BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bandar Udara
Bandar Udara adalah kawasan di daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu yang digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang, dan tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi, yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas pokok dan fasilitas penunjang lainnya (UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan). Menurut Annex 14 Internastional Civil Aviation Organization (1999), bandar udara adalah Suatu area tertentu di permukaan tanah atau air (termasuk bangunan, instalasi, dan peralatan) yang ditujukan untuk digunakan baik secara sepenuhnya atau sebagian untuk kedatangan, keberangkatan dan pergerakan pesawat terbang di permukaan.
Konfigurasi bandar udara didefinisikan sebagai jumlah dan orientasi landasan pacu (runway) dan letak daerah terminal relatif terhadap landasan pacu. Jumlah landasan pacu tergantung pada volume lalulintas bandar udara, sementara orientasi landasan pacu tergantung pada arah angin dan terkadang tergantung pada luas daerah yang tersedia untuk pengembangan bandar udara. Gedung-gedung terminal yang melayani penumpang harus terletak sedemikian rupa sehingga penumpang dengan mudah dan cepat dapat mencapai landasan pacu. (Horonjeff, 2010).
2.2. Runway (Landas Pacu)
Runway adalah faslitas yang berupa suatu perkerasan yang disiapkan untuk pesawat melakukan kegiatan pendaratan dan tinggal landas.
2.2.1. Elemen dasar runway
Elemen dasar runway meliputi perkerasan yang secara struktural cukup untuk mendukung beban pesawat yang dilayaninya, bahu runway, runway strip, landas pacu buangan panas mesin (blast pad), runway end safety area (RESA) stopway, clearway. Kelengkapan data yang merupakan aspek penilaian meliputi Runway designation/ number/ azimuth yang merupakan nomer atau angka yang menunjukkan penomoran landas pacu dan arah kemiringan landas pacu tersebut. Data ini merupakan data yang telah ditetapkan sejak awal perencanaan dan pembangunan bandar udara. Bagian berikutnya adalah dimensi landas pacu yang meliputi panjang dan lebar landas pacu. Panjang landas pacu dipengaruhi oleh pesawat kritis yang dilayani, temperatur udara sekitar, ketinggian lokasi, kelembaban bandar udara, kemiringan landas pacu, dan karakteristik permukaan landas pacu. Fasilitas Landas Pacu ini mempunyai beberapa bagian yang masing-masingnya mempunyai persyaratan tersendiri.
a. Runway Shoulder/ bahu landas pacu adalah area pembatas pada akhir tepi perkerasan runway yang dipersiapkan menahan erosi hembusan jet dan menampung peralatan untuk pemeliharaan dan keadaan darurat serta untuk penyediaan daerah peralihan antara bagian perkerasan dan runway strip.
b. Overrun mempunyai bagian meliputi clearway dan stopway.
Clearway adalah suatu daerah tertentu pada akhir landas pacu tinggal landas yang terdapat di permukaan tanah maupun permukaan air dibawah pengaturan operator bandar udara, yang dipilih dan diseleksi sebagai daerah yang aman bagi pesawat saat mencapai ketinggian tertentu yang merupakan daerah bebas yang disediakan terbuka diluar blast pad dan untuk melindungi pesawat saat melakukan manuver pendaratan maupun lepas landas.
Stopway adalah suatu area tertentu yang berbentuk segiempat yang ada di permukaan tanah terletak di akhir landas pacu bagian tinggal landas yang dipersiapkan sebagai tempat berhenti pesawat saat terjadi pembatalan kegiatan tinggal landas.
Aspek yang diperhatikan dalam penilaian kelayakan operasional meliputi dimension (panjang dan lebar), kemiringan memanjang (Longitudinal slope), kemiringan melintang (Transverse Slope), jenis perkerasan (Surface Type), dan kekuatan (Strength).
c. Turning area adalah bagian dari landas pacu yang digunakan untuk lokasi pesawat melakukan gerakan memutar baik untuk membalik arah pesawat, maupun gerakan pesawat saat akan parkir di apron. Standar besaran turning area tergantung pada ukuran pesawat yang dilayaninya. d. Longitudinal slope adalah kemiringan memanjang yang didapatkan dari
hasil pembagian antara ketinggian maksimum dan minimum garis tengah sepanjang landas pacu. Dengan alasan ekonomi, dimungkinkan adanya
beberapa perubahan kemiringan di sepanjang landas pacu dengan jumlah dan ukuran yang dibatasi oleh ketentuan tertentu.
e. Transverse Slope adalah kemiringan melintang landas pacu yang harus dapat membebaskan landas pacu tersebut dari genangan air.
f. Jenis perkerasan landas pacu terdiri dari dua jenis yaitu perkerasan lentur (flexible) dan perkerasan kaku (rigid).
g. Kondisi permukaan landas pacu juga merupakan bagian penting dari landas pacu yang meliputi kerataan, daya tahan terhadap gesekan (skid resistance) dan nilai PCI. Kekuatan landas pacu juga tergantung pada jenis pesawat, frekuensi penerbangan dan lalu lintas yang dilayani. h. Kekuatan perkerasan landas pacu adalah kemampuan landas pacu dalam
mendukung beban pesawat saat melakukan kegiatan pendaratan, tinggal landas maupun gerakan manuver saat parkir atau menuju taxiway. Perhitungannya mempertimbangkan karakteristik pesawat terbesar yang dilayani, lalu lintas penerbangan, jenis perkerasan, dan lainnya.
i. Runway strip adalah luasan bidang tanah yang menjadi daerah landas pacu yang penentuannya tergantung pada panjang landas pacu dan jenis instrumen pendaratan (precission aproach) yang dilayani.
j. Holding bay adalah area tertentu dimana pesawat dapat melakukan penantian, atau menyalip untuk mendapatkan efisiensi gerakan permukaan pesawat.
k. RESA (Runway End Safety Area). RESA adalah suatu daerah simetris yang merupakan perpanjangan dari garis tengah landas pacu dan membatasi bagian ujung runway strip yang ditujukan untuk mengurangi
resiko kerusakan pesawat yang sedang menjauhi atau mendekati landas pacu saat melakukan kegiatan pendaratan maupun lepas landas. Aspek yang diperhatikan dalam penilaian kelayakan operasional meliputi dimension (panjang dan lebar), kemiringan memanjang (Longitudinal slope), kemiringan melintang (Transverse Slope), jenis perkerasan (Surface Type), dan kekuatan (Strength).
l. Marka landas pacu yang meliputi Runway designation marking, Threshold marking, Runway center line marking, Runway side stripe marking, Aiming point marking, Touchdown zone marking, dan Exit guidance line marking. Tiap-tiap bagian mempunyai persyaratan teknis tertentu agar dapat memberikan kinerja operasional yang handal.
2.2.2. Konfigurasi runway
Terdapat beberapa konfigurasi runway. Pada umumnya konfigurasi yang digunakan merupakan konfigurasi dasar (Horonjeff, 2010), yaitu:
a. Single Runway (Runway Tunggal)
Konfigurasi ini merupakan konfigurasi yang paling sederhana seperti terlihat pada Gambar 2.1. Diperkirakan kapasitas per jam dari runway tunggal dalam kondisi VFR adalah berkisar di antara 50 sampai 100 operasi per jam, sedangkan dalam kondisi IFR, kapasitas ini berkurang menjadi 50 sampai 70 operasi per jam tergantung pada komposisi campuran pesawat terbang dan alat bantu navigasi yang tersedia.
