• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PENGGUNA JASA DALAM TINDAK PIDANA PROSTITUSI ONLINE (STUDI KASUS VANNESA ANGEL) Penulisan Hukum (Skripsi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PENGGUNA JASA DALAM TINDAK PIDANA PROSTITUSI ONLINE (STUDI KASUS VANNESA ANGEL) Penulisan Hukum (Skripsi)"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN “PENGGUNA JASA” DALAM TINDAK PIDANA PROSTITUSI ONLINE

(STUDI KASUS VANNESA ANGEL)

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh : Jastrian Renskyrio

NIM. E0015200

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2021

(2)

ii

PERTANGGUNGJAWABAN “PENGGUNA JASA” DALAM TINDAK PIDANA PROSTITUSI ONLINE

(STUDI KASUS VANNESA ANGEL)

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh : Jastrian Renskyrio

NIM. E0015200

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2021

(3)

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING Penulisan Hukum (Skripsi)

PERTANGGUNGJAWABAN “PENGGUNA JASA”

DALAM TINDAK PIDANA PROSTITUSI ONLINE.

(STUDI KASUS VANNESA ANGEL)

Oleh:

Jastrian Renskyrio E00151200

Disetujui untuk Dipertahankan di Hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 10 Januari 2021

Dosen Pembimbing

SUBEKTI, S.H, M.H.

NIP. 196410221989032002

(4)

iv

PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)

PERTANGGUNGJAWABAN “PENGGUNA JASA”

DALAM TINDAK PIDANA PROSTITUSI ONLINE.

(STUDI KASUS VANNESA ANGEL)

Oleh : Jastrian Renskyrio

E0015200

Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada : Hari : Kamis

Tanggal : 28 Januari 2021

DEWAN PENGUJI 1. Dr. REHNALEMKEN GINTING, S.H, M.H. :

NIP. 195801051984031001

2. SABAR SLAMET, S.H, M.H. :

NIP. 195607271986011001

3. SUBEKTI, S.H, M.H. :

NIP. 196410221989032002

Mengetahui, Dekan,

Prof. Dr. I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, S.H, M.M.

NIP. 197210082005012001

(5)

v

SURAT PERNYATAAN

Nama : Jastrian Renskyrio NIM : E0015200

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN “PENGGUNA JASA” DALAM TINDAK PIDANA PROSTITUSI ONLINE (STUDI KASUS VANNESA ANGEL)” adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan merupakan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasil dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta,10 Januari 2021 Yang membuat pernyataan

Jastrian Renskyrio NIM E0015200

(6)

vi MOTTO َل ُفِّ لَكُي ُٰاللّ اًسۡفَن َلِّا اَهَع ۡس ُو

Laa yukalliful-laahu nafsan illaa wus'ahaa

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya”

-Q.S Al-Baqarah: 286-

“Gunakan segala kemampuan yang ada. Tidak ada alasan untuk menunda Gunakan tanganmu, gunakan kakimu, Gunakan otakmu untuk menggugah akalmu, jika engkau Lelah bayangkan sakitmu jika engkau sakit bayangkan

semangatmu”

(Raden Wijaya)

(7)

vii

PERSEMBAHAN

Penulisan hukum ini penulis persembahkan sebagai rasa syukur dan terimakasih untuk

1. Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, hidayah, rezeki, pertolongan, dan semua yang saya butuhkan. Allah adalah sebaik-baik pemilik rencana dan Nabi Muhammad SAW yang selalu menjadi panutan dan inspirasi bagi umat Islam;

2. Keluarga Penulis Bapak Setyo Wahyudi dan Ibu Waany atas segala cinta dan kasih sayang yang tidak terkira, serta dukungan moril maupun materil yang tidak pernah berhenti;

3. Kakakku Entik Garini dan Sekly Bestyantari yang saya sayangi;

4. Erna Ngamilatus S yang selalu memberikan semangat dan motivasi;

5. Teman-teman penulis di Ponorogo dan di Surakarta yang selalu membantu, mendukung dan menemani Penulis dalam mengarungi masa muda;

6. Almamater tercinta Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

(8)

viii ABSTRAK

Jastrian Renskyrio. E0015200. PERTANGGUNGJAWABAN “PENGGUNA JASA” DALAM TINDAK PIDANA PROSTITUSI ONLINE (STUDI KASUS VANNESA ANGEL). Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Aktivitas prostitusi dalam realita sosial yang sesungguhnya akan menjadi polemik dalam masyarakat kita, praktek-pratek yang terselubung berubah menjadi aktivitas yang lebih maju, dengan memanfaatkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi maka prostitusi mendapatkan ruang untuk membuka praktek bisnis prostitusi melalui jejaring sosial. Kasus prostitusi online Vannesa Angel dimana pengguna jasa dapat dipertanggungjawabkan pidana sesuai dalam ketentuan pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif dan terapan. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus. Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer dan sekunder. Teknik pegumpulan bahan hukum menggunakan studi pustaka. Teknik analisa menggunakan metode silogisme dengan menggunakan pola berpikir deduktif yang berpangkal pada premis mayor dan premis minor untuk selanjutnya menarik simpulan atas permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kasus prostitusi online dalam kasus Vannesa Angel, pengguna jasa dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dikarenakan merupakan bentuk penyertaan tak terhindarkan/ Noodzakelijke Deelneming dan sesuai dalam ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pembrantasan Tindak Pidana perdagangan Orang.

Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Tindak Pidana Prostitusi Online, Pengguna Jasa, Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang

(9)

ix ABSTRACT

JASTRIAN RENSKYRIO. E0015200."SERVICE USERS" RESPONSIBILITY IN CRIMINAL ACTS OF ONLINE PROSTITUTION (VANNESA ANGEL CASE STUDY) Legal Writing (Undergraduate Thesis) Faculty of Law, Sebelas Maret University Surakarta

Activities prostitution in reality social which in fact will be debated in the society we, practice that veiled turned into activity that is more advanced, to take advantage of the use of technologies of information and communication then prostitution to get a room for the opening practice of the business of prostitution through networking social. Vannesa Angel online prostitution case where service users can be held responsible for the crime in accordance with the provisions of Article 12 of Law Number 21 of 2007 concerning the Eradication of the Crime of Trafficking in Persons.

This research uses normative legal research methods that are prescriptive and applied. Approach to research that is used in research this is the approach of legislation and approach to the case. This research uses primary and secondary legal materials. The technique of collecting legal materials uses literature study.

The analysis technique uses the syllogistic method by using a deductive thinking pattern that is based on the major premise and minor premise to further draw conclusions on the problems studied in this study.

Based on the results of research and discussion of this research can be concluded that the case prostitution online in the case of Vanessa Angel, the service can be requested for the accountability of criminal due to a form of participation was inevitable / Noodzakelijke Deelneming and according to the provisions of Article 12 of Law Number 21 of 2007 the Eradication Follow Criminal Trafficking in Persons.

Keyword:Criminal liability, Online Prostitution Crime, User Services, Law Act Criminal Trading People

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT., karena dengan rahmat dan hidayah-Nya yang telah menyertai Penulis, sehingga penyusunan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul “PENGGUNA JASA” DALAM TINDAK PIDANA PROSTITUSI ONLINE (STUDI KASUS VANNESA ANGEL)”, dapat penulis selesaikan dengan baik. Penulisan Hukum ini merupakan rangkaian persyaratan dan tugas yang harus dipenuhi guna mencapai gelar Sarjana Strata-1 pada Ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dengan terselesaikannya Penulisan Hukum ini, Penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu kelancaran dalam penyelesaian Penulisan Hukum ini.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. I. Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, S.H., M.M., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret;

2. Bapak Ismunarno, S.H., M. Hum., selaku Kepala Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum UNS;

3. Ibu Subekti, S.H. M.H., selaku Pembimbing Skripsi yang telah memberikan bimbingan, selalu memberikan masukan, arahan dan pengetahuan sehingga mempermudah penulis untuk menyelesaikan Penulisan Hukum ini serta memberi semangat penulis;

4. Ibu Diana Tantri Cahyaningsih, S.H., M. Hum., selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing, memberi saran dan arahan selama penulis kuliah di Fakultas Hukum UNS;

5. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis selama menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret;

6. Pengelola Penulisan Hukum (PPH), yang telah membantu dalam mengurus prosedur-prosedur skripsi mulai dari pengajuan judul, pelaksanaan seminar proposal sampai pendaftaran ujian skripsi;

(11)

xi

7. Seluruh Karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah membantu segala kepentingan penulis selama menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret;

8. Keluarga penulis, Bapak dan Ibu serta Kakak penulis yang selalu memberikan doa, kasih sayang, perhatian, semangat dan inspirasi kepada penulis untuk menjadi lebih baik;

9. Keluarga INSM yang telah menjadi penghibur dan tempat berbagi baik suka maupun duka selama masa penulis dari sekolah sampai dengan saat ini dan seterusnya;

10. Keluarga Lembaga Pers Novum FH UNS, dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Periode 2017 yang telah menjadi tempat penulis untuk mengaktualisasi diri dan mengembangkan potensi organisasi;

11. Keluarga Kuliah Kerja Nyata Sembalun Bumbung 2017 yang telah bersama-sama berjuang menghadapi tragedi gempa dan tetap memberanikan diri mengabdi

12. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah membantu baik moril maupun materiil dalam Penulisan Hukum ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penelitian hukum ini masih banyak terdapat kekurangan baik dalam isi maupun bentuk penyajian. Untuk itu penulis sangat mengharapkan adanya kritik yang membangun demi perbaikan penyusunan penelitian hukum selanjutnya.

(12)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL………..ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………iii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI………..iv

HALAMAN PERNYATAAN………v

MOTTO ………vi

PERSEMBAHAN……….………...……….vii

ABSTRAK………viii

ABSTRACT……….……….ix

KATA PENGANTAR………x

DAFTAR ISI……….xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….1

B. Rumusan Masalah………...4

C. Tujuan Penelitian………4

D. Manfaat Penelitian………..5

E. Metode Penelitian………5

F. Sistematika Penulisan Hukum……….8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tindak Pidana Perdagangan Orang Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan………..10

a. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang………...10

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Perdagangan Orang………11

c. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Perdagangan Orang………….12

2. Tindak Pidana Prostitusi Online sebagai Bentuk Tindak Pidana Perdagangan Orang……….13

a. Tindak Pidana Prostitusi Online………..13

b. Pengaturan Tindak Pidana Prostitusi Online………15

3. Pertanggungjawaban Pidana dan Pemidanaannya………..18

(13)

xiii

a. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana………..…18

b. Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana………..19

c. Pengertian Pemidanaan………20

d. Tujuan dari Pemidaan………..21

B. Kerangka Pemikiran……….24

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian……….25

B. Pembahasan Telaah “pengguna jasa” prostitusi online dalam kasus Vannesa Angel dapat dipertanggungjawabkan pidana sesuai dalam ketentuan Pasal 12 Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdangangan Orang……….26

BAB IV PENUTUP A. Simpulan………...38

B. Saran………...39

DAFTAR PUSTAKA………...40

(14)

1

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi bagaikan pedang bermata dua, tidak hanya memberikan dampak yang positif, namun juga memberikan dampak negatif apabila tidak digunakan dengan tepat. Penyalahgunaan dalam memanfaatkan kemajuan teknologi dapat menciptakan pola kejahatan baru. Salah satu kejahatan yang berkembang di Indonesia saat ini yaitu kejahatan prostitusi.

