• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENUJU SEBUAH TEORI KONFLIK SOSIAL (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MENUJU SEBUAH TEORI KONFLIK SOSIAL (1)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

RALF DAHRENDORF : TEORI KONFLIK SOSIAL1 Terjemahan oleh : Aulia Rahmat

I

Setelah rentang waktu kurang lebih 50 tahun, sebuah tema muncul kembali dalam bahasan sosiologi yang mempengaruhi orisinalitas disiplin ilmu tersebut, melebihi wilayah subjek bahasan disiplin ilmu lainnya. Dari Marx dan Comte ke Simmel dan Sorel, konflik sosial terutama revolusi, menjadi salah satu tema dalam penelitian sosial. Keadaan ini juga dibenarkan oleh beberapa pakar sosiologi anglo-saxon terdahulu (sekalipun dalam pekerjaan mereka, masalah revolusi sudah dikategorikan sebagai sesuatu hal yang diabaikan), sebagai contoh Webbs di Inggris dan Sumner di Amerika. Bagaimanapun, ketika Talcott Parsons pada tahun 1937 membangun sebuah konvergensi pada teori sosiologi Alfred Marshall, Emile Durkheim, Vilfredo Pareto dan Max Webber2, dia tidak terlalu fokus dalam menganalisis

konflik sosial, dia lebih tertarik untuk menyelesaikan masalah integrasi sistem sosial oleh sebuah organon yang berhubungan dengan kelompok. Pertanyaan yang muncul sekarang adalah “Apakah masyarakat bisa dipegang bersama ?”—tidak lebih lama, “Apakah mereka dapat berjalan terus menerus ?”. Pengaruh Parsonian yang terdapat dalam pertanyaan tersebut pada sosiologi sekarang ini (dan tidak hanya terbatas pada sosiologi Amerika) bisa menjadi sangat bernilai. Hal ini memungkinkan kebangkitan kembali kajian terhadap konflik sosial yang muncul pada dekade terakhir mungkin tidak begitu berkelanjutan dalam bagian tradisi penelitian sebagaimana halnya dalam sebuah temuan tematik yang baru—dalam sebuah ironi dialektika pada pengembangan ilmu pengetahuan.

Pada masa sekarang, pendekatan kajian sistematis pada konflik sosial masih relatif asing, sama halnya dengan pekerjaan yang tidak begitu penting pada stratifikasi sosial atau pada struktur dan fungsi institusi tertentu, organisasi dan masyarakat. Tetapi, tesis tentang kebangkitan kembali kajian konflik sosial masih membenarkan dengan hormat pekerjaan Aron, Philip, Brinton, Kerr, Coser, Brinkmann, Geiger, Gluckman dan lain-lain, dan juga sebuah usaha untuk menentukan tempat yang sistematis dan sebuah framework yang spesifik untuk sebuah teori conflik pada analisis sosiologis.

1 Dikutip dari Ralf Dahrendorf, “Toward a Theory of Social Conflict”, The Journal of Conflict Resolution, XI,

(1958), no-2, h.170-183.

(2)

JENIS DAN KEBERAGAMAN KONFLIK SOSIAL

Untuk memulai dengan sebuah observasi biasa, permasalahan dalam konflik tidak begitu rumit daripada integrasi dalam masyarakat. Sekarang kita mengetahui bahwa usaha untuk mengurangi semua konflik aktual yang terjadi di antara kelompok sosial menjadi hal yang biasa, dapat dikatakan bahwa golongan-golongan adalah steril. Hal ini mempunyai peran penting di antara usaha untuk mengosongkan generaliasi (seperti “setiap masyarakat mempunyai pengalaman konflik sosial”) atau penyederahanaan yang berlebihan pada data empiris yang tidak dapat dibenarkan (seperti “sejarah semua masyarakat yang begitu jauh sudah menjadi sejarah pertarungan golongan”). Hal ini terlihat layak, pertama untuk membedakan dan mengklasifikasikan masalah-masalah yang tersusun di bawah bahasan besar “konflik sosial”. Sebuah refleksi supervisi pun mengantarkan pada perbedaan seri dalam sebuah jenis.

Seperti halnya perang, keberadaan konflik di antara partai-partai politik – pertarungan di antara dua hal yang berbeda secara terang-terangan. Dengan merujuki kepada masyarakat biasa, A, seseorang mungkin mengatakan bahwa di sana ada konflik eksogenous yang dibawa atau dimasukkan ke A dari sisi luar, dan juga konflik endogenous yang timbul di antara A. Di antara dua kategori tersebut –yang dalam analitis paling sedikit, bisa dibedakan secara relatif tepat—juga ada beberapa jenis lagi. Mari kita batasi perhatian kita pada peristiwa—yang ditampilkan secara biasa—pada konflik endogenous. Kemudian sub divisi lebih jauh diperhatikan secara langsung: budak melawan orang bebas di Roma, orang berkulit hitam melawan orang berkulit putih di Amerika, Protestan melawan Khatolik di belanda, kelompok Fleming melawan kelompok Walloon di Belgia, kelompok konservatif melawan kelompok labouris di Inggris, serikat pekerja melawan majikan di beberapa negara. Semuanya merupakan kelompok perlawanan atau yang dikenal dengan konflik. Boleh jadi setiap contoh tersebut tidak dimasukkan dalam kategori yang terpisah; akan tetapi, tentu saja mereka semua tidak dimasukkan dalam jenis tunggal dalam konflik sosial. Apapun mempunyai batasan atau ketentuan tertentu untuk diklasifikasikan—sebagai contoh, objek pertikaian, atau struktur asli kelompok yang bertikai, atau bentuk konflik—beberapa jenis mempunyai hasil yang nyata.

