• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gerakan Masyarakat Adat Menguat dalam Wa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Gerakan Masyarakat Adat Menguat dalam Wa"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Gerakan Masyarakat Adat:

Menguat dalam Wacana dan Aksi, Melemah dalam Konstitusi

1

R. Yando Zakaria2

Pengantar

Sekitar sepuluh tahun lalu, tepatnya pada tahun 1993, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencanangkan Indigenous People Decade. Mudah diduga, dengan inisiatif-inisiatif semacam ini, PBB ingin mendorong sebuah proses bagi perbaikan-perbaikan situasi, entah itu kebijakan (internasional, regional, nasional, atau dalam cakupan wilayah yang lebih kecil), maupun program-program aksi lapangan, bagi subjek yang bersangkuran. Ini adalah puncak dari suatu proses diplomasi politik atas kejadian-kejadian buruk yang diderita oleh banyak masyarakat adat di seantero dunia. Termasuk Indonesia tentunya3.

Apa yang telah dicapai dalam ‘gerakan masyarakat adat’ dalam kurun waktu yang demikian itu? Berikut adalah beberapa catatan atasnya. Catatan ini hanya akan menyoroti, pada derajat tertentu pula, perkembangan di dalam negeri. Diharapkan ada pihak lain yang memberikan tinjauan pada tataran global.

Menguatnya Wacana dan Agenda Aksi

Jauh sebelum Indigenous People Decade dicanangkan, seperti juga di belahan dunia lain, masalah derita masyarakat adat di negeri ini, utamanya sebagai akibat dari agenda pembangunan yang diterapkan, telah mendapat perhatian berbagai pihak. Utamanya dari kalangan akademisi,4 dan terlebih lagi dari kalangan aktivis organisasi non-pemerintah

(ORNOP). Terlepas dari prespektif dan atau paradigma yang beragam di dalamnya. Mulai dari yang beranggapan itu merupakan akibat dari kekeliruan penerapan program pembangunan di lapangan pada satu ekstrim, hingga yang mempertanyakan secara mendasar paradigma pembangunan itu sendiri di ekstrim yang lain. Mudah di duga, umumnya, ekstrim pertama berkembang di kalangan birokrasi yang didukung oleh kalangan akademisi yang terkooptasi (baik secara birokrasi maupun pemikiran/ilmu pengetahuan mainstream) dan ORNOP ‘plat merah’.

1 Sebuah catatan berdasarkan personal memory untuk memperingati berakhirnya Indigenous People Decade, 1993 –

2003, dan Peringatan Hari Masyarakat Adat Nusantara, 17 Maret 2004. Dipresentasikan di hadapan publik untuk pertama kalinya pada Seminar Sehari “Menuju Kemandirian Masyarakat dan Wilayah Adat Dukuh di Era Otonomi Daerah”, yang diselenggarakan oleh Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Aktivitas Sosial, Garut, 24 Agustus 2004.

2 Senior Advisor pada Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA). Kritik dan saran harap

dialamatkan pada [email protected].

3 Saya menggunakan idiom masyarakat adat sebagai terjemahan untuk kata indegenous dengan alasan dan

pengertian tertentu yang tidak akan saya ulangi di sini. Silahkan periksa R. Yando Zakaria, “Isu Masyarakat Adat: Relevankah Bagi Indonesia?”, dalam Buletin Jaring, media komunikasi intern INPI (Indonesian NGOs Partnership Inisiatives) - Pact, Edisi Perdana, Maret 1998. Lihat juga R. Yando Zakaria, 2000. Abieh Tandeh, Masyarakat Desa di Bawah Rezim Orde Baru. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan PT. Pustaka Pelajar. Khususnya pada Bab 228 – 240.

4 Antara lain terlihat dari berbagai literatur dalam bidang kajian antropologi. Bahkan, pada Jurusan Antropologi

(2)

Bagi kalangan ORNOP yang dapat tidak digolongkan pada kelompok arus utama itu, kesaksian-kesaksian mereka atas penderitaan masyarakat adat telah mengantarkan mereka pada sebuah gagasan untuk melaksanakan sebuah pertemuan yang memang secara sengaja dimaksudkan untuk merumuskan hal-hal yang terkait pada strategi perjuangan bagi perbaikan situasi yang amat-sangat merugikan masyarakat adat. Pertemuan dimaksud akhirnya terselenggara di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, pada tanggal 25 – 29 Mei 1993. Pertemuan itu bertajuk “Lokakarya Pengembangan Sumberdaya Hukum Masyarakat Adat Tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam di dalam Kawasan Hutan”5. Setidaknya ada 3 hasil penting dari pertemuan di Tana Toraja ini. Masing-masing adalah sebagai berikut:

Pertama, disepakati bersama penyebutan ‘masyarakat adat’ sebagai ‘pengganti’ dari berbagai sebutan yang ada, seperti ‘masyarakat terasing’, ‘masyarakat rentan’, dan lain sebagainya, yang pada hakekatnya dianggap sebagai melecehkan keberadaan masyarakat adat. Kedua, dirumuskan pula apa yang dimaksudkan dengan masyarakat adat itu sendiri, yaitu “kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-menurun di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan wilayah sendiri”.6 Ketiga, disepakati pula pembentukan Jaringan Pembela Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA), sebuah jaringan kerja ORNOP yang berbasis di Jakarta maupun daerah, dan beberapa organisasi masyarakat adat sendiri, yang diharapkan dapat mendukung gerakan masyarakat pada masa-masa berikutnya.7 Gagasan dan agenda kerja yang muncul di Tana Toraja ini kemudian diperkuat dan dipertajam lagi pada pertemuan berikutnya di Desa Tabanan, Bali, tanggal 19 – 21 Desember 19938.

Semenjak itu praktis ‘isu hak masyarakat adat’ mewarnai berbagai inisiatif perlawanan kelompok-kelompok tertindas. Baik dalam kerangka kerja penguatan organsisasi rakyat, maupun dalam kerangka kerja advokasi kebijakan publik bagi perbaikan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Prespektif ‘penegakan hak masyarakat adat’ kemudian

5 Menurut salah seorang aktor kunci pertemuan itu, Arimbi Heru Putri, komunikasi pribadi pada tahun 1995,

judul ini memang dikemas sedemikian rupa agar tidak ‘mendapat halangan dari pihak yang berwajib’ (catatan: ketika itu rezim Orde Baru tengah ‘represif-represif’-nya). Sebab itu pula, pertemuan itu diselenggarakan pula di tempat yang relatif terpencil di satu pihak, dan dapat dilindungi oleh ‘tokoh berpengaruh’ di pihak lain. Pertemuan ini digagas dan didukung oleh berbagai ORNOP, kelompo masyarakat adat sendiri, dan individu-individu yang peduli terhadap penderitaan masyarakat adat ketika itu. Antara lain, LBH (Medan, Jakarta, Surabaya, Papua), KSPPM (Sumatera Utara), WALHI, LATIN (Bogor), Manikaya Kauci (Bali), Lembaga Bela Puti Jaji (Kaltim), WALDA (Tana Toraja), Yayasan Tanah Merdeka (Sulteng), Lembaga Bela Benua Talino (Kalbar), LBBP (Kaltim), Yayasan Rumsram (Biak, Papua), Yayasan Lorenz (Papua), Keuskupan Soorong (Papua), Yayasan Sosial Faumair Lestari (Papua), perwakilan-perwakilan masyarakat dari Sugapa (Sumut), Sumber Klampok (Bali), Nenggala (Tana Toraja), Kasimbar ( Sulawesi tengah), dan Bentian (Kaltim). Lihat JAPHAMA, 1993a, Laporan Pengembangan Sumberdaya Hukum Masyarakat Adat tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam di Dalam Kawasan Hutan di Luar Pulau Jawa.

6 Sebagai perumusan yang relatif bersifat umum, perumusan ini tentu rentan terhadap pertanyaan-pertanyaan

yang menyangkut pengoperasionalisasiannya di lapangan. Lihat misalnya kritik Tania Murray Li, 2002. “Keterpinggiran, kekuasaan, dan Produksi: Analisis Terhadap Transformasi Daerah Pedelaman”, dalam Tania Murray Li, 2002, ed., Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sebab itu saya coba membatasi wilayah pemberlakuannya pada kategori sosial yang disebut community (persekutuan hidup setempat). Lihat Zakaria, 2000., op.cit., hal. 241 – 249. Oleh sebab itu kebutuhan akan sebuah defenisi kerja yang lebih operasional memrupaka satu keniscayaan.

