• Tidak ada hasil yang ditemukan

MARKAS BESAR KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN MILIK DINAS. untuk SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MARKAS BESAR KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN MILIK DINAS. untuk SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN"

Copied!
232
0
0

Teks penuh

(1)

untuk

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI 2019

(2)

vii -

IDENTITAS BUKU

MANAJEMEN OPERASI KEPOLISIAN

Penyusun:

Tim Pokja perumusan dan penyempurnaan Hanjar STIK T.A. 2019

Editor:

1. Kombes Pol Drs. Imran Yunus, M.H.

2. AKBP. Purwadi Wahyu Anggoro, S.IK, M.H.

3. Briptu. Fikri Setiawan

Hanjar Pendidikan Polri

Program pendidikan Strata Satu (S1) Ilmu Kepolisian Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian

Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri

Diterbitkan oleh:

Bagian Kurikulum Bahan Ajar Pendidikan Pengembangan Umum Biro Kurikulum

Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri Tahun 2019

Dilarang menggandakan sebagian atau seluruh isi bahan ajar (Hanjar) Pendidikan Polri ini, tanpa izin tertulis dari Kalemdiklat Polri.

(3)

viii

- DAFTAR ISI Sambutan Kalemdiklat Polri ... ii

Keputusan Kalemdiklat Polri... iv

Lembar Identitas ... vii

Daftar Isi ... viii

Pengantar ... 1

Standar Kompetensi ... 2

BAB I KORUPSI, PELAYANAN PUBLIK DAN INTEGRITAS 4 Kompetensi Dasar ... 4

Indikator Hasil Belajar ... 4

1. Korupsi dan Perilaku Koruptif ... 5

2. Pelayan Publik ... 8

3. Fenomena Korupsi di Tubuh Polri Selaku Pelayan Publik . 11 4. Konsep Integritas ... 15

BAB II FAKTOR PENYEBAB KORUPSI 17 Kompetensi Dasar ... 17

Indikator Hasil Belajar ... 17

1. Faktor Penyebab Internal ... 18

2. Faktor Penyebab Eksternal ... 18

3. Faktor Penyebab Korupsi dalam Perspektif Teori ... 21

BAB III DAMPAK MASIF KORUPSI 23 Kompetensi Dasar ... 23

Indikator Hasil Belajar ... 23

1. Dampak Korupsi ... 24

2. Era Digital dan Dampaknya pada Penanggulangan Korupsi ... 33

BAB IV NILAI-NILAI ANTI KORUPSI DAN PRINSIP-PRINSIP ANTI KORUPSI Kompetensi Dasar ... 37

Indikator Hasil Belajar ... 37

1. Nilai-nilai Anti Korupsi ... 38

2. Prinsip-prinsip Anti Korupsi ... 41

BAB V UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI Kompetensi Dasar ... 44

Indikator Hasil Belajar ... 44

1. Konsep Pemberantasan Korupsi ... 45

2. Upaya Penanggulangan Korupsi dengan Hukum Pidana ... 46

3. Berbagai Strategi dan Upaya Pemberantasan Korupsi ... 47

(4)

ix

- BAB VI GERAKAN, KERJASAMA DAN INSTRUMEN INTERNASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI 53 Kompetensi Dasar ... 53

Indikator Hasil Belajar ... 53

1. Gerakan Organisasi Internasional ... 54

2. Gerakan Lembaga Swadaya Internasional (Internasional NGO’S) ... 57

3. Instrumen Internasional Pencegahan Korupsi ... 60

4. Pencegahan Korupsi: Belajar dari Negara Lain ... 64

BAB VII GERAKAN, KERJASAMA DAN INSTRUMEN NASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI 66 Kompetensi Dasar ... 66

Indikator Hasil Belajar ... 66

1. Gerakan dan kerjasama Nasional Pencegahan Korupsi .... 67

2. Instrumen Nasional Pencegahan Korupsi ... 75

3. Lembaga Pencegahan Korupsi ... 84

BAB VIII TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERUNDANG- UNDANGAN DI INDONESIA DAN PERKEMBANGANNYA 95 Kompetensi Dasar ... 95

Indikator Hasil Belajar ... 95

1. Sejarah Perundang-undangan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... 96

2. Latar Belakang Lahirnya Delik Korupsi dalam Perundang- undangan Korupsi ... 107

3. Delik Korupsi Menurut Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-undang no.20 tahun 2001 ... 110

4. Gratifikasi ... 128

5. Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) ... 131

6. Whistleblower (WB) dan Justice Collaborator (JC) ... 137

BAB IX PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI 140 Kompetensi Dasar ... 140

Indikator Hasil Belajar ... 140

1. Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi ... 141

2. Langkah-langkah dalam penyelidikan dan penyidikan Tindak Pidana Korupsi ... 143

3. Perkembangan Hukum ... 152

BAB X PEMBUKTIAN UNSUR PASAL TINDAK PIDANA KORUPSI 155 Kompetensi Dasar ... 155

Indikator Hasil Belajar ... 155

1. Alat Bukti dan Sistem Pembuktian Pidana Korupsi ... 156

2. Unsur Delik/Tindak Pidana Korupsi ... 160

(5)

x

- BAB XI PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA 171 Kompetensi Dasar ... 171

Indikator Hasil Belajar ... 171

1. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara/Daerah ... 172

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara ... 177

3. Pemahaman aturan yang mengatur tentang Pengelolaan dan Pertanggung jawaban Keuangan Negara ... 179

4. Kerugian Keuangan Negara ... 185

BAB XII AREA RAWAN KORUPSI 194 Kompetensi Dasar ... 194

Indikator Hasil Belajar ... 194

1. Pengadaan barang dan jasa pemerintah ... 195

2. Keuangan dan perbankan ... 195

3. Perpajakan ... 196

4. Minyak dan gas (migas) ... 196

5. Pengelolaan BUMN/BUMD ... 197

6. Kepabeanan dan cukai ... 197

7. Perencanaan dan penggunaan APBN/APBD dan APBN- P/APBD-P ... 198

8. Pengelolaan Aset Negara/Daerah ... 198

9. Pertambangan ... 199

10. Pelayanan publik... 199

BAB XIII BEST PRACTICE PENANGANAN KASUS KORUPSI 201 Kompetensi Dasar ... 201

Indikator Hasil Belajar ... 201

1. Studi Kasus Korupsi ... 202

2. Penerapan follow the money dalam pengungkapan tindak pidana korupsi ... 207

BAB XIV MAHASISWA STIK PTIK DALAM UPAYA PENCEGAHAN KORUPSI DAN PENINDAKAN KORUPSI 209 Kompetensi Dasar ... 209

Indikator Hasil Belajar ... 209

1. Gerakan Anti Korupsi ... 210

2. Posisi strategis mahasiswa ... 212

3. Peran mahasiswa ... 214

Daftar Pustaka ... 224

Lampiran ... 227

(6)