BATASAN DAN TUJUAN SEBUAH TEORI KONFLIK SOSIAL

(3)

sosiologi dalam memahami konflik (seperti halnya kontribusi konflik dalam proses sosial) dalam intansi yang spesifik atau yang lebih besar dalam beberapa kasus daripada di dalam hal lainnya.

Maksud teori konflik sosiologis adalah untuk mengatasi kesewenang-wenangan kekuasaan alami dari kejadian-kejadian sejarah yang tidak bisa dijelaskan dengan mengambil kejadian tersebut dari bagian-bagian struktur sosial mereka, dengan kata lain untuk menjelaskan proses tertentu dengan hubungan-hubungan prognostik. Tentu saja, ini penting untuk menggambarkan konflik antara pekerja dengan majikan secara alamai begitu saja; akan tetapi ini lebih penting untuk menghasilkan sebuah bukti bahwa suatu konflik berasal dari susunan-susunan struktur sosial tertentu, dan sebab itu membatasi kecenderungan pertumbuhan susunan-susunan struktur sosial. Sehingga hal ini menjadi tugas sosiologi untuk mengambil konflik dari struktur sosial tertentu, dan tidak menurunkan konflik tersebut pada variabel-variabel psikologis (aggressivess/ sikap agresif) atau kepada sejarah-deskriptif saja (seperti masuknya orang-orang Negro ke Amerika) atau untung-untungan.

Dalam pengertian analisis sosial seksama, konflik bisa dipertimbangkan dan dijelaskan jika mereka bisa menunjukkan pertumbuhan dari struktur pada kedudukan sosial, tergantung pada orientasi populasi dan fakta sejarah dei ex machina. Kepentingan ini merupakan sebuah formulasi yang sangat abstrak; sebagai pengganti merincikannya, hal ini mungkin bisa mengillustrasikan maksudnya dengan perlakuan pengikut sebuah bentuk konflik sosial. Pertama, walau bagaimanapun, marilah kita menarik sebuah konsekuensi dari formulasi ini yang akan membantu kita untuk membuat kita menemukan masalah menjadi lebih tepat.

Sejak dikenalnya kekurangan teori imperialisme Marx-Lenin, penjelasan konflik eksogenus pada dasar struktur masyarakat sekali lagi menimbulkan sebuah masalah, perlakuan yang tidak mungkin terjadi telah dimulai. Hal ini terlihat –lebih dari itu—bahwa penjelasan mengenai konflik eksogenus3 dengan menggunakan alat analisis struktur sosial

hanya mungkin dilakukan dalam sebuah pengertian metafora—yakni, hanya dimana seluruh masyarakat (atau kurang komprehensif “sistem sosial”) membawa pada suatu bentuk kesatuan struktur baru, adalah dimana C dianalisis dalam term struktur dari elemen A dan B tanpa mempertimbangkan struktur yang ada dalam A dan B. Berdasarkan alasan-alasan ini, hal tersebut terlihat masuk akal untuk menghilangkan konflik eksogenus untuk waktu yang sedang berjalan dari sebuah teori konflik sosial.

3 Kami menyebut ulang bahwa sebuah konflik yang, dari titik pandang masyarakat A, terlihat seperti

(4)

Di sisi lain, contoh konflik eksogenus seperti yang diungkap di atas, jika dipertimbangkan dari segi pandangan signifikasi struktur mereka, terbagi kepada dua kelompok. Pada satu sisi, mereka berpendapat bahwa konflik yang terbentuk hanya dalam masyarakat tertentu pada kondisi sejarah tertentu (orang kulit hitam dan kulit putih di Amerika, Protestan dan Khatolik di Belanda, Flemming dan Walloon di Belgia; di sisi lain, walau bagaimanapun, ada beberapa konflik yang bisa dipahami sebagai pernyataan dari struktur umum corak masyarakat, atau masyarakat yang ada pada tingkat perkembangan yang sama (Konservatif melawan Laboritis di Inggris; serikat kerja melawan asosiasi majikan). Tentu saja pada kedua kasus tersebut sebuah analisis yang mendorong ke arah generalisasi mungkinsaja terjadi; sebuah teori minoritas atau konflik keagamaan berartikan konflik golongan. Meskipun demikian, bobot mereka masing-masing di antara sebuah teori umum tentang masyarakat dengan jelas dapat dibedakan. Tidaklah mengherankan bahwa teori konflik “klasik”—yang saya maksudkan di sini terutama adalah tingkatan teori konflik—yang

telah disebutkan di atas memungkinkan timbulnya pergeseran sosial yang dihasilkan dari struktur masyarakat dengan bebas dari data sejarah insidental terstruktur.

