• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relasi Dependensi Rasio dan PEngalaman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Relasi Dependensi Rasio dan PEngalaman"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Relasi Dependensi Rasio dan Pengalaman sebagai Kritik atas Devaluasi Rasio

atau pun Pengalaman.

Tesis :

“Kebenaran adalah kesesuaian intelek dengan realitas, karena kebenaran adalah tujuan akhir dari intelek dan realitas. Bahwa sesuatu benar jika sungguh-sungguh ada (dialami) dan adanya sesuatu itu dapat dijelaskan. Dengan demikian, kebenaran bukan hanya soal pengakuan atas adanya sesuatu tapi juga pemahaman atas adanya sesuatu, karena intelek dan realitas bukanlah cara dalam menghasilkan kebenaran namun daya yang dari padanya manusia bisa beroleh kebenaran.”

Kerangka Pembahasan :

1. Devaluasi peran rasio dan pengalaman.

Tak bisa dipungkiri bahwa pada kenyataannya, dalam diri manusia terkandung hasrat untuk menuju pada kebenaran. Hasrat tersebut memampukan manusia untuk bersikap dalam menilai kebenaran dari pengetahuan yang ditemuinya dalam kehidupan setiap hari. Sikap yang dimaksud, adalah menerima pengetahuan yang benar (sesuai dengan rasio dan berdasar pada pengalaman) dan menjauhi pengetahuan yang salah. Dua hal yang muncul dalam pengetahuan yang benar, adalah rasio dan pengalaman. Rasio merujuk pada daya nalar manusia yang mana dari padanya manusia dimampukan untuk berpikir dan memilah-milah setiap hal yang ia jumpai sebagai sarana untuk memahami dan menentukan sikap atas realitas. Untuk itu, tak dapat disangkal bahwa ilmu pengetahuan adalah produk rasio. Sedangkan pengalaman merujuk pada penghayatan manusia atas pengalaman, dimana dalamnya keseluruhan eksistensi manusia berperan dalamnya. Keseluruhan eksistensi manusia yang dimaksudkan merujuk pada kemampuan manusia dalam melihat pengalaman lewat daya nurani yang memiliki akal sendiri dan akal tersebut tak diketahui oleh rasio. Contohnya : rasa terenyuh yang menimbulkan simpati bahkan empati dalalm diri manusia saat berhadapan dengan realitas yang mengharukan (misalnya : pengamen cilik berumur 7 tahun dengan pakaian kumal berusaha bernyanyi sebaik mungkin demi sesuap nasi). Rasio tak pernah akan bisa mengerti mengapa rasa terenyuh itu muncul begitu saja tanpa bisa dibendung, bahkan bila berkembang menjadi sebuah sikap simpati bahkan empati atas realitas tersebut.

(2)

kelemahan dari kaum rasionalis dan kaum empiris karena melihat rasio hanya sebatas cara memperoleh pengetahuan. Mereka lupa bahwa pada hakikatnya rasio dan penghayatan adalah daya yang hanya bisa bermanfaat dalam menghasilkan pengetahuan yang benar jika tidak dipisahkan satu dari yang lain. Mengapa ?