PENCEGAHAN DAN PENINDAKAN KORUPSI 1 SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN

PENCEGAHAN DAN PENINDAKAN KORUPSI

1. Pengantar

Dalam kajian Ilmu Kepolisian korupsi telah menjadi perhatian semua pihak pada saat ini. Bentuk dan perwujudan korupsi jauh lebih banyak daripada kemampuan untuk melukiskannya. Iklim yang diciptakan oleh korupsi menguntungkan bagi tumbuh suburnya berbagai kejahatan. Korupsi pun menjadi permasalahan yang sungguh serius dinegeri ini. Kasus korupsi sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Berkembang dengan pesat, meluas dimana- mana dan terjadi secara sistematis dengan rekayasa yang canggih dan memanfaatkan teknologi modern. Kasus terjadinya korupsi dari hari kehari kian marak. Hampir setiap hari berita tentang korupsi menghiasi berbagai media.

Bahkan Korupsi dianggap biasa dan dimaklumi banyak orang sehingga masyarakat sulit membedakan nama perbuatan korup dan mana perbuatan yang tidak korup. Meskipun sudah ada komisi pemberantasan korupsi (KPK) dan beberapa instansi anti korupsi lainnya, faktanya negeri ini menduduki rangking teratas sebagai negara terkorup di dunia. Tindak korupsi di negeri ini bisa dikatakan mulai merajalela, bahkan menjadi kebiasaan, dan yang lebih memprihatinkan adalah korupsi dianggap biasa saja atau hal yang sepele.

Sejarah mencatat, dari sejumlah kejadian terdahulu, sudah banyak usaha menangkapi dan menjebloskan koruptor ke penjara. Era orde baru, yang berlalu, kerap membentuk lembaga pemberangus korupsi. Mulai Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, Komisi Empat pada tahun 1970, Komisi Anti Korupsi pada 1970, Opstib di tahun 1977, hingga Tim Pemberantas Korupsi. Nyatanya, penangkapan para koruptor tidak membuat jera yang lain.

Koruptor junior terus bermunculan. Upaya pemberantasan korupsi semata-mata hanya lewat penuntutan korupsi, padahal yang perlu saat sekarang ini adalah kesadaran setiap orang untuk taat pada undang-undang korupsi. Bangsa Indonesia sekarang butuh penerus bangsa yang berakhlak mulia, dalam artian mempunyai sikap dan perilaku yang baik. Kesadaran tersebut membuat pemerintah memutar otak untuk bagaimana menciptakan hal tersebut. Lebih khusus kepada penanaman nilai anti korupsi pada setiap individu putra bangsa.

(7)

2

2. Standar Kompetensi

Mahasiswa mampu memahami dan mengidentifikasi konsep korupsi dan integritas, konsep nilai-nilai dan prinsip prinsip anti korupsi, dinamika strategi pencegahan korupsi dalam perkembangan nasional dan internasional, dinamika strategi penindakan korupsi.

(8)

PENCEGAHAN DAN PENINDAKAN KORUPSI 3 SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN

CPMK 1:

Mahasiswa mampu menjelaskan kembali konsep, fenomena, faktor penyebab dan dampak masif korupsi.

SUB CPMK:

1. Mampu memahami Konsep Korupsi, Pelayanan Publik dan Integritas serta menjelaskan fenomena korupsi di tubuh Polri.

2. Mengidentifikasi Faktor Penyebab korupsi.

3. Menganalisis Dampak Masif Korupsi.

(9)

4

BAB I

KORUPSI, PELAYANAN PUBLIK DAN INTEGRITAS

Kompetensi Dasar:

Memahami dan menganalisis tentang korupsi, perilaku koruptif, pelayanan pubik, fenomena korupsi di tubuh polri dan integritas.

Indikator Hasil Belajar:

1. Menjelaskan pengertian korupsi dan perilaku koruptif.

2. Menjelaskan pengertian pelayanan publik.

3. Menjelaskan pengertian fenomena korupsi di tubuh polri selaku pelayan publik.

4. Menjelaskan pengertian konsep integritas.

(10)

PENCEGAHAN DAN PENINDAKAN KORUPSI 5 SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN 1. Korupsi dan Perilaku Koruptif

a. Korupsi

Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” (Fockema Andrea : 1951) atau “corruptus” (Webster Student Dictionary : 1960) yakni berubah dari kondisi yang adil, benar dan jujur menjadi kondisi yang sebaliknya (Azhar, 2003:28). Adapun kata “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih tua, yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok, orang yang dirusak, dipikat, atau disuap (Nasir, 2006 : 281-282). Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris), “corruption” (Perancis) dan

“corruptie/korruptie” (Belanda). Dengan demikian arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.

Di Malaysia terdapat peraturan anti korupsi, dipakai kata “resuah” berasal dari bahasa Arab“risywah”, menurut Kamus umum Arab-Indonesia artinya sama dengan korupsi (Andi Hamzah: 2002). Risywah (suap) secara terminologis berarti pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk memperoleh kedudukan (al-Misbah al-Munir - al Fayumi, al-Muhalla - Ibnu Hazm). Semua ulama sepakat mengharamkan risywah yang terkait dengan pemutusan hukum, bahkan perbuatan ini termasuk dosa besar. Sebagaimana yang telah diisyaratkan beberapa Nash Qur’aniyah dan Sunnah Nabawiyah yang antara lain menyatakan:

”Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram” (QS Al Maidah 42).

Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia, adalah “kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran” (S. Wojowasito-WJS Poerwadarminta : 1982). Pengertian lainnya, “perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya” (WJS Poerwadarminta : 1985).

Menurut Robert Klitgaard, Pengertian Korupsi adalah suatu tingkah laku yang meyimpang dari tugas-tugas resmi jabatannya dalam negara,

(11)

6

dimana untuk memperoleh keuntungan status atau uang yang menyangkut diri pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri), atau melanggar aturan pelaksanaan yang menyangkut tingkah laku pribadi. Pengertian korupsi yang diungkapkan oleh Robert yaitu korupsi dilihat dari perspektif administrasi negara.

b. Perilaku Koruptif

Ketika sebuah keluarga tidak mampu menjalankan fungsi sosialnya, misal dalam mendidik anak agar berperilaku jujur atau dapat berperilaku sesuai dengan nilai dan tata aturan yang berlaku di masyarakat, maka akan berimplikasi pada munculnya permasalahan atau patologi sosial, termasuk perilaku koruptif. Perilaku koruptif bisa saja disebabkan karena adanya kekosongan peran dari masyarakat seperti peran keluarga. Oleh karena itu, penting untuk ikut melibatkan seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama memerangi korupsi. Selain itu, tanpa kita sadari ternyata lingkungan kita sendiri yang membentuk perilaku koruptif, namun karena ini terlalu sering dilakukan dimasyarakat maka seakan- akan keadaan ini menjadi hal biasa. Perilaku masyarakat yang seenaknya dan selalu ingin mendapat segala sesuatu dengan instan menjadi dasar terciptanya perilaku korupsi .

