KEJAHATAN DAN PROBLEMATIKA PIDANA
Oleh
Basri, SH.,M.Hum
Asbtrac
Berbicara masalah kejahatan mungkin sama umurnya dengan manusia. Sejak manusia ada dan hidup bermasyarakat atau berinteraksi satu sama lain, pada saat itu dimungkinkan terjadi kejahatan. Bersamaan dengan itu juga telah diupayakan berbagai pidana telah dijatuhkan terhadap orang yang dianggap jahat. Terakhir untuk Indonesia dibentuk Lembaga Pemasyarakatan. Tujuannya tidak lain adalah untuk mengurangi angka kejahatan. Nampun dalam kenyataannya yang terjadi tidaklah demikian, kejahatan cenderung naik dari waktu ke waktu. Penghuni Lembaga Pemasyarakatan telah melebihi kapasitasnya. Fenomenal menarik untuk dijadikan bahan diskusi yang mendalam.
Talking about crime may be as old as mankind. Since humans exist and live in a society or interact with each other, it is possible at the time the crime occurred. Along with it also has pursued various criminal has inflicted on people who are considered evil. Indonesia formed last Penitentiary. The objective is to reduce crime. Nampun happens in reality is not the case, crime tends to rise over time. Occupants of prisons has exceeded its capacity. Phenomenal interesting to make an in-depth discussion.
Kata Kunci: Kejahatan-Problematika-Pidana
Pendahuluan
Masalah kejahatan mungkin sama umurnya dengan adanya manusia di muka bumi ini. Setidaknya setelah bertemu minimal dua orang manusia, pada saat itu dimungkinkan untuk terjadinya kejahatan. Keadaan ini didukung oleh berbagai macamnya kepentingan masing-masing manusia. Dalam arti terkadang kepentingan manusia itu saling bertentangan satu sama lain. Ketika pertentangan kepentingan itu dipertajam tanpa ada rasa kesadaran bahwa adanya kepentingan orang lain di samping kepentingan sendiri, maka di situ terjadilah apa yang dinamakan dengan kejahatan.
dalam keadaan yang tidak tenteram, tidak tertib dan tidak damai. Penyebab keadaan seperti ini salah satunya mungkin kejahatan. Sementara itu kita juga bisa melihat ada diantara kehidupan dalam masyarakat terpelihara secara nyaman, tenteram, damai, dan akur. Keadaan ini menunjukkan dalam masyarakat itu tidak terjadi kejahatan.
Pada dasarnya semua manusia ingin hidup secara damai, tenteram, dan berbahagian. Akan tetapi manusia juga suka berbuat kejahatan pada orang lain. Kejahatan adalah sebuah penilaian negatif terhadap perilaku seseorang oleh orang lain yang mungkin merasa dirugikan oleh perbuatannya itu. Kejahatan adalah perbuatan melanggar nilai-nilai kepatutan dan kewajaran yang berakibat merugikan orang lain. Menurut teori ilmu hukum pidana kejahatan adalah perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan hukum pidana, dan barangsiapa yang melakukannya diancam dengan pidana.1
Kejahatan merupakan persoalan sosial kehidupan yang harus dihadapi manusia. Agar kejahatan tidak berkembang yang berakibat hancurnya atau setidak-tidaknya terganggunya tatanan kehidupan dalam bermasyarakat maka manusia menciptakan instrumen hukum untuk itu. Setidak-tidaknya dua dari sekian banyak instrumen itu adalah peraturan perundang-undangan dan alat penegakan hukum. Kehadiran peraturan perundang-perundang-undangan diperlukan untuk menentukan apa saja perbuatan-perbuatan yang disebut sebagai kejahatan. Selain itu aturan hukum diperlukan untuk menentukan tugas dan wewenang alat penegak hukum ketika terjadi kejahatan.
Secara ideal aparat penegak hukum adalah bekerja untuk menjalankan hukum ketika ada yang melanggarnya. Aparat penegak hukum akan menjatuhkan pidana pada pelaku kejahatan yang terbukti bersalah. Dengan demikian penegakan hukum adalah bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. Namun dalam perkembangannya kita melihat pidana yang dijatuhkan justru menjadi fenomenal dalam masalah kejahatan. Pidana tidak berfungsi memberi jera pada pelaku kejahatan atau setidaknya dapat memberi kesadaran untuk tidak berbuat kejahatan lagi. Tetapi justru menimbulkan persoalan baru, di mana lembaga pemasyarakatan dijadikan tempat untuk belajar berbuat kejahatan. Sehingga banyak diantara orang/pelaku kejahatan yang telah dijatuhi pidana dan telah dibina di lembaga pemasyarakatan mengulangi lagi perbuatan jahatnya. Fenomena ini merupakan problematika pidana dalam mengatasi masalah kejahatan. Kenyataan inilah menjadi latar belakang penulis untuk membahas masalah kejahatan dan problematika pidana.
