• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Work Engagement

2.1.1. Pengertian Work Engagement

Menurut Macey & Scheneider (2008), engagement yakni rasa seseorang terhadap tujuan dan energi yang terfokus, memperlihatkan inisiatif pribadi, mampu beradaptasi, berusaha, dan mempunyai ketekunan terhadap tujuan organisasi. Work engagement adalah pemenuhan, keadaan afektif-motivasi positif dari kesejahteraan yang berhubungan dengan pekerjaan yang dapat dilihat sebagai antagois atau kebalikan dari kelelahan bekerja (Bakker, Leiter, & Taris 2008).

2.1.2. Dimensi Work Engagement

Bakker, Schaufeli dan Taris (2008) menyatakan bahwa work engagement dikarakteristikan oleh tiga dimensi utama, yaitu:

a. Vigor

Vigor merupakan curahan energi dan mental yang kuat selama bekerja, keberanian untuk berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, dan tekun dalam menghadapi kesulitan kerja.

b. Dedication

Dedication adalah mengarah pada keterlibatan yang sangat tinggi saat mengerjakan tugas dan mengalami perasaan yang berarti, sangat antusias, penuh inspirasi, kebanggaan, dan tantangan.

c. Absorption

Absorption adalah dimana dalam bekerja karyawan selalu penuh

konsentrasi dan serius terhadap suatu pekerjaan. Individu merasa

ketika ia bekerja waktu terasa berlalu begitu cepat dan menemukan

kesulitan dalam memisahkan diri dengan pekerjaan.

(2)

2.1.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Work Engagement

Menurut Bakker dan Demerouti (2008) terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi work engagement yaitu:

a. Sumber Kerja (Job Resources)

Job resources yaitu aspek-aspek fisik, sosial maupun organisasi yang berfungsi sebagai media untuk mencapai tujuan pekerjaan baik secara fisiologis maupun psikologis yang harus dikeluarkan, serta menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan individu b. Daya Pribadi (Personal Resources)

Personal resources adalah evaluasi diri positif yang terkait dengan ketahanan dan mengacu pada rasa individu dari kemampuan mereka untuk mengendalikan dan memberikan dampak pada lingkungan sesuai dengan keinginan dan kemampuannya.

2.2 Kepemimpinan Otentik

2.2.1 Pengertian Kepemimpinan Otentik

Menurut Yukl (2007), kepemimpinan adalah proses mempengaruhi

orang lain untuk memahami dan setuju dengan apa yang harus mereka

lakukan dan bagaimana melakukan tugas tersebut secara efektif, serta

proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kelompok untuk mencapai

tujuan bersama/shared goal. Kepemimpinan otentik adalah bentuk

kepemimpinan yang berasal dari teori psikologi positif (Avolio & Gardner,

2005). Walumbwa (2008), mendefinisikan kepemimpinan otentik sebagai

pola perilaku pemimpin yang mengacu dan mempromosikan baik dalam

kapasitas psikologis yang positif maupun iklim etika yang positif, untuk

mendorong lebih besar kesadaran diri, perspektif moral yang

diinternalisasikan, pengolahan informasi yang seimbang dan transparansi

relasional pada bagian dari pemimpin bekerja dengan pengikut, membina

pengembangan diri yang positif.

(3)

2.2.2 Dimensi Kepemimpinan Otentik

Menurut Walumbwa, Avolio, Gardner, Wernsing, dan Peterson (2008), terdapat empat dimensi untuk kepemimpinan otentik, yaitu:

a) Self Awareness

Kemampuan seorang pemimpin untuk membaca keterampilan diri dan orang lain dalam kaitannya dengan pola perilaku, perasaan, keinginan, dan kognisi (Kernis & Goldman, 2006). Kesadaran diri juga termasuk kemampuan seseorang untuk mengatur tindakan individu dalam kaitannya dengan lingkungan dan orang-orang.

b) Balanced Processing

Kemampuan seseorang untuk terlibat dalam pengolahan informasi yang berkaitan dengan mampu menganalisa informasi secara obyektif sebelum mengambil keputusan (Avolio, Walumbwa, dan Weber, 2009).

c) Internalized Moral Perspectives

Dimensi ketiga terlihat pada perspektif terinternalisasi yang pada dasarnya terjemahan perilaku kesadaran diri dan pengolahan seimbang informasi (Kernis & Goldman, 2006). Selain itu, ia juga mempertimbangkan aspek etis dari pengambilan keputusan (Walumbwa et al., 2008).

d) Transparency Relational

Dimensi terakhir berkaitan dengan keinginan mendalam dari

pemimpin untuk berinteraksi dengan orang lain secara transparan,

tulus dan jujur (Kernis & Goldman, 2006). Pemimpin

menunjukkan transparansi relasional dalam hubungan mereka

dengan orang-orang yang cenderung untuk membangun hubungan

berdasarkan kepercayaan serta menawarkan lingkungan yang aman

di mana orang dapat tumbuh dengan segala potensi yang mereka

miliki.