Banyak sekali perilaku koruptif yang setiap hari dilakukan oleh masyarakat Indonesia, namun tidak pernah disadari bahwa hal ini seperti menjadi kebiasaan yang wajar. Contoh perilaku yang banyak mencerminkan perilaku koruptif di masyarakat "

1) Tilang minta damai saat Pelanggaran Lalu Lintas.

2) Suap menyuap untuk kelancaran izin.

3) Memberikan tips kepada aparat pelayanan publik.

c. Korupsi sebagai kejahatan

Korupsi dan perilaku koruptif dinyatakan sebagai kejahatan ketika perbuatan tersebut diatur dalam undang-undang sebagai perbuatan dilarang dan ada ancaman pidananya. Secara ringkas, sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas dalam Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

(12)

PENCEGAHAN DAN PENINDAKAN KORUPSI 7 SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN Pidana Korupsi serta Undang-Undang No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, perbuatan korupsi yang dinyatakan sebagai kejahatan adalah :

1) Melawan hukum untuk memperkaya diri dan merugikan keuangan Negara/perekonomian negara

2) Menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan diri sendiri dan merugikan keuangan Negara /perekonomian negara

3) Menyuap pegawai negeri

4) Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya 5) Pegawai negeri menerima suap

6) Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya

7) Menyuap hakim 8) Menyuap advokat

9) Hakim dan advokat menerima suap

10) Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan 11) Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi 12) Pegawai negeri merusakkan bukti

13) Pegawai negeri membiarkan orang lain atau membantu orang lain merusakkan bukti

14) Pegawai negeri memeras

15) Pegawai negeri memeras pegawai yang lain 16) Pemborong berbuat curang

17) Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang 18) Rekanan TNI/Polri berbuat curang

19) Pengawas rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang 20) Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang

21) Pegawai negeri menyerobot tanah Negara sehingga merugikan orang lain

22) Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya 23) Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK 24) Merintangi proses pemeriksaan

25) Tersangka tidak memberikan keterangan mengenai kekayaannya 26) Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka

(13)

8

27) Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu

28) Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberiketerangan palsu

29) Saksi yang membuka identitas pelapor 2. Pelayanan Publik

a. Pengertian Pelayanan Publik Dan Unsur-Unsurnya

Pelayanan publik didefinisikan sebagai kepercayaan publik. Warga negara berharap pelayanan publik dapat melayani dengan kejujuran dan pengelolaan sumber penghasilan secara tepat, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

Pemerintah menyadari membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik, hal ini yang menjadi pertimbangan atas kelahiran UU Nomor 25 Tahun 2009 yaitu Undang-undang Tentang Pelayanan Publik.

Unsur-unsur pelayanan publik adalah sebagai mana disebutkan pada Pasal 1 angka (1), yaitu terdiri dari :

1) Kegiatan atau rangkaian kegiatan

2) Dilakukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

3) Untuk setiap warga negara dan penduduk

4) Berupa barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif 5) Disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

b. Kategori Pelayanan Publik

Pelayanan publik meliputi segenap hajat hidup masyarakat Indonesia, pelayanan terhadap kesehatan, pendidikan dan pekerjaan merupakan hal masyarakat yang tercantum didialan Pasal 27 ayat 1 dan 2 UUD 1945 amandemen. Pasal tersebut menyatakan bahwa “setiap warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. tiap-tiap warga

(14)

PENCEGAHAN DAN PENINDAKAN KORUPSI 9 SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemunusiaan”

Oleh sebab itu pemerintah telah mengatur perihal ketentuan pelyanan publik lebih lanjut dilam ketentuan UU Nomor 25 Tahun 2009 yaitu Undang-undang Tentang Pelayanan Publik, didalam undang-undang ini pelayanan publik diberi katagori menjadi beberapa bentuk sebagaimana tersebut di bawah ini yaitu:

1) Pelayanan barang publik :

a) Pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

b) Pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/ atau kekayaan daerah yang dipisahkan. dan

c) Pengadaan dan penyaluran barang publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

2) Pelayanan Jasa Publik meliputi :

a) Penyediaan jasa publik oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

b) Penyediaan jasa publik oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan.

dan

(15)

10

c) Penyediaan jasa publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

3) Pelayanan administratif, meliputi :

a) Tindakan administratif pemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda warga negara.

b) Tindakan administratif oleh instansi nonpemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam peraturan perundang- undangan serta diterapkan berdasarkan perjanjian dengan penerima pelayanan.

c. Etika Publik

Etika publik adalah refleksi tentang ukuran/norma yang menentukan baik buruk, benar salah perilaku, tindakan dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggungjwab pelayanan publik (Haryatmoho, 2011). Fokus utama pada pelayanan publik adalah bagaimana pelayanan publik dapat dilakukan dengan berkualitas dan relevan. etika publik berfungsi sebagai bantuan dalam menimbang pilihan sarana kebijaksanaan publik dan alat evaluasi yang memperhitungkan konsekuensi etisnya. fokus pada modalitas etika yaitu bagaimana menjembatani antara norma moral dan tindakan faktual.

Etika publik mempunyai peranan penting di dalam menanamkan nilai-nilai anti korupsi, oleh sebab itu dimasa kini tugas etika publik juga semakin berat. Kualitas moral sangat penting namun demikian tidak bisa hanya mengandalkan hal tersebut semata. Integralisasi antara nilai-nilai moralitas dan etika publik di dalam suatu organisasi merupakan hal yang harus ditanamkan secara berkelanjutan. Pada umumnya manusia dibekali dengan kesadaran bermoral baik namun demikian bukan berarti cukup hingga ditahap tersebut, peran penguatan kepribadian melalui

(16)

PENCEGAHAN DAN PENINDAKAN KORUPSI 11 SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN pendalaman pemahaman yang kontinyu perlu untuk selalu dilakukan mengingat setiap manusia dikelilingi oleh suasana dan kondisi yang bergerak cepat dan selalu berubah.

3. Fenomena Korupsi di Tubuh Polri Selaku Pelayan Publik

Pembahasan mengenai fenomena korupsi di tubuh Polri walaupun sangat menarik untuk dikaji namun terbatas penelitian yang dilakukan dan dipublikasikan. Hal menenarik terjadi ketika pada tahun 2004, mahasiswa PTIK Angkatan 39-A melakukan penelitian dan penulisan skripsi sebagia persyaratan mendapatkan Sarjana Ilmu Kepolisian dengan Topik "Korupsi di Tubuh Polri".

