6.1 Pengembangan Kegiatan Usahatani Anggota
Pengembangan usatani anggota dapat terlihat melalui penerapan diversifikasi usahatani yang dilakukan anggota, peningkatan produktivitas pertanian (Rp/luas lahan), peningkatan modal usahatani serta peningkatan keuntungan usahatani anggota.
Secara keseluruhan pengembangan kegiatan usahatani anggota masih rendah, dimana sebesar 60 persen dari petani anggota mengalami pengembangan usahatani yang masih rendah. Pengembangan usahatani anggota tinggi hanya sebesar 22,5 persen saja. Untuk petani non anggota pengembangan usahataninya mengalami peningkatan sedang hingga tinggi masing 40 persen, sedangkan yang mengalami pengembangan usahatani rendah hanya 20 persen saja. Hal ini dapat dikatakan bahwa pengembangan usahatani petani anggota belum optimal. Lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Sebaran Responden Menurut Tingkat Pengembangan Kegiatan Usahataninya, Desa Iwul, 2010
Perbedaan tingkat pengembangan usahatani antara petani anggota dan non anggota sangat berbeda jauh disebabkan karena adanya peningkatan keuntungan yang tinggi pada petani non anggota, dimana sebagian besar dari mereka baru saja menggeluti sektor pertanian sebagai mata pencaharian. Sehingga tidak dapat
60%
17.50% 22.50%
20%
40% 40%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
(1) Pengembangan Usahatani rendah
(2) Pengembangan Usahatani sedang
(3) Pengembangan Usahatani tinggi
anggota non anggota
dikatakan bahwa pengembangan usaha tani bagi petani non anggota lebih baik dibanding petani anggota.
Pengkategorian tingkat pengembangan usahatani rendah, sedang dan tinggi dilakukan dengan pengakumulasian pada empat indikator yaitu penerapan diversifikasi usahatani yang dilakukan anggota, peningkatan produktivitas pertanian (Rp/luas lahan), peningkatan modal usahatani serta peningkatan keuntungan usahatani anggota. Keempat indikator tersebut akan dibahas pada bab sub-bab selanjutnya.
6.1.1 Peningkatan Modal Usahatani
Dalam melihat pengembangan usahatani anggota, perlu juga untuk melihat seberapa besar upaya kelembagaan kelompok tani untuk mendorong anggotanya memiliki usaha lain diluar usaha pertanian yang dominan sampai saat ini sebagai produsen primer.
Gambar 13. Sebaran Responden Menurut Peningkatan usaha yang dikerjakannya, Desa Iwul, 2010 (dalam persen)
Hasil yang didapatkan pada Gambar 13 menunjukkan bahwa, anggota kelembagaan kelompok tani dominan tidak memiliki usaha lain di luar sektor pertanian. Terlihat bahwa kelembagaan kelompok tani belum optimal dalam meningkatkan usaha petani anggotanya untuk berinovasi dalam peningkatan usahanya. Peningkatan jiwa kewirausahaan dalam diri petani belum terlihat nyata.
Beberapa petani anggota mengakui bahwa waktu dan energi mereka terlalu banyak tercurah untuk penggarapan lahan, sehingga tidak memungkinkan lagi untuk mengerjakan usaha lain. Berbeda dengan 40 persen petani anggota yang
60%
40%
60%
40%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
(1) Tidak terjadi penambahan usaha yang dikerjakan
(2) Terjadi penambahan usaha yang dikerjakan
anggota non anggota
telah mencoba untuk berinovasi menggubah komoditi pertanian mereka dari mentah menjadi setengah mentah atau yang sudah siap konsumsi. Mereka mengakui bahwa dengan menjual dalam bentuk setengah mentah atau yang sudah siap konsumsi, nilai jualnya lebih tinggi.
Kurangnya jiwa kewirausahaan dalam diri petani juga disebabkan karena mereka kurang memiliki akses kepada sumberdaya finansial berupa modal usaha.