(4)

2.2.3 Tujuan Kepemimpinan Otentik

Tujuan kepemimpinan otentik ada dua, yaitu:

a) Kepemimpinan otentik untuk mengatasi krisis etika dalam perusahaan. Hal ini menjadi “kompas moral” (Walumbwa, Avolio, Gardner, Wernsing & Peterson, 2008), membantu melawan skandal korporasi dan manajemen penyimpangan (CD Cooper, Scandura, &

Schriesheim, 2005), dan membantu untuk melakukan bisnis dengan cara yang etis dan bertanggung jawab secara sosial (Mei, Hodges, Chan, & Avolio, 2003).

b) Kepemimpinan otentik untuk membantu orang menemukan makna dan hubungan dalam pekerjaan mereka (Avolio & Gardner, 2005) dan meningkatkan kesejahteraan anggota organisasi (Illies, et al, 2005)

2.2.4 Dampak Pemimpin yang Otentik pada Pengikut

Keefektifan pemimpin otentik datang dari motivasinya, seperti

yang didefinisikan oleh energi, ketekunan, optimisme, dan kejelasan

tentang tujuan saat menghadapi tantangan yang sulit, hambatan,

kemunduran, dan konflik dengan lawan atau pesaing. Pengaruh pemimpin

itu terhadap sejumlah pengikut meningkat oleh keyakinan diri, kejelasan

akan nilai, dan integritas pemimpin yang bersangkutan. Lebih mudah

pengikut yang dipengaruhi oleh pemimpin yang dianggap dapat

diandalkan, fokus, dan percaya diri. Pemimpin bisa meningkatkan

komitmen pengikut terhadap misi dan keyakinan mereka untuk

mencapainya dengan mengutarakan visi yang menarik, memberi

dorongan, dan memberikan teladan perilaku yang tepat. Ada juga dampak

tidak langsung lewat pengaruh pada konsep diri dan identitas diri

pengikut. Pengikut dari pemimpin otentik memiliki lebih banyak identitas

pribadi dengan pemimpin dan lebih banyak identitas sosial dengan tim

atau unit organisasi. Identifikasi sosial meningkat oleh penekanan

pemimpin pada moralitas dan integritas serta kejujuran pribadi yang

(5)

tinggi. Pemimpin otentik meningkatkan kepercayaan pengikut, yang mencakup keyakinan tentang integritas dan kejujuran pemimpin.

Pemimpin yang dianggap memiliki keahlian dan kredibilitas akan lebih sukses memengaruhi pengikut agar mendukung perubahan dan inisiatif baru dengan antusiasme, dan agar optimis serta penuh harap akan keberhasilan kolektif mereka, terlepas dari hambatan dan kesulitan yang ada.

2.2.5 Mengembangkan Pemimpin Otentik

Penelitian tentang pengembangan pemimpin otentik menyatakan

bahwa organisasi tidak dapat menduplikasi pengalaman penting ke dalam

seminar pelatihan, tetapi beragam pendekatan dapat digunakan untuk

memfasilitasi pengembangan (Shamir & Eilam, 2005). Pendekatan

pertama adalah meminta orang menggambarkan peristiwa yang

melibatkan pahlawan dan teladan perilaku mereka serta menjelaskan

mengapa perilaku dianggap penting untuk ditiru. Pendekatan kedua

meminta orang menganalisis pengalaman mereka dan masalah mereka

untuk lebih dapat memahami nilai dan kekuatan mereka. Pendekatan

ketiga yang lebih ekstrem adalah memberikan peluang guna mengalami

peristiwa pemicu yang dengan adanya kebutuhan untuk mengatasi

tantangan dan krisis yang sulit itu akan membantu orang untuk belajar

tentang nilai, keyakinan, dan kompetensi bersama serta kompetensi

individu. Tetapi, proses untuk mengembangkan kepemimpinan otentik ini

sangat bersifat pribadi, proses ini membutuhkan fasilitator yang terampil,

proses ini tidak akan berguna bagi semua orang, dan proses ini dapat

memberikan manfaat yang diinginkan hanya dalam sejumlah tahap

kehidupan dan karier seseorang (Shamir & Eilam, 2005).

