• Tidak ada hasil yang ditemukan

MARKAS BESAR KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN MILIK DINAS. untuk SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MARKAS BESAR KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN MILIK DINAS. untuk SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

untuk

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI 2019

(2)

IDENTITAS BUKU

ETIKA DAN FALSAFAH KEPOLISIAN

Penyusun:

Tim Pokja perumusan dan penyempurnaan Hanjar STIK T.A. 2019

Editor:

1. Kombes Pol Drs. Imran Yunus, M.H.

2. AKBP. Purwadi Wahyu Anggoro, S.IK, M.H.

3. Pembina Drs. Heru Martono.

Hanjar Pendidikan Polri

Program pendidikan Strata Satu (S1) Ilmu Kepolisian Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian

Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri

Diterbitkan oleh:

Bagian Kurikulum Bahan Ajar Pendidikan Pengembangan Umum Biro Kurikulum

Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri Tahun 2019

Dilarang menggandakan sebagian atau seluruh isi bahan ajar (Hanjar) Pendidikan Polri ini, tanpa izin tertulis dari Kalemdiklat Polri.

(3)

DAFTAR ISI

Sambutan Kalemdiklat Polri ... ii

Keputusan Kalemdiklat Polri ... iv

Lembar Identitas ... vii

Daftar Isi ... viii

Pengantar ... 1

Standar Kompetensi ... 2

BAB I KONSEPSI TERORISME DAN RADIKALISME Kompetensi Dasar ... 4

Indikator Hasil Belajar ... 4

1. Tradisi Kritis ... 5

2. Etika ... 7

3. Diskusi Sekitar Moral ... 8

4. Etika dan Budaya ... 10

BAB II TEORI ETIKA Kompetensi Dasar ... 13

Indikator Hasil Belajar ... 13

1. Hedonisme ... 15

2. Eudomonia ... 16

3. Utilitarian ... 19

4. Deontologi ... 20

BAB III KEPUTUSAN MORAL Kompetensi Dasar ... 22

Indikator Hasil Belajar ... 22

1. Apa Itu Keputusan Moral ... 23

2. Menimbang Tindakan Moral ... 24

BAB IV SITUASI DAN KONDISI YANG DIHARAPKAN POLRI Kompetensi Dasar ... 28

Indikator Hasil Belajar ... 28

1. Trend Gangguan Kamtibmas ... 29

2. Demokrasi ... 30

3. Hukum ... 34

4. HAM ... 36

5. Masyarakat ... 39

6. Keterbatasan Polri ... 41

(4)

BAB V ETIKA PROFESI DI KEPOLISIAN NEGARA LAIN

Kompetensi Dasar ... 44

Indikator Hasil Belajar ... 44

1. Kode Etik Post (Police Officer’s Standards and Training of California) ... 45

2. Undang-Undang Kepolisian ... 46

3. Sumpah Bagi Para Petugas Penegakan Hukum FBI ... 47

4. Hakekat Undang-Undang Kode Etik dan Sumpah FBI ... 49

5. Tindakan-tindakan yang Tidak Berahlak ... 49

BAB VI PERKEMBANGAN KODE ETIK PROFESI POLRI (KEPP) Kompetensi Dasar ... 51

Indikator Hasil Belajar ... 51

1. Pedoman Lanjutan Tri Brata ... 52

2. Kode Etik Polri Skep 213/1985 ... 52

3. Kode Etik Polri Kep 05/2001 ... 53

4. Kode Etik Polri Kep 32/2003 ... 53

5. Kep 33/2003 Sidang Komisi Kode Etik Pol ... 54

6. Kode Etik Profesi Polri Perkap No 7 Tahun 2006 ... 55

7. Perkap No 14 Tahun 2011 ... 56

8. Perkap No 19 Tahun 2012 ... 58

BAB VII LANDASAN MORAL DAN ETIKA DALAM TUGAS POLRI Kompetensi Dasar ... 60

Indikator Hasil Belajar ... 60

1. Landasan Yuridis ... 61

2. Landasan Kebijakan ... 66

BAB VIII NILAI-NILAI ETIKA PROFESI POLRI Kompetensi Dasar ... 70

Indikator Hasil Belajar ... 70

1. Etika dan Moral ... 71

2. Peraturan Kapolri No 14 Tahun 2011 ... 72

3. Tri Brata ... 72

4. Tri Brata Baru... 76

5. Catur Prasetya ... 79

6. Nilai-Nilai moral/ etika dalam Tri Brata dan Catur Prasetya 82 7. Pembinaan dan Penanaman Nilai-Nilai Etika Profesi Kepolisian ... 85

(5)

BAB IX IMPLEMENTASI ETIKA KEPOLISIAN

Kompetensi Dasar ... 86

Indikator Hasil Belajar ... 86

1. Tipologi Penyimpangan ... 87

2. Penyalahgunaan Wewenang ... 87

3. Jenis-Jenis Penyimpangan ... 89

4. Akibat Penyimpangan ... 93

BAB X ORGANISASI KODE ETIK PROFESI POLRI Kompetensi Dasar ... 95

Indikator Hasil Belajar ... 95

1. Pengertian KKEP ... 96

2. KKEP ... 96

3. Tugas dan Wewenang KKEP (Pasal 11-14) ... 99

4. Komisi Banding ... 100

5. Penuntut dan Sekertaris ... 103

BAB XI TATA CARA PENEGAKAN KODE ETIK PROFESI POLRI Kompetensi Dasar ... 106

Indikator Hasil Belajar ... 106

1. Pemeriksaan Pendahuluan ... 107

2. Sidang KKEP ... 114

3. Penetapan Administrasi Penjatuhan Hukuman (Pasal 59- Pasal 61) ... 118

4. Sidang Banding... 121

5. Pengawasan Pelaksanaan Putusan (Pasal 70) ... 123

6. Rehabilitasi ... 124

BAB XII SIMULASI SIDANG KODE ETIK POLRI Kompetensi Dasar ... 125

Indikator Hasil Belajar ... 125

1. Pertemuan pertama adalah persiapan ... 126

2. Pertemuan kedua adalah pelaksanaan praktek sidang kode etik. ... 126

3. Pertemuan ketiga adalah pelaksanaan praktek sidang kode etik ... 126

4. Pertemuan keempat adalah pelaksanaan praktek sidang kode etik ... 126

Daftar Pustaka ... 127

Lampiran ... 128

(6)

ETIKA DAN FALSAFAH KEPOLISIAN

1. Pengantar

Tugas Polri adalah memberikan pelayanan keamanan dan ketertiban kepada masyarakat, sehingga keberadaan Polri selalu melekat dalam masyarakat yang sesuai dengan Undang Undang No. 2 Tahun 2002 tercantum pada pasal 2 mengenai fungsi kepolisian yaitu salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat.

Sampai saat ini Polri belum sepenuhnya mendapat kepercayaan dari masyarakat maka perlu adanya tindakan profesional yang selalu ditingkatkan dan sikap anggota Polri yang baik dan beretika dalam menjalankan tugasnya sehingga mendapatkan simpati dari masyarakat. Peserta didik yang nantinya bertugas melayani masyarakat, harus memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang falsafah dan etika kepolisian sehingga dapat membantu kesadaran moral dan menjadi siap untuk mengambil keputusan etis dalam pengabdiannya sebagai anggota Polri.