Gambar 2.1. Runway Tunggal San Diego International Airport
(Sumber: Horonjeff, 2010) b. Parallel Runway (Runway Sejajar)
Kapasitas konfigurasi runway sejajar ini tergantung pada jumlah runway dan pemisahan jarak antar runway. Jumlah runway sejajar yang biasa digunakan adalah dua runway sejajar, tiga, dan empat runway sejajar. Jarak antar runway dibagi menjadi tiga dan bergantung pada garis tengah pemisah antara dua runway:
1) Close (Berdekatan)
Runway sejajar close (berdekatan) dipisahkan dengan jarak minimum 700 ft (213 m) sampai dengan kurang dari 2500 ft (1.067 m). Pada kondisi IFR, pergerakan pesawat di satu runway bergantung pada pergerakan di runway lainnya.
2) Intermediate (Menengah)
Runway sejajar intermediate (menengah) dipisahkan dengan jarak antara 2500 ft (762 m) sampai dengan kurang dari 4.300 ft (1.310
m). Pada kondisi IFR, pergerakan kedatangan (landing) pesawat tidak bergantung pada pergerakan keberangkatan (take-off) pesawat di runway lainnya.
3) Far (Berjauhan)
Runway sejajar far (berjauhan) dipisahkan setidaknya dengan jarak 4.300 ft (1.310 m). Pada kondisi IFR, dua ruwnay dapat dioperasikan tanpa bergantung pada satu sama lain, baik untuk kedatangan maupun keberangkatan pesawat.
Gambar 2.2. Runway Sejajar Orlando International Airport
c. Intersecting Runway (Runway Menyilang)
Bandar udara yang memiliki dua atau lebih runway dengan arah berbeda yang saling menyilang satu sama lain, konfigurasi ini disebut intersecting runway (runway bersilangan). Runway bersilangan diperlukan jika angin yang bertiup lebih dari satu arah, yang akan menghasilkan hembusan. Tiupan berlebih bila runway hanya mengarah ke satu arah. Pada saat angin bertiup kencang ke satu arah maka hanya satu dari dua runway bersilangan yang dapat digunakan. Hal ini memang mengurangi kapasitas dari runway, tetapi masih lebih baik daripada tidak ada pesawat sama sekali yang bisa mendarat di runway. Jika angin bertiup lemah maka kedua runway dapat dipergunakan secara bersamaan. Kapasitas dari dua runway bersilangan ini bergantung sepenuhnya dibagian runway tersebut bersilangan, serta cara dan strategi runway untuk take-off dan landing. Semakin jauh persilangan yang terjadi dari area take-off runway dan landing threshold, semakin rendah kapasitasnya. Kapasitas terbesar tercapai ketika persilangan berada dengan take-off dan landing threshold. Gambar 2.3 menunjukkan contoh runway bersilangan.
Gambar 2.3. Runway bersilangan Languardia Internastional Airport, NewYork
(Sumber: Horonjeff, 2010) d. Open-V Runway ( Runway Terbuka “V”)
Runway “V” terbuka merupakan beberapa runway yang ditempatkan dengan arah berbeda, yang satu sama lain tidak saling berpotongan/ bersilangan. Serupa dengan runway yang berpotongan (intersecting runway), runway “V” terbuka menggunakan runway tunggal ketika angin yang bertiup kuat hanya ke satu sisi. Ketika angin bertiup lemah, kedua runway dapat digunakan secara bersamaan. Strategi yang menghasilkan kapasitas terbesar adalah ketika operasi semakin menjauh dari V dan ini
dinamakan pola menyimpang (diverging pattern). Pada kondisi VFR, kapasitas per jam dengan strategi ini berkisar antara 60-180 pergerakan pesawat per jam dan pada kondisi IFR, kapasitas antara 50-80 pergerakan pesawat per jam. Ketika operasi mendekati V, pola ini dinamakan pola memusat (converging pattern), dan kapasitas berkurang menjadi 50-100 pergerakan pesawat per jam pada kondisi VFR dan antara 50-60 pergerakan pesawat per jam pada kondisi IFR.
Gambar 2.4. Runway terbuka “V” Jacksonville International Airport
2.3. Taxiway (Landas Hubung)
Taxiway adalah bagian dari fasilitas sisi udara bandar udara yang dibangun untuk jalan keluar masuk pesawat dari runway maupun sebagai sarana penghubung antara beberapa fasilitas seperti aircraft parking position taxiline, apron taxiway, dan rapid exit taxiway.
a. Exit taxiway perlu dirancang untuk meminimasi waktu penggunaan runway yang diperlukan oleh pesawat yang mendarat. Rapid end taxiway yang terletak di bagian ujung landas pacu dirancang dengan sudut kemiringan 25º hingga 45º dari sudut landas pacu untuk digunakan oleh pesawat keluar meninggalkan runway dalam kecepatan tinggi. Taxiway harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat meminimalkan jarak antara terminal dan bagian ujung landas pacu.
b. Exit taxiway atau turnoff adalah jenis taxiway yang diletakkan menyudut pada beberapa bagian dari landas pacu sebagai sarana bagi pesawat untuk dengan segera meninggalkan runway sehingga runway bisa dengan cepat digunakan lagi oleh pesawat lainnya.
c. Lebar taxiway sebesar 30 m dengan lebar bahu 10 m untuk mengamankan mesin dari pesawat yang lebih besar.
d. Kemiringan memanjang dan melintang taxiway dirancang untuk menghindarkan taxiway dari bahaya banjir akibat hujan selain penempatan lubang in let drainase tiap 50 m panjang.
e. Data-data yang diperhatikan dalam verifikasi Taxiway meliputi Taxiway designation, Dimension (length, width), Longitudinal slope, Transverse Slope, Surface Type, Strength dan Taxiway marking yang antara lain
Taxiway centre line marking, Runway holding position marking, dan Taxiway edge marking.
Menurut Horonjeff (Planning and Design of Airports, 2010) terdapat 2 jenis exit taxiway yang terhubung dengan runway secara paralel, yaitu:
a. Exit taxiway dengan sudut menyiku
Exit taxiway dengan sudut menyiku digunakan bandar udara dengan lalu lintas rencana yang tidak padat. Exit taxiway jenis ini terkadang tidak dikehendaki apabila ditinjau dari segi efisiensi pemakaian runway. Exit taxiway dengan sudut menyiku ditunjukkan pada Gambar 2.5 dibawah ini.
Gambar 2.5. Exit taxiway sudut menyiku
(Sumber: FAA Airport Design, 2014) b. Rapid exit taxiway
Rapid exit taxiway dibangun pada bandar udara dengan pergerakan pesawat yang padat. Jenis exit taxiway ini digunakan agar pesawat dapat secepatnya meninggalkan runway agar runway dapat digunakan oleh pesawat lainnya untuk lepas landas. Sudut persilangan antara as runway dan as taxiway tidak boleh melebihi 45º dan tidak boleh kurang dari 25º.
Sudut yang umumnya digunakan adalah sudut 30º seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6. Rapid exit taxiway
(Sumber: ICAO Annex 14, 2013)
2.4. Karakteristik dan Klasifikasi Pesawat
Berdasarkan Horonjeff (2010), Pesawat dibagi menjadi karakteristik dan klasifikasinya. Karakteristik pesawat sendiri dibagi menjadi Karakteristik fisik pesawat dan Karakteristik operasional pesawat.