Hal ini dapat terlihat pada Gambar 14, dimana sebagian besar petani anggota atau sebesar 55 persen peningkatan modal usahanya rendah, sedangkan berbanding terbalik dengan non anggota kelembagaan kelompok tani, peningkatan modal usahanya tinggi sebesar 40 persen. Peran kelembagaan kelompok tani sebagai unit usaha diharapkan mampu untuk mempermudah akses anggotanya dalam mendapatkan sumberdaya finansial berupa modal, namun pada kenyataanya hal tersebut belum dapat dijalankan dengan optimal oleh kelembagaan kelompok Tani Sauyunan. Akses anggota terhadap sumberdaya finansial berupa modal segar masih sangat terbatas. Dari seluruh anggota Kelembagaan Kelompok tani Sauyunann yang terdaftar, hanya 35,5 persen saja yang sudah pernah akses terhadap modal. Besarnya modal yang dipinjamkan oleh mitra kelembagaan Kelompok Tani pun terbatas, antara Rp200.000 hingga Rp500.000 per anggota.
Gambar 14. Sebaran Responden Menurut Peningkatan Modal Usahataninya, Desa Iwul, 2010 (dalam persen)
55%
27,50%
17,50%
20%
40% 40%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
(1) Peningkatan modal usaha rendah
(2) Peningkatan modal usaha sedang
(3) Peningkatan modal usaha tinggi
anggota non anggota
6.1.2 Peningkatan Produktivitas dan Keuntungan Usahatani
Peningkatan output pertanian pada penelitian ini lebih mengkaji mengenai peningkatan hasil produksi yang dihasilkan petani. Terlihat pada Gambar 15, bahwa kelembagaan kelompok tani belum mampu dalam mendorong peningkatan hasil produksi yang dihasilkan oleh anggotanya. Peningkatan hasil produksi pertanian sebagian besar atau sebanyak 50 persen masih rendah, sehingga menyebabkan peningkatan keuntungan petani pun masih rendah. Hal ini terlihat berbeda dengan hasil yang diterima oleh non anggota kelompok tani. Sebesar 53.3 persen non anggota kelompok tani mendapatkan hasil produksi yang tinggi dibandingkan dengan anggota kelompok tani.
Gambar 15. Sebaran Responden Menurut Peningkatan Hasil Produksi Usahataninya, Desa Iwul, 2010 (dalam persen)
Kegiatan bertani merupakan usaha utama yang dijalankan sebagian besar petani anggota kelompok tani. Pengakumulasian modal yang rendah juga turut serta mengakibatkan jumlah hasil produksi yang dihasilkannya rendah. Selain itu penggunaan input pertanian yang kurang memadai serta masa tanam yang kurang, ikut berperan dalam berkurangnya jumlah hasil produksi yang dihasilkannya.
Petani yang ada di Desa Iwul merupakan petani panggan dengan komoditas utama tanaman palawija, seperti singkong, umbi-umbian, kacang tanah, kacang panjang dan jagung. Selama ini petani hanya mampu memberikan pupuk kandang saja dalam mendukung pertumbuhan tanaman panggannya. Hal itu pun dilakukan hanya satu kali selebihnya hanya disiangi saja. Pada dasarnya petani telah
50%
27,50% 27,50%
20%
27,67%
53,33%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
(1) Peningkatan hasil produksi rendah
(2) Peningkatan hasil produksi sedang
(3) Peningkatan hasil produksi tinggi
anggota non anggota
mengetahui bagaimana cara yang harus dilakukan untuk meningkatkan hasil produksinya, salah satunya dengan memberikan pupuk TS atau pupuk urea, namun kebanyakan petani menolak untuk menggunakannya karena kendala modal yang dimilikinya. Petugas Penyuluh Lapang (PPL) Kecamatan Parung pada dasarnya telah membantu petani anggota kelembagaan kelompok Tani Sauyunan untuk mencari alternatif pupuk yang dapat digunakan petani tanpa harus mengeluarkan biaya banyak, yaitu dengan mengadakan pelatihan pembuatan pupuk organik. Namun pembuatan pupuk organik dirasa merepotkan bagi petani, sehingga mereka lebih memilih menggunakan pupuk kandang yang banyak tersedia di desa tersebut.