Mata Kuliah Etika dan Falsafah Kepolisian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada Mahasiswa S1 STIK-PTIK terkait dengan lingkup konseptual serta teori etika profesi dan falsafahnya yang mendasari implementasi etika profesi dalam organisasi kepolisian serta penegakan kode etik profesi kepolisian, maka terdapat 4 (empat) ruang lingkup yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Konsep dasar etika profesi, teori etika dan keputusan moral.

b. Situasi dan kondisi yang dihadapi Polri, etika profesi di kepolisian negara lain dan perkembangan Kode Etik Profesi Polri (KEPP).

c. Landasan moral dan etika dalam tugas Polri, nilai-nilai etika profesi Polri dan menganalisis implementasi KEPP.

d. Organisasi KEPP, Tata Cara Penegakan KEPP dan mampu melaksanakan simulasi Sidang pelanggaran KEPP.

(7)

Materi yang tertuang dalam bahan ajar ini merupakan materi minimal, untuk memperdalam memahaman diharapkan mahasiswa dapat belajar secara mandiri dengan referensi lain yang sesuai.

2. Standar Kompetensi

Memahami konseptual etika dan moral, perkembangan kode etik profesi kepolisian, landasan dan nilai-nilai etika profesi kepolisian serta mampu mempraktekan sidang pelanggaran Kode Etik Profesi Polri (KEPP).

(8)

CPMK 1:

Memahami konsep dasar etika profesi, teori etika dan keputusan moral.

Sub CPMK:

1. Menjelaskan konsep dasar etika dan etika profesi.

2. Menjelaskan teori etika.

3. Menjelaskan tentang keputusan moral.

(9)

BAB I

KONSEP DASAR TENTANG ETIKA DAN ETIKA PROFESI

Kompetensi Dasar:

Memahami konsep-konsep dasar etika dan teori etika profesi.

Indikator Hasil Belajar:

1. Menjelaskan pengertian tradisi kritis.

2. Menjelaskan pengertian etika.

3. Menjelaskan pengertian diskusi sekitar moral.

4. Menjelaskan pengertian etika dan budaya.

(10)

Pada dasarnya “etika” dalam belantara disiplin di dunia akademik masuk pada ruang lingkup filsafat, utamanya kemudian lebih pada filsafat moral. Pada pertemuan awal adalah memahami orientasi filsafat moral ini.

1. Tradisi Kritis

Pintu Masuk Dunia Filsafat Moral

Beraneka ragam pintu masuk dunia filsafat. Orang bisa memulai dari mempelajari sejarah (lahirnya) filsafat. bisa dari ketertarikan pada tema-tema tertentu (Misalnya, apa itu kematian, apa itu berfikir, apa itu hukum, apa itu kerja, apa itu salah dan benar dan seterusnya) tanpa harus berangkat dari metode kronologis, bisa berangkat dari fokus (kekaguman) pada seorang filosof (Mungkin saja (awal masuk filsafat) orang mengagumi Karl Marx karena (gagasan) radikalismenya, atau Mahatma Gandhi karena perlawanannya yang unik atas kolonialisme, atau Socrates karena semangat asketismenya, atau Sukarno karena gagasan nasionalismenhya dan seterusnya. Sekedar catatan, kekaguman pada satu orang jika diseriusi akan merembet pada nama-nama besar lain. kekaguman pada nasionalisme Sukarno akan menyeretnya pada gagasan – gagasan awal integralistik dan “ide”. ke Baruch Spinosa ke Hegel ke Plato. Untuk mengerti Plato, agar lengkap perlu membaca Aristoteles dan seterusnya dan seterusnya. Anda mahasiswa jurusan non-filsafat tak usah khawatir, cara yang panjang dan rumit ini bukan untuk Anda!, bisa pula berangkat dari metode berfikir kritis dan radikal. Tapi tentu saja orang tidak dapat masuk dunia filsafat melalui ketertarikannya pada wilayah klenik (dunia perdukunan). Dunia klenik menutup orang berfikir rasional. Wilayah klenik tidak perlu penjelasan dan argumentasi begini atau begitu, orang dituntut kepatuhan total (sebetulnya untuk keperluan-keparluan pragmatik jangka pendek). Dalam hukum Tiga Tahap Auguste Comte, filosof social Prancis kelahiran 1798, wilayah pemikiran klenik ini mendominasi tahap awal sejarah pemikiran masyarakat. Melalui temuan-temuan spekulatif teknologi dengan sendirinya pemikiran klenik ini luntur, bahkan agama (terutama yang disebut agama monoteis ) sangat efektif memberangus perklenikan.

Namun, bukan hanya wilayah klenik yang menutup argumentasi rasional, wilayah ideologi juga mendekati ketertutupan argumentasi alternative, dalam bahasa sarkastik pemikiran ideologik adalah sebuah bentuk pembodohan,

(11)

karena didalamnya orang dibimbing berfikir menggunakan kaca mata kuda.

lurus, satu arah. Tentu ideology tidak pernah salah, ia selalu benar, tidak ada cara mengkritikny kecuali dengan menggunakan ideologi lain). Apakah agama masuk pada wilayah ini? Pada banyak sisi agama justru menuntun/merangsang berfikir argumentative-menuntun rasionalitas. Namun ruang dogmatis agamalah yang acapkali membingkai rasio yang dibutuhkan filsafat. Hemat saya, sistem sosial yang membuat agama beku sehingga menyerupai wilayah klenik. Sistem sosial, merujuk jalan fikir Auguste Comte hanyalah merupakan suprastruktur dari infrastruktur tata fikir masyarakatnya. Misalnya, masyarakat yang didominasi klenik cenderung menghasilkan sistem kekuasaan feodal. Jadi demokrasi hanya bisa hadir dalam masyarakat yang menerima pemikiran kritis, masyarakat yang memberi ruang argumentasi rasional.

Kita kembali ke pintu masuk filsafat. Metode berfikir kritis dan radikal kalau dirunut dari deretan kategori pintu masuk filsafat di atas tergolong pada tema tertentu dalam filsafat. Dalam hal ini, epistemology dan logika, misalnya.

Epistemology adalah cabang filsafat tentang tata cara memperoleh pengetahuan, sementara logika adalah tata tertib agar cara memperoleh pengetahuan itu tidak sesat. Logika tidak untuk menjaring/mendapat pengetahuan tetapi sebagai rambu-rambu agar dalam proses menggapai pengetahuan tidak sesat.

Namun cara berfikir radikal dan kritis tidak melulu produk epistemology dan logika, masih perlu bidang yang menyeret realitas pada “gagasan-gagasan mendasar” yang menjadi tradisi berfikir filsafat. Misalnya bidang yang membahas apa yang dimaksud “pengetahuan” dan apakah pengetahuan memang ada, apa yang dimaksud “ada”, bidang filsafat ini adalah ontology.

Bidang lain, bidang filsafat yang bertugas membongkar nilai tidak dapat dilepaskan dari proses membangun tradisi berfikir kritis. Kehidupan sosial tidak lepas dari tindakan-tindakan yang berkategori nilai, dengan nilai orang mengatakan si A berbuat baik, si B berbuat tidak baik. Bandingkan misalnya seseorang yang hidup di hutan sendirian, nilai tidak akan terkonstruksi selayaknya dalam kehidupan sosial. Bidang filsafat yang mendiskusikan nilai adalah aksiologi. Pada bidang inilah persoalan-persoalan etika dimulai.

(12)

Philosopher

Object Event

Physical Space

Mental Space

Wisdom Space

Philosophical Space

Object

Object Event

Event

Event

Metaphysics Ontology Epistemology Ethics

Figure 2-1 A Function of Philosophy (The Benesch-Targowski Model) PHILOSOPHY

Di atas telah diurai, betapa pemikiran argumentasi rasional-kritis hanya bisa tumbuh dalam masyarkat -Auguste Comte menyebutnya- positivistik.