2.4.1 Karakteristik fisik pesawat
Menurut Horonjeff (2010), ada empat karakteristik fisik pesawat, yang pertama standar dimensi, konfigurasi roda pesawat atau landing gear configuration, berat pesawat, dan yang terakhir tipe mesin pesawat.
a. Panjang pesawat
Panjang pesawat terbang didefinisikan sebagai jarak dari ujung depan pesawat, atau badan utama pesawat, sampai ujung belakang bagian ekor, yang dikenal sebagai empennage. Panjang pesawat terbang digunakan untuk menentukan panjang dari area parkir pesawat, hanggar. Selain
untuk melayani layanan bandara komersial, panjang dari pesawat terbesar yang melakukan setidaknya lima keberangkatan per hari menentukan jumlah kebutuhan penyelamatan pesawat dan peralatan pemadam kebakaran di lapangan terbang.
b. Lebar pesawat
Bentang sayap atau lebar dari pesawat terbang didefinisikan sebagai jarak dari ujung sayap ke ujung sayap pada sayap utama pesawat terbang. Bentang sayap atau lebar dari pesawat terbang digunakan untuk menentukan lebar dari area parkir pesawat terbang dan jarak antar gerbang, serta untuk menentukan lebar dan jarak pemisah dari runways dan taxiways di lapangan terbang.
c. Tinggi pesawat
Tinggi maksimum dari pesawat terbang biasanya didefinisikan sebagai jarak dari dasar tanah ke puncak atau bagian paling atas dari ekor pesawat terbang. Hanya pada kasus yang jarang, tinggi maksimum pesawat terbang ditemukan di tempat lain pada bagian pesawat terbang, contohnya, tinggi maksimum Airbus Beluga ini dicatat sebagai jarak dari dasar tanah ke bagian atas dari pintuk masuk bagian depan ketika sepenuhnya terbuka.
d. Wheel base
Wheel base dari pesawat terbang ditentukan sebagai jarak antara pusat roda pesawat utama dan pusat roda pada bagian depan pesawat, atau roda ekor, pada kasus pesawat tail-wheel. Wheel track pada pesawat didefinisikan sebagai jarak antara bagian luar roda utama pada pesawat
terbang. Wheel base dan wheel track pada pesawat terbang menentukan minimum radius putar, yang sangat menentukan dalam mendesain turn off taxiways, persimpangan, dan daerah lain pada sebuah lapangan udara yang membutuhkan pesawat untuk berputar.
e. Radius putar
Radius putar adalah fungsi dari sudut putar roda pada bagian depan pesawat. Semakin besar sudut putar, semakin kecil jari-jari putar pesawat untuk berbelok. Dari pusat rotasi, jarak ke berbagai bagian pesawat terbang, seperti ujung sayap, hidung, atau ekor pesawat, mengakibatkan sejumlah jari-jari. Radius terbesar adalah yang terpenting untuk menentukan daerah bebas ke bangunan atau ke pesawat yang berdekatan. Radius putar minimum sesuai dengan maksimum sudut putar roda depan pesawat terbang yang telah ditentukan oleh produser pesawat terbang. Maksimum sudut putar pesawat terbang bervariasi dari 60o sampai 80o,
meskipun untuk tujuan desain, sering diterapkan sudut putar kemudi sekitar 50o.
Untuk lebih jelasnya karakteristik pesawat dapat dilihat pada Gambar 2.7. dan Gambar 2.8.
Gambar 2.7. Dimensi pesawat
Gambar 2.8. Radius putar pesawat
2.4.2 Karakteristik operasional pesawat
Karakteristik operasional pesawat memengaruhi kapasitas penggunaan runway, karena bermacam-macam jenis pesawat berbeda-beda pula lama pengoperasiannya. Selain itu, maskapai penerbangan dalam pengoperasian pesawat baik take-off dan landing memiliki pelayanan yang berbeda-beda, sehingga memengaruhi kapasitas penggunaan runway. Pengoperasian pesawat yang berbeda-beda mengakibatkan penggunaan runway yang berbeda-beda meskipun memiliki jenis pesawat yang sama.
2.4.3 Klasifikasi Pesawat
Untuk melayani penerbangan yang banyak dan memiliki rute yang berbeda-beda baik penerbangan dalam maupun luar negeri, berbagai maskapai menyediakan bermacam-macam jenis pesawat mulai dari pesawat berbadan ramping (narrow body) maupun pesawat berbadan lebar (wide body). Tabel 2.1, Tabel 2.2, dan Tabel 2.3 berikut memerlihatkan klasifikasi tiap pesawat berdasarkan International Civil Aviation Organization (ICAO), Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, dan Federal Aviation Administration (FAA):
Tabel 2.1 Klasifikasi pesawat menurut ICAO
Code Letter Wingspan (m) Outer Main
Gear (m) Example aircraft A WS <15 OMG < 4,5 All single engine aircraft,
some business jets.
B 15 ≤ WS < 24 4,5 ≤ OMG < 6
Commuter aircraft, large business jets (EMB-120, Saab 2000, Saab 340, etc.) C 24 ≤ WS < 36 6 ≤ OMG < 9 Medium-range transports (B
727, B 737, MD-80) D 36 ≤ WS < 52 9 ≤ OMG < 14 Heavy transports aircraft (B
757, A 300, B 767) E 52 ≤ WS < 65 9 ≤ OMG < 14 Heavy transports aircraft (B
747, A 340, B 777) F 65 ≤ WS < 80 14 ≤ OMG < 16 A 380, Antonov 225
(Sumber: ICAO Aerodrome Design Manual, 2006)
Tabel 2.2 Klasifikasi pesawat menurut Dirjen Perhubungan Udara Kode Huruf Penggolongan
Pesawat Bentang Sayap (m) Outer Main Gear (m)
A I l <15 OMG < 4,5 B II 15 ≤ l < 24 4,5 ≤ OMG < 6 C III 24 ≤ l < 36 6 ≤ OMG < 9 D IV 36 ≤ l < 52 9 ≤ OMG < 14 E V 52 ≤ l < 65 9 ≤ OMG < 14 F VI 65 ≤ l < 80 14 ≤ OMG < 16
Tabel 2.3 Klasifikasi pesawat menurut FAA Design Group Wingspan (ft) Example aircraft
A <49 Cessna 152-210 Beechraft A36 B 49 ≤ l < 79 Saab 2000, EMB-120, Saab 340, Canada Air
RJ-100
C 79 ≤ l < 118 B 737, MD-80, A320 D 118 ≤ l < 171 B 757, B 767, A 300 E 171 ≤ l < 214 B 747, B 777, MD-11, A 340 F 214 ≤ l < 262 A 380, Antonov 225
(Sumber: FAA Aircraft Design)
Menurut Antonio Trani (Aircraft Classifications, 2013), beberapa klasifikasi dan tipe pesawat terbang berdasarkan kegunaan pesawat secara umum dibagi menjadi empat tipe, yaitu:
a. General aviation aircraft (GA)
Pesawat-pesawat tipe ini memiliki satu (single) atau dua mesin (twin engine). Berat maksimum kotor (maximum gross weight) pesawat ini biasanya kurang dari 7.000 kg. Pesawat tipe ini biasanya digunakan untuk berbagai kegiatan komersial dan nonkomersial, antara lain pelatihan pesawat, wisata, bisnis, pertanian, dan sebagainya. Contoh pesawat tipe ini adalah Single-engine Beechcraft A36.
