• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENELITIAN SOSIAL ...BUDAYA MENDIDIK BUG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENELITIAN SOSIAL ...BUDAYA MENDIDIK BUG"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

KATA PENGANTAR

P

uji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SAW, Atas izin dan anugerahnya

Makalah ini dapat terselesaikan, Dasar penulisan yang terbuat dari tetesan keringat dan perasan otak yang menjadikan Makalah ini sebuah pengorbanan mengawali pintu kesuksesan dalam mata kuliah ini.

Dasar pemikiran membuat makalah ini adalah membuat suatu cara pembahasan masalah dan menyelesaikannya dengan membaca dan mengkajinya dalam makalah ini. Penulis dituntut untuk membahas segala masalah yang sedang marak di problemkan dan apa yang tertulis di makalah ini hanyalah sedikit dan banyaknya masalah yang terjadi dan pembahasan yang terjadi di keadaan sosial.

Ucapan terimah kasih tak lupa tersaji dalam Makalah ini kepada para teman-teman yang telah membantu baik menyusun rangka Makalah ini maupun membimbing jika terjadi kesalahan dalam pembuatan ini.

Semoga Makalah ini dapat membawa manfaat bagi diri pribadi maupun seluruh pembaca sekalian, baik di jadikan refrensi membuat makalah lain ataupun menjadi bahan ajar untuk yang membutuhkan. Dengan ini saya membahas makalah ini dengan ucapan Bismillahirrahmanirrahim..

Makassar 2 Januari 2013

(2)

Gaya Mendidik dan Pembentukan Karakter

Pada Masyarakat Bugis

Eka Suhartono ( 1168040032 )

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa bagaimana cara dalam

membentuk pola karakter masyarakat bugis berdasarkan pola di didiknya mereka

dari keluarganya. Serta bagaimana dalam setiap pola tersebut terselip metode

dalam penanaman pemahaman anak baik itu didasari oleh kebudayaan sendiri

maupun tradisi terdahulu serta perubahan ke modernitas mereka juga ikut

berkembang tanpa kemunduran dari nilai-nilai budayanya sendiri yang lebih

besar.

Pembentukan karakter yang dilandasi oleh keteraturan, kedisiplinan serta

kepatuhan membuat penanaman atitude serta pandangan dalam menaungi

kehidupan itu secara kompleks terisi dengan bekal-bekal dari pola pendidikan

mereka. Jadi secara garis besar bagaimana dalam penanaman karakter

masyarakat bugis terselip latar belakang yang penuh dengan etos dan nilai-nilai

yang mendukung tentang apa yang mereka dapatkan, lakukan dan prinsip yang

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

(4)

penulis melihat disekeliling saya dan berdasar pada pengalaman saya tentang mendidik anak sekarang dan menmbandingkan dengan yang dahulu dari hasil tingkah laku dan morilnya. Memang saya dapat mengatakan bahwa sangat berbeda. Krisis-krisis seperti dijelakan diatas sangat jelas terlihat. Maka dari itu, dalam makalah ini saya menjelaskan tentang keadaan seperti diatas dan bagaimana solusi saya sebagai penulis dalam masalah ini.

A. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang diatas maka masalah yang akan dibahas adalah :

A. Bagaimana karakter keluarga bugis ?

B. Bagaiaman Budaya Otoriter dalam Penanaman etos kedisiplinan anak ? C. Bagaimana pengaruh Budaya Mitos/pamali dalam mendidik dan

keseharian masyarakat bugis ?

B. BATASAN MASALAH

Dalam Makalah ini, mengenai budaya mendidik dari suku bugis.

C. TUJUAN PENELITIAN

Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan :

A. Karakter keluarga bugis.

B. Budaya Otoriter dalam Penanaman etos kedisiplinan anak.

C. Pengaruh Budaya Mitos/pamali dalam mendidik dan keseharian masyarakat bugis.

D. Pembatasan dalam pergaulan dan tingkah laku masyarakat bugis. D. MANFAAT PENELITIAN

(5)

B. Sebagai bahan referensi kepada para pembaca dalam membahas materi yang berhubungan dengan masalah yang di jelaskan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

(6)

Suku Bugis yang terletak umumnya di daerah Sulawesi dan terkhusus di daerah Sulawesi selatan, memiliki keberagamana budaya dan pemaknaannya. Bugis yang dikenal dengan tata krama dan norma-norma yang menjadi ciri dan khas masyarakat atau populasinya. Dan juga bugis yang dikenal dengan etos dan karakter yang kuat serta bugis yang populasinya berada dimana-mana. Secara garis besar masyarakat bugis yang masih sangat kental dengan kebudayaan khasnya dan masih berpegang teguh dan menjalankan setiap tradisi-tradisinya.