Masyarakat yang tunduk pada ilmu pengetahuan sebagai panglima, yaitu sebuah corak masyarakat di mana dalam pencarian kebenaran diputuskan melalui ilmu pengetahuan. Comte, belakangan banyak dikritik. Gugatan paling serius dari kalangan Mazhab Frankfurt, Jerman dipenghujung tahun 1950-an.

Di Amerika agak belakangan berkembang kritik atas positivistic, kulminasinya pada Richard Rorty. Selain mazhab Frankfurt yang menjadi sparing partner pemikiran positivistic adalah kalangan agamawan. Kemajuan ilmu pengetahuan positive seringkali mendaku sebagai ditinggalkannya agama. Karena nampaknya Comte tidak begitu menaruh perhatian terhadap makna kebenaran yang ia legitimasikan dalam ilmu pengetahuan.

Maka menjadi sangat penting pintu masuk dunia filsafat juga adalah mendiskusikan apa yang dimaksud kebenaran. Atau, apa kritetria kebenaran?

Karena kebenaran gaya Comte yang membawa pencerahan (aufklarung) ternyata toh hanya sebuah dimensi dari dimensi kebenaran yang lain. Seperti yang diajukan kleim Mazhab Frankfurt, kebenaran gaya positivistik bersifat

“mendominasi” dan “memonopoli”. Disini kita memasuki wilayah epistemologi.

2. Etika.

Refleksi atas Ruang Moral

Orang mudah kepleset menyepadankan istilah etika dengan etiket.

Padahal kedua konsep ini jauh berbeda. Etiket dalam kamus bahasa inggris berarti etiquette, artinya sopan santun atau tata cara. Misalnya dalam kalimat berikut, “we have to keep our etiquette toward our guest”. Bisa jadi asal usul

(13)

penggunaan etiket barangkali serapan dari kata etiquette ini, namun proses penyerapan ini mengalami peyoratif makna dasarnya sehingga menyepadankannya dengan etika. Ini bias makna dalam skala yang serius.

Jadi, etiket (hanya) mempunyai makna yang merujuk pada kesusilaan. tata- krama. sopan santun dan semacamnya. Prinsipnya sebuah tindakan sosial yang merujuk pada ukuran kewajaran custom atau kebiasaan setempat. Etiket terikat pada custom, bandingkan dengan etika! (dibawah, pada bagian Etika dan Budaya kita akan diskusikan ini).

Namun demikian, tentu saja etiket (sebutlah. “kesusilaan”) tidak terlalu jauh lepas dari perbincangan wilayah etika meskipun keduanya, menurut Bertens (2002,8) -dilacak dari asal-usulnya- tak mempunyai hubungan apapun.

3. Diskusi Sekitar Moral

Tidak ada debat berkepanjangan bahwa etika sepenuhnya menyangkut diskusi tentang moral, K. Berten sangat hati hati menjelaskan konsep etika dan moral ini. Etika, merujuk Berten mengandung tiga pengertian yang dipakai secara sekaligus, singkatnya, kajian tentang moral. Pertanyaan tentang apa itu yang baik sama dengan bertanya apa itu (ber)moral. Literatur apa saja untuk menarik batasan tentang etika, hemat saya, definisi yang akan didapatkan tidak jauh dari upaya Christy Rakoczy dalam http://answers.yourdictionary.com yang menempatkan pentingnya konsep moral sebagai konsep kunci dalam etika, yaitu:

the study of standards of conduct and moral judgment. moral philosophya treatise on this studythe system or code of morals of a particular person, religion, group, profession, etc.

Taruhlah, kita tak perlu sulit memahami moral, cukuplah moral difahami sebagai mana orang-orang umum memahaminya. Konsep ini sepenuhnya menyangkut persoalan ‘yang baik’ dan ‘yang buruk’. Namun dalam belajar etika persoalannya terletak pada dua skema yang mendasar. Pertama, apa itu baik, mengapa ia disebut baik, dan dari mana yang baik ini berasal. Pertanyaan ini tidak mengajak pada relatifisme. justru etika mengantarkan kita pada kekokohan argumentasi tentang kebaikan yang tidak relative. Kedua, bagaimana standar moral itu mungkin dalam masyarakat atau apakah kode moral itu memang ada? Pertanyaan ini menyangkut misteri moral.

(14)

Kita dilahirkan dan tumbuh dalam dunia sosial yang telah lebih dahulu eksis belantara moral. Saya harus mempertimbangkan tindakan saya dalam dunia sosial menurut (standar) moral yang ada pada lingkungan sosial dimana saya tinggal. Dan, tentu saja standar moral, taruhlah yang sejauh saya fahami, standar moral berbeda-beda. Ukuran moral saya berbeda dengan ukuran moral Anda. Anda mungkin lebih sensitive dari saya. Jangan mengukur moral(itas) saya menggunakan ukuran Anda karena ini menyangkut hati nurani yang persifat personal. Namun proposisi ini (“hati nurani yang persifat personal”) tak perlu ditarik deduksi secara kaku, toh pada dasarnya ada semacam hati nurani yang bersifat kolektif. ada moral yang bersifat kolektif. Atau dalam ungkapan lain, moral yang pengukurannya melalui hati nurani ini bersifat personal.

Karena itu pengukuran tindakan manusia atas nilai moral berbeda beda secara personal. Namun jangan buru-buru mendakwa tulisan ini sebagai relatifisme. Uniknya, perbedaan-perbedaan pengukuran moral ini tidak berbeda terlalu jauh. Pengertiannya, dalam kelonggaran ini masih relatif ada standar kesamaan. Mungkin, tepatnya, bebas tapi terbatas. Para etikawan, misalnya menjuluki orang yang tindakannya tidak sensitif terhadap nilai-nilai moral sebagai moral insane atau bebal moralitas. Standar ini berlaku dimana-mana bahwa perilaku culas, khianat, pengecut, menipu adalah tidak direstui secara moral. Standar ini mengagumkan! Berlaku dimanapun masyarakat manusia berada. Di kalangan para mafioso pun sejauh mereka punya system karir maka ukuran moral yang disebut di atas berlaku. Sejumlah elit mafia pastilah sudah teruji berpegang teguh pada standar moral itu. mereka tidak khianat, culas, maupun tidak pengecut. Bayangkan, nilai-nilai itu berlaku umum, sejak dari kalangan (masyarakat) mafioso, komunitas dewan di Senayan, arisan ibu-ibu PKK, hingga perkumpulan sepak bola.

Ilustrasi itu sedikit membantu kita, bahwa meskipun moral(itas) diukur secar relatif berbeda pada setiap orang namun ada standar sehingga perbedaan tidak terlalu jauh. Imanuel Kant-lah yang mencoba membangun standar itu dengan cara menetapkan rumus yang berlaku pada semua tindakan. Ia mengusulkan tiga kriteria bagi imperatif kategoris pada tindakan moral.

Rumus pertama, suatu tindakan disebut (ber)moral jika kaidahnya bisa disemestakan. Memang tidak perlu semua orang sepakat dengan kaidah ini

(15)

secara aktual namun setiap orang harusnya setuju. Sebuah kebohongan adalah tindakan yang tidak bisa disemestakan. atau dengan lain kata kebohongan itu sendiri hadir justru karena melanggar hukum yang bisa disemestakan. Kalau saya punya wanita simpanan, kemudian orang bertanya,

“apakah si Dewi itu teman istimewamu?” Atas pertanyaan (issue) ini saya sedang berhadapan dengan pilihan moral. Saya berharap skandal saya tak ada yang mengetahui, maka saya (bisa) berbohong.