Di atas telah dijelaskan perihal hakikat rasio yang adalah daya nalar manusia yang mana dari padanya manusia dimampukan untuk berpikir dan memilah-milah setiap hal yang dijumpai sebagai titik tolak dalam memahami realitas, sedangkan penghayatan adalah daya nurani manusia yang mana dari padanya manusia dimampukan untuk menghayati keberadaan dirinya sebagai bagian dari realitas. Tesis dasar relasi dependensi rasio dan penghayatan dalam konteks ini, adalah bahwa rasio dan pengalaman adalah dwitunggal kekuatan manusia dalam menghasilkan kebenaran. Lewat rasio pengalaman dipilah-pilah dan dinalar sebagai usaha dalam memahami realitas. Kendati demikian, pemilahan dan penalaran atas pengalaman tersebut hanya mungkin jika manusia sungguh menyadari keberadaannya dalam realitas; bahwa realitas sungguh ada karena dalamnya manusia bereksistensi. Tak mungkin manusia memilah-milah dan menalar sebuah pengalaman jika pengalaman tersebut tidak dikenali manusia sebagai sebuah realitas dimana ia berada. Atau dengan kata lain, manusia tidak mungkin memahami sesuatu dalam tataran rasio jika sesuatu itu tidak ada. Hal yang sama juga berlaku pada penghayatan. Tak mungkin manusia mampu menghayati pengalaman sebagai bagian dari dirinya, bila manusia tak mampu untuk mengenali pengalaman itu sendiri. Karena penghayatan tanpa pengenalan menjadikan manusia sama seperti robot yang beraksi seturut input dari remote control tanpa tahu alasan yang mendasari aksi tersebut.

Dengan demikian, devaluasi atas rasio oleh kaum empiris atau pun devaluasi atas fakta empiric oleh kaum rasionalis dapat dikatakan sebagai pola pikir yang cenderung memandang rasio dan fakta empiric sebagai cara dalam memperoleh pengetahuan yang benar. Padahal keduanya merupakan daya kodrati manusia, karena substansi manusia yang tersusun atas jiwa dan tubuh. Rasio adalah daya jiwa (forma dari manusia) dan penghayatan adalah daya tubuh (materi dari manusia), sehingga tak bisa dipungkiri bahwa dalam realitas yang dihadapi manusia rasio terlepas dari penghayatan atau pun penghayatan terlepas dari rasio.1[1]

2. Pengalaman Sebagai Daya Kebenaran Ontologis.

(3)

Di atas telah dijelaskan bahwa dalam pengalaman terkandung penghayatan sebagai daya yang dari padanya manusia dimampukan untuk menyadari keberadaan dirinya dalam realitas. Atau dengan kata lain, penghayatan merupakan kandungan pengalaman yang memampukan manusia untuk melihat dengan hati karena melihat dengan hati membutuhkan kesadaran akan aspek eksistensial dari pengalaman itu sendiri juga keseluruhan eksistensi manusia sebagai satu kesatuan jiwa dan tubuh. Dengan demikian, lewat pengalaman manusia dimampukan untuk sungguh menyadari bahwa realita yang dialami adalah sebuah realitas yang sungguh ada dan bukan ilusi. Atau dengan kata lain, pengalaman adalah daya kebenaran ontologis. Kebenaran yang pembenarannya didasarkan pada fakta ontologis, yaitu bahwa sesuatu dianggap benar karena bereksistensi secara utuh dan eksistensi tersebut hanya bisa dibuktikan bila manusia hadir dengan seluruh eksistensinya. Relasi itu kiranya dapat digambarkan lewat contoh berikut : ketika melihat sebuah mangga yang sudah matang, kita akan merasa tergiur. Rasa tergiur itu bukan disebabkan karena penampilan fisik dari mangga matang yang berwarna kuning, melainkan karena aroma harum yang terpancar keluar dari padanya. Aroma harum tersebut ditangkap oleh manusia lewat panca indra (dimensi tubuh manusia) dan dimaknai oleh manusia sebagai sesuatu yang menggiurkan. Pemaknaan tersebut merupakan kesan yang tersimpan dalam budi manusia lewat pengalaman yang sama di waktu sebelumnya, karena pengetahuan dalam penghayatan tak pernah lepas dari dinamika sejarah kehidupan manusia. Tak mungkin seseorang akan tergiur melihat sebuah mangga masak bila mangga tersebut tidak bereksistensi dan manusia tidak mampu bereksistensi secara utuh dalam pengalaman melihat mangga masak tersebut. Itulah sebabnya mengapa disebut bahwa hanya apa yang bereksistensi yang dapat dipahami.2[2] Dengan demikian orang hanya akan merasa tergiur pada mangga masak karena ia tahu bahwa mangga masak itu enak rasanya. Pengetahuan tentang rasa enak dari mangga itu datang dari pengalaman adanya manusia berhadapan dengan adanya mangga tersebut. Dimana dalam pengalaman tersebut manusia mengalami mangga tersebut sebagai sebuah realitas yang sejati karena hadir dengan seluruh eksistensinya dan pengalaman tersebut bisa diketahui karena manusia hadir pula dengan keseluruhan eksistensinya; dimana manusia bukan hanya mengalami lewat mata (melihat), atau mengalami lewat aroma (mencium) tapi juga mengalami lewat budi dimana kesan atas enaknya mangga yang pernah ia alami tersimpan dalamnya.