Pendekatan berikut ke arah teori konflik juga menghubungkan mereka sendiri pada konflik-konflik berdasarkan struktur. Sejauh ini, kita sama sekali tidak mempertimbangkan sebuah toeri umum tentang konflik sosial, meskipun demikian, saya akan mencoba untuk mempertahankan sebuah pernyataan bahwa di sini kita berhubungan dengan sesuatu hal yang paling penting --apabila tidak paling penting-- jenis konflik sosial. Betapa penting pun masalah-masalah konflik sosial seperti St. Bartholomew’s Night, Crystal Night dan Little Rock mungkin, Revolusi Perancis, Pemogokan Massal orang-orang Inggris pada Tahun 1926 dan kejadian di Berlin Timur pada 17 Juni 1953, bagi saya telihat lebih mempunyai hubungan erat dengan analisis struktural. Untuk menjadikannya sedikit lebih dramatis, teori konflik sosiologis akan memberikan batasan terhadap waktu yang sedang berjalan untuk menjelaskan pergeseran antara penguasa dan anggota pada organisasi yang telah ada.

II

(5)

stabil, sehingga hal demikian merupakan sebuah pandangan awal untuk sebuah analisis struktural pada perubahan sosial dan konflik sosial. Sejauh ini, klaim yang dikenal dengan “struktural-fungsional” teori sosiologi modern pada status teori umum masyarakat pada tempatnya tidak dapat dibuktikan.

SEBUAH KRITIK TERHADAP TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL

Kritik ini telah dijelaskan berulang kali dalam waktu dekat ini, paling efektif sebagaimana yang disampaikan oleh David Lockwood4. Hal ini didasarkan pada sebuah

argument sederhana yang relatif. Sepanjang uraian ini, penjelasan kami berorientasikan pada pertanyaan bagaimana elemen-elemen dalam sebuah masyarakat tergabung dalam sebuah fungsi yang terkoordinasi secara utuh, kemudian representasi masyarakat sebagai sebuah sistem sosial sebagai referensi akhir. Oleh karena itu, kita dihadapkan dengan tugas untuk menentukan asosiasi tertentu, institusi atau proses-proses di antara keseimbangan menyeluruh ini, itulah –dalam defenisi Merton—penentuan intentional (kesengajaan) atau unintentional (ketidak sengajaan) sebagai konseksuensi asosiasi tersebut untuk berfungsi dan penjagaan dalam sistem. Dalam hal ini, kita memberikan anggapan seperti “fungsi sistem pendidikan sebagai sebuah mekanisme penugasan kedudukan sosial”. Atau “fungsi-fungsi agama sebagai agen dalam pemersatuan nilai-nilai dominan”. Mayoritas investigasi sosiologis dalam tahun-tahun terakhir berada dalam wilayah ini untuk melakukan analisis.

Bagaimanapun, sebuah pendekatan mengantarkan pada beberapa kesulitan, jika kita meletakkan sebuah pertanyaan pada jenis yang berbeda. Apa fungsi serikat buruh di Inggris pada pemogokan massal pada Tahun 1926 ?; Apa fungsi pekerja konstruksi pada kejadian Stalin Alle tanggal 17 Juni 1953 ? Tanpa keraguan, hal ini membuktikan -- dalam beberapa kasus-- bahwa militansi serikat buruh atau kelompok dan partai politik oposisi mempunyai kontribusi fungsi dalam sistem yang berlaku5. Akan tetapi, pada saat kasus ini terjadi—dan

dalam dua kasus yang dikutip ini, akan sulit untuk membangunnya—kesimpulan ini akan mejelaskan sebagian kecil dari kelompok yang dipermasalahkan. Lebih jauh lagi, hal ini menjelaskan bahwa kesengajaan yang seperti efek ketidak-sengajaan dari beberapa kelompok opsisi mendorong ke arah penghapusan atau penghancuran sistem yang sedang berlaku. Kedudukan struktural fungsional memberikan suatu label kenyamanan pada beberapa kasus; seperti organisasi-organisasi “disfungsional”, institusi-institusi dan beberapa proses. Akan tetapi tujuan ini lagi-lagi menjelaskan kepada kita sedikit daripada

4David Lockwood, “Some Note on The Social System”, British Journal of Sociology, VII (1956), no-2.

Walaupun argumen Lockwood mengantarkan kita pada kesimpulan yang sama, hal ini melalui proses yang berbeda.

5 Aspek konflik sosial ini, pada kenyataannya merupakan pusat analisis Lewis Cooser yang kemudian

(6)

tidak ada sedikitpun. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh kegagalan dalam menjelaskan tempat akan hal tersebut ada prosesnya, akan tetapi lebih pada rintangan-rintangan seperti penjelasan dengan sebuah terminologi yang terlihat seperti tidak sebangun dengan sistem, akan tetapi --pada pengujian terdekat—mengungkapkan dirinya sendiri sebagai sebuah kategori residual (sisa). Apapun, tidaklah cocok untuk mengejutkan dunia dengan kata-kata ajaib.

Pada setiap ilmu pengetahuan, kategori residual adalah sebuah lahan subur pembentukan perkembangan baru. Hal ini terlihat bagiku bahwa sebuah analisis teliti terhadap masalah-masalah term “disfungsi” tersembunyi pada teori sturktural fungsional secara langsung mengantarkan kita pada jejak yang sangat berarti pada teori konflik sosial kemasyarakatan. Pada saat yang sama, hal ini menawarkan sebuah kondisi keuntungan luar biasa yang berhubungan dengan suatu usaha terhadap analisa masyarakat secara ilmiah.

