• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Suatu hal yang tidak dapat dielakkan dalam proses modernisasi adalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Suatu hal yang tidak dapat dielakkan dalam proses modernisasi adalah"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Suatu hal yang tidak dapat dielakkan dalam proses modernisasi adalah perubahan fungsi yang dijalankan dalam masyarakat, yakni terjadinya spesialisasi melalui pembentukan unit-unit khusus menjalankan suatu kegiatan. Spesialisasi di bidang pembangunan ekonomi ditandai dengan proses industrialisasi yang dapat diperhatikan dan dipahami melalui terbentuknya korporasi yang berorientasi di bidang kegiatan ekonomi. 1

Korporasi telah memberikan kontribusi perkembangan suatu negara, terutama di bidang ekonomi, misalnya pemasukan negara dalam bentuk pajak maupun devisa, sehingga dampak korporasi sangat positif. Di sisi lain, korporasi juga tidak jarang menciptakan dampak negatif, seperti pencemaran, perusakan lingkungan hidup ataupun pengurasan sumber daya alam. Dampak negatif terhadap lingkungan hidup yang bisa diciptakan oleh korporasi sangat luas dan bertahan lama, sehingga hukum sebagai pengatur dan pengayom masyarakat luas haruslah memberikan perhatian dan pengaturan terhadap aktivitas korporasi.2

Supaya pengaruh yang negatif itu tidak terjadi dan dapat ditekan seminimal mungkin, maka aktivitas korporasi yang berkaitan dengan lingkungan hidup perlu dikontrol dengan kaidah hukum. Kaidah hukum tersebut berupa peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk mengatur dalam rangka       

1 Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 186. 

2 H. Setiono, 2002. Kejahatan Korporasi (Analisis Viktimologis Dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia), Averroes Press, Malang, hlm 2.

(2)

menjaga kelestarian lingkungan hidup dengan mengedepankan sisi penegakan hukum lingkungannya. Upaya penegakan hukum lingkungan dilakukan untuk melindungi dan melestarikan lingkungan hidup dari kegiatan-kegiatan korporasi yang telah melakukan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup.

Kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun dapat mengancam kelangsungan perikehidupan manusia, makhluk hidup lain dan ekosistem.

Kualitas lingkungan hidup patut dipertahankan untuk keberlangsungan hidup anak cucu. Alasan tersebut karena pada dasarnya setiap orang memiliki hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 huruf g dan Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.3 Penjabaran lebih luas dari hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah diakuinya lingkungan hidup untuk dilindungi dan dilestarikan. Urgensi perlindungan lingkungan tersebut untuk memberikan jaminan hukum (legal guarantee) kepada setiap warga negara untuk mempertahankan hak-hak lingkungannya dan sekaligus memberikan kewajiban bagi negara untuk mewujudkan hak-hak tersebut.4

Bertolak dari kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup, terhadap aktivitas korporasi yang kegiatannya degeneratif dan hanya mengutamakan kepentingan bisnis dengan tidak memperdulikan aspek lingkungan dan sosial sekitarnya, maka lahir pemikiran bahwa korporasi bisa dimintai       

3 Pasal 3 huruf g Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyatakan bahwa “perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia”. Lihat pula ketentuan Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia”.

4 Muhammad Akib, 2012, Politik Hukum Lingkungan Dinamika dan Refleksinya Dalam Produk Otonomi Daerah, Rajagrafindo Pers, Jakarta, hlm 17.

(3)

pertanggungjawabannya di pengadilan. Korporasi dapat dianggap sebagai subjek hukum (norma dressant) yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, sekalipun hanya merupakan fiksi hukum yang semula diterima dalam lingkungan hukum perdata.

Sehubungan dengan diterimanya korporasi sebagai subyek hukum pidana, berarti telah terjadi perluasan dari pengertian siapa yang merupakan pelaku tindak pidana (dader).5 Permasalahan yang segera timbul setelah diakuinya korporasi sebagai subyek hukum adalah sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi, karena asas utama dalam pertanggungjawaban pidana adalah harus adanya kesalahan (schuld) dalam diri pelaku. Merumuskan kesalahan yaitu tentang bagaimana mengkonstruksikan kesalahan pada diri korporasi, dan karena kesalahan berhubungan dengan mentalitas atau sikap batin atau mens rea pelaku.6

Dalam kaitannya dengan korporasi, tidak banyak tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya tanpa ada kesalahan. Kesalahan itu dilihat dari sikap batin atau mens rea pelaku. Sementara tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan korporasi ini telah banyak merugikan masyarakat dan lingkungan hidup itu sendiri. Timbul dilema di dalam penegakan hukum mengenai cara penentuan kesalahan dari korporasi baik itu pengurus korporasi untuk kepentingan korporasi yang dipimpinnya atau pun korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup.

