• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONTEMPORALITAS SEBAGAI ANGSA HITAM BAGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONTEMPORALITAS SEBAGAI ANGSA HITAM BAGI"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

KONTEMPORALITAS SEBAGAI

ANGSA HITAM

BAGI

SAINS HUBUNGAN INTERNASIONAL:

Serius dengan tuntutan interdisiplinaritas

1

Hizkia Yosie Polimpung Jaringan Riset Kolektif (JeRK)

dan

PACIVIS Center for Global Civil Society Studies Universitas Indonesia

“No number of sightings of white swans can prove the theory that all swans are white. The sighting of just one black one may disprove it.”

—Karl Popper

Beberapa waktu yang lalu, seorang teman mengirimkan sebuah gambar foto yang diambilnya di sebuah taman di sub-urban London. Di foto itu tergambar sebuah coretan

pylox berbunyi “Positivism is not so bad, it is your theory that sucks!”. Kalimat ini punya arti

penting bagi sains pada umumnya, terutama dalam kaitannya dengan filsafat ilmu pengetahuan positivisme. Hari ini, di dalam diskusi ilmu sosial, setidaknya yang terjadi di sekitar dan dalam jangkauan amatan saya, menjadi positivis seakan adalah sesuatu yang buruk, bahkan jahat. (Teori Kritis, terutama mazhab Frakfurt, telah sukses meyakinkan banyak orang bahwa menjadi positivis berarti turut berpartisipasi dalam eksploitasi kapitalistik). Akhirnya, banyak orang yang menafikan positivisme begitu saja dan mengulum pemikiran-pemikiran kritis. Sekali lagi, ini punya implikasi erat dengan nasib sains. Semenjak imaji positivisme lekat dengan sains, maka sains pun ikut kena getahnya. Ia mendapat citra buruk di kalangan saintis sosial.

Umumnya positivisme ditolak oleh kalangan ilmuwan sosial karena pretensinya akan obyektivitas dan kepongahannya terhadap proseduralisme dalam penelitian. Tuntutan bebas-nilai positivis juga membuat, misalnya, kalangan etnografis dan feminis geram. Klaim universal dari positivisme pun dituduh (dan memang terbukti!) justru menyembunyikan dan menormalkan idiologi dominan—kapitalis, patriarki, Barat. Sebagai

1 Makalah disiapkan untuk Simposium “Menjawab Tantangan Ilmu HI dalam Sketsa Kontemporer,” Universitas

(2)

gantinya, mereka menawarkan pendekatan-pendekatan yang subyektif dan/atau intersubyektif. Di studi Hubungan Internasional (HI) juga tidak terkecuali. Tahun 1980-an, muncul penstudi-penstudi yang mendakwa positivisme,2 bahkan juga mulai

terang-terangan memerangi sains dan saintisme.3 Hal ini bukan tanpa taruhan tentunya.

Teruhan pertama adalah status disipliner dari HI itu sendiri. Saat sains dimusuhi, maka predikat-predikat sains seperti obyektivitas, empirisisme, universalitas dan proseduralisme menjadi ikut ditanggalkan. Dengan beralih kepada aspek subyektivitas semata, studi HI hanya akan menjadi studi selalu membicarakan manusia, membicarakan spesiesnya sendiri, singkatnya: narsis. Kedua, aktivitas disipliner dari HI itu menjadi sekedar kritik dan refleksi, tanpa ada tawaran-tawaran kongkrit untuk problem dilapangan—selain anjuran-anjuran normatif etis (saling menyayangi, saling menghargai, saling introspeksi, saling mengakui, dst.).4 Aktivitas teorisasi pun akhirnya menjadi pesta

pora “perayaan perbedaan.”5 Ketiga, relasi intra-disipliner dengan kubu-kubu lain menjadi

semakin bercorak saling mengasingkan-diri,6 dan akhirnya dialog menjadi tidak ada, atau,

sekalipun ada, hanya akan menjadi olok-olok.7

Inilah nasib studi HI: mereka yang sadar akan basis filsafat keilmuan menjadi dismisif, sementara mereka yang tidak, tetap acuh tak acuh dengan perdebatan filosofis sembari melanjutkan riset-riset pesanan negara dan korporasi. Seorang penstudi pernah mengungkapkan ini dengan manis, “[l]et us not deceive ourselves. The vast majority of scholarship in international relations (and the social sciences for that matter) proceeds without

conscious reflection on its philosophical bases or premises.”8Tapi, apakah sains memang seburuk

itu sehingga harus ditinggalkan bagi mereka yang “melek” filsafat keilmuan?

