BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sektor pertambangan mineral dan batubara merupakan salah satu sektor yang penting bagi perekonomian Indonesia. Sektor ini merupakan sektor yang padat karya, sehingga dapat memberikan lapangan pekerjaan, dan juga memberikan pemasukan kepada Negara, baik berupa pajak, maupun royalty. Sebagai contohnya, berdasarkan Data Pokok APBN 2005 – 2010, sektor pertambangan menyumbang Penerimaan Negara Bukan Pajak Sebesar Rp. 9,5 triliun di tahun 2008. Selain itu, berdasarkan data Biro Pusat Statistik, di tahun 2007 sektor pertambangan memiliki kontribusi sebesar Rp 160 triliun, atau 4%, terhadap total gross domestic product Indonesia.
Sebelum adanya Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara No. 4 Tahun 2009 (Undang-Undang Pertambangan Baru), pertambangan mineral dan batubara diatur melalaui Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 (Undang-Undang Pertambangan Lama). Di Undang-Undang Pertambangan Lama, pertambangan mineral dan batubara skala besar diatur oleh Negara dan biasanya dijalankan melalui Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Kerja Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Sedangkan pertambangan mineral dan batubara skala kecil biasanya diatur oleh Pemerintah Daerah (Kabupaten) dan dijalankan melalui sebuah Kuasa Pertambangan (KP).
dituding merugikan negara dan memberikan hak mutlak kepada perusahaan tambang asing untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia dan merugikan penduduk setempat.
Namun, di sisi lain, pengusaha melihat bahwa sistem KK dan PKP2B memberikan kepastian hukum dan investasi dalam jangka panjang. Adanya KK dan PKP2B memudahkan para investor besar untuk merencanakan bisnisnya di Indonesia dalam jangka panjang.
Pada tanggal 16 Desember 2008, DPR telah menyetujui Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara yang baru. Kemudian, Undang-Undang tersebut ditandatangani dan disahkan oleh Presiden pada tanggal 12 Januari 2009 menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Undang-Undang Pertambangan Baru).
Terdapat beberapa pokok perbedaan antara Undang-Undang Pertambangan Baru dengan Undang-Undang Pertambangan Lama. Pertama, bentuk kontrak seperti KK dan PKP2B ditiadakan dan diganti dengan bentuk izin, yakni dapat berupa Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Bentuk kontrak dan izin memiliki satu perbedaan mendasar, yakni dalam bentuk kontrak, Pemerintah dan perusahaan tambang merupakan dua pihak yang setara, sedangkan bentuk izin posisi pemerintah terlihat lebih tinggi, karena bertindak sebagai pihak yang memberikan izin. Kedua, terdapat kewajiban pembangunan fasilitas pengolahan barang tambang di dalam negeri. Ketiga, Pemerintah membatasi luas wilayah kegiatan
pertambangan, untuk masing-masing tahapan penambangan. Keempat, aspek perpajakan.
Pertanyaan besar yang muncul pada kalangan industri pertambangan pada saat Undang-Undang Pertambangan Baru disetujui adalah bagaimana dengan KK dan PKP2B yang sedang berjalan. Di dalam pasal 169 UU Pertambangan Baru, dinyatakan bahwa.
Pasal 169
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku.
a. Kontrak karya dan perjanjian pengusahaan pertambangan batubara telah ada sebelum berlakunya Undang- Undang ini tetap diberlakukan sampai waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.
b. Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang- Undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara.
Adanya pasal ini menimbulkan ketidakpastian bagi perusahaan tambang, karena artinya aturan-aturan yang dimunculkan dalam UU Pertambangan Baru juga harus diadopsi oleh KK dan PKP2B.
Pasal ini menimbulkan ketidakpastian mengenai beberapa aspek, terutama bagi para pemegang KK dan PKP2B yang sudah ada. Pertama, aspek perpajakan.
Perlu diingat bahwa ketentuan perpajakan dalam sistem kontrak karya bersifat lex specialis, artinya berlaku khusus untuk kontrak karya tersebut, dan tidak mengikuti peraturan perpajakan umum, kecuali tidak diatur dalam kontrak karya.
Sedangkan, dalam UU Pertambangan Baru, belum disebutkan secara spesifik mengenai aspek perpajakan. Ditambah lagi, di dalam UU Pertambangan yang Baru, pasal 129 terdapat kewajiban membayar 10% dari keuntungan bersih
Pertambangan Baru. Di dalam ketentuan Peralihan UU No. 4 Tahun 2009, hal-hal tersebut di atas tidak pasti apakah akan diberlakukan kepada pemegang KK dan PKP2B yang telah ada.
