BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan masyarakat akan daging sapi cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang didapat dari Badan Pusat Statistik D.I Yogyakarta, produksi daging sapi dari tahun 2007-2014 cenderung mengalami peningkatan. Penurunan hanya terjadi sekali yaitu dari tahun 2012 ke tahun 2013. Grafik produksi daging sapi D.I Yogyakarta dapat dilihat pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1 Data Produksi Daging Sapi D.I.Y Periode 2007-2014 (Sumber: BPS, 2015)
Fungsi dan syarat Rumah Potong Hewan telah dijelaskan oleh pemerintah dalam SK Meteri Pertanian nomer 555/Kpts/TN.240/9/1986 seperti yang dikemukakan dalam Manual Kesmavet (1993), yaitu Rumah Pemotongan
0 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000 8.000 9.000 10.000
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Tahun
Jumlah (Dalam Ton)
Hewan (RPH) merupakan unit/sarana pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging sehat mempunyai fungsi sebagai:
1. Tempat dilaksanakannya pemotongan hewan secara benar.
2. Tempat dilaksanakannya pemeriksaan hewan sebelum dipotong (antemortem) dan pemeriksaan daging (post mortem) untuk mencegah penularan penyakit hewan ke manusia.
3. Tempat untuk mendeteksi dan memonitor penyakit hewan yang ditemukan pada pemeriksaan ante mortem dan post mortem guna pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan menular di daerah asal hewan.
4. Melaksanakan seleksi dan pengendalian pemotongan hewan besar betina bertanduk yang masih produktif.
Bahaya merupakan suatu kondisi atau perubahan keadaan yang berpotensi menimbulkan luka-luka, cedera atau ciri-ciri kerusakan/kerugian. Sementara itu, pengertian dari pengendalian bahaya adalah suatu tindakan yang tujuannya menghilangkan atau mengurangi risiko yang dihasilkan oleh bahaya-bahaya yang terjadi (Brauer, 1990).
Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang jelas tidak dikehendaki dan sering kali tidak terduga semula yang dapat menimbulkan kerugian baik waktu, harta benda atau properti maupun korban jiwa yang terjadi didalam suatu proses kerja industri atau yang berkaitan denganya (Tarwaka, 2008). Dengan demikian, kecelakaan kerja mengandung unsur sebagai berikut :
a. Tidak diduga semula, oleh karena dibelakang peristiwa kecelakaan tidak terdapat unsur kesengajaan dan perencanaan.
b. Tidak diinginkan atau diharapkan karena setiap peristiwa kecelakaan akan selalu disertai kerugian baik fisik maupun mental.
c. Selalu menimbulkan kerugian dan kerusakan, yang sekurang-kurangnya menyebabkan gangguan proses kerja.
Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang baik dapat meningkatkan produktivitas pegawai, mengurangi biaya-biaya akibat kecelakaan kerja serta mengurangi kesalahan. Keamanan kerja merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang dapat mempengaruhi motivasi dan kepuasan kerja. Oleh karena itu, perusahaan berkewajiban melakukan berbagai kegiatan dalam meningkatkan K3 seperti yang diharuskan undang-undang secara tegas maupun yang tidak diharuskan oleh undang-undang secara tegas, sejauh itu dipikirkan sebagai usaha untuk meningkatkan keselamatan kerja (Hariandja, 2007).
Penerapan K3 merupakan hal yang penting bagi perusahaan karena dampak kecelakaan dan penyakit kerja tidak hanya merugikan karyawan, tetapi juga perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Semakin cukup kuantitas dan kualitas fasilitas K3, maka semakin tinggi pula mutu kerja karyawannya. Dengan demikian perusahaan akan semakin diuntungkan dalam upaya pencapaian tujuannya (Mangkuprawira dan Hubeis, 2007).
