• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Urgensi Maslahah Dalam Upaya Tajdid Hukum Islam di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "View of Urgensi Maslahah Dalam Upaya Tajdid Hukum Islam di Indonesia"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Al-Risalah

Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum

Penanggung Jawab Muhammad Hasbi Umar

Penyunting Ahli

A. Husein Ritonga (IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi) M. Amin Suma (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Mohd Roslan bin Mohd Nor (University of Malaya, Malaysia)

Jhoni Najwan (Universitas Jambi)

Bahrul Ulum (IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi) Subhan (IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi)

Erdianto Effendi (Universitas Riau)

Penyunting Pelaksana Sayuti (Ketua) Zulqarnain (Anggota)

M. Zaki (Anggota)

Editor Bahasa Inggris: Agus Salim Editor Bahasa Arab: Hermanto Harun

Tata Usaha Choiriyah Siti Asnaniyah M. Fathurrahman

Alamat Redaksi:

Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Jl. Jambi-Muarabulian KM. 16 Simp. Sungaiduren, Muarojambi-Jambi

Telp/Fax. (0741) 582021, e-mail: jurnal.alrisalah@gmail.com

(2)

DAFTAR ISI

Iiz Izmuddin

Hukum Islam, Pluralisme, dan Realitas Sosial 213

Bahrul Ma’ani

Urgensi Maslahah dalam Upaya Tajdid Hukum Islam di Indonesia 229

M. Lohot Hasibuan

Perbankan dalam Dimensi Konvensional dan Syariah 242

Bagio Kadaryanto

Konsep Rechtsstaat dalam Negara Hukum Indonesia (Kajian terhadap Pendapat M.T. Azhari) 266

M. Hasbi Umar

Hukum Menjual Hak Suara pada Pemilukada dalam Perspektif Fiqh Siyasi Sunni 288

Sayuti

Tolok Ukur dan Upaya Hukum terhadap Pembatalan Peraturan Daerah 314

Shamsiah Mohamad

Penetapan Hukum dalam Hukum Islam (Analisis Metodologi Pengambilan Hu-kum dalam Fatwa DSN-MUI No. 40/DSN-MUI/X/2003) 337

Mohd Quzaid al Fitry B. Termiji

Studi Komparatif tentang Kedudukan Hakim Wanita di Mahkamah Syariah dan Mahkamah Sipil Malaysia 363

Ramlah

Implikasi Pengaruh Politik Hukum Kolonial Belanda terhadap Badan Peradilan Agama di Indonesia 383

Hadenan bin Towpek

(3)

URGENSI MASLAHAH DALAM UPAYA

TAJDID HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Bahrul Ma’ani

Dosen Ilmu Fiqh Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Jl. Lintas Jambi-Ma. Bulian KM. 16 Simpang Sei Duren

Jambi Luar Kota, 36361, Muaro Jambi

Abstract: At the present time, most intellectuals and modernists, including the traditionalist ulama, to develop creative enough to the development of Islamic law. Muslim scholars do interpretations of religious texts carefully without prejudice to respect for the findings of previous scholars.Thought that try to discuss nat ap-proach and partly there are passages in an attempt to leave istimbat legal scholars support from certain circles.They recognize the importance of accepting change in the reform of Islamic law, particularly, in the area of mu'amalah such as fam-ily law, economic, social, and political. They pushed the necessity of ijtihad and talfiq and redefine the meaning qat'i in the form of legislation that are positive and clerics fatwa. Laws and edicts previously the basis of legal considerations. On the methodological aspects that the establishment of laws and edicts clerics in Indonesia, let's say Marriage Law, the Law of Waqf, Compilation of Islamic Law and so on, is seen has left many previous fatwa, because the emphasis on rational considerations, and not just focus on the opinion of "the four schools", but also the opinion of other schools like Dhaheri and Shiite sect.

Keywords:maslahah, tajdid, Islamic Law.

(4)

tertentu. Mereka menyadari pentingnya menerima perubahan dalam reformasi hukum Islam, khususnya, di bidang mu'amalah seperti hukum keluarga, ekonomi, sosial, dan politik. Mereka mendorong perlunya ijtihad dan talfiq dan mendefi -nisikan kembali arti qat'i dalam bentuk undang-undang yang bersifat positif dan fatwa ulama. Produk hukum dan fatwa sebelumnya menjadi dasar pertimbangan hukum. Pada aspek metodologis bahwa pembentukan hukum dan fatwa ulama di Indonesia, katakanlah Hukum Pernikahan, HukumWakaf, Kompilasi Hukum Is-lam dan sebagainya, dipandang telah banyak meninggalkan fatwa sebelumnya, karena mengutamakan pertimbangan rasional, dan tidak hanya terpaku pada pendapat “empat mazhab” saja, tetapi juga pendapat mazhab lain seperti Dhahiri dan Sekte Syi’ah.

Kata Kunci:maslahah, tajdid, hukum Islam.

Pendahuluan

Seperti diketahui bahwa seorang ulama besar yang menkaji tentang maslahah secara tajam dan terperinci serta mendapat kritikan dari berbagai kalangan ada-lah Sulaiman Ibn Abdu al-Qawi ibn Abdul Karim Ibn Said At-Tufi (675 H/1276

M – 716 H/1316 M), yang akrab disapa At-Tufi. Ia dinilai banyak ulama sebagai

seoarang faqih yang bermazhab Ahmad bin Hanbal.1

Dalam konsep maslahah, At-Tufi mengemukakan bahwa hukum Islam

disyari’atkan untuk mewujudkan dan memelihara kemaslahatan umat manusia, maka At-Tufi mengartikan maslahah sebagai suatu sebab yang membawa dan

melahirkan kebaikan dan manfaat yang berkaitan dengan ibadah maupun mua-malah.2 Dengan demikian berarti maslahah sebagai suatu upaya hukum untuk

mendatangkan sesuatu yang bermanfaat, serta menghindarkan diri dari sesuatu yang mudarat baik dengan konfirmasi nash maupun tanpa perlu konrmasi nash.

