• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan hukum Islam dan yuridis terhadap praktek kawin setor di Kecamatan Omben Kabupaten Sampang Madura.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan hukum Islam dan yuridis terhadap praktek kawin setor di Kecamatan Omben Kabupaten Sampang Madura."

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN YURIDIS TERHADAP PRAKTEK

KAWIN SETTOR DI KECAMATAN OMBEN KABUPATEN SAMPANG

MADURA

SKRIPSI

Oleh:

Aldi Candra Madhani NIM C71213109

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari’ah Dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Dan Yuridis Terhadap Praktek Kawin Setor Di Kecamatan Omben Kabupaten Sampang Madura” ini merupakan hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab pertanyaan bagaimana Praktek Kawin Setor di Kecamata Omben Kabupaten Sampang dan Tinjaun Hukum Islam dan Yuridis Terhadap Praktek Kawin Setor di Kecamatan Omben Kabupaten Sampang Madura.

Data dalam penelitian ini dihimpun melalui studi lapangan, sedangkan teknik yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan dokumen yang datanya langsung dari lapangan dan lainnya, kemudian data tersebut dianalisis yang selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan teknik deskriptif-analitis dengan disertai pola pikir deduktif.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwat adanya istilah Kawin setor di Kecamatan Omben Kabupataen Sampang yaitu pertama, perkawinan yang dilakukan secara hukum islam tanpa dihadiri oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Kedua, Aparat desa menyerahkan formulir pelengkap dalam perkawinan disetorkan (diserahkan) secara kolektif ke Kantor Urusan Agama (KUA) 30 hari setelah pernikahan untuk memperoleh akta nikah. Ketiga, setelah penghulu / PPN memeriksa berkas pemberitahuan kehendak nikah, penghulu mengklafikasi dengan bermacam-macam rekayasa pencatatan, yakni kesemua laporan peristiwa pernikahan tersebut dicatat sesuai dengan tanggal setor aparat desa tersebut. Mengenai aturan tentang hukum pencatatan perkawinan dalam hukum islam tidak mengatur secara jelas apakah perkawinan itu harus dicatat atau tidak, sedangkan dalam hukum yuridis bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Sebab-sebab adanya perbedaan hukum tersebut karena kurang memahami tujuan pencatatan perkawinan. kenyataannya dalam masyarakat hal seperti ini merupakan hambatan suksesnya pelaksanaan Undang-undang Perkawinan.

Sejalan dengan kesimpulan di atas, untuk pengembangan hukum Islam yang baik, disarankan agar: Pertama, kepada pemerintah dalam hal ini yaitu Pegawai Pencatat Nikah seharus lebih tegas dalam mensosialisasikan peraturan perundang –

(7)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TRANSLITERASI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 6

B. Identifikasi dan batasan Masalah ... 6

1. Identifikasi Masalah ... 6

2. Batasan Masalah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Kajian Pustaka ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 9

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 10

G. Definisi Operasional ... 10

H. Metode Penelitian ... 11

1. Data yang Dikumpulkan ... 11

2. Sumber Data ... 12

3. Teknik Pengumpulan Data ... 12

4. Teknik Pengolahan Data ... 13

5. Teknik Analisis Data ... 14

I. Sistematika Pembahasan ... 14

BAB II PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN YURIDIS DI INDONESIA ... 16

A. Menurut Hukum Islam ... 18

1. Al-Quran ... 18

2. Kaidah Fiqh ... 21

B. Menurut Undang-undang Di Indonesia ... 23

1. Undang-undang No 22 Tahun 1946 ... 23

2. Undang-undang No 1 Tahun 1974 ... 26

3. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 ... 28

4. Kompilasi Hukum Islam ... 32

5. PMA No 11 Tahun @2007 Tentang Kepenghuluan ... 33

BAB III PRAKTEK KAWIN SETOR ... 45

A. Kondisi Geografis ... 45

B. Kondisi Sosial ... 46

(8)

xii

D. Praktek Kawin Setor ... 53

E. Akibat Hukum Kawin Setor ... 57

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN YURIDIS TERHADAP KAWIN SETOR DI KECAMATAN OMBEN KABUPATEN SAMPANG MADUR .... ... ... 59

A. Analisis Hukum Islam ... 59

B. Analisi Hukum Yuridis ... 64

BAB V PENUTUP ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75

(9)
(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, karena ia akan memiliki dunia baru, membentuk keluarga sebagai unit terkecil dari keluarga besar bangsa Indonesia yang religius dan kekeluargaan, maka diperlukan partisipasi keluarga untuk merestui perkawinan itu.1 Menurut Undang – Undang 1 Tahun 1974 perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seseorang laki-laki dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2

Berdasarkan Firman Allah SWT Surah 30 ( ar-Rum) ayat 21 :

                                  

“dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda

1 Z. muttaqin, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah. ( Jakarta : Departemen Agama RI. 2003), 13

(11)

2

(kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.”3 Dapat disimpukan firman Allah di atas bahwa suatu perkawinan itu adalah untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah maka dalam dalam firman Allah ini perkawinan adalah pertemuan antara pria dan wanita menjadikan hidup keduanya menjadi tentram.

Perkawinan adalah ikatan janji antara laki-laki dan perempuan, dan juga antara keluarga masing-masing mempelai. Dalam hukum Indonesia suatu perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan sesuai hukum agama dan hukum negara yang berlaku. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang perkawinan pasal 2, berbunyi : “ Tiap-tiap perkawinan dicatatkan

menurut perundang undangan yang berlaku.”

Dalam Kompilasi Hukum Islam keharusan tentang pencatatan disebutkan

dalam pasal 4 yaitu : ‘perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan”. Dan pasal 5 yaitu: ‘(1) agar terjamin ketertiban perkawinan bagi

masyarakat islam setiap perkawinan harus dicatat, (2) pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 1954.”

Akibat dari penyimpangan dari pasal 5 di atas, disebutkan dalam pasal 6

ayat (2), yaitu: “perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai

pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.” Hal tersebut diperkuat

(12)

oleh pasal 7 ayat (1) yaitu: “perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta

nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah, ayat (2) dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan isbat nikah di

pengadilan Agama”. 4

Pada mulanya Syariat Islam baik Al-Quran dan As-Sunnah tidak mengatur secara kongkret tentang adanya pencatatan perkawinan. Ini berbeda dengan muamalat ( mudayanah ) yang dilakukan tidak secara tunai untuk waktu tertentu, diperintahkan untuk mencatatnya. Tuntutan perkembangan, dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan, hukum Perdata Islam di Indonesia perlu mengaturnya guna kepentingan kepastian hukum di masyarakat.5

Dalam Kompilasi Hukum Islam pada bab II pasal 2 disebutkan tentang pencatatan perkawinan :

1. Pencatatan perkawinan dari mereka yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1945 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Dan Rujuk.

2. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor pencatat sipil sebagaimana

4 Wasman, dkk, Hukum Perkawinan di Indonesia ( Perbandingan fiqih dan hukum Positif), ( Yogyakarta : CV. Mitra Utama, 2011), 36.

(13)

4

dimaksud dalam berbagai perundang- undangan mengenai pencatatan perkawinan.

3. Dengan tidak mengurangi ketentuan- ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 sampai pasal 9 Peraturan Pemerintah ini.