Inspirasi : Sesuatu dianggap benar, jika sungguh ada.

(4)

3. Rasio Sebagai Daya Kebenaran Epistemologis.

Kebenaran epistemologis disebut juga kebenaran pengetahuan (the truth of knowledge).3[3] Dalam kebenaran epistemologis, kebenaran dihubungkan dengan intelek yang memiliki kemampuan untuk mengetahuinya. Maksudnya adalah bahwa sesuatu hanya dapat dikatakan sebagai sebuah kebenaran jika sungguh dapat dipahami oleh daya intelek manusia (rasio). Cara agar manusia sampai pada pemahaman ini, adalah mempelajari secara kritis apa yang disebut sebagai sebuah pengetahuan ilmiah lewat sebuah penalaran rasional. Dengan begitu, kebenaran epistemologis merupakan kebenaran sebagai hasil dari kajian kritis atas pengandaian dan syarat logis yang dari padanya pengetahuan berasal.4[4]

Pengertian ini menjelaskan peran kebenaran epistemologis sebagai bentuk pertanggungjawaban rasional terhadap objektivitas dari pengetahuan. Bahwa sesuatu dapat diterima sebagai sebuah kebenaran jika sesuatu itu sungguh dapat dijelaskan. Dalam kebenaran ini rasio berperan sebagai daya utama dan dasariah, karena melaluinya dan dalamnya penalaran atas sebuah kebenaran dilakukan oleh manusia dengan merujuk pada asal-usul kebenaran itu sendiri. Sehingga dalam penalaran ini sebuah kebenaran dituntut untuk dipahami sebagaimana adanya, sesuai dengan jati diri kebenaran itu sendiri.5[5] Mengenai hal ini Heidegger bahkan berpendapat bahwa pengetahuan adalah pernyataan diri ada dari kebenaran.6[6] Maka dari itu, untuk memahami sebuah pengetahuan sebagai kebenaran, diperlukan sebuah pemahaman yang benar atas pengetahuan itu sendiri dan juga kebenaran yang dimaksudkan dalamnya. Konsekuensinya adalah jika kebenaran tidak dipahami sebagaimana adanya, hasil penalaran bisa saja salah dan lantas mengakibatkan apa yang memang sungguh benar berubah menjadi sebuah keyakinan belaka, dan inilah yang akan amat disesalkan terlepas dari kenyataan bahwa ada juga kebenaran yang tidak sungguh benar.

Dari semua pengertian tersebut, dapatlah dilihat bahwa daya utama dalam memahami sesuatu sebagai sebuah kebenaran epistemology adalah rasio. Karena rasio pertama-tama memampukan manusia melihat sebuah kebenaran sebagai sesuatu yang adanya dapat dijelaskan; mengingat pemahaman epistemology mengandaikan sebuah pemahaman atas kebenaran sebagaimana

3[3] Ibid,. Hlm. 12

4[4] Nujartanto, Bayu. 2014. Traktat Epistemologi. Hlm. 2

5[5] Sonny Keraf & Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta : Penerbit