Tolak ukur manfaat dan mudarat yang bertumpu pada maksud syara’ bisa saja bertujuan untuk menegakkan kemanfaatan dan kebaikan manusia yang ditetap-kan berdasarditetap-kan hukum adat.

Oleh karena itu maslahah bukan hanya sebagai sumber hukum bagi kasus yang tidak ada nash-nya, melainkan maslahah juga harus didahulukan atas nash

1 Wahbah al-Zuhaili, Al-Wasit fi Usul fiqh al-Islami, (Damsyik: at-Ta’aruf, t.t), hlm. 358.

(5)

dan ijma’.3 Bangunan konsep maslahah At-Tu semacam ini didasarkan atas

em-pat hal berikut ini: 4

1. Akal semata tanpa harus melalui konfirmasi wahyu dapat mengetahui

ke-baikan dan keburukan (istiqlal ‘uqul bi idrak al-masalih wa al-mafasid).

2. Maslahah sebagai dalil syar’i, kehujjahannya tidak memerlukan konfirmasi

nash (al-Maslahah dalilun syar’iyyun musataqillin an-nusus).

3. Maslahah saebagai dalil syar’i dalam bidang mu’amalat dan adat istiadat bukan dalam ibadah dan muqaddarat (Majal mal bi maslahah buwa al-mua’malah wa al-‘adah duna al-ibadah wa al-muqaddarah).

4. Maslahah itu merupakan dalil syar’i yang terkuat (al-Maslahah aqwa adillah asy-syar’i).

Dengan demikian, ada prasyarat yang harus diperhatikan untuk dapat men-jadikan maslahah sebagai sumber hukum. Dan bahkan dalam kondisi tertentu, maslahah dapat didahulukan atas nash dan ijma’.

Fungsi Maslahah

Akibat dari perubahan sosial, mempengaruhi sendi-sendi kehidupan termasuk kehidupan utilitarian menjadi popular, maka gerakan modernisme dalam Islam mencari formula yang akan membantu mereka menyesuaikan diri dengan kon-disi yang selalu berubah, sehingga maslahah menjadi salah satu alternatif kajian yang manarik. Bahkan para sarjana sangat apresiatif terhadap pandangan-pa-dangan Al-Tufi.Misalnya, Mustafa Abu Zaid, Musatafa al-Syalabi, Rasyid Ridha,

Subhi Mahmasani, Abdul Razzaq as-Sabuni. Ma’ruf al-Duwalibi, Muhammad al-Khudhari dan Abdul Wahab Khalaf.

Oleh karena itu peran maslahah semakin kuat seiring dengan hermenuetika sebagai salah satu metode penafsiran al-Qur’an, karena teks al-Qur’an senantia-sa dibaca, dipahami, ditafsirkan dan ditakwilkan oleh para mufassir dan oleh sia-papun juga secara hermenuetika.5 Secara artisial al-Qur’an adalah kalam Allah

3 Ibid.

4 Rasyid Ridha, Your al-Islam, (Kairo: Nahdah, 1956), hlm. 72-75.

(6)

yang tanpa suara dan huruf, akan tetapi al-Qur’an yang ada dihadapan pembaca adalah sebentuk teks dengan memilih bahasa Arab sebagai mediasinya.6

Sebagaimana yang difahami bahwa al-Qur’an bersumber dari ayat yang metafisit, transedental, pesan dan makna yang dikandungnya semata-mata untuk manusia, sehingga penggaliannya pun tidak terlepas dari rasio manusia yang serba terbatas. Teks al-Qur’an dikukuhkan dengan ketentuan Tuhan (nash Ilahi), dan selanjutnya teks tersebut berada dihadapan umat manusia dengan penyera-han pertama kepada Nabi Muhammad Saw. Dengan kata Iqra’ berarti penge-nalan pertama bagi umat manusia adalah bacaan, lalu kemudian teks tersebut dibahas melalui ra’yu sehingga sakralitas dan absolutnya ada pada zat Tuhan dan teks yang ada dihadapan pembaca menjadi ruang ijtihadi.7 Makna

herme-neutika al-Qur’an tidak terlepas dari interpretasi dari para mufassir yang tidak tahu persis apa yang dikehendaki Allah karena rasio manusia tidak akan sampai ke sana.

Titah Allah tidak mempunyai ruang dan waktu dari ketiga unsur, pemberi wahyu (Allah), teks al-Qur’an dan manusia (interpreter), atau dapat juga disebut tujuan, teks dan tafsir tidaklah mungkin dipadukan secara hakiki. Karena itu makna teks al-Qur’an berada pada teks, ra’yu pengarang dan pembaca. Mis-alnya, garapan ijtihad mengenai hukum waris yang menentukan seorang anak lelaki mendapat dua berbanding dua dari anak perempuan yang diatur dalam ayat al-Qur’an:

ﲔﻴﺜﻧالا

ﻆﺣ

ﻞﺜﻣ

ﺮﻛ

لذﻟ

ﰼدﻻوا

ﲂﻴﺻﻮﻳ

“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak-mu, yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan”.8

Hal ini jika dikaitkan dengan unsur historis, nash tersebut di atas dapat dipengaruhi oleh sosio kultural masyarakat pra- Islam dan masyarakat Arab sendiri, sehingga kondisi dan unsur budaya melekat menjadi pertimbangan uta-ma. Sebelum Islam hadir di padang pasir Arab, kedudukan wanita tidak lebih

hlm. 489-490.