Pembahasan
Mengacu pada judul dalam tulisan ini, ada dua hal pokok yang perlu di bahas, yaitu masalah kejahatan dan problematika pidana. Uraian selanjutnya akan fokus kepada dua masalah ini.
1. Kejahatan
Sudarto mengatakan daftar jenis perbuatan yang dapat dipidana berubah dari waktu ke waktu dan berbeda dari tempat ke tempat.2 Nampaknya Sudarto ingin mengatakan tentang apa yang dimaksud dengan kejahatan sifatnya adalah relatif, tergantung pada waktu dan tempat. Pada suatu waktu dan tempat tertentu bisa jadi suatu perbuatan dianggap dilarang dan pada waktu dan tempat yang lain tidak demikian. Suatu contoh pada masa sekarang di Indonesia “tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme”, tindak pidana teroris, ilegal loging misalnya merupakan kejahatan serius yang mendapat perhatian yang lebih dibandingkan dari kejahatan yang lainnya. Untuk itu penguasa/negara telah menetapan berbagai peraturan perundang-undangan yang menetapkan suatu perbuatan sebagai kejahatan3 dan terhadap barangsiapa yang terbukti bersalah melanggar aturan hukum pidana (melakukan kejahatan) dapat dikenakan sanksi pidana.
Di samping itu ada perbuatan yang di negara satu merupakan kejahatan, sedang di negara yang lain tidak. Misalnya perzinahan, dalam arti seorang laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita yang bersuami, di Indonesia merupakan kejahatan menurut KUHP4, sedang di Norwegia sejak tahun 1927 bukan kejahatan lagi, demikian pula di Nederland sejak tahun 1971.
Hal yang demikian di atas bisa terjadi karena apa yang menjadi perbuatan yang dilarang adalah tergantung kepada kehendak penguasa (negara). Atas dasar ini bisa dimaklumi mengenai makna kejahatan berdasarkan ilmu kriminologi belum mampu memberi definisi dalam arti social-fenomenologis. Namun secara hukum pidana kejahatan dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan dan bagi siapa yang melanggarnya akan dijatuhi pidana.
Garofalo memperkembangkan suatu konsepsi tentang sifat hakikat alamiah kejahatan dan memberikan definisinya sebagai suatu pelanggaran terhadap perasaan-perasaan tentang rasa kasihan dan rasa kejujuran. Radeliff Brown telah mendefinisikan kejahatan sebagai suatu pelanggaran terhadap suatu kebiasaan yang mendorong
2 Sudarto. 1981. Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, hlm. 107. 3 Istilah kejahatan dalam ilmu hukum pidana disebut juga dalam berbagai istilah, diantaranya perbuatan pidana, tindakan pidana, delik, perbuatan kriminal, dan sebagainya.
dilaksanakannya sanksi pidana. Thomas mendefinisikan kejahatan dari sudut psikologi sosial sebagai suatu tindakan yang bertentangan dengan rasa solidaritas kelompok. Individu dianggap sebagai anggota kelompoknya sendiri.5
Karena kejahatan bukanlah satu jenis perilaku yang homogen, maka telah dilakukan usaha untuk mengklasifikasi kejahatan. Kejahatan sering kali diklasifikasi berdasarkan menyoloknya kegarangannya, yaitu sebagai kejahatan dan kesalahan kecil. Kejahatan yang lebih serius disebut feloni dan biasanya dapat dihukum mati atau ditahan di penjara negara, yang kurang serius disebut misdemeanor dan biasanya dapat dihukum dengan ditahan di penjara setempat atau dengan denda. Kenyataannya banyak kejadian yang diklasifikasi sebagai felonis di suatu negara diklasifikasi sebagai mindemeanor di negara lain. Kenyataan ini menunjukkan bagaimana sulitnya untuk membuat suatu pembedaan nyata mengenai kejadian-kejadian itu. Bahkan di dalam batas-batas satu negara bagian pun perbedaan-perbedaan itu sering kabur.6
Walaupun demikian masalah kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu masyarakat tertentu atau dalam Negara tertentu saja, tetapi merupakan permasalahan yang dihadapi dalam seluruh masyarakat di dunia. Jadi sifatnya universal. Oleh karena itulah Seichiro Ono menyatakan bahwa kejahatan itu merupakan suatu universal phenomenon, di Negara belahan dunia manapun, yang pada saat ini selalu menghadapi permasalahan yang relatif sama dalam rangka penanggulangan kejahatan.7
Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mencatat ada peningkatan kejahatan dari 2009 sampai 2011, kenaikan angka kriminalitas khususnya pencurian kendaraan bermotor adalah naik dari 34.477 kejadian menjadi 39.217 atau naik sekitar 13,7%.8 Kemudian Kapolri Timur Pradopo di Jakarta, Kamis (22/12/2011) mengatakan pada tahun 2011 gangguan keamanan mengalami peningkatan 6,3 persen dibandingkan tahun lalu. Pada tahun 2010 terjadi sebanyak 298.988 kasus kejahatan, sedangkan pada tahun 2011 terjadi 317.016 kasus kejahatan.9