Kanisius. Hlm. 30-31

6[6] Martin Heidegger. Being and Time, diterjemahkan oleh John Macqarrie and Edward Robinson (New

(5)

adanya, serentak juga karena hanya dalam dan melalui rasiolah manusia dimampukan untuk melakukan aktivitas bernalar secara logis. Kendati demikian, hal yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa rasio hanya dapat berdaya maksimal bilamana manusia senantiasa mengusahakan input yang memperkaya rasio itu sendiri. Input yang dimaksudkan adalah pengetahuan yang dari padanya manusia dibantu untuk melihat sebuah kebenaran secara logis. Misalnya : kemampuan berhitung untuk menjelaskan masalah matematis, kemampuan membaca untuk memahami maksud sebuah tulisan, dan lain sebagainya. Tak mungkin orang bisa bernalar secara baik, bila daya rasionya kurang. Singkat kata, bernalar merupakan daya rasio yang dari padanya kebenaran dalam konteks pengetahuan dapat dipahami. Kendati demikian, rasio membutuhkan kemampuan-kemampuan rasional yang bisa menjadikannya berdaya guna, ibarat tubuh yang dapat beraktivitas dengan baik bila diberi makan. Tidak mungkin manusia bisa menjelaskan sesuatu tanpa pemahaman yang baik atas apa yang dijelaskan.

4. Relasi Dependensi Rasio Dan Pengalaman

Titik kelemahan dari para kaum rasionalis maupun kaum empiris, adalah cara pandang atas rasio juga pengalaman sebagai cara yang dari padanya manusia dimampukan dalam memperoleh kebenaran. Kebenaran yang dimaksud adalah pengetahuan secara pasti tentang sesuatu. Kepastian tersebut merujuk pada pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan dan diterima oleh rasio setelah melalui refleksi ilmiah. Kaum rasionalis bersikeras bahwa hanya dengan menggunakan prosedur tertentu dari akal saja, manusia dapat sampai pada pengetahuan yang sebenarnya. Untuk itu yang menjadi satu-satunya sumber pengetahuan, adalah rasio. Sedangkan kaum empiris bersikeras bahwa hanya pengalamanlah sumber satu-satunya pengetahuan manusia karena pengalaman dan pengamata panca indra memberikan data dan fakta sebagai titik tolak lahirnya suatu pengetahuan baru. Mengapa ? Karena pada dasarnya mengetahui sesuatu berarti mengalami adanya sesuatu tersebut lewat pengalaman indrawi.7[7] Konsekuensinya adalah devaluasi atas rasio oleh kaum empiris juga devaluasi atas pengalaman oleh kaum rasionalis. Lantas, bagaimana mengusahakan sebuah jalan tengah agar tembok devaluasi tersebut runtuh dan digantikan dengan sebuah kerja sama antara rasio dan pengalaman sebagai daya menuju kebenaran sejati ? Dalam menjawab persoalan ini, hal pertama yang harus diperhatikan adalah relasi dependensi antara rasio dan pengalaman dalam menghasilkan sebuah pengetahuan yang mengandung kebenaran sejati.

7[7] Bdk. Sonny Keraf & Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta : Penerbit

(6)

