibu yang telah terinfeksi HIV kepada bayi yang dilahirkannya. Penularan dari ibu kepada bayinya dapat terjadi saat dalam kandungan, pada proses persalinan dan saat menyusui (Pinsky dan Douglas, 2009; Catie, 2010).

(24)

Jumlah kasus HIV/AIDS yang ditunjukkan tersebut merupakan kenaikan kasus sebesar 27% dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Lima juta di antara kasus HIV/AIDS tersebut berada di wilayah negara-negara Asia. Belum ada negara-negara di Asia yang termasuk dalam kategori generalized HIV epidemic. Hanya Thailand, negara yang mempunyai prevalensi infeksi HIV mendekati 1% pada populasi umum dan ditemukan sebanyak 60.000 penderita infeksi HIV baru setiap tahunnya. Secara keseluruhan di Asia ditemukan 360.000 kasus baru infeksi HIV selama tahun 2009. Epidemi HIV/AIDS sangat bervariasi di antara negara-negara Asia, maupun bervariasi di dalam negara tersebut (UNAIDS, 2010b). Termasuk Indonesia, kejadiannya bervariasi antar provinsi dimana yang mempunyai prevalensi AIDS tertinggi berada di Provinsi Papua (275,11/100.000 penduduk) 15 kali lebih besar dari pada angka nasional (18,05/100.000 penduduk) dan Provinsi Bali menduduki peringkat kedua dengan prevalensi 85,95/100.000 penduduk (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2013).

(25)

Prevalensi HIV di Indonesia pada penduduk usia 15-49 tahun masih tergolong rendah, yaitu sebesar 0,16% (UNAIDS, 2010b) dan di Bali sebesar 0,22% pada akhir tahun 2006 ((Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, 2008)). Namun Indonesia telah masuk tipe concentrated HIV epidemic, karena prevalensi pada kelompok-kelompok yang mempunyai perilaku risiko tinggi ditemukan di atas 5%, seperti pemakai narkoba suntik di Depok (70,8%), pekerja seks perempuan di Papua Barat (22,8%) (WHO Searo, 2007; Depkes RI, 2010). Sedangkan prevalensi pada kelompok penduduk berisiko rendah, seperti dilaporkan dalam survei ibu hamil 2,5% pada tahun 2011 dan 2,9% tahun 2012 (Mboi, 2012). Hal ini memberikan gambaran bahwa Indonesia menuju ke arah generalized HIV epidemic.

(26)

Cara penularan infeksi HIV telah mengalami perubahan, sekitar tahun 2000 kasus HIV kebanyakan ditularkan lewat jarum suntik, khususnya pemakai narkoba suntik, kini beralih dan didominasi oleh penularan lewat hubungan seks, khususnya hubungan heteroseks (Xia dkk., 2010; Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2013). Penularan secara heteroseks bersumber dari hubungan seks antara pekerja seks (PS) dengan pelanggan dan pelanggan akan menularkan kepada istri sehingga akhirnya menularkan kepada bayi yang dilahirkan. Karena itu pelanggan pekerja seks perempuan mempunyai potensi menjadi jembatan penularan dari populasi berisiko tinggi (pekerja seks perempuan) kepada istri dan atau pacar sebagai populasi yang mempunyai perilaku risiko rendah (Pebody, 2009; Shaw dkk., 2011).

Studi jaringan seks di Afrika pada awalnya difokuskan pada pekerja seks sebagai populasi kunci dan pelanggannya sebagai populasi jembatan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa lelaki mempunyai pasangan seks lebih banyak daripada perempuan (2,6:2,2) serta 11,6% lelaki dan 6,7% perempuan mempunyai lima orang pasangan atau lebih (Helleringer dan Kohler, 2007). Perilaku banyak pasangan seks dalam periode waktu yang sama merupakan perilaku seks pasangan konkuren (USAIDS & AIDSTAR One, 2009; Pebody, 2009), akan meningkatkan proses penularan HIV (USAIDS & AIDSTAR One, 2009; Mishra dan Van Assche, 2009; Pebody, 2009; Steffenson dkk., 2011; Bellan dkk., 2013).

(27)

Perilaku seks merupakan aktivitas pribadi dan dipengaruhi oleh tingkat sosial, budaya, kepercayaan, moral dan norma (Fenton dkk., 2001). Selain faktor tersebut maka perilaku seks pasangan konkuren juga dipengaruhi oleh karakter dan perilaku pelanggan pekerja seks. Karakter pendidikan dan penghasilan cenderung membuat lelaki akan mempunyai banyak pasangan seks (Helleringer dan Kohler, 2007), sedangkan melakukan hubungan seks pada usia dini, suka bepergian dan pemakaian kondom yang rendah akan menjadi perilaku yang berisiko untuk tertular HIV dengan melakukan perilaku seks pasangan konkuren (Xu dkk., 2010).

(28)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan telah terjadi perubahan cara penularan HIV dengan didominasi oleh hubungan seks dan pelanggan pekerja seks perempuan mempunyai peran sebagai jembatan transmisi virus dari penduduk berisiko tinggi (pekerja seks perempuan) kepada istri, pacar dan pasangan seks lainnya yang mempunyai perilaku risiko rendah. Pelanggan pekerja seks perempuan ditenggarai mempunyai perilaku seks pasangan konkuren yang mempunyai potensi untuk menularkan HIV kepada pasangan-pasangan non-komersial pelanggan pekerja seks perempuan.

Berdasarkan permasalahan ini maka muncul pertanyaan penelitian berupa: 1) Apa faktor determinan perilaku concurrent sexal partnership pelanggan pekerja seks perempuan yang berpotensi menularkan HIV? 2) Bagaimana potensi pelanggan pekerja seks perempuan menularkan HIV? 3) Apakah di Bali telah terjadi generalized HIV epidemic berdasar perilaku concurrent sexal partnership?.

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui jenis epidemi HIV di Bali berdasarkan perilaku concurrent sexal partnership.

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Proporsi pelanggan pekerja seks perempuan yang mempunyai perilaku seks pasangan konkuren.

(29)

3. Faktor determinan perilaku seks pasangan konkuren pelanggan pekerja seks perempuan di Denpasar.

4. Potensi menularkan HIV dari pelanggan pekerja seks perempuan di Kota Denpasar.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dapat dibedakan menjadi dua yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

Manfaat teoritis, diharapkan hasil penelitian ini akan dapat:

a. Menambah dan memperkaya kajian jaringan atau perilaku seks pasangan konkuren yang mempunyai potensi menularkan HIV ke masyarakat umum.

b. Menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan tipe epidemi HIV yang terjadi, khususnya di Kota Denpasar.

Manfaat praktis, hasil penelitian yang diperoleh akan dapat dipergunakan untuk:

a. Menjadi bahan masukan dalam penyusunan dan pengembangan program penanggulangan HIV/AIDS.