2. Problematika Pidana
5 Momon Martasaputra. 1973. Asas-Asas Kriminologi, Bandung: Alumni, hlm. 26 -27. 6 Ibid, hlm. 30.
7 Topo santoso, 2000. Polisi dan Jaksa, Pergulatan atau Keterpaduan , cet.1 (Jakarta: pusat studi peradilan pidana Indonesia, hlm. 17
8 http://www.intellitrac.co.id/statistik-kriminalitas-indonesia-2012/diakses
Berbicara masalah kejahatan biasanya dikaitkan dengan masalah pidana. Pidana adalah suatu istilah yuridis sebagai terjemahan dari bahasa Belanda Straft, dan dalam bahasa Inggris disebut sentence. Selain istilah pidana ada istilah lain yang digunakan, yaitu hukuman. Hukuman merupakan istilah konvensional yang bisa mempunyai arti yang luas karena dapat berkaitan dengan bidang-bidang lainnya, seperti bidang pendidikan, moral, dan agama. Sedangkan pidana merupakan istilah formal yang sering digunakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, khusus peraturan hukum pidana.10
Menurut Alf Ross, pidana adalah reaksi sosial yang mana: (1) terjadi berhubungan adanya pelanggaran terhadap aturan hukum; (2) dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang-orang yang berwenang, karena tertib hukum yang dilanggar; (3) mengandung penderitaan atau konsekuensi lain yang tidak menyenangkan; (4) pernyataan pencelaan terhadap si pelanggar.11
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri: (1) suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; (2) diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang); (3) dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.12
Pengaruh dari aliran modern dalam hukum pidana memperkaya hukum pidana dengan sanksi yang disebut tindakan (measure, maatregel).Secara dogmatis pidana dipandang sebagai pengimbangan atau pembalasan terhadap kesalahan si pembuat, sedangkan tindakan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan yang dilakukan si pembuat.
Menurut H.L. Packer antara pidana (punishment) dan tindakan (treatment) adalah berbeda. Namun perbedaannya tidak didasarkan pada ada tidaknya unsur penderitaan, tetapi harus didasarkan pada ada tidaknya unsur pencelaan. Herbert L. Packer juga berpendapat bahwa tingkatan atau derajat ketidakenakan atau kekejaman, bukanlah ciri-ciri yang membedakan antara pidana dan tindakan.13
Tujuan utama dari tindakan adalah untuk memberikan keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang bersangkutan. Fokusnya bukan pada perbuatannya yang telah lalu atau yang akan datang, tetapi pada tujuan untuk memberi pertolongan kepadanya.
10 Muhari Agus Santoso. 2002. Paradigma Baru Hukum Pidana, Malang: Averroes Press, hlm. 19.
11 Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, hlm. 3.
12 Ibid.
Jadi dasar pembenaran dari tindakan ialah pada pandangan bahwa orang yang bersangkutan akan atau mungkin menjadi lebih baik. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Sedangkan pidana pembenarannya didasarkan pada satu atau dua tujuan: (1) untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau perbuatan yang salah; (2) untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar.14 Jadi dalam hal pidana fokusnya adalah pada perbuatan salah atau tindak pidana yang telah dilakukan oleh si pelaku. Artinya perbuatan itu mempunyai peranan yang besar, dan merupakan syarat yang harus ada untuk adanya pidana.