Masyarakat bugis yang dikenal dengan gelar-gelar kebangsawananya masih sangat mengedepankan nilai-nilai kekeluargaan. Sistem kekerabatannya juga sangat baik dan dijaga sampai sekarang ini, walaupun zaman sudah secanggih ini pemaknaan mengenai rasa penghormatan kepada orang yang berstrata lebih diatas masih terjaga. Inilah yang menyebabkan mengapa tradisi dalam nilai-nilai bugis itu masih ada.

Suku Bugis terikat pada satu sistem budaya yang disebut panngaderreng, yang menjadi acuan bagi individu dalam kehidupan sosialnya, mulai dari kehidupan keluarga sampai pada kehidupan yang lebih luas sebagai kelompok etnik (Melalatoa, 1995). Inti dari sistem budaya ini adalah apa yang disebut siri’ dan pessé. Adanya budaya pada suku Bugis yang mengikat kuat setiap anggotanya, membuat penelitian ini penting dilakukan. Hal ini dikarenakan, sistem budaya tersebut dapat berpengaruh pada kekuatan karakter yang berhubungan dengan kebahagiaan yang mereka rasakan. 1

(7)

Karakter keluarga bugis menjurus ke arah bagaimana setiap keluarga menginginkan adanya pola penjagaan terhadap nilai dan nama baik keluarga, karakter keluarga bugis yang sangat memperhatikan unsur-unsur estetika dalam artian nilai keindahan dalam prospek kekerabatan dan tingkah laku bukan hanya dengan keluarga sendiri akan tetapi dengan seluruhaspek lingkungan pergaulan dan keseharian. Dalam hal ini bagaimana pembeda atau apabila dikaji mendalam bagaimana karakteristik keluarga bugis dibandingkan dengan yang lain, bisa dikatakan keluarga bugis mempunyai banyak aturan yang nilai ke sakralannya sangat tinggi, sehingga dalam bertindak dan bertingkah laku seakan berhati-hati atau penuh dengan ikatan yang membuatnya sangat berhati-hati.

B. Budaya Otoriter dalam Penanaman etos kedisiplinan anak.

(8)

adalah budaya siri atau bagaimana menjaga nama baik keluarga. Dalam hal ini nilai-nilai yang dapat dihasilkan adalah bagaimana pola pemikiran anak dan proses orangtua memberikan pengertian kepada anak membuat anak lebih bertanggung jawab atas etika dan penanaman karakter yang lebih matang, biasanya dengan begini pola kestruktural pemikiran anak akan lebih baik, bagaimana bisa lebih paham dengan kepekaan sosial dan juga anak akan mendapatkan kesadaran diri yang tinggi. Masih banyak dari kepola mendidik ini seperti etika dalam makan yang mana mengutamakan kebersamaan agar nilai-nilai kebersamaan itu semakin erat. Nilai senang,susah di rasakan bersama-sama dan masih banyak aspek-aspek lainnya.

(9)

keduanya. Bagaimana anak mulai mempelajari dan didukung oleh budaya, dan budaya yang tetap terpelihara dengan semakin banyaknya masyarakat yang tetap stay dan menjalankannya. Abayak contoh spesifik tentang pembuktian hal ini. Seperti pada umumnya isra’ miraj, maulid nabi, sampai pada peringatan bulan suci ramadhan yang di tunggu-tunggu oleh anak-anak untuk berperan aktif dalam kegiatan islamic di masjid-masjid, mengaji dan ceramah contohnya yang membuat edukasi lain dan pola mendidik lain dalam upaya membuat anak dapat berkembang dengan kemauannya sendiri.

Gaya mendidik masyarakat bugis tidaklah sekeras dari apa yang difikirkan akan tetapi, penanaman pemahaman dan relasi dengan budaya dan tradisi masyarakat lampau atau sebelumnya membuat ikatan pola mendidik anak tetap terjaga walau dewasa ini sudah sedikit berkurang akan tetapi akan tetap ada dan stay karakter-karakter itu dengan semakin transparannya hasil buah gaya mendidik seperti ini.