Hasilnya sangat mengejutkan dan dilakuakn seminar hasil penelitian dengan mengundang berbagai kalangan.

Namun tanggapan pimpinan Polri saat itu kurang menggembirakan. Alih-alih hasil penelitian dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk perbaikan, pemilih topik justru jadi bahan pembicaraan di kalangan atas dan menyalahkan civitas PTIK.

Hasil penelitian kemudian masuk dalam rak khusus terjadi di perpustakaan PTIK.

Tulisan lebih modern terkait korupsi di Polri dimuat pada buletin buletin jurnal Unpad Volume 1 Nomor 2 Agustus 2012 oleh Muradi Staf Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Padjadjaran (UNPAD), Bandung dengan judul "POLISI PASCA SOEHARTO: Praktik Korupsi Mengalir Sampai Jauh"

berdasarkan berdasarkan pada Observasi, Wawancara, komunikasi personal, dan olahan data yang ditemukan selama riset lapangan sejak September 2009 hingga Agustus 2010 di Mabes Polri dan sejumlah Polda, Polres, dan Polsek.

Hasil penelitian Muradi menunjukkan bahwa berpisahnya Polri dari ABRI yang dalam pandangan Adrianus Meliala banyak berimplikasi positif terhadap internal Polri, namun tidak sedikit implikasi negatif yang makin menjerumuskan Polri dalam situasi yang tidak menguntungkan secara organisasi, salah satunya praktik-praktik korupsi yang menguat dari tingkat pusat hingga Pos Polisi.

Selain pencitraan yang tidak kunjung membaik. juga fungsi pengawasan yang minim paska berpisah dari ABRI dan langsung di bawah Presiden. Keduanya saling berikat satu dengan yang lainnya. Karena pengawasan yang minim, maka peluang praktik-praktik korupsi menjadi marak dan masif.

(17)

12

Bahwa pasca pemisahan Polri dari ABRI, praktik-praktik korupsi tersebut justru makin terbuka dan melibatkan pihak ketiga, baik secara langsung maupun tidak langsung. pihak ketiga tersebut, baik rekanan Polri, maupun orang yang memiliki akses untuk dapat mempengaruhi atau menganulir bahkan memberi jaminan terkait dengan praktik- praktik tersebut. Pihak ketiga ini yang kemudian dikenal sebagai Makelar Kasus (Markus), dan keberadaan Markus ini paska pemisahan Polri dari ABRI eksis dari tingkat Mabes Polri hingga Polsek.

Mengacu pada Data yang dikumpulkan oleh Indonesia Police Watch (IPW), dan Komisi Ombudsman Nasional setidaknya ada enam belas kasus penyimpangan yang dilakukan oleh Polri dalam posisinya sebagai penegak hukum dan Kamdagri, yakni Delapan dari IPW: Pungutan Liar. Pemerasan. Percaloan.

manipulasi. Kolusi. Korupsi. Penipuan. dan Penggelapan Barang Bukti.

Sedangkan dari Komisi Ombudsman Nasional adalah sebagai berikut:

Melakukan penundaan kasus yang ditangani. Bertindak sewenang-wenang.

Melakukan penyimpangan prosedur. Bertindak tidak adil. Penyalahgunaan wewenang. kolusi dan nepotisme. melakukan pungutan liar.

Analisis Muradi menemukan bahwa praktik korupsi di internal Polri ini sudah sangat mengakar dan cenderung mengarah kepada kartel. Di mana praktik- praktik yang terjadi seakan dianggap sebagai sebuah prasyarat untuk mencapai kepangkatan dan promosi jabatan tertentu. Belum lagi pada praktik yang sama juga terjadi pada rekrutmen anggota baru Polri, baik level brigadir (bintara) maupun level perwira. Hal yang sama juga terjadi pada sekolah lanjutan, baik pada pendidikan spesialisasi seperti Reserse, Lantas, Brimob, Intelkam, ataupun sekolah lanjutan pada Secapa atau Sekolah Inspektur Polisi (SIP), PTIK, Selapa, Sespim, hingga Sespati. Bahkan intensitasnya makin menguat dan menjadi kecenderungan umum yang berlaku di internal Polri, apabila merasa bukan merupakan perwira atau brigadir terbaik diangkatannya, maka untuk promosi, mutasi pendidikan dan kenaikan pangkat harus ada anggaran pendukung, yang diambil dan dihasilkan dari sejumlah praktik penyimpangan dan korupsi terkait dengan peran dan fungsi Polri.

Berkaitan dengan anggaran, Muradi menemukan bahwa pemanfaatan anggaran Polri dari pos APBN dalam bentuk dana operasional dan dana Dukungan Operasi (Dukop) yang dipegang pimpinan Polri dari level Mabes Polri hingga tingkat Polsek juga rawan penyimpangan. Terutama Dukop yang

(18)

PENCEGAHAN DAN PENINDAKAN KORUPSI 13 SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN dikendalikan dan masuk rekening pribadi Kapolda, Kapolres, atau Kapolsek sangat rawan dari penggunaan yang tidak semestinya.

Praktik korupsi eksternal yang terkait dengan pelayanan, antara lain:

Pembuatan atau perpanjangan Surat Keterangan polisian Catatan Kepolisian (SKCK). Pembuatan dan perpanjangan Surat Ijim Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Balik nama Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), dan pengurusan surat kendaraan bermotor lainnya.

pengaduan dan pembuatan laporan kehilangan. jual- beli kasus. Pada konteks ini, praktik korupsi yang terjadi tidak hanya melibatkan publik dengan oknum anggota Polri semata. Melainkan juga ada pihak ketiga yang kemudian dikenal sebagai Calo, Markus, atau penyelesai masalah (Fixer). Pihak ketiga ini bukan hanya berasal dari luar Polri, tapi juga dari internal Polri, baik dari anggota aktif Polri setempat, pegawai PNS di Polri, hingga purnawirawan. Peran pihak ketiga ini bermacam-macam, mulai menjadi penghubung, pencari ’korban’, hingga menyelesaikan semua masalah yang menghambat dengan imbalan sejumlah uang.

Ada enam karakteristik praktik penyimpangan dan korupsi yang terjadi di Polri, yakni: Pertama, terdesentralisasi. Praktik penyimpangan dan korupsi yang terjadi di Polri memiliki karakter terdesentralisasi, dalam pengertian masing- masing level kepolisian dari tingkat Pos Polisi, Polsek, Polres, Polda hingga Mabes Polri tidak terkait satu dengan yang lainnya dalam melakukan praktik korupsi dan penyimpangan kewenangan lainnya, baik secara individu anggota maupun atas nama institusi. Setiap level kepolisian tersebut memiliki otonomi dalam bentuk dekonsentrasi dan diskresi, yang juga berlaku dalam praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang di Polri.