Prostitusi atau pelacuran berasal dari bahasa Latin, yaitu prostituere yang berarti membiarkan diri berbuat zina. Dalam bahasa Inggris prostitusi disebut prostitution yang juga berarti pelacuran. “Orang yang melakukan perbuatan prostitusi disebut pelacur atau istilahnya dikenal juga dengan PSK. Prostitusi berkaitan erat dengan Pekerja Seks Komersial (PSK) dengan menjual diri atau berhubungan seksual yang dilakukan sesaat dengan siapa saja untuk mendapatkan suatu imbalan” (Suci Marliana, Ari Handayani, Siti Fitriana, 2018:56).

Aktivitas prostitusi ini merupakan realita sosial yang menjadi polemik di masyarakat, dalam perdebatannya selalu menghadirkan pro dan kontra. Bagi yang pro mengkaitkan dengan hak ekonomi pelaku dalam bisnis prostitusi sedangkan yang kontra menganggap prostitusi lokalisasi sebagai bentuk bisnis haram yang bertentangan dengan aspek moralitas masyarakat. Prostitusi lokalisasi hanya satu dari beberapa kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk menekan jumlah PSK, karena itulah satu-satunya indikator yang digunakan untuk mengukur berkembang tidaknya prostitusi tersebut. Praktek pekerja dunia hiburan malam bukan hanya menyediakan jasa PSK tapi juga menyediakan tempat karaoke, panti pijet, dan hotel kelas melati. Dalam rangka mengurangi lokalisasi prostitusi pemerintah melalui Kementrian Sosial guna melakukan kebijakan penutupan tempat-tempat/ lokalisasi prostitusi, sebagai berikut:

“Direktur Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan Korban Perdagangan Orang (RSTS & KPO) Kementerian Sosial, Sonny W Manalu mengatakan sebanyak 156 lokalisasi prostitusi berhasil ditutup selama priode 2016-2019. Hal itu dikatakan Sonny W. Manalu dalam kegiatan rapat koordinasi komunikasi informasi dan edukasi Kemensos RI bersama tim teknis penutupan lokalisasi KD dalam rangka pemulangan eks WTS lokalisasi KD di Kota Kupang, Senin (4/3).Ia mengatakan

(15)

2

penutupan lokalisasi berupakan program pemerintah untuk menjadikan Indonesia bebas dari lokalisasi prostitusi pada 2019. Dia mengatakan, berdasarkan data pada Kementerian Sosial terdapat 168 lokalisasi di Tanah Air dengan puluh ribu wanita yang menjadi pekerja seks komersial. Ia mengatakan selama empat tahun terakhir ada 156 lokalisasi yang ditutup dan puluhan ribu pekerja seks komersial (PSK) telah berhasil dikembalikan keluarganya."Masih ada 12 lokalisasi prostitusi yang belum ditutup dan diupayakan pada tahun 2019 lokalisasi itu akan ditutup secara total,"

tegas Sonny.Pemerintah, kata Sonny, tidak hanya menutup tempat lokalisasi tetap juga melakukan pembinaan terhadap pelaku prostitusi seperti meningkatkan keterampilan agar mendapatkan penghasilan yang halal dan layak."Pemerintah merasa prihatin dengan kondisi puluh ribu wanita yang bertahun-tahun bekerja sebagai PSK. Penutupan lokalisasi dilakukan agar kesejahteraan hidup para psk meningkat dengan memberikan bantuan modal usaha agar para PSK tidak lagi terjerumus dalam dunia prostitusi," tegas Sony”

(Republika.2019.https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/pnu2i8335/ke mensos-sebut-156-lokalisasi-prostitusi-berhasil-ditutup, diakses pada Senin, 20 Agustus 2019, pukul 22.10 WIB).

Penutupan lokalisasi prostitusi ternyata masih belum efektif untuk menanggulangi para pekerja seks komersial, dalam memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi mendapatkan ruang untuk membuka praktek bisnis prostitusi melalui jejaring sosial. Perbedaan prostitusi konvensional dengan prostitusi online dilihat dari modus operandi. Prostitusi konvensional lokalisasi dari segi tarif terjangkau, sedangkan prostitusi online tidak dari tarifnya lebih tinggi dari prostitusi konvensional. “Situs prostitusi online menjadi media bisnis yang memberikan keuntungan lebih besar dibandingkan bentuk prostitusi pada umumnya” (Oksidelfa Yanto 2016:193).

Kasus Vanessa Angel dalam kaitanya dengan prostitusi online menjadi menarik dikarenakan tarif dari Vanessa Angel mencapai harga 80 juta rupiah, di mana penangkapan berlangsung di hotel berlokasi di Surabaya bersama kedua mucikari dan sosok yang bernama Rian Subroto sebagai pengguna jasa Vanessa Angel. Dalam hal ini Vanessa Angel dijerat melanggar menyebaran konten asusila dikenakan Pasal 27 Ayat (1) jo Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP) dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan.