7. Lihat JAPHAMAa, 1993. ibid., Lihat juga Zakaria, 2000., op.cit., 241.

8 Pertemuan Bali ini, dengan jumlah peserta yang lebih kecil, pada dasarnya adalah pertemuan untuk

(3)

juga mewarnai gerakan rakyat yang didorong ORNOP melalui isu-isu gerakan yang lain, seperti dalam gerakan petani, reforma agraria, pengelolaan dan pengusahaan lingkungan, konservasi, perempuan, ekonomi, politik dan gerakan yang memperjuangkan keadilan lainnya9.

Semula, ‘alas hak’ bagi perjuangan pengembalian, pengakuan, dan perlindungan hak-hak masyarakat adat ini berpijak pada ketentuan-ketentuan yang ada pada Undang-undang Pokok Agraria 1960, yang betapapun lemahnya, telah mengatur hak-hak yang bersumber dari aturan-aturan hukum adat yang dikenal oleh suatu masyarakat adat. Belakangan kegiatan advokasi hak-hak masyarakat adat itu mulai pula didasarkan -- atau mengacu -- pada pengakuan Negara atas hak partisipasi masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat dan kegiatan pembangunan. Seperti yang terkandung dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup (1982); Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati (1990); Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman (1992); Undang-Undang Perekembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera (1992); Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman (1992); Undang-Undang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (1992); serta Undang-Undang Penataan Ruang (1992)10.

Sejauh yang dapat diamati, tuntutan-tuntutan itu seringkali mendapat kendala, serta mudah ditolak -- atau dimentahkan -- oleh pihak-pihak yang merasa akan dirugikan dengan adanya pengakuan hak-hak masyarakat adat ini. Boleh jadi, seperti yang dikemukakan Zakaria

9 Dalam konteks perlawan rakyat atas penindasan oleh negara di Indonesia, ‘prespektif penegakan hak

masyarakat adat’ inilah yang akhirnya dapat memepertemukan berbagai inisiatif perlawan dari kubu ‘gerakan petani dan reforma agraria’, ‘gerakan lingkungan’, dan ‘gerakan masyarakat adat’ sendiri, beserta gerakan dari ‘sektor lainnya’, yang praktis berakar dari ‘prespektif pemikiran’, bahkan ideologi, yang berbeda, sebagaimana yang tergambarkan dalam keterlibatan begitu banyak pihak yang ‘berbeda aliran’ itu dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara pada tahun 1999. Saya sendiri pernah ‘berdebat’ dengan beberapa aktivis ‘gerakan petani dan reforma agraria’ dalam lingkaran Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam sebuah pertemuan KPA di Jatinangor 199?. Perdebatan muncul karena ‘kata’ adat – dan pada akhirnya masyarakat adat -- mengandung penafsiran yang beragam, termasuk kaitannya dengan kenyataan adanya sistem sosial yang feodalistis dalam berbagai masyarakat adat itu sendiri. Namun, dengan ‘menurunkan’ daya cakup pengertian masyarakat adat ini pada skala komunitas (lihat uraian dalam bagian berikut), barulah perdebatan itu mendapatkan ‘titik temunya’. Perdebatan itu kemudian bermuara pada perlunya gerakan reforma agraria ini juga membicarakan soal ‘masalah tanah adat’, dan dengan sendirinya terlibat dalam ‘gerakan masyarakat adat’ itu sendiri. Pada masa berikutnya bahkan KPA menerbitkan Jurnal Masyarakat Adat (Bandung: BP KPA dan INPI Pact, 1998 - dst), yang sempat terbit dalam beberapa edisi. Karenanya pula dapat dimaklumi jika kemudian KPA menjadi unsur yang cukup penting dalam proses KMAN I itu. Betappun, kenyataan ini, bertemunya berbagai ‘jalur gerakan’ yang boleh jadi memiliki latar-belakang pemikiran yang relatif berbeda, menarik perhatian dan perlu dikaji lebih jauh. Hal ini pernah menjadi pertanyaan serius seorang aktivis yang lama ‘ngendon’ di WALHI, Suraya Affif, ketika hendak menulis disertasinya. Namun masalah itu bukan maksud dari tulisan ini.

10 Z a k a r i a , 2 0 0 0 , o p . c i t . , 2 0 0 – 2 0 1. L i h a t j u g a Stevanus Djuweng dan Sandara Moniaga,

(4)

dan Soehendera, (1995)11; Savitri (1995)12; dan P3AE UI (1996)13, sekedar menyebut

beberapa sumber saja, hal ini dapat terjadi baik karena pengakuan hak adat itu belum begitu jelas pengaturannya di lapangan; maupun karena sumber (dasar) hukum yang digunakan untuk memperjuangkannya masih bersifat sangat sektoral. Artinya, sumber-sumber hukum yang digunakan itu tidak langsung bicara tentang ‘kedudukan hak masyarakat adat’ itu sendiri di dalam tatanan peraturan-perundangan Nasional yang berlaku. Dengan kata lain, advokasi yang telah berjalan itu kurang didasari oleh peraturan-perundangan yang mengatur keberadaan hak-hak masyarakat dalam tatanan negara itu sendiri. Malah, seperti yang sering dikemukakan kalangan aktivis ORNOP, salah satu pasal yang ada dalam UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat 3 yang menimbulkan Hak Menguasai Negara, justru disebut sebagai sumber malapetaka penyingkiran hak-hak masyarakat adat. Khususnya yang menyangkut penguasaan sumber-sumber agraria.14

Situasi mulai berubah ketika muncul sebuah memeograf bertajuk “Dasar Hukum Pengakuan dan Pengukuhan Hak-hak Adat dalam Peraturan-perundangan Nasional Republik Indonesia” pada pertengahan tahun 1995, yang pada intinya menunjukkan ‘alas hak’ yang lebih meyakinkan. Dalam memeograf dimaksud saya menunjukkan bahwa ‘hak-hak masyarakat adat’ pada dasarnya telah diakui dalam konstitusi, sebagaimana yang diatur pada Pasal 18 UUD 194515.

Tak terlalu berlebihan jika dikemukakan di sini bahwa ‘temuan’ atas keberadaan Pasal 18 dalam UUD 1945, khususnya dalam kaitannya dengan pembelaan hak-hak masyarakat adat, berawal dari rasa penasaran saya. Ketika itu saya mempertanyakan; “Apa iya para pendiri Negara ini tidak pernah mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat ketika menyusun konstitusi?”. Pertanyaan ini muncul karena ‘kegemasan’ saya atas ‘alas hak’ yang digunakan dalam gerakan pembelaan hak masyarakat adat yang relatif lemah di satu pihak; dan di pihak lain, rasa penasaran tentang apa wujud sumbangan berbagai disiplin ilmu

11 R. Yando Zakaria & Djaka Soehendera “Pengaturan Hukum Adat Tanah dalam Perundang-undangan

Nasional dan Rasa Keadilan”, dalam Benny K. Harman, Paskah Irianto, Noer Fauzi, et.al., eds., Pluraliasme Hukum Pertanahan dan Kumpulan Kasus Tanah (Jakarta: YLBHI, 1995).

12 Myrna Safitri, “Hak dan Akses Masyarakat Lokal pada Sumberdaya Hutan: Kajian Peraturan

Perundang-undangan Indonesia”, dalam Ekonesia, No. 3 September 1995 (Jakarta: Forum Penelitian dan Pengembangan Antropologi Ekologi, Program Pascasarjana Universitas Indonesia: 1995).

13 P3AE Program Studi Antropologi Program Pascasarjana Universitas Indonesia, “Hak Penduduk Lokal Atas

Sumberdaya Lahan dan Hutan: Kendala dan Peluangnya dalam Peraturan-Perundangan di Indonesia” dalam

Naskah Akademis Penyempurnaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 (Tim Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967: tanpa tahun).