(6)

2.3 Psychological Capital

2.3.1 Pengertian Psychological Capital

Luthans (2002), dikonsep psychological capital sebagai konstruksi tingkat tinggi yang terdiri dari efficacy, harapan, optimisme dan ketahanan.

Luthans, Youssef, dan Avolio (2007), mendefinisikan psychological capital sebagai keadaan perkembangan psikologi individu yang positif.

Luthans et al. (2015), mendefinisikan psychological capital sebagai keadaan perkembangan psikologi individu positif yang ditandai dengan:

(a) adanya kepercayaan diri untuk melakukan tindakan yang perlu untuk mencapai kesuksesan dalam tugas-tugas yang menantang; (b) atribusi yang positif yaitu mengenai sukses pada masa sekarang dan masa yang akan datang; (c) persistensi dalam mencapai tujuan, dengan kemampuan mendefinisikan kembali jalur untuk mencapai tujuan jika diperlukan untuk mencapai kesuksesan; dan (d) ketika menghadapi masalah dan kesulitan, mampu bertahan dan terus maju untuk mencapai kesuksesan.

2.3.2 Dimensi Psychological Capital

Menurut Luthans, Youssef, dan Avolio (2007), terdapat empat dimensi untuk psychological capital, yaitu:

a) Self Efficacy

Self efficacy adalah suatu keyakinan (atau kepercayaan diri) seseorang mengenai kemampuannya dalam mengerahkan motivasi dan melakukan tindakan-tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan dalam melaksanakan tugas (Stajkovic & Luthans, 1998).

b) Optimism

Optimism yaitu sikap dari individu yang memiliki stabilitas dan

gambaran umum yang positif dan menanggapi keadaan yang

negatif dengan lebih relistis (Seligman, 1998). Seseorang memiliki

optimism yang tinggi menganggap peristiwa ataupun kondisi yang

(7)

buruk sebagai pengaruh dari lingkungan (eksternal), bersifat sementara (unstable), dan bukan berarti dengan adanya kejadian buruk tersebut maka seluruh hidupnya juga menjadi buruk. Sikap optimis ini akan mendorong dan memengaruhi individu untuk berupaya keras dalam mencapai keberhasilan (Luthans, et al., 2007a).

c) Hope

Hope adalah suatu keadaan motivasi positif yang didasari oleh agency (energi untuk mencapai tujuan) dan pathway (perencanaan untuk mencapai tujuan) yang saling memengaruhi untuk mencapai kesuksesan (C. Risk Synder, 2000). Orang yang memiliki hope tinggi adalah orang yang memiliki harapan, tujuan dan mengetahui cara untuk mencapai tujuan harapannya. Pekerja yang memiliki hope tinggi cenderung menjadi pemikir yang independen, memiliki kontrol penuh dalam mengatur energi yang digunakan untuk mencapai tujuan, tekun dalam mencapai tujuan bila perlu mencari alternatif pilihan (jalan lain) ketika menghadapi kesulitan, sehingga sasaran dapat dicapai (Luthans, et al., 2007a).

d) Resiliency

Resiliency didefinisikan sebagai suatu fenomena dalam konteks situasi yang menyulitkan atau keterpurukkan. Resiliency dalam psychological capital tidak hanya sekedar “memantul kembali”

atau bangkit kembali dari kesulitan, konflik, ataupun kegagalan ke keadaan semula tetapi juga harus mampu menjadi lebih positif dari keadaan semula

2.4 Kerangka Berpikir

2.4.1 Pengaruh Psychological Capital terhadap Work Engagement

Luthans et al. (2007), mendefinisikan psychological capital

sebagai keadaan perkembangan psikologi individu yang positif.

(8)

Psychological capital juga dapat disebut sebagai modal psikologis atau semacam modal sikap serta perilaku yang berperan besar dalam menentukan keberhasilan seseorang. Di dalam perusahaan dibutuhkan pekerja yang memiliki psikologi yang positif yaitu agar tujuan dalam perusahaan dapat tercapai atau dapat mewujudkan visi serta misi perusahaan. Selain itu, pekerja juga harus memiliki energi yang tinggi serta antusias dalam pekerjaan nya. Dengan kata lain, pekerja harus engaged. Pekerja yang engaged adalah mereka yang memiliki rasa energik dan memiliki hubungan yang efektif dengan pekerjaannya, kemudian mereka melihat diri mereka sebagai individu yang mampu mengerjakan tuntutan secara maksimal (Schaufeli et al., 2002).