Jika sejarah pemikiran ditelusuri, umumnya pengetahuan dibagi dalam dua bagian yaitu pengetahuan apriori dan pengetahuan aposteriori. Pembagian ini dibuat oleh Aristoteles. Olehnya pengetahuan apriori merujuk pada pengetahuan yang lebih dulu atau sebelum, sedangkan pengetahuan aposteriori merujuk pada pengetahuan dari apa yang sesudahnya. Karena menurutnya A lebih dulu dari B jika dan hanya jika B bisa ada tanpa A. Pendapat ini lantas dalam perjalaan waktu dikembangkan oleh Leibniz dan Kant. Leibniz lebih spesifik merumuskan definisi pengetahuan aposteriorisebagai pengetahuan yang diperoleh lewat hasil tangkapan panca indra, sedangkan pengetahuan apriori merupakan pengetahuan yang diperoleh lewat pemahaman atas sebab terjadinya pengalaman yang ditangkap oleh panca indra. Argument ini lantas dikembangkan oleh Kant dengan membedakan kedua hal tersebut dengan berdasar pada kemungkinan kedua dari argument pariori dan aposteriori. Apakah sesuatu pengetahuan bisa dibuktikan kebenarannya jika tidak berasal dari pengalaman atau jika tidak diberikan alasan atau sebab dari sebuah pengetahuan, apakah pengetahuan tersebut bisa disebut sebagai sebuah kebenaran ? Pembedaan ini lantas semakin menciptakan ruang pemisah antara pengetahuan empiris dan pengetahuan bukan empiris (pengetahuan rasional).8[8]

Untuk itu dalam mengusahakan sebuah jalan tengah atas dua pertentangan tersebut, langkah yang bisa diambil adalah mengelompokkan pengetahuan empiris dan pengetahuan rasional dalam dua cara berpikir. Pengetahuan empiris ditempatkan dalam kerangka berpikir : “berpikir-menghayati”9[9] (ervaringsdenken) dan pengetahuan rasional ditempatkan dalam kerangka berpikir : “berpikir-merenung”. Penempatan ini dimaksudkan agar rasio dan pengalaman dapat dipandang sebagai daya manusia dalam memperoleh pengetahuan. Dalam “berpikir – menghayati” merujuk pada respon manusia atas pengalaman yang dialami. Dimana dalam berhadapan dengan pengalaman, manusia terdorong untuk mengarahkan dirinya pada pemaknaan atas pegalaman. Sedangkan dalam “berpikir – merenung”, merujuk pada dorongan manusia untuk memahami apa yang dialami. Dengan kata lain, “berpikir-merenung” adalah kelanjutan dari “berpikir – memahami”. Kedua pengertian atas pola pikir ini mengandung sebuah kenyataan bahwa bagi manusia kebenaran pengetahuan bukan hanya sampai pada taraf penghayatan atas pengalaman empirik semata tapi juga berlanjut pada taraf refleksi atas penghayatan itu sendiri.

8[8] Ibid,. Hal. 56-64

9[9] Ini adalah sebuah istilah yang diciptakan oleh Walgrave dalam bukunya : Kultuurleven. Istilah ini

dikutip dari buku : Snijders, Adelbert. 2006. Manusia dan Kebenaran. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

(7)

Konsekuensinya adalah tak cukup penghayatan diutamakan sebagai sumber pengetahuan karena hanya akan menempatkan manusia dalam posisi yang sama dengan hidupnya sendiri. Sehingga perlu juga refleksi ilmiah kritis atas pengalaman dengan melihat kembali penghayatan, karena lewat refleksi ilmiah manusia mengambil jarak dari penghayatan dan melihatnya dengan secara sistematis, metodis, analitis, kritis dan rasional.10[10] Dengan demikian, kerja sama antara rasio dan pengalaman adalah hal yang mutlak perlu karena ada relasi dependensi antara keduanya dalam menghasilkan pengetahuan yang mengandung dalamnya kebenaran yang sejati. Salah satu contoh dari relasi dependensi ini, dapat diambil dari pandangan atas buku doa. Buku doa adalah refleksi atas hidup doa yang mendalam, baik dan benar. Oleh karena itu, buku ini tampil bukan sebagai penghayatan atas doa melainkan refleksi atas penghayatan hidup doa sehingga haruslah bersifat ilmiah agar hidup doa yang mendalam, baik dan benar dapat sungguh dipahami. Tapi apakah refleksi ini mengganggu hidup doa ? Tentu saja tidak, namun justru mendukung penghayatan hidup doa karena dari padanya manusia dimampukan untuk memahami penghayatannya atas doa secara mendalam, baik dan benar sehingga dapat mengarahkan hidup doanya sesuai pemahaman itu.