14 Zakaria, 2000, op.cit. Lihat pula kembali beberapa sumber yang telah diacu terdahulu. Periksa pula

publikasi-publikasi yang diterbitkan Konsorsium Pembaruan Agraria. Antara lain, Dianto Bachriadi, Erpan Faryadi, dan Bonnie Setiawan, 1997. Reformasi Agraria, Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia.

Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI & Konsorsium Pembaruan Agraria; Noer Fauzi & Dianto Bachriadi, 1998. “Hak Menguasai dari Negara (HMN)”, Kertas Posisi KPA No.004/1998, Bandung: Konsorsium Pembaruan Agraria; Benny K. Harman, et.al., 1995. Pluralisme Hukum Pertanahan dan Kumpulan Kasus Tanah. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia; dan Noer Fauzi, 1999. Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: INSIST Press, Pustaka Pelajar, dan Konsorsium Pembaruan Agraria.

15Memeograf ini kemudian ‘dibakukan’ ke dalam sebuah kertas kerja Indonesia Institute for Social and Cultural

Analysis (INDISCA). Lihat R. Yando Zakaria, 1996. “Dasar Hukum Pengakuan dan Pengukuhan Hak-hak Adat dalam Peraturan-perundangan Nasional Republik Indonesia”, INDISCA Working Paper, No. 2, Vol. III, Tahun 1996 (Jakarta: Indonesia Institute for Social and Cultural Analysis/INDISCA). Ketika masih berupa

(5)

pengetahuan seperti Hukum Adat, Indologi, Etnologi, dan sejenisnya, dalam permasalahan ini. Apakah benar hal ini sama sekali tidak disinggung dan dipertimbangkan ketika para

founding mother menyusun dasar-dasar negara ini?16

Belakangan saya baru memperoleh sebuah tulisan Prof. Matulada, seorang antropolog senior dari Universitas Hasanuddin, Makassar, di sebuah jurnal yang juga menyinggung keberadaan Pasal 18 ini ketika menunjukkan adanya pengakuan keberadaan kemajemukan budaya di Indonesia dalam konstitusi. Tulisan Matulada ini, seingat saya, membahas soal Kebudayaan Nasional dan eksistensi budaya lokal di dalamnya. Sayang, saat ini saya tak dapat menemukan lagi arsip tulisan yang dimaksudkan, sehingga tak dapat merinci judul, sumber, dan tahun terbitnya. Terlebih lagi soal pokok-pokok pikirannya tentang hak masyarakat adat (kalaupun ada tentunya). Sekitar satu tahun kemudian, baru saya mengetahui bahwa keberadaan Pasal 18 telah pula disebut-sebut dalam disertasi Sardjono Jatiman.17 Namun, uraian Jatiman tentang Pasal 18 UUD 1945 dan Penjelasannya tak lebih

dari dua alenia (satu panjang dan satu pendek), yang pada intinya adalah ‘ringkasan’ dari Pasal 18 dan Penjelasannya, sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945.

Dalam selang waktu yang tidak terlalu lama, saya memperoleh 3 dokumen penting secara sekaligus.18 Dua dokumen pertama merupakan hasil studi yang cukup luas tentang

pemberlakukan UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa, yang diselenggarakan atas kekuatiran atas dampak yang akan ditimbulkannya. Laporan dua jilid itu menghabiskan 600 halaman lebih dengan naskah ketik 1,5 spasi! Konon, menurut Noer Fauzi, seorang karib saya yang aktif dalam gerakan petani dan reforma agraria, menurut sumber yang tidak disebutnya atau saya yang lupa, hasil studi ini sebenarnya memberikan kritik yang tajam atas kebijakan pemberlakukan UU No. 5/1979 yang menyeragamkan berbagai unsur desa itu. Konon, kritik ini tidak diterima oleh pihak Departemen Dalam Negeri sebagai ‘pemesan’ penelitian itu. Kritik itu berbeda sama sekali dengan kesimpulan-kesimpulan dan rekomendasi yang tercantum pada naskah laporan yang disusun Soemardjan dan Tim Peneliti (1988). Karenanya, dalam memahami masalah dampak pemberlakukan UU. No.5/1979, kita tidak boleh menerima dokumen laporan itu begitu saja. Info yang demikian menemukan titik kebenarannya ketika Prof. Taufik Abdullah, salah seorang anggota Tim Penelitian YIIS ketika itu, bersuara miring soal pemberlakukan UU. No. 5/1979. Dalam suatu kesempatan pada sebuah seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2002 lalu, Sejarawan senior yang tengah menjabat Ketua LIPI ketika itu secara meyakinkan mengatakan bahwa pemberlakuan UU No. 5/1979, yang telah menimbulkan dampak negatif yang tidak terhingga itu, merupakan kesalahan sejarah Nasional terbesar yang pernah terjadi selama ini.

16 Pertanyaan-pertanyaan tentang sumbangan Ilmu Hukum Adat dan Indologi/Etnologi ini muncul, harap

dipahami, karena latar-belakang pendidikan formal saya yang menempuh pendidikan S1.

17 Sardjono Jatiman, 1995. Dari Kampung Menjadi Desa, Studi Sosiologi Perubahan Pemerintahan Desa di Kabupaten

Sambas Kalimantan Barat. Disertasi S3 Ilmu Sosiologi pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia, tidak diterbitkan.

18 Masing-masing adalah Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri & Yayasan

(6)

Boleh jadi, kritik tajam dari penelitian yang dilakukan Soemardjan dan kawan-kawan tadi terekspresikan dalam Soemardjan (1991). Berbeda dengan dokumen-dokumen laporan penelitian sebelumnya, Soemardjan cukup luas mengelaborasi Pasal 18 UUD 1945, khususnya berkaitan dengan pengertian otonomi desa, sebagaimana yang dimandatkan oleh Pasal 18 UUD 1945. Meski kesimpulan Soemardjan dibungkus dalam rumusan kalimat tanya, sebagaimana yang dapat dilihat pada judul tulisan dimaksud, hemat saya, jelas sekali bahwa Soemardjan hendak mengatakan bahwa UU. No.5/1979 tidak sesuai – saya pribadi lebih memilih kata bertentangan -- dengan jiwa Pasal 18 UUD 1945. 19 Dalam bagian Kesimpulan Soemardjan antara lain menulis: “Menurut UU No. 5/1979 desa de jure (menurut hukum formal) tidak otonom, tetapi dianggap mempunyai hak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Namun, de facto (dalam kenyataannya) desa dianggap memiliki status badan hukum yang berhak memilih kepala desa, memiliki kekayaan, maju di muka pengadilan, melakukan pungutan-pungutan dan mempunyai sumber penghasilan lain”. Dan di bagian Saran-saran ditulis: “Disarankan agar kedudukan desa di dalam pemerintahan diselaraskan antara kedudukannya de jure dan de facto”.

Sekitar satu tahun berikutnya, saya baru pula memperoleh disertasi Bhenyamin Hoessein.20 Berbeda dengan Jatiman (1995); Zakaria (1996), dan Soemardjan (1991),

penyebutan dan pembahasan keberadaan Pasal 18 dalam kajian Hoessein lebih terkait pada soal pemerintahan daerah. Pembahasan Pasal 18 dengan perhatian yang lebih besar pada keberadaan komunitas baru muncul pada Pidato Pengukuhan Guru Besarnya di Universitas Indonesia, yang kemudian diterbitkan utuh dalam sebuah jurnal.21

Praktis, seingat saya, setelah memeograf itu muncul, mulai banyak publikasi, terutama dari kalangan ORNOP sendiri, yang menyebut-nyebut keberadaan Pasal 18, khususnya yang berkaitan dengan adanya pengakuan konstitusi atas keberadaan dan hak-hak masyarakat adat, sebagai wujud pembelaan hak-hak masyarakat adat, sebagaimana yang terdapat dalam beberapa sumber yang dirujuk dalam tulisan ini. Salah satu yang terawal dalam perkembangan ini adalah Arianto Sangaji (1997).22 Sejak itu, dalam berbagai pertemuan yang dimaksudkan sebagai arena advokasi pembelaan hak-hak masyarakat adat, para warga masyarakat adat atau pemimpin organisasi-organisasi masyrakat adat dengan fasih dan lantang mengutip Pasal 18 sebagai ‘alas hak’ bagi keharusan negara mengakui,