6 Abu Muhammad Ali Ibn Ahmad Ibn Said Ibn Hazm, Al-Fisal wa Milal wa al-ahwa al-Nihal, Jilid 2, (Bairut: Dar al-Kutub, al-Ilmiyyah, 1996), hlm. 8-4.

7 Nasar Hamid Abu Zayd, Naqd al-Kitab al-din, Cet. Ke-2, (Kairo: Sina’ li al-Nasyr, 1994), hlm. 126.

(7)

tinggi dari pada sekedar barang, sehingga sama sekali tidak ada hak waris. Is-lam datang untuk mengangkat harkat dan martabat manusia termasuk wanita diangkat berdasarkan teori geneologi Arab manganut patriahat trib, sehingga muncul kewajaran bahwa Islam menganut sistim keturunan dari garis laki-laki.9

Maka dalam hal ini Asy-Syatibi menjelaskan bahwa ketentuan waris 2:1 terse-but termasuk salah satu dari ketentuan pra-Islam yang telah dimodefikasi lalu

kemudian dilegalisasi.

Demikian pula misalnya hukum potong tangan, Allah juga telah menggar-iskan ketentuannya dalam al-Qur’an yang artinya:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan ked-uanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kearjakan dan sebagai sik-saan dari Allah. Dan Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.10

Negara Arab secara geografis tandus dank kering, sementara yang lebih

tepat diaplikasikan adalah sikulasi perdagangan yang menimbulkan pencurian terhadap barang-barang yang diperdagangkan. Oleh karena itu wajar sekali jika muncul tentang ayat pencurian sebagai warning bagi masyarakat bahwa hal tersebut adalah perbuatan kriminal dan sangat dilarang oleh Islam. Kaitannya dengan munashabah al-ayat min al-ayat, seperti terungkap dalam ayat berikut ini yang artinya:

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan maembuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan diakhirat mereka beroleh sik-saan yang besar, kecuali orang-orang yang taubat (diantara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka, maka keatahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.11

Hukuman yang setimpal bagi pelaku kekerasan adalah sangat wajar, di antaranya para perusuh dan pengacau keamanan sehingga al-Qur’an pun me-netapkan dengan keras dan tegas dalam rangka memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan. Berdasarkan tulisan Robert mengatakan:

9 Ilyas Sepeno dan M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, (Yogya-karta: Gama Media Kerja Sama dengan Program Pascasarjana IAIN Walisongo, 2002), hlm. 258.

10 Al-Maidah (5): 38.

(8)

“Rightly or wrongly, the Arabs have long been regarded as a people unequalled in practice of stealing … Robbery and murder were their ornary occupation, for an Arab loked on work or agriculture as beneath his dignity”.12

Sebagai komparasi bahwa teks dapat menunjukkan makna dengan jelas, yang juga harus meruju kepada situasi, kondisi dan budaya sehingga ada ke-mungkinan mencari bentuk hukuman lain berdasarkan pertimbangan masala-hah. Dalam hal ini Ziaduddin Sardar menjelaskan:

“The Shari’ah is like a spiritual, confined by ist limits but moving with time, with

its norm requiring a fresh effort to understand by Muslims of every epoch”.13

Dalam hukum qishas misalnya, pada QS. al-Maidah ayat 45 membolehkan seseorang meminta ganti rugi, al-hurru bi al-hurry, al-‘abdu bi al-‘abdi, al-untsa bi al-untsa. Jadi prinsip satu sama satu memberika keseimbangan atas kesalahan yang diperbuat oleh seseorang. Kriteria tersebut bukan norma syariat, namun batasan yang wajar dan diperbolehkan. Sementara hakikat norma syariat ada-lah mengandung unsur kasihan dan memaafkan seperti yang dicontohkan oleh Nabi.14

Selain itu, Syahrur juga menjelaskan tetntang teori hudud dalam memahami ayat-ayat. Menurutnya ada 6 tingkatan hudud: (1) al-Had al-Adna (batas minimal), (2) al-Had al-a’la (batas maksimal), (3) al-Had al-A’la wa al-Adna (batas minimal dan maksimal),(4) al-Had al-a’la wa had al-adna ala nuqtah wahidah (batas maksi-mala dan minimal dalam satu titik, (5) al-Had al-a’la bi khat mawqarib mustaqim (tidak sampai batas maksimal dan juga tidak menyentuh batas minimal, (6) al-had a’la mujib muglag la ajuz tajawuzuh, wa al-al-had al-adna salih yajuz tajawuzah (ba-tas maksimal positif dan ba(ba-tas minimal negatif, serta keduanya bertemu di titik tengah).15

Hukum potong tangan bagi pencuri, oleh al-Qur’an merupakan Had al-a’la, oleh karena itu tidak boleh memberikan hukum potong tangan yang me-lebihi dari itu, namun boleh diberikan hukum yang lebih ringan dari itu.

12 Lihat dalam Ziaduddin Sardar, Islamic Future: The Shape of Ideas to Come, (Selan-gor: Pelanduk Publication (M) Sdn. Bhd, 1988), hlm. 119

13 Ibid.

14 Al-Ahzab (33): 21.

(9)

Maslahah yang Bercorak Keindonesiaan

Sebuah istilah berbunyi bahwa kesalahan umat Islam selama ini adalah tidak mengakui kebebsan berfikir. Ia terpaku pada bunyi tekstual dan tidak

berdasar-kan kontekstual.16 Pada hal pemahaman kontekstual juga menjadi penting

ke-tika memahami sebuah ayat al-Qur’an.Penafsiran al-Qur’an melalui kontekstu-al dapat dilakukan dengan menyoroti aspek kabahasaan, yakni bahasa Arab.17