2 Robert Cox, “Social Forces, States and World Orders: Beyond International Relations Theory,” Millennium, 10, 2,

1981; Richard Ashley, “Political Realism and Human Interest,” International Studies Quarterly, 25, 2, 1981; Richard Ashley, “The Poverty of Neorealism,” International Organization, 38, 2, 1984.

3 James Der Derian, “Post-theory: The eternal return of ethics in international relations,” dlm. M. Doyle & J.

Ikkenberry, peny., New Thinking in International Relations Theory (New York: Westview Press, 1997): 55-75.

4 Diantaranya: Roxanne Lynn Doty, “Fronteras Compasivas and the Ethics of Unconditional Hospitality,”

Millennium, 35, 1, 2006: 53–74; Elizabeth Dauphinée, “The Politics of the Body in Pain: Reading the Ethics of Imagery,” Security Dialogue, 38, 2, 2007: 139-155; David Campbell & Michael J. Shapiro, Moral Spaces: Rethinking Ethics and World Politics (Minneapolis: Univ. of Minnesota Press, 1999).

5 Jim George & David Campbell, “Patterns of Dissent and the Celebration of Difference: Critical Social Theory

and International Relations,” International Studies Quarterly, 34, 3, 1990: 269-293.

6 Marysia Zalewski, Ann Tickner, Christine Sylvester, et.al., “Roundtable Discussion; Reflections on the Past,

Prospects for the Future in Gender and International Relations,” Millennium, 37, 1, 2008:153-179.

7 Paling culas adalah saat Keohane menyudutkan pendekatan pasca-positivisme sebagai “memalukan” (shame).

Robert O. Keohane, “International Institutions: Two Approaches,” International Studies Quarterly, 32, 4, 1998: 392.

8 Thomas Biersteker, “Critical Reflections on Post-Positivism in International Relations,” International Studies

(3)

Sebelum menjawab ini, ada baiknya melihat perkembangan peristiwa-peristiwa global kontemporer, di luar menara gading disipliner HI, yang menyita perhatian penstudi-penstudi HI. Siklus krisis ekonomi yang selalu berulang, dan memakan korban tentunya. Krisis finansial global 2008 dan ekstensinya ke krisis zona Euro 2011. Krisis harga pangan global tahun 2008 dan 2011. Naiknya ektrimisme bernuansa relijius dan rasial hampir di seluruh dunia. Maraknya bajak dan perompak laut. Merebaknya protes, mulai dari #Occupy

Wall Street sampai Arab Spring. Eksploitasi habis-habisan atas alam, kekayaan hayati, bahkan genetika. Opresi pemerintah-pemerintah diktator sampai dengan pengintaian seluruh dunia oleh negara-negara besar. Singkatnya: krisis. Krisis telah menjadi kosakata lumrah di hari-hari ini. Daftar ini tentu masih bisa bertambah.

Apabila diperhatikan, peristiwa-peristiwa ini memiliki corak yang kurang lebih sama: memiliki dampak berskala global dan kejadiannya tidak terprediksikan. Corak pertama tentu saja merupakan akibat dari proses integrasi global akan seluruh aspek kehidupan yang difasilitasi oleh terobosan teknologi komunikasi dan informasi mutakhir. Kini semua saling terkoneksi dalam suatu jejaring berskala global. Kata ”koneksi” ini harus dibingkai baik secara abstrak (relasi sosial),9 maupun kongrit-material (teknologi fiber dan

satelit).10 Corak kedua merupakan implikasi dari corak pertama: saat dunia semakin

terintegrasi dan terjejaring, maka kompleksitas hubungan sosial mengikuti. Kompleksitas ini pada gilirannya juga menelurkan resiko-resikonya sendiri.11 Semakin canggih tingkat

peradaban global, maka semakin canggih pula resiko-resiko yang mengintai kehidupan masyarakat. Semakin canggih suatu resiko maka semakin tidak terprediksi pula ia. Inilah yang menggoda dua filsuf matematika yang sedang naik daun saat ini untuk mengkarakterisasikan era kontemporer sebagai era Angsa Hitam. Angsa Hitam adalah metafora bagi suatu kejadian yang tak terduga yang mampu menghancurkan pandangan dan tatanan yang sudah terbangun sejak lama.12 Akhirnya, corak peristiwa di era

kontemporer bisa dikatakan terdapat dua pasang: terjejaring dan contagious; kompleksitas dan ketidakpastian.

