• Tidak ada hasil yang ditemukan

SASTRA INDONESIA SEJARAH PEMIKIRAN INDON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SASTRA INDONESIA SEJARAH PEMIKIRAN INDON"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

SASTRA INDONESIA, SEJARAH PEMIKIRAN INDONESIA,

DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN INDONESIA

Oleh : Suhariyadi

Komunitas Sanggar Sastra UNIROW Tuban

1

Penulis sengaja menulis kata Indonesia pada judul tulisan ini dengan huruf

miring. Kata Indonesia sekarang ini telah tereduksi oleh konsep-konsep pemikiran

modern, yang nota bene adalah konsep-konsep pemikiran Barat dan Eropa.

Membicarakan Indonesia mesti ditempatkan ke dalam kerangka pemikiran tentang

globalisasi, modernisasi, dan teknologi modern. Ketiga istilah tersebut merupakan

terminologi wacana modern, yang diadobsi dari Barat dan Eropa, yang merebak di dalam

kancah pemikiran di Indonesia. Bangsa Indonesia haruslah memberikan perhatian yang

serius terhadap perkembangan makna Indonesia.

2

Tradisi bersastra di Indonesia sudah berkembang jauh sebelum Indonesia

mengenal teknologi modern dengan alat percetakan seperti sekarang ini. Di kalangan

sastrawan pada waktu itu, karya sastra ditulis tangan di atas kulit, lontar, kertas merang,

dan sebagainya. Kalau kemudian terdapat varian-varian suatu karya sastra, itupun ditulis

dengan tangan. Istilah untuk menyebutkan naskah tulisan tersebut adalah carik. Di

(2)

variannya. Saat ini karya-karya sastra itu bisa dibaca di museum-museum sebagai artefak

tak ternilai harganya.

Meskipun begitu, karya-karya sastra zaman dulu bukan sekedar warisan

berbentuk naskah. Karya-karya tersebut merupakan warisan kultural yang memuat

semangat zaman, fakta historis, dan ajaran-ajaran filosofis. Memang kita sadar,

karya-karya sastra tersebut tidak banyak yang membaca; apalagi memahaminya. Di samping

bahasa yang dipakai sudah tidak dikuasai masyarakat, karya-karya sastra tersebut belum

banyak yang diterjemahkan dan disebarkan untuk konsumsi khalayak. Jadinya, warisan

kultural itu menjadi dokumentasi yang asing bagi masyarakat sekarang. Barangkali hanya

peneliti sastra lama yang memahaminya. Itupun demi kepentingan ilmiah.

Zaman sekarang orang lebih mengenal Plato, Sokrates, Aristoteles, Sophokles,

Homerus, Van Goh, Leonardo da Vinci, Ferdinas de Saussure, Levi Strauss, Roland

Berthes, Derida, Karl Max, Lucien Goldman dan tokoh-tokoh Barat dan Eropa, daripada

Mpu Sedah, Mpu Panuluh, Mpu Kanwa, Mangkunegara IV, Yosodipura, Ranggawarsita,

Ki Ageng Suryamentaraman, Abdullah bin Abdul kadir Munsyi, Hamsah Fansuri, Araniri,

Ki Hajar Dewantara, Moh. Yamin, Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, dan

sebagainya. Ironis memang. Di zaman modern dengan alat percetakan yang canggih

justru karya-karya sastra lama tersebut hanyalah barang mati. Apakah ini akan

berlangsung terus? Wacana modern tentang sosiokultural lebih banyak didominasi oleh

pemikiran Barat dan Eropa. Sejarah tradisi pemikiran di Indonesia selalu mengadobsi

pemikiran dari sana. Wacana tersebut akan menggeser pemikiran-pemikiran yang berasal

(3)

Tanda-tanda dominasi pemikiran Barat dan Eropa di Indonesia sudah

menunjukkan kecenderungannya yang signifikan. Di bidang keilmuan dan pemikiran

akademis merebak teori-teori yang berasal dari luar. Tidak ada satu pun landasan berfikir