Menurut Hasan Hanafi seperti dikutip dalam “Kajian Islam Kontekstual”

men-gatakan secara hermenuetika terdapat tiga tipe penafsiran terhadap teks yaitu tipe morfologis, sintaksis dan leksikologis. Tipe morfologis berkaitan penjelasan bentuk kata seperti kata benda, kata kerja, kata sandang dan seterusnya. Tipe sintaksis mengarah pada arti hakiki, metaforis, kata yang mempunyai satu arti dan yang lebih satu arti, kata yang jelas dan samar, yang umum dan khusus dan yang positif dan negatif. Sedangkan tipe leksikologis mengarah pada makna etimologi makan yang terkait pada situasi tertentu dan makna baru yang lahir dari teks tersebut.18

Dalam kaitannya dengan maslahah Al-Tufi, dapat dikatakan bahwa pada

awalnya pandangannya mendapat tantangan dari berbagai kalangan, baik dari kalangan intelektual muslim maupun dari para ulama, namun kemudian pada tahun 90-an baru mendapat sambutan hangat dari berbagai ulama Indonesia, utamanya orang-orang yang menyuarakan “Reaktualisasi hukum Islam” dalam

16 Kata tekstual adalah bentuk kata sifat dari teks yang menurut Kamus Besar Ba-hasa Indonesia mengandung dua pengertian yaitu: 1. Naskah yang berupa (a) kata-kata asli dari pengarang; (b) kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan;(c) bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato dan sebagainya. 2. Wacana tertulis. Selanjutnya tekstual menurut John Sinclair, relat-ing to the way a work ofa literature is writen. Jadi tekstual berdasarkan ekspsresi ka-ta-yang terdapat pada sebuah teks. Lihat, John Sinclair (ed), Collins Cuboil English Language Dictionary, (London: Harpet Collins Publishaer, 1993), 1510. Sementara kata “kontekstual” berasal dari kata benda yang berarti konteks. Konteks juga memuat dua arti yaitu: 1. Bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendu-kung atau menambah kejelasan makna; 2. Situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Depdikbud, Edisi Ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 591.

17 Ahmad Syukri Saleh, Kajian Islam Kontekstual, Kompilasi Pidato Pengukuhan Guru-guru Besar IAIN STS Jambi Tahun 2009, Cet. Ke-1, (Jakarta: Gaung Press, 2009), hlm. 11.

(10)

bidang perbankan. Hal yang sama sebagaimana telah dilakukan oleh Umar bin Khattab dalam pandangannya untuk tidak membagi-bagikan harta ghanimah dipenaklukan sebagaimana hal yang sama pernah dilakukan oleh Nabi, karena para pada masa Umar bin Khattab tentara telah mendapat gaji dari Negara.

Pandangan Abdurrahman Wahid tentang “Pribumisasi Islam” meminta agar setiap individu dapat menghargai budaya dengan menyerap adat dan bu-daya lokal sebanyak mungkin untuk dimasukkan dalam koridor Islam. Dengan kata lain spirit nash dikaitkan dengan persoalan aktual yang ada di Indonesia. Misalnya, secara sederhana ucapan “assalamu’alaikum” sekedar ucapan biasa-biasa saja untuk menegur seseorang. Pada hal jika lebih didalami ada makna bahwa menjawab salam adalah wajib, sedangkan yang mengucapkan bukan wajib. Demikian juga ucapan salam itu adalah ucapan yang menjadi bagian dari rangkaian pelaksanaan shalat.

Menurut Masdar Farid Mas’udi bahwa pada dasarnya tidaklah ada syari-at yang bersifsyari-at mutlak, dan secara apriori berlaku untuk segala duruf (waktu, tempat dan keadaan). Sebagai jalan atau cara bagaimana suatu tujuan dicapai, syariat mestilah bersifat dinamis dan kontekstual.19 Demikian juga untuk

mema-hami bahwa bangunan pemikiran fiqh yang fundamental adalah kemaslahatan,

kemanusiaan didukung dengan nash atau tidak, yang mampu menjalin kemasla-hatan kemanusiaan dalam kacamata Islam adalah sah dan umat Islam terikat untuk merealisasikan.

Ketentuan nash baik dari al-Qur’an maupun al-Hadis yang dipandang qat’i oleh ulama tertentu bisa jadi hanya zanni pada masa yang lain karena peruba-han setting sosial, ilmu pengetahuan dan tehnologi. Lebih dari itu mungkin saja terjadi bahwa suatu nash mengandung aspek qat’i dan zanni sekaligus. Karena itu dalam berijtihad untuk mengambil kesempatan hukum perlu diperhatikan maqasid al-syari’ah, agar hukum tidak sekedar hukum namun atas nama keadi-lan, kemaslahatan, mencegah timbulnya kemudaratan dan kerusakan.20

Selain itu, Sahal Mahfudh mennjelaskan tentang maslahah dalam mengam-bil keputusan. Dalam beberapa tulisannya “Menggagas Fiqh Sosial” akan se-lalu melakukannya gagasannya berdasarkan pertimbangan sosial, tentu mengedepankan pendekatan masalahah untuk menempuh jalan yang lebih

bi-19 Masdar Farid Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), hlm. 126.

(11)

jaksana. Gagasan-gagasan yang semacam ini oleh NU dalam muktamarnya di Cipasung mengukuhkan bahwa maslahah menjadi pertimbangan utama dalam mengambil keputusan hukum yang bersifat sosial.

