• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP PEMBAGIAN WARISAN DENGAN CARA PERDAMAIAN (TASHALUH) MENURUT HUKUM ISLAM A. Waris dalam pandangan Hukum Islam - Tinjauan Yuridis Tentang Pembagian Warisan Dengan Cara Perdamaian (Tashaluh) Menurut Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II KONSEP PEMBAGIAN WARISAN DENGAN CARA PERDAMAIAN (TASHALUH) MENURUT HUKUM ISLAM A. Waris dalam pandangan Hukum Islam - Tinjauan Yuridis Tentang Pembagian Warisan Dengan Cara Perdamaian (Tashaluh) Menurut Hukum Islam"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP PEMBAGIAN WARISAN DENGAN CARA PERDAMAIAN

(TASHALUH) MENURUT HUKUM ISLAM

A. Waris dalam pandangan Hukum Islam

Pengertian waris dalam Buku Ensiklopedia Hukum Islam bahwa kata waris itu

berasal dari bahasa Arab yaitu wartsa-yartsu-warisan atau irsan/turas yang berarti

mempusakai adalah ketentuan-ketentuan tentang pembagian harta pusaka yang

meliputi ketentuan siapa yang berhak dan tidak berhak menerima harta pusaka dan

berapa besar harta yang diterima masing-masing, disinggung juga hukum waris yang

dibawa Nabi Muhammad SAW telah mengubah struktur hukum waris Arab pra Islam

dan sekaligus merombak sistem kekerabatan, bahkan juga merombak sistem

pemilikan harta didalam masyarakat Arab pada waktu itu, hukum waris Islam juga

mengandung aturan setiap pribadi baik itu laki-laki atau perempuan berhak memiliki

harta warisan.31

Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada

orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain dan tidaklah terbatas hanya pada

hal hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta

benda. al-miirats menurut istilah ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu

berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i”.

31Ensiklopedia Hukum Islam jilid 5 Cet I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1993, hal

▸ Baca selengkapnya: cara menghitung nama seseorang menurut islam

(2)

Sedangkan Waris menurut istilah yaitu, “pindahnya hak milik orang yang

meninggal dunia kepada para ahli warisnya yang masih hidup, baik yang

ditinggalkannya itu berupa harta bergerak maupun tidak bergerak atau hak-hak

menurut hukum Syara’. Perkataan “warisan” atau “faraidh” (Kata jama) dan kata

warotsa “ artinya pemindahan hak milik dari seseorang kepada orang lain setelah

pemiliknya meninggal dunia, sedangkan kata “faraidh” artinya bahagian yang

tertentu bagi ahli waris dari harta pusaka, seperti seperdua, seperempat dan

sebagainya.32Terambil dari kata faraidh-lah beberapa istilah berikut: waris, warisan, pewaris, ahli waris, mewarisi, proses pewarisan dan hukum waris.

Menurut Ilmu Fiqh “mewaris” mengandung pengertian tentang hak dan

kewajiban ahli waris terhadap harta warisan, menentukan siapa yang berhak terhadap

warisan, bagaimana cara pembagiannya masing-masing. Fiqh mewaris disebut juga

IlmuFaraidh, karena berbicara tentang bagian-bagian tertentu yang menjadi hak ahli

waris.33 Pembahasan Fiqh mewaris, meliputi masalah-masalah Tazhij, yaitu pengurusan mayat, pembayaran utang dan wasiat, kemudian tentang pembagian harta.

Dibahas pula tentang halangan-halangan mendapat warisan, Azhabul Furudh,

ashobah, hijab pewarisan dzawil arkam, hak anak di dalam kandungan, masalah

mafqud atau orang yang hilang, anak hasil zina, serta masalah-masalah khusus,

sepertiaul, masalah musyawarah,tsulusul baqi, dan lain sebagainya.34

32

Mahyudin Syaf,”Pelajaran Agama FiqihCet. I, Sulita, Bandung, 1967, hal 116

33H.A Djazuli,

Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Prenada Media Group, 2005, hal 48

(3)

Para pakar hukum diantaranya, M. Daud Ali dalam bukunya yang berjudul

“Hukum Islam dan Peradilan Agama” yang dimaksud dengan Hukum Kewarisan

Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan

pengalihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia

meninggal dunia kepada ahli warisnya. Mohd. Idris Ramulyo, dalam bukunya yang

berjudul “Studi Kasus Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dan Praktek Di

Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri” mengartikan hukum kewarisan adalah

“hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur tentang penyelesaian nasib

kekayaan seseorang setelah meninggal dunia”. Juhaya S Praja berpendapat bahwa,

hukum kewarisan dalam Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang

berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah

ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.35

Dasar utama hukum waris Islam adalah Al-Qur’an dan Al-Hadist, khususnya

menyangkut bagian masing-masing ahli waris.

Dalam QS. An-Nisa' ayat 11, 12 dan 176. Allah berfirman yang artinya :

Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu, yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. Dan apabila anak tersebut semuanya perempuan (lebih dari dua orang), maka berilah mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan tersebut seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang Ibu Bapa, bagai mereka masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, apabila yang meninggakan itu mempunyai anak. Apabila yang meninggal tersebut tidak mempunyai anak, sedangkan ahli waris hanya ibu dan bapak, maka bagian ibu adalah sepertiga. Apabila pewaris meninggalkan saudara, maka bagian

35 Juhaya S Praja, Filsafat Hukum Islam, Pusat Penerbitan LPPM Unisba, Bandung, 2002,

(4)

ibu adalah seperenam. (Pembagian pembagian tersebut) dilakukan setelah pelaksanaan wasiat yang dibuat pewaris serta setelah dibayarkan utangnya. Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, tidak akan kamu ketahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) mendatangkan manfaat kepadamu. (Ketentuan) ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan bagimu (suami-suami) adalah seperdua dari harta-harta yang ditinggalkan isteri isterimu, apabila mereka tidak mempunyai anak. Apabila mereka mempunyai anak, maka bagianmu (suami) adalah seperempat dari harta-harta yang ditinggalkan isteri-isterimu, setelah dilaksanakan wasiat dan dibayarkan utangnya. Para isteri memperoleh seperempat bagian dari harta yang ditinggalkan apabila kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu meninggalkan anak maka isteri-isterimu memperoleh seperdelapan bagian, setelah dilaksanakan wasiat dan dibayarkan utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, namun tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi apabila saudara seibu tersebut lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga tersebut, sesudah dilaksanakan wasiat yang dibuat dan dibayarkan utang yang dibuat, dengan tidak memberikan mudharat (bagi ahli waris). Allah menetapkan yang demikian tersebut sebagai syarai 'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”(ayat 11-12)

“Mereka meminta fatwa kepadamu tentang Kalalah (tidak meninggalkan ayah dan anak), maka katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah yaitu: Jika seorang meninggal dunia dan tidak mempunyai anak (tetapi) mempunyai (seorang saudara perempuan, maka agi saudaranya yang perempuan tersebut seperdua dari harta yang ditinggalkan, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan). Jika ia tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai dua orang saudara perempuan, maka bagi mereka dua pertiga dan harta yang ditinggalkannya. Dan Jika ahli warisnya terdiri dari seorang saudara laki-laki dan saudara perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki-laki-laki adalah dua bahagian dari saudara perempuan. Alah menerangkan hukum ini kepadamu supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”(ayat 176)

Ayat-ayat tentang kewarisan tersebut di atas merupakan ketentuan Allah SWT

secara umum menyangkut siapa-siapa saja yang menjadi ahli waris berdasarkan

(5)

perkawinan (suami/isteri). Selain dari pada itu juga menentukan tentang berapa besar

bagian masing masing ahli waris dan langkah apa saja yang dilakukan sebelum

menentukan harta peninggalan pewaris baru dikatakan sebagai harta warisan (terlebih

dahulu menyelesaikan wasiat pewaris dan membayarkan utang pewaris).

Dalam ayat di atas juga digariskan bahwa bagian seorang laki-laki sama

dengan bagian dua orang perempuan dalam satu tingkatan, baik dalam tingkatan

anak, saudara ataupun antara suami dengan isteri. Diantara hukum waris Islam yang

bersumber dari Hadist Nabi Muhammad SAW., adalah sebagaimana yang

diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. yang artinya : Nabi Muhammad Saw. bersabda: "

Berikanlah harta pusaka kepada orang yang berhak. Sisanya untuk (orang) laki-laki

yang lebih utama.”

Hadist tersebut mengatur tentang peralihan harta dari pewaris kepada ahli

waris, setelah itu jika terdapat sisa, maka bagian laki-laki lebih besar dari bagian

perempuan. Sebagaimana yang telah dikemukakan terdahulu bahwa keadilan

merupakan salah satu asas (doktrin) dalam hukum waris Islam, yang disimpulkan dari

kajian mendalam tentang prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam hukum tentang

kewarisan. Hal yang paling menonjol dalam pembahasan tentang keadilan

menyangkut hukum Kewarisan Islam adalah tentang hak sama-sama dan saling

mewarisi antara laki-laki dan perempuan serta perbandingan 2 : 1 (baca 2 banding 1)

antara bagian laki-laki dan perempuan.

Asas keadilan dalam hukum Kewarisan Islam mengandung pengertian bahwa

(6)

kewajiban atau beban kehidupan yang harus ditanggungnya/ditunaikannya diantara

para ahli waris , karena itu arti keadilan dalam hukum waris Islam bukan diukur dari

kesamaan tingkatan antara ahli waris, tetapi ditentukan berdasarkan besar-kecilnya

beban atau tanggungjawab yang diembankan kepada mereka, ditinjau dari keumuman

keadaan/kehidupan manusia.36

Jika dikaitkan dengan definisi keadilan yang dikemukakan Amir Syarifuddin

sebagai "keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang

diperoleh dengan keperluan dan kegunaan", atau perimbangan antara beban dan

tanggung jawab diantara ahli waris yang sederajat, maka kita akan melihat bahwa

keadilan akan nampak pada pelaksanaan pembagian harta warisan menurut Islam.

Rasio perbandingan 2 : 1, tidak hanya berlaku antara anak laki-laki dan

perempuan saja, melainkan juga berlaku antara suami isteri, antara bapak-ibu serta

antara saudara lelaki dan saudara perempuan, yang kesemuanya itu mempunyai

hikmah apabila dikaji dan diteliti secara mendalam.37

Dalam kehidupan masyarakat muslim, laki-laki menjadi penanggung jawab

nafkah untuk keluarganya, berbeda dengan perempuan. Apabila perempuan tersebut

berstatus gadis/masih belum menikah, maka ia menjadi tanggung jawab orang tua

ataupun walinya ataupun saudara laki-lakinya. Sedangkan setelah seorang perempuan

menikah, maka ia berpindah akan menjadi tanggung jawab suaminya (laki-laki).

Syari'at Islam tidak mewajibkan perempuan untuk menafkahkan hartanya bagi

36Ahmad Zahari,

Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam: Syafi'i, Hazairin dan KHI, Romeo Grafika, Pontianak, 2003, hal 25

(7)

kepentingan dirinya ataupun kebutuhan anak-anaknya, meskipun is tergolong

mampu/kaya, jika ia telah bersuami, sebab memberi nafkah (tempat tinggal, makanan

dan pakaian) keluarga merupakan kewajiban yang dibebankan syara' kepada suami

(laki-laki setelah ia menikah).38

Sedangkan kewajiban isteri pada dasarnya adalah mengatur urusan intern

rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Hal demikian juga berlaku dalam kedudukan

sebagai ayah dan ibu pewaris.39 Dalam tingkatan anak, anak laki-laki yang belum menikah, ia diwajibkan memberi mahar dan segala persyaratan pernikahan yang

dibebankan pihak keluarga calon isteri kepadanya. Setelah menikah, maka beban

menafkahi isteri (dan anak-anaknya) kelak akan diletakkan dipundaknya.

Sebaliknya anak perempuan, dengan bagian yang diperolehnya tersebut akan

mendapat penambahan dari mahar yang akan didapatkannya apabila kelak ia

menikah, selanjutnya setelah menikah ia (pada dasarnya) tidak dibebankan kewajiban

menafkahi keluarganya, bahkan sebaliknya dia akan menerima nafkah dari suaminya,

kondisi umum ini tidak menafikan keadaan sebaliknya, tapi jumlahnya tidak banyak.

Dari penjelasan tersebut, jika dicontohkan secara konkrit adalah seorang anak

laki-laki memperoleh harta warisan bernilai uang Rp.40.000.000,- (empat puluh juta),

sedangkan saudara perempuannya memperoleh Rp.20.000.000; (duapuluh juta)

berdasarkan ketentuan 2 : 1, maka ketika laki-laki tersebut akan menikah, ia akan

38

M.Ali As-Shabun, ”Hukum Waris Dalam Syariat Islam”, Dipenogoro, Bandung, 1996, hal.13

39 Sayuti Thalib,

(8)

mengeluarkan biaya keperluan mahar sekitar Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah),

jadi sisa harta dari bagian warisan yang ada pada laki-laki tersebut berjumlah

Rp.30.000.000; (tiga puluh juta rupiah). Sebaliknya saudara perempuannya yang

memperoleh bagian warisan Rp.20.000.000; (dua puluh juta rupiah) tersebut akan

memperoleh tambahan Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) disebabkan mahar yang

diperolehnya dari laki-laki yang menikah dengannya. Dengan demikian maka

kedua-duanya (laki-laki dan perempuan) yang memperoleh bagian warisan tersebut

sama-sama memperoleh Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah).

Dengan demikian maka perempuan selain pemilik penuh dari kekayaan yang

diwarisi dari orang tuanya dan tidak ada pemaksaan/kewajiban untuk dibelanjakan,

juga akan mendapatkan tambahan dari mahar yang diberikan laki-laki yang akan

menjadi suaminya serta mendapatkan hak nafkah dari suaminya tersebut.

Hal demikian menunjukkan bahwa keadilan dalam hukum waris Islam bukan

saja keadilan yang bersifat distributif semata (yang menentukan besarnya bagian

berdasarkan kewajiban yang dibebankan dalam keluarga), akan tetapi juga bersifat

commulatif, yakni bagian warisan juga diberikan kepada wanita dan anak-anak. Hal

tersebut berbeda dengan hukum warisan Yahudi, Romawi dan juga hukum adat pra

Islam, bahkan sebagiannya hingga sekarang masih berlaku.

Jika dalam satu kasus seorang anak (juga saudara) perempuan mendapat

separuh dari harta peninggalan, pada hakikatnya jauh lebih besar dari perolehan

laki-laki, sebab kekayaan laki-laki (termasuk dari bagian warisan) pada akhirnya akan

(9)

bahagian laki-laki tersebut akan lebih dahulu habis. Sebaliknya kekayaan perempuan

(dari pembagian warisan tersebut) akan tetap utuh tak berkurang, jika diinginkannya,

karena pada hakikatnya perempuan mengambil bagian (warisan, harta laki-laki) dan

tidak memberi apa-apa, Ia mendapat bagian warisan dan memperoleh nafkah, tidak

sebaliknya.

Perbedaan yang berdasarkan besar kecilnya beban dan tanggung jawab

laki-laki dan perempuan sebagaimana diuraikan di atas, berdasar hukum kausalitas

imbalan dan tanggung jawab, bukan mengandung unsur diskriminasi. Bagian

perempuan yang ditentukan tersebut seimbang dengan kewajibannya. Sebab dalam

Islam, kaum wanita pada dasarnya dibebaskan dari memikul tanggungjawab ekonomi

keluarga. Oleh karena itu, jika seseorang menerima bagian waris tinggi, berarti hal itu

merupakan manifestasi dari tingkat kewajibannya, yang merupakan konsep perbedaan

secara sosiologis dalam masyarakat Islam.

Di Indonesia pernah dikemukakan wacana yang menyatakan perbandingan 2 :

1 bukan ketentuan yang bersifat pasti dan tetap, sehingga dapat dikompromikan,

diantaranya Zainuddin Sardar yang menyatakan bahwa setiap rumusan hukum yang

terdapat pada nash Al-Qur' an dan Hadits terdiri dan unsur-unsur :

a. Unsur Normatif yang bersifat abadi dan universal, berlaku untuk semua tempat

dan waktu serta tidak berubah dan tidak dapat diubah.

b. Unsur Hudud yang bersifat elastis sesuai dengan keadaan waktu, tempat dan

(10)

Artinya: “Perubahan hukum (dapat terjadi) berdasarkan perubahan masa,

tempat dan keadaan.”

Oleh karena itu yang abadi dan universal ialah dalam hukum waris Islam

diantaranya norma tentang hak dan kedudukan anak laki-laki dan perempuan untuk

mewarisi harta warisan orang tua. Sedangkan mengenai besarnya bagian dalam

perbandingan laki-laki dan perempuan dalam segala tingkatan yang sederajat

merupakan aturan hudud yang dapat dilenturkan.

Meski demikian, pada kenyataannya rumusan Pasal 176 Kompilasi Hukum

Islam yang dijadikan hukum materil di lingkungan Peradilan Agama, ketentuan 2 : 1

tidak bergeser. Ketentuan 176 Kompilasi Hukum Islam yang tetap mempertahankan

bagian 2 : 1 antara anak laki-laki dan anak perempuan dilatarbelakangi para penyusun

ataupun ahli hukum Islam yang terlibat dalam penyusunan pasal 176 Kompilasi

Hukum Islam meyakini ketentuan ayat tersebut bersifat Sarih/tafsil dan gath'I

berdasarkan pada teori standar konvensional yang menyebutkan "perbedaan jumlah

bagian anak perempuan dengan anak laki-laki berdasarkan hukum imbalan dan

tanggung jawab", seperti yang telah diuraikan di atas.

Dalam hukum waris Islam juga ditentukan bagian Ibu dan bapak yang berhak

mewarisi bersama anak dengan keturunannya, dalam arti Ibu dan bapak sama-sama

mewarisi dengan bagian yang berimbang, yakni sama-sama memperoleh 1/6 dari

harta warisan, apabila pewaris meninggalkan anak laki-laki. Jika tidak ada, maka ibu

mendapat 1/3 dan untuk bapak sisanya 2/3, karma bapak mempunyai kewajiban dan

(11)

Walaupun dalam hukum waris Islam ditentukan bagian 1 : 1 (satu banding

satu) antara bagian ayah dan bagian ibu, yakni sama-sama memperoleh 1/6 bagian,

akan tetapi dalam pelaksanaannya/penerapannya masih memperhatikan keadilan atas

dasar hak dan kewajiban, yakni beban dan tanggung jawab laki-laki lebih besar

dibanding perempuan. Oleh karena itu akan dinilai adil jika bagian ayah lebih besar

dibandingkan bagian ibu, seperti dalam kasus apabila pewaris meninggalkan ahli

waris : suami, ibu dan bapak. Dalam kasus demikian, asal masalah adalah enam,

dimana suami memperoleh½(3 bagian), ibu memperoleh 1/3 dari sisa (1 bagian) dan

ayah mendapat sisa (2 bagian).

Hukum waris Islam mempunyai prinsip sebagai berikut :

1. Hukum waris Islam menempuh jalan tengah antara memberi kebebasan penuh

kepada seseorang untuk memindahkan harta peninggalannya dengan jalan

wasiat kepada orang yang dikehendaki, seperti yang berlaku dalam

kapitalisme/individualism dan melarang sama sekali pembagian harta

peninggalan seperti yang menjadi prinsip komunisme yang tidak mengakui

hak milik perorangan, yang dengan sendirinya tidak mengenal system

warisan.

2. Warisan adalah ketetapan hukum. Yang mewariskan tidak dapat menghalangi

ahli waris dari haknya atas harta warisan, dan ahli waris berhak atas harta

warisan tanpa perlu kepada pernyataan menerima dengan sukarela atau atas

keputusan hakim. Namun, tidak berarti bahwa ahli waris dibebani melunasi

(12)

3. Warisan terbatas dalam lingkungan keluarga, dengan adanya hubungan

perkawinan atau karena hubungan nasab/keturunan yang sah. Keluarga yang

lebih dekat hubungannya dengan pewaris lebih diutamakan daripada yang

lebih jauh, yang lebih kuat hubungannya dengan pewaris lebih diutamakan

daripada yang lebih lemah. Misalnya, ayah lebih diutamakan daripada kakek,

dan saudara kandung lebih diutamakan daripada saudara seayah.

4. Hukum waris Islam lebih cenderung untuk membagikan harta warisan kepada

sebanyak mungkin ahli waris, dengan memberikan bagian tertentu kepada

beberapa ahli waris. Misalnya, apabila ahli waris terdiri dari ayah, ibu, suami

atau istri, dan anak-anak, mereka semua berhak atas harta warisan.

5. Hukum waris Islam tidak membedakan hak anak atas harta warisan. Anak

yang sudah besar, yang masih kecil, yang baru saja lahir, semuanya berhak

atas warisan orang tuanya. Namun, perbedaan besar kecilnya bagian diadakan

sejalan dengan perbedaan besar kecilnya beban kewajiban yang harus

ditunaikan dalam keluarga. Misalnya, anak laki-laki yang memikul beban

tanggungan nafkah keluarga mempunyai hak lebih besar daripada anak

perempuan yang tidak dibebani tanggungan nafkah keluarga.

6. Hukum waris Islam membedakan besar kecilnya bagian tertentu ahli waris

diselaraskan dengan kebutuhannya dalam hidup sehari-hari, disamping

memandang jauh dekatnya hubungan dengan pewaris. Bagian tertentu dari

harta itu adalah 2/3, ½, 1/3, ¼, 1/6, dan 1/8. Ketentuan tersebut termasuk

(13)

ketentuan Al-Qur’an adanya bahagian ahli waris yang sifat Ta’abbudi

merupakan salah satu cirri dari hukum waris Islam.40

Dalam hukum waris Islam juga terdapat Rukun Waris yakni :

1. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak

untuk mewarisi harta peninggalannya.

2. Ahli waris, yakni mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima

harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab),

atau ikatan pernikahan, atau ikatan lainnya

3. Harta warisan, yakni segala jenis benda atau kepemilikan yang

ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah dan sebagainya.41

Asas-asas Hukum Kewarisan Islam, yang digali dari keseluruhan ayat hukum

dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, yakni :

1. Asas Ijbari

Dalam hukum Islam peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada

orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa usaha dari yang

akan meninggal atau kehendak yang akan menerima. Cara peralihan seperti

ini disebut dengan Ijbari. Asas ini dalam Hukum Kewarisan Islam

mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal

kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah

SWT tanpa bergantung kepada kehendak dari pewaris atau permintaan dari

40

Muhammad Hasballah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam, Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009, hal 8-10

(14)

ahli warisnya. Unsur paksaan sesuai dengan arti terminologis tersebut terlihat

dari segi bahwa ahli waris terpaksa menerima kenyataan perpindahan harta

kepada dirinya sesuai dengan yang telah ditentukan.42 2. Asas bilateral

Asas bilateral dalam kewarisan mengandung arti bahwa harta warisan beralih

kepada atau melalui dua arah. Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima

hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis

keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan. Asas ini

dapat secara nyata dilihat dalam firman Allah SWT dalam Surat Al-Nisa’ (4):

7,11, 12 dan 176.43 3. Asas individual

Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual dengan arti

bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan.

Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa terkait

dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam

nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan

kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing.44 4. Asas keadilan berimbang

42Amir Syarifuddin,

Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Jakarta, 2004, hal 17-18 43

Muhammad Muhibbin dan Wahid Abdul, Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal 24

(15)

Kata adil hubungannya dengan kewarisan dapat diartikan keseimbangan

antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara yang diperoleh dengan

keperluannya dan kegunaannya. Asa ini mengandung arti harus senantiasa

terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara yang diperoleh

seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan

perempuan misalnya mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang

dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

Dalam system kewarisan Islam harta peninggalan yang diterima oleh ahli

waris dari pewaris pada hakikatnya adalah pelanjutan tanggungjawab pewaris

terhadap keluarganya. Oleh karena itu, perbedaan bagian yang diterima oleh

masing-masing ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggungjawab

masing-masing terhadap keluarga.45 5. Asas semata akibat kematian

Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepad orang lain

dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang

mempunyai harta meninggal dunia. Asas ini berarti bahwa harta seseorang

tidak dapat beralih kepada orang lain (keluarga) dengan nama waris selama

yang mempuyai harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk

peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara langsung maupun

45

(16)

terlaksana setelah ia mati, tidak termasuk kedalam istilah kewarisan menurut

Hukum Islam.46

Penyelesaian sengketa waris dalam Hukum Isam adalah sebagai berikut :

Menurut Komar Kantaatmadja, dalam arti sehari-hari “sengketa” dimaksudkan

sebagai keadaan di mana pihak-pihak yang melakukan upaya-upaya tertentu

(misalnya : perniagaan, waris, keluarga) mempunyai masalah, yaitu menginginkan

atau menghendaki pihak lain untuk berbuat sesuatu tetapi pihak lainnya menolak

untuk berlaku demikian.47 Dari kamus Bahasa Indonesia, 48kata “sengketa” berarti perselisihan, sedangkan Kamus Hukum Edisi Lengkap49 mengartikan perkara yang dapat diadukan. Dalam bahasa Inggris ada dua istilah yang mengandung makna

tentang adanya perbedaan kepentingan di antara kedua belah pihak atau lebih, yaitu

conflict” dan “dispute”. Istilah pertama, “conflict”, telah diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia menjadi konflik, sedangkan istilah kedua, “dispute” diterjemahkan

dalam bahasa Indonesia menjadi “sengketa”.50Sebuah konflik dapat berkembang atau berubah menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan telah

menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya baik secara langsung maupun tidak

langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak

46

Amir Syarifuddin,Op.Cit, hal 28

47Komar Kantaatmadja, “Beberapa Masalah Dalam Penerapan ADR”Makalah, FH-Unpad,

Bandung,1997, hal 1

48

Yan Pramudya Puspa, “Kamus Hukum Edisi Lengkap” Aneka, Semarang, 1977, hal 396

49Suharto dan T.Iryanto,”

Kamus Bahasa Indonesia Terbaru”, Indah, Surabaya, 1999, hal 193

50 Usma Rachmadi, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, PT Citra Aditya

(17)

lain. 51Sedangkan waris mengandung arti orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan) orang yang telah meninggal. Sedangkan arti “waris” menurut lughat

ialah pindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari satu kaum kepada

kaun yang lain. Sesuatu itu lebih umum daripada harta meliputi : ilmu’ kemuliaan dan

sebagainya, sedangkan pengertian waris menurut istilah ialah pindahnya hak milik

orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang

ditinggalkannya itu berupa harta bergerak dan tidak bergerak atau hak-hak menurut

hukum syara.52

B. Pembagian waris menurut Hukum Islam

Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan

adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik

laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak

pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya,

dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan

perempuan, besar atau kecil.

Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang

berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang

harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris,

apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan

hanya sebatas saudara seayah atau seibu.

51www.kamushukum.com, diakses pada tanggal 13 Mei 2012,

52M.Ali As-Shabun, ”Hukum Waris Dalam Syariat Islam”, Dipenogoro, Bandung, 1996, hal

(18)

Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan

pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits

Rasulullah SAW. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam

hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum

secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan

merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di

samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu

maupun kelompok masyarakat.

Hukum Islam adalah hukum yang bersifat universal, karena merupakan bagian

dari ajaran agama Islam yang universal sifatnya, yaitu berlaku bagi setiap orang di

manapun ia berada dan apapun nasonalismenya. Adapun tujuan dari hukum Islam

pada hakikatnya adalah untuk merealisir kemaslahatan umum dan mencegah

kemafsadatan bagi umat manusia.53 Di dalam hukum Islam masalah kewarisan mendapat perhatian besar dan merupakan bagian yang terpenting dalam sistem hukum Islam,

sehingga Islam mengatur pembagian warisan secara rinci agar tidak terjadi

perselisihan sesama ahli waris sepeninggal orang yang hartanya diwarisi. Pengaturan

ini dikenal dengan Hukum Kewarisan Islam, yaitu aturan yang mengatur pengalihan

harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya.54

Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimana saja

di dunia ini. Sungguhpun demikian, corak suatu negara Islam dan kehidupan masyarakat

53Yahya Muhtar,

Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Al-Ma’arif, Bandung 1993, hal 333

(19)

di negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan di daerah itu.55Tata cara pembagian harta warisan dalam Islam telah diatur sebaik-baiknya. Al-Quran menjelaskan

dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa

mengabaikan hak seorang pun. Pembagian masing-masing ahli waris baik itu laki-laki maupun

perempuan telah ada ketentuannya dalam Al-Quran. Allah SWT telah berfirman: “Bagi

orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan

bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan

kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (QS. An

Nisa:7).

Adapun pembagian waris menurut Al-Qur’an, yakni : jumlah bagian yang

telah ditentukan Al-Qur’an ada enam macam, yaitu setengah (1/2), seperempat (1/4),

seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6). Kini mari

kita kenali pembagiannya secara rinci, siapa saja ahli waris yang termasuk ashhabul

furudh dengan bagian yang berhak ia terima.

1. Ashhabul furudhyang Berhak Mendapat Setengah

Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separo dari harta waris peninggalan

pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan.

Kelima ashhabul furudh tersebut ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan

keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan

seayah. Rinciannya seperti berikut:

55

(20)

a. Seorang suami berhak untuk mendapatkan separo harta warisan, dengan syarat

apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak laki-laki maupun anak

perempuan, baik anak keturunan itu dari suami tersebut ataupun bukan.

b. Anak perempuan (kandung) mendapat bagian separo harta peninggalan

pewaris, dengan dua syarat:

1) Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki (berarti anak perempuan tersebut

tidak mempunyai saudara laki-laki).

2) Apabila anak perempuan itu adalah anak tunggal. Dalilnya adalah firman

Allah: “dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia

mendapat separo harta warisan yang ada”.

Bila kedua persyaratan tersebut tidak ada, maka anak perempuan pewaris

tidak mendapat bagian setengah.

c. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan mendapat bagian separo,

dengan tiga syarat:

1) Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki-laki dari

keturunan anak laki-laki).

2) Apabila hanya seorang (yakni cucu perempuan dari keturunan anak

laki-laki tersebut sebagai cucu tunggal).

3) Apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan ataupun anak

laki-laki.

d. Saudara kandung perempuan akan mendapat bagian separo harta warisan,

(21)

1) Ia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki.

2) Ia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara perempuan).

3) Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai

keturunan, baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan.

Dalilnya adalah firman Allah berikut: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: ‘Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaituj: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya …’” (an-Nisa’: 176)

e. Saudara perempuan seayah akan mendapat bagian separo dari harta warisan

peninggalan pewaris, dengan empat syarat:

1) Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki.

2) Apabila ia hanya seorang diri.

3) Pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan.

4) Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakak, dan tidak pula anak, baik

anak laki-laki maupun perempuan.

2. Ashhabul furudhyang Berhak Mendapat Seperempat

Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari harta

peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri. Rinciannya sebagai berikut:

a. Seorang suami berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta

peninggalan istrinya dengan satu syarat, yaitu bila sang istri mempunyai anak

atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-lakinya, baik anak atau cucu

(22)

b. Seorang istri akan mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan

suaminya dengan satu syarat, yaitu apabila suami tidak mempunyai

anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun dari rahim istri

lainnya.

3. Ashhabul furudhyang Berhak Mendapat Seperdelapan

Dari sederetan Ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian seperdelapan

(1/8) yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan

dari harta peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik

anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain. Dalilnya adalah

firman Allah SWT: “… Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh

seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuh, wasiat yang

kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu …” (QS An-Nisa’: 12)

4. Ashhabul furudhyang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga

Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta

peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita:

a. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.

b. Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.

c. Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.

(23)

Ketentuan ini terikat oleh syarat-syarat seperti berikut:

1) Dua anak perempuan (kandung) atau lebih itu tidak mempunyai saudara

laki-laki, yakni anak laki-laki dari pewaris. Dalilnya firman Allah berikut:

“… dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka

dua per tiga dari harta yang ditinggalkan …” (QS An-Nisa’: 11).

2) Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan

bagian dua per tiga (2/3), dengan persyaratan sebagai berikut:

a) Pewaris tidak mempunyai anak kandung, baik laki-laki atau perempuan.

b) Pewaris tidak mempunyai dua orang anak kandung perempuan.

c) Dua cucu putri tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki.

3) Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) akan mendapat bagian dua per

tiga dengan persyaratan sebagai berikut:

a) Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki maupun perempuan),

juga tidak mempunyai ayah atau kakek.

b) Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) itu tidak mempunyai

saudara laki-laki sebagai ‘ashabah.

c) Pewaris tidak mempunyai anak perempuan, atau cucu perempuan dari

keturunan anak laki-laki. Dalilnya adalah firman Allah: “… tetapi jika

saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari

harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal …” (an-Nisa’: 176)

4) Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) akan mendapat bagian dua per

(24)

a) Bila pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau kakek.

b) Kedua saudara perempuan seayah itu tidak mempunyai saudara laki-laki

seayah.

c) Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan dari

keturunan anak laki-laki, atau saudara kandung (baik laki-laki maupun

perempuan).

Persyaratan yang harus dipenuhi bagi dua saudara perempuan seayah

untuk mendapatkan bagian dua per tiga hampir sama dengan persyaratan

dua saudara kandung perempuan, hanya di sini (saudara seayah)

ditambah dengan keharusan adanya saudara kandung (baik laki-laki

maupun perempuan). Dan dalilnya sama, yaitu ijma’ para ulama bahwa

ayat “… tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi

keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal

…” (QS An-Nisa’: 176) mencakup saudara kandung perempuan dan

saudara perempuan seayah.

5. Ashhabul furudhyang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga

Adapun Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian

hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang

seibu.

a. Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat:

1) Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak

(25)

2) Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun

perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun seibu.

Dalilnya adalah firman Allah: “… dan jika orang yang meninggal tidak

mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya

mendapat sepertiga…” (An-Nisa’: 11)

b. Kemudian saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau

lebih, akan mendapat bagian sepertiga dengan syarat sebagai berikut:

1) Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki ataupun perempuan),

juga tidak mempunyai ayah atau kakak.

2) Jumlah saudara yang seibu itu dua orang atau lebih.

Adapun dalilnya adalah firman Allah: “… Jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing -masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu …” (QS An-Nisa’: 12)

Besarnya pembagian waris menurut Kompilasi Hukum Islam. Sesuai dengan

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dalam bab III mengenai pembahagian besarnya

waris :

1. Pasal 176

Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua

(26)

apabla anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian

anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.

2. Pasal 177

Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila

ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.

3. Pasal 178

1) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau

lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia

mendapat sepertiga bagian.

2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau

duda bila bersama-sama dengan ayah.

4. Pasal 179

Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan

bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagaian.

5. Pasal 180

Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan

bila pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan bagian.

6. Pasal 181

Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara

laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam

bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama

(27)

7. Pasal 182

Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia

mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ua mendapat

separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan

saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka

bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut

bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian

saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan.

8. Pasal 186

Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling

mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya

9. Pasal 190

Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-masing isteri

berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya,

sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya.

10. Pasal 191

Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali atau ahli warisnya

tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan

Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk

(28)

C. Konsep pembagian warisan dengan cara perdamaian (Tashaluh) menurut

Hukum Islam

Hukum Islam mengenal cara pembagian waris yang disebut dengan takharruj

atau tashaluh. Syariat Islam memperbolehkan salah seorang ahli waris menyatakan

diri tidak akan mengambil hak warisnya dan bagian itu akan diberikan kepada ahli

waris yang lain. Kasus ini dikalangan para ulama dikenal dengan “pengunduran diri”

dari hak warisnya.

Ash Shabuni menyebut cara penyelesaian dengan at takharaj min at tarikah,

yaitu pengunduran diri seorang ahli waris dari hak yang dimilikinya untuk

mendapatkan bagian secara syar’i dalam hal ini dia hanya meminta imbalan berupa

sejumlah uang atau barang tertentu dari seorang ahli waris lainnya ataupun dari harta

peninggalan yang ada. Hal ini dalam syariat Islam diperbolehkan dan dibenarkan.56 Menurut Ahmad Rofiq, cara damai tersebut sesuai dengan apa yang

diungkapkan oleh Muhammad Salam Madkur, bahwa Umar Bin Khattab ra

menasehatkan kepada kaum muslimin agar diantara pihak yang mempunyai urusan

dapat memilih cara damai. Umar ra berkata : “Boleh mengadakan perdamaian

diantara kaum muslimin, kecuali mengadakan perdamaian yang menghalalkan yang

haram dan mengharamkan yang halal”. Lebih tegas lagi Umar memerintahkan :

“kembalikanlah penyelesaian perkara diantara sanak saudara sehingga mereka dapat

56

(29)

mengadakan perdamaian, karena sesungguhnya penyelesaian pengadilan itu

menimbulkan perasaan tidak enak”.57

Selain itu, menurut Ahmad Rofiq, dengan cara damai (sulhu) memungkinkan

ditempuh upaya-upaya untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antara ahli waris

yang satu dengan yang lainnya, sebab kesenjangan ekonomi antara keluarga dapat

memicu timbulnya konflik di antara mereka.58

Dalam hal ini, Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebenarnya telah

mengakomodasi sistem pembagian warisan dengan cara damai (sulhu) ini dalam

pasal 183 yang menyatakan: “Para ahli waris dapat bersepakat melakukan

perdamaian dalam pembagian harta warian setelah masing-masing menyadari

bagiannya.” Kompilasi dengan klausal di atas menghendaki agar pembagian warisan

dengan cara damai (sulhu) ini para ahli waris mengerti hak-hak dan bagian yang

diterima, sebagaimana diatur dalam Al-Qur’an tentangfurud al-muqaddarah. Setelah

itu masing-masing pihak berdamai. Apabila ada di antara ahli waris yang ada secara

ekonomi kekurangan dan mendapat bagian yang sedikit, kemudian ahli waris yang

menerima bagian yang banyak dengan ikhlas memberikan kepada yang lain adalah

tindakan yang sangat positif dan terpuji,59 atau semuanya diserahkan kepada kesepakatan ahli waris untuk menentukan bagian mereka masing-masing.

57Ahmad Rofiq, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 2000,

hal.15 58

Ahmad Rofiq,Fiqh Mawaris Edisi Revisi,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 199 59

(30)

Meminjam istilah usul fiqh, kebiasaan yang terjadi berulang-ulang dalam

masyarakat dan menimbulkan kemaslahatan disebut dengan urf. Kata lain yang

semakna dengan ‘urf, adalah adat atau kebiasaan. Secara sosiologis, dalam

masyarakat sering terjadi suatu tindakan yang terjadi secara berulang-ulang dan

dianggap baik, karena tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.60Hal ini sejalan dengan kaidah yang berbunyi al-adah muhakkamah artinya kebiasaan itu dapat

dijadikan hukum.61 Kebiasaan semacam ini menjadi kelaziman dalam formulasi hukum yang diakomodasi dari nilai-nilai atau norma-norma adat yang tumbuh dalam

kesadaran masyarakat.

Ada yang menyatakan bahwa pembagian warisan dengan cara damai (sulhu)

sebagai bentuk sikap mendua. Di satu sisi mereka menginginkan ketentuan syara’

sebagai acuan dalam pembagian warisan dilaksanakan, tetapi di sisi lain,

kenyataannya mereka membagi warisan dengan cara damai (sulhu). Tetapi jika

diperhatikan, pembagian warisan dengan cara damai (sulhu) tidak otomatis dianggap

sebagai sikap mendua. Karena cara penyelesaian damai (sulhu) ini berdasarkan ayat

Al-Qur’an yang berbunyi:

“Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman."62

60

Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Hukum Adat Di Indonesia, INIS, Jakarta, 1998, hal 6

(31)

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”. “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”63

Pembagian warisan dengan cara damai (sulhu) ini biasanya dilakukan oleh

para ahli waris agar hubungan kekeluargaan tetap terjalin dengan baik. Sebenarnya,

inti pokok dari asas ini adalah adanya kerelaan dari ahli waris yang ada untuk

memberikan bagian sesuai dengan “kehendak” dari ahli waris. Kalau ada ahli waris

yang karena secara ekonomis berkecukupan, sementara ahli waris yang lain ada yang

miskin, maka dengan kerelaan, ahli waris yang miskin mengambil bagian yang lebih

banyak. Begitu juga dapat terjadi seorang ahli waris memberikan tambahan bagian

pada bagian ahli waris-ahli waris yang lain, sedangkan ahli waris yang bersangkutan

ikhlas tidak mengambil bagiannya sama sekali.

Kata mufakat yang dihasilkan berdasarkan musyawarah, kadang-kadang

mengakibatkan adanya perbedaan bagian yang diterima oleh ahli waris dengan bagian

menurut yang ditentukan dalam Islam. Walaupun demikian, semangat atau jiwa dari

hukum kewarisan Islam tidak ditinggalkan, artinya pada ahli waris ada kesadaran

mengenai bagian yang mesti didapat berdasarkan angka-angka faraid, tetapi sering

kali hal itu disubordinasikan (ditarik ke belakang) dengan memberikan kesempatan

bagi prinsip “kerelaan” untuk lebih berperan. Hal ini terbukti ketika ahli waris tidak

63

(32)

menemui kata sepakat, yang berarti kerelaan di antara ahli waris tidak ada, maka

satu-satunya alternatif adalah menjalankan ketetapan sebagaimana termaktub dalam

hukum kewarisan Islam.

Berbagai alasan mungkin mendorong sebagian ahli waris merelakan sebagian

haknya kepada ahli waris yang lain. Misalnya :

1. Salah seorang ahli waris adalah seorang yang berhasil dalam kehidupan

ekonominya bila dibandingkan dengan ahli waris yang lain. Dengan demikian

secara sukarela ia memberikan haknya kepada pihak yang kurang berhasil

kehidupan ekonominya.

2. Salah seorang ahli waris menyadari bahwa yang paling banyak mengurus

orang tuanya semasa hidupnya adalah salah seorang dari ahli waris yang

ditinggalkan sehingga wajar jika ahli waris yang seorang itu mendapatkan

warisan yang lebih banyak dari harta peninggalan si pewaris.

Pada prinsipnya cara perdamaian (sulhu) adalah cara yang dibenarkan, agar

suasana persaudaraan dapat terjalin dengan baik, sepanjang perdamaian itu tidak

dimaksudkan untuk mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, maka

diperbolehkan, sebagaimana Hadist Rasulullah SAW yang artinya: “Perdamaian itu

diperbolehkan di antara kaum muslimin, kecuali (perdamaian) untuk menghalalkan

yang haram dan mengharamkan yang halal.”

Meskipun demikian, praktek pembagian harta warisan berdasarkan

(33)

1. Keharusan adanya kecakapan bertindak secara hukum dari pihak-pihak yang

terlibat dalam pembagian warisan. Hal ini disebabkan karena dalam pembagian

warisan berdasarkan musyawarah (sulhu) memungkinkan adanya sebagian

pihak yang mengorbankan atau menggugurkan haknya baik secara keseluruhan

mapun sebagiannya. Masalah pengguguran hak milik, karena berkaitan dengan

praktik menghilangkan hak milik seseorang, berhubungan erat dengan masalah

kecakapan untuk bertindak secara hukum, artinya pengguguran suatu hak milik

baru dianggap sah, apabila dilakukan oleh seseorang secara sukarela dan

sedang mempunyai kecakapan bertindak.

2. Pembagian waris berdasarkan berdasarkan musyawarah dan mufakat (sulhu)

dilakukan bukan karena tidak puas terhadap ketentuan-ketentuan yang telah

ada berdasarkan hukum kewarisan Islam, misalnya seorang anak perempuan

yang merasa tidak puas karena hanya mendapatkan setengah dari bagian anak

laki-laki, maka ia mengusulkan pembagian waris berdasarkan musyawarah

(sulhu). Musyawarah yang seperti ini justru mencerminkan ketidakikhlasan

berhukum kepada ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya. Dengan kata lain,

musyawarah yang seperti ini mencerminkan jiwa yang tidak taat kepada Allah

SWT dan Rasul-Nya yang akan berakibat menurunkan nilai keimanan dan

mencerminkan kerendahan akhlak terhadap Allah dan Rasul-Nya.

Sistem faraid dalam Islam memberi peluang kepada para ahli waris untuk

membagi warisan tanpa harus mengikuti detail pembagian yang telah ditetapkan oleh

(34)

masing-masing ahli waris kemudian bisa berubah sesuai kesepakatan para ahli waris

tersebut. Atas dasar kesadaran penuh dan keikhlasan setiap ahli waris, satu ahli waris

bahkan bisa saja sepenuhnya menyerahkan haknya untuk diberika kepada ahli waris

Referensi

Dokumen terkait

intraocular pressure reduction and changes in anterior segment. biometric parameters following cataract surgery

Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa 75% responden sangat setuju pembelajaran al-Qur'an menjadikan peserta didik lebih istiqomah dalam membaca al-Qur'an, 25% menjawab setuju,

Hal yang menarik untuk diteliti adalah bagaimana pandangan Michael Cook terhadap fenomena Common Link serta bagaimana Cook mengaplikasikan teori The Spread of Isna>d

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pe- manfaatan daun kaliandra sebagai sumber protein dalam pakan itik, dapat digunakan sampai 10%, karena diatas level tersebut

Agar penelitian kesehatan gigi dan mulut dapat mencerminkan gambaran penyakit gigi yang sebenarnya dengan metode sama, langkah yang perlu ditempuh adalah mengukur tingkat koreksi

Kesimpulan dari Tesis ini adalah Legalitas Akta Jual Beli dan Pengalihan Hak yang lahir akibat wanprestasi hutang piutang tidak sah dan batal demi hukum

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan konsentrasi nitrogen dan fosfor dalam proses reduksi lumpur dengan cacing akuatik.. Penelitian

Aliran ini sambil mengalir melakukan pengikisan tanah dan bebatuan yang dilaluinya (Ilyas, 1990 dalam Setijanto, 2005). Sungai merupakan bentuk ekosistem perairan mengalir