Ketentuan tentang pencatatan perkawinan dan percerain yang dibuat oleh pemerintah untuk menjaga kemaslahatan rakyatnya terutama dalam bidang perkawinan yang sejalan dengan tujuannya yaitu mewujudkan kelurga yang, sakinah, mawaddah, wa rahmah.

Pasal 2 UU No 1 Tahun 1974 berbunyi :pasal (1) “perkawinan adalah sah

apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing dan kepercayaannya”

pasal (2)“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundangan-undangan yang berlaku”.

Dalam pasal tersebut telah jelas bahwa perkawinan selain harus menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing agama untuk mendapat keabsahannya harus dicatat menurut peraturan yang diatur oleh pemerintah supaya perkawinan itu mendapat legalisasi menurut perundang-undangan.

(14)

َت

َص

ر

ف

ِ لا

َم

ِم ا

َع

َل

رلا ى

ِع

ي ِة

َم ن

و

ط

ِب

ل ا

َم

ص َل

َح ِة

“Kebijakan (pemimpin) atas rakyat bergantung pada maslahat”6

Dengan adanya pencatatan perkawinan dengan status hukum yang jelas, maka berbagai macam bentuk kemudharatan seperti ketidakpastian status bagi wanita dan anak-anak akan dapat dihindari. Lebih jelas lagi menurut Abdul Halim menempatkan pencatatan perkawinan sebagai syarat sah dapat dilakukan

dengan penerapan ijtihad insya’ ( ijtihad bentuk baru ) dengan menggunakan

kaidah :

ر َد

ء

دَق م ِدِس اَفم لا

م

ِحِل اَصَم لا ب لَج ىَلَع

“ Menolak bahaya didahulukan atas mendatangkan kebaikan “.7

Pencatatan perkawinan merupakan sesuatu yang penting, pelaksanaan peraturan pemerintah yang mengatur tentang pencatatan perkawinan merupakan tuntutan dari perkembangan hukum dalam mewujudkan kemaslahatan umum. Tatapi praktek pencatatan di desa Omben dan Sogiyan Kecamatan Omben Kabupaten Sampang tidak sesuai dengan peraturan pemerintah yang mengatur tentang pencatatan perkawinan. Masyarakat desa Sogian mendaftarkan perkawinannya dan mengisi formulir pelengkap ( N1- N4 ) pak Modin setempat atau kepala desa (aparat desa ), kemudian pak mudin melaporkan dan meminta tanda tangan ke kepala desa. ketika akad pernikahan berlangsung masyarakat

6 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqih, (Yogyakarta ; Raja Grafindo Persada, 2002), 95.

7 Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia studi kritis perkembangan Hukum Islam

(15)

6

desa Omben dan Sogiyan hanya mengundang (memanggil ) kiyai tanpa mengundang (memanggil ) pegawai pencatat nikah (PPN), menurut paham mereka perkawinan dianggap cukup apabila rukun dan syaratnya telah dipenuhi. Namun setelah 30 hari pernikahan pak mudin atau kepala desa setempat melapor dan mendaftarkan secara kolektif perkawinan masyarakat desa Sogian ke Kantor Urusan Agama (KUA).

Dari latar belakang dan urain diatas penyusun mencoba meneliti kasus agar mengetahui lebih jauh mengenai kawin setor tersebut, dan hasil penelitian tersebut dijadikan dalam bentuk skripsi dengan judul Tinjaunan Hukum Islam dan Yuridis Terhadap Kawin Setor di Kec. Omben Kota Sampang.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, diperoleh identifikasi msalah sebagai berikut :

a. Praktek kawin setor di Kecamatan Omben Kabupaten Sampang.

b. Pemahaman masyarakat kecamatan omben terhadap fungsi akta nikah.

c. Tinjauan hukum islam dan yuridis terhadap adanya kasus kawin Kecamatan Omben Kabupaten Sampang.

(16)

Dari identifikasi masalah tersebut, yang akan dibahas dalam skripsi tersebut ini terbatas hanya pada :

a. Praktek kawin setor di Kecamatan Omben Kabupaten Sampang.

b. Tinjauan hukum islam dan yuridis terhadap praktek kawin setor di Kecamatan Omben Kabupaten Sampang.

3. Rumusan Masalah

1. Bagaimana praktek kawin setor di Kecamatan Omben Kabupaten Sampang ?

2. Bagaimana tinjauan hukum islam dan yuridis terhadap praktek kawin setor di Kecamatan Omben Kabupaten Sampang ?

C. Kajian Pustaka

Kajian pustaka ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana kontribusi keilmuan dalam penulisan skripsi ini, dan seberapa banyak peneliti meneliti dan membahas permasalahan yang akan dikaji dalam skripsi dengan tema yang hampir sama dengan skripsi ini. Beberapa penelitian yang hampir sama dengan peneliti lakukan adalah sebagai berikut:

1. Skripsi yang berjudul “ Pencatatan Nikah sebagai Sistem hukum

Indonesia Studi Perbandingan antara Fiqih dan UU No. 1 Tahun 1974

(17)

8

penting pencatatan nikah dalam kehidpan berumah tangga dalam konteks negara, juga tentang perbedaan konsep persyaratan di dalam akad nikah antara hukum positif ( UU No. 1 Tahun 1974 ) dan hukum Islam ( Fiqih ) dari segi kekuatan hukumnya. Perbedaan dengan skripsi penyusun adalah Objek yang dikaji dalam memahami tentang hukum pencatatannya dan fungsi dalam pencatatann tersebut.8

2. Skripsi Rahmat Jatmiko yang berjudul “ Isbat Nikah Masal Tahun

2011 Di Pengadilan Agama Wonosari ( Studi Terhadap Alasan Dan

Dasar Hukum Hakim Atas Penetapan Isbat Nikah )” dalam skripsi

tersebut yang menjadi pokok masalahnya adalah terkait alasan dan dasar hukum yang digunakan Hakim Pengadilan agama wonosari dan mengabulkan permohonan isbat nikah yang di daftarkan secara masal . Perbedaan dengan skripsi penyusun adalah tentang Objek yang dikaji dalam memahami tentang hukum pencatatannya dan fungsi pencatatan tersebut.9

3. Skripsi Maman Badruzzaman, yang berjudul “ Eksistensi Isbat Nikah

Massal dalam Meminimalisir Terjadinya Pernikahan Tanpa Akta Nikah (Studi kasus di KUA Kecamatan Karangtempel kabupaten Indramayu tahun 2008-2012), yang menjadi masalah dalam karya

8Saiful Ridzal, “ Pencatatan Nikah Sebagai Sistem Hukum Indonesia : Studi Perbandingan Antara Fiqih dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan “, Skripsi IAIN Sunan Kalijaga, Fakultas Syariah, 2004, hal 6.

9 Rahmat Jatmiko, “ Isbat Nikah Masal Tahun 2011 di Pengadilan agama wonosari ( Studi

(18)

ilmiah tersebut adalah terkait landasan hukum Isbat Nikah. Terkait tentang bagaimana keberhasilan isbat nikah dalam mengurangi terjadinya pernikahan tanpa akta nikah, . Perbedaan dengan skripsi penyusun adalah tentang Objek yang dikaji dalam memahami tentang hukum pencatatannya dan fungsi pencatatan tersebut.10

D. Tujuan Penelitian

Agar tidak menyimpang dari rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini lakukan untuk :

1. Mengetahui prosedur dan praktek Kawin Setor di Desa Sogian Kacamatan Omben Kabupaten Sampang.

2. Untuk mengetahui Bagaimana Tinjauan hukum Islam dan Yuridis terhadap praktek kawin setor di Desa Sogian Kecamatan Omben Kabupaten Sampang.