Lebih lagi dalam pertimbangan para modernis, seperti Nurkholis Majid, Usep Fakhruddin, Utomo Dananjaya, Djohan Efendi dan Dawam Rahardjo leb-ih getol lagi mengatakan tentang ketidak mampuan sebagian kaum muslimin untuk membedakan nilai-nilai transedental dengan nilai-nilai temporal. Tidak jarang terjadi nilai-nilai yang tidak menjadi parinsip justeru dijadikan sesuatu yang sakral.Bahkan kadang-kadang nilai-nilai yang sakral, seperti nilai moral dan etika seringkali diberlakukan sebagai sesuatu yang tidak sakral. Ada juga gerakan liberal seperti Ihzan Ali Fauzi, Komaruddin Hidayat, Fakhri Ali yang termasuk dari kalangan menengah. Sementara dari kalangan muda sepearti Ulil Abshor ‘Abdala, dimana ide-idenya sangat kontroversial seperti, “Tidak ada hukum Tuhan, yang ada adalah sunnah Tuhan, serta nilai-nilai universal yang dimiliki oleh manusia”, dan sebagainya.21

Ada tiga hal yang dikemukakan oleh kaum Islam Liberal: Pertama, mengam-bil posiis liberal sebagai sesuatu yang sepenuhnya secara eksplisit didukung oleh syariah. Kedua, kaum muslimin bebas untuk mengambil sikap liberal dalam ses-uatu hal yang dibiarkan terbuka oleh syariat dan diberikan otonom bagi manu-sia untuk berpendapat sesuai dengan akal budi dan kecerdasan manumanu-sia (silent syariah). Ketiga, syariat bersifat Ilahiah dan ditujukan bagi penafsiaran-penafsiran manusia yang beragam (interpreted syariah).

Berdasarkan perkembangan pemikiran tersebut, maka maslahah di Indone-sia mendapat sambutan baik bagi pengembangan ide-ide dan pemikiran para ulama dan cendikiawan muslim secara dinamis. Berkaitan dengan perkemban-gan hukum Islam di Indonesia, dikalanperkemban-gan ulama dan cendikiawan muslim telah melakukan antisipatif dengan menunjukkan tantangan masa depan serta memberikan solusianya, mislanya ada yang bersifat efektif, sehingga maslahah menajadi pertimbangan terdepan dalam menetapkan hukum Islam. Demikian juga bersifat konseptual yang mengkritik metodologi hukum Islam dengan per-timbangan maslahah versi Imam Malik; dan yang bersfiat divergen karena

libaral-isasi pemikirannya yang berakibat kepada munculnya jumping conclusion serta pemikiran yang bersifat integralistik dengan menggabungkan antara nash dan realitas, di samping yang bersifat responsif dengan memberikan jawaban

(12)

adap keresahan umat terhadap persoalan yang sedang terjadi.

Dalam hal police keputusan hukum, MUI mengeluarkan fatwa yang dini-lai oleh banyak kalangan sangat liberal. Fatwa MUI tanggal 1 Juni 1980 yang menetapkan bahwa seorang wanita Muslimah haram menikahi seorang pria non muslim, demikian pula sebaliknya seorang pria muslim dilarang menikahi perermpuan non muslimah. Larangan ini dinilai mafasadatnya lebih besar dari kemaslahatannya.

Larangan bagi kaum muslimin pria dan wanita untuk kawin dengan orang-orang bukan Islam.Selain itu mengawini pria atau wanita Ahli Kitab berarti membatalkan al-Qur’an dengan maslahah. Atau paling tidak penundaan pelak-sanaan larang-larangan tertentu dalam al-Qur’an.

Dalam kasus lain MUI merekomendasikan masalah jual beli tanah waris yang berukuran kecil, adalah lepas dari nash dan hanya semata-mata bersan-darkan kepada maslahah. Ia berpendapat lebih baik tanah-tanah kecil itu dibi-arkan utuh yang hasilnya dapat dinikmati secara bersama oleh para ahli waris. Jika hal itu tidak dimngkinkan dilaksnakan, mislanay salah saeorang ahli warais memearlkan uang, maka disarankan agar tanah dijual kepada ahli waris lain. Kalaupun hal ini tidak mungkin dilaksanakan maka dianjurkan tanah itu dijual kepada pemilik tanah yang ada disekitarnya, jika juga tidak maka ditawarkan keumum dari desa yang beragama Islam.22

Pada tanggal 2 Maret 1978 MUI memberikan fatwanya tentang peredaran

lm Adam and Eva serta the Massage bahwa majelis tidak berkeberatan impor lm

kepada masyarakat umum, karena dinilai tidak memuat gambar Nabi Muham-mad. Fatwa ini tidak merju’ kepada al-Qur’an, al-Hadis dan literatur lain, seperti teks fiqh dan tafsir atau tidak berisi dalil apapun bersifat rasional.23.

Demikian juga dalamUndang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkaw-inan ada pasal-pasal secara lahiriyah berbeda dengan nash baik Qur’an, al-Hadis maupun teks fiqh.Talq adalah salah satu bentuk yang mewarnai

peny-usunan Undang-undang tersebut. Sebagai contoh seorang suami dinilai sah manjatuhkan talak apabila dilakukan di depan hakim Pengadilan Agama. Den-gan demikian, Hakimlah yang mentukan keabsahan dalam menjatuhkan talak. Jika seorang yang menginginkan penjatuhan talak terhadap isterinya melalui

22 Mohammad Atho’ Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam Indonesia 1975-1988, (Jakarta: INIS, 1993), hlm 100.

(13)

surat atau dilakukan di rumah, baru disibut “keinginan menceraikannya”. Ta-lak baru jatuh, jika telah diTa-lakukan di depan Hakim pengadilan.

Pengaruh Maslahah Terhadap Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia

Pentinganya ijtihad untuk saat ini, bukan hanya ijtihad yang bersifat bayani dan kiyasi, tetapi juga ijtihad istislahi li isbat al-hukmi dalam bidang mu’amalah dan ‘adah untuk menjelaskan kehidupan Islam sesuai dengan ajaran agama dan re-alitas masyarakat. Impelementasi ijtihad istislahi karena hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur’an maupun oleh Rasulullah pada hakikat-nya untuk kemaslahatan hambahakikat-nya.