Dalam sidang pengadilan, majelis hakim memvonis 5 (lima) bulan penjara. untuk

(16)

ketiga (3) mucikari Endang Suhartini, Tentri Novanta dan Intan Permata sari Winindya terbukti melanggar Pasal 45 Ayat (1) jo Pasal 27 Ayat (1) Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) jo Pasal 55 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan untuk Rian Subroto sebagai “Pengguna Jasa” dari Vannesa Angel berstatus saksi dalam keterangan polisi dan dalam persidangan kasus Vannesa Angel Rian Subroto ini belum pernah hadir sehingga ditetapkan DPO (daftar pencarian orang) oleh Malpolda Jawa Timur. Kasus ini menarik penulis karena dalam tindak pidana prostitusi sebenarnya merupakan bentuk penyertaan yang tak terhindarkan/Noodzakelijke Deelneming sehingga dalam hal ini seharusnya Rian Subroto juga sebagai pelaku dalam tindak pidana prostitusi online. Hal ini sebenarnya juga sudah diatur dalam ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menjelaskan bahwa : Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukanpersetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidanaperdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, ataumengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

Atas susunan kali ini isu hukum yang terjadi demikian bahwa kajian semacam ini sangat penting untuk dilakukan karena keberadaan atas eksistensi hukum yang berlaku masih belum dapat mengatasi tindak pidana prostitusi dalam perspektif pengguna jasa tersebut, apabila kajian seperti ini tidak dilakukan maka dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti halnya tidak terpenuhinya hak hak asasi, sehingga penegakan hukum menjadi cacat dalam pelaksanaannya, oleh karena itu peneliti tertarik untuk menguji lebih lanjut dalam Pertanggungjawaban “Pengguna Jasa” dalam Tindak Pidana Prostitusi Online (Studi Kasus Vannesa Angel)

(17)

4

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis menyusun sebuah rumusan masalah untuk dapat dikaji lebih jelas, rinci, dan terarah dalam pembahasannya. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian adalah sebagai berikut:

Apakah “pengguna jasa” prostitusi online dalam kasus Vannesa Angel dapat dipertanggungjawabkan pidana sesuai dalam ketentuan Pasal 12 Undang- Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdangangan Orang?

C. TujuanPenelitian 1. Tujuan Objektif

Menganalisa pengaturan dalam perspektif hukum pidana terhadap pertanggungjawaban “pengguna jasa” dalam tindak pidana prostitusi online di Indonesia

2. Tujuan Subjektif

a. Menambah ilmu pengetahuan, wawasan dan pengalaman serta memperluas aspek dibidang Hukum terkait dengan pertanggungjawaban “pengguna jasa” dalam tindak pidana prostitusi online

b. Menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang di dapatkan dalam perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, agar dapat menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis dan masyarakat umum.

c. Memenuhi persyaratan akademis penulisan hukum guna meraih gelar Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

(18)

D. Manfaat Penelitian

Suatu penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat berupa ilmu pengetahuan yang berguna untuk perkembangan ilmu pengetahuan baik teoretis maupun praktis bagi penulis maupun bagi orang lain. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:

1. Manfaat Teoretis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kontribusi pemikiran bagi pengembangan Ilmu Hukum secara umum dan khususnya dalam bidang Hukum Pidana.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dan refrensi di bidang karya ilmiah dan penelitian sejenis yang akan datang.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk mengembangkan penalaran guna membentuk pola pikir yang dinamis sekaligus sebagai bahan untuk memperkaya pengetahuan.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan dan tambahan pengetahuan bagi masyarakat pada umumnya dan berbagai pihak yang terkait dengan masalah yang menjadi pokok bahasan.

c. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi terkait penelitian atau penulisan hukum yang sejenis sebagai refrensi pada penelitian selanjutnya.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian penulisan ini adalah normatif.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian penulisan adalah preskriptif dan terapan.

3. Pendekatan Penelitian

Penelitian Hukum ini memiliki beberapa pendekatan, dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan infomasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabanya. “Pendekatan-pendekatan yang

(19)

6

digunakan dalam penelitian hukum adalah (Peter Mahmud Marzuki, 2014:133)”.

a. Pendekatan Undang-Undang (statute approachs) b. Pendekatan Kasus (case approach)

c. Pendekatan historis (historical approach) d. Pendekatan komparatif (comparative approach) e. Pendekatan konseptual (conceptual approach)

Berdasarkan beberapa pendekatan yang telah disebutkan di atas pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach) agar bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani akan memperoleh simpulan argumentasi hukum.

4. Sumber Penelitian Hukum

Penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogjanya, diperlukan sumber sumber penelitian. Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan yang bersifat autoritatif artinya memiliki otoritas. Bahan- bahan hukum primer terdiri dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

Adapun bahan-bahan hukum sekunder terdiri dari semua publiksi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan putusan pengadilan.

(20)

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;

3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

4) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

b. Bahan Hukum Sekunder

1) Buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum;

2) Makalah-makalah dan hasil karya ilmiah para sarjana;

3) Jurnal-jurnal hukum;

4) Artikel hukum;

5) Bahan dari internet dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini;

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi pustaka (library research). Studi dokumen atau teknik studi pustaka diperlukan untuk memperoleh landasan teori yang berkaitan dengan penelitian untuk melakukan kajian lebih lanjut. “Studi dokumen berguna untuk mendapatkan landasan teori dengan mengkaji dan mempelajari dokumen-dokumen tertulis seperti buku- buku, peraturan perundang-undangan, dokumen laporan, arsipan hasil penelitian lainya yang memiliki korelasi dengan penelitian yang sedang diteliti (Peter Mahmud Marzuki, 2014:21)”.