19 Lihat beberapa sumber dari Zakaria yang telah disebutkan dalam tulisan ini. Menurut hemat saya, hal ini

bukannya sekedar ‘tidak sesuai’, melainkan merupakan suatu ‘pelanggaran’ (lihat juga R. Yando Zakaria, “Penegasian Hak-Hak Masyarakat Adat Sebagai Sumber Krisis Integrasi Nasional di Masa Depan”, makalah yang disampaikan pada “Widyakarya Nasional Antropologi dan Pembangunan”, diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan DEPDIKBUD dan Panitia Kongres Asosiasi Antropologi Indonesia, 26 - 27 Agustus 1997, sebuah tulisan yang dipublikasikan jauh sebelum UU No. 22/1999 muncul). Lihat juga dokumentasi-dokumentasi penyelenggaraan Kongres Masyarakat Adat Nusantara yang diselenggarakan tahun 1998. Hemat saya, frasa ‘tidak sesuai’ membangun citra adanya ‘ketidaksengajaan’, meminjam kata-kata Noer Fauzi, hasil dari suatu ‘sesat pikir’. Sedangkan frasa ‘pelanggaran’ justru akan bercitra sebaliknya (lihat juga Zakaria, 2000, op.cit., khususnya Bab III). Karenanya kejadian itu layak pula ditindaklanjuti secara hukum dan politik.

20 Bhenyamin Hoessein, , 1993. Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II. Disertasi

pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia, tidak diterbitkan.

21 Bhenyamin Hoessein,1996. “ Memutar Roda Desentralisasi: Dari Efisiensi Ke Demokrasi”, dalam PRISMA,

No.4, April 1996. Jakarta: LP3ES.

22 Arianto Sangaji, “Negara, Masyarakat Adat dan Kapitalisme: Bagaimana Advokasi Ornop?”, makalah yang

(7)

mengembalikan, memulihkan, dan melindungi hak-hak mereka yang telah dirampas selama ini.

Sejauh yang saya pahami, klaim berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 ini kemudian menjadi ‘alas hak’ baru dalam advokasi hak-hak masyarakat adat pada masa-masa berikutnya, dan mendapatkan dukungan politik yang lebih luas pada Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN), yang berlangsung di Jakarta, pada bulan Maret 1999. Ketika itu angin reformasi baru saja mulai berhembus, mengiringi turunnya Soeharto, seorang (pensiunan) jenderal, yang telah berkuasa sekitar 32 tahun terakhir, dari kursi kepresidenan setahun sebelumnya.

‘Komunitas epistemis’ yang gigih menyuarakan berbagai pandangan tentang perlunya mengakui, mengembalikan, memulihkan, dan melindungan hak-hak masyarakat adat pun dapat dikatakan terbentuk.23 Saya sengaja agak berpanjang-panjang soal perjalanan yang berkaitan dengan gagasan dalam gerakan masyarakat adat ini, termasuk perkembangannya. Sebab “untuk mempelajari proses perubahan kebijakan kita perlu memahami kekuatan gagasan dan bagaimana ia diterapkan oleh para pelaku yang berada dan bertindak dalam konteks kelembagaan tertentu”.24 Gagasan “ ... berperan untuk menunjukkan kepada para pelalu (di arena publik) ... tujuan mereka yang semestinya, mengapa tujuan ini lebih penting ketimbang tujuan lainnya, bagaimana ia dicapai, serta siapa yang menjadi kawan dan lawan dalam proses pencapaiannya.”25 Dalam promosi gagasan tertentu, keberadaan ‘komunitas epistemis’ menjadi variabel kelembagaan yang penting26, ia berperan menjembatani gagasan dan publik yang ingin dipengaruhinya.27

Pada saat KMAN 1999 berlangsung, RUU tentang ‘Otonomi Daerah’, yang kemudian diundangkan sebagai UU No. 22/1999, sedang memasuki tahap-tahap akhirnya. Sebagaimana telah diketahui bersama, entah terkait langsung dengan gerakan advokasi pembelaan hak-hak masyarakat adat atau tidak28, jiwa Pasal 18 UUD 1945 kembali menjadi

23 Yang dimaksudkan dengan komunitas espistemis adalah jaringan individu yang muncul dan berkembang

untuk menyuarakan gagasan tertentu. Hubungan mereka bersifat formal maupun informal. Yang mempersatukan mereka adalah ‘keyakinan atau kepercayaan bersama atas kebenaran serta perlunya penerapan bentuk pengetahuan tertentu itu’ (Haas, 1992, dalam Rizal Malarangeng, 2002. Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986 – 1992. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia & Yayasan Adikarya IKAPI dan the Ford Foundation. Hal. 24 - 25.

24 Malarangeng, 2002, ibid, hal.14.

25 Adler, 1986, dalam Malarangeng, ibid., 2002. Hal. 14. 26 Lihat juga Malarangeng, 2002, ibid., hal. 24.

27 Dalam kaitan pentingnya mengenali peran gagasan dalam gerakan masyarakat adat, sebenarnya, menarik

untuk mengidentifikasi siapa-siapa saja yang menjadi warga ‘komunitas epistemis’ dimaksud, termasuk pokok-pokok gagasan yang gigih diwacanakannya, dan basis gerakannya, di luar beberapa orang yang telah disebut-sebut dalam tulisan ini. Namun, untuk menghindari kemungkinan ‘pendakuan yang berlebihan’, uraian yang demikian perlu didukung data yang memadai, suatu kebutuhan yang belum bisa saya lakukan dalam kesempatan ini. Mudah-mudahan bisa dalam kesempatan yang lain. Satu hal yang jelas di sini adalah, kebutuhan yang demikian itu bukanlah suatu yang mudah dilakukan. Di satu pihak, terutama karena pengembangan wacana tentang masyarakat adat praktis tidak mendapat tempat yang memadai dalam media massa yang umum. Wacana ini lebih berkembang melalui tulisan-tulisan yang beredar melalui berbagai pertemuan, yang relatif terakses publik dalam jumlah yang relatif terbatas. Daya jangkau pribadi kemudian menjadi saluran pengumpulan sumber-sumber data, suatu yang secara metodologis sangat dapat dipertanyakan tingkat kesahihannya. Di pihak lain, dalam kenyataannya, audience subjek pembicaraan tentang masyarakat adat ini lebih akrab dengan media komunikasi secara lisan ketimbang tulisan. Sehingga terlalu banyak moment penyampaian gagasan – dimana wacana itu dikembangkan -- tidak terdokumentasi dalam wahana yang dapat dipelajari pada waktu-waktu setelah moment itu berlalu.

28 Hal ini perlu pula ditelusuri lebih jauh, khususnya jika kita hendak memahami efektivitas kegiatan advokasi

(8)

dasar bagi pengaturan yang berkaitan dengan keberadaan ‘susunan asli’ itu. Khususnya ketika UU No. 22/1999 mengatur tentang ‘Pemerintahan Desa’, seiring pencabutan UU No. 5/1979 yang telah mencelakakan masyarakat adat itu.29

Seiring perkembangan zamannya, dipicu pula oleh kekecewaan pada kinerja parlemen hasil Pemilu 1999, gerakan pembelaan hak-hak masyarakat adat mulai pula melangkah pada perumusan agenda politik dalam jalur ‘politik formal’, khususnya berkenaan dengan posisi dan eksistensi masyarakat adat sebagai blok politik di parlemen. Meski isunya telah bergulir pada waktu-waktu sebelumnya, agenda ini baru secara resmi disuarkan pada Seminar dan Lokakarya bertajuk “Penataan Politik Nasional menuju Kedaulatan masyarakat di Era Otonomi Daerah”, yang diselenggarakan bersamaan dengan Rapat Kerja Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang berlangsung di Liwa, Lampung Barat, pada tanggal 10 – 12 Januari 2002. Rangkaian kegiatan di Liwa ini kemudian melahirkan dokumen bertajuk Keharusan Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat, Agenda Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan Strategi dan rencana Aksi penguatan Posisi Politik Masyarakat Adat Nusantara, 2002 – 2003, yang pada hakekatnya adalah Lampiran Salinan Keputusan rapat Kerja Dewan Nasional AMAN No. 10/SDDAMAN/1/2002.30 Dalam dokumen ini antara lain disebutkan bahwa “Perluasan Partisipasi Politik masyarakat adat dilakukan dengan

satu kesempatan pernah menyerahkan Working Paper INDISCA yang memuat gagasan tentang diakui dan dihormatinya hak-hak masyarakat adat itu, berikut satu berkas Laporan Penelitian yang tengah saya kerjakan atas sponsor Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), yang kemudian diterbitkan sebagai buku (Zakaria, 2000, op.cit.).