Nah, terhadap krisis dengan corak kontemporer semacam ini, apa tawaran penjelasan dan solusi atasnya? Pertanyaan ini apabila diajukan kepada kedua kelompok

9 Saskia Sassen, peny., Global Networkes, Linked Cities (London New York: Routledge, 2002)

10 Steven Shaviro, Connected, or What It Means to Live in the Network Society (London, Minneapolis: University of

Minnesota Press, 2003).

11 Ulrich Beck, World Risk Society (Cambridge: Polity Press, 1998); Ulrich Beck, World at Risk (Cambridge: Polity

Press, 2009).

12 Nassim N. Taleb, The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable, edisi kedua (NY: Random House, 2010);

(4)

penstudi di atas—yang melek filsafat ilmu dan tidak, akan menghasilkan sesuatu yang sama mengkhawatirkannya. Mereka yang tidak “melek” filsafat ilmu, atau yang sengaja mengacuhkannya, akan terus meneliti dengan pendekatan yang ia warisi turun-temurun dari profesor-profesornya tanpa pernah memeriksa langgam-langgam teorinya (asumsi, metdologi, epsitemolgi, ontologi). Bahkan, mereka yang terang-terangan oportunis, justru menggunakan krisis-krisis ini untuk meraup keuntungan melalui riset-riset konsultasinya. Sebaliknya, bagi mereka yang “melek” filsafat ilmu, apa yang mereka punya selain analisis-analisis dramatis, etis dan moralis (yi., misalnya, krisis terjadi karena kurg kas sayang dan rasa saling menghargai), dan/atau analisis yang mencari kambing hitam (yi., mulai dari antek kapitalis serakah sampai konspiras Yahudi). Lalu saat ditanyakan tawaran, yang bisa mereka berikan hanyalah nasihat-nasihat etis moralis untuk saling menyayangi, saling menghargai, saling introspeksi, saling mengakui, dst.

Gambaran ini, dalam pengalaman saya bergelut di studi HI, bisa jadi lebih parah. Tidak sedikit penstudi HI yang dipenghujung analisis “kritis”-nya membubuhkan seruan-seruan dramatis bernuansa motivasional, normatif, moralis, bahkan relijius. Problemnya adalah tawaran ini sama sekali tidak akan menjelaskan apa-apa. “Don’t moralize the problem,

because if you moralize it, you can say whatever you want,” kata Zizek. Bahkan, ia juga tidak

akan mengubah keadaan: “[n]o amount of dialogue or moral preaching will ever convince the

ruling class to give up its power,” seru Mouffe.13 Padahal inilah taruhan terbesar dari suatu

sains: tidak hanya menjelaskan dunia, melainkan mengubahnya. Klaim makalah ini adalah, satu-satunya cara untuk keluar dari lumpur moralisme, etikalisme dan dramatisme ini adalah dengan merehabilitasi sains. Studi HI harus dikembalikan predikatnya sebagai suatu sains: “sains HI.”14 Proyek rehabilitasi ini, namun demikian, tetap harus

memperhatikan kritik dari teori-teori kritis, dan kemudian harus mampu untuk tidak mengulangi tuduhan-tuduhan kritis tadi. Sehingga pertanyaan besarnya kemudian adalah pada bagaimana mengembalikan predikat sains di HI tanpa mengulangi keterbatasan-keterbatasan sains yang dikritik oleh teori kritis? Apa saja syarat yang harus dipenuhi oleh sains HI ini untuk mampu menjawab kontemporalitas krisis?

13 Chantal Mouffe, The Democratic Paradox (London: Verso, 2000): 15.

14 Saya mempergunakan kata “sains” secara sengaja dengan tujuan untuk membedakan dari kata “studi” dan

(5)

Garis Besar Pembahasan

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, makalah ini terbagi pada beberapa bagian. Pertama, diskusi berfokus pada upaya merehabilitasi sains dari kritik-kritik teori kritis. Upaya ini juga diteruskan dengan merekonseptualisasikan sains yang mampu menjawab tantangan kontemporer. Di sini, diskusi juga akan membahas mengenai konsepsi “kontemporer” itu sendiri dan implikasi-implikasinya. Bagian kedua akan memeriksa perkembangan disipliner HI dalam, setidaknya, 10 tahun terakhir. Ada dua tendensi yang dihasilkan dalam penelusuran ini, yaitu meningkatnya kesadaran interdisipliner dari penstudi-penstudi HI untuk berdialog dan mengimpor pendekatan-pendekatan yang sama sekali, tadinya, asing bagi HI; dan lainnya, semakin diterimanya konsesi “pluralisme metodologis” sebagai solusi deadlock Debat Akbar di studi HI. Pada bagian ketiga, refleksi kritis atas keduanya akan disajikan terhadap kedua tendensi dengan cara mengevaluasinya berdasarkan kriteria sains HI yang sudah digariskan di bagian pertama. Bagian keempat akan ditutup dengan simpulan dan sedikit ekskursus tekait upaya kampanye sains HI melalui pedagogi.