b. Corporat aircraft (CA)
Pesawat tipe ini merupakan pesawat yang biasa digunakan untuk mengangkut beberapa penumpang atau barang untuk keperluan bisnis, evakuasi, kegiatan pemerintah, angkutan udara, dan sebagainya. Secara tipikal pesawat-pesawat jenis ini memiliki satu atau dua turboprop (baling-baling) atau mesin jet. Berat maksimum kotor (maximum gross
weight) pesawat ini biasanya kurang dari 40.000 kg. Contoh pesawat ini adalah Cessna Citation II.
c. Commuter aircraft (COM)
Commuter aircraft merupakan pesawat kecil untuk mengangkut penumpang jarak dekat dengan frekuensi tinggi, biasanya melayani penerbangan dari bandara hub menuju daerah-daerah kecil. Secara tipikal pesawat-pesawat jenis ini memiliki satu, dua, tiga, bahkan empat turboprop (baling-baling) atau mesin jet. Berat maksimum kotor (maximum gross weight) pesawat ini biasanya kurang dari 31.000 kg. Contoh pesawat ini adalah ATR-72 series dan pesawat Nusantara 219 (N-219) buatan PT. Dirgantara Indonesia yang mulai beroperasi pada 2016.
d. Transport aircraft (TA)
Merupakan pesawat tersertifikasi yang dirancang untuk mengangkut penumpang dan kargo dalam jumlah besar. Pesawat-pesawat jenis ini memiliki mesin jet lebih dari satu. Menurut berat dan jarak tempuhnya diklasifikasikan sebagai berikut.
1) Short-Range (Jarak Dekat)
Berat maksimum kotor (maximum gross weight) pesawat ini biasanya kurang dari 68.000 kg, dengan jarak tempuh maksimum 2.222 km. Contoh: Airbus A320, Fokker F100, dan Boeing 737.
2) Medium Range (Jarak Menengah)
Berat maksimum kotor (maximum gross weight) pesawat ini biasanya kurang dari 160.000 kg, dengan jarak tempuh 2.223-6.482 km. Contoh: Airbus A330, Airbus A300, dan Boeing 757-200.
3) Long Range (Jarak Jauh)
Berat maksimum kotor (maximum gross weight) pesawat ini biasanya lebih dari 160.000 kg, dengan jarak tempuh lebih dari 6.482 km. Contoh: Boeing 777-300ER, Airbus A340, dan Boeing 747-400..
2.5. Kapasitas Bandar Udara
Menurut Horonjeff (2010), terdapat dua perhitungan kapasitas yang digunakan dalam analisis, yaitu kapasitas ultimit dan kapasitas praktis. Kapasitas ultimit tidak melibatkan perhitungan penundaan dan mencerminkan kemampuan lapangan terbang untuk melayani pesawat terbang selama jangka waktu tertentu pada waktu puncak. Sebaliknya, kapasitas praktis menggunakan perhitungan penundaan itu sendiri. Adapun faktor-faktor yang memengaruhi kapasitas bandar udara, antara lain sebagai berikut:
a. Konfigurasi, jumlah, jarak, dan arah runway.
b. Konfigurasi, jumlah dan letak taxiway dan exit taxiway. c. Susunan, ukuran, dan jumlah gerbang di daerah apron.
d. Waktu pemakaian runway bagi pesawat kedatangan dan keberangkatan. e. Ukuran dan campuran pesawat terbang yang beroperasi di runway.
f. Cuaca, khususnya jarak pandang dan tinggi awan, karena aturan lalu lintas udara untuk cuaca yang baik berbeda dengan aturan lalu lintas untuk cuaca yang buruk
g. Kondisi angin yang terjadi di sekitar runway.
h. Strategi yang dipilih para controller untuk mengoperasikan runway. i. Jumlah operasi kedatangan terhadap jumlah operasi keberangkatan. j. Jumlah dan frekuensi operasi keadaan tak menentu (touch and go). k. Kemungkinan terjadinya pusaran gelombang (jet blast) yang
mengakibatkan jarak pisah yang lebih besar apabila sebuah pesawat terbang ringan berada di belakang pesawat terbang yang berat.
l. Keberadaan dan sifat alat-alat bantu navigasi.
m. Sifat dan keadaan fasilitas-fasilitas pengendali lalu lintas udara.
n. Ketersediaan dan struktur ruang angkasa untuk menetapkan rute-rute kedatangan dan keberangkatan.
2.6. Metode Peramalan (Forecasting) Lalu Lintas Udara
a. Metode Time Series (Serial Waktu)
Metode time-series secara umum adalah memproyeksikan dan mengekstrapolasi data (kegiatan penerbangan) yang tersedia di masa lampau ke masa depan. Ekstrapolasi didasarkan pada suatu pengujian pola historis kegiatan dan menganggap bahwa faktor-faktor tersebut yang menentukan variasi lalu lintas pada masa lalu akan terus menunjukkan hubungan-hubungan yang serupa pada masa depan. Prosedur ini menggunakan data tipe rangkaian waktu dan menganalisis pertumbuhan dan laju pertumbuhan yang dihubungkan dengan kegiatan penerbangan.
Teknik statistik digunakan untuk membantu mendapatkan hasil proyeksi yang akurat dan bisa diandalkan. Rancangan suatu bandara dikembangkan berdasarkan ramalan jangka pendek sekitar 5 tahun, menengah 10 tahun, dan panjang 20 tahun.
Metode time-series ini tidak dapat menunjukkan hubungan sebab-akibat antara variabel dependent dan independent. Hal ini merupakan kelemahan yang serius dari metode ini karena ketiadaan hubungan ini, tingkat ketidakpastian peramalan meningkat seiring berjalannya waktu. Bagaimanapun, metode time-series sangat berguna untuk forecast jangka pendek, ketika respon perubahan merangsang variabel dependent biasanya kurang dinamis. Pada kasus-kasus tersebut, metode time-series cukup menguntungkan (Horonjeff, 2010)
b. Metode Market Share (Jangkauan Pasar)
Metode market share adalah teknik peramalan dengan pendekatan top-down (atas ke bawah) dengan menghitung kegiatan penerbangan di bandara sebagai bagian dari perhitungan yang telah dibuat pada skala yang lebih besar (aktivitas penerbangan nasional, provinsi, atau daerah). Secara umum, teknik ini memanfaatkan aktivitas penerbangan pada skala besar untuk digunakan pada skala lokal.
Metode ini telah banyak digunakan sebagai teknik untuk memprakirakan permintaan penerbangan pada tingkat lokal dan paling sering digunakan untuk menentukan bagian kegiatan lalu lintas nasional yang akan ditampung oleh bandar udata pada suatu daerah.
Data historis diuji untuk menentukan persentase perbandingan (rasio) dari lalu lintas bandar udara lokal terhadap lalu lintas total nasional secara keseluruhan. Selanjutnya, untuk memprediksi jumlah penumpang di bandar udara tersebut di masa yang akan datang digunakan rasio tersebut terhadap total lalu lintas nasional.