5. Kebenaran Sebagai Asal dan Tujuan Rasio juga Pengalaman (Refleksi Kritis Atas

Devaluasi Terhadap Rasio dan Pengalaman)

Pada prinsipnya kebenaran dapat dimengerti sebagai hasil kerja intelek yang sesuai atau sepadan dengan realitas dan diartikulasikan secara tepat.11[11] Pengertian ini mengandung maksud bahwa kebenaran adalah predikat atas sebuah keputusan atau pertimbangan yang dibuat oleh daya rasio manusia sebagai respon atas pengalaman empirik manusia dan predikat ini merupakan sifat transenden dari manusia. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa dalam diri manusia terkandung hasrat untuk mencapai kebenaran.

Konsekuensi dari pemaknaan tersebut, adalah rasio dan pengalaman sebagai bagian dari manusia berasal dan senantiasa terarah pada kebenaran. Sehingga kebenaran tidaklah dibatasi hanya pada pengetahuan yang bersifat ilmiah, tapi juga pengetahuan yang bersifat penghayatan. Karena jika hakikat kebenaran dikaji lebih jauh lagi, maka akan ditemukan bahwa kebenaran terdiri dari dua lapisan yang saling berkaitan satu sama lain.12[12] Lapisan yang dimaksud adalah kebenaran

10[10] Snijders, Adelbert. 2006. Manusia dan Kebenaran. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Hlm. 114-122

11[11] Ohoitimur, Yong. 2014. Metafisika Aquinas : Sifat-sifat Transendental Pengada. Hlm. 12

(8)

ontik dan kebenaran epistemologis. Bahwa sesuatu dapat dikatakan mengandung dalamnya kebenaran sejati bila sesuatu itu sungguh ada (dapat ditangkap oleh panca indra) dan dapat diterima oleh intelek sehingga dapat pula dijelaskan.

Fakta di atas menegaskan bahwa rasio dan pengalaman merupakan bagian dari manusia yang dengannya dan melaluinya manusia dimampukan untuk setia pada kebenaran sebagai sifat transendental seorang manusia. Atau dengan kata lain, rasio dan pengalaman berasal dari kebenaran (sifat transcendental manusia) serentak pula kebenaran adalah akhir tujuan hidup manusia dan kesanalah rasio dan pengalaman mengarah. Sehingga dalam mengusahakan sebuah pengetahuan sebagai kebenaran, manusia tak bisa hanya bertumpu pada daya rasio atau daya pengalaman semata apalagi sampai dengan mendevaluasi rasio atau pengalaman. Karena jika itu sampai dilakukan maka tak akan pernah ada kebenaran yang sejati yang dimengerti sebagai veritas est adequatio intellectus cum re.13[13] Memisahkan rasio dari pengalaman sebagai sumber pengetahuan yang sejati ibaratnya memisahkan jiwa dari tubuh, dan mengatakan bahwa jiwalah substansi terpenting sedangkan jiwa tidak sambil menutup mata bahwa manusia yang sejati adalah kesatuan tubuh dan jiwa.14[14] Akibatnya tak pernah bisa memahami manusia secara utuh, dan kekacauan bisa terjadi bila pemahaman atas manusia dikomparasikan dengan fakta-fakta yang keluar dari manusia itu sendiri. Untuk itu bagi kaum empiris dan kaum rasionalis, perlu sebuah sikap kerendahan hati dan keterbukaan total atas kenyataan ini.15[15] Karena masalah utama bukan terletak pada memperjuangkan apa yang diyakini sebagai sebuah kebenaran yang tertutup pada kritik karena dianggap sebagai kebenaran yang paling benar, tapi lebih dari pada itu adalah menyadari hakikat dari apa yang diyakini dan apa yang ditentang dan mengarahkan hal itu pada kebenaran yang sejati sebagai asal dan tujuan dari hakikat keyakinan kita yang sebenarnya.