Gambar 16. Sebaran Responden Menurut Peningkatan Keuntungan Usahataninya, Desa Iwul, 2010 (dalam persen)
Keterdesakan kebutuhan untuk hidup juga menyebabkan rendahnya hasil produksi. Masa tanam untuk singkong saja paling tidak antara delapan sampai sembilan bulan, namun mayoritas petani mempersingkat hanya sampai enam hingga tujuh bulan masa tanam. Selain itu, petani juga lebih memilih menjual hasil produksi secara mentah, tidak di olah terlebih dahulu. Seperti pada penjualan kacang tanah. Harga kacang tanah di Desa Iwul pada bulan Januari mencapai Rp 3.500 per kilogram untuk kacang tanah basah. Sedangkan untuk kacang tanah yang telah dikeringkan bisa mencapai Rp 12.000 hingga Rp 15.000 per kilogram.
Proses pengeringan yang membutuhkan waktu yang lebih dan dengan keadaan musim hujan yang tidak menentu, menuntut petani untuk menjual hasil produksi kacang tanahnya dengan keadaan basah.
50%
27,50%
22,50%
20%
27,67%
53,33%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
(1) Peningkatan keuntungan rendah
(2) Peningkatan keuntungan sedang
(3) Peningkatan keuntungan tinggi
anggota non anggota
6.1.3 Penerapan Diversifikasi Usahatani
Salah satu strategi yang dilakukan kelembagaan Kelompok Tani Sauyunan dalam meningkatkan keuntungan petani anggotanya ialah dengan melakukan berbagai penyuluhan dan pelatihan. Penyuluhan dan pelatihan yang dilakukan ialah dengan mendorong petani untuk menanam tanaman keras yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Tanaman keras yang diajarkan kepada petani ialah seperti cara tanam rambutan, duku, sengon, mangga, pala, kelapa, suren, melinjo yang difasilitasi oleh Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan. Hasil kegiatan penyuluhan dan pelatihan ini ternyata meningkatkan pengetahuan petani. Terlihat pada Gambar 6. (lihat Bab V) bahwa 35 persen petani anggota bertambah pengetahuannya mengenai tanaman keras. Berbeda dengan 27, 5 persen ternyata sudah mengetahui sebelumnya mengenai pengetahuan yang diberikan pada penyuluhan dan pelatihan tersebut. Terdapat beberapa hal yang mengakibatkan tidak terjadinya penambahan pengetahuan petani anggota yaitu karena faktor usia serta ketidakhadirannya dalam kegiatan tersebut. Sedangkan bagi non anggota kelompok tani juga memiliki pengetahuan mengenai pertanian namun sifatnya lebih mendasar, dan hanya sebagai suatu keahlian yang telah mereka miliki secara turun-menurun, seperti cara menanam singkong, jagung dan kacang tanah.
Meningkatnya pengetahuan yang dimiliki petani ternyata tidak membuat
petani untuk melakukan diversifikasi tanaman yang lebih menguntung pada lahan
garapannya. Hanya sebesar 20 persen dari anggota kelembagaan Kelompok Tani
Sauyunan saja yang menerapkannya diversifikasi tanaman yang menguntungkan
seperti sengon, rambutan, durian dan jagung. Sebanyak 38 persen petani anggota
hanya menanam jenis umbi-umbian seperti singkong dan ketela saja pada lahan
garapannya. Hal ini dipengaruhi oleh jenis tanaman umbi-umbian yang tidak
menuntut mereka untuk pembelian benih, tidak seperti pada tanaman jagung dan
kacang. Perawatan yang mudah dan murah juga ikut mempengaruhi petani dalam
menentukan tanaman yang digarapnya. Sebanyak 42,50 persen anggota lainnya
menerapkan diversifikasi tanaman menguntungkan yang didapatnya dari jaringan
diluar kelembagaan kelompok tani. Tanaman yang coba mereka budidayakan
seperti terung, tebu telur dan berbagai jenis anggrek.