Secara garis besar, argumentasi yang diusung di makalah ini adalah bahwa adalah krusial untuk mengembalikan HI ke predikat sainsnya apabila ia benar-benar mendedikasikan dirinya untuk menawarkan pemecahan bagi problem-problem kongkrit di lapangan. Untuk ini, predikat-predikat sains yang tadinya dimusuhi, wajib hukumnya untuk direhabilitasi. Tiga yang menjadi fokus: obyektivitas, universalitas dan proseduralisme. Obyektivitas penting untuk direhab untuk memanfaatkan potensinya dalam memahami suatu dunia yang berjalan tanpa mensyaratkan campur tangan manusia, atau yang berjalan dengan logika internalnya sendiri. Universalitas perlu untuk mengembalikan kewibawaan dan keberanian sains untuk mengatakan kebenaran—dan bertanggungjawab atasnya—tentang penyebab suatu masalah, tentang hal-hal yang “mendeterminasi pada pokok paling akhir” (determination in the last instance).

Proseduralisme penting untuk mempertanggungjawabkan klaim-klaim kebenaran tadi.

(6)

ini melindungi sains selama ia konsisten untuk menjawab permasalahan bagi sesuatu yang dipihakinya; sains HI ini dengan demikian adalah berbasis-masalah (problem-based).

Di sisi lain, ketiga predikat sains ini lah yang dibutuhkan oleh sains HI untuk menjawab tantangan kontemporer. Salah satu upaya menjawab ini, yang penulis lihat sebagai yang paling penting, adalah kesiapannya untuk menerima tantangan interdisiplinaritas. Tantangan interdisiplinaritas ini akan sangat beresiko bagi identitas almamater/disipliner HI, sedemikian rupa sehingga membuat sang penstudi harus suatu saat berani untuk keluar dari zona nyaman teoritiknya untuk mempelajari teori dari disiplin lain dari 0. Teori HI-pun, pada akhirnya, harus direlakan menjadi “mutan.” Semuanya demi menyelesaikan masalah kongkrit subyek/obyek keberpihakan sang peneliti, ketimbang peneguhan identitas disiplinernya sendiri. Untuk ini, alih-alih mempromosikan “pluralisme teoritis” atas nama kebebasan berpikir (artes libéral), makalah ini mengusulkan suatu syarat ketat baginya: yaitu bahwa ia harus melayani “monisme ontologis.” Dengan kata lain, sains HI bisa saja, bahkan amat dianjurkan, mengadopsi pendekatan metodologis yang beragam, atau berangkat dari posisi paradigmatik beragam, asal semua itu ditujukan untuk mencapai suatu jawaban fundamental yang hanya tunggal. Monisme ontologis adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan HI dan bahkan umat manusia dari serbuan angsa-angsa hitam hari ini (baca: bencana sistemik).

Sains Berbasis-Problem

Sebagaimana diketahui pada umumnya, serangan pertama kepada status sains HI dilancarkan oleh Robert Cox pada 1981 melalui artikel fenomenalnya “Social Forces, States and World Orders: Beyond International Relations Theory” di jurnal Millennium. Lebih spesifiknya, aspek yang diserang Cox adalah naturnya yang adalah pemecah-masalah

(problem-solving) semata. Positivisme, yang menjadi corak saintifik teorisasi HI pada

umumnya saat itu—terutama neorealisme—dipandang Cox sebagai kedok untuk menyamarkan hegemoni penguasa. Demikian Cox,

The strength of the problem-solving approach lies in its ability to fix limits or parameters to a problem area and to reduce the statement of a particular problem to a limited number of variables which are amenable to relatively close and precise examination. The ceteris paribus assumption, upon which such theorising is based, makes it possible to arrive at statements of laws or regularities which appear to have general validity.15

(7)

Nampak jelas bagi Cox yang bermasalah dari teori-teori pemecah masalah adalah aspek reduksionis dan simplifikasi demi semata-mata mengkonstruksikan teori. Sasarannya jelas, neorealisme. Kenneth Waltz adalah salah seorang pemuka neorealis yang menekankan aspek parsimonious dalam melakukan suatu teorisasi. Maksudnya, saat mengkonstruksi sebuah teori, sang peneliti harus memilih satu aspek sementara mengabaikan yang lainnya. Saat berteori tentang prilaku negara, Waltz mengatakan,