6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Pada penelitian hukum normatif, pengelolaan data pada hakikatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematis terhadap bahan bahan hukum tersebut untuk mempermudah pengerjaan analisi. “Penulis memanfaatkan

(21)

8

berbagai sumber hukum untuk menunjang kegiatan analisis. (Peter Mahmud Marzuki, 2014:90)”.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan hukum memberikan gambaran sistematis dan menyeluruh secara garis besar mengenai penulisan hukum yang sesuai dengan aturan serta untuk mempermudah pemahaman mengenai seluruh isi penuisan hukum ini, maka penulis menjebarkan sistematika penulisan hukum ini sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis menguraikan dan memberikan gambaran mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis menguraikan tentang landasan teori yang bersumber dari bahan hukum yang digunakan dan doktrin ilmu yang dianut secara universal mengenai persoalan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Landasan teori tersebut terdiri Tindak Pidana Perdagangan Orang sebagai Kejahatan Kepada Manusia dan Pertanggungjawaban Pidana serta Pemidanaanya.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis menguraikan dan menyajikan pembahasan dari hasil penelitian berdasarkan rumusan masalah yang diteliti oleh penulis. Pertanggungjawaban “Pengguna jasa”

dalam Tindak Pidana Prostitusi Online (Studi Kasus Vanessa Angel) berdasarkan ketentuan dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Orang.

(22)

BAB IV : PENUTUP

Pada bab ini, penulis menarik suatu simpulan berupa jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini. Penulis juga memberikan saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terkait untuk dapat melaksanakan penegakan hukum.

Daftar Pustaka Lampiran

(23)

10

(24)

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori

1. Tindak Pidana Perdagangan Orang Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

a. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang

Tindak pidana perdagangan orang merupakan tindak pidana kejahatan dalam prakteknya perdagangan orang harus ditanggulangi karena akibat yang ditimbulkan tidak saja terkait dengan aspek kemanusiaan, tetapi juga menyangkut aspek-aspek penting lainya. “Perdagangan orang adalah bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia yang tidak terlepas dari manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibandingkan mahluk lainya, dengan begitu kejahatan ini biasanya melibatkan white collar crime, organized crime dan transnational crime” (Mahrus Ali dan Bayu Aji Pramono, 2011:8). Definisi tentang perdagangan orang dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdangangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Hal ini juga diperkuat berdasarkan Protokol Palermo, yaitu

“The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purposes of exploitation.

Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the

(25)

11

prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labor or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs”(Janie Chuang, 2006:152). (Terjemahan:

perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan orang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk lain dari paksaan, penculikan, penipuan, penyesatan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mencapai persetujuan dari seseorang yang memiliki kekuasaan atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi meliputi, sekurang- kurangnya eksploitasi dalam pelacuran seseorang atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan, penghambaan, atau pengambilan organ-organ).

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Perdagangan Orang

Unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang dijelaskan pada Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, tindak pidana perdagangan orang dipahami setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini, Selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdangangan Orang, terdapat 4 (empat) unsur yang dijadikan dasar untuk pembuktian terjadinya tindak pidana perdagangan orang, yakni:

1) Unsur pelaku setiap orang yang dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdangangan Orang dipahami sebagai orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang.

2) Unsur perbuatan, yang meliputi tindakan merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan, menyembunyikan atau menerima.

3) Unsur sarana atau cara untuk mengendalikan korban, yang meliputi ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan

(26)

kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian/penerimaan atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.

4) Unsur tujuannya, yang meliputi eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk eksploitasi seksual lainnya.

c. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Perdagangan Orang

Bentuk-bentuk tindak perdagangan orang dijelakan pada Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdangangan Orang yaitu bentuk-bentuk eksploitasi meliputi kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, dan praktik-praktik serupa perbudakan, kerja paksa atau pelayanan paksa adalah kondisi kerja yang timbul melalui cara, rencana atau pola yang dimaksudkan agar seseorang yakin bahwa jika ia tidak melakukan pekerjaan tertentu, maka ia atau orang yang menjadi tanggungannya akan menderita baik secara fisik maupun psikis.

“Selanjutnya bahwa bentuk- bentuk perdagangan perempuan dan anak yang terjadi di Indonesia” (Cahya Wulandari, Sonny Saptoajie Wicaksono, 2014:17):

1) Adopsi/pengangkatan anak dengan prosedur atau diperjualbelikan kepada warga sendiri/WNA

2) Pemesanan mempelai perempuan atau permintaan dari tempat- tempat tertentu untuk dijadikan isteri kontrak

3) Melibatkan anak-anak dalam perdagangan obat-obatan terlarang 4) Anak-anak yang dipekerjakan perkebunan

5) Eksploitasi Pedophilia seksual 6) Pornografi perempuan dan anak

7) Perdagangan perempuan dan anak untuk kerja paksa

8) Mempekerjakan perempuan dan anak untuk pekerjaan pengemisan atau meminta-minta di jalanan Mempekerjakan perempuan dan anak dalam kerja seks atau kegiatan pelacuran

(27)

13

2. Tindak Pidana Prostitusi Online sebagai Bentuk Tindak Pidana Perdagangan Orang

a. Tindak Pidana Prostitusi Online

Istilah dari prostitusi secara etimologis berasal dari kata prostitution yang berarti menempatkan, menawarkan atau pelacuran. “Pengertian dari prostitusi lainya sebagai pekerjaan yang bersifat menjual, menjajakan, jasa kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan apa yang sudah diperjanjikan sebelumnya” (Mia Amalia, 2016:3).