Karakteristik terdesentralisasi ini makin menyuburkan praktik korupsi dan penyalahgunaan kewenangan di semua level, utamanya di daerah. Ada tiga hal yang membuat karakteristik terdesentralisasi ini menguatkan praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang, yakni: oknum Polri, baik atas nama personal maupun institusi dapat secara langsung atau dengan sarana pihak ketiga bernegoisasi dengan publik yang ’memanfaatkan’ atau ’dimanfaatkan’ oleh situasi tersebut. Si oknum Polri tersebut kemudian bisa berkoordinasi dengan atasannya terkait dengan apa yang dilakukan, baik dengan Kasat atau Kanit atau juga dengan level Direktur di tingkat Polda, yang akan meneruskannya

(19)

14

kepada pimpinan dalam bentuk ’anggaran koordinasi’ dua upaya untuk memenuhi anggaran operasional masing-masing unit juga mampu mengurangi pengeluaran Dukop. Tak heran, dalam beberapa praktik korupsi ini pimpinan cenderung membiarkan atau setidaknya pura-pura tidak mengetahui adanya praktik-praktik tersebut di kesatuannya. Hal ini disadari benar mengingat anggaran operasional yang relatif kecil. Pencaloan dan sebagainya yang merupakan lingkup praktik korupsi. Tak heran kedua unit di Polri tersebut kemudian dikenal sebagai ”ATM Berjalan” bagi Polri di semua tingkatan, dan dapat mensubsidi anggaran operasional unit-unit lainnya seperti Intelkam, Brimob, Polair, dan lain sebagainya.

Tiga, sebagai konsekuensi dari desentralisasi praktik korupsi ini adalah bahwa setiap praktik yang kemudian terakes ke publik sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari oknum Polri yang melakukan praktik korupsi tersebut. Atasannya bahkan hanya seolah-olah tidak mengetahui praktik tersebut dilakukan oleh bawahannya. Dalam pengertian, meski ada wajib ’setor’ untuk atasan dan pimpinan kepolisian setempat, tanggung jawab bila praktik tersebut terbuka, maka tanggung jawab dibebankan sepenuhnya oleh oknum anggota yang melakukannya. Kedua, adanya mutual benefit antara oknum anggota Polri dengan publik yang ’memanfaatkan’ atau ’dimanfaatkan’ praktik-praktik korupsi tersebut. Sebagaimana dalam hukum ekonomi, dalam konteks praktik korupsi seperti uraian di awal juga menciptakan ’pasar tersendiri’, dimana ’penjual’ dan

’pembeli’ serta ’perantara’ sama-sama diuntungkan, atau setidaknya mengambil keuntungan dari proses yang terjadi. Hal tersebut pada akhirnya menyulitkan.

Sementara dana Dukop yang dikelola oleh pimpinan Polri di masing-masing tingkatan setidaknya dapat mencakup semua unit dan satuan yang ada.

Sehingga dua unit Polri yang bisa mencari anggaran operasionalnya sendiri seperti Reskrim dan Lantas, diberikan keleluasaan untuk melakukan aktivitas jual beli kasus upaya untuk membersihkan Polri dari praktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Berbagai upaya sudah dilakukan, namun hanya hilang sebentar bila ada inspeksi atau kebijakan pimpinan terkait dengan itu, namun tak lama kemudian muncul lagi.

Ketiga, berbeda dengan berbagai praktik sejenis di institusi penegakan hukum dan keamanan. Praktik-praktik korupsi di Polri lebih karena faktor ekonomi

(20)

PENCEGAHAN DAN PENINDAKAN KORUPSI 15 SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN semata. memperkaya diri dan ’bekal’ untuk memuluskan jalan meraih jabatan dan posisi, serta pendidikan yang lebih tinggi.

Keempat adalah bahwa praktif korupsi ini terjadi di semua tingkatan dan masif.

Mulai praktik ’Tilang Damai’ di Pos Polisi atau di jalanan, hingga manipulasi kasus dan praktik Markus di Mabes Polri yang melibatkan perwira tinggi. Hal yang menarik adalah bahwa motif melakukan praktik korupsi tersebut sama, yakni: memperkaya diri dan bekal untuk persiapan pendidikan lanjutan, kenaikan pangkat dan promosi jabatan.

Kelima adalah menguatnya rivalitas dan konflik internal sebagai efek dari maraknya praktik korupsi di Polri. Jika sebelumnya konflik internal Polri hanya seputar angkatan Akpol dan Unit di Polri, semisal Reskrim dengan Intelkam, atau Brimob dengan Lantas. Maka dengan maraknya praktik korupsi, maka kemudian timbul faksi-faksi baru, seperti faksi polisi hitam dengan polisi putih.

yang memisahkan mana anggota Polri anti korupsi dengan mana anggota Polri yang bisa disuap, dan melakukan aktivitas melawan hukum. Atau juga menguat faksi Polisi Intelektual dengan Polisi Lapangan. yang mempertegas bahwa polisi intelektual adalah anggota Polri yang lebih memilih jalur akademik dengan memilih sekolah dengan jenjang akademik hingga S3 dari pada berjibaku dan menggunakan uangnya membayar demi memuluskan karir dan kepangkatan.

Dan karakteristik terakhir adalah bahwa praktik korupsi di Polri hampir selalu melibatkan pihak ketiga. Sebagaimana uraian di atas, pihak ketiga tersebut bisa dari kalangan internal Polri sendiri, baik anggota Polri aktif, PNS di internal Polri, hingga purnawirawan. Selain itu dari kalangan eksternal juga tidak sedikit jumlahnya. Pihak ketiga tersebut menyebut dirinya dalam berbagai nama, mulai perantara, penghubung, penyelesai masalah (fixer), calo, hingga Mafia Kasus (Markus).

4. Konsep Integritas

Simons (dalam Moorman dan Steven, 2009 : 104) mendefinisikan perilaku integritas sebagai pola yang dirasakan dari keselarasan antara kata-kata seorang pemimpin dan perbuatan. George Sheehan (dalam Gea, 2006) menjabarkan integritas diri sebagai kesatuan empat peran, yaitu menjadi binatang yang baik (fisik), ahli pertukangan yang baik (mental), teman yang baik (sosial), dan orang suci (spiritual). Gea (2006) menyebutkan integritas adalah

(21)

16

sebuah keunggulan diri pribadi yang menjadikan seseorang hidup lebih sehat dan tanpa beban, karena mereka menjalankan hidupnya jauh dari aneka kepura-puraan dan kepalsuan. Dimana pun dia berada, dan kondisi apa pun yang menekannya, ia tetap hidup konsisten dengan nilai-nilai yang dianutnya.