Untuk menjamin K3 bagi para pekerja, pemerintah telah menerbitkan berbagai peraturan perundangan. Pemerintah Indonesia pertama kali telah membuat Undang-undang Kecelakaan tahun 1947 Nomor 33 yang berlaku tanggal 6 Januari 1951, disusul dengan Peraturan Pemerintah tentang
pernyataan berlakunya Peraturan Kecelakaan tahun 1947 (PP No. 2 Tahun 1948), dan akhirnya UU No. 1 Tahun 1970 tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja. UU yang terakhir inilah yang sekarang dijadikan sebagai pedoman pelaksanaan K3. Namun meskipun telah ada peraturan perundangan yang mengatur tentang K3, masalah tersebut secara umum di Indonesia masih sering terabaikan.
Setiap tahun ribuan kecelakaan terjadi di tempat kerja yang menimbulkan korban jiwa, kerusakan materi, dan gangguan produksi. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja. Berdasarkan data di BPJS, angka kecelakaan kerja di Indonesia dalam lima tahun terakhir cenderung meningkat, pada tahun 2011 terdapat 99.491 kasus, sedangkan tahun 2010 hanya 98.711 kasus kecelakaan kerja, pada tahun 2009 terdapat 96.314 kasus, tahun 2008 terdapat 94.736 kasus, dan pada tahun 2007 terdapat 83.714 kasus.
Gambar 1.2 menunjukkan data kecelakaan kerja di Indonesia pada periode 2007-2011 serta 2014.
Gambar 1.2 Data Kecelakaan Kerja di Indonesia (Sumber: BPJS, 2015)
0 20.000 40.000 60.000 80.000 100.000 120.000 140.000
2007 2008 2009 2010 2011 2014 Tahun
Jumlah Kasus
Keselamatan selama melakukan aktivitas kerja merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu, perusahaan yang baik selalu peduli pada K3 karyawannya (Sungkono, 2012). Sementara itu, PT Jamsostek menyatakan dalam tahun 2012 setiap hari ada 9 pekerja peserta Jamsostek yang meninggal dunia akibat kecelakaan kerja. Total kecelakaan kerja pada tahun yang sama 103.000 kasus karena di Indonesia hanya 2,1 persen dari 15.000 perusahaan berskala besar yang menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) (Sholihin, 2014).
Sementara itu, jumlah kasus kecelakaan tenaga kerja di DIY paling banyak dialami tenaga kerja produktif dengan usia 26 hingga 30 tahun sepanjang kurun waktu 2013 lalu yang mencapai 1.347 kasus. Mayoritas disebabkan kecelakaan di lokasi tempat mereka bekerja di mana kondisi ini berbeda dibandingkan 2012 yang didominasi kecelakaan lalu lintas saat perjalanan pergi maupun pulang dari tempat kerja. Berdasarkan data dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan DIY sepanjang 2013 lalu terjadi 1.347 kasus kecelakaan kerja. Sebanyak 651 kasus adalah kecelakaan di lokasi kerja, 460 kasus karena kecelakaan lalu lintas dan 236 kasus disebabkan kecelakaan di luar tempat kerja, yang bukan karena lalu lintas. Dari total perusahaan yang wajib memberikan BPJS di DIY yaitu 3.464 perusahaan yang sudah terdaftar BPJS 1.377 perusahaan. Sedangkan 2.000 lebih perusahaan belum mendaftar BPJS karena kebanyakan perusahaan berskala kecil dan sedang di DIY (Prayitno, 2014).
RPH Giwangan merupakan sarana yang disediakan untuk melakukan pemotongan sapi dan kambing. Produksinya berlangsung setiap hari yang dilakukan dalam dua shift, yaitu shift pagi mulai pukul 10.00 serta shift malam mulai pukul 23.00. Durasi produksi bergantung pada jumlah hewan yang dipotong. Rata-rata hewan yang dipotong pada shift pagi yaitu 1-2 ekor, serta 15-17 ekor pada shift malam.