1) Prostitusi jika dilihat secara luas dengan memperhatikan aspek dasar dari prostitusi itu di mana menyangkut perbuatan yang tidak berkenan dengan norma-norma di masyarakat sehingga menyebabkan pelaku prostitusi itu yang maladjustment dengan lingkungan sosialnya. Menurut Kartini Kartono dimaksud dengan pelacuran sebagai berikut (Kartini Kartono, 2005:214) : “Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi impuls atau dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi, dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (promiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks, yang impersonal tanpa afeksi sifatnya”.

2) Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri (persundalan) dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan, dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran.

3) Pelacuran ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan badannya untuk perbutan cabul secara seksual agar mendapatkan upah.

Prostitusi telah terorganisasi berdasarkan prinsip yang sama di berbagai waktu dan budaya. Pada level bawah, kita dapat menemui prostitusi jalanan, diikuti dengan lokalisasi, bar dan club dalam level menengah ada gadis panggilan atau biasa disebut dengan call girls.

“Sedangkan di level tinggi ada wanita simpanan di mana pekerja seks

(28)

tersebut berpenampilan lebih baik, muda dan sehat tetapi menetapkan harga yang lebih tinggi dan menghabiskan waktu lebih lama dengan klien”

(Edlund & Korn, 2002:187).

Dapat disimpulkan prostitusi adalah pekerjaan yang bersifat menjual jasa berupa kepuasan seksual untuk mendapatakan suatu imbalan yang sudah disepakati. Sedangkan, dalam prostitusi online adalah praktek pelacuran yang dilakukan melalui media yang terhubung melalui internet.

Prostitusi online dalam melancarkan praktek dan memudahkan pekerjaan mereka, maka diperlukan media internet yang mampu mendukung pekerjaan tersebut.

Kegiatan prostitusi juga melibatkan peran masing-masing komponen, komponen yang dimaksud adalah beberapa pelaku dalam tindak pidana prostitusi sebagai berikut:

1) Mucikari yaitu berperan sebagai perantara atau pemilik pekerja seks komersial (PSK). “Seorang mucikari bertanggungjawab dalam pengelola aktifitas pada prostitusi dan membawahi beberapa daerah yang sudah menjadi bagian daerah kekuasaanya, dari pekerjaan tersebut mucikari mendapatkan sebagian besar dari hasil uang yang diperoleh dari PSK” (Suliandi Oktaviari, 2017:4).

2) Pekerja seks komersial (PSK) yaitu berperan menjual jasa dalam bentuk berhubungan seksual untuk uang atau disebut wanita tunasusila yang juga mengacu kepada layanan seks komersial. Pekerja Seks Komersial inilah yang menjadi objek eksploitasi dalam praktek prostitusi.

3) Pengguna jasa yaitu para pihak yang menyewa atau menggunakan jasa dari PSK dengan ini terjadi praktek prostitusi.

b. Pengaturan Tindak Pidana Prostitusi Online

Dalam sudut pandang hukum pidana Pengaturan Tindak Pidana Prostitusi Online dapat ditemukan dalam beberapa undang-undang sebagai berikut:

(29)

15

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Pada dasarnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disebut dengan KUHP bahwa pengaturan prostitusi online tidak secara ekplisit, dalam pasal hanya dapat menjerat Mucikari atau orang yang mendapatkan keuntungan dari transaksi prostitusi tersebut. Selanjutnya di dalam tindak pidana prostitusi online terdapat noodzaled deelming atau penyertaan tak terhindarkan kepada pengguna jasa prostitusi online maka di dalam penegakan hukumnya masing masing pihak harus dapat mempertanggungjawabkan.

“Penyertaan (deelneming) adalah dimana ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan perkataan ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana dapat disebutkan bahwa seseorang tersebut turut serta dalam hubungannya dengan orang lain” (Erdianto Effendi, 2011:17).

Ada juga yang mengartikan bahwa penyertaan bentuk- bentuk semua peyertaan turut serta atau terlibatnya seseorang baik secara psikis ataupun secara fisik dengan masing-masing peran menyebabkan suatu perbuatan sehingga melahirkan tindak pidana. Seseorang yang terlibat dalam kerjasama untuk mewujudkan tindak pidana, perbuatan/peranan masing-masing dari mereka berbeda satu dengan yang lain, hal ini berkaitan dalam sikap batin mereka terhadap tindak pidana maupun terhadap orang lain. “Tetapi dari perbedaan tersebut terjadilah suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya, di mana perbuatan yang satu menunjang perbuatan yang lainnya sehingga semuanya mengarah pada terwujudnya suatu tindak pidana” (Adami Chazawi, 2002:71). “Ajaran turut serta difokuskan pada kriteria diklasifikasikan tiap pelaku peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP yaitu pelaku (pleger), orang yang menyuruh melakukan (doenpleger), orang yang turut serta (medepleger), pengajur (uitlokker), dan pembantuan (medeplichtige)”

( Basir Rohrohmana, 2017:215).