      

5 Mardjono Reksodiputro, 1994, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta, hlm 102.

6 Dwidja Priyatno, 2004, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, CV. Utomo, Bandung, hlm. 52.

(4)

Di kalangan para ahli hukum, masih berlangsung pro dan kontra mengenai dimungkinkannya pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi atas perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh korporasi itu sendiri tetapi oleh manusia-manusia yang bekerja di lingkungan korporasi.7 Berkenaan dengan pergeseran pendirian yaitu dari pendirian semula yang berpendapat bahwa hanya manusia yang dapat melakukan tindak pidana dan karena itu hanya manusia yang dapat dibebani pertanggungjawaban pidana, menjadi pendirian baru dimana korporasi diakui sebagai subjek hukum yang dapat juga menjadi pelaku tindak pidana, maka korporasi dapat dibebani pertangggungjawaban pidana untuk dituntut dan dipidana.

Menurut Satjipto Rahardjo, makna hakiki dari penegakan hukum (law enforcement) adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum

menjadi kenyataan. Keinginan hukum di sini adalah pemikiran-pemikiran pihak badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam bentuk peraturan- peraturan hukum yang akan diterapkan dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara.8 Penegakan hukum memuat aspek legalitas dari suatu peraturan yang diterapkan pada setiap orang dan/ atau badan hukum (korporasi) dengan adanya perintah, larangan dan ancaman sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada setiap pelanggar yang terbukti bersalah berdasarkan putusan hakim. Aspek legalitas ini menyebabkan penegakan hukum akan

      

7 Sutan Remy Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, PT. Grafiti Pers, Jakarta, hlm 1.

8 Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, 2011, Hukum Pidana (Horizon Baru Pasca Reformasi), Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 163.

(5)

mempunyai kekuatan yang mengikat terhadap setiap perbuatan orang atau korporasi yang melanggar hukum.

Hampir dua dekade sejak dirumuskannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, korporasi dapat menjadi subyek hukum dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup9 dan dapat dipertanggungjawabkan. Perubahan wajah pelaku tindak pidana lingkungan hidup di Indonesia disebabkan oleh perkembangan pembangunan.10 Pelaku tindak pidana di sini bukanlah manusia, tetapi satu kesatuan yang disamakan dengan manusia. Dalam perkembangannya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengakui korporasi sebagai subyek hukum yang tidak terbatas hanya badan usaha yang berbadan hukum saja.

Konsep “pertanggungjawaban” dalam hukum pidana merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa Latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea yang berbunyi actus non facit reum nisi mens sit rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan, tidak       

9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup belum mengakui korporasi sebagai subyek hukum karena masih memakai istilah “barang siapa”

yang menunjuk kepada orang (naturlijk person). Kemudian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, meskipun masih menggunakan istilah “barang siapa” namun di dalam deliknya telah mengakui korporasi sebagai subyek tindak pidana dengan menggunakan istilah “badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain”. Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memakai istilah “setiap orang”

sebagaimana Pasal 1 angka 32 disebutkan setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Korporasi diakui sebagai subyek hukum dengan menggunakan istilah “badan usaha”.

10 Pembuatan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sejalan dengan perkembangan dunia internasional, salah satunya adalah International Meeting Of Exspert On The Use Of Criminal Sanction In The Protection Of Environtment, Internationally, Domestically and Regionally, di Portland, Oregon,USA 19-23 Maret 1994. Pertemuan tersebut telah menyepakati dengan menempatkan korporasi sebagai subyek hukum tindak pidana lingkungan hidup.

(6)

mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin mens rea tersebut berarti an act does not make a person guilty, unless the mind is legally blame worthy. 11

Berdasarkan doktrin tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/ perbuatan pidana (actus reus) dan ada sikap batin jahat/tercela (mens rea).12 Selanjutnya doktrin mens rea ini kemudian menjadi perdebatan oleh para ahli hukum manakala subyek hukum dari tindak pidana itu adalah korporasi dan bagaimana korporasi dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana, karena ada pandangan ahli yang mengatakan korporasi tidak memiliki mens rea.

Dalam perkara tindak pidana lingkungan, untuk menghadapkan subyek hukum korporasi ke pengadilan tidak mudah dan berbenturan dengan kepentingan penegakan hukum pidana lingkungan sendiri. Hukum lingkungan mewajibkan sanksi pidana adalah alternatif atau sarana hukum terakhir (ultimum remedium) dan bukan pula sebagai sanksi utama (primum remedium). Sanksi pidana diupayakan setelah sanksi administratif dan sanksi keperdataan melalui pembayaran ganti kerugian tidak mampu diterapkan dan menjerakan para pelaku perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup.

Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir

setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil.