“In a microtheory, whether of international politics or of economics, the motivation of the actors is assumed rather than realistically described, I assume that states seek to ensure their survival. The assumption is a radical simplification made for the sake of constructing a theory.”16

Inilah yang dimaksudkan ceteris paribus oleh Cox: yang lain diasumsikan tetap. Gestur ini berbahaya menurut Cox karena ia justru menerima begitu saja struktur dan tatanan sosial-politik yang ada. Alih-alih mempertanyakannya, peneliti pemecah-masalah dengan acuh membangun klaim-klaim teoritik berdasarkan landasan tatanan tersebut. Akhirnya tatanan menjadi tidak pernah dipermasalahkan, dan pada akhirnya, tidak akan pernah bisa diubah. Hampir 30 tahun semenjak artikel seminalnya, Cox masih belum berubah pikiran:

"Problem solving takes the world as it is and focuses on correcting certain dysfunctions, certain specific problems. Critical theory is concerned with how the world, that is all the conditions that problem solving theory takes as the given framework, may be changing. Because problem solving theory has to take the basic existing power relationships as given, it will be biased towards perpetuating those relationships, thus tending to make the existing order hegemonic."17

Implikasinya, tidak akan pernah terbayangkan suatu kemungkinan akan perubahan struktur internasional—sistem negara berdaulat Westphalia dan/atau kapitalisme global. Perubahan sistem internasional pun akhirnya menjadi suatu perubahan intra-struktur ketimbang dari struktur satu ke struktur lainnya yang sama sekali baru. Hanya posisi unit-unitnya (baca: negara) yang berubah, melainkan struktur yang membingkai posisi-posisi tersebut tidak. Akhirnya, neorealisme dan bahkan sains HI secara umum menjadi pelayan

16 Kenneth Waltz, Theory of International Politics (Reading, Massachusetts: Addison-Wesley, 1979): 91.

17 Peter Schouten, ‘Theory Talk #37: Robert Cox on World Orders, Historical Change, and the Purpose of Theory

(8)

bagi kepentingan yang empunya struktur. Seperti ucapan Cox yang telah menjadi mantra,

“theory is always for someone and for some purpose.”18

Merefleksikan kritik Cox ke sains secara umum, maka dapat disimpulkan tuduhan-tuduhannya terhadap tiga prinsip penting sains—obyektivitas, universalitas dan proseduralisme. Yaitu bahwa ketiganya ini hanyalah kedok bagi keberpihakan teori tersebut pada golongan tertentu. Tapi apakah kritik ini cukup? Bagi penulis, tidak. Mengatakan bahwa teori pemecah-masalah melayani kepentingan penguasa begitu saja tidak serta merta membuat teori-kritis yang diusung Cox juga kebal terhadap distorsi keberpihakan, atau sebaliknya, teori pemecah-masalah menjadi tidak bisa melayani kepentingan kelas tertindas. Contoh fenomenalnya adalah filsafat Friedrich Nietzsche tentang übermensch: di tangan Hitler ia menjadi justifikasi fasisme dan totalitarianisme, tapi di tangan filsuf-filsuf Perancis tahun 1968 (mis., Foucault dan Deleuze), ia menjadi inspirasi revolusi melawan totalitarianisme negara dan pasar. Di sini bisa disimpulkan bahwa teori tidak bisa begitu saja disalahkan saat ia dipakai untuk sesuatu yang dianggap abusive.

Memetik hikmah dari kritik Cox, dengan demikian, yang harus dibuang adalah sifatnya yang tidak mawas-diri terhadap asumsi-asumsi dasarnya sehingga ia malah mereifikasi struktur dominan. Terkait sifat pemecah-masalah, penulis melihat bahwa yang bermasalah bukanlah aktivitas memecahkan masalahnya, melainkan masalah siapa yang mau

dipecahkan, dan seberapa jauh komitmen saintifik terhadap pemecahan masalah tersebut. Saat suatu

pihak sudah dipihaki oleh seorang peneliti, maka adalah komitmen saintifik yang harus dijunjung tinggi: yaitu menyelesaikan masalah seacara obyektif, mendapatkan jawaban universal, dan melakukannya secara prosedural sehingga bisa dipertanggungjawabkan. Komitmen saintifik ini juga mensyaratkan untuk terus bermawas-diri terhadap langgam-langgam teoritiknya, mulai dari asumsi sampai basis filosofisnya. Sekali lagi, yang menjadi pandu di sini adalah terpecahkannya masalah. Inilah praktik saintifik. Ia selalu berbasiskan suatu masalah, lalu mengerahkan seluruh upaya saintifik untuk memecahkan masalah tersebut.

Sampai di sini beberapa mungkin akan segera mendakwa bias subyektif dalam penentuan masalah siapa yang hendak dipecahkan. Memang demikian adanya. Bersikeras mengatakan bahwa sains bebas-nilai sama saja dengan mengatakan bahwa matahari tidak boleh bersinar. Ini adalah fitur tak terelakkan. Namun demikian, hal ini tidak lantas mencegah suatu sains menjadi obyektif. Obyektivitas di sini harus diklarifikasi. Dan

(9)

bahkan, mengikuti Collier, ia harus dibela.19 Obyektivitas adalah suatu komitmen untuk

senantiasa melihat suatu obyek kajian pada dirinya sendiri (as it is; in their own term). Kant akan menyebutnya “benda pada dirinya sendiri” (das ding an sich). Untuk melakukan ini, maka peneliti harus mendedikasikan dirinya untuk memahami sang obyek kajian tanpa melibatkan anasir-anasir subyektifnya. Adalah logika internal dari sang obyek yang dikejar peneliti di sini. Logika internal mengacu pada suatu kondisi dimana sang obyek berjalan dengan mekanismenya sendiri tanpa mensyaratkan kehadiran manusia atau subyek.

Obyek sains, dengan kata lain, harus bisa dilihat sebagai tak bersubyek (subjectless).20

Lalu universalitas. Universalitas yang dimaksud adalah suatu jawaban tunggal dan final, mengenai logika internal suatu peristiwa. Semisal, pertanyaan “mengapa AS menginvasi Irak?” dijawab “karena minyak.” Jawaban ini bukanlah jawaban final, karena ia masih menyisakan banyak pertanyaan, seperti mengapa AS membutuhkan minyak?— karena krisis energi; kenapa krisis energi terjadi?—karena peningkatan konsumsi; kenapa peningkatan konsumsi terjadi?—karena intensifikasi kapitalisme global; dst. Untuk mendapatkan kebenaran final mengenai mengapa AS menginvasi Irak, dengan demikian, tidak pernah sesederhana itu. Ia harus mempertimbangkan banyak aspek yang memungkinkan Invasi AS ke Irak. Secara umum, pertanyaannya dengan demikian, “apa yang harus terjadi pada dunia untuk invasi AS ke Irak bisa terjadi?”

Pencarian jawaban obyektif dan universal ini, misalnya, yang sudah diperjuangkan Marx dari dahulu dengan konsep “determinasi pada pokok terakhir”-nya (determination in

the last instance).21 Bagi Marx (dan Engels), misalnya, determinasi pada pokok terakhir

adalah “produksi dan reproduksi kehidupan riil.”22 Dengan demikian, apabila Marx

ditanya mengapa AS menginvasi Irak, maka jawaban finalnya akan bernuansa kental dengan sistem relasi “produksi dan reproduksi kehidupan riil.” François Laruelle meneruskan konsep ini dengan menisbatkan predikat “riil”pada konsep ini.23 Hal ini bisa

dengan sederhana dibayangkan saat orang bertanya, “apa sebenar-benarnya yang membuat AS menginvasi Irak?” Tepat di sinilah orang ini beranjak dari penyebab superfisial, menuju

19 Andrew Collier, In Defence of Objectivity and Other Essays: On realism, existentialism and politics (London, New

York: Routledge, 2003).

20 Levi R. Bryant, The Democracy of Object (Ann Arbor: Open Humanities Press, 2011): 13-33.

21 Sebenarnya konsep ini dipopulerkan oleh Engels. Lih. Etienne Balibar, The Philosophy of Marx, terj., Chris

Turner (London: Verso, 2007): 93.

22Ibid.

(10)

ke penyebab riil. Laruelle juga menyebutnya “kausalitas asali” (causalité originale). 24 Yang

universal, dengan demikian adalah yang riil, yang asali.