Penerapan ijtihad yang didukung oleh oleh nash atau tidak dapat menja-min kemaslahatan kemanusiaan adalah sah. Namun yang menjadi ketentuan maslahah terbatas pada: (1) Persoalan kemaslahatan manusia yang saecara nyata ada di tengah-tengah masyarakat; (2) Maslahah yang beradasarkan ra’yu bukan berarti ra’yu bebas tanpa landasan dan pijakan, melainkan berpijak pada adat dan realitas kemsalahatan manusia sebagaimana yang dipraktekkan para saha-bat dan para Imam mazhab (Umar, ra dan Imam Malik); (3) Maalahah lebih kuat dibanding dengan dalil syara’ lainnya, yaitu petunjuk maslahahnya lebih kuat daripada nash.

Oleh karena itu Nabi mengatakan “Jika seseorang yang melakukan ijtihad ternyata benar ijtihadnya mendapat dua pahala, jika seseorang melakukan ijti-had24 ternyata ijtihadnya salah, maka dapat satu pahala.”25

Seperti dikutip dalam ”Hasbi’s Theory of Ijtihad in the Conteks of Indone-sian Fiqh”, dikatakan:

“ijtihad signifies “the use of all capabilities of reason (‘aql) in deducing law

from its proof (dalil), by way of an inquiry which leads to the law,”or it signifies

“doing research on a particular question in a scientific manner, and to using the

capacity of reasoning to the utmost.”26

Demikian pula metode istislahi bi al-ra’yi bisa saja dinilai kontradiktif

den-24 Lihat Abu A’la. Al-Maududi, Hukm At-Tasyri’ fi al-Islam, (Kuwait: Maktabah Dar al-Bayan, t.t.), 12-14.

25 Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulghul Maram, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halaby, 178H), hlm. 315.

(14)

gan nash yang bersifat qat’i. Berdasarkan pendekatan hermeneutik dengan men-empatkan al-Qur’an menuruta historisnya, bukan sesuatu yang mustahil bahwa nash qat’i memasuki wilayah ijtihadi. Jadi sepanjang untuk merealisasikan ke-maslahatan bagi umat manusia, maka lapangan ijtihad dapat dikembangkan. Memang pada hakikatnya elemen dari hukum fiqh adalah untuk menciptakan

kemaslahatan manusia agar dapat hidup berkeadilan. Nuansa pembaharuan pe-mikiran ulama dan cendikia adalah untuk merespon teks-teks fiqh, dengan

men-coba menganalisa nash dan bahkan meninggalkan nash demi mendahulukan kemaslahatan. Keberanian tersebut akan memberikan kajian hukum terutama dibidang muamalah yang selalu mengalami pergeseran dalam nuansa pemba-haruan dan perubahan hukum. Misalnya, kepentignan zakat bukan semata un-tuk masyarakat Islam, tetapi berperan secara universal karena peran masalahah bukan untuk kepentingan individu dan kelompok semata.

Hubungan antara zakat dan pajak adalah hal yang tidak dapat dipisah-kan, walaupun pajak secara artifisial untuk kepentingan duniawi, namun dapat

berkaitan dengan keselamatan umat melalui police kenegaraan. Maka dalam hal ini Az-Zurnuji27 menjelaskan:

ﺎﻴﻧ

لدا

ل

ﲈﻋا

ةر

ﻮﺼﺑ

ﻞﲻ

ﻦﻣ

ﰼو

ﺔﻴﻨﻟا

ء

ﻮﺴﺑ

ﺎﻴﻧ

لدا

لﲈﻋا

رﻮﺼﻳ

ةﺮﺧ

الا

لﲈﻋا

ةر

ﻮﺼﺑ

رﻮﺼﺘﺑ

ﻞﲻ

ﻦﻣ

.

ﺔﻴﻨﻟا

ﻦﺴﲝ

ةﺮﺧ

الا

ل

ﲈﻋا

ﲑﺼﻳ

و

Jadi, dalam konteks pembaharuan hukum Islam di Indonesia, maka sehar-usnya ulama dan cendikia dapat merespon teks-teks fiqh, dengan mencoba

men-ganalisa nash dan bahkan meninggalkan nash demi mendahulukan kemaslahatan sepanjang untuk merealisasikan kemaslahatan bagi umat manusia, khususnya sesuai dengan pola budaya bangsa Indonesia yang majemuk lagi relegius.

Penutup

Dalam kaitannya dengan Maqasid al-Syari’ah, maka peran maslahah sangatlah urgen apalagi hal-hal yang bersifat umum. Oleh karena itu kepentingan umum lebih dipriroritaskan jika hal itu lebih mendesak. Maslahah akan memberikan kontribusi yang lebih besar melalui pengembangan ijtihad, baik ijtihad istislahi maupun ijtihad bi al-ra’yi, sehingga pembaharuan hukum Islam di Indonesia tidak keluar dari akar budaya masyarakat yang religious.

(15)

Bibliogra

Al- Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: C.V. Toha Putra, 1989.

Abu A’la Al-Maududi, Hukum At-Tasyri’ fi al-Islam, Kuwait: Maktabah Dar al-Bayan, t.t.

Abu Muhammad Ali Ibn Ahmad Ibn Said Ibn Hazm, Al-Fisal wa Milal wa al-Ahwa al-Nihal, Jilid 2, Bairut: Dar al-Kutub, al-Ilmiyyah, 1996.

Ahmad Syukri Saleh, Kajian Islam Kontekstual, Kompilasi Pidato Pengukuhan Gu-ru-guru Besar IAIN STS Jambi Tahun 2009, Cet. Ke-1, Jakarta: Gaung Press, 2009.