(30)

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perilaku Seks Pasangan Konkuren

Penularan HIV/AIDS telah mengalami pergeseran, sebelumnya penyebaran didominsi oleh transmisi jarum suntik bagi pemakai narkoba suntik namun saat ini telah mengalami perubahan cara penularan yaitu melalui hubungan seks. Transmisi seks ini dapat terjadi secara heteroseks maupun homoseks. Perilaku seks semakin meningkatkan penularan HIV apabila dilakukan dengan mempunyai banyak pasangan seks. Melakukan hubungan seks yang berganti-ganti dapat dilakukan dengan istri, pasangan seks di luar pernikahan dan pekerja seks komersial. Hubungan seks dengan banyak pasangan ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perilaku seks pasangan konkuren dan serial monogamy. Perilaku seks pasangan konkuren merupakan perilaku seseorang yang mempunyai pasangan seks lebih dari seorang secara paralel dalam kurun waktu yang sama (Kelley dkk., 2003; Pebody, 2009; USAIDS & AIDSTAR-One, 2009; Steffenson dkk., 2011). Berbeda dengan serial monogamy, dimana hubungan yang dilakukan dengan lebih dari seorang pasangan namun dalam kurun waktu yang berbeda (Pebody, 2009; Kelley dkk., 2003), pasangan seks yang seorang berhenti lalu digantikan dengan pasangan seks lainnya, demikian seterusnya.

(31)

Penelitian di Amerika pada tahun 2002, mempergunakan data sejak tahun 1991, secara umum ditemukan bahwa 12% penduduk dewasa mempunyai perilaku seks pasangan konkuren (Manhart dkk., 2002). Penelitian lain melaporkan bahwa 30% remaja dalam usia seksual aktif mempunyai lebih dari satu pasangan seks dalam 18 bulan dan 40% di antara pasangan tersebut berlangsung secara overlaping atau concurrent dalam waktu bersamaan. Secara keseluruhan 3,8% dari responden adolesen melaporkan pernah terjangkit infeksi menular seksual dalam kurun waktu 12 bulan terakhir (Kelley dkk., 2003). Sedangkan tahun 2008 National Knowledge, Attitude, Behaviour and Practices (KABP) Survey memperoleh bahwa lebih dari sepertiga responden berusia 15-49 tahun mempunyai lebih dari seorang pasangan seks non-komersial lain dalam kurun waktu setahun terakhir, lelaki rata-rata mempunyai lima pasangan (Wedderburn dkk., 2011).

(32)

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penduduk lelaki lebih banyak proporsinya mempunyai perilaku seks pasangan konkuren dibandingkan dengan perempuan (Badan Pusat Statistik dan Departemen Kesehatan, 2007; Helleringer dan Kohler, 2007; Mishra dan Van Assche, 2009; Paik, 2010; Bellan dkk., 2013), dan secara spesifik Steffenson, dkk (2011) di Afrika Selatan dan Manhart, dkk. (2002) di daerah perkotaan menemukan proporsi lelaki yang mempunyai perilaku seks pasangan konkuren 24,7% berbanding wanita 4,7%. Lama hubungan yang overlaping terjadi selama 4 bulan untuk wanita dan hanya 3 bulan pada lelaki. Hasil di atas berbeda dengan Maher dkk,. (2011) yang melaporkan bahwa perilaku seks pasangan konkuren di Afrika dalam setahun oleh lelaki (11%) lebih rendah daripada perempuan (25%).

(33)

Mobilitas masyarakat dan pekerja migran mempunyai kontribusi positif dalam hubungan ekstramarital dan perilaku seks pasangan konkuren. Bepergian atau berada jauh dari rumah, maka hubungan transaksional antara wanita dengan pria untuk keuntungan ekonomi menjadi umum dan berkontribusi untuk mempraktekkan konkurensi (USAIDS & AIDSSTAR-One, 2009). Mempunyai banyak pasangan seks yang bersifat konkuren di luar tempat tinggalnya menunjukkan bahwa mobilitas dan migrasi berhubungan dengan adanya perilaku seks pasangan konkuren (Xu dkk., 2010).

(34)

Estimasi transmisi HIV lewat pasangan di luar pernikahan didapatkan lebih besar pada lelaki (27-61%) dari pada perempuan (21-51%) dan bervariasi antar negara di dunia. Sehingga perkiraan kejadian infeksi HIV baru melalui penularan di luar pernikahan tahun 2011, lelaki (32-65%) lebih tinggi dibandingkan perempuan (10-47%) (Bellan, dkk., 2013). Pemahaman yang lebih baik tentang perilaku seks pasangan konkuren, karakteristik dan perilaku individu di antara mereka dapat berkontribusi dalam pencegahan HIV seperti mereduksi infeksi menular seksual lainnya. Sebagai contoh pemakaian kondom yang rendah (56%) akan memudahkan penularan HIV (Xu dkk., 2010).

Pemakaian kondom merupakan metode pencegahan IMS dan HIV. Insiden

HIV pada pekerja seks perempuan yang memakai kondom saat melayani pelanggan 15 kali lebih rendah daripada pekerja seks perempuan yang tidak memakai kondom (Borquez, dkk., 2011). Saat transaksi seksual maka keputusan pemakaian kondom didominasi oleh lelaki. Perempuan tetap mempunyai tanggung jawab pemakaian

kondom, hanya status ekonomi rendah, tempat tinggal belum menetap dan

kekerasan yang dihadapinya menyebabkan perempuan sulit bernegosiasi untuk

(35)

Di Yunnan, 33,7% pelanggan pekerja seks melaporkan selalu pakai kondom dan 63,5% memakai kondom saat hubungan seks terakhir dengan pekerja seks perempuan. Alasan tidak mau memakai kondom adalah pekerja seks tidak mengidap infeksi menular seksual. Hal ini diyakini karena lebih dari separuh (52,7%) pelanggan memeriksa pekerja seks perempuan sebelum melakukan hubungan seks dari penampilannya untuk meyakinkan bahwa tidak ada atau tidak mempunyai gejala-gejala infeksi menular seksual. Salah satu kemungkinan yang dapat menjelaskan mengapa pelanggan tanpa pasangan reguler mempunyai risiko tinggi infeksi HIV karena pelanggan mengunjungi pekerja seks perempuan lebih sering atau frekuensi berganti-ganti pasangan yang tinggi (Xia dkk., 2010).

(36)

Risiko pelanggan pekerja seks tertular HIV akan mengalami peningkatan sesuai dengan durasi, tempat membeli seks, jumlah pekerja seks perempuan yang dikunjungi dan kunjungan berulang-ulang pada pekerja seks perempuan yang sama. Semakin lama periode waktu pelanggan mengunjungi pekerja seks perempuan (AOR: 1,1; 95% CI: 1,0-1,1; p<0,001) dan lokasi dengan asuhan mucikari (AOR: 2,4; 95% CI: 1,2-4,7; p=0,001) maka potensinya meningkat (Shaw dkk., 2011).

Sirkumsisi merupakan salah satu cara biologis untuk mengurangi penularan infeksi menular seksual dan HIV. Pada kelompok masyarakat dalam lingkungan sirkumsisi rendah, perilaku banyak pasangan seks yang concurrent dan pemakaian kondom yang juga rendah dikategorikan sebagai daerah yang berisiko sangat tinggi dalam penularan HIV. Daerah-daerah seperti ini banyak ditemukan di wilayah Afrika Selatan dan Timur (USAIDS & AIDSTAR-One, 2009).