Terkadang penggunaan metode market share ini melalui dua langkah. Langkah pertama adalah dengan menentukan rasio aktivitas penerbangan nasional terhadap penerbangan ditingkat regional. Kemudian langkah kedua adalah dengan menentukan proporsi dari masing-masing bandara di regional tersebut.
c. Pemodelan Ekonometrik
Metode yang paling canggih dan kompleks dalam forecast demand bandar udata adalah metode ekonometrik. Metode market share dan time-series tidak secara langsung berhubungan dengan variabel yang memengaruhi aktivitas penerbangan. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi aktivitas penerbangan, antara lain ekonomi, sosial, pasar, kompetisi antarmoda dan faktor-faktor operasional. Dengan demikian, untuk menilai secara baik pengaruh faktor tersebut terhadap prediksi perubahan yang terjadi, biasanya digunakan model matematis untuk membentuk hubungan kasual (sebab-akibat) antara variabel dependent (bagian yang akan di-forecast) dengan beberapa variabel independent yang memengaruhi demand (permintaan) dari perjalanan dengan transportasi udara. Model ini dikenal dengan metode ekonometrik.
Terdapat beberapa macam teknik yang digunakan dalam metode ekonometrik untuk perancangan bandar udara. Bangkitan perjalanan dan model gravitasi cukup sering digunakan dalam prediksi penumpang dan lalu lintas pesawat. Teknik regresi sederhana dan jamak, baik linier dan nonlinier sering digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel dependent dan independent. Bentuk persamaan yang digunakan dalam analisis regresi linier jamak ditunjukkan pada persamaan
𝑌𝑒𝑠𝑡= 𝑎0 + 𝑎1𝑋1 + 𝑎2𝑋2 + 𝑎3𝑋3 + . . . + 𝑎𝑛𝑋𝑛 dengan
𝑌𝑒𝑠𝑡 = variabel dependent atau variabel yang akan di-forecast 𝑋1, 𝑋2, 𝑋3, . . . ., 𝑋𝑛 = variabel independent atau variabel yang
digunakan untuk mendapatkan variabel dependent
𝑎0, 𝑎1, 𝑎2, 𝑎3, . . ., 𝑎𝑛 = koefisien regresi atau konstanta yang digunakan untuk kalibrasi persamaan
Persamaan tersebut biasanya diuji melalui statistik untuk mendapatkan model ekonometrik yang valid.
2.7. Regresi Linear dan Korelasi Linear 2.7.1. Regresi Linear
Menurut Usman dan Akbar (2006) dalam Widiandoko (2014), Regresi merupakan suatu alat ukur yang juga dapat digunakan untuk mengukur ada atau tidaknya korelasi antar variabel. Jika kita memiliki dua buah variabel atau lebih maka sudah selayaknya apabila kita ingin mempelajari bagaimana
variabel-variabel itu berhubungan atau dapat diramalkan. Analisis regresi berguna untuk mendapatkan hubungan fungsional antara dua variabel atau lebih. Selain itu analisis regresi berguna untuk mendapatkan pengaruh antar variabel prediktor terhadap variabel kriteriumnya atau meramalkan pengaruh variabel prediktor terhadap variabel kriteriumnya.
Analisis regresi mempelajari hubungan yang diperoleh dinyatakan dalam persamaan matematika yang menyatakan hubungan fungsional antara variabel-variabel. Hubungan fungsional antara satu variabel prediktor dengan satu variabel kriterium disebut analisis regresi sederhana (tunggal), sedangkan hubungan fungsional yang lebih dari satu variabel disebut analisis regresi ganda. Analisis regresi lebih akurat dalam melakukan analisis korelasi, karena pada analisis itu kesulitan dalam menunjukkan slop (tingkat perubahan suatu variabel terhadap variabel lainnya dapat ditentukan). Dengan demikian maka melalui analisis regresi, peramalan nilai variabel terikat pada nilai variabel bebas lebih akurat pula. Persamaan regresi linier dari Y terhadap X dirumuskan sebagai berikut:
𝑌 = 𝑎 + 𝑏𝑋 dimana:
Y = variabel terikat X = variabel bebas
a = intersep atau konstanta regresi b = koefisien regresi/slop
Harga b merupakan fungsi dari koefisien korelasi. Bila koefisien korelasi tinggi, maka harga b juga tinggi sebaliknya bila koefisien korelasi rendah
maka harga b juga rendah (kecil). Selain itu bila koefisien korelasi negatif maka harga b juga negatif, dan sebaliknya bila koefisien korelasi positif maka harga b juga positif. Selain itu harga a dan b dapat dicari dengan rumus berikut: 𝑎 =(∑ 𝑌𝑖)(∑ 𝑋𝑖2)−(∑ 𝑋𝑖)(∑ 𝑋𝑖𝑌𝑖) 𝑛 ∑ 𝑋𝑖2−(∑ 𝑋𝑖)2 𝑏 =𝑛 ∑(𝑋𝑖𝑌𝑖)−(∑ 𝑋𝑖)(∑ 𝑌𝑖) 𝑛 ∑(𝑋𝑖2)−(∑ 𝑋𝑖)2 dimana:
n = jumlah data dalam bilangan bulat positif 1, 2, 3..., n
2.7.2. Korelasi Linear
Untuk menganalisis hubungan antara dua variabel atau lebih yang bersifat kuantitatif, digunakan salah satu teknik statistik yang disebut analisis korelasi.
a. Koefisien korelasi
Untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen. Nilai koefisien korelasi (r) akan berkisar -1 ≤ r ≤ 1. Jika:
r = -1 => kedua variabel mempunyai hubungan linier sempurna (membentuk garis lurus) negatif. Korelasi sempurna seperti ini mempunyai makna jika nilai X naik, maka nilai Y turun dan berlaku sebaliknya.
r = 1 => kedua variabel mempunyai hubungan linier sempurna (membentuk garis lurus) positif. Korelasi sempurna seperti ini mempunyai makna jika nilai X naik, maka nilai Y juga naik.
Rumus koefifien korelasi:
𝑟 = 𝑛 ∑ 𝑋𝑖𝑌𝑖−(∑ 𝑋𝑖)(∑ 𝑌𝑖)
√{𝑛 ∑ 𝑋𝑖2−(∑ 𝑋𝑖)2}√{𝑛 ∑ 𝑌𝑖2−(∑ 𝑌𝑖)2}
b. Koefisien determinasi
Koefisien determinasi (R2) didefinisikan sebagai nisbah antara variasi
terdefinisi dengan variasi total pada persamaan 3.3 :
𝑅2 =∑ 𝑖(𝑦𝑖−𝑦2)2
∑ 𝑖(𝑦𝑖−𝑦2)2 (3.6)
Nilai sama dengan satu (perfect explanation) dan nilai sama dengan nol (no explanation) adalah batas limit daripada koefisien determinasi. Nilai antara kedua batas limit ini ditafsirkan sebagai persentase total variasi yang dijelaskan untuk analisa regresi linier.