At-Tufi, Syarh al-Arbain an Nawawi, Mulhiq al-Masalah at-Tasyri’ al-Islami Kairo:

Dar al-Fikr al-Arabi, 1945.

Burhani al-Islam az-Zurnuji, Ta’lim al-Muta’allim, Semarang: Maktabah al-Ala-wiyyah, t.t.

Ilyas Sepeno (et.al), Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta Gama Media Kerja Sama dengan Program Pascasarjana IAIN Walisongo, 2002. John Sinclair (ed), Collins Cuboil English Language Dictionary, London: Harpet

Collins Publishaer, 1993.

Marcea Eliade, The Esncyclopedie of Religion, Vol. II, New York: Macmillan, 1972. Masdar Farid Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1992.

Mohammad Atho’ Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam Indonesia1975-1988, Jakarta: INIS, 1993. Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an Qira’ah Mu’asirah, Cet. Ke-2,

Dam-askus: al-Ahali, 1990.

Nashar Hamid Abu Zayd, Naqd al-Kitab al-din, Cet. Ke-2, Kairo: Sina’ li al-Nashyr, 1994.

Ridha, Rasyid, Your al-Islam, Kairo: Nahdah, 1956. Tabloit Jum’at, 30 Januari 2004.

Tim Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke-3, Jakarta: Balai Pustaka, 2001.

Syafiq A. Mughni, Nilai-nilai Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi,

Yo-gyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Yudian Wahyudi, Hasbi’s Theory of Ijtihad in the Context of Indonesian Fiqh, Yogya-karta: Nawesea, 2007.

Ziaduddin Sardar, Islamic Future:The Shape of Ideas to Come, Selangor: Pelanduk Publication (M) Sdn. Bhd, 1988.

(16)

PEDOMAN PENULISAN

BENTUK NASKAH

Jurnal Al-Risalah menerima naskah/tulisan, baik dalam bentuk artikel hasil pe-nelitian (research papers), artikel ulasan (review), dan resensi buku (book review), baik dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Arab atau Bahasa Inggeris

CARA PENGIRIMAN NASKAH

Tulisan dialamatkan kepada Redaksi Jurnal Al-Risalah Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Jl. Jambi-Muara Bulian KM. 16 Simp. Sungai Duren, Muaro Jambi-Jambi, Telp. (0741) 582021, email: jurnal.alrisalah@gmail. com. Penulis harus menyerahkan 2 (dua) eksamplar naskah/tulisan dalam ben-tuk hard copy (print out) dan soft copy dalam CD/flash disk, atau melalui email

ke redaksi jurnal Al-Risalah.

FORMAT NASKAH

Al-Risalah adalah jurnal ilmiah yang terbit dua kali setahun. Al-Risalah siap menerima sumbangan tulisan dari para penulis, dengan ketentuan sebagai beri-kut:

1. Tulisan belum pernah diterbitkan/dipublikasikan di dalam buku atau ma-jalah lainnya. Topik tulisan sesuai dengan lingkup kajian jurnal, yakni kajian ilmu syariah dan ilmu hukum.

2. Jumlah halaman antara 20-25 halaman, ukuran kertas A4 spasi ganda. (Mar-gin kiri 4, atas 4, kanan 3, dan bawah 3).

3. Tulisan yang masuk dilengkapi biodata penulis, meliputi: nama, asal pergu-ruan tinggi/instansi, dan kualifikasi keilmuan penulis.

(17)

SISTEMATIKA NASKAH

Judul Naskah

Judul ditulis dengan huruf kafital diletakkan di tengah margin. Judul tulisan

diikuti pula dengan abstrak dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggeris antara 50-100 kata dan kata kunci (keywords) sebanyak 2-5 kata. Abstrak ditulis satu spasi dan ditulis dalam satu paragraf.

Pendahuluan

Dalam pendahuluan harus berisikan latar belakang masalah yang diangkat, be-serta rumusan masalah. Jika perlu, dapat dimuat secara ringkas metode peneli-tian yang digunakan.

Pembahasan dan Hasil Penelitian

Berisikan pembahasan terhadap permasalahan yang dikaji dalam naskah, analisis,

serta penjelasan tentang hasil penemuan selama penelitian. Namun, tidak perlu

dicantumkan kalimat “PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN”.

Penutup

Berisikan kesimpulan, ditambah saran-saran jika diperlukan.

SUMBER KUTIPAN

Kutipan menggunakan cara Ibid, Op. Cit, dan Loc. Cit. Semua tulisan mengguna-kan referensi model footnote, dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Ayat al-Qur’an, contoh:An-Nisaa’ (4): 42.

2. Buku, contoh: Muhammad Hasbi, Nalar Fiqih Kontemporer, cet. ke-2, (Jambi: Syariah Press, 2008), hlm. 8.

3. Apabila penyusun/penulis lebih dari dua orang, cukup nama penyusun pertama saja yang ditulis dan nama-nama lain diganti “dkk” (dan kawan-kawan), contoh: Hasan Ibrahim Hasan, dkk., an-Nuzum al-Islamiyyah, edisi ke-1, (Kairo: Lajnah at-Ta’lif wa at-Tarjamah wa an-Nasyr, 1953), hlm. 54. 4. Penyusun/penulis bertindak sebagai editor atau penghimpun tulisan,

(18)

di Bumi Langkah Serentak Limbai Seayun, (Jambi: Sulthan Thaha Press, 2009), hlm. 42.

5. Penyusun/penulis sebagai suatu perhimpunan, lembaga, panitia atau tim, contoh: Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah, (Jambi: Syariah Press, 2010), hlm.1.

6. Nama penulis tidak ada, contoh: Panduan Amaliyah Ramadhan, (Jambi: Sul-than Thaha Press, 2009), hlm. 9.

7. Buku terjemahan, contoh: Ahmad Haris, Islam Inovatif:Eksposisi Bid’ah dalam Teori dan Praktek, alihbahasa Bahrul Ulum dan Mohamad Rapik, (Jambi: Sul-than Thaha Press, 2007), hlm. 51.