29 Informasi lebih jauh tentang ‘serba-serbi’ penyelenggaan KMAN I ini lihat Aliansi Masyarakat Adat

Nusantara, Catatan Hasil Kongres Masyarakat Adat Nusantara. 1999.

30 Sejak sekitar pertengahan tahun 2001, saya telah mengedarkan sebuah ‘catatan seperempat jadi’ yang bertajuk

(9)

menciptakan, memanfaatkan dan mengembangkan ruang politik yang berada di tingkat lokal/komunitas masyarakat adat, kabupaten dan tingkat Nasional”.31

Setelah melalui pengunduran jadwal penyelenggaraan beberapa kali, pada akkhirnya, Kongres Masyarakat Adat Nusantara II pun akhirnya terlaksana. Berbeda kontras dengan penyelenggaraan KMAN I, yang diselenggarakan di jantung ibukota Jakarta, di sebuah hotel berbintang empat32, KMAN II diselenggarakan di sebuah desa, yakni Tanjung, Lombok

Barat, Nusa Tenggara Barat, pada tanggal 19 – 26 September 2003 lalu. Sedikitnya-banyaknya, dengan diselenggarakannya KMAN II ini, AMAN berhasil survive, ditengah segala keterbatasannya, dan juga kritik yang makin sistimatis, seiring dengan pelembagaan gerakan pembelaan hak-hak masyarakat adat ini.33 Dalam kongres kedua ini topik-topik pembicaraan

dan penyataan-pernyataan sehubungan dengan upaya penegakan hak-hak masyarakat adat terlihat makin spesifik, dan untuk beberapa hal juga semakin teknis. Ini menunjukkan gerakan masyarakat tidak lagi hanya berkutat dengan pendakuan-pendakuan (claiming) dan tuntutan-tuntuan yang bersifat simbolik dan relatif etis, tetapi telah menapak pada langkah-langkah operasional dari pendakuan dan tuntutan itu. Dengan begitu, gerakan masyarakat tidak lagi hanya berpusat pada ‘pekerjaan-pekerjaan bongkar’, tetapi juga sadar pada keharusan untuk melakukan ‘pekerjaan-pekerjaan pasang’.34

Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa, gerakan masyarakat dalam artian sebagai wacana maupun agenda aksi, mengalami kencenderungan menguat dari waktu ke waktu, terlepas dari ada-tidaknya pengaruh baiknya secara langsung terhadap kehidupan masyarakat adat sehari-hari. Hampir tidak ada pertemuan yang berkaitan dengan penyusunan kebijakan publik dan/atau kegiatan sejenisnya, baik yang diselenggarakan oleh ORNOP, kalangan pemerintahan, bahkan juga dunia usaha, yang merasa nyaman jika tidak dihadiri oleh ‘utusan’

31 Masing-masing sasaran, yaitu Tingkat Lokal, Tingkat Daerah, dan Tingkat Nasional, memiliki tujuan dan

syarat yang diperlukan yang berbeda satu sama lainnya. Lebih lanjut kemudian dirumuskan susun syarat-syarat yang harus dipenuhi. Lebih lanjut lihat Keharusan Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat, Agenda Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan Strategi dan rencana Aksi penguatan Posisi Politik Masyarakat Adat Nusantara, 2002 – 2003, yang pada hakekatnya adalah Lampiran Salinan Keputusan rapat Kerja Dewan Nasional AMAN No. 10/SDDAMAN/1/2002, hal. 13 – 18.

32 Pemilihan tempat ‘bergengsi’ yang demikian itu bukanlah sekedar untuk ‘bermewah ria’, melainkan secara

sadar dimaksudkan sebagai show of` force, bahwa masyarakat adat juga mampu menyelenggarakan pertemuan sebagaimana yang kerap diselenggarakan oleh institusi-institusi yang selama ini menggilas hak-hak mereka. Kesimpulan ini diambil dalam rapat yang melibatkan seluruh unsur yang mendukung kongres. Termasuk dari kalangan masyarakat adat sendiri. Keputusan pun diambil setelah perdebatan yang cukup alot.

33 Ini suatu yang wajar terjadi dan tak harus membuat surut semangat AMAN. Betapun kritik-kritik itu harus

‘ditanggapi secara proporsional’, mengingat beberapa kerentanan yang menyatu pada berbagai sebutan, istilah, konsep-konsep yang muncul dalam gerakan masyarakat adat ini. Kritik yang sistemmatis juga merupakan konsekwensi logis dari pelembagaan gerakan ini. Sebab, seiring dengan pelembagaan itu, gerakan masarakat juga dituntut merumuskan berbeagai gagasannya secara formal (yang digunakan dalam aksi/gerakan), suatu hal yang tak begitu penting dalam masa-masa sebelumnya. Formalisasi gagasan inilah yang kemudian menjadi alas dari kritik dimaksud. Dengan kenyataan ini AMAN kemudian ditutut untuk lebih mampu lagi melahirkan rumusan-rumusan yang dapat melencengkan semangat gerakan yang sesungguhnya (pembelaan pada kelompok-kelompok yang dimarginalkan/oppressed groups), sekaligus mudah ditunggangi oleh ‘penumpang gelap’ (atas nama adat kemudian melakukan penindasan terhadap kelompok-kelompok tertindas lainnya, seperti perempuan, atau bangkitnya kaum ‘feodal’, yang potensial menjadi kelompok penindas yang baru).

34 Hal ini tergambarkan, antara lain, sebagaimana yang diperbincangkan dalam berbagai panel selama kegiatan

(10)

masyarakat adat atau yang dianggap mewakilinya (baca: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN).35 Sebutan ‘masyarakat adat’ – meski dalam beberapa kesempatan

kehidupan keseharian masih ada gerutuan soal ini -- kemudian menjadi sebutan yang digunakan oleh berbagai kalangan di berbagai pertemuan formal dan informal, atau interkasi harian sekalipun. Berbagai literatur yang ‘menjelaskan’ maupun yang ‘mengkritisi’ – bahkan ada yang menolak -- konsep masyarakat adat pun makin kerap muncul. Baik berupa makalah-makalah yang dipresentasikan pada seminar dan lokakarya, laporan proyek, jurnal ilmiah, buku, dan sebagainya. Berbagai program untuk ‘penguatan masyarakat adat’ yang disponsori negara, badan-badan pembangunan seperti Bank Dunia, PBB, dan juga ‘lembaga donor swasta asing’ (umumnya dari negara-negara Utara) bukan sesuatu yang aneh lagi. Berbagai kajian tentang keberadaan dan segala dinamika kehidupan masyarakat pun makin banyak pula dilakukan. Sejauh yang saya tahu, soal-soal seputar masalah masyarakat adat ini kemudian menjadi bahan kajian penyusunan skripsi S1, bahkan tesis/disertasi S2 dan S3.

Berkaca pada beberapa kasus advokasi yang terjadi, paling tidak dalam 5 – 7 tahun terakhir ini, untuk sementara dapatlah dikatakan bahwa posisi tawar masyarakat cenderung menguat. Namun, harus segera ditambahkan di sini, itu bukan berarti bahwa tak ada lagi penggusuran atas keberadaan masyarakat adat dalam beberapa tahun bnelakangan ini. Hanya saja, berbeda dengan keadaan pada tahun-tahun sebelumnya, dalam kasus-kasus baru itu, masyarakat adat – sedikit banyaknya – telah memiliki kendaraan perjuangannya. Berbagai surat protes dari berbagai ORNOP maupun dari oragnisasi-organisasi yang berbasis pada masyarakat adat sendiri bukan sesuatu yang susah lagi diupayakan. Masalahnya kemudian adalah apakah kecenderungan itu memiliki dukungan peraturan-perundangan yang lebih kuat dari masa sebelumnya; dan juga, apakah didukung oleh pengorganisasian masyarakat adat yang lebih kuat pula dari masa-masa sebelumnya di tingkat lapangan?