(10)

Ekspresi budaya "pamali/ pemmali" sebagai salah satu sikap tutur budaya Bugis-Makassar, merupakan ungkapan yang bersifat spontan, sebagai bentuk pelarangan dengan penekanan pada kejiwaan , untuk tidak melanggar yang di pemalikan (diappemmaliang). Pemmali terkait erat dengan pappaseng , oleh pengguna bahasa / penutur, setinggi apapun pappaseng sebab merupakan nasehat hidup atau pelajaran hikmah yanglahir dari penjelajahan hidup yang disampaikan lewat karya sastra , dan merupakan salah satu nilai ekspresi budaya suku Bugis-Makassar. tetapi pemmali, juga sebagai sebuah pesan, memberi efek yang berbeda dengan volume pelarangan yang sangat menekan, sebab diikuti dengan sanksi (meskipun bentuknya terkadang gaib) sebagai contoh, kami paparkan seperti dibawah ini: "Pemmali pura manre nappa matinro, menre I' salompongnge". "pemmali mangngesso ase riwettu makkumpe' na ellungnge" "pemmali tawwe matinro moppang, magatti I' diwelai indo' "Enre manekko ana-ana, nasaba Mangngaribini, enrara I' setangnge" "Tempeddingi tewwe tudang riolona tange e', monroko lolo bangko" Pada masyarakat lampau sifat pemmali ini secara umum teraplikasi dengan baik sebab menjadi timbangan yang istimewa dalam mempengaruhi emosional lawan bicara (reseptor /audens) sehingga menjadi kemestian untuk tidak melakukan yang bersifat larangan(harus diindakan) meski dengan tidak rela terpaksa mengikuti. 2

Suku Bugis terikat oleh sistem norma dan aturan-aturan adat yang keramat dan sakral, yang disebut panngaderreng (atau panngadakkang dalam bahasa Makassar). Sistem budaya ini menjadi acuan bagi orang Bugis dalam kehidupan

(11)

sosialnya, mulai dari kehidupan keluarga sampai pada kehidupan yang lebih luas sebagai kelompok etnik (Melalatoa, 1995). Sebagai suatu sistem, panngaderreng mempunyai beberapa unsur, yaitu (1) ade’, (2) bicara, (3) rappang, (4) Wari’, dan (5) Sara’ (Melalatoa, 1995; Matullada dalam Koentjaraningrat, 1997).

Unsur ade’ berisi norma-norma dalam sistem kekerabatan dan norma dalam sistem pemerintahan negeri, baik yang di dalam maupun yang berhubungan dengan negeri luar. Bicara adalah norma-norma yang terkait dengan peradilan, yang kurang lebih sama dengan hukum acara. Rappang merupakan analogi, kias, perumpamaan atau ungkapan adat. Wari’ adalah klasifikasi benda, peristiwa, dan aktivitas dalam kehidupan bermasyarakat menurut kategori-katergorinya. Sedangkan Sara’ adalah pranata-paranata dan kaidahnya yang berasal dari Islam. Hukum Islam atau syari’ah diintegrasikan ke dalam panngaderreng dan menjadi sara’ sebagai suatu unsur pokok dari panngaderreng dan kemudian menjiwai keseluruhan panngaderreng.

(12)

perkawinan. Sedangkan menurut Melalatoa (1995) kata siri’ secara harafiah berarti “malu” atau “kehormatan”.

Siri’ merupakan sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk solidaritas sosial. Siri’ dapat menjadi motif penggerak kehidupan sosial dan pendorong tercapainya suatu prestasi sosial masyarakat Bugis. Menurut masyarakat Bugis, siri’ seharusnya—dan biasanya, memang—seiring sejalan dengan pessé. Pessé, atau lengkapnya pessé babua, berarti ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri, mengindikasikan perasaan haru (empati) yang mendalam terhadap tetangga, kerabat, atau sesama anggota kelompok sosial (Pelras, 2006). Hal ini melambangkan solidaritas, tak hanya pada seseorang yang telah dipermalukan, namun juga bagi siapa saja dalam kelompok sosial yang sedang dalam keadaan serba kekurangan, berduka, mengalami musibah, atau menderita sakit keras. Pessé berhubungan erat dengan identitas dan merupakan pengikat antar anggota kelompok sosial atau etnis. Pessé mendasari rasa memiliki identitas ‘ke-Bugis-an’ para orang Bugis yang merantau. Kedua konsep ini—siri’ dan pessé—dapat digunakan sebagai kunci utama untuk memahami berbagai aspek perilaku sosial orang Bugis, khususnya dua perilaku yang tampak saling berlawanan, yaitu persaingan dan kesetiakawanan.3