E. Kegunaan Penelitian

Dari hasil penelian ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru dan bermanfaat bagi disiplin ilmu secara umum, dan sekurang-kurangnya dapat digunakan untuk dua aspek yaitu :

1. Aspek Teoritis

(19)

10

Dari sisi teoritis, penulis berharap dengan adanya penelitian ini secara umum dapat memberikan sumbangan ilmu pengatahuan khususnya dibidang hukum keluarga, serta wawasan terhadap pentingnya pencatatan nikah.

2. Aspek Praktis

Dalam prosedur prakteknya, dapat dijadikan tambahan ilmu pengetahuan sehingga calon pengantin dapat menikah di depan Pegawai Pencatat Nikah dan bukan bawah tangan.

F. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesesalapahaman dan kekeliruan dalam memahami istilah dalam skripsi ini, maka perlu dijelaskan/ditegaskan Istilah judul tersebut. Adapun istilah yang perlu penulis tegaskan adalah sebagai berikut :

1. Hukum islam di sini adalah aturan hukum Islam tentang pencatatan perkawinan dari Al-Quran, dan kaidah fiqih.

(20)

autentik tentang telah dilangsungkan sebuah perkawinan yang sah yang diakui negara.

3. Kawin setor adaalah perkawinan yang dilakukan secara hukum islam dan pencatatan perkawinannya yaitu mengisi formulir pelengkap ( N1- N4 ) ke pak Modin setempat atau kepala desa (aparat desa ), kemudian pak mudin melaporkan dan meminta tanda tangan ke kepala desa. ketika akad pernikahan berlangsung masyarakat desa sogian hanya mengundang (memanggil ) kiyai tanpa mengundang (memanggil ) pegawai pencatat nikah (PPN)tanpa dihadiri oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan formulir pelengkap dalam perkawinan disetorkan (diserahkan) secara kolektif ke Kantor Urusan Agama (KUA) 30 hari setelah pernikahan untuk memperoleh akta nikah.

G. Metode Penelitian

Agar dalam Penyusunan dapat tersusun secara sistematis, maka perlu dijelaskan metode penelitan sebagai berikut :

1. Data yang dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini antara lain : a. Data tentang faktor adanya kawin setor di desa Sogian b. Data lain dengan meminta keterangan dari Pegawai

Pencatat Nikah (PPN) di KUA Kecamatan Omben terkait masalah kawin setor di desa Sogian.

(21)

12

a. Sumber data primer

Yaitu sumber data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan Pegawai Pencatat Nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Omben, kepala desa dan beberapa pasangan masyarakat Desa Sogian.

b. Sumber data sekunder

Yaitu data yang diperoleh dari buku-buku dan tulisan yang berkaitan dengan permasalahan yang menjadi pembahasan dalam skripsi ini tentang pencatatan nikah. 3. Teknik pengumpulan data

a. Observasi, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh peneliti untuk mendeskripsikan kegiatan yang terjadi tentang peristiwa yang bersangkutan.

b. Wawancara

Yaitu pengumpulan data yang diperoleh melalui secara lisan untuk mendapatkan keterangan, tanya jawab secara lisan antara 2 orang atau lebih secara langsung. Dalam hal ini penyusun mencari data dengan cara memberikan pertanyaan secara langsung melalui tatap muka dengan Pegawai Pencatat Nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Omben dan warga desa Sogian

(22)

Yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen atau hasil tulisan seperti buku dan lainnya. yaitu data yang diperoleh dari beberapa hasil tulisan dan buku yang dijadikan refrensi oleh penyusun.

4. Tehnik pengolahan Data

Sumber data penelitian ini adalah studi lapangan, maka teknik yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan dokumen yang datanya langsung dari lapangan dan lainnya, kemudian data tersebut dianalisis dan disimpulkan sebagai berikut:

a. Editing ( Pemeriksaan data ), yaitu kegiatan memeriksa atau meneliti daya yang diperoleh untuk menjamin apakah data yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan atau tidak. Sehingga mendapat kejelasan antara data satu dengan data lainnya.

b. Organizing, yaitu mengatur serta menyusun data secara sistematis yang telah melewati proses Editing sehingga menjadi sebuah kesatuan yang teratur.

(23)

14

Hasil data yang telah tersusun akan dianalisi dengan menggunakan metode penelitian : Deskriptif,verifikatif dengan pola pikir deduktif yaitu teknik analisa yang menggambarkan data apa adanya dan berangkat dari variabel yang bersifat umum, dalam hal ini teori hukum Islam dan yuridis. Kemudia diverifikatifkan kepada variabel yang bersifat khusus dalam hal ini praktek kawin setor.

G. Sistematika Pembahasan.

Untuk memudahkan penulisan, dan pemahaman dalam proposal ini, maka perlu sistematika pembahasan sebagai gambaran umum mengenai isi dalam proposal ini. Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Bab pertama, pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi hasil operasional, metode penelitian serta sistematika pembahasan.

(24)

Tahun 1946, Undang-undang 1 Tahun 1974, PP No 9 Tahun 1975 dan PMA No 11 Tahun 2007.

Bab ketiga, berisi tentang praktek kawin setor di kecamatan Omben kabupaten Sampang. Yang akan dibagi menjadi lima sub bagian. Sub bagian pertama mengenai pemaparan tentang kondisi geografis, kemudian sub kedua tentang sosial ke agamaan, pendidikan dan ekonomi dan sub ketiga latar belakang terjadinya kawin setor, sub keempat, praktek kawin setor, dan sub kelima akibat hukum. Pada bab ini penyusun akan memaparkan hasil dari wawanncara dengan Pegawai Pencatat Nikah dan warga desa Sogian dan Omben Kecamatan Omben Kabupaten Sampang.

Bab ke Empat, analisis hukum islam dan yuridis terhadap kawin setor kecamatan omben kabupaten Sampang madura dan pengaruhnya dalam kehidupan rumah tangga. Sehingga dapat diketahui bagaimana hukum islam dan yuridis menyikapi masalah ini.

(25)

BAB II

PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN YURIDIS DI INDONESIA

1. Pengertian

Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan al-nikah yang bermakna al-wathi’ dan al-dammu aw al-tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-ja’u, atau ibarat ‘an al’-wath’ wa al-aqad yang bermakna bersetubuh berkumpul dan akad.1 Perkawinan yang dalam istilah

agama disebut “Nikah” ialah : melakukan suatu akad atau perjanjian untuk

mengikat diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagian hidup berkeluarga rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi Allah.

Secara terminologis perkawinan (nikah) yaitu akad yang

membolehkan terjadinya istima’ (persetubuhan) dengan seorang wanita,

selama seorang wanita tersebut bukan dengan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau seperti sebab sesusuan.