Sejarah pidana sebagai alat untuk menjatuhkan ganjaran (dalam konotasi negatif) kepada para pelaku kejahatan telah dilakukan sejak berabad-abad yang lampau. Bahkan sejak adanya manusia yang pertama hadir di dunia, yakni Adam. Ini merupakan perwujudan dari “pidana” sebagai ganjaran Tuhan karena Adam telah melanggar perintah-Nya dengan memakan “buah terlarang”. Jadi pidana sudah dijatuhkan kepada manusia berupa “pengusiran” ke dunia.15
Seiring dengan berkembangnya peradaban manusia berbagai bentuk pidana berkembang pula. Di antaranya, dibakar hidup-hidup dengan terikat pada tiang, ditusuk dengan keris, dipukul, kerja paksa, dibela dengan ditarik kereta yang berlawanan, dikubur hidup-hidup, digoreng dalam minyak, ditenggelamkan di laut, disalib, dirajam dan lain-lain.16
Secara tradisional teori pemidanaan ada dua, yaitu (1) teori absolut; dan (2) teori relatif. Menurut “teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorieen)”, pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Menurut Johannes Andenaes tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan (to satisfy the claims of justice) sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder. Menurut Immanuel Kant, pidana merupakan suatu tuntutan kesusilaan. Kant memandang pidana sebagai “Kategorische Imperatief” yakni “seseorang harus dipidana oleh Hakim karena ia telah melakukan kejahatan”.17
14 Op-Cit. Hlm. 5-6
15 Muhari Agus Santoso, Loc-Cit. Hlm. 26.
16 Andi Hamzah.1986. Sisitem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, hlm. 10.
Pidana bukan merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan, melainkan mencerminkan keadilan (uitdrukking van de gerechtigheid). Selanjutnya Hegel berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan. Karena kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan perwujudan cita-susila, maka pidana merupakan “peniadaan atau pengingkaran terhadap pengingkaran” (negation der negation).18
Menurut teori relatif memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Menurut J. Andenaes toeri ini dapat disebut sebagai “teori perlindungan masyarakat”. Menurut Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut teori atau aliran reduktif (the reductive point of view) karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini ialah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Oleh karena itu para penganutnya dapat disebut golongan “Reducers” (Penganut teori reduktif).
Menurut teori ini pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun sering juga disebut teori tujuan (Utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat
2 Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat
4 Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.
Dewasa ini masalah pemidanaan menjadi sangat kompleks sebagai akibat dari usaha untuk lebih memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut hak-hak asasi manusia, serta menjadikan pidana bersifat operasional dan fungsional.19 Untuk ini diperlukan pendekatan multi-dimensional yang bersifat mendasar terhadap dampak pemidanaan, baik yang menyangkut dampak yang bersifat individual maupun dampak yang bersifat sosial. Pendekatan semacam ini mengakibatkan adanya keharusan untuk memilik teori integratif tentang tujuan pemidanaan, yang dapat memenuhi fungsinya dalam rangka mengatasi kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh kejahatan.
Pemilihan teori integratif tentang tujuan pemidanaan ini didasarkan atas alasan-alasan, baik yang bersifat sosiologis, yuridis maupun ideologis. Secara sosiologis telah dikemukakan oleh Stanley Grupp, bahwa kelayakan suatu teori pemidanaan tergantung pada anggapan-anggapan seseorang terhadap hakekat manusia, informasi yang diterima seseorang sebagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat, macam dan luas pengetahuan yang mungkin dicapai dan penilaian terhadap persyaratan-persyaratan untuk menerapkan teori tertentu serta kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan untuk menemukan persyaratan-persyaratan tersebut. G. Peter Hoefnagel dalam hal ini juga menyatakan, bahwa persoalan utama kejahatan dan pidana bersifat ekstra yuridis dan dapat ditemukan di dalam realitas manusia dan masyarakat.20
Pendekatan yang mendasar tersebut melihat permasalahan pidana dan pemidanaan dari aspek ekstrayuridis, yakni dari hakekat manusia di dalam konteks masyarakatnya sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia. Ter Hart menggambarkan masyarakat Indonesia sebagai hubungan di antara manusia, kekuatan-kekuatan gaib, tanah, barang-barang dan lain-lainnya lagi yang berada di dunia ini, yang menurut alam pikiran masyarakat tersebut