DUA BENTUK MASYARAKAT

Jika kita memperhitungkan pendekatan-pendekatan analitis pada teori struktural fungsional sedikit banyaknya di luar batasan-batasannya, dan menyelidiki postulat implisit mereka, kita bisa mengkonstruksikan sebuah bentuk masyarakat yang berada pada dasar teori dan determinasi perspektif ini. Unsur-unsur penting pada bentuk bermasyarakat adalah sebagai berikut:

1. Setiap masyarakat adalah sebuah konfigurasi unsur-unsur yang terbentuk secara relatif;6

2. Setiap masyarakat adalah sebuah konfigurasi unsur-unsur yang terintegrasi dengan baik;

3. Setiap unsur pada masyarakat mempunyai kontribusi terhadap fungsinya; 4. Setiap masyarakat percaya pada konsesus anggotanya.

Hal ini akan dijelaskan bahwa sebuah teori yang dibangun berdasarkan model ini tidak bisa menjelaskan dirinya sendiri pada beberapa penjelasan--tidak saja uraian—pada

6 Ada begitu banyak kontorversi yang berkaitan dengan implikasi pendekatan struktural fungsional.

(7)

fenomena konflik sosial dan perubahan sosial. Untuk tujuan ini, dibutuhkan suatu model kedudukan opsisi yang dimateris pada keempat poin di atas:

1. Setiap masyarakat diberlakukan pada setiap momen perubahan; perubahan sosial terjadi di mana saja;

2. Setiap masyarakat mempunyai pengalaman pada setiap momen konflik sosial; konflik sosial terjadi di mana saja;

3. Setiap elemen masyarakat berkontribusi dalam perubahan tersebut;

4. Setiap masyarakat percaya pada adanya ketidak-percayaan dan paksaan di antara sesama anggota masyarakat.

(8)

dengan para ahli fisika yang berkenaan dengan teori cahaya. Sama halnya dengan fisikawan bisa menyelesaikan beberapa masalah tertentu dengan mengasumsikan karakteristik angin pada sahaya dan lain sebagainya, kebalikannya hanya dengan mengasumsikan teori corpuscular dan teori momentum. Jadi, beberapa masalah sosiologi bisa dipecahkan cukup dengan sebuah integrasi teori dan yang lainnya yang membutuhkan suatu teori konflik untuk sebuah analisis berarti. Kedua teori bisa bekerja secara ekstensif dengan kategori-kategori yang sama, akan tetapi mereka menekankan aspek-aspek yang berbeda. Ketika integrasi teori mempersamakan sebuah masyarakat pada suatu bentuk lonjong, sebuah kesatuan yang dibulatkan secara menyeluruh pada elemen-elemen ini, teori konflik melihat masyarakat lebih sebagai suatu hiperbola, yang mempunyai kesamaan foci, akan tetapi bersikap terbuka dalam lapangan ketegangan terhadap determinasi kekuatan.

TUGAS-TUGAS TEORI KONFLIK SOSIAL

Aspek ganda masyarakat dan dialektika dua bentuk teori sosiologis dalam diri mereka sendiri adalah sebuah refleksi objek subur. Meskipun demikian, beberapa permasalahan lain terlihat lebih penting. Teori integrasi sosial adalah pengembangan terbaru pada sebuah negara yang berkembang dengan baik sebagai pendekatan struktural fungsional dalam etnologi dan sosiologi. Teori konflik ini, bagaimanapun berada pada negara yang masih belum sempurna. Hal ini merupakan sebuah pendekatan yang didasarkan pada pendalilan dimana-mana tentang perubahan sosial dan konflik sosial, “disfungsionalitas” semua elemen struktur

sosial, dan katakter penghambat kesatuan sosial. Perhatian kita mengantarkan kita pada sebuah posisi untuk merumuskan beberapa keperluan untuk sebuah teori:

1. Hal ini akan menjadi sebuah teori ilmiah (seperti halnya teori integrasi sosial), bahwa hal ini akan dirumuskan dengan acuan yang masuk akal dan penjelasan yang dapat dibuktikan tentang fenomena empiris;

2. Elemen-elemen teori tidak akan berkontadiksi dengan bentuk-bentuk konflik yang terjadi dalam masyarakat;

3. Kategori-kategori yang dipakai akan –jika mungkin—sesuai dengan teori integrasi atau paling tidak berhubungan dengan hal tersebut;

4. Sebuah teori konflik memungkinkan kita untuk memperoleh konflik sosial dari penyusunan struktur dan menunjukkan konflik yang terjadi di antara mereka secara sistematis;

(9)

Tujuan akhir dari sebuah teori sosial adalah untuk mejelaskan perubahan sosial. Teori integritas memberikan kita sebuah alat untuk mendeterminasikan titik awal terjadinya sebuah proses. Untuk menemukan tempat kekuatan yang mengendalikan proses sosial dan perubahan sosial merupakan tugas sebuah teori konflik. Hal ini harus berkembang menjadi sebuah bentuk struktur asli konflik sosial yang dapat dipahami. Hal ini terlihat mungkin dilakukan hanya apabila kita memahami konflik sebagai sebuah pertarungan di antara kelompok sosial --hal ini—jika kita membuat tugas kita lebih seksama untuk memperkecil cakupan analisis struktural pada kelompok yang berkonflik. Berdasarkan perkiraan ini, akan muncul tiga pertanyaan yang harus dijawab oleh teori konflik, sebagai berikut :