Lalu apakah ini kita bisa sampai pada jawaban final ini? Laruelle dengan tegas mengatakan: tidak! Ini penting untuk ditekankan mengenai posisi filosofisnya. “Il

n’appartient pas à la pensée-monde ou au Monde—c’est le sens de la ‘dernière instance’”25 (ia tidak

dimiliki oleh pemikiran-duniawi atau Dunia—inilah makna dari ‘pokok terakhir’). Dengan kata lain, peneliti, yang berada di dunia, tidak memiliki peluang untuk mengakses itu. Namun demikian, justru inilah yang membuat riset maju terus. Saat seorang peneliti telah sampai pada suatu kesimpulan tertentu, ia kemudian perlu merefleksikan penelitiannya lagi berdasarkan ketiga kriteria obyektivitas, universalitas dan proseduralisme tadi. Ia juga harus berdialog dengan peneliti lainnya. Karena jawaban final hanya dan akan selalu sementara. Dialog dan eksperimentasi keilmuan, dengan demikian, menjadi motor untuk terus menerus mengupayakan sains untuk sampai ke determinan pokok terakhir.

Hal ini mirip dengan posisi Milja Kurki, seorang proponen realisme kritis HI, saat mengajukan tesisnya yang berupaya merehabilitasi kausalitas. Baginya, penyebab/kausa adalah "a notion that refers to the real ontological structures, forces or relations that generate and

bring about events."26 Kurki juga memperluas konsepsinya mengenai kausa tidak hanya

mengenai fakta-fakta yang bisa diobservasi semata, melainkan juga yang tidak terobservasi seperti ise, aspirasi, wacana,27 dan juga “relasi sosial dan struktur sosial.”28 Menariknya,

Kurki mengaitkan kausa dengan bahasa Yunaninya, aition, yang diterjemahkannya sebagai

anything that contributes in anyway to the producing or maintaining of a certain reality.”29

Sampai di sini bisa dirangkumkan sains HI yang sudah diformulasikan. Yaitu pertama-tama ia memiliki natur yang selalu berbasis-masalah (problem-based). Saintis HI, dengan demikian, adalah mereka yang mengajukan problem yang ia temukan sendiri di

dalam praksis kesehariannya dalam memperjuangkan keberpihakannya. Sains HI,

dengan demikian menjunjung tinggi obyektivitas demi upayanya untuk terus memahami logika internal obyek kajiannya. Ia juga dengan tegas menggariskan usahanya sebagai pencarian kebenaran universal yang mendeterminasi pada pokok terakhir. Suatu sikap

24Ibid., h. 46. 25Ibid., h. 43.

26 Milja Kurki, Causation in International Relations: Reclaiming Causal Analysis (Cambridge: Cambridge Univ. Press,

2008): 97.

27 Benjamin Banta, “Analysing discourse as a causal mechanism,” European Journal of International Relations, 19, 2,

2013: 379–402.

(11)

keberanian yang telah sebelumnya dilumpuhkan oleh pengusung pasca-modernisme yang selalu menolak untuk berposisi tegas terhadap kebenaran.

Kontemporalitas dan Angsa Hitam

Fashion is made to become unfashionable —Coco Chanel

Sains selalu didedikasikan untuk pemecahan suatu masalah. Masalah, sebagaimana diketahui, tentu tidak muncul di ruang hampa. Masalah selalu memiliki dimensi ruang dan waktu karenanya. Hal ini membuat relevan untuk berbicara mengenai suatu irisan ruang-waktu bernama ‘kontemporer’. Apa itu yang kontemporer? Apa syarat sesuatu disebut kontemporer? Apa saja kareakteristik kontemporalitas? Kebanyakan orang memahami kontemporer sebagai sesuatu yang kekinian, ke-hari-ini-an, bahkan sekarang. Tapi pertanyaannya, kapankah itu yang “sekarang?” Logika sederhana. Saat seseorang mengatakan “sekarang”, sebenaranya ia telah selalu dan akan selalu merujuk pada waktu yang baru saja berlalu. Dengan demikian, kita tidak akan pernah berada pada “sekarang.” Persis seperti dalam fashion. Saat seseorang berkata “I am in the mode” maka secara logis sebenarnya ia telah demodée, karena in the mode adalah beberapa waktu yang lalu saat ia mengatakan kalimat itu. Setelah itu, ia usang. Mungkin itu yang dimaksudkan salah seorang punggawa mode dari Perancis, Coco Chanel, dengan petikan epigraf di atas.