Menurut Dr. Ahmad Ghandur, seperti yang disadur oleh Prof. Dr. Amir Syarifuddin, nikah yaitu akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam

1 Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia studi kritis perkembangan Hukum Islam

(26)

kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dankewajiban-kewajiban.2

Undang-undang perkawinan, dalam pasal 1 merumuskan pengertian perkawinan sebagai berikut :

“ Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dengan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.3

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal (2) : “ Perkawinan menurut hukum

islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan Ibadah”.4

2. Dasar Hukum Perkawinan

Dasar perkawinan meurut ajaran Islam, yang pertama adalah melaksanakan Sunnatullah seperti tercantum dalam Al-Quran :

                                

Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba-hamba-hamba sahayamu

2

Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011), 4. 3 Ny. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang perkawinan Undang-undang N0

1 Tahun 1974 tentang perkawinan ,(Yogyakarta : Liberty,1982),9.

(27)

18

yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya)

lagi Maha mengetahui”. (QS : An Nur 32 )

Dan yang kedua adalah untuk mengamalkan sunah Rasulullah sebagaimana disebut dalam Hadist Nabi :

َر نَم َو ِِ ن س ح اَكِنل ا

ِغ

ِِِِم َس يَلَ ف ِِ ن س نَع َب

ملسم و ىر اخا اور

“perkawinan adalah peraturanku, barang siapa yang benci peraturanku bukanlah ia termasuk umatku” (Bukhiri dan Muslim)5

A. Hukum Pencatatan Perkawinan Menurut Hukum Islam 1. Pencatatan Perkawinan dalam Al- Quran

Pada mulanya syariat Islam baik Al-Qur’an atau al-Sunnah tidak mengatur secara konkret tentang adanya pencatatan perkawinan. Ini berbeda dengan muamalat (mudayanah) yang dilakukan tidak secara tunai untuk waktu tertentu, diperintahkan untuk mencatatnya. Tuntutan perkembangan, dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan, hukum perdata Islam di Indonesia perlu mengaturnya guna kepentingan kepastian hukum di dalam masyarakat.6

Ayat atau sunnah tidak mengatur tentang adanya pencatatan, namun jika kita melihat dalam surat al-Baqarah ayat 282 yang menjadi dasar hukum hutang piutang atau dikenal dengan ayat mudayanah dapat ditarik sebagai dasar pencatatan dengan istinbath berupa qias, berikut ayatnya :

5 Taufiq Kamil, Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, (Jakarta : Direktorat jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggara Haji Departemen Agama RI,2002),5.

(28)

                                                                                                                                                                                                                                            

(29)

20

menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Dari ayat ini menunjukkan anjuran, bahkan sebagian ulama anjuran ini bersifat kewajiban untuk mencatat utang piutang dan mendatangkan saksi dihadapan pihak ketiga yang dipercaya. Selain itu, ayat ini juga menekankan perlunya menulis utang walaupun hanya sedikit, disertai dengan jumlah dan ketetapan waktunya. bertujuan untuk menghindarkan terjadinya sengketa dikemudian hari.7

Dengan melihat surat Al- Baqarah ayat 282 dari ayat ini menunjukkan anjuran, bahkan sebagian ulama anjuran ini bersifat kewajiban untuk mencatat utang piutang dan mendatangkan saksi dihadapan pihak ketiga yang dapat dipercaya. Dengan ayat ini dapat ditarik istinbath dengan qias (aulawi) yaitu sesuatu yang tidak ditegaskan lebih ulama hukumnya daripada yang ditegaskan, dengan qiyas (aulawi) bahwa jika perjanjian yang berhubungan dengan harta saja dianjurkan untuk dicatatkan diatas hitam dan putih, bagaimana dengan perkawinan, sebagai ikatan lahir bathin antara laki-laki dan perempuan yang

disebut dalam al qur’an sebagai mitsaqon ghalidza dengan tujuan membina

keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah.8

7

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2004), 602

8Yusar,” Pencatatan Perkawianan sebuah Tinjauan Yuridis menurut hukum Islam dan

(30)

2. Kaidah Fiqih Pencatatan Perkawinan

Sejalan dengan perkembangan zaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergesaran kultur lisan (oral) kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, menutut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak bisa lagi diandalkan tidak saja karena bisa hilang dengan sebab kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan dan kesilapan. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut dengan akta.

Dengan demikian salah satu bentuk pembaruan hukum kekeluargan Islam adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. Dikatakan pembaruan hukum Islam karena masalah tersebut tidak ditemukan didalam kitab-kitab fiqih ataupun fatwa-fatwa ulama.9

Dengan memahami apa yang termuat dalam penjelasan umum dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan bertujuan untuk menjadikan peristiwa-peristiwa itu menjadi jelas dan baik bagi yang bersangkutan maupun pihak lain karena dapat dibaca dalam suatu surat resmi dan termuat pula dalam suatu daftar yang khusus disediakan untuk itu. Sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan bilamana perlu dan dapat dipakai sebagai alat bukti otentik, dan dengan surat bukti itu dapatlah dbenarkan atau dicegah suatu perbuatan yang lain.10

9 Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia...,121-122.

(31)

22

Dengan adanya pencatatan perkawinan dengan status hukum yang jelas, maka berbagai macam bentuk kemudharatan seperti ketidakpastian status bagi wanita dan anak-anak akan dapat dihindari. Lebih jelas lagi menurut Abdul Halim menempatkan pencatatan perkawinan sebagai syarat sah dapat dilakukan

dengan penerapan ijtihad insya’ ( ijtihad bentuk baru ) dengan menggunakan

kaidah :

َد

ر

ء

دَق م ِدِس اَفم لا

م

ِحِل اَصَم لا ب لَج ىَلَع

“ Menolak bahaya didahulukan atas mendatangkan kebaikan”.11

Dengan pertimbangan ini, maka persyaratan yuridis formal seperti kewajiban mencatatkan perkawinan yang dibuat oleh Pemerintah dalam Undang Perkawinan untuk kepentingan bersama tujuannya untuk menjaga kemaslahatan rakyatnya adalah perbuatan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, bahkan hal tersebut sangat dianjurkan karena akan membawa manfaat kepada semua pihak terutama kepada kedua mempelai dan keturunannya kelak.

Berkenaan dengan kebijakan pemimpin (pemerintah), itu sejalan dengan kaidah yang terkandung dalam kaidah fiqih Zayn al-Abidin Ibn Ibrahim Ibn Nujaim al-Hanafi berkata :

َت

َص

ر

ف

ِ لا

َم

م ا

َع َل

رلا ى

ِع

ي ِة

َم ن

و

ط

ِب

ل ا

َم

ص َل

َحة

“Kebijakan (pemimpin) atas rakyat bergantung pada maslahat”.12

11

Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia s...,135.

12

(32)

Sehubungan dengan itu dan demi kemaslahatan mereka yang beragama Islam maka keharusan mencatat perkawinan menurut Peraturan perundang-undangan yang berlaku karena sejalan dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Hukum Islam.

B. Hukum Pencatatan Perkawinan menurut Undang-undang di

Indonesia.

Ketentuan Undang-undang Perkawinan, tentang aturan Pencatatan Perkawinan antara lain Undang-undang No 22 Tahun 1946, Undang-undang 1 Tahun 1974, PP No 9 Tahun 1975 dan PMA No 11 Tahun 2007 yang dibuat oleh Pemerintah untuk kepentingan bersama tujuannya untuk menjaga kemaslahatan rakyatnya.

a. Undang-undang No 2 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk

Adapun ketentuan Pencatatan Nikah dalam Undang-undang N0 2 Tahun 1946 dikemukakan dalam Pasal 1 sampai dengan pasal 3, dijelaskan bahwa : Pasal 1

(33)

24

2) Yang berhak melakukan pengawasan atas nikah dan menerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk, hanya pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya.

3) Bila pegawai itu tidak ada atau berhalangan, maka pekerjaan itu dilakukan oleh orang yang ditunjuk sebagai wakilnya oleh kepala Jawatan Agama Daerah.