1. Bagaimana kelompok yang sedang berkonflik terbentuk dari struktur kemasyarakatan ?

2. Bentuk-bentuk apa saja yang bisa dipertarungkan dengan asumsi kelompok ?

3. Bagaimanakah konflik yang terjadi dalam kelompok memberikan efek dalam sebuah perubahan pada struktur sosial ?

III

Dimanapun manusia hidup bersama dan membentuk pondasi organisasi sosial, di sana ada posisi-posisi yang memungkinkan orang yang memilikinya mempunyai kekuatan untuk memerintah pada konteks tertentu dan di atas posisi tertentu dan di sisi lain adalah orang-orang yang menjadi subjek untuk menerima perintah tersebut. Perbedaan di antara “up” dan “down” --atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan “them” dan “us”—adalah salah satu pengalaman fundamental bagi sebagian orang dalam masyarakat, dan lebih jauh lagi, hal ini menjelaskan bahwa perbedaan ini terhubung secara intim dengan ketidaksamaan distribusi kekuatan. Tesis utama yang mengikuti usaha untuk membangun sebuah model untuk analisis struktural pada konflik adalah bahwa kita bisa melihat orisinalitas struktural dari analisis konflik struktural atau dengan kata lain kita bisa melihat struktur asli dari konflik sosial dalam hubungan kekuasaan yang berlaku di antara unit-unit tertentu dalam organisasi sosial. Untuk unit-unit tersebut, akan digunakan konsep Max Webber tentang “kelompok utama yang terkoordinasi”7. Tesis ini bukanlah hal yang baru; hal ini ditemukan

(bagaimanapun, seringkali disertai dengan modifikasi penting) dalam perumusan beberapa ilmu sosial sebelum dan sesudah Marx. Namun kita tidak akan menelusuri jejak sejarah tesis ini.

(10)

KEKUASAAN DAN STRUKTUR KEKUASAAN

Konsep kekuatan dan kekuasaan merupakan suatu hal yang sangat kompleks. Siapapun yang menggunakannya mungkin dituduh kurang teliti dan kurang jernih dalam meningkatkan itu, ia mencoba untuk menegaskan tingkat exhaustivitas mereka. Pengaruh seorang ayah terhadap anaknya, pengaruh kombinasi industri terhadap pemerintahan, atau pengaruh penguasa terhadap rakyatnya merupakan suatu hal hubungan kekuasaan ? Pada sebagian besar kasus lainnya, hal ini bukanlah sebuah pertanyaan tentang sebuah defenisi, namun lebih ke arah pertanyaan “defenisi operasional”, seperti yang biasa disebut pada saat ini –sebuah metode determinasi yang mengizinkan kita untuk mengidentifikasi seperti halnya urusan-urusan negara ketika kita benar-benar dihadapkan pada hal ini. Bagaimanapun, untuk tujuan analisis dan identifikasi, teori determinasi kekuasaan Weber –yang menyatakan bahwa, “mungkin sekali sebuah perintah tertentu akan dipatuhi oleh orang-orang yang diberi perintah”—sudah cukup untuk menjelaskan. Determinasi ini memuat elemen-elemen berikut

:

1. Kekuasaan merupakan suatu hubungan supraordinasi dan subordinasi ;

2. Kelompok supraordinasi menentukan sikap tertentu subordinasi dalam bentuk perintah atau larangan ;

3. Kelompok supraordinasi mempunyai hak untuk membuat beberapa preskripsi; kekuasaan adalah sebuah hubungan legitimasi antara supraordinasi dengan subordinasi; kekuasaan bukanlah didasarkan pada efek personal dan kesempatan kondusif, akan tetapi lebih pada ekspektasi yang diasosiasikan dengan kedudukan sosial ;

4. Hak kekuasaan dibatasi pada hal-hal tertentu dan pada orang-orang tertentu ;

5. Ketidak-taatan terhadap pematuhan perintah dan preskripsi akan menimbulkan sanksi; sebuah sistem hukum (atau sebuah kebiasaan yang menjadi hukum) menjaga efektivitas hukum.

Determinasi kekuasaan ini memungkinkan untuk dilakukannya identifikasi terhadap sebuah kabinet kementerian, seorang majikan dan seorang sekretaris partai sebagai pemegang posisi kekuasaan –berlawanan dengan suatu sindikat industri atau seorang pemimpin rakyat, dan juga untuk beberapa kasus lain yang tidak terangkum dengan contoh-contoh di atas.

(11)

pada masalah-masalah tersebut; dalam setiap kelompok koordinasi imperatif, ada dua agregat yang dapat dibedakan –hal yang hanya memiliki hak-hak sipil mendasar, dan hal yang mempunyai hak kekuasaan atas pembentuknya. Berlawanan dengan martabat dan pendapatan, sebuah rangkaian kesatuan yang mengalami transisi secara berangsur-angsur tidak bisa dibangun utuk distribusi kekuasaan. Melainkan, di sana ada dikotomi yang jelas. Setiap kedudukan pada kelompok koordinasi imperatif bisa dikenali sebagai hak milik orang yang mendominasi atau seseorang yang didominasi. Kadang-kadang, mengingat organisasi birokratis masyarakat modern yang berskala besar—di bawah pengaruh negara—asumsi ini sekilas terlihat problematis. Bagaimanapun, sebuah analisis yang yang lebih tajam tidak ragu-ragu menyatakan bahwa terjadi permisahan kekuasaan secara sah, sungguhpun pada kenyataannya suatu ukuran pembedaan yang dapat dilihat di antara mereka dalam kelompok yang mendominasi.