Di lain sisi bisa juga saya mengatakan kebenarannya (tak berbohong) dengan demikian saya harus menghadapi akibatnya. Ketika saya memilih berbohong, sebetulnya semua bisa selesai tak ada yang mengetahui. Dan meskipun berbohong untuk menyelesaikan kasus ini membuat saya lebih senang namun demikian pilihan saya salah secara moral, karena didasarkan pada kaidah yang tak pernah menjadi hukum universal. Saya masih bisa berargumentasi bahwa kebohongan yang saya lakukan adalah “untuk kebaikan”. Namun pada rumus ini tidak ada suatu yang khusus (kebohongan tertentu) yang bisa disemestakan, tidak bisa dikatakan “kebohongan sebagai hukum universal”. Bayangkan, jika argumen saya diterima (kebohongan untuk

“kebaikan”)! bagi Palmquis, jika kehidupan sosial ini menerima kebohongan yang akan menyenangkan orang maka fungsi utama bahasa (kemampuannya untuk menopang kebenaran) akan terkikis.

Rumus kedua, mensyaratkan bahwa kita menghargai pribadi orang.

bertindaklah sedemikian rupa dalam kerangka memperlakukan manusia sebagai tujuan, bukan sebagai alat semata.

Rumus Ketiga, mensyaratakan bahwa kaidah kita harus otonom (yang mengatur sendiri). setiap mahluk yang rasional menciptakan hukum universal.

Maka dalam kontek ini kaidah moral harus selaras dengan penentuan hukum kehendak universal.

4. Etika dan Budaya

Pertanyaan mendasar bagian ini adalah “apakah etika/moral terikat pada budaya?” Konon, di suatu wilayah di tanah air ada adat yang membenarkan

‘penculikan’ anak gadis yang hendak diperistri. Di bagian budaya lain menempatkan wanita dalam posisi yang “berat” pada relasi gender. katanya, sang pria (suami) sabung ayam, si perempuan (istri) bekerja keras. Konon lagi,

(16)

di wilayah budaya tertentu (agaknya) welcome terhadap pernikahan siri. Dan tentu masih ada deretan realitas moral lain dimana dipandang biasa atau wajar di suatu budaya tertentu, tetapi dianggap wirang (istilah Jawa, maknanya malu karena tak wajar atau tak lazim dilakukan) bagi komunitas lain dalam masyarakat kita. Fenomena ekstrim diilustrasikan oleh (James) berikut: Sebuah komunitas di Callatia (salah satu suku di India) memakan jenasah orang tuanya ketika meninggal. Laki-laki orang Eskimo sering mempunyai istri lebih dari satu.

jika datang ke rumahnya, cara mereka menghormati tamu ini dengan memberikan istri mereka.

Realitas dilematik-moral semacam itu tidak hanya terjadi di lingkungan masyarakat archeis dimana nilai dan norma diregulasikan secara antropologis.

Di lingkungan masyarakat demokratis pun acap kali ditemukan dilematik-moral.

Misalnya, setelah reformasi dan otonomi daerah, maka daerah bebas membuat regulasi menyangkut administratifnya sendiri. Belakangan sejumlah regulasi di daerah dipandang bermasalah. Misalnya, apakah menurut Anda otonomi daerah, melalui proses demokrasi di daerah, terus bebas pula menerapkan, misalnya “syari’at Islam”? Kita juga harus sensitive tentang moralitas yang

‘dianut’ dalam cara bangsa ini ber-demokrasi, misalnya. Misalnya, bagaimana etika memahami realitas pencitraan sebuah rezim ditengah kesulitan ekonomi yang diderita rakyat di depan mata kita?

Dengan sejumlah perbedaan kebasaan yang menyentuh (persoalan) moral itu, orang mengatakan bahwa perbedaan itu wajar. Maknanya setiap komunitas budaya mempunyai kode moralnya sendiri. Jadi, sekali lagi perbedaan dalam kode moral dipandang wajar. Pandangan ini dipegang oleh penganut relatifisme budaya (cultural relativism). Prinsip penganut ini adalah bahwa budaya merelatifkan nilai, norma, sekaligus kode moral. Istilah ‘salah’

dan ‘benar’ tak bisa dipaksakan dari satu komunitas budaya tertentu ke komunitas budaya lain. Tak ada standar moral yang bisa dipakai di semua tempat. Kebenaran difahami menurut tata cara masyarakat tertentu yang bersangkutan. Dengan demikian gagasan penganut relatifisme budaya memetahkan adanya nilai-nilai universal.

Mari kita amati argumentasi kaum relatifisme budaya ini. Argumentasi yang dipakai berangkat dari fakta mengenai adanya perbedaan pandangan budaya. Kemudian melalui perbedaan fakta budaya ini dipakai untuk menarik

(17)

kesimpulan atas status moralitas. Kita disini merasa miris mendengar ada komunitas budaya tertentu memakan jenasah orang tuanya. tapi fenomena ini biasa bagi suku Callatia di India. Kaum relatifisme budaya ini menyimpulkan, bahwa. makan jenasah itu tidak benar dan (tapi) tidak salah secara obyektf.

Jadi, menurut kaum relatifisme budaya ini berpandangan bahwa ‘memakan jenasah’ hanyalah pandangan yang berbeda dari suatu komunitas budaya tertentu dengan komunitas budaya lain. Kesimpulan ini berangkat dari gagasan dasar nya. kebudayaan yang berbeda mempunyai kode moral yang berbeda.

Tidak ada kebenaran obyektif dalam moralitas.

Kita periksa lagi argumen kaum relatifis ini. Presmis yang mereka ajukan adalah fakta mengenai perbedaan apa yang dipercayai oleh budaya tertentu.

tetapi kesimpulan yang ditarik menyangkut ‘apa yang sesungguhnya’. Atau, kesimpulan yang ditarik tidak berasal dari premis yang dihasilkannya.

Jadi, apakah jika fakta adanya perbedaan pendangan terus dapat disimpulkan bahwa tidak ada kebenaran obyektif? Kalau ada dua argumen yang bertentangan, bisa jadi salah satu yang benar atau dua-duanya bisa salah. Tapi, tak bisa dua-duanya benar. Di lain sisi, kebenaran obyektif moral tidak harus gugur atau dikatakan ‘tidak ada kebenaran moral obyektif’ hanya karena disebabkan komunitas tertentu tidak mengetahuinya.

(18)

BAB II TEORI ETIKA

Kompetensi Dasar:

Menganalisa empat teori etika

Indikator Hasil Belajar:

1. Menjelaskan teori etika hedonisme.

2. Menjelaskan teori eudomonia.

3. Menjelaskan teori utilitarian.

4. Menjelaskan teori etika deontologi.

(19)

Topik ini dimaksudkan sebagai pencarian orientasi kritis terhadap legitimasi atas suatu tindakan. Legitimasi yang dimaksud adalah pada kekuatan etis selain pada kekuatan logic dan rasionalnya. Dalam interaksi sehari-hari kekuatan legitimasi semacam ini ditemukan pada argumentasi, jadi argumentasi ini penting -apalagi dalam alam pekerjaan polisi sebagai garda depan penegak hukum dan ketertiban masyarakat. Namun demikian, etika atau filsafat moral agaknya sedikit berbeda dengan disiplin lain semacam administrasi, manajeman lalu lintas dan lainnya yang cenderung “manual”. Dalam etika tidak pernah ada manual (baca: petunjuk operasional), oleh karena itu bersifat reflektif-kritik. Kebenaran tidak hadir secara kebetulan, ia dikonstruksi melalui (adu) argumentasi yang kerapkali sangat panjang.