Semestinya penegakan hukum tindak pidana lingkungan hidup harus sejalan       

11 Mahrus Ali dan Ayu Izza Elvany, 2014, Hukum Pidana Lingkungan- Sistem Pemidanaan Berbasis Konservasi Lingkungan Hidup, UII Press, Yogyakarta, hlm 76 

12 Ibid.

(7)

dengan tujuan perlindungan lingkungan hidup itu sendiri. Meskipun penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu limbah, emisi dan gangguan.

Pernyataan ini terdapat dalam Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.13

Tindak pidana korporasi secara keseluruhan dampaknya multi dimensional baik secara ekonomis, sosial, fisik maupun lingkungan hidup.

Pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup ini seringkali dianggap sebagai masalah perdata dan administratif, atas dasar prinsip ultimum remedium atau asas subsidaritas dan jarang diterapkan pidana penjara

terhadap perbuatan tertentu.14 Sementara korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup membutuhkan penegakan hukum melalui proses peradilan pidana. Pengadilan telah dianggap sebagai representasi utama wajah penegakan hukum yang diharapkan mampu melahirkan tidak hanya kepastian hukum, melainkan pula keadilan dan kemanfaatan sosial. Namun, ketika korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup ini dibawa ke pengadilan maka timbul permasalahan tentang penentuan pertanggungjawaban pidana korporasi.

      

13 Lihat point ke-6 Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan “Penegakan Pidana dalam Undang-undang ini memperkenalkan ancaman hukuman minimum disamping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi  tindak pidana formil tertentu yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu limbah, emisi dan gangguan. 

14Muladi dan Diah Sulistyani, 2013. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Corporate Criminal Responsibility), Alumni, Bandung, hlm 8.

(8)

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas, peneliti menjadi tertarik untuk membahas dalam bentuk penulisan hukum (tesis).

Oleh karena itu dalam penulisan hukum ini, peneliti mengambil judul

“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebagaimana tersebut di atas, dapat ditarik perumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah menentukan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup ?

2. Bagaimanakah seharusnya pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup di masa yang akan datang?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini, yaitu :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai penentuan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup.

2. Untuk mengkaji dan merumuskan prospek pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup di masa yang akan datang atau hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).

(9)

D. Manfaat Penelitian 1. Kegunaan Akademis

Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan akademis yaitu dapat menambah wawasan dan guna memperluas pengetahuan tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup. Selain itu penelitian ini diharapkan mampu memberikan wacana baru mengenai penentuan pertanggungjawaban pidana korporasi khususnya untuk perkara tindak pidana lingkungan hidup bagi pengembangan ilmu hukum pidana dan ilmu hukum lingkungan.

2. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat mengkontribusikan ilmu khususnya bagi aparat penegak hukum seperti penyidik, jaksa/ penuntut umum, dan hakim terkait dengan penegakan hukum pidana terhadap korporasi pelaku tindak pidana lingkungan hidup. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau panduan penyidikan bagi penyidik PPNS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau Penyidik Polri yang menangani perkara tindak pidana lingkungan hidup. Bagi Jaksa/ Penuntut Umum yang menangani perkara tindak pidana lingkungan hidup, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam proses pembuktian pertanggungjawaban pidana korporasi di persidangan. Serta bagi Hakim yang menangani perkara tindak pidana lingkungan hidup, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan penentuan pemidanaan yang tepat

(10)

bagi korporasi pelaku tindak pidana lingkungan hidup. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan pembelajaran bagi masyarakat pada umumnya dan menambahkan pengetahuan tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup menjadi lebih baik. Mengingat, lingkungan hidup sebagai suatu hal yang berharga bagi generasi di masa yang akan datang maka penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pengaturan yang seharusnya mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup di masa yang akan datang (ius constituendum).

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, baik terhadap tesis maupun terhadap penulisan karya ilmiah lainnya yang memiliki kemiripan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, yaitu:

1. Henny Damaryanti, 2002, Tesis dengan Judul “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup”.15

Permasalahan yang diangkat adalah pertama, bagaimana ketentuan pertanggungjawaban pidana korporasi menurut perundang-undangan yang berlaku saat ini diterapkan dalam kasus-kasus tindak pidana lingkungan hidup. Kedua, hal-hal apa yang sepatutnya diformulasikan dalam kebijakan legislatif mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup.

      

15 Henny Damaryanti, 2002, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup”, Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum Kajian Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang.

(11)

Kesimpulannya, pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat dikenakan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi yang lain. Korporasi dikatakan melakukan tindak pidana lingkungan hidup jika ada orang berdasarkan hubungan kerja dan dalam lingkungan badan hukum melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana korporasi berdasarkan Pasal 46 dan 47 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup belum berjalan sebagaimana diharapkan, sepatutnya diformulasikan dalam kebijakan legislatif mengenai ketentuan kapan korporasi dikatakan melakukan tindak pidana lingkungan hidup.