4) Seorang yang nikah, menjatuhkan talak atau merujuk, diwajibkan membayar biaya pencatatan yang banyaknya ditetapkan oleh Menteri Agama. Dari mereka yang dapat menunjukkan surat keterangan tidak mampu dari kepala desanya (kelurahannya) tidak dipungut biaya. Surat keterangan ini diberikan dengan percuma. Biaya pencatatan nikah, talak dan rujuk dimasukkan di dalam Kas Negeri menurut aturan yang ditetapkan oleh Menteri Agama.

5) Tempat kedudukan dan wilayah (ressort) pegawai pencacat nikah ditetapkan oleh kepala Jawatan Agama Daerah.

6) Pengangkatan dan pemberhentian pegawai pencatat nikah diumumkan oleh kepala Jawatan Agama Daerah dengan cara yang sebaik-baiknya. Pasal 2.

(34)

buku pendaftaran masing-masing yang sengaja diadakan untuk hal itu, dan contohnya masing-masing ditetapkan oleh Menteri Agama.

2) Dengan tidak mengurangi peraturan pada ayat (4) pasal 45 peraturan meterai 1921 (zegelverordening 1921), maka mereka itu wajib memberikan petikan dari pada buku- pendaftaran yang tersebut di atas ini kepada yang berkepentingan dengan percuma tentang nikah yang dilakukan di bawah pengawasannya atau talak dan rujuk yang dibukukannya dan mencatat jumlah uang yang dibayar kepadanya pada surat petikan itu.

3) Orang yang diwajibkan memegang buku pendaftaran yang tersebut pada ayat (1) pasal ini serta membuat petikan dari buku-pendaftaran yang dimaksudkan pada ayat (2) di atas ini, maka dalam hal melakukan pekerjaan itu dipandang sebagai pegawai umum (openbaar ambtenaar). Pasal 3.

1) Barang siapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya R 50,- (Lima puluh rupiah).

(35)

26

b. Perspektif UU No 1 Tahun 1974

Di dalam UU No 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa :

“Tiap-tiap perkawinan dicatatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku”.

Ini adalah satu-satunya ayat yang mengatur tentang pencatatan perkawinan. Didalam penjelasannya tidak ada uraian yang lebih rinci kecuali yang dimuat di dalam PP No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan undang perkawinan pasal 3 ada dinyatakan :

(1) “setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada pegawai pencatatat di tempat perkawinan akan berlangsung.

(2) “pemberitahuan tersebut pada ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

(3) “pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan

sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat (atas nama Bupati Kepala Daerah)

(36)

Berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat 1 Undang-undang perkawinan maka perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya masing-masing. Dijelaskan lebih lanjut bahwa yang di maksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak betentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

Disamping ketentuan dalam pasal 2 ayat 1, bahwa “ Perkawinan adalah

sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaan itu”, maka menurut pasal 2 ayat 2 Undang-undang perkawinan ini

ditentukan juga bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Mengenai tujuan pencatatan ini dalam Undang-undang perkawinan tidak dijelaskan lebih lanjut, hanya dalam penjelasan umum dikatakan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

(37)

28

semata-mata bersifat administratif. Mengenai pelaksanaan perkawinan itu diatur lebih lanjut dalam Bab II P.P NO. 9/1975 yaitu pasal 2 sampai pasal 9.13

c. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975

Dalam ketentuan Bab II P.P No Tahun 1975 pasal 2 mengenai tentang Pencatatan Perkawinan dijelaskan bahwa :

1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.

3) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini.

(38)

Dijelaskan Pasal 3 bahwa :

1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan.

2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.

Pasal 4

Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya.

Pasal 5

Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya terdahulu.

Pasal 6

(39)

30

2) Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) Pegawai Pencatat meneliti pula :

a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu;

b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai;

c. Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat(2),(3),(4) dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun;

d. Ijin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-undang; dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunya isteri; e. Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2)

Undang-undang;

f. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;

(40)

h. Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.

Pasal 7

1) Hasil penelitian sebagai dimaksud Pasal 6, oleh Pegawai Pencatat ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.

2) Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai dimaksud Undang-undang dan atau belum dipenuhinya persyaratan tersebut dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini, keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya.

Pasal 8

Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.

Pasal 9

Pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat :

(41)

32

keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan atau suami mereka terdahulu;

b. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.14 d. Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI)

KHI memuat masalah pencatatan perkawinan ini pada pasal 5 sebagai berikut :

(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyrakat Islam, stiap perkawinan harus dicatat.

(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam undang-undang N). 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor 32 1954.

Selanjutnya pada pasal 6 dijelaskan :

(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah Pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Aturan-aturan di dalam KHI ini sudah melangkah lebih jauh dan tidak hanya bicara masalah adminstratif. Didalam pasal pasal 5 ada klausul yang menyatakan “agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat

14Abdu Qodir,, Pedoman Akad Nikah,(Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam

(42)

Islam.” Ketertiban disini menyangkut ghayat al-tasyri (tujuan hukum Islam) yaitu menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat.15

Ketentuan tentang pencatatan perkawinan dan peraturan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam mangenai perkawinan yang dibuat oleh Pemerintah untuk kepentingan bersama tujuannya untuk menjaga kemaslahatan rakyatnya.

e. Aturan Pernikahan dalam PMA Nomer 11 Tahun 2007 tentang Kepenghuluan.

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:

1) Kantor Urusan Agama Kecamatan yang selanjutnya disebut KUA adalah instansi Departemen Agama yang bertugas melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama kabupaten./kota di bidang urusan agama islam dalam wilayah kecamatan.

2) Kepala Seksi adalah kepala seksi yang ruang lingkup tugasnya meliputi tugas kepenghuluan pada Kantor Departemen Agama kabupaten/kota. 3) Penghulu adalah pejabat fungsional Pegawai Negeri Sipil yang diberi

tugas tanggung jawab, dan wewenang untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan.

(43)

34

4) Pembantu Pegawai Pencatat Nikah adalah anggota masyarakat tertentu yang diangkat oleh Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota untuk membantu tugas-tugas PPN di desa tertentu.

5) Pengadilan adalah Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah.

6) Akta nikah adalah akta autentik tentang pencatatan peristiwa perkawinan. 7) Buku nikah adalah kutipan akta nikah.

8) Buku pendaftaran Cerai Talak adalah buku yang digunakan untuk mencatat pendaftaran putusan cerai talak.

9) Buku pendaftaran Cerai Gugat adalah buku yang digunakan untuk mencatat pendaftaran putusan cerai gugat.

10)Akta rujuk adalah akta autentik tentang pencatatan peristiwa rujuk. 11)Kutipan Buku Pencatatan Rujuk adalah kutipan akta rujuk.

BAB II

PEGAWAI PENCATAT NIKAH Pasal 2

1) Pegawai Pencatat Nikah yang selanjutnya disebut PPN adalah pejabat yang melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan pencatatan peristiwa nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat, dan melakukan bimbingan perkawinan.

(44)

3) Kepala KUA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menandatangani akta nikah, akta rujuk, buku nikah (kutipan akta nikah) dan/atau kutipan akta rujuk.

BAB III

PEMBERITAHUAN KEHENDAK NIKAH Pasal 5

1) Pemberitahuan kehendak menikah disampaikan kepada PPN, di wilayah kecamatan tempat tinggal calon isteri.