Kebenaran hanya bisa ketahui melalui argumentasi, menutup (adu) argumentasi sama halnya dengan menutup kebenaran itu sendiri. Sesuatu dikatakan benar justru karena ia tahan atas serangan argumentasi lain.

Kembali ke awal persoalan, apakah yang dimaksud landasan yang mempunyai kekuatan etis? Jawabannya adalah landasan yang mempunyai dasar moral. Dalam kerangka inilah maka pembahasan “etika” dalam pembagian materi filsatat dimasukkan sebagai “filsafat moral”. Untuk mengerti hal ini kita diharuskan mengerti makna moral. Di bawah ini sedikit elaborasi upaya kita dalam memahami makna moral. Ilustrasi berikut diambil dari Franz Magnis Suseno (Etika Dasar, 1989), bahwa manusia dapat dinilai dari banyak segi.

Pak Iman seorang manusia yang baik, tapi tidak sebagai dosen yang baik.

Penilaian sebagai ‘seorang yang baik’ adalah penilaian terhadap manusia sebagai

“manusia”. Tolok ukur penilaian semacam ini (bahwa Pak Iman adalah seorang yang baik) adalah pertimbangan kategori moral. Semantara untuk ‘dosen yang baik’

bukanlah pada tolok ukur moral, tetapi skill (keahlian), sebutlah itu profesionalisme.

Jadi dengan mudah ditarik kesimpulan bahwa pertimbangan moral artinya menimbang Pak Iman dalam ukuran manusia dan kemanusiaan. Misalnya, manusia hendaknya jujur, adil, tidak pernah culas, tidak korupsi, stabilitas emosi, tidak menyakiti orang tanpa sebab yang jelas. Nah, menimbang Pak Iman sebagai dosen berada di luar ukuran–ukuran (moralitas) itu, yaitu pada keluasan ilmu yang diajar, kemampuannya menyajikan materi perkuliahan, kekayaan literatur, berwawasan luas dan semacamnya. Semua mengacu pada keahlian yang menunjang pekerejaannya.

Secara katagorik dapat kita katakan bahwa Pak Iman adalah sebagai manusia yang baik tetapi bukan dosen yang baik. Perihal Pak Iman sebagai dosen harus jujur

(20)

dan berkemampuan mengajar yang handal adalah mencampur adukkan kriteria moralitas dengan profesi dosen. Kita disyaratkan berfikir analitis dalam menggunakan konsep dalam filsafat moral. Dari sini ruang diskusi kita mulai. pada dasar-dasar penilaian moral itu.

1. Hedonisme

Sistem filsafat moral hedonisme ini memandang bahwa hal yang terbaik bagi manusia adalah “hedone” atau kesenangan. Sesuatu tindakan atau apapun itu mendapat predikat baik diukur dari seberapa jauh ia dapat memuaskan keinginan, meningkatkan kuantitas kesenangan dan menikmatinya.

Terdapat dua aliran dalam filsafat moral hedonisme ini. Pertama, dikembangkan oleh Aristipos, seorang murid Sokrates (433-355 SM). Aristipos menekankan pada konstruksi kesenangan yang bersifat aktual. Bukan kesenangan bersifat ‘opini’ yang meliputi kesenangan yang non-badani.

Kesenangan non-badani dipandang sebagai semata-mata bersifat ilusi.

Kesenangan yang akan datang, misalnya, adalah bukan kesenangan karena tidak aktual. Tidak bisa dikatakan menunda kesenangan untuk kesenangan yang akan datang adalah sebuah kesenangan. Artinya menunda kesenangan itu sendiri bukanlah kesenangan. Akan tetapi, bagi Aristipos, sebagaimana diajarkan gurunya Sokrates, untuk meraih kesenangan kita harus mengendalikan kesenangan. Mengendalikan kesenangan bukan meninggalkan kesenangan.

Kedua, aliran yang dikembangkan oleh Epikuros (341-270 SM). Epikuros memperluas dimensi kesenangan, ada kesenangan non-badani selain kesenangan badani. Perluasan dimensi kesenangan ini akan lebih jelas dilihat dari pernyataannya yang diambil dari surat terhadap Menoikeus, “Bila kami mempertahankan bahwa kesenangan adalah tujuannya, kami tak maksudkan kesenangan inderawi, tapi kesenangan dari nyeri dalam tubuh kita dan kebebasan dari keresahan dalam jiwa”. Kebebasan dari keresahan dalam jiwa dirumuskan dalam terminologi ataraxia. Setiap kesenangan dinilai baik, persoalannya tidak setiap kesenangan harus dimanfaatkan (meskipun ia sanggup menikmati kesenangan itu) guna memelihara ataraxia.

(21)

Kalau hedonisme ini kita letakkan sebagai teori untuk memahami realitas, bagaimana kita memahami orang semacam Ibu Theresa yang bersusah payah dan menghabiskan waktunya untuk orang orang kusta? Jawabnya, Ibu Theresa juga sedang mengejar kesenangan. Nah, aliran hedonisme-nya epikurus lah yang bisa menjawab ini, yang dikejar Ibu Theresa adalah kesenangan jiwa, ataraxsia tadi. Jadi bagi system filsafat moral hedonisme, seluruh aktifitas dan kegiatan menusia diabdikan untuk (mencari) kesenangan.

K. Bertens (Etika, 2005) menguraikan kritik terhadap sistem filsafat hedonisme ini. Yaitu, diantaranya, menyejajarkan kesenangan dengan moralitas yang baik. Jika tindakan cenderung diorientasikan pada kesenangan, bagaimana kalau kesenangan orang itu melukai manusia lain? Nah, disinilah persoalanya, system filsafat hedonisme ada problem etis jika memaksakan masuk pada wilayah etika normatif (yang baik secara moral). Cukuplah hedonisme ini berhenti pada wilayah etika deskriptif (kenyataan bahwa tingkah laku manusia dibimbing oleh kesenangan). Kritik Bertens ini bisa jadi ada kelemahan, karena pernyataan ‘kesenangan melukai orang lain’ sangat hipotetikal. Bagi Epikurian, konsep ataraxia dengan sendirinya akan terganggu oleh tindakan orang yang melukai orang lain.

Kelemahan berikutnya, hedonisme berpikir bahwa sesuatu itu baik karena disenangi. Padahal kesenangan tidak melulu diangkat dari perasaan subyektif tanpa referensi yang obyektif. Kesenangan memang subyektif, namun berangkat dari pantulan yang obyektif.

2. Eudomonia.

Pada system filsafat hedonisme di atas, kesenangan diletakkan sebagai tujuan manusia. Setiap tindakan, dalam hedonisme, diorientasikan untuk memenuhi kesenangan dan mengurangi penderitaan. Persoalannya manusia bukan jenis mahluk yang hanya terdiri dari tubuh dan jiwa. Pemuasan tubuh (hedonisme Aristipos) dan pemuasan tubuh dan jiwa (hedonisme Epikurus) bermuara pada dimensi kesenangan, kesenangan ini akan berbeda dengan kebahagiaan sebagaimana dirumuskan dalam system filsafat eudomonia ini.