2.8. Metode Perhitungan Jam Puncak 2.8.1. Metode JICA
Nilai koefisien permintaan angkutan lalu lintas pada jam sibuk (Cp) perlu dirumuskan terlebih dahulu apabila ingin menganalisis besarnya penumpang dan pergerakan pada jam sibuk. Menurut Japan International Cooperated Agency (JICA), 1991 mengenai kondisi penerbangan di Indonesia dalam Rahman (2013) digunakan persamaan berikut:
𝑀𝑑 = 𝑀𝑦 365 𝐶𝑝 = 1,38 √𝑀𝑑 𝑀𝑝 = 𝐶𝑝×𝑀𝑑 dimana:
My = pergerakan pesawat udara tahunan Md = pergerakan pesawat udara harian
Cp = faktor jam puncak
Mp = pergerakan pesawat udara jam puncak
2.8.2. Metode NPIAS
Besarnya jumlah penumpang jam sibuk pada sebuah bandar udara baru dapat dianalisis dengan menggunakan rumus National Plan Integrated Airport System berikut:
Average monthly Passenger = 0,08417 × annual passenger flow Average daily Passenger = 0,03226 × average monthly flow Peak-day flow = 1,26 × average daily flow Peak-hour flow = 0,0917 × peak daily flow
2.8.3. Metode Pignataro
Untuk mengetahui tingkat pergerakan pesawat maksimum ketika kondisi jam puncak maka perlu dilakukan perhitungan volume jam puncak. Menurut Pignataro (1973), dalam Rahman (2013) berdasarkan data eksisting jumlah rata-rata pergerakan harian dalam satu tahun dan jumlah pergerakan pesawat pada bulan puncak dalam satu tahun, dapat diketahui rasio jumlah pergerakan pesawat bulan puncak terhadap jumlah pergerakan pesawat total satu tahun. Dapat dilihat pada persamaan berikut:
𝑅𝑚𝑜𝑛𝑡ℎ = 𝑁𝑚𝑜𝑛𝑡ℎ
𝑁𝑦𝑒𝑎𝑟
dimana:
𝑅𝑚𝑜𝑛𝑡ℎ= peak month ratio
𝑁𝑚𝑜𝑛𝑡ℎ= jumlah pergerakan total pesawat saat bulan puncak 𝑁𝑦𝑒𝑎𝑟 = jumlah pergerakan total pesawat selama satu tahun
Rasio jumlah pergerakan pesawat pada hari puncak terhadap jumlah pergerakan pesawat bulan puncak adalah:
𝑅𝑑𝑎𝑦 = 𝑁𝑑𝑎𝑦
𝑁𝑚𝑜𝑛𝑡ℎ
dimana:
𝑅𝑑𝑎𝑦 = peak day ratio
𝑁𝑚𝑜𝑛𝑡ℎ= jumlah pergerakan total pesawat saat bulan puncak 𝑁𝑑𝑎𝑦 = jumlah pergerakan total pesawat dalam satu hari
Rasio jumlah pergerakan pesawat pada jam puncak terhadap jumlah pergerakan pesawat selama satu hari adalah:
𝑅ℎ𝑜𝑢𝑟 = 𝑁ℎ𝑜𝑢𝑟
𝑁𝑑𝑎𝑦
dimana:
𝑅ℎ𝑜𝑢𝑟 = peak hour ratio
𝑁ℎ𝑜𝑢𝑟 = jumlah pergerakan total pesawat saat jam puncak 𝑁𝑑𝑎𝑦 = jumlah pergerakan total pesawat dalam satu hari
Untuk memperkirakan jumlah pergerakan pesawat tahun rencana pada kondisi jam puncak yaitu dengan mengalikan nilai R dengan peramalan jumlah pergerakan harian rata-rata pada bulan puncak tahun rencana:
𝑁𝑝𝑒𝑎𝑘= 𝑁𝑦𝑒𝑎𝑟×𝑅𝑚𝑜𝑛𝑡ℎ×𝑅𝑑𝑎𝑦×𝑅ℎ𝑜𝑢𝑟 dimana:
𝑁𝑝𝑒𝑎𝑘 = jumlah pergerakan pesawat pada jam puncak
𝑁𝑦𝑒𝑎𝑟 = jumlah pergerakan pesawat pada tahun rencana 𝑅𝑚𝑜𝑛𝑡ℎ = peak month ratio
𝑅ℎ𝑜𝑢𝑟 = peak hour ratio
2.9. Metode Peramalan Pergerakan Pesawat
Menurut Horonjeff (2010), terdapat 3 metode yang sering digunakan dalam meramalkan lalu lintas udara, yaitu: metode Time Series, metode Market Share, dan metode Ekonometrik. Ketiga metode ini memiliki karakteristik berbeda-beda. Metode Time Series merupakan metode yang paling sederhana karena hanya didasarkan pada suatu pola historis kegiatan, sedangkan kedua metode lainnya membutuhkan pertimbangan faktor-faktor lainnnya seperti faktor ekonomi, sosial, dan operasional yang mempengaruhi pertumbuhan penerbangan. Dalam Tugas Akhir ini akan digunakan metode Time Series dengan ekstrapolasi linier dengan peramalan pergerakan pesawat dalam jangka waktu 10 tahun. Metode ini digunakan karena meninjau sebaran data perkembangan pergerakan pesawat eksisting di runway Bandara Soekarno-Hatta secara linear. Selain itu, untuk melakukan peramalan menggunakan metode lainnya membutuhkan data dari berbagai macam variabel, seperti ekonomi, transportasi, dan operasional yang mana merupakan batasan masalah dari penulis.
Ekstrapolasi didasarkan pada suatu perbandingan terhadap pola historis kegiatan dan menganggap bahwa faktor-faktor tersebut yang menentukan variasi lalu lintas pada masa lampau akan terus menunjukkan hubungan yang serupa pada masa depan. Prosedur ini menggunakan data tipe rangkaian waktu dan berusaha menganalisis pertumbuhan dan laju pertumbuhan yang dihubungkan dengan kegiatan penerbangan tertentu. Adapun metode
peramalan yang menggunakan kecenderungan ekstrapolasi diantaranya adalah sebagai berikut (Horonjeff, 2010)
2.9.1. Ekstrapolasi linear
Teknik ini digunakan terhadap data yang menunjukkan pola permintaan yang memiliki hubungan linear historis dengan peubah waktu. Hubungan yang mendasarinya dapat menunjukkan data konstan atau data yang berubah dalam pola teratur, musiman atau dalam siklus tertentu.
2.9.2. Ekstrapolasi eksponensial
Ekstrapolasi ini digunakan untuk keadaan dimana peubah yang tergantung pada yang lain memperlihatkan suatu laju pertumbuhan yang konstan terhadap waktu. Fenomena ini sering terjadi dalam dunia penerbangan untuk proyeksi-proyeksi tingkat kegiatan yang telah memperlihatkan kecenderungan jangka panjang meningkat atau menurun degan suatu persentase tahunan rata-rata.
2.9.3. Ekstrapolasi kurva logistik
Metode ini digunakan apabila terdapat keadaan dimana laju pertumbuhan tahunan rata-rata mulai secara berangsur-angsur berkurang sesuai dengan waktu. Saat mencuatnya pasar penerbangan, sering terdapat periode awal dengan pertumbuhan tahunan yang perlahan meningkat kemudian diikuti dengan periode pertengahan dengan pertumbuhan konstan dan periode akhir dimana laju pertumbuhan berkurang sampai pada suatu keadaan dimana permintaan pasar menurun (jenuh).