2) Pemberitahuan kehendak nikah dilakukan secara tertulis dengan mengisi Formulir Pemberitahuan dan dilengkapi persyaratan sebagai berikut: a. Surat keterangan untuk nikah dari kepala desa/lurah atau nama

lainnya;

b. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir, atau surat keterangan asal usul calon mempelai dari kepala desa/lurah atau nama lainnya; c. Persetujuan kedua calon mempelai;

d. Surat keterangan tentang orang tua (ibu dan ayah) dari kepala desa/pejabat setingkat;

e. Izin tertulis orang tua atau wali bagi calon mempelai belum mencapai usia 21 tahun;

(45)

36

g. Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi calon isteri yang belum mencapai umur 16 tahun;

h. Surat izin dari atasannya/kesatuannya jika calon mempelai anggota TNI/POLRI;

i. Putusan pengadilan berupa izin bagi suami yang hendak beristeri lebih dari seorang;

j. kutipan buku pendaftaran talak/buku pendaftaran cerai bagi mereka yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;

k. Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/isteri dibuat oleh kepala desa/lurah atau pejabat setingkat bagi janda/duda;

l. Izin untuk menikah dari kedutaan/kantor perwakilan negara bagi warga negara asing.

3) Dalam hal kutipan buku pendaftaran talak/buku pendaftaran cerai sebagaimana dimaksud pada ayat(2) huruf j rusak, tidak terbaca atau hilang, maka harus diganti dengan duplikat yang dikeluarkan oleh Kepala KUA yang bersangkutan.

(46)

BAB V

PEMERIKSAAN NIKAH Pasal 9

1. Pemeriksaan nikah dilakukan oleh PPN atau petugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) terhadap calon suami, calon isteri, dan wali nikah mengenai ada atau tidak adanya halangan untuk menikah menurut hukum Islam dan kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).

2. Hasil pemeriksaan nikah ditulis dalam Berita Acara Pemeriksaan Nikah, ditanda tangani oleh PPN atau petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon isteri, calon suami dan wali nikah

3. Apabila calon suami, calon isteri, dan/atau wali nikah tidak dapat membaca/menulis maka penandatanganan dapat diganti dengan cap jempol tangan kiri.

4. Pemeriksaan nikah yang dilakukan oleh Pembantu PPN, dibuat 2 (dua) rangkap, helai pertama beserta urat-surat yang diperlukan disampaikan kepada KUA dan helai kedua disimpan oleh petugas pemeriksa yang bersangkutan.

Pasal 10

(47)

38

2. PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah melakukan pemeriksaan terhadap calon suami, dan atau calon isteri serta wali nikah, wajib mengirimkan hasil pemeriksaan kepada PPN wilayah tempat pelaksanaan pernikahan.

Pasal 11

Apabila dari hasil pemeriksaan nikah ternyata terdapat kekurangan persyaratan/ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), maka PPN harus memberitahukan kepada calon suami dan wali nikah atau wakilnya.

BAB VII

PENGUMUMAN KEHENDAK NIKAH Pasal 13

1. Apabila persyaratan pernikahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) telah dipenuhi, PPN mengumumkan kehendak nikah.

2. Pengumuman adanya kehendak nikah dilakukan pada tempat tertentu di KUA kecamatan atau di tempat lainnya yang mudah diketahui oleh umum di desa tempat tinggal masing-masing calon mempelai.

3. Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan selama 10 (sepuluh) hari.

BAB VIII

PENCEGAHAN PERNIKAHAN Pasal 14

(48)

lain yang memiliki kepentingan, apabila terdapat alasan yang menghalangi dilakukannya pernikahan.

2. Pencegahan pernikahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diajukan ke pengadilan tau kepada PPN di wilayah hukum tempat pernikahan akan dilaksanakan dan kepada masingmasing calon mempelai.

Pasal 15

PPN dilarang membantu melaksanakan dan mencatat peristiwa nikah apabila: 1. Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) tidak

terpenuhi;

2. Mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan/persyaratan pernikahan. BAB IX

AKAD NIKAH Pasal 16

1. Akad nikah tidak dilaksanakan sebelum masa pengumuman sebagaimana dimaksud dalam pasal 13berakhir.

2. Pengecualian terhadap jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan karena adanya suatu alasan yang penting, dengan rekomendasi dari camat di wilayah yang bersangkutan.

Pasal 17

1. Akad nikah dilaksanakan dihadapan PPN atau Penghulu dan Pembantu PPN dari wilayah tempat tinggal calon isteri.

(49)

40

memberitahukan kepada PPN wilayah tempat tinggal calon isteri untuk mendapatkan surat rekomendasi nikah.

Pasal 18 1. Akad nikah dilakukan oleh wali nasab. 2. Syarat wali nasab adalah:

a. Laki-laki;

b. Beragama Islam;

c. Baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun; d. Berakal;

e. Merdeka; dan f. Dapat berlaku adil.

3. Untuk melaksanakan pernikahan wali nasab dapat mewakilkan kepada PPN, Penghulu,Pembantu PPN atau orang lain yang memenuhi syarat. 4. Kepala KUA kecamatan ditunjuk menjadi wali hakim, apabila calon isteri

tidak mempunyai wali nasab, wali nasabnya tidak memenuhi syarat,berhalangan atau adhal.

5. Adhalnya wali sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan keputusan pengadilan.

Pasal 19

1. Akad nikah harus dihadiri sekurang-kurangnya dua orang saksi.

2. Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat: a. Laki-laki;

(50)

c. Baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun; d. Berakal;

e. Merdeka; dan f. Dapat berlaku adil.

3. PPN, Penghulu, dan/atau Pembantu PPN dapat diterima sebagai saksi. Pasal 20

1. Akad nikah harus dihadiri oleh calon suami.

2. Dalam hal calon suami tidak dapat hadir pada sat akad nikah, dapat diwakilkan kepada orang lain.

3. Persyaratan wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah: a. Memenuhi syarat sebagaimana berikut:

1. Laki-laki;

2. Beragama Islam;

3. Baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun; 4. Berakal;

5. Merdeka; dan 6. Dapat berlaku adil.

4. Surat kuasa yang disahkan oleh PPN atau Kantor Perwakilan Republik Indonesia apabila calon suami berada di luar negeri.

Pasal 21 1. Akad nikah dilaksanakan di KUA

(51)

42

Pasal 22

1. Calon suami dan calon isteri dapat mengadakan perjanjian perkawinan. 2. Materi perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh

bertentangan dengan hukum Islam dan/atau peraturan perundang-undangan.

3. Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis diatas kertas bermeterai cukup, ditandatangani oleh kedua belah pihak, disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi dan disahkan oleh PPN.

4. Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat 3 (tiga) rangkap: a. Dua rangkap untuk suami dan isteri; dan

b. Satu rangkap disimpan di KUA. Pasal 23 1. Suami dapat menyatakan sigat taklik.

2. Sigat taklik dianggap sah apabila ditandatangani suami. 3. sigat taklik ditetapkan oleh Menteri Agama.

4. Sigat taklik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dapat dicabut kembali.

Pasal 24

(52)

2. Dalam hal suami menolak untuk membacakan dan menadatangani sigat taklik, isteri dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan agar dilakukan sigat taklik.

Pasal 25

Perjanjian perkawinan dan/atau sigat taklik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 dalam daftar pemeriksaan nikah.