Karena manusia adalah mahluk komplek, multi dimensi. Ia dilahirkan dalam pusaran pluralitas nilai, nilai fisikal, nilai pengetahuan, nilai kebenaran, nilai social, nilai moral, nilai estetis. Manusia baru dapat menjadi manusia utuh kalau

(22)

belantara nilai tersebut dikenalinya. Dan, justru manusia, seperti dirumuskan Aristoteles, tidak akan menemukan kebahagiaan jika hanya melulu mengorientasikan aktifitasnya kepada kesenangan. Ironisnnya, system filsafat Aristoteles ini berpendapat bahwa manusia juga tak akan menemukan kebahagiaan jika hanya mengorientasikan aktifitasnya sekedar hanya untuk mancari kebahagiaan.

Jadi bagaimana kita selayaknya mengorientasikan aktifitas hidup kita?

Yaitu mengembangkan bakat–bakat atau potensi kita sedemikian rupa!

Kebahagiaan didekati dengan cara merealisasikan potensi diri. Franz Magnis mengilustrasikan, seorang yang mau menjadi pengukir akan bahagia dengan patung sederhana hasil karyanya sendiri daripada patung yang jauh lebih indah yang diperoleh dari pembelian orang tuanya. Berkarya dan berkeringat dalam mengembangkan potensinya secara otentik adalah hal yang membahagiakan.

Salah satu kewajiban dasar manusia adalah mengembangkan diri. “manusia adalah tugas bagi dirinya sendiri”, tulis Franz Magnis (1987:119). Meminjam Descartes, cogito ergo sum, aku berfikir maka aku ada. Keberadaan seseorang manusia (eksistensi) sebagai manusia hanya melalui kontribusinya terhadap noktah sekecil apapun di belantara pluralitas nilai yang telah disebut di atas.

Namun, manusia tak dapat berkembang jika ia semata-mata hanya mengorientasikan pada perkembangan dirinya, seperti halnya telah disebutkan di atas bahwa manusia tak akan bahagia jika hanya mengorientasikan diri untuk mencari kebahagiaan. Mengapa? Karena melulu pada orientasi pengembangan diri sama dengan menghadirkan kekhawatiran akan dirinya sendiri.

Kekhawatiran inilah yang menjadi tirai penutup pengembangan diri yang otentik. Praktik pengembangan diri yang diajarkan Aristoteles adalah obsesinya pada “kemanusiaan”, pada nilai atau tugas yang dipanggulkan kepadanya. Nilai dan tugas itu adalah tanggung jawab obyektif.

Apa itu tanggung jawab obyektif? Ya, bukan tanggung jawab subyektif!

Bandingkan dengan sistem filsafat hedonisme, dalam hedonisme sesuatu yang dipandang bernilai adalah bila sesuatu itu mendekatkan pada kesenangan.

Bagi Aristoteles kesenangan ini dibatasi pada lingkup yang “obyektif”, yaitu beban atau tugas kemanusiaan yang melekat dalam profesi apapun yang disandangnya. Dalam setiap profesi dikandung tugas kemanusiaan. Tentu dalam kontek ini kita tak bisa menyebut pencuri dan mafia sebagai profesi

(23)

(Meskipun misalnya ada pendidikan khusus untuk itu, tapi ini mustahi kan?), karena dibatasi pada lingkup definisi tanggungjawab obyektif itu.

Kebahagiaan (eudaimonia), yang disebut sebagai tujuan akhir hanya dapat diperoleh ketika manusia mampu menanggalkan egonya bersamaan dengan cara mengembangkan diri. Pengembangan diri ini ditempuh melalui dua komponen, yaitu intelektual dan moral.

Konsep “tujuan akhir” ini penting dalam sistem filsafat moral Aristoteles, karena pada dasarnya setiap aktifitas manusia ditujukan pada sebuah tujuan.

Aristoteles melakukan “potong kompas” atas deretan tujuan yang bersifat hierarkhi. Kekayaan, pangkat, status tentu bukanlah tujuan akhir. Pencarian kekayaan adalah sebuah aktifitas untuk memperoleh tujuan yang lain, begitu pula pangkat. Seseorang mencapai tujuan akhir dengan menjalankan fungsinya sebagai manusia dengan baik. Komponen utama manusia adalah intelek dan moral. K. Bertens menyebut, “tujuan pemain suling adalah main suling dengan baik”.

PRACTICAL ACTION Divine Connection

Intelligence

Figure 2-2 The Aristotle Model of Wisdom (4th century B.C.) modeled by Targowski (21st century A.D.)

Intellectual Virtues

justice, friendship, understanding,

other

WISDOM

Prescription for action

Moral Virtues

courage, temperance,

liberty, ultimate end

in life

Soul

micro-cosmos Mind

God’s Soul

macro-cosmos

A Goal of Action

Syllogic Process

(24)

3. Utilitarian

Kita tak bisa memahami sistem filsafat utilitarian ini tanpa mengerti sistem filsafat hedonisme. Utilis, bahasa Latin, artinya berguna. Menilai sesuatu itu baik sejauh memberikan manfaat atau nilai guna. Persoalannya menjadi rumit manakala, misalnya, jika saya melakukan sesuatu dengan maksud memberikan manfaat bagi orang tapi ternyata justru sebaliknya. Apakah efek atau akibat dari tindakan saya yang justru melenceng dari tujuan awal ini diluar tanggung jawab saya? karena toh saya bermaksud memberi manfaat.

Dari persoalan ini utilitarian membagi dua nilai guna. Pertama, berguna bagi saya pribadi. Kedua, berguna bagi orang lain. Suatu tindakan belum tentu baik secara moral kalau hanya diukur dari satu ukuran saja. Misalnya, (hanya) berguna untuk saya, tidak bagi orang lain. Penilaian moral terletak pada kegunaannya bagi orang lain. Namun, pencapaian tujuan dalam memberikan guna bagi orang lain diluar tanggungjawab saya sebagai pelaku tindakan. Yang dinilai sacara moral adalah maksud dari sebuah tindakan. Franz Magnis Suseno mengilustrasikan, kalau saya pulang tengah malam sehingga secara tak sengaja membangunkan tetangga. Kemudian, karena itu, tetangga saya sempat memadamkan api yang sedikit menjalar hingga tak jadi kebakaran besar. Tetangga itu berterimakasih kepada saya, padahal saya tak sengaja membangunkannya, maka dalam penilaian moral saya tidak berjasa apa-apa.

Utilitarianisme menganjurkan penghayatan moral yang kritis dan rasional.

Tindakan “pada dirinya sendiri” tidak diperhitungkan. tidak ada hukum wajib atau haram pada diri pelaku atas dirinya sendiri, karena nilai moral atas tindakan diukur dari tujuan dan akibatnya sejauh diperhitungkan sebelumnya.

Terhadap hubungan sex di luar nikah, bagi penganut utilitarian tak mudah diyakinkan terhadap efek baik buruknya. Atau, kalau saya, sebagai warga Indonesia mengaku tak percaya pada keberadaan Tuhan. apa yang salah dengan pengakuan ini? Yang jelas salah adalah kalau saya nyolong sendal jepit (karena jelas ada yang dirugikan!). Jadi, coba bandingkan melalui imajinasi Anda, mana paling besar bobrok moral atas tiga “dosa” itu: sex di luar nikah, menyatakan tak percaya Tuhan dan nyolong sendal jepit!

Jadi, sistem filsafat utilitarian memberikan “energi kritis” terhadap aturan moral. Misalnya, mengapa kebijakan negara perlu memelihara judi? Mengapa

(25)

perlu lokalisasi? mengapa polisi memilih tindakan/diskresi pemeliharaan ketertiban masyarakat (meskipun melanggar hukum) dari pada penegakkan hukum? Jika kita sepakat semua jawaban itu semua bermuara pada nilai guna, disinilah utilitarianisme mengajak ulang menyasar lebih jauh pada dimensi nilai guna itu. Utilitarian merangsang suasana pertanggung jawaban. suatu keputusan, tindakan masih mengandung pertanyaan moral sejauh dapat mempertanggung jawabkan akibat-akibatnya bagi semua fihak yang terkena keputusan itu.