MODEL TEORI KONFLIK

Dikotomi peran sosial di antara kelompok koordinasi imperatif8, pembagian pada

bentuk peran kekuasaan positif dan negatif sebagai sebuah kenyataan struktur sosial. Jika dan sepanjang konflik sosial dapat disebut sebagai situasi yang didasarkan pada fakta ini, hal ini dapat diterangkan secara struktural. Bentuk analisis konflik sosial yang dikembangkan melawan latar belakang sebuah asumsi melibatkan hal-hal berikut :

1. Dalam setiap kelompok koordinasi imperatif, terdapat peran kekuasaan positif dan negatif yang mendeterminasi dua kelompok semu dengan perlawanan kepentingan yang tersembunyi. Kita menyebutnya dengan “kelompok semu” karena kita harus melihat di sini hanya semata-mata sebagai beberapa kumpulan, bukanlah bagian yang terorganisir; kita membicarakan “kepentingan tersembunyi”, karena pandangan oposisi tidak membutuhkan kesadaran pada tingkat ini; hal ini timbuk hanya karena bentuk ekspektasi yang diasosiasikan dengan kedudukan tertentu. Kepentingan-kepentingan opsisi dalam konteks ini benar-benar dalam kepentingan formal, yaitu, ekspektasi merupakan sebuah keinginan akan pemeliharaan status quo uang diasosiasikan dengan peran dominasi positif dan sebuah kepentingan untuk mengubah status quo yang diasosiasikan dengan peran dominasi negatif ;

2. Pembawa peran dominasi positif dan negatif adalah anggota yang berlawanan dengan kelompok semu, mengorganisir diri mereka sendiri pada sebuah kelompok dengan muatan kepentingan tertentu, kecuali kalau kondisi variabel empiris tertentu (kondisi

8 Dalam hal ini, saya akan menunjuk peran untuk ekspektasi pengalaman kekuasaan dilampirkan sebagai

(12)

organisasi) ikut campur tangan. Kepentingan kelompok, berlawanan dengan kepentingan kelompok semu yang mempunyai persatuan yang terorganisir, seperti partai dan serikat buruh; muatan kepentingan tertentu dirumuskan dalam program-program dan ideologi ; 3. Kepentingan kelompok --yang pada awalnya—dalam sikap ini merupakan konflik

konstan pada pemeliharaan atau perubahan status quo. Bentuk dan intensitas konflik dideterminasi oleh kondisi variabel empiris (kondisi konflik) ;

4. Konflik di antara kepentingan kelompok dalam pengertian model ini mengantarkan pada adanya perubahan struktur hubungan sosial mereka, yang membawa perubahan pada hubungan kekuasaan. Jenis, kecepatan dan ukuran perkembangan tergantung pada kondisi variabel empiris (kondisi perubahan struktural).

Tujuan model tersebut adalah untuk membatasi wilayah permasalahan, untuk mengidentifikasi faktor keterhubungan pada hal ini, untuk meletakkan mereka dalam urutan –adalah untuk mengusulkan pertanyaan-pertanyaan bermanfaat—dan pada waktu yang sama untuk mengukur ketepatan fokus analisis mereka. Kita telah membatasi wilayah permasalahan kita dengan melihat konflik sosial sebagai sebuah konflik di antara kelompok yang muncul dari struktur kekuasaan organisasi sosial. Kita telah mengidentifikasi faktor-faktor hubungan dalam kondisi organisasi, konflik dan perubahan. Golongan mereka, walau bagaimanapun, bisa diungkapkan pada dasar model dalam tiga fungsi; kelompok kepentingan (seperti; partai) sebuah fungsi kondisi organisasi jika sebuah kelompok koordinasi imperatif dibentuk; bentuk konflik tertentu (seperti debat parlementer) sebuah fungsi kondisi konflik jika kelompok kepentingan dibentuk; bentuk perubahan tertentu (seperti revolusi) sebuah fungsi kondisi perubahan jika konflik di antara kelompok kepentingan dibentuk. Jadi, tugas teori konflik ternyata adalah untuk mengidentifikasi ketiga satuan kondisi-kondisi dan untuk menentukan ketajaman kemungkinan beban konflik masing-masing –idealnya, dengan ukuran kuantitatif9. Keterangna-keterangan berikut lebih

dari indikasi sementara jenis variabel yang permasalahkan.

KONDISI EMPIRIS KONFLIK SOSIAL

Sejauh perhatian terhatian terhadap kondisi organisasi, tiga kelompok factor muncul dalam benak. Pertama, kita mempunyai kondisi sosial efektif tertentu; sebagai contoh, kemungkinan komunikasi di antara anggota kelompok semu dan metode perekrutan tertentu pada kelompok semu. Selanjutnya, kondisi politik tertentu yang harus dipenuhi jika kelompok

9 Dengan komentar tersebut (1) sebuah rumus fungsi matematis, (2) sebuah perkembangan skala

(13)

kepentingan akan terbentuk. Hal tersebut di atas, sebuah garansi kebebasan koalisi sangatlah penting. Akhirnya, kondisi teknis tertentu harus dipenuhi; sebuah organisasi harus mempunyai makna utama, pendiri, pemimpin dan sebuah ideologi.