Jack Welch ( 2008 ), dalam bukunya yang berjudul “Winning” mengatakan,

“integritas adalah sepatah kata yang kabur (tidak jelas). Orang-orang yang memiliki integritas mengatakan kebenaran, dan orang-orang itu memegang kata-kata mereka. Mereka bertanggung-jawab atas tindakan-tindakan mereka di masa lalu, mengakui kesalahan mereka dan mengoreksinya.

Mereka mengetahui hukum yang berlaku dalam negara mereka, industri mereka dan perusahaan mereka, baik yang tersurat maupun yang tersirat, dan mentaatinya. Mereka bermain untuk menang secara benar (bersih), seturut peraturan yang berlaku. Berbagai survei dan studi kasus telah mengidentifikasikan integritas atau kejujuran sebagai suatu karakteristik pribadi yang paling dihasrati dalam diri seorang pemimpin.

Secara harafiah Integritas adalah konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan. Definisi lain integritas bisa diartikan suatu konsep yang menunjuk konsistensi antara tindakan dengan nilai dan prinsip. Dalam etika, integritas diartikan sebagai kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang. Lawan dari integritas adalah hipocrisy (hipokrit atau munafik)

(22)

PENCEGAHAN DAN PENINDAKAN KORUPSI 17 SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN

BAB II

FAKTOR PENYEBAB KORUPSI

Kompetensi Dasar:

Mampu menjelaskan dan mengidentifikasi faktor penyebab korupsi.

Indikator Hasil Belajar:

1. Menjelaskan faktor penyebab internal.

2. Menjelaskan faktor penyebab eksternal.

3. Menjelaskan penyebab korupsi dalam perspektif teori.

(23)

18

1. Faktor Penyebab Internal

Faktor Internal, merupakan faktor pendorong korupsi yang berasal dari dalam diri setiap individu. Faktor internal dapat diperinci menjadi :

a. Sifat tamak/rakus manusia

Sifat tamak merupakan sifat yang berasal dari dalam diri setiap individu.

Hal itu terjadi ketika seseorang mempunyai hasrat besar untuk memperkaya diri dan tidak pernah merasa puas terhadap apa yang telah dimiliki. Tamak harta adalah keinginan yang besar untuk mendapatkan harta sebanyak- banyaknya yang dipicu oleh cinta harta secera berlebihan, seringkali juga dipicu oleh interaksi dalam pergaulan dengan pola hidup hedonisme dan konsumtif. Korupsi adalah kejahatan orang profesional yang rakus. Sudah berkecukupan, tapi serakah.

b. Gaya hidup konsumtif

Pada era-modern ini, terutama kehidupan dikota- kota besar merupakan hal yang sering mendorong terjadinya gaya hidup konsumtif. Oleh karena itu, apabila Perilaku konsumtif tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai, maka hal tersebut akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan demi memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.

c. Moral

Seseorang yang mempunyai moral lemah cenderung mudah tergoda untuk melakukan tindakan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahan, atau pihak lain yang memberi kesempatan untuk melakukan korupsi. Sehingga dapat dikatakan bahwa dari aspek moral, misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, aspek sikap atau perilaku misalnya pola hidup konsumtif dan aspek sosial seperti keluarga yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku korup.

2. Faktor Penyebab Eksternal a. Aspek Sosial

Perilaku korupsi dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum behavioris mengatakan bahwa lingkungan keluargalah yang secara kuat memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi dan mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi traits pribadinya. Lingkungan dalam hal ini justru

(24)

PENCEGAHAN DAN PENINDAKAN KORUPSI 19 SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN memberikan dorongan dan bukan memberikan hukuman pada orang ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya

Dalam sebuah organisasi, kesalahan individu sering ditutupi demi menjaga nama baik organisasi, yang berdampak pula pada korupsi dalam sebuah organisasi sering kali ditutup- tutupi. Akibat sikap tertutup ini, korupsi seakan mendapat pembenaran, bahkan berkembang dalam berbagai bentuk. Mencermati realita yang demikian maka sikap masyarakat yang berpotensi memberi peluang perilaku korupsi antara lain:

1) Nilai-nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung untuk terjadinya korupsi. Misalnya masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya.

2) Masyarakat menganggap bahwa korban yang mengalami kerugian akibat korupsi adalah Negara. Padahal justru pada akhirnya kerugian terbesar dialami oleh masyarakat sendiri.

3) Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat dalam perilaku korupsi. Setiap tindakan korupsi pasti melibatkan masyarakat, namun masyarakat justru terbiasa terlibat dalam korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.

4) Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi dapat dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi.

b. Aspek Politik

Melalui kalkulasi cost and benefit (hitungan untung-rugi), para pemimpin hasil produk money politics itu tidak akan terlalu perduli pada nasib rakyat yang menyumbang kemenangan sang tokoh, karena harga mereka sudah dibayar lunas, walaupun sangat murah. Peduli atau tidak peduli pada nasib pemilih, bukan lagi soal kewajiban tetapi melulu perkara rela atau tidak rela. Inilah yang menjadi salah satu penjelasan mendasar mengapa para pimpinan seperti itu tidak terlalu concern pada kewajiban untuk mengurus kepentingan rakyat.

Daya rusak money politics, tidak hanya terlihat dalam kebijakan yang dikeluarkan, tetapi juga tampak terang-benderang dalam perilaku saat kampanye. Para calon pemimpin berkelana sini kemari dengan

(25)

20

mengeluarkan banyak sekali dana (walau tidak jelas dari mana datangnya) bagi kemenangan partai dan kemenangan diri mereka sendiri, namun hanya sedikit sekali yang secara sungguh-sungguh menyampaikan paket program yang harus mereka wujudkan saat memerintah. Mereka hanya berusaha memenangkan diri, tapi bukan memenangkan cita- cita politik untuk kesejahteraan rakyat mereka.

c. Aspek Hukum

Hukum bisa menjadi faktor terjadinya korupsi dilihat dari dua sisi, disatu sisi dari aspek perundang -undangan, dan disisi lain dari lemahnya penegak hukum. Hal lain yang menjadikan hukum sebagai sarana korupsi adalah tidak baiknya substansi hukum, mudah ditemukan aturan-aturan yang diskrimatif dan tidak adil, rumusan yang tidak jelas dan tegas sehingga menumbulkan multi tafsir, serta terjadinya kontradiksi dan overlapping dengan aturan lain.