4. Deontologi

Terminologi deontologi berasal dari kata Yunani, deon, berarti ‘apa yang harus dilakukan’ atau ‘kewajiban’. Sering pula dikenal dengan nama Teori Kewajiban. Perbedaannya mendasar dengan tiga teori yang disebut di depan sebelumnya, sistem etika ini (deontologi) tidak mengukur baik tidaknya sebuah tindakan dari hasilnya, tetapi pada maksud (niat) si pelaku. Kritik yang biasa dilancarkan terhadap tiga teori sebelumnya adalah bahwa tiga teori itu bersifat teleologik. Pada deontologi tidak demikian, karena, sekali lagi, ukuran baik tidak terletak pada tujuan sebuah tindakan, tetapi pada maksud si pelaku.

Immanuel Kant (1724-1804) paling berpengaruh mewarnai sistem etika ini. Menurutnya, apa saja yang disebut baik tergantung pada kehendak yang baik. Sebaliknya, apa saja yang baik akan menjadi tidak baik kalau tidak didasari kehendak yang tidak baik. Pintar dan cerdas tentu sebuah kualitas yang baik, namun tanpa didasari kehendak yang tidak baik kepintarannya dan kecerdasannya menjadi potensi yang membahanyakan, menjadi tidak baik.

Maka pertanyaannya. apa yang membuat kehendak menjadi baik?

Jawabannya sederhana. yaitu kewajiban! Kewajiban inilah yang akhirnya memisahkan tindakan yang muncul dari kehendak yang subyektif menjadi tindakan yang muncul dari kehendak yang obyektif, karena kewajiban selalu bersentuhan dalam lingkup dari norma dan nilai. Ini dapat dimengerti bahwa tingkah laku manusia hanya diformat oleh norma yang mewajibkan itu.

Tindakan yang didasarkan pada kewajiban tidak lagi ditafsir secara personal atau subyektif. Misalnya, kalau perbuatan menolong atau membantu orang lemah hanya atas dasar kasihan atau sebatas watak sebagai manusia penolong, maka perbuatan ini masih belum mempunyai nilai moral. Perbuatan ini masih netral secara moral. Perbuatan ini baru mempunyai nilai moral kalau

(26)

tindakan ini didasarkan pada kewajiban. adanya kehendak bahwa menolong orang lemah adalah kewajiban. Sama halnya kalau hati Anda terketuk (trenyuh) melihat pengemis kemudian menolongnya atas dasar kasihan, maka menurut teori ini nilai tindakan Anda secara moral masih nol besar.

Sebuah tindakan adalah baik hanya jika dilakukan karena ia wajib dilakukan. Tindakan semacam itu oleh Kant disebut “legalitas”. Term legalitas ini selanjutnya (melalui perubahan sosial) menjadi dimaknai sebagai ‘taat hukum’. suatu tindakan bersifat moral jika semata-mata dilakukan karena untuk hukum dan moral.

Kritik terhadap teori ini biasanya dialamatkan pada kekakuan (rigorous) sistem nilai ini. Kalau saya menolong orang dengan alasan bahwa saya senang berbuat baik menurut teori ini dasar tindakan saya masih didorong oleh kecenderungan, oleh karena itu secara moral tindakan saya belum dikategorikan baik. Andaikan saya menjawab bahwa tindakan saya itu didorong oleh kewajiban berbuat baik, barulah tindakan tadi mempunyai bobot moral baik. Mengapa demikian? Dugaan saya tindakan atas dasar kewajiban lebih menyita pengorbanan, saya harus mengorbankan tindakan yang semau-saya sendiri (ada aspek “menahan diri”). sementara pada tindakan yang mengikuti kecenderungan tidak demikian. Oleh karena itu, menurut Kant, tindakan yang mengikuti kecenderungan dikategorikan ketidakbebasan (heteronom).

(27)

BAB III

KEPUTUSAN MORAL

Kompetensi Dasar:

Memahami makna dasar keputusan moral, hingga perbedaannya dengan keputusan- keputusan lain.

Indikator Hasil Belajar:

1. Menjelaskan pengertian keputusan moral.

2. Menjelaskan teknis menimbang tindakan moral.

(28)

Tentu, paling awal sebelum memasuki diskusi topik ini Anda/mahasiswa harus sudah ‘duduk’ konsep moral. Kalau masih kabur konsep moral Anda belum bisa memasuki topik ini. Buka kembali pertemuan-pertemuan awal.

1. Apa Itu Keputusan Moral

Keputusan moral haruslah menyangkut persentuhannya dengan aspek tindakan sosial. Pengertian ‘tindakan sosial’ mengacu pada memberikan implikasi/efek pada manusia lain di luar diri kita, yang melakukan tindakan.

Tetapi proposisi semacam ini masih rumit, Anda bisa membantahnya!

Perhatikan ilustrasi berikut. Kalau saya lebih menyukai makan tempe dari pada rendang, selera saya ini tentu amoral. Tindakan pilihan saya ini tidak bisa dinilai secara moral. Tak seorangpun bisa menilai bahwa selera saya ini mempunyai bobot moral atau tidak. Selera tidak berhubungan dengan moral, karena sangat personal.

Tetapi, tunggu. Jangan ditarik kesimpulan dulu! Kalau saya dimintai pertimbangan mana yang lebih cantik antara istri saya dengan Britney Spears, artis Amerika itu, terus terang saya rikuh menjawabnya: antara memilih jujur atau tidak. Salah-salah menjawab bisa-bisa berabe. (tak perlu dilanjutkan soal ini, mudah-mudahan istri saya tak membaca bahan kuliah ini!). Nah, yang perlu dicermati selera dalam konteks ini ada unsur (penilaian) moral. Iyalah, nilai-nilai dalam masyarakat dan kebudayaannya memaksa saya untuk bilang bahwa istri (harus) lebih cantik dari siapapun.

Keputusan yang tidak ada/menyangkut orang lain memang tidak ada hubungannya dengan moral. Jadi, keputusan saya memilih membeli tempe ketimbang rendang tidak ada hubungannya dengan topik kita! Tetapi, seberapa kuat memang sebuah keputusan -bahkan itu hanya menyangkut selera- steril dari implikasi terhadap orang lain? Pilihan saya terhadap tempe pada derajat teertentu mempunyai implikasi terhadap orang lain, barangkali selera saya ini akan membuat merengut penjual rendang dan sumringah bagi penjual tempe.

Anda tentu mudah memberi penilaian merengutnya orang penjual rendang itu di luar tanggungjawab moral saya! Tentu, secara moral pula saya bisa berujar EGP-lah (emang gue pikirin).

Kalau mau diambil kesimpulan, keputusasn saya membeli tempe tidak ada hubungannya dengan tindakan moral. Tidak bisa dinilai secara moral. Nah,

(29)

disinilah persoalannya. Proposisi definitif di atas tentang ‘tidak ada implikasi apapun terhadap orang lain’ melalui ilustrasi logika ini ditabrak! Tetapi definsi itu tidak salah, bahwa keputusan moral adalah menyangkut pada tindakan sosial dan memberikan implikasi pada manusia lain di luar diri kita yang melakukan tindakan. Coba perhatikan berikut ini. Jika keputusan saya membeli tempe itu karena dibimbing oleh nilai-nilai primordial atas kebencian etnis pedagang rendang ini masalah lain. Tidak usah bingung, tindakan saya ini tidak memenuhi cara berfikir kriteria penilaian moral yang disinggung di atas, disini tindakan saya bukan dibimbing oleh selera tetapi oleh kebencian atas suku atau etnis tertentu.