(30)

2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Tindak pidana prostitusi online sebenarnya merupakan bentuk penyertaan yang tak terhidarkan/Noodzakelijke Deelneming sehingga Pengguna jasa dari prostitusi online dapat dijerat yang lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang sebagai berikut:

Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukanpersetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidanaperdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, ataumengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Pengaturan terkait pidana prostitusi online dalam UU ITE disebutkan dalam pasal 27 ayat 1, pasal ini menggunakan kata-kata

“muatan yang melanggar kesusilaan” yang salah satunya informasi elektronik tentang nama domain dari prostitusi online sebagai berikut:

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Pengaturan terkait dalam Undang-Undang Pornografi tidak dijelaskan mengenai prostitusi tetapi dalam undang-undang ini memuat mengenai

(31)

17

definisi pornografi dalam pasal 1 angka (1) Undang-Undang Pornografi bahwa:

“Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”.

3. Pertanggungjawaban Pidana dan Pemidanaanya a. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Dalam bahasa inggris pertanggungjawaban pidana disebut juga (criminal responsibility) dalam konsep bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan. “Namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability), masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep merupakan salah satu alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan kepadanya” (Barda Nawawi Arief, 2001:23).

Pertanggungjawaban pidana adalah bentuk-bentuk perbuatan dari pelaku tindak pidana terhadap kesalahan yang dilakukannya dengan dapat dipidananya pelaku tindak pidana, terlebih dahulu disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu harus memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang yang berlaku.

“Pertanggungjawaban pidana sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata tetapi juga menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan umum yang dianut oleh suatu masyarakat atau kelompok- kelompok dalam masyarakat, hal ini dilakukan agar pertanggungjawaban pidana itu dicapai dengan memenuhi keadilan” (Hanafi Mafrus, 2015:16).

Beban pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang berkaitan dengan dasar untuk memberikan sanksi pidana.

Seseorang akan memiliki sifat pertanggungjawaban pidana apabila suatu hal

(32)

atau perbuatanya yang bersifat melawan hukum, namun seseorang juga dapat hilang sifat pertaanggungjawabnya apabila di dalam dirinya ditemukan suatu unsur yang menyebabkan hilangnya kemampuan bertanggungjawab seseorang. Pada dasarnya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dapat dipidananya seorang pembuat adalah atas dasar kesalahan, hal ini berarti bahwa seseorang akan mempunyai pertanggungjawaban pidana setelah melakukan perbuatan yang salah dan bertentangan dengan hukum. “Pada hakikatnya pertanggungjawaban pidana adalah suatu bentuk mekanisme yang diciptakan untuk bereaksi atas pelanggaran suatu perbuatan tertentu yang telah disepakati” (Chairul Huda, 2006:68).

Kitab Hukum Udang-Undang Pidana tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai sistem pertanggungjawaban pidana. Dalam beberapa pasal menyebutkan tentang kesalahan baik berupa kesengajaan ataupun kealpaan, namun mengenai pengertiannya tidak dijelaskan dalam Undang- undang namun berdasarkan pendapat para ahli hukum mengenai pasal-pasal yang ada dalam KUHP dapat simpulakan dalam pasal-pasal tersebut mengandung unsur-unsur kesalahan kesengajaan maupun kealpaan yang harus dibuktikan oleh pengadilan, artinya dalam hal pertanggungjawaban pidana ini tidak terlepas dari peranan hakim untuk membuktikan unsur- unsur pertanggungjawaban pidana tersebut.

b. Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana

Unsur kesalahan merupakan unsur utama dalam pertanggungjawaban pidana. Pengertian yang sudah dijelaksan di atas tindak pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban pidana, perbuatan pidana hanya menunjuk kepada apakah perbuatan tersebut melawan hukum atau dilarang oleh hukum, mengenai apakah seseorang yang melakukan tindak pidana tersebut kemudian dipidana tergantung kepada apakah seseorang yang melakukan perbuatan pidana tersebut memiliki unsur kesalahan atau tidak. Berdasarkan hal tersebut maka pembuat (dader) harus

(33)

19

ada unsur kesalahan dan bersalah yang harus memenuhi unsur, yaitu (Andi Hamzah, 1997:130) :

1) Kemampuan bertanggung jawab atau dapatnya dipertanggungjawabkan dari si pembuat.

2) Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan, yaitu adanya sengaja atau kesalahan dalam arti sempit (culpa). Pelaku mempunyai kesadaran yang mana pelaku seharusnya dapat mengetahui akan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya.

3) Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapus dapatnya dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.

c. Pengertian Pemidanaan

Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana, pada dasarnya penjatuhan pidana kepada seseorang yang telah terbukti melakukan pelanggaran agar dapat mempertanggungjawabkan kejahatanya serta mendapatkan efek jera agar tidak mengulangi kejahatan serupa. Andi Hamzah secara tegas memberi pengertian pemidanaan, adalah (Tolib Setiady, 2010:21)

“Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten).” Sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan.

Pemidanaan juga sebagai suatu tindakan seorang yang melanggar dan tindakananya dapat dibenarkan secara moral bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban juga orang lain dalam masyarakat serta pemidanaan itu bukan upaya balas dendam melaikan pembinaan, maksudnya adalah pidana itu dijatuhkan kepada seseorang yang melanggar agar pelaku kejahatan

(34)

tidak lagi berbuat kejahatan dan orang lain enggan untuk melakukan kejahatan serupa.

“Pemidanaan secara sederhana dapat diartikan dengan penghukuman. Penghukuman dimaksud adalah berkaitan dengan penjatuhan pidana dan alasan-alasan pembenar (justification) dijatuhkannya pidana terhadap seseorang dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde) dinyatakan secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana” (Failin Alin, 2017:17)

“Dapat disimpulkan apabila pemidanaan tersebut tidak hanya berangkat dalam pemikiran pembalasan kepada pelaku kejahatan atau pencegahan supaya melindungi masyarakat tetapi telah meluas hingga kepada suatu sistem pidana yang terpadu untuk menyatukan berbagai sendi dari penegak hukum dalam melaksanakan sistem tersebut sesuai dengan yang dicita-citakan” (Dafit Supriyanto, 2018:37).