Melemahnya Pengakuan dalam Konstitusi

Sayangnya, berbeda dengan kecenderungan pada tingkat wacana dan aksi, eksistensi masyarakat adat dalam konstitusi dan berbagai peraturan-perundangan yang ada justru terlihat cenderung melemah dari keadaan sebelumnya. Banyak pengaturan yang muncul kemudian menimbulkan pertanyaan di lapangan. Tak tersedia jawaban atas permasalahan itu. Misalnya, pada Bab 1, Ketentuan Umum, butir h UU No. 22/1999 dikatakan bahwa “Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesusai degan peraturan-perundangan”. Pertanyaan yang muncul segera adalah: apakah dalam

35 Antara lain tergambarkan dalam begitu banyaknya ‘Pernyataan Sikap’ yang dikeluarkan oleh AMAN sepanang

(11)

pengertian ‘otonomi daerah’ termasuk pula ‘otonomi desa’ (baca: ‘otonomi masyarakat adat’ atau ‘otonomi komunitas adat’), sebagaimana yang diinginkan oleh gerakan masyarakat adat selama ini?36

Begitu pula, masih pada bagian yang sama, butir i, hanya dikatakan bahwa “ Daerah otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pertanyaannya adalah apakah pengertian ini berlaku pula bagi Desa? Padahal, dalam Bab 1, Ketetuan Umum ini tidak ada butir yang menyebut adanya ‘otonomi

desa’. Hanya secara implisit disebutkan dalam butir e (perhatikan frasa ‘kesatuan masyarakat hukum’). Pertanyaannya, apakah rumusan pada butir e. ini dapat disamakan dengan ‘otonomi

desa’?

Masalahnya lagi, dalam rumusan butir e ini, kata hak yang ada pada pasal 18 UUD 1945 yang diacu oleh UU ini -- lihat Penjelasan, Umum, Nomor 9, Pemerintahan Desa, butir (1) – dihilangkan. Hal yang sama juga terjadi pada Pasal 93 UU No. 22/1999. Kalaupun kata hak asal-usul disebutkan utuh dalam Penjelasan, umum, nomor 9, butir (1), kedudukannya menjadi lemah. Ini terkait dengan masalah kedudukan Penjelasan dalam UU dan UUD, di mana dikatakan bahwa Penjelasan atas UU dan UUD adalah tidak mengikat karena tidak ada dasar hukumnya, sebagaimana pendapat Prof. Dr. Harun Al Rasjid, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia.37

Karenanya, status Pemerintahan Desa menjadi tidak jelas: apakah bersifat otonom ataukah bersifat administratif belaka?38 Pada Bab II, Pembagian Daerah, Pasal 2, ayat (1)

menurut UU No. 22/1999, desa tidak termasuk dalam macam satuan bagian wilayah. Pada pasal ini hanya disebutkan bahwa “Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang bersifat otonom”. Pada ayat 2-nya disebutkan bahwa “Provinsi berkedudukan juga sebagai wilayah administrasi”.

Begitu pula, desa tidak disebut-sebut dalam Bab III yang mengatur soal Pembentukan dan Susunan Daerah. Di mana letak desa? Padahal, jika mengacu pada Pasal 18 UUD 1945, pembagian wilayah itu juga mengacu hingga desa (tersirat pada Penjelasan Pasal 18 butir II, UUD 1945). Apakah, dengan pengaturan yang demikian itu, yang dimaksudkan dengan ‘otonomi desa’ itu adalah bagian dari ‘otonomi daerah’-nya Kabupaten, sebagaimana yang diisyaratkan dalam Kententuan Umum, Pasal 1, butir o? Jika memang begitu adanya maka wajar saja jika ‘otonomi desa’ adalah sisa-sisa dari otonomi daerah kabupaten!

Buruknya lagi, posisi ‘otonomi desa’ dan/atau ‘otonomi asli’ yang pada hakekatnya adalah ‘hak bawaan’ akan melemah menjadi sekedar ‘hak berian’. Sebagai ‘hak berian’, dengan sendirinya, sewaktu-waktu bisa kuat dan sewaktu-waktu bisa lemah, tergantung corak

36 Soal adanya tuntutan atas ‘otonomi desa’ atau ‘otonomi masyarakat adat’ silahkan periksa berbagai sumber

yang telah saya acu di atas.

37 Lihat Majalah Detektif dan Romantika (D&R), No. 52/XXVIII/16 Agustus 1997 (Jakarta: PT. Analisa Kita),

hal. 72 – 73. Menurut Prof. Dr. Harun Alrasyid, bagian “Penjelasan” UUD 1945 tidak dirumuskan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, melainkan dirumuskan sendiri oleh Soepomo. Bahkan, setahun kemudian, tahun 1946, selaku Menteri Kehakiman, Soepomo melampirkannya sebagai penjelasan resmi UUD 1945, yang menurut Alrasjid, tidak ada dasar hukumnya.

38 Pada Bab 1, Ketentuan Umum, Pasal 1, Butir b disebutkan bahwa “Pemerintah Daerah adalah Kepala

(12)

hubungan Pusat dan Daerah. Hal ini tentunya tidak benar dan mengingkari semangat konstitusi! Karena konstitusi mengamanatkan ‘hak asal-asul’ sebagai hak ‘hak bawaan’. 39

Padahal, pada Pasal 94 disebutkan bahwa Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa. Tidak ada aturan tentang statusnya, kecuali harus ditafsirkan pada aturan yang tercantum pada Bab 1, Ketentuan Umum, Pasal 1, butir o. Penjelasan untuk Pasal 94 ini juga tidak menyebut-nyebut – atau menjelaskan -- soal status: apakah Pemerintahan Desa juga merupakan penyelenggara otonomi daerah menurut azas disentralisasi, sebagaimana yang diberikan pada daerah otonom (Bab 1, Ketentuan Umum, Pasal 1, butir d, e, dan h), atau bukan.

Masalahnya, jika Pemerintahan Desa bukan merupakan Pemerintahan yang otonom, mengapa pula dalam Penjelasan, Umum, Nomor 9, Pemerintahan Desa, butir (1), disebutkan bahwa “...Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli (penebalan oleh saya), demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat”?

Betatapun, di satu sisi, perumusan yang demikian itu dapat dilihat sebagai adanya hasrat untuk mengakui otonomi asli. Sayangnya, tidak ada keterangan yang rinci tentang apa pula yang dimaksud dengan otonomi asli ini. Namun, lagi-lagi, posisinya mengapa hanya pada bagian Penjelasan yang lemah kedudukannya dalam hukum ketatanegaraan kita? Mengapa ia tidak disebutkan dalam Bab 1, Ketentuan Umum, Pasal 1, yang sejatinya berisikan pengertian-pengertian pokok yang menjadi induk bagi pengaturan masalah-masalah yang lebih teknis dalam pasal-pasal berikutnya?

Alhasil, soal ada atau tidak adanya ‘otonomi desa’ dan/atau ‘otonomi asli’ itu memang pelik dan debatable. Pertama, ia tidak secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 18 UUD 1945. Sebelum amandemen ia hanya disebutkan dalam bagian Penjelasan. Itu pun dengan menyebut-nyebut konsep ‘susunan asli’ sebagai pengganti dari

zelfbesturendellandschappen (Daerah Swapraja, pen.) dan volksgemeenschappen (seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dan lain sebagainya). Lebih dari itu, masalahnya, seperti telah disebut tadi, kedudukan Penjelasan ini relatif lemah dari sudut hukum ketatanegaraan. Malah ada pakar hukum tatanegara yang ‘menolak tunduk’ pada Penjelasan UUD 1945 ini.

Sekilas, keadaannya relatif membaik setelah amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000 lalu. Pada pasal 18B, hasil amandemen itu, diatur bahwa: “(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang; (2) negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Ini dapat dianggap sebagai pintu masuk untuk keharusan melahirkan undang-undang ttg. otonomi desa dan/atau keberadaan masyarakat adat!