BAB X

PENCATATAN NIKAH Pasal 26

1. PPN mencatat peristiwa nikah dalam akta nikah.

2. Akta nikah ditandatangani oleh suami, isteri, wali nikah, saksi-saksi dan PPN.

3. Akta nikah dibuat rangkap 2 (dua), masing-masing disimpan di KUA setempat dan Pengadilan.

4. Setiap peristiwa pernikahan dilaporkan ke kantor administrasi kependudukan di wilayah tempat pelaksanaan akad nikah.

Pasal 27

1. Buku nikah adalah sah apabila ditandatangani oleh PPN.

(53)

44

BAB XI

PENCATATAN NIKAH

WARGA NEGARA INDONESIA DI LUAR NEGERI

Pasal 28

Pencatatan nikah bagi warga negara Indonesia di luar negei dilakukan sebagaimana diatur dalam Keputusan Bersama Mentri Agama Republik Indonesia dan Mentri Luar Negeri Republik Indonesia Nomer 589 Tahun 1999 dan Nomor 182/OT/99/01 Tahun 1999 tentang petunjuk petunjuk pelaksanaan perkawinan warga Negara Indonesia di Luar Negeri.16

16

(54)

45

BAB III

PRAKTEK KAWIN SETOR

A. Kondisi Geografis

Kecamatan Omben merupakan salah satu kecamatan dari 14 kecamatan di

Kabupaten Sampang. Jumlah Desa di Kecamatan Omben yaitu 20 Desa dan

posisi wilayah kecamatan Omben adalah arah timur laut dari kota Sampang

dekat dari dengan 3 kecamatan di Kabupaten Sampang, yaitu : sebelah selatan

kecamatan sampang dan kecamatan camplong sebelah utara kecamatan karang

penang, sebelah barat kecamatan kedungdung dan sebelah timur adalah pembatas

wilayah kabupaten Sampang yaitu bersebelahan dengan kecamatan Proppo

kabupaten Pamekasan. Dengan suhu rata-rata mencapai 35 celsius, baik pada

keadaan musim kemarau maupun musim penghujan. Sedangkan curah hujan dan

jumlah hari rata-rata yaitu 6.984 milimiliter persegi dan 55 hari dengan

kelembaban udara mencapai 84%

Situasi Geografis

Kecamatan Omben

1. Letak Daerah : Kabupaten Sampang

2. Batas Daerah

a. Sebelah Utara : Kecamatan Karang Penang

b. Sebelah Barat : Kecamatan Kedungdung

c. Sebelah Selatan : Kecamatan Camplong, Kec. Sampang

(55)

46

3. Keadaan Musim

a. Penghujan : Oktober - April

b. Kemarau : April Oktober

4. Kelembaban udara rata-rata : 23 – 34 o C

B. 1.1 Sosial Kagamaan

Masyarakat Omben adalah masyarakat yang religius. Religius itu

ditampakkan dalam bentuk ketaatan mereka dalam menjalankan

kewajiban-kewajiban dalam bentuk keagamaan, baik berupa pelaksanaan ibadah ritual

maupun kegiatan sosial budaya dan politik yang bercirikan keislaman. Ibadah

ritual haji misalnya, adalah ibadah dan sebuah cita-cita bagi sebagian besar

masyarakat Omben. Ibadah ini merupakan cerminan kesempurnaan seseorang.

Kendati faktor kemampuan finansial merupakan salah satu syarat penting dalam

melaksanakan Ibadah haji ini, tetapi tidak menjadi persoalan yang beitu pelik

jika harus mencari pinjaman guna melunasi uang setoran Biaya Perjalanan Ibadah

Haji (BPIH). Keyakinan bahwa hutang akan segera dilunasi setelah kembali

tanah air, serta berbagi cerita pengalaman dari orang-orang yang pernah

melaksanakan ibadah haji atas persoalan keuangan adalah merupakan faktor

yang sangant penting /penentu mengapa mereka segera mungkin bisa

melaksanakan ibadah haji.

Kegiatan sosial keagamaan lainnya ditampakkan melalui aktifitas

(56)

Omben Peringatan maulid Nabi adalah menjadi sebuah kewajiban, sehingga

hampir pasti setiap rumah melaksanakannya. Demikian juga terhadap

pelaksanaan zakat, wakaf, ibadah qurban dan penyantunan anak yatim.

Karena karakteristik masyarakat kecamatan Omben bercorak Kyai

sentris, maka kegiatan-kegiatan tersebut sebagian besar berporos kepada

Kya-kyai, utamanya Kyai pemangku Pondok Pesantren.

Selain kyai, tokoh masyarakat lain yang memiliki peran sosial dan peran

politik yang tidak kecil terhadap masyarakat adalah Kepala Desa atau “Klebun”.

Berbeda dengan lurah yang diangkat langsung oleh Bupati, Klebun merupakan

tokoh masyarakat yang benar-benar tumbuh dari bawah. Klebun atau Kepala

Desa diangkat karena berhasil memenangkan suara pemilihan secara langsung

mengalahkan calon lainnya, karena ia cukup disegani di masyarakat. Posisi yang

demikian itulah cukup menentukan berhasil tidaknya pembangunan, termasuk

pembangunan hukum seperti hukum perkawinan di Indonesia.

.2 Pendidikan dan Ekonomi

Di bidang Pendidikan dikelompokkan dalam dua jenis pendidikan, yaitu

pendidikan formal dan pendidikan non formal pendidikan formal dalam hal ini

meliputi pendidikan Taman Kana-kanak, Sekolah Dasar hingga Perguruan

(57)

48

JUMLAH LEMBAGA PENDIDIKAN FORMAL

KECAMATAN OMBEN

No Lembaga Pendidikan Jumlah

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

TK/RA

SD

MI

SLTP

MTs

SMU

MA

Perguruan Tinggi

Madrasah Diniyah

Pondok Pesantren

24

42

47

3

18

-

9

-

58

33

Sedangkan pendidikan non formal umumnya berada di pondok pesantren.

Tetapi ada pula beberapa dari pondok pesantren di kecamatan Omben yang selain

melaksanakan pendidikan non formal juga terdapat pendidikan formal dengan

standart kurikulum Negeri (Depag). Berbeda dengan pendidikan formal,

pendidikan pondok pesantren yang lebih fokus pada pendidikan non formalnya

dilaksanakan dalam bentuk pengajian kitab kuning saja, dengan memakai sistem

bandongan serta berbagai keterampilan sebagai penunjang pendidikan dalam

(58)

Saat ini di kecamatan Omben terdapat 33 pondok pesantren yang tersebar

di desa-desa. Pondok pesantren tersebut memiliki ciri masing-masing sistem

pengajaran yang juga berbeda. Yakni sistem modern (klasifikal) dan Salafi.

JUMLAH PONDOK PESANTREN MASING-MASING

DESA KECAMATAN OMBEN

No Desa Jumlah

(59)

50

15

16

17

18

19

20

Napo Daya

Angsokah

Sogian

Kebun Sareh

Astapah

Karang Nangger

-

1

2

4

2

-

Besarnya jumlah lembaga Pondok Pesantren serta jumlah para santri yang

ada di dalamnya, menunjukkan bahwa para Kyai selaku pemangku Pondok

Pesantren memiliki peranan yang cukup penting dan signifikan dalam komunitas

masyarakat kecamatan Omben, bukan hanya bidang keagamaan tetapi juga

dalam segala aspek yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat.

Oleh karena itu posisi Kyai Pondok Pesantren menempati posisi yang

strategis dalam peta kehidupan kehidupan keagamaan masryaakat Omben.