2.2 Epidemi HIV/AIDS

(37)

Penularan dari ibu hamil yang mengidap HIV+ kepada janin terjadi saat hamil, persalinan dan masa menyusui (Pinsky dan Douglas, 2009; Catie, 2010).

Penularan infeksi HIV sangat cepat mengikuti pertambahan deret ukur, pada awalnya hanya terjadi pada kelompok-kelompok dengan perilaku risiko tinggi tetapi saat ini telah ditemukan kasus-kasusnya di lingkungan rumah tangga. Penderita HIV pertama kali ditemukan di Amerika tahun 1981 pada kelompok lelaki homoseks atau lelaki yang suka berhubungan seks dengan lelaki (LSL). Saat itu ditemukan penderita dengan gejala-gejala infeksi oportunistik (IO) berupa pneumosistis pneumonia dan sarkoma Kaposi. Kejadian infeksi oportunistik ini berhubungan dengan penurunan kekebalan tubuh penderitanya. Selanjutnya dua tahun kemudian penemuan kasus-kasus infeksi HIV ini sangat berhubungan dengan gaya hidup, khususnya pada pemakai narkoba suntik. Jumlah kasus-kasus HIV yang ditemukan melalui transmisi lelaki suka seks dengan lelaki berimbang dengan kasus-kasus akibat penularan lewat darah dan produk darah (Pappas dkk., 2011; Bennett, 2011). Sedangkan penyebaran infeksi HIV di Afrika terbawa oleh sopir truk pada pertengahan abad ke-20 sampai akhirnya mengglobal (Bennett, 2011).

(38)

Kasus-kasus HIV baru bermunculan dan menambah kebutuhan akan pengobatan, dimana sebanyak lebih kurang lima juta orang dengan Odha telah memperoleh pengobatan anti retro virus (ARV) jangka panjang (UNAIDS, 2010a). Lima juta di antara kasus-kasus HIV/AIDS berada di negara-negara Asia. Namun belum ada negara di Asia yang telah masuk dalam kategori generalized HIV epidemic. Hanya Thailand yang diketahui mempunyai prevalensi HIV/AIDS mendekati 1% pada populasi umum dan jumlah penemuan kasus HIV baru sebanyak 60.000 orang setiap tahunnya. Berdasarkan pada indikator biologis maka UNAIDS membedakan epidemi HIV menjadi concentrated HIV epidemic dan generalized HIV epidemic. Disebut concentrated HIV epidemicapabila ditemukan angka prevalensi HIV pada masyarakat umum kurang dari 1%, tetapi lebih tinggi dari 5% pada kelompok populasi yang mempunyai risiko tinggi seperti lelaki suka seks dengan lelaki (LSL), pemakaia narkoba suntik (penasun), pekerja seks komersial dan pelanggan pekerja seks. Sedangkan tipe generalized HIV epidemic apabila angka prevalensi HIV pada masyarakat umum ditemukan melebihi angka 1%. Selain indikator biologis tersebut, maka dalam tipe generalized HIV epidemic ditambahkan dengan indikator perilaku berupa adanya perilaku seks banyak pasangan secara berganti-ganti.

(39)

Sepuluh provinsi yang berada di atas prevalensi nasional setelah Papua adalah Provinsi Bali (85,95), disusul oleh DKI Jakarta (65,56), Kalimantan Barat (38,65), Sulawesi Utara (28,71), Papua Barat (23,41), DI Yogyakarta (22,62), Kepulauan Riau (22,23), Maluku (20,35) dan Bangka Belitung (19,95) (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2013).

(40)
(41)

Sehingga guna meningkatkan temuan kasus-kasus infeksi HIV, maka Centre of Disease Control and Prevention (CDC) (2013) memberi rekomendasi agar pencarian kasus baru dilakukan secara lebih aktif dengan memberikan penawaran oleh provider kesehatan untuk layanan tes HIV secara rutin kepada pengunjung klinik. Klinik yang dianjurkan adalah klinik emergensi, infeksi menular seksual (IMS), tuberkulosis (TB), penyalahgunaan obat narkoba dan klinik kesehatan lainnya (WHO Searo, 2007; Abramowski, 2010; Lowes, 2010). Layanan provider introduced testing and councelling (PITC) berhasil menemukan kasus infeksi HIV melalui rumah sakit di Afrika dan Amerika (Ivers dkk,. 2007) dan klinik TB di India (Thomas dkk., 2008; Swaminathan dkk., 2009; Vijay dkk., 2009).

(42)

Cara penularan lewat jarum suntik juga menurun secara global. Proporsi kasus infeksi HIV pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 di China mengalami penurunan cara penularan lewat jarum suntik pemakai narkoba dari 44,3% menjadi 29,4% sedangkan penularan melalui jalur seksual meningkat dari 10,7% menjadi 37,9%. Kenaikan infeksi HIV terjadi secara bermakna, khususnya pada pekerja seks dan pelanggannya (Xia dkk., 2010). Di Indonesia penularan infeksi HIV juga mengalami perubahan yang sama. Kasus infeksi HIV yang dilaporkan oleh Ditjen PP & PL Kemenkes RI 2013, menunjukkan bahwa penularan seksual (60%) lebih tinggi dibanding penularan lewat penasun (18%). Data yang ditunjukkan oleh Provinsi Bali perbedaan kedua cara penularan tersebut lebih besar lagi yaitu penasun dan transmisi seksual dengan perbandingan 10,34%:77,37% (Dinkes Prov. Bali, 2013). Bahkan cara penularan melalui hubungan seksual ditemukan juga pada para remaja Bali seperti dilaporkan bahwa sebagian besar dari 95 orang remaja di Bali yang terinfeksi HIV terjadi akibat hubungan seks (KPAD Prov. Bali, 2011).

2.3 Pekerja Seks Perempuan

Pelacuran atau prostitusi adalah suatu bentuk perilaku hubungan kelamin di

luar pernikahan dalam mencari kepuasan dengan memakai bayaran. Disini terdapat

dua pihak yang melakukan transaksi, yaitu penjual jasa yang menerima pembayaran

untuk memberikan kepuasan dalam bentuk jasa seks dan pembeli seks yang

menikmati kepuasannya (Eka, 2010; Wedderburn dkk., 2011; Sihombing dan

(43)

Tidak semua transaksi seks oleh pekerja seks dilakukan secara legal, seperti di

Jamaika, keberadaan pekerja seks belum atau tidak diakui dan mengalami stigma

dari masyarakat. Oleh karena itu maka pekerja seks melakukan transaksi secara terselubung sebagai penari eksotik, karyawati panti pijat, mejeng atau menawarkan jasanya di jalanan dan tempat-tempat lainnya (Wedderburn dkk., 2011).

Sesuai dengan definisi bekerja menurut Undang-Undang RI No. 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan, maka yang dimaksud sebagai pekerja atau buruh

adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Adiputra, 2010). Definisi pekerja menurut undang-undang ini membuat kerancuan, karena sampai saat ini pelacuran di Indonesia juga tidak diakui keberadaannya, dihujat oleh masyarakat karena mengganggu ketertiban umum

sehinggan transaksi seks dilakukan secara ilegal dan dilakukan secara

sembunyi-sembunyi (Bawole, 2013; Christie dan Poerwandari, 2013; Sihombing dan Hutagalung, 2013). Namun di lain pihak, banyak juga yang memerlukannya sebagai pemenuhan kebutuhan pemuasan para pelanggan (Eka, 2010).

Banyak faktor yang mempengaruhi masyarakat terjerumus menjadi pekerja

seks, seperti faktor ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan. Para wanita menjadi

pekerja seks karena faktor kemiskinan dan diceraikan oleh suaminya tetapi mereka

mesti menanggung biaya hidup dan sekolah anak-anaknya (Setiawan, 2007; Eka,

2010; Asutrisna, 2011; Wedderburn dkk., 2011; Bawole, 2013; Christie dan Poerwandari, 2013). Faktor kemiskinan akibat ekonomi yang tidak memadai serta

tidak adanya keterampilan khusus menyebabkan perempuan memilih jalan pintas

(44)

Faktor sosial, seperti keretakan dalam rumah tangga yang dapat menimbulkan

kekurangan kasih sayang orang tua terhadap anak-anaknya dan didukung oleh

lingkungan masyarakat menyebabkan seorang anak gadis akan terjerumus ke dalam

pergaulan bebas dengan kehidupan yang penuh kemewahan. Pemenuhan kebutuhan

kehidupan ini akhirnya menjerumuskannya ke dalam kehidupan sebagai pekerja

seks. Faktor pendidikan yang rendah baik secara formal maupun informal

menyebabkan lemahnya kemampuan nalar dalam etika dan moral sehingga dengan

mudah memilih pekerjaan sebagai pekerja seks perempuan (Setiawan, 2007; Eka,

2010; Asutrisna, 2011; Bawole, 2013; Christie dan Poerwandari, 2013).

Berdasarkan cara menawarkan jasa maka pekerja seks dibedakan menjadi dua

kelompok yaitu pekerja seks secara langsung dan tidak langsung. Pekerja seks yang

bekerja langsung adalah mereka yang melakukan bentuk-bentuk kegiatan seks

secara terbuka, berada di rumah bordil dan di jalanan yang langsung menawarkan

dan menjual jasa seks kepada pelanggan. Sedangkan pekerja seks tidak langsung

mempunyai pekerjaan utama, seperti karyawati panti pijat, karaoke dan cafe, namun

karena kebutuhan ekonomi mereka juga menyediakan jasa seks. Penelitian di

(45)

Pekerja seks perempuan di India yang mempergunakan telepon seluler sebagai media dalam melakukan transaksi jasa seks, dilaporkan hanya seperempat yang memakai kondom secara tidak konsisten, lebih susah melakukan negosiasi pemakaian kondom, minum alkohol dan lebih banyak mengalami infeksi menular seksual (Mahapatra dkk., 2012).

Pekerja seks mempunyai berbagai macam pelanggan akan terpapar dengan

risiko sebagai akibat perilaku pelanggannya. Risiko pekerja seks perempuan mulai

dari tidak memperoleh bayaran atau ditipu, kekerasan, kehamilan yang tidak

dikehendaki serta tertular IMS dan HIV. Risiko tertular ini sebagai akibat ketidakmampuan pekerja seks menawarkan kondom (Setiawan, 2007; Eka, 2010). Selain pekerja seks tertular penyakit maka sebaliknya pelanggan juga akan tertular penyakit tersebut. Studi di India menunjukkan secara bermakna bahwa pekerja seks perempuan merupakan sumber penularan IMS dan HIV (Shaw dkk., 2011).

Konsumsi alkohol, pemakaian obat-obatan terlarang dan kekerasan yang mungkin dialami oleh para pekerja seks perempuan akan menjadi faktor risiko penting dan mempunyai dampak buruk terhadap perilaku seks yang aman. Demikian pula ketidakseimbangan kultur dan gender disertai mobilitas pekerja seks perempuan menyebabkan keterbatasan untuk melakukan negosiasi seks yang aman atau melindungi diri dari kekerasan (Wedderburn dkk., 2011).

(46)

Berdasarkan estimasi oleh Kementerian Kesehatan tahun 2009, jumlah pekerja seks perempuan di Indonesia ada sebanyak 214.054 orang, terdiri dari pekerja seks perempuan langsung 106.011 orang dan tidak langsung 108.043 orang. Sedangkan di Provinsi Bali estimasi pekerja seks perempuan langsung berjumlah 3.945 orang dan pekerja seks perempuan tidak langsung 6.738 orang (Tabel 2.1) (KemenKes RI, 2009). Pekerja seks perempuan di Indonesia rata-rata berusia 27,9 tahun dengan rata-rata lama bekerja sebagai pekerja seks selama 1,7 tahun (median 12 bulan), dan

kurang dari separuhnya (44%) bekerja dalam kurun waktu di bawah setahun.

Kebanyakan pekerja seks perempuan telah menikah tetapi hanya 8% yang masih

berstatus menikah. Rata-rata pelanggan dalam seminggu terakhir sebanyak 8,1

orang, tingkat pemakaian kondom yang konsisten dalam seminggu terakhir dengan

pelanggannya sebesar 30%. Empat puluh enam persen pekerja seks perempuan

pernah mengalami gejala infeksi menular seksual dan melakukan pengobatan

profesional pada tenaga medis. Dibandingkan dengan pekerja seks perempuan tidak langsung, maka kebanyakan pekerja seks perempuan langsung berusia lebih muda, lebih banyak melayani pelanggan dalam seminggu terakhir (rata-rata 4,3:10,9), dan

lebih cenderung tertular infeksi menular seksual. Pekerja seks perempuan tidak

langsung melaporkan pemakaian kondomnya dengan pelanggan seminggu terakhir

lebih konsisten dibandingkan pekerja seks perempuan langsung (p<0.001). Secara keseluruhan prevalensi dan insiden HIV+ pada pekerja seks perempuan langsung

lebih tinggi dibanding pekerja seks tidak langsung. Prevalensi HIV+ sebesar 8,2%,

pada pekerja seks perempuan langsung dua kali lebih tinggi dari pada pekerja seks

(47)
[image:47.595.113.512.160.458.2]

Tabel 2.1: Perkiraan Jumlah Pekerja Seks Perempuan dan Pelanggannya di Bali tahun 2009*)

Kabupaten/ Kota

Jumlah Pekerja Seks Perempuan Jumlah Pelanggan

PSP

Langsung Tidak Langsung Total

Jembrana 440 504 944 13.268

Tabanan 280 493 773 9.905

Badung 500 1.750 2.250 25.029

Gianyar 175 577 752 8.457

Klungkung 50 465 515 4.961

Bangli 25 408 433 3.967

Karangasem 125 471 596 6.548

Buleleng 150 632 782 8.448

Denpasar 2.200 1.433 3.633 57.155

Bali (Total) 3.945 6.738 10.683 137.738

*) Sumber: Kemenkes RI, 2009

2.4 Pelanggan Pekerja Seks Perempuan

(48)

Pelanggan pekerja seks perempuan termasuk kelompok lelaki yang mempunyai perilaku risiko tinggi (LBT) tertular IMS dan HIV. Lebih dari separuh pelanggan PSP di Kauyuan, China mempunyai pasangan seks yang reguler, dimana 60,5% tidak pernah memakai kondom. (Xia dkk., 2010). Hasil survei di Zambia (2001), memperoleh gambaran bahwa 26,8% lelaki usia seksual aktif pernah membeli seks dan 13,2% memanfaatkan pelayanan pekerja seks dalam 12 bulan terakhir (Leclerc dan Garenne, 2001). Mayoritas pelanggan pekerja seks perempuan yang menjadi responden di Karnataka, India (66%) (Shaw dkk., 2011) dan di Yunan, China (59,7%) (Xia dkk., 2010) melaporkan mempunyai pasangan reguler termasuk istri dan atau pacar. Sedangkan di Zambia pelanggan pekerja seks perempuan secara bermakna (p<0,001) didominasi oleh lelaki yang tidak menikah (29,3%) dibandingkan dengan lelaki menikah (6,7%). Usia pelanggan di Zambia mempengaruhi lelaki beristri mengunjungi pekerja seks perempuan, yaitu kunjungan ke pekerja seks perempuan semakin menurun secara bermakna dengan bertambahnya umur pelanggan (Leclerc dan Garenne, 2001).

(49)

Rata-rata seorang pelanggan mengunjungi pekerja seks perempuan adalah 4,3 orang yang berbeda dalam kurun waktu 6 bulan di India (Shaw dkk., 2011), 3,8 kali per tahun di Zambia (Leclerc dan Ganrenne, 2001), sedangkan di China dilaporkan lebih dari sekali dalam sebulan (Xia dkk, 2010). Sebagian besar (85%) pelanggan melakukan kontak dengan pekerja seks perempuan lebih dari sekali, dan kurang dari separuhnya mengadakan kontak dengan pekerja seks perempuan yang reguler, yaitu 42% di India (Shaw dkk., 2011) dan 26% di China (Xia dkk., 2010). Banyak variabel yang mempengaruhi pelanggan pekerja seks perempuan untuk membeli seks antara lain adalah: tempat tinggal, pendidikan, keadaan sosial-ekonomi, pemakaian alat kontrasepsi dan suka bepergian ke luar daerah. Variabel tempat tinggal di daerah pedesaan mempunyai kontribusi yang positif bagi pelanggan untuk mencari dan membeli jasa seks, khususnya pada lelaki yang telah menikah (Leclerc dan Ganrenne, 2001).

Status sosial ekonomi meliputi pendidikan dan penghasilan yang rendah juga mempunyai kecenderungan bagi lelaki untuk mencari pekerja seks perempuan. Pendidikan pelanggan menengah ke atas mempunyai pengaruh terhadap status lelaki lajang sedangkan tingkat penghasilannya berpengaruh pada lelaki yang menikah (Leclerc dan Ganrenne, 2001).

(50)

Status perkawinan dan jumlah anak tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan kegiatan pelanggan mencari pekerja seks perempuan. Sedangkan durasi perkawinan mempunyai efek, yaitu perkawinan yang berlangsung lebih lama akan menurunkan risiko pelanggan mengunjungi pekerja seks perempuan, tetapi tidak ada pengaruh pada duda dan lelaki yang telah bercerai. Pada kelompok lelaki yang tidak menikah terjadi peningkatan kunjungan ke pekerja seks perempuan dalam setahun apabila mempunyai jumlah pasangan seks dua orang atau lebih (Leclerc dan Ganrenne, 2001).

Konsumsi alkohol (Psi Haiti, 2009; Leclerc dan Garenne, 2001) dan kebiasaan merokok (Leclerc dan Garenne, 2001) mempunyai efek yang meningkatkan risiko pelanggan dalam mengunjungi pekerja seks perempuan. Lebih dari separuh pelanggan pekerja seks perempuan melaporkan bahwa mereka mengkonsumsi alkohol sebelum berkunjung ke lokasi pelacuran di negara China (Xia dkk., 2010), Thailand, Australia, Belanda dan Zimbabwe (Li dkk., 2010).

Selain pelanggan maka pekerja seks perempuan juga melaporkan mempunyai

kebiasaan minum-minum alkohol bersama-sama dengan para pelanggan sebelum

melakukan hubungan seks. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memfasilitasi

dalam melakukan transaksi.

(51)

Lebih dari 80% orang yang berisiko tersebut adalah pelanggan pekerja seks dan pasangan tetapnya, istri dan atau pacarnya. Jumlah pelanggan pekerja seks perempuan sendiri diperkirakan sebanyak 3.241.244 orang, terdiri dari 2.585.996 orang pelanggan pelanggan pekerja seks perempuan langsung dan 883.932 orang pelanggan pekerja seks perempuan tidak langsung. Jumlah pelanggan pekerja seks perempuan yang berada di Provinsi Bali diperkirakan sebanyak 137.738 orang dengan jumlah terbanyak berada di Kota Denpasar (Tabel 2.1) (Kemenkes RI, 2009). Perkiraan jumlah pelanggan pekerja seks perempuan di Bali ini merupakan 10% dari penduduk lelaki di Bali usia 15-69 tahun sebanyak 1.370.945 (BPS Prov. Bali, 2013). Walaupun proporsi ini belum pasti kebenarannya, karena pelanggan pekerja seks tersebut tidak hanya penduduk Provinsi Bali tetapi juga ada penduduk pendatang yang belum menetap di wilayah Bali.

(52)

2.5 Alat Ukur Perilaku Seks dan Pemakaian Kondom

Survei untuk menggambarkan hubungan antara perilaku seks dengan kejadian infeksi HIV mempunyai keterbatasan. Hal ini disebabkan cara pengukuran yang berbeda. Perilaku seks pasangan konkuren diukur saat dilakukan survei sedangkan infeksi HIV merupakan kejadian akumulasi beberapa tahun sebelumnya. Selain menggali perilaku seks pasangan konkuren, maka dibutuhkan pula pemahaman tentang alasan-alasan melakukan perilaku seks pasangan konkuren dan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perilaku seks, seperti persepsi rendah tentang risiko, denial (penolakan), konsumsi alkohol, dan lain sebagainya (USAIDS & AIDSTAR-One, 2009).

Penelitian tentang perilaku seks yang konkuren sebaiknya dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang konkurensi dengan akurat atas prevalensi, jumlah dan lama episode konkurensi yang telah berlangsung. Informasi riwayat seksual secara individual tentang karakteristik konkurensi untuk mengetahui kerentanan terhadap penularan HIV dan IMS. Pengambilan sampel sebaiknya mempertimbangkan kedekatan gambaran populasi secara keseluruhan, seperti durasi episode concurrent, jumlah pasangan seks dan pemakaian kondom (Xu dkk., 2010).

Ukuran mendasar untuk concurrent adalah point prevalence of concurrency,

(53)

Data ini dikumpulkan pada saat wawancara sehingga merupakan informasi paling akurat, cumulative prevalence of concurrency adalah banyaknya pasangan konkuren dalam periode waktu tertentu, dan intensity of overlap durasi terjadinya overlaping dan frekuensi seks selama overlap tersebut (USAIDS & AIDSTAR-One, 2009).

Sebagaimana diketahui perilaku seksual merupakan aktivitas pribadi bersifat privacy dan dipengaruhi oleh tingkat sosial, budaya, kepercayaan, moral dan norma-norma yang berlaku (Fenton dkk., 2001) sehingga sering responden menutupi perilakunya. Untuk mengurangi bias recall akibat ketidakjujuran dalam mengungkap jaringan seksnya, maka dalam penelitian dipilih responden pada kelompok yang mempunyai risiko terhadap perilaku dengan banyak pasangan seks atau dampak yang ditimbulkannya. Kelompok tersebut antara lain adalah penderita yang datang ke Klinik Infeksi Menular Seksual dengan kasus sífilis di St. Louis, Missouri (Stoner, 2002) dan pasien gonore di Alberto, Canada (De dkk., 2004), pekerja tambang minyak di Nigeria (Faleyimu dkk., 1998) dan polisi di Nigeria (Akinnawo, 1995).

(54)

Pelanggan pekerja seks perempuan kelas rendah relatif lebih mudah diakses karena aktifitas pekerja seksnya sudah jelas dan spesifik, sedangkan pelanggan pekerja seks perempuan kelas menengah ke atas lebih sulit diidentifikasi karena transaksi seks dilakukam secara lebih tertutup dalam perumahan yang lebih bersifat pribadi. Cara penetapan sampel secara self-selection tanpa mempertimbangkan informasi tentang perbedaan antara sampel dengan populasi pelanggan, maka hasilnya tidak dapat digeneralisir ke populasi pelanggan (Xia, dkk., 2010).

(55)
(56)

34

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN

HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Kejadian HIV/AIDS di Indonesia dan Bali menuju ke arah generalized HIV epidemic, dengan ditemukannya kejadian HIV pada populasi umum di atas 1%. Seorang ibu rumah tangga, sebagai penduduk yang mempunyai perilaku risiko rendah, tertular HIV diperoleh dari suaminya yang berisiko tinggi tertular HIV. Suami berpotensi menularkan HIV karena menjadi pelanggan pekerja seks perempuan dan mempunyai banyak pasangan seks dalam perilaku seks pasangan konkuren. Potensi menularkan HIV oleh pelanggan pekerja seks perempuan akan diperkuat oleh jumlah pasangan dan frekuensi melakukan hubungan seks baik dengan pekerja seks perempuan maupun pasangan seks non-komersial, pemakaian kondom dan pengalaman menderita infeksi menular seksual (Gambar 3.1).

(57)

Demikian pula dengan jumlah pasangan seks non-komersial lain, dalam hubungan seks pasangan konkuren, maka semakin banyak jumlah pasangan seks non-komersial lain yang dimiliki responden dan semakin sering frekuensi hubungan seks maka semakin besar risiko penularan HIV. Perilaku seks pasangan konkuren terbukti pula menjadi faktor risiko penularan HIV kepada masyarakat yang mempunyai perilaku risiko rendah.

Kondom dalam mencegah penularan HIV harus dipakai secara konsisten setiap melakukan hubungan seks. Apabila pemakaian kondom tidak konsisten, apalagi dengan pekerja seks perempuan yang berisiko tinggi, maka pelaku transaksi seks akan mempunyai risiko tertular HIV. Walaupun kemungkinan penularan HIV melalui jalur seksual adalah kecil (0,05%-0,19%), yaitu bila seorang Odha melakukan hubungan seks dengan 1.000 orang maka hanya seorang yang mungkin tertular. Probabilitas penularan lewat hubungan seks lebih kecil dibandingkan penularan lewat jarum penasun (0,7%-0,8%), tetapi karena hubungan seks dilakukan berulang kali dengan banyak pasangan, baik dengan pekerja seks perempuan maupun pasangan seks non-komersial lain, maka kasus HIV yang ditemukan semakin meningkat akibat perilaku seks tersebut.

(58)

Keempat variabel tersebut bersama perilaku seks pasangan konkuren secara bersama-sama membangun variabel baru yaitu potensi menularkan HIV. Perhitungan variabel baru ini dengan menggabungkan masing-masing indeks komposit dari kelima sub-variabel pendukung. Nilai total komposit menjadi potensi pelanggan pekerja seks perempuan menularkan HIV dibedakan menjadi dua, yaitu potensi tinggi dan potensi rendah berdasarkan nilai rata-rata yang diperoleh.

Perilaku seks pasangan konkuren dan potensi menularkan HIV dipengaruhi oleh faktor determinan meliputi: umur, pendidikan, tempat tinggal, tempat kelahiran, pekerjaan, penghasilan, sirkumsisi, usia pertama kali melakukan hubungan seks, mobilitas dan konsumsi alkohol. (Gambar 3.1).

Proporsi perilaku seks pasangan konkuren dan potensi menularkan HIV lebih tinggi pada responden yang berusia lebih tua, pendidikan lebih tinggi, tinggal di kota, lahir di Bali, bekerja di luar kantor, mempunyai penghasilan lebih, melakukan hubungan seks pertama pada usia muda, tidak disirkumsisi, mempunyai mobilitas tinggi dan mengkonsumsi alkohol.

(59)
(60)
[image:60.595.84.526.222.706.2]

3.2 Konsep Penelitian

Gambar 3.1: Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Seks Pasangan Konkuren Pelanggan Pekerja Seks Perempuan

dan Potensi Menularkan HIV

Jumlah

PSP

Jumlah

WIL

Pemakaian

Kondom

Perilaku Seks Pasangan Konkuren

Potensi

menularkan

HIV

Pengalaman

IMS

Umur

Pendidikan

Tempat tinggal

Tempat kelahiran

Pekerjaan

Penghasilan

Sirkumsisi

Usia pertama hubungan seks

Mobilitas

Konsumsi alkohol

(61)

3.3 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Adanya perilaku seks pasangan konkuren di antara pelanggan pekerja seks perempuan.

2. Telah terjadi tipe generalized HIV epidemic di Bali.

3. Potensi menularkan HIV lebih tinggi pada usia responden yang lebih tua.

4. Potensi menularkan HIV lebih tinggi pada pendidikan responden yang lebih tinggi.

5. Potensi menularkan HIV lebih tinggi pada responden yang tinggal di kota.

6. Potensi menularkan HIV lebih tinggi pada responden yang bekerja di luar kantor.

7. Potensi menularkan HIV lebih tinggi pada responden yang mempunyai penghasilan lebih tinggi.

8. Potensi menularkan HIV lebih tinggi pada responden yang berhubungan seks pertama pada usia muda.

9. Potensi menularkan HIV lebih tinggi pada responden yang mempunyai mobilitas tinggi.

(62)

40

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

[image:62.595.257.414.407.738.2]

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif untuk memperoleh gambaran perilaku seks pasangan konkuren pelanggan pekerja seks perempuan di Denpasar. Rancangan penelitian yang dipergunakan adalah cross-sectional (Gambar 4.1)

Gambar 4.1: Skema Rancangan Cross-sectional

Populasi (Pelanggan PSP)

Sampel

CSP +/-

Potensi tinggi

(63)

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kota Denpasar yang mempunyai lokasi pekerja seks perempuan secara langsung terbanyak dan mobilitasnya relatif lebih stabil dibandingkan pekerja seks perempuan di kabupaten lainnya di wilayah Provinsi Bali. Data dikumpulkan pada bulan September sampai dengan bulan November 2014.

4.3 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah Bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat, berkaitan dengan terjadinya pandemi HIV/AIDS serta upaya penanggulanggannya.

4.4 Penentuan Sumber Data

(64)

Kriteria inklusi responden pelanggan pekerja seks perempuan adalah:

 Pelanggan pekerja seks perempuan yang keluar dari kamar pekerja seks perempuan setelah melakukan transaksi seks.

 Bertempat tinggal dan menetap di Bali selama tiga tahun atau lebih.

Sedangkan kriteria eksklusinya adalah:

 Dalam keadaan mabuk sehingga akan sulit berkomunikasi.  Menolak untuk wawancara.

Besar sampel ditetapkan berdasarkan metode analisis regresi logistik dengan asumsi bahwa variabel terikat perilaku seks pasangan konkuren proporsinya (Py) sebesar 20%, proporsi mobilitas (Px) sebagai prediktor 30% dan efek size atau OR=3 pada tingkat kemaknaan (1-α) 95%, power penelitian (1-β) 80%. Mempergunakan rumus (Hoswer dan Lemeshow, 2000):

� = { � + �ln � } ² � 1 − 1 1 −

(65)

Kerangka sampelnya adalah pekerja seks perempuan langsung yang ada di Kota Denpasar dengan jumlah sebanyak 932 orang. Pemilihan sampel dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama memilih 200 orang dari 932orang pekerja seks perempuan secara systematic random sampling. Tahap kedua memilih pelanggan pekerja seks perempuan secara consecutive sampling yaitu pelanggan yang pertama kali diketahui keluar dari kamar pekerja seks setelah melakukan transaksi seks dan memenuhi kriteria inklusi.

4.5 Variabel Penelitian

Variabel yang diteliti terdiri dari variabel tergantung dan variabel bebas. Variabel tergantung adalah potensi menularkan HIV dan variabel bebasnya adalah perilaku seks pasangan konkuren, dan faktor karakteristik serta perilaku sebagai faktor determinan (Gambar-3.1).

Karakteristik responden meliputi umur, pendidikan, tempat tinggal dan asal kelahiran, pekerjaan dan penghasilan. Sedangkan perilaku responden yang dikumpulkan adalah: sirkumsisi, usia pertama kali melakukan hubungan seks, mobilitas dan konsumsi alkohol.

4.6 Definisi Operasional Variabel

(66)
[image:66.595.113.512.146.705.2]

Tabel 4.1: Definisi Operasional Variabel

No. Variabel Definisi Skala

Pengukuran Analisis 1. Perilaku seks

pasangan konkuren

Hubungan seks yang dilakukan responden dengan ≥2 pasangan dalam kurun waktu setahun dari saat wawancara (USAIDS & AID-STAR-One, 2009; Mishra dan Van Assche, 2009; Pe-body, 2009; Steffen-son dkk., 2011; Bellan dkk., 2013).

Interval Kategorikal, dibedakan menjadi: 0 = tidak dan 1 = ya

2. Generalized HIV epidemic

Jenis epidemi HIV yang memenuhi kriteria prevalensi HIV pada masyarakat umum (ibu hamil dan darah donor) di atas 1% didukung oleh proporsi perilaku CSP lebih tinggi dari dae-rah/negara yang sudah masuk ke dalam tipe generalize HIV epidemic (UNAIDS dan WHO, 2007). Interval (data sekunder) Ikategorikal, dibedakan menjadi 0=tidak dan 1=ya 3. Potensi menularkan HIV ke masyarakat umum Kemungkinan respon-den menularkan HIV kepada istrinya dan pa-sangan lainnya. Diper-oleh dari perhitungan nilai komposit total pe-rilaku CSP dengan jumlah PSP dan pasangan seks non-komersial lain,

pemakaian kondom dan pengalaman IMS, memakai metode CFA, dikelompokkan menjadi dua berdasarkan rerata hasil perhitungan.

(67)

No. (lanjutan) Variabel Definisi Skala

Pengukuran Analisis 4. Usia

melakukan hubungan seks pertama kali

Pengakuan responden tentang usia (tahun) saat melakukan hubungan seks yang pertama kali.

Interval Interval dan kategorikal. Skala kategori-kal dibedakan menjadi 0 = ≥17 th dan 1 = ≤16 thn 5. Jumlah mempunyai pasangan seks non-komersial lain dalam sebulan

Jumlah dan frekuensi melakukan hubungan seks dengan pasangan seks non-komersial lain dalam sebulan

Interval Interval dan kategorikal. Skala kategori-kal dibedakan menjadi: 0 = 1-2 dan 1 = ≥3 kali atau orang

6. Jumlah PSP yang dikunjungi dalam setahun

Jumlah dan frekuensi melakukan kunjungan dan hubungan seks dengan pekerja seks perempuan dalam kurun waktu setahun

Interval Interval dan kategorikal. Skala kategori-kal dibedakan menjadi: 0=1 dan 1= ≥2 orang atau kali 7. Mobilitas Kegiatan responden

meninggalkan tem-pat tinggalnya atau bepergian sampai menginap di luar daerah tempat tinggal dalam setahun

Interval Interval dan kategorikal. Skala kategori-kal dibedakan menjadi 0 = tidak dan 1 = bepergian 8. Pemakaian kondom Pengakuan responden mempergunakan kondom saat berhubungan seks dengan pekerja seks perempuan yang terakhir dan selang waktu sebulan

(68)

No. (lanjutan) Variabel Definisi Skala

Pengukuran Analisis 9. Pengalaman

Infeksi menular seksual

Frekuensi mengalami gejala infeksi menular seksual seperti keluar nanah dari kelamin, panas saat kencing dan luka di kelamin dalam setahun

Interval Interval dan kategorikal. Skala kategori-kal dibedakan: 0=tidak pernah, 1-pernah IMS 10. Umur Jumlah tahun yang

telah dilewati oleh responden. Sesuai dengan hari ulang tahun yang terakhir

Interval Interval dan kategorikal. Skala kategori-kal dibedakan: 0= ≤ 30 th dan 1= ≥ 31 th 11. Pendidikan Jumlah tahun yang

dilalui dalam

mengikuti pendidikan secara formal

Interval Interval dan kategorikal. Skala kategori-kal dibedakan menjadi 0=rendah dan 1=tinggi 12. Tempat tinggal Alamat rumah yang

menjadi tempat berkumpul keluarga

Kategorikal Kategorikal dibedakan: 0= desa dan 1 = kota 13. Asal kelahiran Tempat kelahiran

responden

Kategorikal Kategorikal, dibedakan: 0 = luar Bali dan 1 = Bali 14. Pekerjaan Kegiatan yang

dilakukan responden sehari-hari untuk memperoleh uang

Kategorikal Kategorikal, dibedakan menjadi 0=di kantor dan 1=di luar kantor 15. Penghasilan Rata-rata jumlah

rupiah yang dihasilkan responden dari bekerja setiap bulan

(69)

No. (lanjutan) Variabel Definisi Skala

Pengukuran Analisis 16. Sirkumsisi Tindakan yang

dilakukan untuk memotong preputium pada penisnya

Kategorikal Kategorikal, dibedakan menjadi 0=ya dan 1= tidak. 17. Konsumsi

alkohol

Kebiasaan responden minum alkohol

Interval Kategorikal, dibedakan: 0=tidak dan 1= minum

4.7 Instrumen Penelitian

Instrumen yang dipakai mengumpulkan data adalah kuesioner yang berisikan sejumlah pertanyaan terstruktur tentang variabel yang diteliti. Kuesioner ini mengacu kepada daftar pertanyaan yang telah dikembangkan oleh UNAIDS (1998). Instrumen penelitian telah diujicobakan melalui pre-tes pada pelanggan pekerja seks perempuan yang bukan menjadi sampel.