8. Buku saduran, contoh: Vollmar, Hukum Benda, disadur oleh Chidir Ali, (Bandung: Tarsito, 1978),hlm. 234.

9. Kamus, c

ontoh:

Kamus Umum Bahasa Indonesia, W. J. S. Poerwadarminta, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), hlm. 12.

10. A

rtikel dalam jurnal, majalah atau surat kabar, c

ontoh:

H. Tjaswadi, “Sekali

Lagi tentang Amandemen UUD 1945,” Kedaulatan Rakyat, No. 227, Th.

LVII (Selasa, 21 Mei

2002), h1m. 8.

11. Artikel dalam media massa, contoh: M. Luqman Hakiem, “Tasawuf dan Proses Demokratisasi”, KOMPAS, 30 Maret 2001, hlm. 4.

12. A

rtikel dalam buku atau ensiklopedi, c

ontoh:

Syamsul Anwar, “Teori

Kon-formitas dalam Metode Penemuan Hukum Islam al-Gazali,” dalam M.

Amin Abdullah, dkk., (ed.), Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi,

(Yog-yakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), h1m. 275.

13.

Hasil penelitian yang tidak diterbitkan, c

ontoh:

Illy Yanti dan Ra

dah,

”Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam UU NO.3/2006 (KHI) dan

Implemen-tasinya dalam Sistem Ekonomi Nasional”, Hasil Penelitian Kompetitif

IAIN STS Jambi, (2009), hlm. 10.

14.

M

akalah tidak diterbitkan, c

ontoh:

Rahmadi, “Kaedah-Kaedah Falakiyah”, Makalah Disampaikan pada Lokakarya Hisab Rukyat, Diselenggarakan oleh Kanwil Depag Provinsi Jambi, Jambi, 26 Desember 2009,

hlm. 5.

15.

S

umber yang masih berbentuk manuskrip, c

ontoh:

Undang-Undang Palem-bang, Berg Col. No. 146,

Perpustakaan Universitas Leiden, Vol. No.3.

16.

D

okumen berbentuk surat-menyurat, contoh: Staatsblaad van Nederlandsch Indie, 1937, No. 116.

(19)

18.

P

eraturan perundang-undang atau peraturan lainnya belum disebutkan dalam tulisan, c

ontoh:

Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat (1).

19. Nomor dan nama peraturan perundang-undang atau peraturan lainnya su-dah disebutkan dalam tulisan, c

ontoh:

Pasal 2 ayat (1).

20. Pidato, contoh: Pidato Menteri Agama, Disampaikan dalam Acara Briefing

Dengan Jajaran Kanwil Depag Provinsi Jambi dan IAIN, Tanggal 1 Februari 1988.

21. Wawancara, contoh: Wawancara Dengan Abdullah, Ketua RT. 03 Kel. Sim-pang IV Sipin Kec. Telanaipura-Jambi, 5 Maret 2009.

22. Website t

anpa penulis, contoh:

”Remarks before the American Muslim Council,” http://usinfo. state.gov/usa/islam/s050799.htm, akses 7

Mei

2009.

23. Website dengan pencantuman

penulis, contoh:

Noam Chomsky, “Market Democracy in a Neoliberal Order: Doctrines and Reality,” http://www. zmag.org/chomsky/ index.cfm, akses 10 Januari

2003.

CONTOH PENULISAN BIBLIOGRAFI

Akh. Minhaji, Strategies for Social Research: The Methodological Imagination in Is-lamic Studies, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2009.

Andi Rustam, Ahmad Bakaruddin R. dan Syaiful, “Voting Behavior Pemilih Pe-mula pada Pemilu 2004 di Kota Padang” dalam Ahmad Bakaruddin R, dkk., (ed), Teori dan Metode Penelitian Ilmu Politik, Padang: Laboratorium Ilmu Po-litik Unand, t.t.

Anik Ghufron, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Makalah Dipresentasi-kan pada Kuliah Metodologi Penelitian di Program Doktor UIN Yogyakarta di Jambi, tanggal 25-26 Januari 2010.

Djawahir Hejzziey, Pedoman Penelitian Skripsi, Jakarta: ttp, 2007.

John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Program Pascasarajana UIN Yogyakarta, Buku Pedoman Penuisan Disertasi, Cet. 2, Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008. Sayuti, “Relevansi antara Maal Administratif dan Upaya Penciptaan Good

(20)

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut terjadi karena ada beberapa faktor, antara lain : pertama , iklan SMK mempunyai frekuensi penayangan yang cukup banyak sehingga siswa SMP dapat melihat

Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain dengan mempergunakan lambang – lambang

Kedua, dari prespektif agency theory, bahwa melalui aktivitas perencanaan pajak dapat memfasilitasi kesempatan manajerial untuk melakukan tindakan oportunism

dimana pada tabel 4.10 nilai F hitung sebesar 9.557 dan taraf signifikasi sebesar 0,000 (sig α < 0,05) hal ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan Hasil ini ikut

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara berupa laporan

Kurangnya inovasi dalam penggunaan media pembelajaran merupakan salah satu penyebab siswa mendapatkan nilai yang rendah dalam mata pelajaran bahasa Jawa sehingga

Sumber: Data Perusahaan Jenang Muria Jaya Kudus yang telah diolah Berdasarkan tabel 4.14 di atas, dapat dilihat bahwa hasil perhitungan persediaan bahan baku gula kelapa

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) insiden penyakit virus tular umbi pada masing-masing varietas bawang merah asal Jawa Barat dan Jawa Tengah berturut-turut yaitu varietas