Keadaan Ekonomi Penduduk.

Sebagian besar mata pencaharian penduduk bersumber dari usaha-usaha

di bidang pertanian, sedangkan sisanya di luar pertanian, seperti Pegawai Negeri,

Pedagang, jasa dan lain-lain. Data dilihat pada tabel berikut1 :

(60)

Mata pencaharian Penduduk

Kecamatan Omben

NO Pencaharian Prosentase

1

2

3

4

Petani

Pedagang

PNS/TNI/POLRI

Lain-lain

75%

10%

0,5%

14,5%

C. Latar Belakang Kawin Setor

Banyaknya kawin setor tersebut apabila dilihat secara makro ada

beberapa factor antara lain2 :

1. Faktor geografis, wilayah kecamatan Omben merupaka daerah yang

terdiri dari pegunungan dan perbukitan. Jarak antara desa dengan Kantor

Urusan Agama cukup jauh, sehingga memungkinkan adanya pelaksanaan

perkawinan oleh tokoh agama setempat yang mendapat legalitas dari

aparat desa.

2. Kurangnya SDM, minimnya tenaga KUA untuk melaksanakan

(mengawasi secara langsung) pelaksanaan peristiwa pernikahan. Dalam

kurun waktu terakhir ini memang pegawai pada Kantor Urusan Agama

kecamatan amat kekurangan, data terakhir menunjukkan bahwa hampir di

(61)

52

setiap KUA di Kabupaten Sampang hanya mempunyai rata-rata 4

pegawai. Di Kantor Urusan Agama Kecamatan Omben Pegawai Negeri 2

orang yaitu Kepala KUA dan Penghulu (tenaga yang berhak mengawasi,

melaksanakan pernikahan). Sedangkan 2 orang Pegawai Tidak Tetap

(PTT).

3. Kurangnya Pengatahuan Aparat desa dan Masyarakat, Pembantu

Penghulu / Pegawai Pencatat Nikah / mudin (P3N) termasuk masyarakat

Kecamatan Omben kebanyakan dari mereka kurang memahami

perundang - undangan yang berlaku, bahwa perkawinan itu harus diawasi

dan dilaksanakan oleh penghulu dari Kantor Urusan Agama.

4. Kurangnya penegakan hukum (Budaya), mengingat kondisi geografis

daerah Kecamatan Omben ditambah minimnya tenaga ahli di bidang

pernikahan yang tersedia di KUA Kecamatan Omben, yang didukung oleh

lemahnya pengatahuan aparat desa dan masyarakat dan lemahnya

penegakan hukum (Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974) maka

kemudian peristiwa pernikahan tersebut dilaksanakan seperti pelaksanaan

ritual ibadah lainnya, yakni cukup dengan persyaratan dan rukun nikah

yang telah ditetapkan oleh agama. aparat desa dan tokoh agama sudah

mengijinkan terjadinya akad nikah tersebut, maka akad nikah itupun

(62)

Itulah beberapa faktor penyebab adanya kawin setor di Kecamatan

Omben ( Desa Omben dan Sogian), dan sudah membudaya, sehingga terkesan

Kantor Urusan Agama hanya sebagai legal formal (Formalitas) terhadap

pengesahan peristiwa perkawinan. Dari hasil wawancara penulis dengan

Narasumber (Kepala KUA) juga denga tokoh masyarakat dan Kyai bahwa tahun

2005 hampir 60% pernikahan di Kecamatan Omben belum sesuai dengan

Undang-undang yang berlaku. Yang terjadi dalam kawin setor adalah kalau ada

orang mau kawin tidak perlu mengundang atau mendatangkan Penghulu dari

KUA cukup Kyai saja. Tentang surat nikah bisa diatur di kemudian hari bila

surat nikah tersebut dibutuhkan atau dapat diatur belakangan.

D. Praktek Kawin Setor

Sebagaimana telah kita ketahui pada bab terdahulu bahwa yang dimaksud

dengan kawin setor adalah perkawinan yang dilakukan secara hukum Islam dan

pencatatannya perkawinannya yaitu mengisi formulir pelengkap ( N1- N4 ) ke

pak Modin setempat atau kepala desa (aparat desa ), kemudian pak mudin

melaporkan dan meminta tanda tangan ke kepala desa. ketika akad pernikahan

berlangsung masyarakat hanya mengundang (memanggil ) Kyai tanpa

mengundang (memanggil ) pegawai pencatat nikah (PPN) tanpa dihadiri oleh

(63)

54

disetorkan (diserahkan) secara kolektif ke Kantor Urusan Agama (KUA) 30 hari

setelah pernikahan untuk memperoleh akta nikah.3

Sebelum memaparkan tentang kawin setor lebih lanjut, terlebih dahulu

kita mengingat bahwa salah satu tujuan dari perkawinan adalah untuk

memperoleh kebahagian, kedamaian dan ketentraman yang didasari rasa kasih

sayang dan cinta kasih. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974, bahwa perkawinan bertujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdsaran Ketuhanan Yang maha Esa.

Dari paparan tentang pola perkawinan di Kecamatan Omben, pola

perkawinan yang tidak memperhitungkan tentang pencatatan dari peristiwa

penting tersebut, sehingga timbul permasalahan pencatatan yang di kenal dengan

sebutan kawin setor, dengan gambaran regulasi sebagai berikut :

Aparat desa (kepala desa, sekretaris desa atau pembantu penghulu /

pegawai pencatat nika / mudin) menyerahkan berkas pemberitahuan kehendak

nikah kepada penghulu / Pegawai Pencatat Nikah selanjutnya di singkat PPN ke

KUA Kecamatan Omben.

Berkas-berkas tersebut kemudian diperiksa oleh Penghulu / PPN. Setelah

diperiksa kemudian ada beberapa pola yang timbul dari penyerahan berkas

tersebut antara lain4 :

Referensi

Dokumen terkait

i g ttint r+.e should held study tour regularly in order the other shrdents who never join the study tour can follow this program.) Because this program is good for

Substansi perarem yang terkait dengan perlindungan hukum terhadap benda sakral yang ada di Desa Plaga misalnya seperti : kewajiban seluruh desa pakraman untuk mengelola

Beberapa inovasi vocal juga ditemukan dalam bahasa Tidung, misalnya saja pada PMP *buruk > TDG busak ‘busuk’, PMP *ma-putiq > TDG pulak ‘putih’, dan PMP * i-kita > TDG

Skrining aktivitas antifungi terhadap hidrolisat menunjukkan bahwa peptida yang diperoleh dari hasil hidrolisis susu kambing pada pH 7 pada waktu hidrolisis 30 maupun

(2010) toteaa, että kuluttajien erilaiset aikomukset käyttää itsepalvelukassoja voidaan katsoa johtuvan kuluttajien erilaisista luonteenpiirteistä, joihin vaikuttavat

Namun pada realitanya hari ini, apa yang diatur dalam hukum agama tidak lah absolut diterima dan diterapkan oleh hukum adat Minangkabau, salah satunya mengenai garis

Di Provinsi Riau telah terjadi Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di beberapa lokasi, selain pemadaman darat, juga telah dilakukan pemadaman dari udara menggunakan Helicopter

Disiplin kerja (X) -Taat terhadap aturan Waktu - Masuk kerja sesuai waktu yang ditentukan perusahaan -Pulang kerja sesuai waktu yang ditentukan perusahaan