4. Tujuan dari Pemidanaan

Tujuan pemidanaan pada dasarnya berupa pencegahan serta melindungi masyarakat dan untuk memperbaiki seseorang yang telah melanggar perbuatan hukum yang meresahkan masyarakat. Dalam perkembangan hukum pidana juga dikenal beberapa teori pemidanaan sebagai berikut:

1) Teori Absolut (teori retributif)

Teori ini diartikan bahwa pidana dapat dijatuhkan karena seseorang tersebut telah melakukan suatu tindak pidana atau kejahatan dengan begitu pemidanaan diberikan agar menerima sanksi demi kesalahanya. Dasarnya karena telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain. “Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan tanpa mempertimbangkan akibat apa yang ditimbulkan dan apakah masyarakat dirugikan. Pembalasan sebagai alasan untuk memidana suatu kejahatan” (Dwija Priyanto, 2009:24).

2) Teori Tujuan / Relatif

Teori ini diartikan bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju keamanan,

(35)

21

ketertiban dan kesejahteraan. Dasar pembenaran dari adanya pidana menurut teori ini terletak pada tujuannya.

3) Teori Gabungan

Teori ini diartikan bahwa pidana pada asas pembalasan dan asas tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. “Pada dasarnya teori gabungan adalah gabungan dari teori absolut dan teori relatif. Gabungan kedua teori ini mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat” (Leden Marpaung, 2009:107). Teori Gabungan dibedakan menjadi dua golongan (Adami Chazawi, 2012:106):

a) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat.

b) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.

4) Teori In-capacitation

Teori ini diartikan pada dasarnya suatu teori pemidanaan yang membatasi orang dari masyarakat selama waktu tertentu dengan tujuan perlindungan terhadap masyarakat pada umumnya. Tujuannya karena jenis pidana yang sifatnya berbahaya pada masyarakat sedemikian besar seperti genosida, terorisme, atau pemerkosaan.

5) Teori Rehabilitasi

Teori ini diartikan memfokuskan memperbaiki pelaku kejahatan.

Teori ini untuk memberikan tindakan perawatan dan perbaikan kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. “Argumen positif ini dilandaskan pada asalan bahwa pelaku kejahatan adalah

(36)

orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan”

(Marlina, 2011:59).

6) Teori Perlindungan Masyarakat

Teori ini diartikan bahwa utamanya hukum perlindungan masyarakat dapat mengintegrasikan individu ke dalam tata tertib sosial bukan pemidanaan terhadap perbuatanya.

(37)

23

2.Kerangka Pemikiran

(38)

Keterangan Pada era globalisasi saat ini, perkembangan teknologi dan informasi memudahkan penggunannya untuk menjangkau dunia maya, terlebih dalam hal kegiatan positif, tetapi pada kenyataanya perkembangan teknologi dan informasi justru bisa digunakan dalam hal kegiatan negatif, sehingga terciptalah kasus hukum salah satunya adalah prostitusi online.

Kasus Vannesa Angel menjadi menarik karena tarif Vannesa Angel yang mencapai 80 juta, serta Vannesa Angel mendapatkan hukuman penjara selama 6 (enam) bulan, sedangkan pengguna jasa prostitusi Rian Subroto berstatus saksi dalam kasus tersebut. Padahal jika dilihat tindak pidana prostitusi tersebut merupakan bentuk penyertaan yang tak terhindarkan (Noodzakelijke Deelneming) dan hal ini juga terdapat dalam ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Kasus dari Vannesa angel juga ditinjau dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.

Referensi

Dokumen terkait

Dari kosakata didapatkan kalimat sebuah kosakata marjinalisasi di dalam berita Gagal Nikah Setelah Cabuli 2 Anak Bawah Umur yang menunjukkan masih adanya penindasan

Selain UKM, wajib pajak besar pun sampai saat ini masih banyak yang belum ikut amnesti pajak atau belum melaporkan seluruh total atau kekayaannya.. Mungkin karena waktu yang

9 Department of Defence, Australian Government. Australia: Departement of Defence.. pemerintah telah lebih terfokus pada dinamika bilateral mereka. Fokus yang sempit ini

semakin membesar. Sebagai contoh kasus penembakan di KM 50, pendekatan keamanan yang dilakukan pemerintah membuat kelompok tadi lebih bersimpati kepada kelompok

1) Menyusun struktur organisasi proyek yang disertai dengan uraian pekerjaan yang telah ditetapkan.. 2) Memberi pengarahan dan penyusunan tenaga teknis pelaksanaan seluruh tahapan

ROM aktif dan variabel yang dipengaruhi adalah pemulihan peristaltik usus pasca operasi sectio caesaria dengan anestesi spinal pada pasien di Bangsal An-Nisaa’ RSU PKU

Kalimat tak lengkap yang juga disebut kalimat minor. Kalimat tak lengkap pada dasarnya adalah kalimat yang tidak ada subjek dan / atau predikatnya. Hal itu biasa terjadi di

(A) Scroll liner mengalami keausan (wearing) (1) Casing dapat terkikis dan menyebabkan lubang; Harus melakukan servis saat pengecekan mingguan 5 Scroll liner terkikis oleh