Hal yang membedakan dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini lebih spesifik pada pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup setelah adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penelitian ini membahas tentang penentuan pertanggungjawaban pidana korporasi sehingga korporasi sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana. Penelitian ini juga membahas mengenai pengaturan seharusnya pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup yang diperlukan di masa mendatang (ius constituendum).

2. Reine Rofiana, 2014, Tesis dengan judul “Pertanggungjawaban Korporasi Terhadap Pidana Pengganti Denda”.16

Permasalahan yang diangkat adalah mengenai reformulasi alternatif pidana denda terhadap korporasi atas pidana denda yang tidak dibayar. Dalam       

16 Reine Rofiana, 2014, “Pertanggungjawaban Korporasi Terhadap Pidana Pengganti Denda”, Tesis, Program Studi Litigasi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

(12)

kesimpulan peneliti mengungkapkan KUHP masih menganut asas sociates delinquere non potest dan hanya dimungkinkan pertanggungjawaban oleh

pengurus korporasi. Berbeda halnya dengan undang-undang pidana khusus sudah mengatur pertanggungjawaban terhadap korporasi. Ketika korporasi melakukan tindak pidana, maka korporasi dapat dipertanggungjawabkan dengan melakukan penuntutan dan penjatuhan pidana terhadap korporasi dan/ atau pengurusnya serta dijatuhkannya sanksi pidana denda kepada korporasi berfungsi supaya korporasi tidak terlepas dari pertanggungjawaban pidana sebagai subyek hukum pidana.

Hal yang membedakan dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini lebih spesifik pada pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup. Penelitian ini membahas mengenai penentuan pertanggungjawaban pidana korporasi sehingga korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup. Penelitian ini juga membahas mengenai pengaturan seharusnya pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup di masa mendatang (ius constituendum).

3. Paulus Wisnu Yudo P, 2015, Tesis dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Perbankan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tentang Perbankan”.17

      

17 Paulus Wisnu Yudo P, 2015, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Perbankan Ditinjau dari Undang-Undang Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Perbankan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tentang Perbankan”, Tesis, Program Studi Litigasi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

(13)

Permasalahan yang diangkat adalah pertama, apakah korporasi (bank) dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dalam tindak pidana perbankan berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Kedua, bagaimana ius constituendum pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana perbankan.

Kesimpulannya, pengaturan korporasi sebagai subyek hukum pidana belum diatur secara menyeluruh dalam peraturan perundang-undangan dan kerancuan tentang kedudukan korporasi sebagai subyek hukum pidana. Mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dibebankan kepada perorangan bukan kepada korporasi, artinya menjadi beban dari pengurus badan hukum (korporasi).

Dalam konsep RUU Perbankan telah dicantumkan secara tegas bahwa pidana dapat dijatuhkan kepada korporasi dan atau personil pengendali korporasi yang melakukan tindak pidana perbankan.

Hal yang membedakan dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini lebih spesifik pada pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup. Penelitian ini membahas mengenai penentuan pertanggungjawaban pidana korporasi sehingga pelaku korporasi dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup. Penelitian ini juga membahas mengenai pengaturan yang seharusnya mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup dimasa mendatang (ius constituendum).

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian setelah semua byte sudah selesai dibaca maka komputer akan membungkusnya menjadi sebuah file yang isinya sama persis dengan yang terdownload Proyek akhir

Dasar hukum bisnis Timeshare mengacu kepada sebuah perkumpulan yang didirikan oleh komunitas Timeshare yaitu Indonesian Timeshare Association (ITA) dan juga didukung

Tahapan ini terdiri dari spesifikasi komponen utama yang digunakan dalam perancangan prototipe kendaraan hybrid, spesifikasi motor konvensional dan motor listrik, serta

Dokumen pendukung bagi NPWP berupa salinan kartu NPWP, Surat Pemberitahuan Pajak (SPT), atau dokumen lainnya yang mencantumkan NPWP dan nama pemilik NPWP. Dalam

28,29 Data from experimental models of chancroid suggest that these lesions should be responsive to azithromycin, 31 and therefore, that mass distribution of azithromycin for yaws

digunakan tetapi kondisinya kotor dan tidak terawat, sehingga pengunjung merasa tidak nyaman (Wawancara 18 Januari 2017). Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat

Lapisan A diduga berupa batuan dengan ukuran butir lempung-lanau mengandung material organik yang memiliki rentang nilai tahanan jenis 2-20 m dengan variasi ketebalan

Dalam buku Our Common Future (buku yang pertama kali memunculkan konsep pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development), telah diingatkan tentang masalah perkotaan