(metodologis) yang membumi. Sedangkan objek kajiannya adalah karya-karya sastra

Indonesia. Pemaksaan, bias analisis, dan perlakuan yang tidak adil terhadap karya-karya

sastra Indonesia pun terjadi. Lumrah kalau ini terjadi. Bukankah belum ada teori yang

membumi yang relevan dengan objek kajiannya!? Bahkan penulis sempat tersentak

ketika pada suatu kesempatan perkuliahannya, Prof. Dr. Setya Yuwono Sudikan

mengatakan, pembagian masyarakat Jawa menjadi santri, priyayi, dan abangan, yang

sudah lama dipahami masyarakat, justru menjadi proposisi ilmiah di tangan seorang

Clifort Gertz.

Kesadaran terhadap teori yang membumi di tengah-tengah dominasi pemikiran

Barat dan Eropa, sebenarnya sudah muncul di kalangan ilmuwan di Indonesia. Tetapi

kesadaran tersebut belumlah cukup. Usaha-usaha yang telah dilakukan oleh beberapa

kalangan juga belumlah seimbang; meskipun patut diapresiasi yang tinggi untuk itu.

Diperlukan upaya yang lebih jauh lagi. Diperlukan kebijakan formal tentang revitalisasi

pemikiran Indonesia yang membumi. Revitalisasi tersebut dituangkan dalam kebijakan

pembangunan kebudayaan nasional yang berorientasi pada penciptaan tradisi pemikiran

Indonesia ke depan.

Kebijakan pembangunan kebudayaan hendaknya diwujudkan dalam

program-program sebagaimana berikut. Pertama, penterjemahan karya-karya sastra lama sebagai

bahan bacaan dan kajian masyarakat Indonesia. Pendistribusian hasil-hasil terjemahan

(4)

yang belum tumbuh tradisi minat bacanya. Program penterjemahan tersebut diperlukan

juga program pengiring, yaitu pendistribusian dan penyebaran di segenap lapisan

masyarakat. Sasaran jangka panjangnya adalah menumbuhkan tradisi minat baca,

khususnya bacaan yang bersumber dari khasanah karya-karya lama. Kebijakan perbukuan

nasional haruslah diarahkan selaras dengan program-program ini.

Kedua, memberikan kesempatan dan keleluasaan sebesar-besarnya kepada

lembaga penelitian, lembaga pendidikan, LSM, dan masyarakat umum untuk

mengadakan kajian dan penelitian yang mengambil objek kajian karya-karya lama dan

modern Indonesia. Penelitian-penelitian tersebut diarahkan pada penemuan konsep,

pengetahuan, dan proposisi, yang bersumber dari pemikiran Indonesia. Pada gilirannya

akan dirumuskan temuan-temuan yang sistematis sebagai landasan berpikir yang

mengindonesia. Lemahnya program pemerintah di bidang penelitian dan pengembangan

ilmu pengetahuan selama ini, semakin mengukuhkan sifat ketergantungan pada Barat dan

Eropa. Kasus tidak efektifnya BPPT dan lembaga-lembaga penelitian dibawah naungan

pemerintah, merupakan salah satu indikator lemahnya program pemerintah di bidang ini.

Ketiga, diperlukan penyusunan sejarah pemikiran Indonesia yang berpijak pada

sejarah pemikiran lokal. Kebiasaan yang terjadi dalam bidang apapun, penulisan sejarah

selalu bertumpu pada karya-karya yang tergolong kanon. Kanonisasi yang terjadi dalam

penulisan sejarah, itu telah terjadi dalam sejarah sastra indonesia modern, mengakibatkan

tercecernya karya-karya lokal dan yang dianggap tidak tergolong karya besar. Sedangkan

karya-karya tersebut sebenarnya juga memiliki peranan dalam perjalanan sejarah umum.