Mitos dalam pembahasan diatas dikenal sebagai pamali dalam bahasa bugis memang sedikit banyak memberikan pedoman dan landasan dalam bertindak dan bertingkah laku bagi keluarga dan khususnya dalam mendidik pada masyarakat bugis. Dengan nilai seperti itu keteraturan dia keterikatan tentang norma-norma

(13)

yang baik semakin tumbuh pada diri anak dan masyarakat pada umumnya. Bisa dikatakan mau tidak mau mitos mendarah daging di dalam kehidupan masyarakat bugis. Dalam segala aspek pamali selalu ada. Dalam segala tindakan pamali selalu mengikat ini adalah dasar dan merupakan bukti bagaimana benar-benar menyeluruh pamali ini. Apalagi seperti yang kita tahu bahwa pamali ini pada dasarnya diwarisi turun temurun dari masyarakat terdahulu.

Ada banyak bentuk-bentuk pamali yang sadar tidar sadar menancapkan pesan dan menjadi karakter bagi yang melakukan dan berada pada cangkupannya seperti contoh kecil:

Kalimat deklaratif dari Pappaseng/Pappasang ini dengan kosa kata de e narapi nawa-nawa adalah sinyalemen untuk mendeskripsikan reso (semangat tinggi), berfungsi sebagai alat pendidikan bagi generasi muda manusia Bugis. yang terjemahannya : berangan-anganlah hingga tak terjangkau angan-angan. (disampaikanolehpanrita/agamawan).

(14)

kelahiran tokoh ini adalah simpul kuat yang terkait dengan salah satu butir dalam pangngadakkang yaitu rapang (suri teladan).”

Dan juga "pamali/ pemmali", "Pemmali pilai bolae narekko de'pa napura bissai penne angnganrengnge" (dilarang meninggalkan rumah (untuk perjalanan jauh) sebelum piring yang digunakan untuk makan, dicuci terlebih dahulu). kata "bissai penne", dalam ungkapan pemmali ini apakah hanya berarti "cuci piring" , sebab dalam sinyalemen pengunaan kata bissai penne ini dapat juga berarti memperlakukan wanita/istri dengan merawatnya, setelah berhubungan badan, menuju sikap verbal pada penggalian nilai-nilai budaya tutur, untuk sebuah kearifan lokal.

Seperti contoh diatas bagaimana kepercayaan seperti itulah yang mengambil peran aktif dalam pembentukan apa yang dinamakan kebiasaan yang menyebabkan lahirnya perilaku yang akhirnya kembali menjadi kebiasaan.4

D. Kajian teory/ Hasil penelitian

Gaya mendidik masyarakat bugis memanglah sangat unik. Dengan banyaknya pengaruh-pengaruh yang menjulur kearah kearifan lokal maka karakter yang dibentuk juga berjalan dengan apa yang di wanti-wanti sebelumnya. Karakter turun temurun masyarakat bugis khususnya keluarga bugis dengan apa yang mereka pertahankan baik itu pedoman kehidupan dahulu sampai aspek religiusnya. Karakter keluarga bugis bukanlah seotoriteran apa yang dibayangkan akan tetapi bagaimana keotoriteran yang dia kaji tersendiri mengahasilkan

(15)

kedisiplinan, kepatuhan dan kemandirian yang berbeda dengan yang lain dan menjadi identitas buah pendidikan dari keluarga dan lingkungannya.

Masyarakat suku bugis yang masih memelihara kekentalan kebudayaan dan nilai-nilai estetika dalam kepercayaan terhadap tradisinya memang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Regenerasi dengan menggunakan nilai-nilai tersebut dalam pola mendidik anak menjadikan nilai-nilai tersebut terpelihara rapi dalam bingkai kehidupan yang mengarah ke bekal masa depan. Memang apabila kita berbicara tentang mitos dan pamali seakan kita masih berfikir primitif (katanya) akan tetapi malah dengan begitu masyarakat bugis dapat menstrukturkan relief-relief kehidupan mereka dengan landasan ajaran pendahulu yang sarat akan pemkanaan. Dan dengan semua itu dihasilkan anak yang bertanggung jawab,kukuh, berkarakter dan terstruktur tentang pola pemikiranya. Jarang ada masalah lain yang tersirat dari hasil mendidik dengan gaya seperti ini.

E. Kerangka Pemikiran

Dalam upaya memberikan penjelasan dasar pemikiran dalam penelitian ini, maka penulis mencoba menggunakan dalam suatu bentuk kerangka pemikiran sehingga dapat memberikan gambaran tentang bagaimana konsep pemikiran antar variabel independen dengan variabel dependen dalam menjelaskan tentang metode yang digunakan dalam pembahasan.