Work engagement terbukti menjadi konsekuensi positif dari psychological capital. Kemudian, penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki psychological capital tinggi, akan cenderung menunjukkan work engagement yang tinggi (Paek, Soyon., Schuckert., Taegoo, Terry, Kim., Gyehee, Lee, 2015). Psychological capital dan engagement juga diketahui memiliki hubungan serta berdampak pada perilaku organisasi dan hasil (Bakker & Damerouti, 2008; Stajkovic & Luthans, 1998).

Self efficacy dan resilience berkontribusi secara khusus pada karyawan yang engaged (Bakker, Gierveld dan Van Rijswijk, 2006).

Karyawan yang engaged menggunakan sumber daya seperti optimisme, self efficacy, resilience (ketahanan), dan active coping style untuk membantu mereka agar menjadi lebih sukses (Bakker & Damerouti, 2008;

Luthans, Norman, Avolio & Avey, 2008). Cordery (2007) juga menemukan engagement menjadi prediktor kuat dari hope, optimism, dan self efficacy.

Caliskan (2014), mencoba untuk mengungkapkan pengaruh dari

variabel POB (Positive Organizational Behavior), yang terdiri dari self

efficacy, hope, resilience, dan optimism pada perilaku karyawan. Menurut

hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel POB tersebut memiliki

(9)

hubungan yang positif dan memiliki hubungan yang signifikan terhadap work engagement. Hal tersebut mendeteksi bahwa faktor optimism dan hope merupakan komponen dari psychological capital yang memiliki pengaruh tinggi pada work engagement.

2.4.2 Pengaruh Kepemimpinan Otentik terhadap Work Engagement

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pekerja akan merasa lebih semangat, berdedikasi dan memiliki absorption yang tinggi dalam hari-hari mereka yang terinspirasi dan intelektual karena distimulasi oleh pemimpin mereka (Breevart et al, 2014; Tims et al., 2011). Hal tersebut menunjukkan bahwa pemimpin dapat mempengaruhi pekerja yang engaged. Avolio et al. (2004), mengemukakan bahwa pemimpin otentik dapat mempengaruhi sikap serta perilaku pekerja, yakni melalui mekanime identifikasi organisasi. Individu yang mengidentifikasi organisasi lebih mungkin untuk menerapkan misi organisasi dan nilai- nilai, serta berfungsi untuk mencapai tujuan organisasi (Mael & Ashfurth, 1992).

Ketika pekerja merasa pemimpin mereka konsisten antara kata-

kata dengan tindakan, dan memegang persepsi moral, maka mereka akan

lebih cenderung engaged dalam pekerjaannya. Persepsi karyawan

mengenai pemimpin mereka yang tulen atau sungguh-sungguh, transparan,

berwawasan, dan mampu mengembangkan organisasi membuat para

karyawan yakin dalam memajukan karir yang akan membuat masa depan

mereka lebih sukses serta menguntungkan organisasi (Spreitzer & Mishra,

2002). Dalam hal tersebut, yang dimaksud dari persepsi karyawan yaitu

pemimpin yang otentik, dimana dijelaskan oleh Walumbwa et al (2008),

bahwa pemimpin otentik dideskripsikan sebagai orang yang memiliki

kesadaran diri (self aware), yang menunjukkan keterbukaan serta

kejelasan mengenai siapa diri mereka, konsisten dalam mengungkapkan

dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai pribadi mereka, keyakinan, motif

dan sentimen (Walumbwa et al., 2008

(10)

2.4.3 Pengaruh Psychological Capital dan Kepemimpinan Otentik terhadap Work Engagement

Setiap individu memiliki harapan serta tujuan yang ingin dicapai.

Untuk dapat mencapai tujuannya tersebut, individu perlu memiliki rasa kepercayaan yang tinggi. Maka individu harus percaya akan kemampuan yang terdapat pada dirinya sendiri. Dalam mencapai tujuan yang diinginkan, individu akan dihadapkan oleh berbagai macam tantangan.

Ketika individu dihadapkan oleh tantangan, maka individu harus berpikir positif bahwa ia dapat melewati tantangan tersebut. Selain itu, individu juga harus memiliki energi yang tinggi atau bersemangat. Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, dan Schaufeli (2007), menemukan bahwa pekerja yang engaged memiliki self efficacy yang tinggi, memiliki harapan yang lebih tinggi serta mengalami hasil yang positif dalam hidup mereka atau optimis, dan percaya bahwa mereka dapat memuaskan kebutuhan mereka dengan cara berpartisipasi dalam organisasi.