Di bawah kondisi konflik, ada dua jenis yang langsung menarik perhatian dengan cepat; tingkat mobilitas sosial individu (atau keluarga) dan kehadiran mekanisme efektif untuk mengatur konflik sosial. Jika kita membayangkan sebuah rangkaian kesatuan intensitas konflik sosial di antara kelompok kepentingan, berkisar antara perdebatan demokratis sampai perang sipil, kita mungkin menduga bahwa kehadiran atau ketiadaan mobilitas sosial dan mekanisme pengaturan benar-benar berpengaruh pada posisi konflik tertentu yang muncul pada rangkaian ini. Dalam kondisi lain, determinasi bobot pasti dari faktor-faktor tersebut menjadi tugas sebuah investigasi empiris.

Akhirnya, kelompok ketiga dari kondisi variabel mempengaruhi bentuk dan ekstensi perubahan struktur sosial yang muncul dari konflik kelompok kepentingan. Kemungkinan sebuah relativitas kedekatan hubungan yang ada di antara intensitas konflik dan perubahan – adalah—terkadang di antara kondisi konflik dan perubahan struktural. Bagaimanapun, faktor tambahan lainnya datang dan menentukan, seperti halnya kapasitas penguasa untuk berada dalam kekuatan dan potensi tekanan kelompok kepentingan yang terkuasai. Revolusi sosiologi dan terkhusus pada sosiologi yang tidak tertulisdari revolusi yang belum selesai akan mempunyai kontribusi penting untuk membuat faktor-faktor tersebut tepat.

Hal ini hampir tidak membutuhkan penekanan ulang bahwa penelitian yang tidak sistematis mampu, dengan demikian, hampir tidak menelurkan dasar sebuah teori konflik. Meskipun demikian, kita meletakkan diri kita pada posisi mempermasalahkan pertanyaan yang berarti keduanya pada tingkat teoritis dan dengan menghormati permasalahan empiris. Setiap kondisi yang disebutkan tersebut menawarkan sebuah bahasan berorientasi teoritis yang bermanfaat pada investigasi. Dan pada ruangan empiris, asosiasi sistematis faktor dalam investigasi mengalihkan pertanyaan kita dari sebuah penelitian sembarangan ke hubungan ad hoc dunia kebetulan pada sebuah kajian penting akan interdependensi tertentu yang mempunyai tempat dan makna yang ditentukan dengan sebuah prespektif umum. Dengan kajian ilmiah, eksposisi kita berada pada posisi ini harus menyisakan --sedikit banyaknya-- dalam bentuk abstrak.

(14)

IV MASALAH PADA NEGARA TOTALITER

Semenjak tanggal 17 Juni 1953, atau lebih tepatnya sejak kejadian di Hungaria dan Polandia pada musim gugur Tahun 1956, kita mengetahui bahwa konflik sosial (dan perubahan sosial) kehilangan makna pada negara totaliter. Teori konflik menaikkan pengetahuan ini ke kedudukan hukum. Negara –adalah—perkumpulan pada aspek-aspek politik merupakan bentuk kelompok koordinasi imperatif. Mereka hanyalah ada pada para penduduknya (para pemilih) dan penghuni kedudukan yang dilengkapi dengan kesempatan untuk memerintah. Oleh karena itu, konflik politik adalah sebuah kenyataan struktural masyarakat dalam setiap kondisi yang mungkin dapat dibayangkan. Konflik ini dapat mengasumsuikan bentuk yang ringan ataupun berat; segenap hal ini dapat lenyap untuk jangka waktu tertentu dari wilayah pandangan seorang peneliti dangkal, namun hal ini tidak dapat dihapuskan. Pada saat sekarang, salah satu aspek negara totaliter adalah sebuah usaha untuk menekan oposisi –yang secara tidak langsung—akan menekan terjadinya konflik sosial. Permasalahan kemudian muncul, melawan latar belakang teori konflik; Bagaimanakah pergeseran sosial menjadi masnifestasi keadaan ? Kita dapat melakukan analisis negara totaliter dari sudut pandang kondisi organisasi kelompok kepentingan – bahwa konflik dan perubahan struktural—dan berharap untuk sampai pada penjelasan bermakna tentang kejadian historis dan untuk kemungkinan yang dapat diuji. Sekali lagi, hal ini hanya memungkinkan untuk menemukan beberapa indikasi.

Mari kita awali –untuk alasan yang akan segera menjadi jelas—dengan kondisi konflik. Intensitas konflik sosial tergantung pada tindakan mobilitas sosial dan keberadaan mekanisme yang mengatur konflik. Keduanya, mobilitas dan regulasi dapat berada dalam negara totaliter. Seseorang bisa membantah bahwa “pembersihan” reguler pada negara komunis –sebuah penempatan pembawa kekuasaan—berfungsi sebagai sebuah jaminan stabilitas (dalam pengertian meredakan atau mengurangi konflik sosial). Dalan hal yang sama, persyaratan diskusi sistematis dengan tujuan mengambil keputusan tentang “tujuan” politik di antara dan di luar partai nasional mungkin akan menjadi mekanisme pengaturan yang efektif. Dalam hal ini terlihat kecenderungan yang mengikat pada sebagian besar negara totaliter untuk melakukan isolasi secara sosial terhadap lapisan kepemimpinan dan untuk mencegah adanya diskusi, hal ini bertujuan untuk mengabaikan mekanisme pengaturan konflik. Dalam kasus ini, konflik sosial mengancam peningkatan intensitas potensial dan untuk menerima sebuah katakter revolusi.