Van Doorn (dalam Rahardjo 2003 :63), berpendapat bahwa tujuan-tujuan yang dirumuskan dalam ketentuan hukum seringkali begitu kabur, sehingga memberi kesempatan kepada pelaksananya untuk menambahkan/menafsirkan sendiri dalam konteks situasi yang ia hadapi Menyangkut faktor aparat, berarti berbicara tentang faktor manusia yang akan menerapkan hukum tersebut. Di sini, persoalannya adalah : sejauhmana aparat penegak hukum merasa terikat pada peraturan yang ada, sejauhmana sinkronisasi penugasan-penugasan yang diberikan kepada aparat sehingga dapat menjalankan wewenangnya secara tepat, sejauhmana tingkat kapabilitas, integritas, dan komitmen aparat tersebut, sampai batas manakah petugas diperkenankan melakukan diskresi demi menerapkan hukum secara tepat dan kontekstual, dan teladan macam apakah yang harus ditunjukan aparat kepada masyarakat agar mereka dapat dipercaya.

d. Aspek Ekonomi

Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi.

Hal itu dapat dilihat ketika tingkat pendapat atau gaji yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya, maka seseorang berpotensi melakukan tindakan korupsi demi terpenuhinya semua kebutuhan. Secara teori Karl Marx menyatakan secara rinci menjelaskan betapa hebatnya pengaruh

(26)

PENCEGAHAN DAN PENINDAKAN KORUPSI 21 SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN kuasa ekonomi terhadap kehidupan manusia. Lebih jauh ia mengatakan, bahwa siapapun yang menguasai ekonomi, maka akan menguasai manusia. Seluruh tindak-tanduk manusia dikendalikan oleh motif-motif ekonomi. Dalam masyarakat, ekonomi merupakan struktur bawah yang memberi bentuk dan corak pada semua yang ada pada struktur atas. Oleh karena itu, sistem politik, corak budaya, bahkan struktur masyarakat, sebenarnya tidak lain adalah cerminan belaka dari sistem ekonomi yang ada di baliknya.

e. Aspek Organisasi

Aspek-aspek penyebab korupsi dalam sudut pandang organisasi meliputi : 1) Kurang adanya sikap keteladanan pemimpin.

2) Tidak adanya kultur/budaya organisasi yang benar.

3) Kurang memadainya sistem akuntabilitas.

4) Kelemahan sistem pengendalian manajemen.

Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi semakin terbuka peluang korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.

3. Faktor Penyebab Korupsi dalam Perspektif Teori

a. GONE Theory

Faktor internal dan faktor eksternal penyebab korupsi apabila dielaborasi dalam konsep atau teori, biasa kenal dengan teori GONE, atau GONE teori yang dihadirkan oleh Jack Bologne (Bologne : 2006), yaitu Greedy (Keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (Kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan). Keserakahan dan kebutuhan merupakan faktor internal, sedangkan kesempatan dan pengungkapan merupakan faktor eksternal.

b. Teori Culltural determinisme

Culltural determinisme sering dipakai sebagai acuan ketika mempelajari penyebab terjadinya korupsi. ini dinyatakan bahwa korupsi merupakan suatu perilaku manusia yang diakibatkan oleh oleh tekanan sosial, sehingga menyebabkan pelanggaran norma-norma.

(27)

22

c. Teori Solidaritas Sosial

Teori Solidaritas Sosial dikembangkan oleh Emile Durkheim (1858-1917) teori ini memandang bahwa watak manusia sebenarnya bersifat pasif dan dikendalikan oleh masyarakat.

d. Teori medan

Melalui teori ini, jelas bahwa perilaku korupsi diapat dianalisis maupun diprediksi memiliki dua opsi motif yakni dari sisi lingkungan atau kepribadian individu pelaku yang saling mengkait.

(28)

PENCEGAHAN DAN PENINDAKAN KORUPSI 23 SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN

BAB III

DAMPAK MASIF KORUPSI

Kompetensi Dasar:

Mampu menjelaskan dan menganalisis dampak masif korupsi.

Indikator Hasil Belajar:

1. Menjelaskan dampak korupsi.

2. Menjelaskan era digital dan dampak penanggulangan korupsi.

(29)

24

1. Dampak korupsi a. Dampak ekonomi

1) Lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi

Korupsi bertanggung jawab terhadap lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi dalam negeri. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi.

Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan.

Penanaman modal yang dilakukan oleh pihak dalam negeri (PMDN) dan asing (PMA) yang semestinya bisa digunakan untuk pembangunan negara menjadi sulit sekali terlaksana, karena permasalahan kepercayaan dan kepastian hukum dalam melakukan investasi, selain masalah stabilitas.

Kondisi Negara yang korup akan membuat pengusaha multinasional meninggalkannya, karena investasi di Negara yang korup akan merugikan dirinya karena memiliki ‘biaya siluman’ yang tinggi. Dalam

(30)

PENCEGAHAN DAN PENINDAKAN KORUPSI 25 SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN studinya, Paulo Mauro menyatakan dampak korupsi pada pertumbuhan investasi dan belanja pemerintah bahwa korupsi secara langsung dan tidak langsung adalah penghambat pertumbuhan investasi (Mauro: 1995).

Berbagai organisasi ekonomi dan pengusaha asing di seluruh dunia menyadari bahwa suburnya korupsi di suatu Negara adalah ancaman serius bagi investasi yang ditanam.

2) Penurunan produktivitas

Dengan semakin lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi, maka tidak dapat disanggah lagi, bahwa produktifitas akan semakin menurun. Hal ini terjadi seiring dengan terhambatnya sektor industri dan produksi untuk bisa berkembang lebih baik atau melakukan pengembangan kapasitas.

Penurunan produktivitas ini juga akan menyebabkan permasalahan yang lain, seperti tingginya angka PHK dan meningkatnya angka pengangguran. Ujung dari penurunan produktivitas ini adalah kemiskinan masyarakat.

3) Rendahnya kualitas barang dan jasa bagi publik

Korupsi menimbulkan berbagai kekacauan di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek lain yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat birokrasi yang korup akan menambah kompleksitas proyek tersebut untuk menyembunyikan berbagai praktek korupsi yang terjadi.

Pada akhirnya korupsi berakibat menurunkan kualitas barang dan jasa bagi publik dengan cara mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, syarat-syarat material dan produksi, syarat- syarat kesehatan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.

4) Menurunnya pendapatan negara dari sektor pajak

Penduduk Indonesia berjumlah lebih dari 250 juta jiwa. Hanya, 32,77 juta jiwa (2016) yang terdaftar memiliki NPWP. Berdasarkan jumlah tersebut, Wajib Pajak yang melaporkan SPT Tahunan hanya 12,5 juta jiwa (2016). Ini berarti tingkat kesadaran masyarakat untuk

(31)

26

membayar pajak dan melaporkan SPT Tahunan masih rendah.