Gambar 17. Sebaran Responden Menurut Penerapan Diversifikasi Usahataninya, Desa Iwul, 2010 (dalam persen)
6.2 Hubungan Pengorganisasian Kegiatan Produksi dengan Pengembangan Usahatani Anggota
Berdasarkan hasil temuan lapang, terdapat hubungan antara pengorganisasian kegiatan produksi dari kelembagaan kelompok tani dengan pengembangan usahatani anggotanya. Melalui perhitunngan korelasi Spearman, didapatkan nilai probability value sebesar 0,000 dengan koefisien korelasi sebesar 0,619. Hasil ini menjunjukkan nilai yang lebih kecil dari α yang ditetapkan, yaitu sebesar 0,05. Artinya, terdapat hubungan yang cukup berarti antara pengorganisasian kegiatan produksi dari kelembagaan kelompok tani dengan pengembangan usahatani anggotanya. Semakin baik pengorganisasian kegiatan produksi yang dilakukan oleh kelembagaan kelompok tani, maka semakin baik pula pengembangan usahatani anggotanya
Hasil perhitungan korelasi spearman tersebut, juga dapat terlihat distribusi sebarannya dalam Tabel 6. Tabulasi silang tersebut memperlihatkan bahwa responden yang menyatakan pengorganisasian kegiatan produksi yang dilakukan kelembagaan kelompok tani belum baik, pengembangan kegiatan usahataninya pun rendah. sebesar 35 persen responden. Berbeda dengan 15 persen responden lain yang menyatakan bahwa pengorganisasian kegiatan produksi kelembagaan kelompok tani cukup baik, sehingga pengembangan usahataninya pun sedang.
Begitu juga yang dirasakan 12,5 persen responden yang menyatakan bahwa pengorganisasian kegiatan produksi yang dilakukan oleh kelembagaan kelompok tani tinggi, mengalami pengembangan usahataninya tinggi pula.
38% 42,50%
20%
53,33%
46,67%
0%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
(1) Tidak menerapkan diversifikasi tanaman
(2) Menerapkan diversifikasi tanaman bukan dari kelompok
(3) Menerapkan diversifikasi tanaman
dari kelompok
anggota non anggota
Sumber: Hasil Uji Crosstabulation, SPSS 16.0
6.3 Hubungan Pengorganisasian Kegiatan Distribusi dengan Pengembangan Usahatani Anggota
Berdasarkan hasil temuan lapang, terdapat hubungan antara pengorganisasian kegiatan distribusi dari kelembagaan kelompok tani dengan pengembangan usahatani anggotanya. Melalui perhitunngan korelasi Spearman, didapatkan nilai probability value sebesar 0,000 dengan koefisien korelasi sebesar 0,630. Hasil ini menjunjukkan nilai yang lebih kecil dari α yang ditetapkan, yaitu sebesar 0,05. Artinya, terdapat hubungan yang cukup berarti antara pengorganisasian kegiatan distribusi dari kelembagaan kelompok tani dengan pengembangan usahatani anggotanya. Semakin baik pengorganisasian kegiatan distribusi yang dilakukan oleh kelembagaan kelompok tani, maka semakin baik pula pengembangan usahatani anggotanya