Penyusunan sejarah para wali misalnya, hanya berkutat pada sembilan wali besar yang

(5)

sunan atau tokoh Islam lokal yang juga memiliki peranan yang sama dalam

pengembangan agama Islam di Indonesia. Oleh karena itu, sejarah pemikiran Indonesia

mesti berangkat dari sejarah pemikiran lokal. Tokoh-tokoh lokal dan pemikirannya

banyak tersebar di daerah-daerah. Tetapi hal itu belum banyak diungkap dan diteliti.

Kalau kenyataan seperti ini berlangsung terus, bukan tidak mungkin akan hilang ditelan

waktu. Penyusun sejarah pemikiran Indonesia demikian itu akan memberikan inspirasi

dan pemahaman lebih lanjut. Dalam bidang keilmuan, sejarah pemikiran Indonesia akan

menjadi pijakan untuk menemukan konsep pemikiran dalam studi lanjut. Bukan tidak

mungkin kalau kemudian akan menjadi konsep-konsep dan proposisi-proposisi sebagai

kerangka teoritis yang mengindonesia.

Kebijakan pengembangan kebudayaan semacam itu nampaknya relevan dengan

perkembangan masyarakat modern. Globalisasi yang terjadi haruslah disikapi secara

kontekstual. Artinya, globalisasi bukan semata-mata semakin terbukanya peluang

masuknya kebudayaan luar terhadap kebudayaan Indonesia. Tetapi globalisasi

merupakan tantangan bagi kebudayaan Indonesia untuk mengaktualisasi di tengah-tengah

arus masuknya kebudayaan luar tersebut. Dominasi pemikiran barat dan eropa yang

terjadi selama ini akan semakin menghilangkan pemikiran dan kebudayaan Indonesia

apabila arus globalisasi tidak disikapi secara kontekstual. Seharusnya pengaruh pemikiran

luar tersebut akan memacu munculnya teori-teori dan pemikiran Indonesia. Realitasnya

adalah, apa yang ada di Indonesia hanyalah sebagai objek data. Bangsa Indonesia hanya

menjadi sapi perahan bagi pemikiran-pemikiran luar. Alhasil, objek kajian tersebut bukan

semata-mata demi objek itu sendiri, tetapi demi kemapanan dan keterujian proposisi dari

(6)

Indonesia sendiri? Persoalan inilah yang seharusnya menjadi pendorong utama kebijakan

pengembangan kebudayaan Indonesia. Kesusasteraan Indonesia dan daerah merupakan

salah satu bentuk produk budaya yang juga perlu diperhatikan dalam kerangka pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Aspek-aspek berpikir kritis diatas akan dicapai dengan optimal oleh seorang anak jika anak diberi kesempatan untuk mengeksplorasi dengan bimbingan, kebiasaan dan latihan

Dikarenakan ada data yang tidak berdistribusi normal, maka digunakan uji korelasi statistik non parameterik yaitu Korelasi Spearman untuk mengetahui apakah

(3) Kepala Biro Umum melakukan pembayaran Program Insentif kepada unit kerja, setelah menerima penetapan penerima Program Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat

mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang

Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh tidak langsung antara citra destinasi terhadap niat berkunjung kembali melalui kepuasan dan variabel kepuasan (Y1) berperan

Oleh sebab itu, sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi menafsirkan ketentuan Pasal 53 ayat (3) UU 30/2014 sehingga harus dibaca sebagai berikut: “Apabila dalam batas waktu

Harap hubungi penjual persediaan yang telah diisi ulang, diproduksi ulang, atau yang kompatibel untuk informasi yang berlaku, termasuk informasi tentang peralatan pelindung diri,

Artemy Gelato merupakan tempat yang nyaman untuk berkumpul bersama teman-teman X2 Total Banyak saran dari teman untuk pergi ke Artemy Gelato Anda percaya dengan saran tentang