(16)

masyarakat, karena bisa dikatakan bagaimana metode ini besar dan dikenal di masyarakat bugis saja, entah ada yang lain dengan nama dan sedikit perbedaan dalam pengembangan tersendirinya. Berdasarkan uraian diatas, maka kerangka pemikiran yang digambarkan sebgai berikut :

Penelitian ini bersikap deksriptif asosiatif yang bermaksud memberi gambaran dan penjelasan mengenai pengembangan anak didasarkan oleh gaya didik mereka di kalangan masyarakat bugis dalam pembentukan karakternya.

(17)

dasar penelitian ini adalah wawancara bagaimana untuk memperoleh data dan keterangan informasi secara aktual yang berhubungan dengan penelitian ini.

B. Lokasi penelitian

Lokasi dalam penelitian ini adalah masyarakat bugis pada umumnya dan khususnya daerah bugis Pattinjo Kabupaten Pinrang. Peneliti berharap dapat lebih mengetahui aspek-aspek lebih jauh tentang budaya mendidik masyarakat bugis.

Penelitian dilaksanakan selama 2 minggu dimulai 28 desember 2012 sampai 13 Januari 2013.

C. Jenis dan sumber data

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Data primer adalah data yang diperoleh melalui hasil penelitian langsung dari narasumber.

b. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai sember berupa dokumen-dokumen, literatur dan laporan.

(18)

Fokus penelitian dalam hal ini terfokus pada bagaimana keluarga bugis mendidik anaknya dengan segalan aspek yang ada didalam prosesnya tersebut.

Dan fokus penelitian yang digunakan dengan menggunakan penelitian subjektif karena dengan mengumpulkan informasi dari narasumber-narusember kecil yang lebih mendalam dan pengumpulan informasi lain yang tidak langsung survei ke lapangan untuk lebih mengurangi aspek-aspek yang tidak mendukung penelitian ini.

E. Tekhnik pengumpulan data

Tekhnik pengumpulan data yang digunkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Wawancara yaitu pengumpulan data dan informasi dengan cara melakukan wawancara atau tanya jawab langsung kepada responden dan informan yang berkaitan dengan pembahasan yang akan diteliti.

b. Dokumentasi yaitu pengumpulan data dan informasi dengan cara memilih dokumen yang berkaitan dengan maslah yang akan diteliti.

(19)

Analisa dari data kualitatif secara khas adalah satu proses yang interaktip dan aktif. Peneliti-peneliti kualitatif sering membaca data naratif mereka berulang-ulang dalam mencari arti dan pemahaman-pemahaman lebih dalam. Morse dan Field (1995) mencatat bahwa analisis kualitatif adalah proses tentang pencocokan data bersama-sama, bagaimana membuat yang samar menjadi nyata, menghubungkan akibat dengan sebab. Yang merupakan suatu proses verifikasi dan dugaan, koreksi dan modifikasi, usul dan pertahanan.

DAFTAR PUSTAKA

anthropology.fisip.ui.ac.id/httpdocs/

Referensi

Dokumen terkait

Implementasi pasal 3 ayat 6 butir B Kontrak Berlangganan “Telkom Speedy” terkait konsumen sudah terlaksana dengan baik. Disini Telkom telah melaksanakan

[r]

Infeksi STH memiliki dampak yang buruk terutama bagi anak-anak usia sekolah dasar. Infeksi STH menyebabkan anemia dan malnutrisi sehingga berpengaruh terhadap

Perubahan garis pantai Nusa Penida tahun 1973, 1978, 1995, 2000 dan 2013 relatif stabil, ditemukan abrasi sepanjang pantai datar akibat profil dasar laut yang curam yang tersebar

Galla Bantalang selain kedudukannya sebagai anggota adat limayya di tanaloheya yang bertugas mengawasi dan memlihara hutan adat di Bantalang, beliau juga dalam struktur

logika dalam hal ini mempunyai hubungan yang erat meskipun secara sejarah keduanya berbeda. Logika dilibatkan dengan pertanyaan-pertanyaan, sedangkan amatematika

Simpulan dari hasil penelitian ini adalah;1) Perencanaan pembelajaran dan pelaksanaan tindakan dengan Analisis Penilaian Kinerja Guru (APKG 1 dan 2) pada model

1. Penelitian ini untuk mengetahui bagaimana keterampilan berbicara mahasiswa yang menggunakan metode Braindis-Buzz Group untuk meningkatkan keterampilan berbicara