6. Kesimpulan

Kebenaran adalah kesesuaian intelek dengan realitas. Dalam kesesuaian tersebut terkandung perbedaan antara intelek yang pada hakikatnya adalah hidup itu sendiri dan intelek yang tak lain adalah rasio itu sendiri. Jika dipandang sebagai cara manusia untuk sampai pada kebenaran, perbedaan tersebut mengakibatkan rasio dan pengalaman sebagai dua hal yang saling

13[13] L. Bagus. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta : Penerbit Gramedia. Hlm. 412-419

14[14] Ohoitimur, Johanis. 2006. Metafisika Sebagai Hermeneutika. Jakarta : Penerbit Obor. Hlm. 65-70

(9)

bertentangan satu dengan yang lainnya. Namun jika dipandang dalam konteks tujuan akhir dari keduanya yang adalah kebenaran, nyatalah bahwa keduanya saling membutuhkan dan saling memperkaya dalam mencapai tujuan yang sama, itulah kebenaran. Dalam usaha untuk memahami relasi ketergantungan tersebut, penghayatan dan refleksi ilmiah hadir sebagai dua cara berpikir yang berbeda karena menekankan aspek cara memperoleh pengetahuan, namun pada hakekatnya sama karena berasal dari hidup dan mengarah pada kebenaran yang adalah hidup itu sendiri. penghayatan adalah pengakuan manusia atas kebenaran dan refleksi ilmiah adalah sumber penjelasan atas pengakuan tersebut. Dengan demikian, keduanya adalah dua bentuk berpikir yang berbeda essensinya, namun tak bisa dipisahkan satu sama lain.

Daftar Pustaka

1. Snijders, Adelbert. 2006. Manusia dan Kebenaran. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. 2. Nujartanto, Bayu. 2014. Traktat Epistemologi

3. Sonny Keraf & Mikhael Dua. Tahun . Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

4. Martin Heidegger, being and time, tranl. By. John macqarrie and Edward robinson (new York : harper).

5. Ohoitimur, Yong. 2014. Metafisika Aquinas : Sifat-sifat Transendental Pengada. 6. L. Bagus. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta : Penerbit Gramedia. Hlm. 412-419

7. Ohoitimur, Johanis. 2006. Metafisika Sebagai Hermeneutika. Jakarta : Penerbit Obor. Hlm. 65-70

Referensi

Dokumen terkait

Dari kutipan tersebut, ada tiga prinsip yang kenalkan oleh Mudhofir. Namun demikian, Mudhofir belum memberikan penjelasan lebih detail. Ketiganya belum dapat memberi gambaran

Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa pembelajaran dengan model TTW dipadu PBL memiliki potensi lebih besar dalam meningkatkan hasil belajar kognitif siswa pada

Berdasarkan permasalahan banyaknya sampah limbah plastik yang ada sekarang, dengan menggunakan pemanfaatan limbah plastik jenis HDPE ( High Density Polyethylene ) sebagai bahan dalam

Sesuai hasil uji coba aplikasi teknologi Laburan Aspal dengan bahan pengikat aspal emulsi, khususnya aspal emulsi tipe CRS-1 dapat digunakan untuk pemeliharaan permukaan

Sistem Informasi Inventori Usaha Kecil Menengah (UKM) Menggunakan PHP dan My SQL adalah sistem yang dibuat untuk tujuan membantu para pemilik usaha kecil menengah UKM dalam

Jawab : Microfin Indonesia yang merupakan lembaga konsultan dalam hal ini hanya sebatas memberikan pembinaan BMT Mitra Usaha Ummat terkait hal-hal yang berhubungan

Sitanala Tangerang sebagai rumah sakit PPK-BLU maka pendapatan RS yang bersumber dari dana masyarakat seperti dari pemberian layanan kesehatan, pelayanan