Hasil perhitungan korelasi Spearman tersebut, juga dapat terlihat distribusi sebarannya dalam Tabel 7. Tabulasi silang tersebut memperlihatkan bahwa responden yang menyatakan pengorganisasian kegiatan distribusi yang dilakukan kelembagaan kelompok tani belum baik, pengembangan kegiatan usahataninya pun rendah. sebesar 50 persen responden. Berbeda dengan 7,5 persen responden lainnya yang menyatakan bahwa pengorganisasian kegiatan distribusi kelembagaan kelompok tani cukup baik, sehingga pengembangan usahataninya pun sedang. Begitu juga yang dirasakan 20 persen responden yang menyatakan
Pengembangan usahatani anggota (%) Total (%) rendah sedang tinggi Pengorganisasian
kegiatan produksi (%)
Rendah
35 2,5 0 37,5
Sedang 22,5 15 10 47,5
tinggi 2,5 0 12,5 15
Total (%) 55 17,5 22,5 100
Tabel 6. Hubungan Pengorganisasian Kegiatan Produksi dengan Derajat
Pengembangan Usahatani Anggota (dalam persen)
Sumber: Hasil Uji Crosstabulation, SPSS 16.0
bahwa pengorganisasian kegiatan distribusi yang dilakukan oleh kelembagaan kelompok tani tinggi, mengalami pengembangan usahataninya tinggi pula.
6.4 Hubungan Pengorganisasian Kegiatan Konsumsi Produktif dengan Pengembangan Usahatani Anggota
Berdasarkan hasil temuan lapang, terdapat hubungan antara pengorganisasian kegiatan konsumsi produktif dari kelembagaan kelompok tani dengan pengembangan usahatani anggotanya. Melalui perhitunngan korelasi Spearman, didapatkan nilai probability value sebesar 0,000 dengan koefisien korelasi sebesar 0,666. Hasil ini menjunjukkan nilai yang lebih kecil dari α yang ditetapkan, yaitu sebesar 0,05. Artinya, terdapat hubungan yang cukup berarti antara pengorganisasian kegiatan konsumsi produktif dari kelembagaan kelompok tani dengan pengembangan usahatani anggotanya. Semakin baik pengorganisasian kegiatan konsumsi produktif yang dilakukan oleh kelembagaan kelompok tani, maka semakin baik pula pengembangan usahatani anggotanya
Hasil perhitungan korelasi Spearman tersebut, juga dapat terlihat distribusi sebarannya dalam Tabel 8. Tabulasi silang tersebut memperlihatkan bahwa responden yang menyatakan pengorganisasian kegiatan konsumsi produktif yang dilakukan kelembagaan kelompok tani belum baik, pengembangan kegiatan usahataninya pun rendah. sebesar 52,5 persen responden. Berbeda dengan 7,5 persen responden lainnya yang menyatakan bahwa pengorganisasian kegiatan konsumsi produktif kelembagaan kelompok tani cukup baik, sehingga pengembangan usahataninya pun sedang. Begitu juga yang dirasakan 7,5 persen
Pengembangan usahatani anggota (%)
Total (%) rendah sedang tinggi
Pengorganisasian kegiatan distribusi (%)
Rendah 50 10 2,5 62,5
Sedang 5 7,5 0 12,5
Tinggi 5 0 20 25
Total (%) 60 17,5 22,5 100
Tabel 7. Hubungan Pengorganisasian Kegiatan Distribusi dengan Derajat
Pengembangan Usahatani Anggota (dalam persen)
Sumber: Hasil Uji Crosstabulation, SPSS 16.0
responden yang menyatakan bahwa pengorganisasian konsumsi produktif yang dilakukan oleh kelembagaan kelompok tani tinggi, mengalami pengembangan usahataninya tinggi pula.
Pengembangan usahatani anggota (%) Total (%)
rendah sedang tinggi
Pengorganisasian kegiatan konsumsi produktif (%)
Rendah
52,5 5 0 57,5
Sedang 0 7,5 15 22,5
tinggi 7,5 5 7,5 20
Total (%) 60 17,5 22,5 100