Tujuan tidak hanya dimiliki oleh setiap individu, pada perusahaan pun terdapat tujuan atau biasa disebut sebagai visi dan misi. Untuk dapat mencapai visi dan misi maka perlu adanya kerja sama. Kerja sama tersebut dapat dilakukan antara pimpinan perusahaan dengan pengikutnya.

Pemimpin dan pengikut akan bekerja sama apabila memiliki rasa semangat serta antusias dalam pekerjaannya. Pekerja yang memiliki rasa semangat dan berantusias dalam pekerjaannya adalah pekerja yang memiliki engaged yang tinggi. Pekerja yang engaged adalah keterlibatan individu dalam kepuasan serta asntusiasme untuk bekerja (Harte, Schmidt

& Hayes, 2002). Ketika pekerja merasa bahwa diberikan dukungan dan diperlakukan dengan tulus, maka mereka akan meningkatkan engaged di tempat kerja mereka.

Perusahaan membutuhkan pemimpin yang memimpin dengan

tujuan, memiliki nilai-nilai yang kuat dan memiliki integritas, mampu

menciptakan organisasi yang kekal, dan yang dapat memotivasi pekerja

(11)

mereka untuk menyediakan layanan pelanggan yang lebih baik (George, 2003). Dalam hal ini, pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin yang otentik. George (2003), menyatakan kembali bahwa pemimpin yang otentik dapat memotivasi para pengikutnya dengan cara menciptakan rasa yang mendalam untuk memberikan produk yang lebih baik, layanan yang unggul dan kualitas yang optimal. Ini merupakan karakteristik dari pekerja yang memiliki engaged yang tinggi.

Berdasarkan pemaparan sebelumnya, maka diperoleh kerangka berfikir sebagai berikut:

2.5 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan pada landasan teori dan kerangka berfikir di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Psychological Capital (X1)

1. Self Efficacy 2. Hope

3. Optimism 4. Resiliency

(Menurut Luthans, Youssef, dan Avolio, 2007)

Work Engagement (Y)

1. Vigor 2. Dedication 3. Absorption

(Menurut Bakker, Schaufeli dan Taris, 2008)

Kepemimpinan Otentik (X2) 1. Self Awareness 2. Balanced Processing 3. Internalized Moral

Perspectives 4. Transparency

Relational

(Menurut Walumbwa, Avolio,

Gardner, Wernsing, dan

Peterson, 2008)

(12)

H1 : Psychological capital berpengaruh terhadap work engagement

H2 : Kepemimpinan otentik berpengaruh terhadap work engagement

H3 : Psychological capital dan kepemimpinan otentik berpengaruh

terhadap work engagement

Referensi

Dokumen terkait

*Alat Peraga Pendidikan *Elektrikal Mekanikal *Komputer *Laboratorium *Percetakan.. Office : Jl.Maulana Hasanudin No.52

Jadi, rekonsiliasi korban G30S yang dilakukan, hendaknya pihak pemerintah yang berkuasa lebih dahulu mengakui KESALAHAN pelanggaran HAM-BERAT yang pernah dilakukan masa

Tentu menjadi sebuah pertanyaan dan evaluasi tentang kedudukan Ombudsman Republik Indonesia mengingat bahwa lembaga tersebut tidak memiliki kewenangan dalam memberikan

EBITDA menurun sebesar 25.0% menjadi US$129.0 juta dari US$172.1 juta di 3M2017, sebagian besar disebabkan oleh laba kotor yang lebih rendah sekitar 20% sebagai hasil dari biaya

- Siswa dapat mempraktekkan bacaan Idgham Mimi pada ayat-ayat Al Quran dengan baik dan benar.

- UU 39 Tahun 2014 Pasal 4, lingkup pengaturan perkebunan antara lain: Penggunaan lahan, Perbenihan, Budi daya, Usaha Perkebunan, Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan,

Tampilan menu Alphabet dapat dilihat pada gambar 5 yang didalamnya terdiri dari 6 tombol alphabet yang jika ditekan akan berbunyi sesuai ejaan Bahasa Inggris... Tekan

Fenomena anak jalanan dengan beragam permasalahannya tersebut, tidak bisa menghindarkan dari konflik batin yang kerap kali mereka alami, karena pada dasarnya apa