Kedua, aspek luas area pertambangan. Dalam UU Pertambangan Baru, di dalam penjelasan pasal 53 dan 56, areal pertambangan untuk operasi dan produksi dibatasi hanya sebesar maksimum 25.000 ha, untuk tambang mineral logam, dan sebesar maksimum 5.000 ha, untuk tambang mineral bukan logam. Sedangkan, luas wilayah para pemegang KK dan PKP2B bisa lebih dari itu. Di dalam Ketentuan Peralihan UU NO. 4 Tahun 2009, para pemegang KK dan PKP2B harus menyampaikan rencana kegiatan untuk seluruh wilayah dalam waktu satu tahun untuk mendapatkan persetujuan Pemerintah dan bila tidak dilakukan maka harus menyesuaikan dengan ketentuan luas wilayah yang baru. Adanya kemungkinan bahwa dengan keluarnya UU Pertambangan yang Baru para pemegang KK dan PKP2B harus menciutkan wilayahnya menimbulkan ketidakpastikan investasi.
Kedua aspek di atas merupakan faktor yang penting bagi perusahaan tambang, karena hal ini berkaitan dengan perhitungan investasi. Usaha di sektor pertambangan memerlukan investasi yang besar dan karena itu perlu kepastian hukum yang baik, supaya perusahaan tambang bisa merencanakan investasinya dengan baik.
Saat ini, beberapa perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (dahulu Bursa Efek Jakarta).
Menarik untuk dicermati bagaimana reaksi pasar terhadap adanya peraturan baru pertambangan tersebut.
Penelitian ini merupakan studi peristiwa (event study) untuk menguji efek pengumuman Undang Undang Pertambangan Baru terhadap saham perusahaan tambang di pasar modal Indonesia. Studi peristiwa umumnya digunakan untuk mengukur seberapa besar dampak dari peristiwa yang terkait dengan kegiatan pasar modal. Studi peristiwa pada pasar modal tidak hanya diaplikasikan untuk pengaruh peristiwa ekonomi, tetapi juga untuk peristiwa non ekonomi. Studi peristiwa atas regulasi baru telah juga dilakukan sebelumnya, misalnya studi Studying firm-specific effects of regulation with stock market data: an application to oil price regulation (Smith, Bradley & Jarrell, 1986) dan The Association Between Stock Market Responses to Earnings Announcements and Regulation of Electric Utilities (Teets, 1992). Diakui bahwa studi peristiwa atas regulasi lebih sulit, tidak seperti menggunakan data finansial untuk menganalisa transaksi perusahaan, seperti initial public offering atau stock split yang memiliki tanggal pengumuman yang pasti, sebuah regulasi melalui beberapa proses legislatif dan administratif sebelum pasar berekspektasi regulasi tersebut diundangkan dan berpengaruh terhadap perusahaan (Teets, 1992).
Studi peristiwa dilakukan dengan menggunakan pengukuran abnormal return dan (atau) cumulative abnormal return sebagai parameter untuk mengukur reaksi pasar modal.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah pengumuman suatu Undang-Undang baru dalam industri pertambangan berpengaruh terhadap reaksi pasar terhadap saham perusahaan pertambangan di Indonesia.
1.3 Batasan Masalah
Lingkup penelitian ini dibatasi pada perusahaan tambang yang mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia.
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menguji apakah pengumuman suatu peraturan dasar dalam industri pertambangan direaksi secara negatif oleh pasar untuk perusahaan pertambangan di Indonesia.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna bagi investor untuk memprediksi pergerakan harga saham di BEI. Secara lebih rinci, penelitian ini juga akan memberikan gambaran seberapa besar pengumuman suatu Undang-Undang di industri pertambangan terhadap saham perusahaan tambang yang tercatat di BEI.
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran perilaku pasar modal di Indonesia, dengan melihat reaksi harga saham terhadap adanya suatu
peristiwa. Selain itu, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pada pengembangan penelitian pasar efisien berdasarkan informasi khususnya atas adanya suatu peraturan baru yang mempengaruhi industri, serta bagi akademisi yang memiliki kepentingan terhadap topik ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan untuk penelitian selanjutnya.
1.6 Sistematika Penulisan
Secara garis besar, penelitian ini akan dituangkan ke dalam lima bab, dengan sistematika sebagai berikut.
Bab I Pendahuluan
Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II Kajian Pustaka
Bab ini menjelaskan mengenai pengertian teoritis dan penjelasan mengenai Undang-Undang No. 4 Tahun 2009, efficient market, studi peristiwa, beberapa penelitian sebelumnya mengenai reaksi pasar modal terhadap suatu peristiwa dan pengembangan hipotesis dalam penelitian ini.
Bab III Metoda Penelitian
Bab ini menjelaskan metode yang digunakan dalam penelitian ini seperti, periode observasi, sampel yang digunakan, dan metode analisis yang digunakan.
Bab IV Analisis dan Pembahasan
Bab ini menguraikan hasil analisis data menggunakan hipotesis dan uji statistik
Bab V Penutup
Bab ini menguraikan kesimpulan, keterbatasan dari hasil penelitian yang dilakukan, serta rekomendasi yang dapat dijadikan penelitian berikutnya.