Begitu pula dengan kehadiran Bab XA, Hak Azazi Manusia, Pasal 28i, yang menyebutkan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman”. Meski begitu, dikaitkan pada ‘politik sistem birokrasi

39 Ulasan lebih jauh lihat R. Yando Zakaria, “Mewujudkan Otonomi Desa, Menunggu Godot?”, Makalah yang

(13)

pemerintahan’ yang ada, dari pasal-pasal hasil amandemen UUD 1945 ini tidak juga ada pernyataan eksplisit tentang adanya ‘otonomi desa’ ataupun ‘otonomi asli’ itu.

Jika adanya pengakuan akan ‘otonomi desa’ itu dapat ditunjukkan dengan adanya perumusan ‘negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat (seperti desa, Nagari, Banua, huta, dll., misalnya) beserta hak-hak tradisionalnya (hak-hak untuk mengurus rumahtangganya sendiri, seperti ‘sebelum belum adanya negara)’, sebagaimana yang sering disuarakan oleh pendukung gerakan masyarakat adat dan otonomi

desa selama ini, masih ada dua jebakan lain. Pertama, siapa yang akan menentukan bahwa masyarakat hukum adat itu ‘masih ada’ dan ‘sesuai dengan perkembangan masyarakat’ itu?; kedua, ukuran-ukuran apa saja yang akan digunakan untuk menentukan masyarakat hukum adat itu masih ada dan sesuai atau tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat?

Namun, khususnya berkaitan dengan hukum ketatanegaraan, masalah yang lebih penting dari kedua masalah di atas adalah telah diubahnya perumusan dan/atau keberadaan ‘hak asal-usul’ pada Pasal 18 UUD 1945 menjadi sekedar ‘hak-hak tradisional’ pada Pasal 18B ayat (2) yang telah dikutipkan di atas. Dengan perumusan yang demikian, pengakuan hukum dan politik dari satuan masyarakat hukum adat – sebagaimana yang terkandung dalam konsep ‘hak asal-usul’ -- diubah menjadi sekedar pengakuan terhadap tradisi dari masa lampau, yang dapat saja disingkirkan jika dinilai telah ‘tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat’. Padahal, hemat saya, keharusan bagi pengakuan atas hak-hak masyarakat hukum adat tidak terletak pada keunikan tradisi masa lampu itu, melainkan terletak pada pengakuan atas hak masyarakat adat untuk mengatur kehidupannya sendiri, dalam konteks waktu kini sekalipun40.

Andai saja rumusan ini tidak diubah menjadi ‘hak-hak tradisional’, melainkan tetap sebagai ‘hak asal-usul’, kedua masalah yang telah disebut terdahulu akan lebih mudah diluruskan. Utamanya dengan menegakkan prinsip self identification, sebuah prinsip yang melekat pada ‘hak asal-usul’ sebagai ‘hak bawaan’ itu. Dengan cara ini satuan-satuan komunitas itu sendirilah yang akan menentukan apakah mereka mewujudkan suatu satuan masyarakat hukum adat tertentu, dengan segala hak-hak untuk mengurus kehidupan bersamanya sendiri, sebagaimana yang telah diakui dalam konvnsi-konvensi Internasional tentang masalah ini, seperti Konvensi ILO No. 169 misalnya.

Sayangnya pasal-pasal UUD 1945 hasil amandemen tidak memiliki Penjelasan yang dapat kita pedomani dalam (lebih) menjernihkan simpang-siur pengakuan hak-hak masyarakat adat dan/atau otonomi desa ini41. Akibatnya, pengertian-pengertian yang

menyangkut ‘susunan asli’ (menyangkut keberadaan desa atau yang disebut dengan nama lain), ‘bersifat istimewa’ (tidak diperlakukan sama untuk setiap keadaan), ‘hak asal-usul’ (hak yang muncul dari perkembangan satuan masyarakat itu sendiri), dan ‘otonomi asli’ (sebagai hak bawaan yang berbeda kedudukannnya jika dibandingkan dengan hak berian seperti yang

40 Oleh sebab itu saya menolak, dalam pengertian mengutamakan, faktor sejarah dalam menentukan sesuatu itu

adat atau bukan, dan akhirnya apakah satuan sosial tertentu itu mewujudkab diri sebagai masyarakat (hukum) adat atau bukan.. Bagi saya dimensi waktu hanyalah fungsi dari sesuatu kesepakatan masyarakat menjadi sesuatu yang kemudian disebut adat atau bukan. Dengan begitu, tentu saja sebuah adat telah melalui suatu proses pelembagaan yang membutuhkan waktu tertentu. Meski begitu, bagi saya, makna azazi dari adat itu terletak pada kedaulatan – atau keiikutsertaan -- warga persekutuan masyarakat yang bersangkutana itu sendiri merumuskan aturan-aturan hidupnya sendiri. Dengan perumusan yang demikian, sebuah persekutuan bentukan dari luar, bisa saja, pada akhirnya, menjelma menjadi suatu masyarakat hukum adat tertentu. Meski sejarahnya, boleh jadi, belumlah panjang.

41 Satu pertanyaan muncul di sini: Bagaimana pula kedudukan Penjelasan UUD 1945 setelah proses

(14)

terjadi pada kasus otonomi daerah), tetap saja menjadi tidak jelas adanya. Hal ini membuka ruang bagi perumusan ulang oleh pemegang kuasa, yang boleh jadi tidak sesuai dengan kepentingan satuan-satuan masyarakat hukum adat itu sendiri. Sebagaimana yang telah terjadi selama ini, penyimpangan-penyimpangan secara konstitusional pun akan (dapat) terus berlangsung. Hal-hal seperti inilah yang memungkinkan adanya variasi derajat pengakuan atas hak-hak masyarakat hukum adat ini dalam berbagai perangkat peraturan-perundangan yang ada sekarang ini.

Penutup: Beberapa Agenda Perjuangan ke Depan

Meski begitu, hemat saya, ada dua ‘kekuatan baru’ yang dapat digunakan dalam menjernihkan masalah ini. Masing-masing adalah, pertama, sebagaimana diamanatkan oleh pasal 18B ayat (2), masalah ini harus diatur oleh undang-undang; dan kedua, telah dimasukkannya masalah pengakuan hak masyarakat hukum adat ini ke dalam bab yang mengatur masalah hak azazi manusia. Berdasarkan prinsip pengkuan HAM yang universal, untuk kekuatan yang kedua ini, terbuka ruang bagi pengakomodasian auran-aturan tentang HAM yang berlaku universal dalam penyusunan undang-undang itu nantinya.

Hanya saja harus segera disadari bahwa pasal-pasal yang mengamanatkan pembuatan undang-undang ini telah diperlemah maknanya, dari hak asal-usul menjadi hak tradisional, sebagaimana telah diuraian dalam bagian terdahulu Tapi, dengan terbukanya ruang untuk menggunakan pula aturan-aturan (HAM) yang lebih universal (karena ada Bab ttg HAM dalam UUD 1945 hasil amandemen), diharapkan pengaturan dalam undang-undang tak semata-mata tunduk pada pasal yang telah diperlemah itu. Justru diharapkan sebaliknya, ruang pembuatan undang-undang ini dapat dimanfaatkan untuk memperkuat pengakuan hak masyarakat hukum adat itu kembali.

Pada dasarnya, ‘siasat’ yang demikian ini telah ada preseden hukumnya, yakni kasus Mahkamah Konstitusi yang mengabaikan pasal yang mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi tidak boleh melakukan judicial review atas undang-undang yang telah ada sebelum Mahkamah Konstitusi itu ada.42 Ini berarti siapa-siapa pihak yang terlibat dalam proses penyusunan UU tentang keberadaan masyarakat adat itu, serta proses pengawalan pembentukan UU itu nantinya, menjadi agenda penting yang harus diceramati oleh para pihak pendukung gerakan masyarakat adat!