4.8 Prosedur Penelitian

(70)

Yayasan Kerti Praja adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) bergerak dalam penanggulangan IMS dan HIV sejak tahun 2002 dengan sasaran pekerja seks perempuan dan pelanggannya. Melalui petugas lapangan YKP dilakukan pendekatan dengan mucikari untuk sensus pekerja seks perempuan di setiap lokasi di Kota Denpasar dan menyampaikan bahwa penelitian ini melibatkan beberapa pekerja seks perempuan yang terpilih dalam menunjuk dan memperkenalkan pelanggannya masing-masing. Pekerja seks perempuan yang terpilih diberikan penjelasan untuk memperkenalkan pelanggannya, memberitahu pelanggannya untuk diwawancarai oleh pewawancara setelah melakukan transaksi seks.

(71)

4.9 Analisis Data

Hasil wawancara yang telah terkumpul dilakukan editing segera setelah kuesioner terkumpul. Tujuannya adalah untuk melihat ketidakesuaian yang dilakukan oleh pewawancara sehingga perlu dilakukan klarifikasi dan koreksi. Saat pemeriksaan ini sekalian dilakukan pemberian kode untuk setiap jawaban yang diperoleh dari pertanyaan dalam kuesioner untuk memudahkan proses data entery. Data entery adalah memasukkan hasil wawancara ke dalam komputer sehingga memudahkan untuk analisis. Setelah selesai data entery maka dilakukan data cleaning untuk membersihkan data kalau terjadi kesalahan dalam memasukkan data dan ketidaksesuaian data.

(72)

4.10 Kelaikan Etik

(73)

51

BAB V

HASIL

Wawancara untuk mengumpulkan informasi dari pelanggan pekerja seks perempuan telah dilaksanakan pada tanggal 9 September sampai dengan tanggal 9 November 2014. Pengumpulan informasi dilakukan oleh enam orang pewawancara yang telah terlatih. Dari 200 pelanggan pekerja seks perempuan yang ditetapkan menjadi sampel, maka diperlukan pengamatan terhadap 248 orang pelanggan yang keluar dari kamar pekerja seks perempuan (Gambar 5.1). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat responsifitas atau kesediaan pelanggan pekerja seks perempuan menjadi responden sebesar 80,6%. Dua puluh persen lebih dari 200 pelanggan pekerja seks perempuan yang diwawancarai merupakan klien pekerja seks perempuan yang kedua atau ketiga saat ditemui dan diwawancarai. Hanya delapan orang pelanggan yang menolak secara langsung untuk pelaksanaan wawancara dan sebagian besar (40 orang) dari 48 pelanggan tidak dapat dijumpai pewawancara karena mereka terburu-buru pergi meninggalkan lokasi.

(74)

Responden yang tergesa-gesa diberi pertanyaan dengan sangat hati-hati sehingga dapat memahami dan menyelesaikan wawancara, sedangkan yang mempunyai rasa khawatir diberikan penjelasan dengan meyakinkan bahwa informasi yang diberikan bersifat sangat rahasia dan nama responden tidak akan dipublikasikan. Akhirnya semua responden dapat menyelesaikan wawancaranya dengan lengkap.

Pelaksanaan wawancara dengan pelanggan pekerja seks perempuan sebagian besar (86,5%) dilakukan di lingkungan lokasi tempat mangkal pekerja seks dan sisanya di warung (9,0%) serta tempat parkir (4,5%). Kedua tempat wawancara terakhir ini juga masih berada di lingkungan lokasi pekerja seks perempuan. Wawancara berlangsung selama 15-60 menit dengan rata-rata 27 menit dan terbanyak (36,9%) wawancara berlangsung selama 30 menit.

(75)
[image:75.595.198.425.206.558.2]

Gambar 5.1: Besaran Populasi dan Sampel yang Mempunyai Perilaku Seks Pasangan Konkuren

5.1 Karakteristik Responden

Tabel 5.1 menyajikan karakteristik responden yang terdiri dari umur, pendidikan, daerah tempat tinggal dan asal kelahiran, status perkawinan dan jumlah istri dan anak, serta penghasilan dalam sebulan.

Populasi Pelanggan PSP (972 Orang)

Sampel (200 orang)

CSP + (23 orang) CSP -

(177 Orang)

(76)

Umur responden berkisar antara 19-69 tahun, dengan rata-rata 34,1 (SD 10,2) tahun dan terbanyak (41,5%) berada pada kelompok responden usia 29 tahun ke bawah. Semua responden pernah

Gambar

Tabel 2.1: Perkiraan Jumlah Pekerja Seks Perempuan dan
Gambar 3.1: Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku
Gambar 4.1: Skema Rancangan Cross-sectional
Tabel 4.1: Definisi Operasional Variabel
+7

Referensi

Dokumen terkait

Langkah-langkah yang dilakukan guru dalam pembelajaran kooperatif dengan model ini menurut Ibrahim, dkk (2000:28) ada 4 yaitu: penomoran, mengajukan pertanyaan, berfikir

Selain membuat kuis langsung pada moodle(E-learning) kuis juga dapat diimpor dari format GIFT, dengan ketentuan penulisan sesuai dengan bentuk soal masing-masing. Ketik

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.36/MEN/2007 tentang Kurikulum Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Edisi

Secara teoretik, hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk memperkaya hasil-hasil kajian dan khazanah teori yang berkenaan dengan manajemen sumber daya

Berdasarkan nilai pH dan kandungan COD hasil penelitian dibandingkan dengan nilai pH dan kandungan COD yang diperkenankan untuk LA maka limbah cair keluaran dari

Kelebihan dari model ini ialah dapat menemukan permasalahan- permasalahan yang berkaitan dengan materi, menemukan sendiri konsep-konsep pada materi yang disampaikan,

Seorang remaja yang berada dalam keluarga yang baik yang dimaksudkan adalah keluarga yang memberikan didikan secara demokratis, tidak otoriter dan tidak diberi kebebasan

Selain itu, melalui kegiatan Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) para mahasiswa praktikan mampu mengenal lingkungan sekolah (SD) yang meliputi, karakteristik siswa Sekolah