Padahal pajak merupakan tulang punggung negara yang berkontribusi menyumbang lebih dari 85% pendapatan Negara.

(https://www.kemenkeu. go.id/sadarapbn).

Kondisi penurunan pendapatan dari sektor pajak diperparah dengan kenyataan bahwa banyak sekali pegawai dan pejabat pajak yang bermain untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan memperkaya diri sendiri. Kita tidak bisa membayangkan apabila ketidak percayaan masyarakat terhadap pajak ini berlangsung lama, tentunya akan berakibat juga pada percepatan pembangunan, yang rugi juga masyarakat sendiri, inilah letak ketidak adilan tersebut.

5) Meningkatnya hutang negara

Kondisi perekonomian dunia yang mengalami resesi dan hampir melanda semua Negara termasuk Amerika serikat dan Negara- negara Eropa, memaksa Negara-negara tersebut untuk melakukan hutang untuk mendorong perekonomiannya yang sedang melambat, resesi dan menutup biaya anggaran yang defisit, atau untuk membangun infrastruktur penting.

Korupsi yang terjadi di Indonesia diduga mengakibatkan kondisi di atas pada akhirnya akan meningkatkan hutang luar negeri yang semakin besar.

b. Dampak sosial dan kemiskinan masyarakat 1) Mahalnya harga jasa dan pelayanan publik 2) Pengentasan kemiskinan berjalan lambat 3) Terbatasnya akses bagi masyarakat miskin 4) Meningkatnya angka kriminalitas

5) Solidaritas sosial semakin langka dan demoralisasi c. Runtuhnya otoritas pemerintah

1) Matinya Etika Sosial Politik

Korupsi bukan suatu bentuk tindak pidana biasa karena ia merusak sendi-sendi kehidupan yang paling dasar yaitu etika sosial bahkan kemanusiaan. Kejujuran sudah tidak ditegakkan lagi dan yang paradoksal adalah siapapun yang meneriakkan kejujuran justru akan

(32)

PENCEGAHAN DAN PENINDAKAN KORUPSI 27 SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN diberikan sanksi sosial dan politik oleh otoritas menteri, aparat penguasa bahkan oleh masyakat sendiri.

Kejujuran yang dihadapi dengan kekuatan politik adalah sesuatu yang tidak mendidik dan justru bertentangan dengan etika dan moralitas. Banyak pejabat negara, wakil rakyat atau petinggi partai politik yang tertangkap karena korupsi dan justru mereka tidak ada yang menunjukkan perasaan bersalah, malu ataupun jera didepan umum. Mereka bertindak seolah-olah selebritis dengan tetap melambaikan tangan atau tersenyum lebar seolah-olah tidak pernah melakukan tindakan korupsi. Hal ini terjadi juga karena mereka menyangka bahwa mereka akan bebas dari tuduhan atau akan dengan mudah bebas dengan memberikan upeti kepada penegak hukum yang mengadilinya. Sungguh tidak mempunyai nurani.

2) Tidak efektifnya peraturan dan perundang-undangan

Secara umum peraturan dan perundang-undangan berfungsi untuk mengatur sesuatu yang substansial dan merupakan instrumen kebijakan (beleids instrument) yang berguna untuk memecahkan suatu masalah yang ada di dalam masyarakat. Diharapkan dengan adanya peraturan dan perundang-undangan ini berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat dapat dipecahkan dengan baik, jelas dan berkeadilan, yang pada akhirnya akan memuaskan semua pihak.

Kondisi ini mengakibatkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku menjadi mandul dan tidak bisa bekerja sebagaimana mestinya, karena setiap perkara selalu diselesaikan dengan korupsi.

3) Birokrasi tidak efisien

Survei terbaru tahun 2018 yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menunjukkan, bahwa tiga negara Indonesia, Vietnam, dan Kambodia adalah Negara dengan performa birokrasi yang paling buruk di Asia. Sedang Singapura dan Australia adalah yang paling efisien.

(33)

28

Sumber : Political dan Economic Risk Consultancy (PERC) Limited 2018

4) Dampak terhadap politik dan demokrasi a) Munculnya kepemimpinan korup

b) Hilangnya kepercayaan publik pada pemerintah c) Menguatnya plutokrasi

d) Hancurnya kedaulatan rakyat d. Dampak terhadap penegakan hukum

1) Fungsi pemerintahan mandul

Korupsi telah mengikis banyak kemampuan pemerintah untuk melakukan fungsi yang seharusnya. Bentuk hubungan yang bersifat transaksional yang lazim dilakukan oleh berbagai lembaga pemerintahan begitu juga Dewan Perwakilan Rakyat yang tergambar dengan hubungan partai politik dengan voter nya, menghasilkan kondisi yang sangat rentan terhadap terjadinya praktek korupsi.

Korupsi tidak diragukan lagi menciptakan dampak negatif terhadap kinerja suatu sistem politik atau pemerintahan. Pada dasarnya, isu korupsi lebih sering bersifat personal. Namun, dalam manifestasinya yang lebih luas, dampak korupsi tidak saja bersifat personal, melainkan juga dapat mencoreng kredibilitas organisasi tempat si

Gambar

Tabel 6.1 Posisi Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi TI  TAHU N  SCORE CPI  NOMOR/  PERINGKAT  JUMLAH  NEGARA  YANG  DISurvei  2002  1.9  96  102  2003  1.9  122  133  2004  2.0  133  145  2005  2.2  137  158  2006  2.4  130  163  2007  2.3  143  179

Referensi

Dokumen terkait

x Membincangkan aspek-aspek ke selamatan yang perlu diambil kira dalam melakukan aktiviti daya tahan otot secara berkumpulan.. x Menamakan tiga otot utama yang terlibat

Di sini antara penutur dan mitra tutur terwujud hubungan saling membutuhkan informasi satu sama lain, (3) penutur dan mitra tutur memiliki konsepsi yang sama

Metode penelitian menggunakan analisis kuantitatif dan analisis kebangkrutan model Zmijewski (X-Score). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tahun 2012-2014, 1)

Bahwa walaupun dalam berkas perkara dari Pomdam XVII/Cenderawasih Nomor : BP-44/A-40/VI/2012 tanggal 6Juni 2012, tidak dilengkapi dengan keterangan Terdakwa namun

Banyak layanan informasi yang bisa dilakukan oleh guru untuk.. mempersiapkan diri siswa mengikuti ujian

11 Popular culture’s widespread embracing of the chess-pieces as an icon is demonstrated in a range of locality and identity signalling manifestations, including beer names —

Karena bidang momen selalu digambar pada sisi/bagian serat yang tertarik, maka gambar bidang momen boleh tidak menggunakan tanda + atau -... Bid D