2.10. Metode Perhitungan Kapasitas Runway 2.10.1. Metode FAA
Selain ICAO, terdapat Federal Aviation Administration (FAA) yang menyediakan panduan terhadap perhitungan kapasitas runway untuk komposisi pesawat yang berbeda, konfigurasi runway berbeda, dan letak exit taxiway yang berbeda-beda pula. Panduan ini tertuang dalam FAA Advisory Circular (AC) 150/5060-5. Airport Capacity and Delay (1983) dengan revisi pada tahun 1995. Kapasitas runway dihitung berdasarkan pemodelan operasi campuran yang didasarkan pada peraturan pengoperasian di bawah ini:
1) Kedatangan memiliki prioritas daripada keberangkatan.
2) Hanya satu pesawat yang dapat berada di runway pada sembarang waktu. 3) Keberangkatan tidak dapat dilaksanakan apabila pesawat yang datang berikutnya berada pada jarak yang kurang dari suatu jarak tertentu dari ambang runway, biasanya 2 NM (nautical mile) dalam kondisi IFR. 4) Keberangkatan yang berurutan diatur sehingga pemisahan waktu
minimumnya sama dengan waktu pelayanan keberangkatan.
Adapun tujuan dari perhitungan kapasitas bandar udara adalah sebagai dasar untuk pengembangan bandar udara di masa mendatang dalam menghadapi pertumbuhan permintaan perjalanan udara. Berdasarkan metode FAA, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi kapasitas runway, diantaranya: a. Standar separasi dan cuaca
Standar separasi yang dimaksud adalah pemisahan yang dilakukan dalam hal waktu atau jarak antar pesawat di ruang udara. Hal ini untuk
mencegah terjadinya kecelakaan dan apabila terjadi, pesawat dapat mengelak tepat waktu. Separasi ini bekerja pada dua kondisi cuaca, yaitu: 1) Kondisi VFR (Visual Flight Rules)
Kondisi penerbangan ini dilakukan pada kondisi cuaca yang sedemikian rupa sehingga pesawat terbang dapat mempertahankan jarak pisah yang aman dengan cara-cara visual atau keadaan cuaca dan jarak pandang harus bagus. Kecepatan pesawat yang relatif tinggi mewajibkan jarak pandang yang cukup jauh pula. Kondisi VFR ini mengikuti acuan tanda-tanda alam seperti sungai, gunung, pantai, dan sebagainya.
2) Kondisi IFR (Instrument Flight Rules)
Kondisi IFR berlaku apabila jarak penglihatan atau batas penglihatan berada di bawah yang ditentukan VFR atau berada dalam keadaan cuaca yang kurang baik dan jarak pandang yang rendah. Dalam kondisi ini, jarak pisah yang aman di antara pesawat merupakan tanggung jawab petugas pengendali lalu lintas udara (controller). Akan tetapi, selain kondisi cuaca diatas, penerbang dapat terbang secara IFR kapan saja, bahkan pada saat cuaca yang baik dan cerah. Hal ini dapat terjadi apabila penerbang akan terbang tinggi sehingga perlu dipantau oleh radar ATC dan mengikuti aturan IFR.
Pada perhitungan kapasitas runway menggunakan metode FAA, semua penerbangan dihitung berdasarkan kondisi IFR sesuai
dengan peraturan yang digunakan oleh Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta.
b. Konfigurasi runway
Konfigurasi runway yang dimaksud adalah panjang, jumlah, lokasi, dan arah dari runway yang aktif. Selain itu juga melibatkan strategi arah dan tipe operasi yang digunakan di masing-masing runway, baik operasi keberangkatan maupun kedatangan. Adapun konfigurasi dari runway use yang ditetapkan FAA adalah sebagai berikut.
Gambar 2.9. Kapasitas per jam dan tahunan runway
(Sumber: FAA AC 150/5060-5 Airport Capacity and Delay, 1983)
2.10.2. Metode Pengembangan Pemodelan Operasi Pesawat
terbang maksimum yang dapat ditampung oleh suatu runway dalam jangka waktu tertentu ketika terdapat permintaan pelayanan berkesinambungan. Dalam pemodelan-pemodelan tersebut, kapasitas adalah sama dengan kebalikan bobot waktu pelayanan rata-rata dari seluruh pesawat terbang yang dilayani. Waktu pelayanan landasan didefinisikan sebagai pemisahan di udara yang dinyatakan dengan waktu penggunaan runway. Beberapa pengembangan model menurut Horonjeff tersebut diantaranya sebagai berikut:
a. Pemodelan operasi kedatangan saja (arrival only)
Kapasitas suatu sistem runway yang hanya digunakan untuk melayani pesawat kedatangan dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:
1) Campuran pesawat terbang, yang biasanya digolongkan ke dalam beberapa kelas menurut kecepatan mendekati runway (approach speed).
2) Kecepatan mendekati runway dari berbagai kelas pesawat. 3) Panjang jalur pendekatan umum ke runway dari entry atau
gerbang ILS ke ambang runway.
4) Aturan-aturan jarak pisah lalu lintas udara minimum atau jarak pisah yang diamati praktis apabila tidak ada peraturan.
5) Besarnya kesalahan dalam waktu kedatangan dan kesalahan kecepatan pada jalur pendekatan umum ke runway.
6) Probabilitas tertentu dari pelanggaran terhadap jarak pisah lalu lintas udara minimum yang dapat diterima.
7) Waktu pemakaian runway rerata berbagai kelas pesawat dalam campuran dan besarnya pancaran dalam waktu rerata tersebut. b. Pemodelan operasi keberangkatan saja (departure only)
Operasi keberangkatan dapat dieksekusi berdasarkan interval waktu minimum, atau waktu antar keberangkatan 𝑡𝑑, kapasitas
keberangkatan runway Cd diberikan oleh persamaan berikut:
𝐶
𝑑 = 3600 𝐸 (𝑡𝑑)Dan
𝐸 (𝑡𝑑) = ∑[𝑃𝑖𝑗][𝑡𝑑]
Dengan
𝐸 (𝑡𝑑) = waktu pelayanan rerata,
[𝑃𝑖𝑗] = matriks waktu antar keberangkatan
[𝑡𝑑] = probabilitas pesawat yang di depan i, akan diikuti oleh
pesawat yang dibelakangnya j
c. Pemodelan operasi pesawat campuran (mixed operation)
Pemodelan ini didasarkan pada aturan pengoperasian yang serupa seperti model-model yang dikembangkan oleh AIL (Airbone Instruments Laboratory), aturan-aturan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Kedatangan memiliki prioritas daripada keberangkatan.
2) Hanya satu pesawat yang dapat berada di runway pada sembarang waktu.
3) Keberangkatan tidak dapat dilaksanakan apabila pesawat yang datang berikutnya berada pada jarak yang kurang dari suatu jarak tertentu dari ambang runway, biasanya 2 NM (nautical mile) dalam kondisi IFR.
4) Keberangkatan yang berurutan diatur sehingga pemisahan waktu minimumnya sama dengan waktu pelayanan keberangkatan.