2. Menimbang Tindakan Moral

Ada dimensi lain yang perlu dipertimbangan dalam (prasyarat) tindakan itu mempunyai kerangka moral atau tidak. Ilustrasi di bawah ini akan mendiskusikan ikhwal itu. Begini kisahnya.

Konon, pada tahun 1993 di Saskatchewan, Kanada tersebutlah sebuah kisah, Tracy namanya. Tracy ini, menurut cerita sejak usia 3 tahun menderita lumpuh otak. Ia hidup dalam penderitaan tiada akhir, sebelum meninggal pada usia 13 tahun. Seluruh organnya normal, bernafas dan makan seperti mahluk hidup pada umumnya, ya kecuali pada bagian kepala itu tadi. Pada saat-saat tertentu yang tidak diketahui sebabnya ia mengerang kesakitan luar biasa.

Kedua orang tua yang sangat menyayangi hanya bisa mononton tanpa bisa kuasa memberi pertolongan apapun.

Robert Latimer dan Nyonya Latimer, kedua orang tuanya cuma bisa bergumam, “Tracy dilahirkan hanya untuk merasakan kesakitan”. Menjelang ulang tahunnya yang kelima, yang berarti sepanjang usia itu pula Tracy hidup dalam kesakitan, muncul gagasan dari kedua orang tuanya untuk segera mengakhiri rasa sakitnya. Tiada jalan lain, mengusir kesakitan ini dengan cara membunuhnya. Disiapkanlah rencana pembunuhan atas Tracy. Keputusan membunuh Tracy berangkat dari kasih sayang orang tua yang sangat mendalam. Menyayangi berarti menjauhkan dari penderitaan.

Nuraninya bergolak dalam menimbang untuk mengambil keputusan atas rencana pembunuhan itu. Pergolakan ini merupakan pertempuran antara kasih sayang, rasionalitas dan belitan norma hukum legal formal. Apakah

(30)

pembunuhan atas kasih sayang bisa dibenarkan? Kalau iya, siapakah yang membenarkan? Hukum legal formal tak mengenal apa yang terjadi pada pergolakan di dalam dada dua orang tua ini: betapa rasa kasih sayangnya luar biasa. Hukum legal formal hanya sebuah teks yang mengatakan bahwa pembunuhan adalah tindakan melanggar hukum. Titik. Berarti harga melepas penderitaan Tracy harus dibayar dengan penjara. Tidak cukup hukuman penjara, masih ada derifasi atas tindakannya, yaitu hukum sosial. Hal lain yang bergolak di kepala dua orang tua ini, apakah betul Tracy menderita sedemikian berat, bukan sekedar dugaanya saja? Mengapa pula mengukur cara hidup orang lain -meskipun itu anaknya sendiri- dengan ukuran-ukuran dirinya? Ya, mungkin jawabnya rasa empati yang mendalam, tetapi menjadi sejahat itukah sebuah empati? Nah, pertanyaan terakhir ini membingungkan, utamanya pada konsep “jahat”. Konsep ini tentu masih harus diletakan sebagai hipotesis karena bukankah ruang pertempuran moral ini sedang menelusuri posisi ‘jahat’ atau tidaknya sebuah tindakan. Pada sisi lain kesimpulan kedua orang tua Tracy tentang penderitaan itu pun masih jauh dari akurat. apakah betul penderitaan Tracy tak akan pernah berakhir? Jangan-jangan masih ada keajaiban masih ada harapan sembuh. Atau, berarti jangan-jangan keputusan pembunuhan ini terlalu dini? Lantas, apakah pertimbangan ‘kedinian’ semacam ini menjadi absah secara moral? Satu pertanyaan lagi: apakah rencana pembunuhan itu bukan sekedar ego kedua orang tua Tracy yang ada dasarnya tidak mau menerima beban mengurus manusia cacat?

Pergolakan pertimbangan untuk membunuh Tracy ini buntu. Rencana pembunuhan pada ulang tahunya yang ke lima tidak jadi dilakukan! Tetapi apakah berarti kedua orang tua ini memenangkan pertempuran dalam dilema moral itu? Alih-alih, yang menghantui setelah itu adalah munculnya sebuah pertanyaan: masih tegakah terus menerus ‘membiarkan’ Tracy menderita berkepanjangan? Sebetulnya, pertanyaan semacam ini kembali pada pertanyaan awal sebelum munculnya pertanyaan-pertanyaan yang lain.

Meskipun demikian pertanyaan ini mempunyai kualitas melebihi dari pertanyaan awal karena justru telah melampaui timbangan atas pertanyaan- pertanyaan lain. Pertanyaan semacam ini sirkular: tidak akan muncul kembali kalau tidak terlebih dahulu melampaui pergulatan sejumlah pertanyaan sebelumnya.

(31)

Ulang tahun Tracy dirayakan secara normal, tidak ada kejutan apapun.

Begitu pula pada tahunnya yang ke-6. Setahun kemudian, pada tahun ke-9, pergolakan pertimmbangan moral tentang rencana pembunuhan itu muncul kembali lebih kencang untuk segera direalisasikan. Sejumlah pertanyaan yang sama seperti di atas kembali membuncah. Tetapi tahun ke-9 ini aman. Tahun ke-10 aman. Begitupun tahun berikutnya, hingga memasuki tahun ke-12, tepatnya pada tahun 1993 pergolakan itu muncul dengan kencang. Tentu, sejumlah pertanyaan di atas kembali mewarnai petermpuran ini. Gawang pertahanan Robert Letimer bobol. Konon, pada hari minggu ketika Nyonya Latimer dan anak-anak lain pergi ke gereja, Robert meletakkan Tracy di tempat duduk truk pick up-nya kemudian menyalurkan asap mobil ke dalamnya. Tracy sesak napas, lemas dan kemudian meninggal.

Dalam sidang, Robert dituntut 25 tahun, kena tuntutan pasal pembunuhan berencana. Hakim mempunyai pertimbangan lain, tidak mau keras. Dalam rapat sejumlah hakim itu, tuntutan 25 ditolak. Hakim hanya menjatuhkan hukuman satu tahun penjara.

(32)

CPMK2:

Memahami situasi dan kondisi yang diharapkan, etika profesi di kepolisian negara lain, perkembangan Kode Etik Profesi Polri (KEPP)

Sub CPMK:

1. Menjelaskan situasi dan kondisi yang diharapkan Polri.

2. Menjelaskan etika profesi di kepolisian negara lain.

3. Menjelaskan perkembangan Kode Etik Profesi Polri (KEPP).

(33)

BAB IV

SITUASI DAN KONDISI YANG DIHARAPKAN POLRI

Kompetensi Dasar:

Memahami tentang situasi dan kondisi yang diharapkan Polri.

Indikator Hasil Belajar:

1. Menjelaskan tentang trend gangguan Kamtibmas.

2. Menjelaskan tentang demokrasi.

3. Menjelaskan tentang hukum.

4. Menjelaskan tentang HAM.

5. Menjelaskan tentang masyarakat.

6. Menjelaskan tentang keterbatasan Polri.

Gambar

Figure 2-1  A Function of Philosophy  (The Benesch-Targowski Model)PHILOSOPHY
Figure 2-2  The  Aristotle Model of Wisdom (4 th  century B.C.) modeled  by Targowski (21 st  century A.D.)

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait