• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resiliensi Komunitas di Kawasan Rawan Be

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Resiliensi Komunitas di Kawasan Rawan Be"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

Resiliensi Komunitas di Kawasan Rawan

Bencana Gunungapi Merapi dalam

Perspektif Konstruksi Ruang-Waktu

RINGKASAN DISERTASI

YASIN YUSUP

NIM: 35410002

(Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota)

(2)

Resiliensi Komunitas di Kawasan Rawan

Bencana Gunungapi Merapi dalam

Perspektif Konstruksi Ruang-Waktu

Disertasi ini dipertahankan pada Sidang Terbuka Komisi Sekolah

Pascasarjana, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor Institut Teknologi Bandung

Sabtu, 20 Februari 2016

YASIN YUSUP

NIM: 35410002

(Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota)

Promotor: Prof. Arief Rosyidie, Ph.D

Ko-promotor I: Ir. Djoko Santoso Abi Suroso, Ph.D

Ko-promotor II: Ir. Teti Armiati Argo, MES, Ph.D

(3)

1

Resiliensi Komunitas di Kawasan Rawan Bencana

Gunungapi Merapi dalam Perspektif Konstruksi

Ruang-Waktu

Yasin Yusup NIM: 35410002

Pendahuluan

Pemikiran resiliensi sejak kemunculannya 4 dekade lalu di bidang ekologi berevolusi mulai dari resiliensi berbasis equilibrium (resiliensi rekayasa dan ekologi) sampai dengan resiliensi berbasis non-equilibrium (resiliensi social-ekologi atau evolusioner) (Davoudi, 2012). Resiliensi pada awalnya lebih dilihat sebagai atribut sistem, tetapi pada perkembangan berikutnya resiliensi dilihat sebagai hasil proses keagenan baik agensi manusia maupun bukan manusia (Rosin dan Dwiartama, 2014), meskipun demikian ada keagenan lain yang belum sepenuhnya diperhitungkan yaitu agensi proses relasional dan aliran material serta agensi kewaktuan mencakup skala yang luas dan panjang (Jones, 2011). Di sisi lain ada kecenderungan pemikiran resiliensi terjebak ke dalam menaturalisasi proses sosial-ekologis, menanggalkan konten sosial, menyembunyikan mekanisme bagaimana sistem dibangun secara social, dan depolitisasi pilihan nilai, serta tidak bisa menangkap pengalaman hidup (Porter dan Davoudi, 2012; Simonsen, 2012). Disinilah pentingnya Teori Produksi Ruang (Lefebvre, 1991) yang dilengkapi dengan perspektif rhythmanalysis (Lefebvre, 2004) dan Actor Network Theory yang diperluas (Latour, 2005; Jones, 2011) yang selanjutnya peneliti sebut sebagai “konstruksi ruang-waktu” untuk bisa mengisi celah teoritik tersebut.

(4)

2

menemukan dirinya mampu menipiskan (jika tidak menyelesaikan) kontradiksi internal selama satu abad, dan akibatnya, dalam seratus tahun sejak penulisan Capital, telah berhasil mencapai 'pertumbuhan'. Kita tidak bisa menghitung berapa harganya, tetapi kita tahu caranya: dengan menduduki ruang (by occupying space), dengan memproduksi ruang (by producing a space). (Lefebvre, 1976 [1973], p.21). Salah satu tujuan Lefebvre dalam menekankan pentingnya keruangan adalah untuk menjelaskan kelangsungan kapitalisme di abad kedua puluh satu, yaitu kapitalisme selamat (survived) melalui krisis dengan memproduksi ruang baru dan menempati ruang. Oleh karena itu, Lefebvre (1996 [1968], p.130) membuat pembedaan yang jelas antara industrialisasi dan urbanisasi. Industrialisasi berkaitan dengan alat-alat produksi (means of production), sementara urbanisasi adalah tentang penataan ruang (spatial arrangement) dan dampaknya terhadap pembentukan kehidupan sehari-hari. Dalam dunia modern, urbanisasi juga telah menggantikan industrialisasi sebagai permasalahan kunci (key problematic) dalam masyarakat modern (1991 [1974], hal.89).

(5)

3

Peneliti melihat bagaimana kapitalisme survive bahkan tumbuh setelah menghadapi beragam krisis yang menempanya dengan cara mendiami dan memproduksi ruang, serta mensikronisasi irama komodifikasi dengan irama kehidupan sehari-hari bisa menjadi inspirasi bagaimana komunitas di kawasan rawan bencana bisa juga survive dan tumbuh karena ditempa oleh lingkungan yang berisiko bencana. Resiliensi komunitas oleh karenanya bisa dicapai dengan mengkonstruksi ruang-waktu adaptasi terhadap risiko bencana dan pemanfaatan peluang penghidupan terkait, serta penyelarasan beragam irama (alam, budaya, ekonomi, dan politik) untuk membangun resiliensi yang mencerminkan bagaimana agensi proses relasional dan aliran material skala besar, agensi kewaktuan, agensi nonhuman dan agensi manusia dinternalisasi dan diselerasaskan.

(6)

4

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode regressive-progressive untuk bisa menyelidiki akar kerentanan maupun resiliensi suatu komunitas dalam konteks politik-ekonomi, ekologi, social, budaya dan bahaya yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Sebagai bagian dari proyek menuang kembali Marx (Butler, 2012), Lefebvre menawarkan metode regressive-progressive untuk menyelidiki ruang dengan mengkreasikan kembali materialisme dialektik (Stanek, 2008: 7 dalam Wang, 2014: 6). Lefebvre berargumentasi bahwa ruang social harus diselidiki baik melalui kompleksitas vertikal (historisitas ruang) maupun kompleksitas hosirontal-nya (kondisi komunitas dalam periode waktu historis tertentu). Lefebvre berargumentasi bahwa sejarah ruang adalah meningkatnya tingkatan urbanisasi. Sepanjang sumbu sejarah ruang, Lefebvre menggunakan istilah ‘abstract space’

(7)

5

baru (misalnya, penciptaan ruang baru di daerah pedesaan) dan pendudukan ruang (misalnya, pembaharuan perkotaan di daerah perkotaan), urbanisasi menyebabkan marjinalisasi kelas pekerja dari pusat kota ke pinggiran. Kontradiksi kelas karena itu diubah menjadi kontradiksi pada ruang di dalam kota. Lefebvre menggunakan istilah fenomena urban untuk menekankan bahwa urbanisasi itu sendiri, bukan industrialisasi, yang merupakan masalah kunci masyarakat modern (Lefebvre, 1991 [1974], hal.89 dalam Wang, 2014). Di KRB Merapi urbanisasi juga terjadi, ditandai dengan pergeseran corak ekonomi subsisten ke ekonomi pasar pada tahun 1980-an, setelah program pembangunan orde baru masuk ke dalam KRB. Urbanisasi ini selain di satu sisi membawa kemakmuran bagi warga KRB, tetapi di sisi lain juga menciptakan kerentananan bagi warga, khususnya terkait dengan rutinitas keseharian seperti merumpur di saat aktivitas letusan G. Merapi tinggi dan rusaknya jalan evakuasi akibat penambangan pasir (Dove, 2008; Donovan, 2010; Hakim, 2013; Nazaruddin, 2013).

(8)

6

(2004): “Lefebvre sebagaimana Marx merupakan seorang pemikir ‘the possible’. Hal ini bisa dilihat dari corak analisis regressive-progressive. ‘Tahapan suksesif regressive-progressive’, seperti klaim Lefebvre, ‘memperkenankan kita untuk mengeksplorasi kemungkinan baru (the possible), yaitu baik analisis historis regressive tentang kondisi kemungkinan saat ini (the present), menggunakan saat ini (the present) untuk memahami masa lalu (the past), dan masa lalu untuk mengetahui saat ini; dan analisis progressive revolusioner yang membuka kemungkinan baru di masa depan (the future).

Penelitian ini terkait dengan resiliensi komunitas di Kawasan Rawan Bencana, sehingga peneliti mengadaptasi Diagram Ruang-Waktu Sejarah Ruang menjadi Diagram Ruang-Waktu Perkembangan dan Pergeseran Corak Adaptasi di KRB G. Merapi. Sumbu vertikal terkait perubahan tingkatan “urbanisasi” yang menggambarkan corak produksi pada waktu tertentu, diganti dengan perkembangan dan pergeseran corak adaptasi terhadap risiko letusan Gunungapi Merapi. Penelitian ini fokus kepada letusan-letusan Merapi pada dekade terakhir Abad 20 dan dekade awal Abad 21 yang menjadi momen-momen penting bagi ‘kematian’ maupun ‘kehidupan’1 atau lebih tepatnya naik dan turunnya corak

adaptasi tertentu, serta transformasi beragam corak adaptasi terhadap risiko bencana letusan (seperti transformasi adaptasi berbasis kepercayaan lokal ke adaptasi berbasis sains dan teknologi; transformasi adaptasi berbasis teknokratik ke adaptasi yang lebih bersifat community base; transformasi adaptasi yang bersaing menjadi adaptasi yang saling bekerja bersama-sama). Lintasan historis (historical trajectory) corak adaptasi yang beragam dan silih-berganti menunjukkan apa yang disebut Holling (2003) sebagai: “tarian melalui siklus tumbuh (K), roboh (Ω), reorganisasi (α), dan pembentukan kembali (r).” Dinamika letusan menjadi momen

1 Meminjam istilah Jane Jacobs thelife and thedeath dalam The Death and Life

(9)

7

perubahan corak adaptasi tersebut. Menurut Elden: “Momen merupakan waktu -waktu penting ketika ortodoksi yang ada terbuka untuk ditantang, ketika hal-hal tersebut berpotensi untuk dibatalkan atau diubah secara radikal, momen krisis dalam arti asli dari istilah tersebut. Lefebvre lebih mengistimewakan pentingnya instan [momen], daripada gagasan Bergsonian tentang durée [durasi]. (Elden, 2014: ix)”. Bencana dan peristiwa letusan ekstrem menjadi momen-momen transformatif baik kebijakan, penghidupan, maupun corak adaptasi (Birkmann dkk., 2010; Johnson dkk., 2005; Pelling dan Dill, 2010; Gunderson dan Holling, 2002) di Merapi yaitu:

1. Letusan 1994 menjadi momen transformasi dari corak adaptasi teknokratik menuju corak adaptasi berbasis komunitas atau sering disebut sebagai Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komununitas (PRBBK), seperti dalam kasus pembentukan PASAG Merapi, khususnya untuk Komunitas Kalitengah Lor dan Deles.

2. Letusan 2006 menjadi momen transformasi dari corak adaptasi berbasis kompetisi menjadi corak adaptasi berbasis forum, seperti dalam kasus FORUM Merapi.

3. Letusan 2010 menjadi momen transformasi dari corak adaptasi berbasis kepercayaan local menjadi corak adaptasi berbasis sains dan teknologi, seperti dalam kasus komunitas Pelemsari.

(10)

8

Begitu juga sumbu vertikal merepresentasikan agensi kewaktuan termasuk waktu geologi dan geomorfologi yang mempengaruhi ritme letusan, selain waktu historis. Diagram pada Gambar I merupakan sintesis dari beberapa analisis beberapa analisis sebelumnya yaitu semiotika, fenomenologi, dan ANT.

Gambar I Sejarah dan Prospek Ruang-Waktu Corak Adaptasi di KRB Merapi

(11)

9

Hasil dan Pembahasan

Analisis Risiko Bencana Letusan dan Atribut Resiliensi

Mendasarkan Gambar II (Cronindkk., 2013), terlihat, bukaan kawah dan arah aliran piroklastik letusan 2010 mengarah ke Kali Woro dan Dusun Deles, tetapi karena terhalang bukit Kukusan dan Kendil, arah aliran piroklastiknya berbelok mengikuti alur Kali Gendol dan surukan piroklastiknya naik Bukit Cemara dan menghantam Dusun Kinahrejo-Pelemsari, meski begitu ada sebagaian surukan piroklastik masuk di alur Kali Woro dan sebagian menaiki bukit Kendil, tetapi berhenti di sana (letusan pertama dan kedua). Baru pada letusan puncak surukan piroklastik mampu menerjang Bukit Kendil dan menghancurkan Dusun Kalitengah Lor, tetapi tidak sampai menghancurkan Dusun Deles.

(12)

10

(13)

11

terkena surukan piroklastik, semantara Dusun Deles tetap aman, lihat tanda bintang. Dari hasil wawancara dan dokumen; sampai dengan tanggal 3 atau bahkan 4 November 2010 masih ada warga yang berani pulang untuk memberi makan ternak sapi atau fenomena “part

timer evacuation” masih berlangsung. Dengan kata lain relasi dengan ternak yang tidak ikut dievakuasi meningkatkan kerentanan warga dusun di lereng Merapi. Barak Pengungsian warga Kalitengah Lor di Dusun Glagahmalang juga terkana awan panas, lihat tanda kotak; 4 orang relawan meninggal; tetapi warga sudah meninggalkan barak tersebut, sebelumnya.

Mendasarkan struktur geologi, setting morfologi lereng selatan, dan letusan 1994, 2006, dan 2010, serta analisis profil melintang dusun-dusun tersebut sebelumnya (Yusup, 2009); dapat disimpulkan pula bahwa ambang batas Dusun Pelemsari adalah letusan dengan skala VEI 2-3, Dusun Kalitengah Lor letusan dengan skala VEI 3-4, sementara Dusun Deles, letusan dengan skala VEI 4-5.

(14)

12

ruang Lefebvre (Schmid, 2008) dilepaskan dari alam fikir dan pengalaman warga (the conceived dan the lived).

(15)

13

agensi kewaktuan dalam pembuatan peta KRB, karena bila tidak dipertimbangakan akan selalu terjadi fenomena risk transference bagi wilayah di luar KRB yang tidak dikontrol. Urip Bahagia, Kepala BPBD Sleman menceritakan bagaimana korban terbesar letusan 2010 justeru warga di luar KRB III, yang tidak masuk dalam rencana kontinjensi (contingency plan) pemerintah saat itu:

“Tahun 2010 itu saya punya scenario dalam rencana kontinjensi plan itu bahwa pengalaman yang sudah jarak ini 7 km maksimal, sehingga kami menyusun scenario pada waktu itu 10 km, sehingga pada waktu dinyatakan siaga saya mengevakuasi daerah/kawasan 10 km, sehingga saya menyatakan 7 km ke atas ini yang bahaya, saya masih punya reserve [cadangan] 3 km, sehingga orang-orang yang di barak pengungsian yang jaraknya 10 km aman [letusan pertama], di Jetis, Glagaharjo, Kepuharjo, semua satu garis 10 km ini aman; tetapi ternyata apa yang terjadi bahwa ada perubahan karena kemarin ini periodenya 100 tahunan ini maka letusannya menjadi besar dan merapi itu eksplosif baru kali ini, tapi saya salut pada BPPTKG ramalannya 2010 paling hebat. Selama ini Merapi efusif terus. Merapi selalu efusif. Nah kemarin eksplosif, sehingga orang yang 10 km kesana sampai ke puncak itu saya amankan . Nah yang 10 kesana tidak saya ungsikan. sehingga ketika kemarin meletus 2010; yang meninggal itu, justeru yang 10 ke atas, 12 km ke atas. Ini kemblekan [keruntuhan aliran piroklastik], karena apa? Pada waktu itu [perubahan zona bahaya] diputuskan 20 km itu, jam setengah 10 malam dan letusan itu terjadi jam 12 kurang 2 menit. Berarti hanya 2 jam. Nah ketika 2 jam itu kawan-kawan yang kurang dari 10 km sudah tak ungiskan. Gampang [mudah] diungsikan karena dia sudah ngelumpuk [berkumpul] di pengungsian, sehingga ketika saya pindah di Meguwoharjo ndak ada masalah. karena orangnya sudah jadi satu. Nah mereka yang tidur di rumah itulah yang meninggal. Karena apa? Saya harus nggugahi siji-siji [membangunkan satu-satu], waktunya ndak mungkin (27 Juli 2013).

Akar Kerentanan dan Resiliensi Komunitas di KRB Merapi

(16)

14

management) atau disingkat CBDRR mulai tumbuh membayangi corak adaptasi berbasis kepercayaan local dan corak adaptasi teknokratik, lihat Gambar IV Bagian C dan Bagian B dan Gambar III. Momen bencana 2010 dengan ruang representasi meninggalnya Mbah Marijan dan penyematan gelar Mbah untuk Surono) dibaca secara simbolik sebagai pergantian corak adaptasi berbasis budaya dengan pola adaptasi berbasis sains dan teknologi (Nazaruddin, 2013).Peneliti tidak sepenuhnya sepakat dengan Nazaruddin (2013) yang melihat letusan 2010 sebagai sesuatu yang tidak terpahami dan pada akhirnya dikeluarkan dari sistem pengetahuan warga (Nazaruddin, 2013), tetapi justeru malah memperluas pengetahuan warga bahwa ancaman Merapi bukan sekedar letusan tipe Merapi yang menghasilkan awan panas guguran yang mengikuti alur sungai tetapi letusan eksplosif yang menghasilkan surukan piroklastik (atau dalam istilah warga ‘geni’) yang bisa melampaui hambatan topografi, yang berimplikasi pada rekonstruksi ulang konsep kerentanan di Merapi dari rentan hanya bagi 4 kelompok2, tetapi

kelompok rentan juga termasuk relawan sendiri.3 Tewasnya beberapa relawan yang

terjebak di Dusun Pelemsari maupun di barak pengungsian di Glagaharjo menjadi ruang representasional bahwa konsepsi kelompok rentan perlu dirubah; begitu juga

2 Menurut Ngatimin dan Badiman : “ the ‘beware’ status means evacuating as

soon as possible the vulnerable groups including the elderly, children and infants, pregnant or lactating women, and increasing preparedness of people” (Nazaruddin, 2013:56)

3 “Kalau kita menyebut rentan di Merapi kadang-kadang kita berfikir; satu ibu

(17)

15

banyaknya korban jiwa di luar KRB III termasuk korban di dusunnya Mbah Marijan yang bertahan di dusunnya menjadi ruang representasional bahwa risiko bencana bersifat dinamis tidak bisa dibatasi secara kaku dan tetap hanya berdasarkan pengalaman masa lalu yang terbatas, seperti dikatakan Sukiman:

“Padahal kalau itu kembali ke kebiasaan tadi, biasane mung udan awu kok, kapan? Harus begitu, selama kamu hidup? Tapi ini dulu batu-batunya mulai kapan Mbah? Sak kelinganku. Sak kelingane njenengan tapi sak derengane njenengan tukul urip metenger kuwi kanan kiri njenengan [Seingat saya. Seingat kamu, tapi sebelum kamu lahir itu di kanan kiri kamu] sudah ada batu besar. Itu asalnya dari mana ya? Mengajak relawan berfikir seperti itu, kalau tidak seperti itu malah bisa jadi keliru relawan malah jadi [kelompok] rentan baru. Mbah Marijan itu seumurnya Mbah Marijan itu sana itu cuman hujan abu, tahun berapa lahirnya? Kan harus seperti itu; terus Merapi kalau mau seperti sebelumnya Mbah Marijan kapan? Ya terserah Merapi. Kalau begitu: ‘wayahe nyisih kudu nyisih wayahe bali kudu bali, ra kudu ninggal kampong tandur sak lawase, ning aja

penak-penak wayahe kudu nisih’ [waktunya menyingkir harus menyingkir, waktunya kembali harus kembali, tidak harus meninggalkan kampong dan pertanian selamanya, tetapi jangan terlena saatnya harus menghindar]. Begitu kira-kira, untuk siapa? Semua, harus semua tidak ada yang tentengan dewe neng kono [tidak ada yang bertahan di atas].”

(18)

16

Gambar III Konstruksi Ruang-waktu Kerentanan-Resiliensi Komunitas Pelemsari

Disini tampak bahwa laki-laki juga dihadapkan pada risiko karena peran gender yang ada. Mayoritas di antara korban yang meninggal ini adalah laki-laki yang tetap tinggal di rumah dan kampung. Salah satu alasannya adalah karena pandangan budaya bahwa menjadi laki-laki harus berani mengambil risiko dan yang menjadi paling akhir mengungsi. Menjadi laki-laki berarti tidak takut mengambil risiko, tidak boleh ragu dan tidak boleh larut dalam kesedihan, seperti menangis. Bukankah itu konstruksi yang kuat tentang bagaimana maskulinitas menjadi bagian dari kehidupan seorang laki-laki? Ini menggambarkan, bahkan

(19)

17

dengan konstruksi gender yang ada sekalipun, dapat mengantarkan laki-laki dalam kondisi yang berisiko (Fatimah, 2012: 15). Peneliti sepakat dengan Fatimah bahwa ada pengaruh budaya patriarki terkait kerentanan relawan, tetapi bukan semata faktor budaya tersebut, perubahan karakter letusan juga berpengaruh, termasuk faktor-faktor lainnya seperti kepercayaan lokal, ekonomi, dan sebagainya yang jalin-menjalin satu dengan lainnnya mengkonstruksi kerentanan relawan. Donovan (2012; 2010) menemukan ‘bukan hanya kepercayaan local yang mempengaruhi keenggananan melakukan evakuasi, tetapi faktor ekonomi (khususnya ternak) juga berpengaruh. Relasi dengan ternak dan keamanan kampung yang menyebabkan penduduk melakukan evakuasi hanya ‘paroh waktu’ saja (“part timer evacuation”) dan penduduk “non rentan” termasuk relawan tidak evakuasi, tetapi menjaga kampung halamannya, mereka hanya akan evakuasi bila keadaan benar-benar berbahaya’. Yunus (1996) juga menemukan 3 faktor yang mempengaruhi mengapa penduduk “berani” hidup di daerah yang berisiko; yaitu kepercayaan lokal, kerusakan yang tidak mendadak, dan melimpahnya sumber pendapatan; sementara Putranto (1990) menemukan juga faktor kondisi lingkungan sosial yang bagus. Hubungan interpersonal antar penduduk kampung membawa perasaan senasib sepenanggungan dalam menghadapi masalah lingkungan. Mereka secara sosial memiliki pertalian yang erat, melalui gotong-royong membantu sesama menciptakan lingkungan persaudaraan yang baik (Yunus, 1996).

(20)

18

> 1994

A

> 2010

1994

> 2006

2010

2006

C

B

2006

1994

2010

Abad 20

> 2010

> 2006

2006

2010

> 1994

1994

> 2010

Komunitas di

Lereng Selatan

G. Merapi

Komunitas

Pelemsari

(21)

19

Gambar IV Letusan 1994, 2006 dan 2010 (lihat Ω di bagian A) menjadi momen penting

transformasi pengelolaan risiko bencana dari technocratic based menjadi

community based di Lereng Selatan Merapi (lihat α di bagaian A), tetapi khusus Dusun Pelemsari, transformasi itu tidak terjadi sampai dengan

letusan 2010 (lihat α di Gambar B). Meskipun sebagian pemuda mengikuti

pelatihan kesiapsiagaan bencana dan tergabung dalam komunitas PASAG Merapi mulai melihat pentingnya CBDRM setelah letusan 1994 dan 2006

(lihat α di Gambar C), namun mainstream corak adaptasi bencana tetap

cultural based (kepercayaan local) dan Juru Kunci menjadi rujukan utama (lihat r dan K di Gambar B) yang sudah berjalan sejak awal abad 20.

Letusan 2010 (lihat Ω di bagaian B) menjadi momen transformative dari

adaptasi berbasis budaya menjadi adaptasi berbasis sainstek (lihat α di

bagian B).

(22)

20

Konstruksi Ruang-Waktu Adaptasi Alternatif

Sukiman membayangkan dan menggambarkan bagaimana respon warga Deles saat erupsi merapi ke dapannya: “Ketika Merapi sedang erupsi yang secara periodic setiap 3 sampai 5 tahunan sekali, kami mengungsi layaknya sedang refreshing, karena kami sudah sangat siap, kami sangat menyadari keberadaan kami, bahwa kami hidup selaras berdampingan dengan anugerah dan juga bahaya merapi”. Apa yang digambarkan Sukiman masih merupakan sebuah ‘obyek virtual’ yang menggambarkan kemungkinan sebuah ruang-waktu yang berbeda (the possibility of differential space-time) yang merupakan wujud dari transformasi kehidupan sehari-hari, manajemen diri sendiri (autogestion) dan politik difference (Wilson, 2013). Menjadikan letusan menjadi ‘momen refreshing’ bukan ‘mengungsi’ menjadi mungkin terwujud karena warga Deles telah membiasakan tindakan resiliensi sehari-hari (the everyday acts of resilience) dan membangun relasi desa bersaudara sebagai tempat pengungsian yang nyaman, seperti diceritakan Sukiman sebagai berikut:

“Masing-masing KK mempunyai [tabungan siaga], dikelola setiap RT dan ditabung ke bank, per orang memegang buku satu-satu. Jadi nanti suatu saat nanti kalau terjadi Merapi itu erupsi atau meletus, itu ya seperti hari raya itu, kita refreshing bukan mengungsi, karena kita sudah mempunyai

modal dari tabungan siaga itu.”

“Kehidupan di Desa Manjung bagi pengungsi; ‘Kami bagaikan di rumah sendiri, kami lupa bahwa [kami berada] di desa lain karena mengungsi 2

hari semua kehidupan tetap berjalan seperti layaknya di rumah sendiri’,

pelayanan dan sumbangan mental dari warga Manjung membuat kami krasan. Hari kedua anak-anak yang sekolah tetap bisa sekolah diterima di Sekolah Dasar Manjung I dan II. Ternak yang kami bawa disediakan tempat oleh warga Manjung, rumput di bebaskan kemanapun mau.”

(23)

21

lainnya. Selain masalah kesehatan fisik, para korban juga rentan mengalami masalah kesehatan psikologis (Kusumaningtyas, 2014). Agustina (2010) menyebutkan bahwa korban yang tinggal di barak pengungsian Stadion Maguwoharjo sangat bosan karena diperlakukan hanya untuk makan dan tidur, selain itu peristiwa [letusan] juga mengguncang jiwa para korban. Korban Erupsi Merapi tahun 2010 juga mengeluh tentang layanan kesehatan yang terlalu jauh dari barak pengungsian, sehingga menyebabkan banyaknya korban sakit yang tidak mendapatkan pertolongan (Agustina, 2010). Keluhan lain yang diungkapakan korban Erupsi Merapi tahun 2010 di barak pengungsian adalah keterbatasan akan ketersediaan air bersih, bantuan yang tidak terdistribusi dengan cepat, tepat dan merata, serta kurangnya privasi diantara pengungsi (Agustina, 2010).

Letusan sebagai ‘momen refreshing’ menjadi istimewa karena bisa menjawab keraguan Nazaruddin (2013) yang mempertanyakan apakah letusan bisa menjadi semacam momen istirahat atau momen liburan yang diisi dengan kegiatan rekreasi seperti dalam masyarakat modern bagi warga Merapi? Menurut peneliti letusan sebagai momen refreshing bukan sekedar melepas kepenatan dari rutinitas kerja, tetapi juga terkait dengan bagaimana menyelaraskan diri dengan anugerah dan bahaya Merapi, seperti tercermin dalam kalimat “Kami sangat menyadari keberadaan kami, bahwa kami hidup selaras berdampingan dengan anugerah dan

(24)

22

dengan salah satunya apakah melulu bahaya atau sumberdaya. Baik letusan sebagai bahaya maupun anugerah merupakan ‘kesatuan proses atau sebagai satu momen khususnya saja’ (Merrifield, 1993).

Menyikapi letusan sebagai ‘momen refreshing’ dengan melakukan evakuasi merupakan bentuk konkrit hidup selaras dengan anugerah dan bahaya Merapi karena pada saat letusan terjadi baik momen bahaya maupun momen anugerah sedang berlangsung yang bila penduduk berada pada jalannya momen (ruang-waktu) itu berlangsung, maka yang terjadi adalah bencana. Mengungsi sebagai ‘momen refreshing’ mencerminkan warga memahami dan berusaha menyelaraskan dengan irama Merapi, seperti dinyatakan Sukiman : “wayahe nyisih kudu nyisih wayahe bali kudu bali, ora kudu ninggalke kampung tandur sak lawase ning aja

penak-penak nek wayahe kudu nyisih."4 Meskipun demikian, sampai dengan

letusan 2010, peneliti menemukan bahwa masih ada benturan antar elemen irama lingkungan, misalkan antara irama letusan dengan kebutuhan hewan domestik yang menjadikan warga KRB melakukan part-timer evacuation untuk merumput dan memberi makan hewan ternaknya yang tentu saja meningkatkan kerentanan komunitas di KRB III, karena merumput disaat letusan dalam momen bahaya bisa berakibat bencana. Praktek merumput menjadi tak terhindarkan karena sudah menjadi rutinitas ruang-waktu (time-space routine) keseharian warga semenjak kebijakan penetapan kawasan lindung oleh pemerintah Belanda dan menjadi semakin intensif sejak tahun 1990-an manakala beternak sapi perah menjadi andalan pendapatan sehari-hari yang sudah terintegrasi dengan sistem pasar. Merumput sudah menjadi “reproduksi ruang dan waktu abstrak yang mengenakan

setting hukum ruang-waktu yang tidak kelihatan, menstrukturkan perilaku keseharian” warga di KRB Merapi (Butler, 2008). Di sisi lain pemerintah sampai

4 Waktunya menyingkir harus menyingkir, waktunya kembali harus kembali, tidak

(25)

23

dengan letusan 2010 belum merasa perlu mengevakuasi ternak, ditambah letusan tipe Merapi yang lebih terkonsentrasi di sekitar sungai aktif yang belum membahayakan dusun di lereng merapi, sehingga part-timer evacuation menjadi solusi “jalan tengah”, di satu sisi penduduk mengungsi, tetapi ternaknya tetap di kampung halamannya. Akan tetapi begitu tipe letusannya berubah menjadi eksplosif dengan skala yang besar seperti letusan Merapi 2010, part-timer evacuation menjadi sangat berisiko. Dengan demikian mengungsi bersama ternak sebagai momen refreshing seperti digagas Sukiman menjadi alternatif konstruksi ruang-waktu adaptasi baru atau seperti dikatakan Butler (2008) “penegasan kembali corak irama alternative (alternative rhythmic modes) yang membawa prospek munculnya sebuah ‘differentialspace-time’ yang mampu menggantikan dominasi ruang abstrak dan waktu linier-nya yang terukur (quantified, linear time). Di sini peneliti melihat “momen refreshing” lebih mirip dengan konsep festival Lefebvre dibandingkan konsep liburan Olwig5 yang merepresentasikan baik

“kegembiraan, paguyuban, partisipasi dalam [festival]” maupun “sebuah kerjasama dengan tatanan alami (natural order)” (Butler, 2003; Nazaruddin, 2013). Menurut Butler ‘festival adalah cara bagi masyarakat untuk merangkul dan mengikat alam serta menyambut anugerahnya. Festival rutin merupakan cara merayakan irama dan siklus alam yang teratur di mana kehidupan manusia terjalin di dalamnya.. [Festival] ini boleh jadi meninggalkan komunitas dalam bahaya di kemudian hari,

5

(26)

24

saat bencana alam melanda, tetapi disitulah tepatnya pengakuan terhadap kekuatan alam dan kelemahan manusia dan itulah jantungnya festival.”

Kesimpulan dan kontribusi ilmiah

Penelitian ini menemukan beragam alasan lain selain ekonomi, mulai dari cara pandang terhadap peristiwa alam dan risiko bencananya, keterikatan dengan tempat (place attachment), bencana sebagai pengubah ke arah keadaan yang lebih baik, dan beragam upaya adaptasi baik sosial maupun spiritual yang belum dibahas oleh Alexander (1993). Penelitian ini menemukan 9 alasan yang mendasari komunitas di KRB memilih hidup bersama risiko bencana: 1) letusan dilihat sebagai berkah bukan bencana. Temuan ini memperkuat tesis Burton dkk. (1993), Kelman dan Mather (2008) tentang peristiwa alam tidak identik dengan bencana saja, tetapi terkait juga dengan sumberdaya untuk penghidupan; 2) bagi warga KRB, wilayah di lereng Atas Merapi tidak lebih berisiko dibanding tempat lainnya, bencana pun bisa terjadi dimana saja; oleh karenanya relokasi dianggap bukan solusi yang tepat. Temuan ini memperkuat teori living with risk dan no zero risk (UNISDR, 2004; Nagasaka, 2008); 3) warga memahami wataknya G. Merapi dan berusaha menyesuaikan dengan irama atau ritme letusannya; sejalan rhyhmanalysis Lefebvre (2004) dan Ingold (2000); 4) tanah Merapi merupakan sumber penghidupan utama atau bahkan satu-satunya sumber kehidupan bagi warga lereng atas Merapi atau dengan kata lain masyarakat di Lereng Merapi merupakan ‘resource dependency

(27)

25

lebih besar (bridging dan linking social capital), memperkuat tesis peran modal social dalam adaptasi terhadap bencana (Laituri dan Kodrich, 2008; Nugroho, 2011; Siembieda, 2005 Putnam, 2000; Woolcock, 2001); 7) warga masih mempercayai bukit di sekelilingnya bisa menjadi pelindung dari bahaya yang lebih besar; 8) saat bencana terjadi dan menimbulkan kerugian material yang besar termasuk rumah dan asset lainnnya, diterimanya sebagai acceptable risk (Sutanta dkk., 2013, dan Bell dkk., 2004), dan ketika ada korban jiwa pun diterimanya dengan ikhlas, sehingga aspek traumatic cepat berlalu, memperkuat peran spirit budaya dalam resiliensi terhadap bencana sepert Hakka spirit (Jang dan LaMendola, 2006); dan 9) letusan membawa perubahan yang positif, termasuk transformasi social dan ekonomi dan kesiapsiagaan terhadap bencana, memperkuat temuan Paton (2006b), Birkmann dkk., 2010; Gunderson dan Holling 2002; Folke, 2006; dan Folke dkk., 2010.

(28)

26

dan letusan 2006 yang mengarah ke selatan tidak dicerap (the perceived) dan dikonsepsikan (the conceived) sebagai risiko bencana letusan semakin besar atau dengan kata lain kepercayaan lokal menurunkan sensitivitas warga terhadap risiko bencana letusan. Pada konteks ini warga Pelemsari boleh dikatakan terjebak dalam determinisme budaya dimana mitos menguat atau dengan kata lain the lived terputus dengan dinamika the perceived dan the conceived. Komunitas ini cenderung memisahkan ruang dan waktu dan membekukan lereng selatan G.

Merapi sebagai zona aman dalam bentuk mitos lereng selatan aman, sehingga

ruang-waktu aman menjadi kaku dan tetap. Disinilah letak jebakannya, ketika

warga menjadi nyaman dengan kondisi tersebut dalam waktu yang cukup lama, sensitivitas terhadap bahaya menurun dan menjebak mereka ke dalam perasaan aman yang keliru (false sense of security). Saat terjadi dinamika letusan, warga menjadi tidak siap dan kaget dan akhirnya terjebak letusan dan terjadilah bencana.

(29)

27

Alur Baru

Perspektif konstruksi ruang-waktu hidup selaras bersama risiko bencana memperluas perspektif ANT terhadap resiliensi social-ekologi yaitu dengan mengangkat agensi proses relasional dan aliran material serta agensi kewaktuan dalam skala yang luas dan panjang (Jones, 2011). Di sisi lain perspektif ini menutupi kelemahan perspektif ANT yang cenderung menaturalisasi proses dengan membawa agensi proses relasional dan aliran material serta agensi kewaktuan dalam proses produksi ruang-waktu, sehingga aspek politik dan pengalaman manusia terkait dengan agensi proses alami tersebut bisa dimunculkan, sehingga peran agensi manusia tidak tereduksi seperti dalam perspektif ANT. Perspektif ini juga menyumbang pengertian bahwa ruang-waktu risiko bencana dan sumberdaya itu dinamik dan ritmik dan bukannya rigid dan staticpada teori living with risk dan teori perencanaan.

(30)

28

2011, bila terjadi dinamika dan ritme letusan yang lainnya. Dengan demikian paradigma risiko bencana pemerintah dalam kebijakan antisipasi bencana ke depan perlu membuka kemungkinan terburuk dengan mempertimbangkan agensi proses relasional dan aliran material skala besar dan agensi kewaktuan, khsususnya pada saat letusan dalam momen bahaya, sebaliknya di saat letusan dalam momen sumberdaya, ruang-waktu risiko bencana bisa dipersempit.

Penelitian ini lebih menitikberatkan pada sisi konstruksi ruang-waktu hidup selaras bersama risiko bencana dan masih kurang menggali aspek sumberdaya dan penghidupan, termasuk actor-aktor private sector baik local mapun global yang ikut mengkontruksi ruang KRB, karena corak produksi berorientasi pasar selain meningkatkan kemakmuran warga KRB juga meningkatkan kerentanannya, sehingga konstruksi ruang-waktu hidup selaras bersama risiko bencana dan sumberdaya serta peluang kehidupan bisa direpresentasikan lebih seimbang.

Riwayat Hidup Penulis

(31)

29

Karya Ilmiah Penulis

1. Yusup Y, Rosyidie A, Suroso DS, Argo TA (2012): Konstruksi Ruang Hidup bersama Risiko Bencana dengan Pendekatan Network. Seminar Nasional Planocosmo. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, ITB, Bandung.

2. Yusup, Y. (2012): Inovasi Perencanaan Kota Tanggap Perubahan Iklim: Resilient Infrastructure Cities, Swarm Planning, Built-in Resilience. Seminar Nasional dan Pameran Permukiman dan Perubahan Iklim. Pusat Informasi Pengembangan Permukiman dan Bangunan (PIP2B) Ciptakarya, Provinsi Yogyakarta.

3. Yusup Y, dan Pratomo SM (2013): Pendidikan Siaga Bencana Sejak Dini berbasis Participatory-GIS: Pengalaman Belajar Komunitas KANCING. Konferensi Nasional Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (KNPRBBK) IX, Nagari Batu Kalang, Kecamatan Padang Sago, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.

4. Yusup Y, Sugiyanto, Hadi P (2012): Peran Sistem Informasi Geografis dalam Pembentukan Spatial Thinking Skills dan Terapannya dalam Pembelajaran Bencana. Majalah Globe Badan Informasi Geospasial (BIG), Volume 14, No. 1: 78 – 86.

5. Yusup Y (2014): Hidup Bersama Risiko Bencana: Konstruksi Ruang dalam Perspektif Ruang Relasional. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung. Volume 25, No. 1: 58-76.

6. Yusup Y (2015): Sensitivitas Penduduk KRB II dan III Gunungapi Merapi terhadap Bahaya Awan Panas selama Abad IX dan XX. Jurnal Geografi, Universitas Negeri Surabaya. Volume 13, No. 1: 26 – 39.

(32)

30

Ucapan Terima Kasih

Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk dan karunia-Nya sehingga disertasi ini bisa diselesaikan dengan baik. Disertasi ini tidak mungkin menjadi naskah seperti ini tanpa kontribusi dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Arief Rosyidie, Ph.D; Ir. Djoko Santoso Abi Suroso, Ph.D; dan Ir. Teti Armiati Argo, MES, Ph.D selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingannya serta memotivasi penulis untuk menyelesaikan penulisan disertasi ini.

2. Dr. Surono, DEA; Ir. Heru Purboyo HP, DEA Ph.D; Dr. Drs. Suhirman, SH., MT.; Saut Aritua Sagala, ST., MSc., Ph.D., selaku tim penguji disertasi yang telah memberikan masukan penting dan berharga untuk penyempurnaan disertasi ini.

3. Segenap civitas akademika di Program Doktor Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK ITB yang telah memberikan fasilitas, bantuan dan suasana yang menyenangkan pada masa studi penulis di sini.

4. Segenap civitas akademika di Program Studi Geografi FKIP Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan dukungan dan dorongan untuk menyelesaikan studi ini.

5. Direktorat Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Nasional yang memberikan izin tugas belajar dan beasiswa Karya Siswa BPPS.

6. Warga di KRB III G. Merapi khususnya Dusun Pelemsari, Kalitengah Lor, dan Deles sebagai informan dalam penelitian ini.

7. Keluarga Pasir Purwokerto dan Senden Trenggalek sebagai sumber motivasi penulis dalam menyelesaikan studi dan penulisan disertasi ini.

Gambar

Gambar I   Sejarah dan Prospek Ruang-Waktu Corak Adaptasi di KRB Merapi
Gambar II Tahapan Letusan 2010 dan dampaknya terhadap Dusun-dusun Penelitian. Letusan 2010 secara umum dibedakan menjadi 3 yaitu letusan pembuka yang terjadi 26 Oktober, saat itu Dusun Kalitengah Lor  dan Deles masih aman; begitu juga dengan letusan kedua tanggal 2-3 November, Dusun Kalitengah dan Deles pun masih aman; tetapi pada letusan puncak 5 November, Dusun Kalitengah Lor habis
Gambar III Konstruksi Ruang-waktu Kerentanan-Resiliensi Komunitas Pelemsari

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat diambil kesimpulan bahwa minyak atsiri daun kemangi (Ocimum basilicum L.) memiliki efek sebagai agen penghambat pembentukan

Pengendalian Banjir Batang Anai Kabupaten Padang Pariaman merupakan upaya untuk mengurangi dampak daya rusak air akibat banjir, yang terjadi hampir 2 sampai 3

Penulisan skripsi yang berjudul Implementasi Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma (Pro Bono Publico) dalam Perkara Pidana di Kota Medan Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan hasil belajar IPA antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran Heuristik

Kesetimbangan excavator dipengaruhi gaya yang bekerja pada kombinasi attachment boom dan arm dengan variasi sudut 70°, 90°dan 110°, titik berat yang bekerja dan

Alhamdulilahirobbil’alamin puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul

(1) Apa-apa kecacatan, pengecutan atau kekurangan pada Bangunan tersebut yang menjadi ketara kepada Pembeli dalam tempoh lapan belas (18) bulan kalendar selepas tarikh