(15)

berkuasa secara mendadak. Variabel penting yang mempengaruhi kemungkinan realisasi sebuah perubahan radikal adalah resistensi penguasa pada tekanan yang akan melahirkan perubahan. Barangkali, hal ini berarti menentukan generalisasi empiris bahwa resistensi ini menimbulkan peningkatan pada tingkatan tertentu seiring dengan meningkatnya tekanan, akan tetapi kemudian membuka kesempatan akan terjadinya pembubaran secara yang relatif cepat dan juga kemajuan perubahan.

Pusat analisis konflik pada negara totaliter --walau bagaimanapun-- adalah bentuk kesatuan yang ketiga yaitunya kondisi (pertama, sebagaimana yang telah diurutkan dalam teori); kondisi organisasi. Mengikuti “pengertian” negara totaliter adalah ketiadaan kondisi di dalamnya untuk organisasi yang berlawanan dengan kelompok kepentingan. Lebih spesifik lagi, walaupun sosial dan kondisi teknis terkadang ada, kondisi politik kurang10; tiada kebebasab untuk berkoalisi. Dari sudut ini, resistensi daerah pemerintahan Jerman Timur membebeaskan pemilihan umum akan menjadi jelas, seperti halnya ancaman umum yang kejam, memungkinkan adanya konflik revolusioner pada negara totaliter. Ketika –seperti halnya yang terlihat jelas di Hungaria atau yang sebenarnya pada 17 Juni 1957 di Berlin— sebuah kesempatan organisasi untuk menimbulkan konflik laten antar kelompok, bangunan utama negara totaliter mengalami keruntuhan. Lebih jauh lagi, hal ini terlihat sangat mungkin bahwa prediski-prediksi ini akan terjadi pada beberapa kesempatan di setiap negara totaliter11. Pada masyarakat totaliter modern yang dibangun berdasarkan ideologi partai

nasional, terdapat sebuah bahaya konstan dari sudut pandang penguasa bahwa sebuah keizinan organisasi yang sejajar dengan partai nasional itu sendiri, boleh jadi menjadi akar sebuah pergerakan oposisi dan konflik revolusioner.

Analisis kita akan dipatahkan pada konteks dimana hal ini memberikan harapan untuk hasil yang dapat diuji. Hal ini bukanlah maksud diskusi ini untuk pembicaran yang mendalam pada beberapa masalah empiris. Agaknya, kita hendak menunjukkan bahwa teori konflik mengantarkan kita pada sebuah kedudukan untuk merumuskan masalah-masalah investigasi empiris penting secara lebih tepat, menimbulkan kejadian-kejadian yang tidak bisa dijelaskan di antara kita, untuk melihat apakah yang dapat diketahui dari sudut padang tambahan, dan untuk merubah pertanyaan sementara pada penelitian sistematis –untuk melakukan ketepatan terhadap suatu teori ilmiah yang dapat dipecahkan... Kendatipun semua kemajuan,

10 Untuk kondisi teknis organisasi tertentu, hal ini bisa saja terjadi hanya karena adanya batasan.

Sehingga likuidasi potensi pemimpin oposisi pada komponen pusat kekuasaan totaliter. Pada satu sisi, kedua contoh –Jerman dan Hungaria—bisa dijadikan bukti-bukti yang menguatkan ketidak-efektifan kebijaksanaan ini.

11 Faktor-faktor yang berpengaruh di sini kelalaian yang dikenal baik dengan pengurangan tekanan yang

(16)
(17)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: PT Gramedia, 1986)

Ritzer, George dan Douglas J. Gooman, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prenada Media, 2004)

Poloma, Margaret M., Sosiologi Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004)

Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi: Edisi Kedua (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2000)

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Halim (2004), belanja modal merupakan belanja pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah asset atau kekayaan daerah dan selanjutnya

reinforcement (penguatan) untuk meningkatkan kedisiplinan mahasiswa mahasiswa semester III B Program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Bangun Nusantara

1) Penulis wajib menghindarkan artikelnya dari kemungkinan plagiarisme. 2) Jumlah halaman artikel adalah 3-6. 3) Penulis terdiri atas mahasiswa S1 dan dosen pembimbing serta

para oknum petugas yang berada dalam wilayah perairan Kabupaten Raja Ampat disinyalir kuat telah terlibat dan mengetahui terjadinya kegiatan illegal fishing dengan

Hasil pengujian regresi linear berganda menunjukkan bahwa Kecukupan Modal (KM), Efektivitas Dana Pihak Ketiga (EDPK), Risiko Pembiayaan (RP), Pertumbuhan Produk Domestik Bruto

Berdasarkan uraian teori dan kenyataan dilapangan yang telah dijabarkan diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Hubungan antara Kepuasan

Dalam kaitannya dengan makna produk distro bagi remaja motivasi yang mendasari mereka menggunakan produk Woodland adalah ingin terlihat berbeda dari orang lain disekitarnya,

Dengan data diatas dapat dilihat bahwa smartphone Oppo yang berasal dari negeri China mampu bersaing dengan kompetitor lain yang sudah lebih lama berada di pasar