Jika amandemen UUD 1945 (lagi?) merupakan hal teramat susah untuk diusahakan maka dirasa perlu untuk memperjuangkan sebuah undang-undang yang mengatur masalah masyarakat adat ini. Sebab, ia tidak cukup diatur dalam undang-undang sektoral, sebagaimana yang terjadi selama ini. Jika tidak begitu, maka political will UUD 1945 untuk mengakui keberadaan ‘susunan asli’ yang memiliki ‘hak asal-asul’ yang ‘bersifat istimewa’, dan karenanya memiliki ‘otonomi asli’ itu, tidak akan pernah terwujud menjadi kebijakan politik yang nyata, demi kelangsungan hidup satuan-satuan masyarakat hukum adat. Ia akan tetap saja sebagai pemanis bibir dalam hubungan negara dan komunitas. Ketegangan antara Negara dan komunitas pun akan terus berlanjut. Sudah saatnya kita masuk mencari titik penyelesai ketegangan yang nyaris abadi itu. Jika tidak, kita memang sedang menggali sumur bunuh diri negara dan bangsa ini.

Masalahnya, apakah masyarakat adat dan para pendukungnya siap mengusung agenda yang ‘maha besar’ ini? Sejauh mana pengorganisasian-pengorganisasian masyarakat adat selama ini telah mampu menciptakan organisasi-organisasi masyarakat adat yang tangguh,

(15)

yang dapat berfungsi sebagai ‘blok politik’ yang pantas diperhitungkan oleh kekuatan-kekuatan politik (formal) yang ada?

Jauh lebih penting lagi untuk dijawab adalah, apakah masyarakat adat telah mampu menegakkan ‘kedaulatan’ -- sebagaimana yang diinginkannya selama ini -- tanpa adanya perlindungan hukum formal sekalipun? Pada dasarnya, bagi saya, hal yang terakhir ini jauh lebih penting. Sebab, kalaupun UU itu dapat dilahirkan nanti, tetapi masyarakat adat sendiri tercerai-berai karena memang ‘tak relevan’ dengan masanya lagi, maka peluang untuk menegakkan kedaulatan itu (secara formal) akan kehilangan momentum untuk selamanya!

Untuk itu, salah satu alat kerja terpenting yang harus segera dirumuskan adalah semacam definisi kerja tentang konsep-konsep yang menyangkut masyarakat adat itu sendiri. Sebab, ini menyangkut hal-hal dan topik-topik yang hakeketnya adalah kompleks, multiinterpretatif, dan dalam beberapa hal dan/atau derajat tertentu sangat mudah menjadi distortif dan simplisistis.43 Hal ini mendesak dilakukan demi menghadapi berbagai keraguan

dari berbagai pihak yang memiliki ‘pandangan miring’ terhadap berbagai agenda gerakan masyarakat adat. Menghadapi ‘tantangan’ yang demikian saya sering mengatakan bahwa gerakan masyarakat adat memang rentan bagi penumpang gelap, utamanya oleh kaum ‘otokrasi adat’ dan dominasi sistem patriarchi, beberapa isu yang saya tahu persis menjadi pokok perhatian – dan harus dihindari -- para pembela hak masyarakat jauh sebelum AMAN lahir.

Karenanya, melihat gerakan masyarakat adat pada hari ini tak bisa melihatnya tanpa mempelajari sejarah tumbuhnya gerakan ini sendiri. Tanpa itu, saya katakan, para pengkritik akan misleading, dan menutup pintu bagi kehadirannya, sesuatu yang saya yakin juga tak diinginkan para pengkritik itu. Situasi yang demikian sama sekali tidak produktif bagi kepentingan perjuangan bagi perbaikan penderitaan masyarakat adat di seantero negeri ini.44

Sayangnya, sejauh yang dapat saya pahami, banyak upaya ke arah itu, belum sampai pada kebutuhan perumusan yang demikian itu. Betul bahwa banyak studi telah menyinggung soal prinsip self identification sebagai titik tolaknya, yang sering disebut sebagai kriteria fundamental45. Namun, penggunaan kriteria fundamental inipun harus dan perlu dielaborasi lebih jauh lagi. Elaborasi tentang hal itu pasti akan jauh lebih bermanfaat jika dapat sampai pada definisi kerja yang saya maksudkan tadi. Memang, ini tantangan bagi kita bersama. Terutama bagi masyarakat adat dan para pembela hak-hak masyarakat adat itu sendiri. Soalnya, jangan sampai kewajiban memenuhi hak-hak pihak yang bersangkutan itu dimentahkan oleh kerumitan-kerumitan metodologis semata, sebagaimana yang tergambarkan dari beberapa komentar yang ada di lapangan selama ini.

43 Tania Murray Li, 2002, op.cit., Salah satu kesimpulan yang menggelitik dari Li adalah, menurutnya, baik para

penggusur (istilah saya) maupun pembela hak-hak masyarakat adat (juga istilah saya), keduanya terperangkap dalam pandangan-pandangan yang bersumber dari simplifikasi dari gejala yang sebenarnya rumit dan kompleks itu.

44 Seperti telah saya kemukakan di atas, penyebutan ‘masyarakat adat’ bukannya tanpa masalah. Namun, saya

sampaikan pada para pengeritik, nyatanya, itulah istilah yang dapat menyatukan berbagai komponen gerakan masyarakat adat. Maka, menurut saya, ketimbang mempersoalkan sebutan itu, yang kemudian melahirkan sikap anti pati kepada para pengkritik yang dimaksudkan, lebih baik kita bertarung dan berkontribusi dalam memberikan makna yang seharusnya, sebagai wacana tanding, pada wacana ‘masyarakat adat’ itu sendiri. Bagi saya cara ini jauh lebih produktif, jika memang kita concern dengan masalah-masalah penderitaan masyarakat adat ini.

45 Misalnya lihat Marcus Colhester, Martua Sirait, dan Boedi Wijardjo, 2003. “Penerapan Prinsip-Prinsip FSC

(16)

Kebutuhan akan definisi operasional ini penting bagi terwujudnya pengakuan hak-hak masyarakat adat dalam jalur pergerakan yang lebih luas; demi terwujudnya tatanan sosial, ekonomi, politik, dan budaya nasional maupun global yang lebih adil bagi kelompok-kelompok yang dikategorikan sebagai ‘masyarakat adat’ itu. Sebagai patokan awal, bagi saya subjek hukum dari ‘hak-hak adat’, di antaranya adalah hak ulayat (yang saya maknai sebagai kedaulatan atas suatu satuan wilayah terrtentu), adalah apa yang saya sebut sebagai komuniti. Dengan demikian ia tidak harus selalu berhubungan dengan satuan-satuan dan atau kategori suku bangsa, sebagaimana yang dipahami selama ini. Bagi saya, konsep wilayah hukum adat yang dikemukakan van Vollenhoven tidak lebih sebagai apa yang disebut wilayah budaya (culture area) belaka, dan tidak ada hubungannya dengan subjek hukum dari ‘hak-hak adat’ itu sendiri.46

Menurut beberapa pihak, antara lain Tania Murray Li, seorang antropolog senior, pembatasan yang demikian itu pun tetap saja problematis.47 Namun, dugaan saya sementara

ini, dengan pembatasan cakupan yang demikian itu, dan ditunjang oleh penerapan kriteria fundamental self identification, dapat mengantarkan kita pada suatu defenisi kerja yang bermanfaat.***

46 Lebih jauh lihat

Zakaria, 2000, op.cit.

47 K

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menangani permasalahan terkait rumah tidak layak huni yang dimiliki oleh kelompok Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), pemerintah kota Bandung menjalankan

Sistem ini dapat memberikan kemudahan kepada pengguna yang akan melakukan seleksi fitur pada dokumen teks berbahasa Indonesia, dapat membantu mengurangi fitur untuk

Rumusan dasar negara Pancasila yang termuat dalam piagam Jakarta secara yuridis formal ditetapkan sebagai dasar filsafat negara pada

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Dr Michael Gazzaniga di dalam Mark Readon, dan Sarah Singer Nourie, (2009: 11) bahwa kemampuan atau ketampilan belajar

Hasil penelitian ini adalah terwujudnya perangkat lunak server pengisian ulang pulsa otomatis berbasiskan web yang dapat diaplikasikan sebagai server yang melayani pembelian

rendah (ketinggian bangunan sampai dengan 12 meter) di lokasi sesuai dengan fungsi jalan lokal/lingkungan, Pelaku pembangunan wajib menyediakan lahan pada lahan

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024) 8508081, Fax. Prodi Asal : Pendidikan

Pendekatan pembelajaran berbasis masalah dirancang untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan penalaran, keterampilan menyelesaikan masalah, dan keterampilan