Budaya dan penciptaan lingkungan yang
alam/fisik menjaga lingkungan budaya. Perubahan itu bisa berubah ke arah medium atau perantara antara dirinya dengan lingkungan alam/fisiknya maupun menjadi satuan sumberdaya untuk di manfaatkan bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya. Salah satu bentuk tindakan merubah lingkungan alam/fisik tersebut adalah menata dan menggunakan ruang-ruang sesuai dengan konsep-konsep yang ada dalam kebudayaannya. Di sisi lain hal ini juga berpengaruh pada bagaimana sebuah keluarga yang merupakan kelompok terkecil dalam masyarakat mendidik anaknya baik direncanakan maupun terjadi secara proses alam. Karena lingkungan di mana kita tinggal merupakan sekolah pertama bagi anak-anak. Dan budaya tercipta serta terlihat lewat lingkungan yang kita tempati.Budaya
Manusia telah menciptakan sebuah dimensi baru. Salah satu dimensi baru itu termasuk budaya (Edward Hall, 1966). Dimensi budaya tersebut ternyata adalah penataan dan penggunaan ruang sesuai dengan konep kebudayaannya. Karena hubungan antara manusia dengan dimensi budaya yakni lingkungan budaya merupakan satu
*Buah Pikir Disampaikan pada diskusi Ilmiah dalam rangka Kongres Internasional bahasa dan adat Gorontalo I & Hardiknas, Selasa 13 Mei 2008
kesatuan. Maka sebenarnya baik manusia maupun lingkungannya sama-sama berpartisipasi dalam saling membentuk satu kesatuan.
Lingkungan ramah anak
Konsep lingkungan ramah anak, sudah sejak lama ada. Karena isyu ini telah menjadi isyu sentral di kota – kota besar lainnya di Indonesia, bahkan di dunia sejak beberapa tahun terakhir.Jika dihubungkan dengan konsep kota yang ideal Kevin Lynch, salah seorang ahli perkotaan menyatakan : Kota yang baik adalah kota yang bisa memberikan akses kemudahan, kenyamanan, keamanan dan adil bagi seluruh warganya serta dapat meningkatkan vitalitas, sumber daya serta potensi yang ada di masyarakat dan wilayah. Dalam pengertian yang lebih rinci dapat dinyatakan bahwa apa yang dinyatakan oleh Kevin Lynch yakni termasuk kebutuhan anak dalam bermain dan belajar.
Anak
Anak adalah mereka yang berusia antara 0-16 tahun (ILO). Sedangkan dalam sebuah perkuliahan tahun 2002, ahli perancangan kota dan sosiolog perkotaan dari Universitas Indonesia, Prof. Gunawan, M. Arch menyatakan Anak adalah seseorang yang masih harus dibina dan diajarkan. Anak adalah bagian termuda dalam sebuah keluarga namun memiliki energi dan tenaga yang luar biasa, pada masa pertumbuhannya. Karena itu anak harus diberikan ruang bermain dan belajar yang bebas untuk menyalurkan energi dan tenaganya yang
*Buah Pikir Disampaikan pada diskusi Ilmiah dalam rangka Kongres Internasional bahasa dan adat Gorontalo I & Hardiknas, Selasa 13 Mei 2008
luar biasa. Karena kadang kekuatannya tidak dapat dibayangkan oleh orang dewasa maupun oleh orang tuanya sekalipun. Karena itu dalam merencanakan sebuah kota maupun ruang publik hendaknya ada ruang khusus untuk seorang anak dalam menyalurkan energinya yang luar biasa.
Budaya dan lingkungan yang ramah anak
untuk masa depan pendidikan
Konsep lingkungan ramah anak, merupakan sebuah gerakan pencerahan budaya yang sangat tepat. Terutama dalam mendesign penciptaan lingkungan yang mencirikan dinamisasi, yang sesuai dengan karakter seorang anak. Mengapa? Karena sebuah lingkungan yang peduli dengan kepentingan anak, tentu saja telah pula mengakses kepentingan sebuah keluarga. Sehingga secara lebih luas lagi dapat memberikan suasana kondusif bagi interaksi masyarakat sebagai sebuah kelompok terbesar dalam sebuah wilayah. Lingkungan yang ramah, artinya lingkungan yang menghadirkan suasana yang aman, nyaman, ramah, dan berbudaya.
Kesimpulan.
Sudah saatnya peran anak ditingkatkan kualitasnya, terutama dalam mendesign sebuah kota guna meningkatkan kualitas pendidikan dan karakter sebuah daerah atau bangsa. Agar budaya menghargai beda pendapat dapat diterapkan. Akibat positifnya budaya harga menghargai, budaya kompromi dan budaya bermufakat untuk kepentingan bersama bagi kebaikan dapat dikembangkan sejak dini.
*Buah Pikir Disampaikan pada diskusi Ilmiah dalam rangka Kongres Internasional bahasa dan adat Gorontalo I & Hardiknas, Selasa 13 Mei 2008
*Buah Pikir Disampaikan pada diskusi Ilmiah dalam rangka Kongres Internasional bahasa dan adat Gorontalo I & Hardiknas, Selasa 13 Mei 2008