SMK3 di RPH Giwangan belum diperhatikan dengan baik. Pekerja tidak menggunakan atribut pelindung diri ketika melakukan pekerjaannya. Hal tersebut berdampak pada seringnya terjadi kecelakaan pada pekerja bagian pemotongan dan pengulitan. Selain itu pada bagian lain juga perlu dikaji mengenai kesehatan para pekerja karena berhubungan langsung dengan daging, darah dan kotoran hewan. Tabel 1.1 menunjukkan macam-macam kecelakaan kerja yang pernah terjadi di RPH Giwangan.
Dengan latar belakang tersebut maka penulis bermaksud melakukan penelitian lebih lanjut mengenai risiko kecelakaan kerja di RPH Giwangan sehingga dapat melakukan penilaian dan evaluasi serta dapat memberikan rekomendasi pengendalian risiko kecelakaan kerja.
Tabel 1.1 Kecelakaan Kerja di RPH Giwangan (Pemotongan Sapi)
No Aktivitas Kerja Bahaya Dampak
1 Menerima sapi Tersepak, terseruduk sapi Luka pada tubuh 2 Menggiring sapi masuk
gang way
Tersepak, terseruduk sapi(paha)
Luka pada tubuh 3 Memasukkan sapi ke
restraining box
Tersepak sapi, terkena tampar/sapi, terpeleset
Luka pada tubuh 4 Mengikat kaki sapi Tersepak sapi, terkena
tampar/sapi
Luka pada tubuh 5 Menyembelih sapi Tergores pisau, terkena
napas sapi
Luka pada tubuh, tertular penyakit zoonosa
6 Menguliti Tergores pisau, terkena gantol, terpeleset
Luka pada tubuh 7 Membelah kepala Terkena kapak, tergores
pisau (tangan)
Luka pada tubuh 8 Membelah dada Terkena kapak Luka pada tubuh 9 Mengeluarkan jeroan Tergores pisau Luka pada tubuh,
tertular penyakit zoonosa
10 Membersihkan jeroan Terkena gas dari perut sapi Luka pada tubuh, tertular penyakit zoonosa
11 Membelah karkas Terkena kapak, gantol lepas
Luka pada tubuh
12 Menimbang karkas Terkena gantol lepas Luka pada tubuh 13 Memberikan cap pada
daging untuk legalitas daging
Terkena cap Luka pada tubuh
14 Memisahkan tulang dengan daging
Terkena kapak, tergores pisau
Luka pada tubuh 15 Pemisahan daging Tergores pisau Luka pada tubuh 16 Mengangkut
karkas/daging
Terkena karkas, kecelakaan dalam perjalanan
Luka pada tubuh
(Sumber: Kantor Administrasi RPH Giwangan, 2015)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu faktor-faktor apa saja yang berpotensi menimbulkan risiko;
risiko apa saja yang dapat mengancam keselamatan pekerja, seberapa besar dampak risiko yang mungkin akan terjadi; serta pengendalian risiko seperti apa yang tepat untuk diterapkan di RPH Giwangan.
C. Batasan Masalah
1. Penelitian hanya dilakukan pada bagian pemotongan sapi karena risiko di bagian pemotongan sapi lebih tinggi dibandingkan pemotongan kambing.
2. Penelitian dilakukan pada bagian produksi dimulai dari penarikan sapi melewati gangway hingga pengangkutan karkas menuju mobil pengangkut.
D. Tujuan Penelitian
1. Identifikasi bahaya yang berpotensi terjadi di bagian produksi RPH Giwangan.
2. Menyusun rekomendasi pengendalian risiko kecelakaan kerja pada bagian produksi RPH Giwangan.
E. Manfaat Penelitian
1. Mengetahui bahaya apa saja yang berpotensi terjadi yang dapat mengancam kesehatan dan keselamatan kerja.
2. Menjadi acuan dalam menyusun program pengendalian risiko untuk mengurangi kecelakaan kerja di perusahaan.