2.11. Runway Occupancy Time (ROT)
Menurut horonjeff (2010), runway occupancy time (ROT) atau waktu pemakaian runway dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
𝑅
𝑖=
𝑉𝑂𝑇−𝑉𝑇𝐷2𝑎1
+ 3 +
𝑉𝑇𝐷−𝑉𝐸 2𝑎2
+ t
dengan𝑅𝑖 : waktu pemakaian runway (detik)
𝑉𝑂𝑇 : kecepatan pada saat melewati threshold (m/dtk)
𝑉𝑇𝐷 : kecepatan saat setelah touchdown ke titik runway exit (m/dtk)
𝑉𝐸 : kecepatan di runway exit (m/dtk)
t : waktu saat membelok dari runway ke runway exit (10 detik) 𝑎1 : perlambatan rata-rata di udara (0,76 m/dtk)
𝑎2 : perlambatan rata-rata di darat (1,5 m/dtk) 2.12. Studi Terdahulu
1. Wijayanti, Arika Mike (2012). Analisis Kapasitas Runway Bandar Udara
Adi Sutjipto Jogjakarta dengan Metode FAA dan Metode DORATASK.
Thesis. Yogyakarta: Magister Sistem dan Teknik Transportasi, Universitas Gadjah Mada.
Penelitian tersebut dilakukan untuk menganalisa nilai kapasitas runway dan mengetahui dengan kondisi lalu lintas yang ada saat ini apakah masih berada atau sudah melebihi dari nilai kapasitas maksimal runway Bandar Udara Adi Sutjipto. Analisis dilakukan dengan menggunakan 2 metode yang berbeda yaitu metode FAA dan metode DORATASK. Parameter yang digunakan metode FAA adalah konfigurasi runway, mix index, persentase kedatangan, persentase touch & go, sedangkan pada metode DORATASK adalah aircraft mix, waktu rata-rata runway occupancy time dan separasi yang diberikan oleh petugas pemandu lalu lintas udara.
Hasil analisis menunjukkan nilai kapasitas runway yang berbeda, yaitu dengan menggunakan metode FAA, eunway 09 (VFR/IFR) sebanyak 41/37 pergerakan pesawat, runway 27 (VFR/IFR) sebanyak 37/34 pergerakan pesawat sedangkan menggunakan metode DORATASK berjumlah 15 pergerakan pesawat. Hasil analisis dibandingkan dengan pergerakan total pesawat di Bandar Udara Adi Sutjipto maka didapatkan bahwa dengan menggunakan metode FAA, 13% melewati nilai kapasitas dan 87% masih berada dalam nilai kapasitas sedangkan dengan menggunakan metode DORATASK, 73% melewati nilai kapasitas dan 27% berada dalam nilai kapasitas. Berdasarkan hasil analisis, data delay, waktu runway occupancy time yang dibutuhkan baik untuk lepas landas ataupun mendarat serta hasil pengamatan di lapangan, maka metode yang mendekati kondisi nyata di lapangan adalah metode DORATASK dengan hasil bahwa kapasitas runway Bandar Udara Adi Sutjipto sudah melewati nilai kapasitas.
2. Sadu, Ayuwandira Febriana (2013). Analisis Kapasitas dan Optimalisasi
Runway Utara Berdasarkan Perbandingan Metode FAA dan Metode
Pengembangan Pemodelan Operasi Pesawat pada Bandar Udara
Internasional Soekarno-Hatta. Tugas Akhir. Yogyakarta: Jurusan
Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada.
Penelitian ini melakukan perhitungan kapasitas eksisting runway utara Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta dengan menggunakan metode FAA dan metode Pengembangan Pemodelan Operasi Pesawat dengan data pergerakan pesawat tahun 2012.
Hasil analisa dari penelitian tersebut adalah Kapasitas optimum runway utara di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta menurut metode FAA adalah sebesar 90 pergerakan per jam (untuk runway sejajar, apabila dianggap tunggal maka sebesar 53 pergerakan/jam), sedangkan menurut metode pengembangan pemodelan operasi pesawat, kapasitas runway utara eksisting adalah 45 pergerakan/jam. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perlu dilakukannya tindakan optimalisasi runway untuk meningkatkan kapasitas eksisting runway agar dapat mendekati kapasitas optimum runway. Jumlah pergerakan pesawat di runway utara pada jam puncak eksisting adalah sebanyak 41 pergerakan, sehingga runway utara masih berada dalam kondisi yang optimal pada tahun 2012. Jumlah pergerakan pesawat pada jam puncak di runway utara pada kondisi 5 tahun mendatang adalah sebesar 50 pergerakan, sedangkan kapasitas runway utara eksisting dapat melayani 45 pergerakan per jam. Oleh karena itu, diperlukan langkah optimalisasi. Jumlah
pergerakan pesawat pada jam puncak di runway utara pada kondisi 10 tahun mendatang adalah sebesar 61 pergerakan, sehingga dengan kapasitas runway utara eksisting pada saat ini, langkah optimalisasi runway perlu dilakukan. Langkah optimalisasi runway secara operasional dapat ditingkatkan dengan pengaturan waktu antar kedatangan pesawat yang diatur sedemikian rupa agar dapat melaksanakan satu operasi keberangkatan, Kapasitas eksisting runway daoat meningkat menjadi 53 pergerakan/jam. Langkah optimalisasi runway secara fisik yaitu dengan penambahan rapid exit taxiway pada titik-titik 3000 m atau 3217 m dari threshold 07L, yang dapat meningkatkan kapasitas runway menjadi 59 pergerakan per/jam. Penambahan rapid exit taxiway pula dapat ditambahkan pada titik-titik 1900 m dan 2600 m atau 3217 m dari threshold 25R yang dapat meningkatkan kapasitas menjadi 59-61 pergerakan/jam.
3. Rizkiva, Flaviarista Yuna (2014). Analisis Kapasitas Runway Selatan
Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. Tugas Akhir. Yogyakarta:
Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada.
Pada penelitian tersebut, dilakukan perhitungan kapasitas eksisting runway selatan Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta berdasarkan metode analitis dan metode FAA. Kapasitas runway menurut metode analitis bergantung pada jarak separasi antar pesawat dan urutan antrian pesawat terbang, sedangkan menurut metode FAA bergantung pada konfigurasi runway di bandar udara terkait.
Permintaan pergerakan pesawat terbang pada hari puncak ialah sebesar 41 pergerakan/jam. Dari hasil analisis yang dilakukan, kapasitas eksisting runway selatan Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta berdasar metode analitis ialah 34 pergerakan/jam, sedangkan berdasar metode FAA kondisi VFR/IFR sebesar 95/88 pergerakan/jam. Kapasitas eksisting runway selatan berdasar metode analitis sudah tidak mampu melayani permintaan pergerakan yang ada. Oleh karena itu dilakukan upaya peningkatan dengan pengaturan jarak separasi antar pesawat sesuai standar FAA dan penambahan exit taxiway di lokasi ideal. Nilai kapasitas runway selatan setelah dilakukan pengaturan jarak separasi antar pesawat dengan standar FAA menjadi 45 pergerakan/jam atau terjadi peningkatan sebesar 32,4%. Penambahan exit taxiway di antara exit taxiway S1 dan S2 meningkatkan kapasitas runway selatan menjadi 55 pergerakan/jam atau meningkat 61,8%, sedangkan penambahan exit taxiway di antara exit taxiway S6 dan S7 meningkatkan kapasitas runway selatan menjadi 57 pergerakan/jam atau meningkat 76,5%. Berdasar data sekunder serta analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan metode analitis cocok digunakan untuk perhitungan kapasitas eksisting runway selatan Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta dengan hasil bahwa kapasitas sudah tidak mencukupi permintaan pergerakan pesawat sehingga perlu dilakukan upaya peningkatan dengan pengurangan jarak separasi antar pesawat dan penambahan exit taxiway.