19 Muladi, 1992. Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, hlm 53.
dianggap biasa (normal), dan sebagai syarat mutlak untuk kehidupan yang bahagia dan harmonis yang disebut keseimbangan (evenwicht), oleh karena baik umat manusia, maupun masyarakat itu masing-masing adalah pusat gabungan hubungan.21
Alasan yuridis filosofis adalah berlandaskan pada dua tujuan utama dari pemidanaan, yaitu pengenaan penderitaan yang setimpal terhadap penjahat dan pencegahan kejahatan.22 teori pemidanaan yang integratif mensyaratkan pendekatan yang integral terhadap tujuan-tujuan pemidanaan, berdasarkan pengakuan bahwa ketegangan-ketegangan yang terjadi di antara tujuan-tujuan pemidanaan tidak dapat dipecahkan secara menyeluruh. Didasarkan atas pengakuan bahwa tidak satupun tujuan pemidanaan bersifat definitif, maka teori pemidanaan yang bersifat integratif ini meninjau tujuan pemidanaan tersebut dari segala perspektif. Packer selanjutnya menyatakan, bahwa pidana merupakan suatu kebutuhan, tetapi merupakan bentuk kontrol sosial yang disesalkan karena ia mengenakan penderitaan atas nama tujuan-tujuan yang pencapaiannya merupakan sesuatu kemungkinan.23
Alasan yang bersifat idiologis, erat sekali hubungannya dengan alasan yang bersifat sosiologis. Dalam konteks ini ditonjolkan filsafat keseimbangan (evenwicht, harmonie). Tujuan pemidanaan adalah mengembalikan keseimbangan di masyarakat, maka di dalam alasan ideologis akan dibahas sampai seberapa jauh filsafat keseimbangan itu dijadikan pedoman di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Berdasarkan idiologi Pancasila, manusia ditempatkan pada keluhuran harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan kesadaran untuk mengemban kodratnya sebagai makhluk pribadi dan sekaligus makhluk sosial. Pancasilan yang bulat dan utuh itu memberi keyakinan kepada rakyat dan bangsa Indonesia bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai apabila didasarkan atas keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan masyarakat, dalam hubungan manusia dengan alam, dalam hubungannya bangsa dengan bangsa lain, dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kebahagiaan rohani.24
Inti dari pemidanaan pada hakikatnya adalah agar angka kejahatan berkurang dari waktu ke waktu. Namun nampaknya hanyalah sebuah fenomenal, yang tidak akan pernah terwujud,
21 B. Ter Haar, 1946. Beginselen en Stelsel van het Adatrecht, Tweede Ongewijzigde Druk, JB. Wolters-Groningen-Batavia, hlm. 216.
22 Herbart L. Packer. 1968. The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, Stanford, California, hlm.17.
23 Muladi, Loc-Cit, hlm.61.
karena dalam kenyataannya kejahatan cenderung meningkat. Hal ini terbukti dengan penuhnya penghuni lembaga pemasyarakatan. Patrialis Menteri Hukum dan HAM menyampaikan “lembaga pemasyarakatan yang ada di Indonesia saat ini dalam kondisi kelebihan penghuni atau over kapasitas. Kelebihan kapasitas penghuni Lapas seluruh Indonesia saat ini ada sekitar 35.000 hingga 40.000 orang. Tingkat perbandingan yakni dua banding 4 dengan jumlah penghuni lapa yang ada”.25 Kenyataan ini menunjukkan bahwa pidana
tidak berpengaruh apa-apa angka kejahatan.
Penutup
Berbicara tentang kejahatan tidak bisa dipisahkan dengan pidana. Sesuai dengan perkembangan peradaban manusia, kejahatan dan pidana juga berkembang berdasarkan persepsi yang dibangun menurut masanya. Apa yang dikatakan kejahatan adalah bersifat relatif tergantung pada penilaian yang diberikan penguasa (masyarakat) pada masanya. Seiring dengan itu, pidana juga mengalami perubahan dan perkembangan ke arah yang lebih manusiawi. Di Indonesia melalui gagasan Lembaga Pemasyarakatan, berkemauan menjadikan seorang yang jahat dibina agar menjadi manusia yang berguna nantinya. Orang yang punya kesadaran akan jati dirinya, sehingga mampu menjalankan kehidupan dalam masyarakat secara wajar dan baik.
Daftar Pustaka
Andi Hamzah.1986. Sisitem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita
G. Peter Hoefnagels, 1969. The Other Side of Criminology (An Inversion of the Concept of Crime) Kluwer Deventer, Holland,
Herbart L. Packer. 1968. The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, Stanford, California
Momon Martasaputra. 1973. Asas-Asas Kriminologi, Bandung: Alumni,
Moelyatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta
Muhari Agus Santoso. 2002. Paradigma Baru Hukum Pidana, Malang: Averroes Press
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni
Muladi, 1992. Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni
Sudarto. 1981. Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, hlm. 107.
Topo santoso, 2000. Polisi dan Jaksa, Pergulatan atau Keterpaduan , cet.1, Jakarta: pusat studi peradilan pidana Indonesia,
http://www.intellitrac.co.id/statistik-kriminalitas-indonesia-2012/diakses
http://www.lensaindonesia.com/2011/12/22/gawat-kejahatan-di-indonesia-2011-tembus-317-016-kasus.html,
http://id.berita.yahoo.com/patrialis-lapas-di-indonesia-kelebihan-penghuni-160016542.html, diakses 12 September 2011.