Lalu bagaimana memahami kontemporalitas? Satu cara yang terbukti manjur adalah dengan mempertimbangkan bahasa Yunaninya.30 Bahasa Yunani mengenal dua kata untuk

waktu, chronos dan kairos. Chronos lebih bernuansa linier, sementara kairos tidak. Negri menyebut chronos ini sebagai waktu-sebagai-ukuran: sebagai penanda umur, penanda kalender, penanda jam kerja, dst. Kairos, sebaliknya, ia adalah suatu moment, suatu patahan linearitas dan pembetotan kemewaktuan.31 Kairos adalah “sekarang!” Singkatnya,

kairos adalah waktu yang lepas dan keluar dari lintasan linear kemewaktuan. Lalu bagaimana hubungan keduanya? Tidak terpisahkan. Setiap kairos akan selalu berlalu dan masuk berjajar dalam chronos. Setiap momen kairotik terjadi, maka ia akan segera tersapu dan terdomestifikasi oleh garis waktu chronos. Dari sini, tantangan memahami kontemporalitas dengan demikian adalah dengan menunjukkan kedua dimensi waktu yang membingkai sutau kejadian.

30 Cara ini juga yang ditempuh oleh Kimberly Hutchings, Time and Politics: Thinking the Present (Manchester and

New York: Manchester University Press, 2008); Antonio Negri, Time for Revolution (London & New York: Continuum, 2003); Giorgio Agamben, “What is the contemporary?” dlm. What is an apparatus, terj., D. Kishik & S. Pedatella (Stanford & California: Stanford Uni Press, 2009).

(12)

Semenjak kejadian “As menginvasi Irak” selalu terjadi dalam titik ruang-waktu tertentu, dengan kata lain pertautan chronos dan kairos, maka suatu analisis yang berkomitmen terhadap kontemporalitas harus mampu menangkap aspek kronologisnya (historis & kontekstualnya; kausalitas linier), tapi ia juga harus menyingkapkan aspek kairologisnya (kebaruan, keunikan, singularitas; non-kausal). Pertanyaan yang perlu diajukan terkait kausalitas, apabila dipandang secara kairologis, adalah seperti ini: mengapa untuk alasan kausalitas A, si penyebab B harus menyebabkan efek C—dan bukan D, E, F, dst.? Penggalian aspek kairos ini mensyaratkan analisis untuk bernar-benar jeli dan sensitif terhadap singularitas dan spesifisitas. Dengan demikian, inilah analisis kontemporer : suatu analisis yang berkomitmen untuk selalu melihat aspek historis dan kebaruan dari setiap kejadian.

Hal ini akan mencegah dua sikap analisis yang sama sekali kehilangan kontemporalitasnya: nostalgis dan presentis.32 Nostalgis akan selalu terperangkap pada

masa lalu. Semua kejadian masa kini akan selalu direferensikan dengan masa lalu. Seperti ungkapan mengenai sejarah berulang, bahwa yang hari ini hanyalah mengulang yang lalu. Ini pandangan nostalgis romantis. Seperti teori-teori siklus (Kondratiev, Organski, Modelski, Wallerstein, dst.) mereka gagal melihat kebaruan dalam setiap pengulangan-pengulangan sejarah. Sikap lainnya yang juga kehilangan kontemporalitas adalah presentis. Presentis akan selalu terbutakan dengan euforia dan gegap gempita masa kini. Bak majalah gadget, selalu akan dibahas hal-hal mendetil dan terkini dari gadgetry. Tapi mengapa gadget tersebut bisa ada dan mungkin, apa penyebab riil evolusinya, dst., tidak akan mampu dilihat mata buta si analis. Analisis kontemporalitas dengan demikian harus mampu menggandekan (ko-) dua aspek temporal: masa lalu dan masa kini; linearitas dan non-linearitas; timeliness dan untimeliness; historical dan ahistorical.

Popper punya nama untuk kairos ini, yaitu angsa hitam. Dalam Logic of Scientific

Discovery ia mencoba mengilustrasikan problem induksi logis dengan analogi angsa.33

Premis "semua angsa putih” tidak serta-merta benar. Jangan karena mentang-mentang kita belum menemukan angsa hitam lantas premis “semua angsa putih” adalah benar. Premis ini hanya “benar” untuk sementara, sampai suatu hari ditemukan angsa hitam. Dalam teorisasi Popper ini, angsa hitam memainkan peran yang penting, yaitu sebagai sesuatu yang berpotensi menghancurkan suatu proposisi yang sudah tersusun rapi dalam waktu yang lama. Jika dulu Popper mengarahkan sains untuk mencari angsa hitam demi menginisiasi kebaruan teoritis, kini zaman sudah berubah. Angsa hitam dimana-mana.

32 Agamben, “What is the contemporary, ” 41.

(13)

Inilah yang berusaha ditunjukkan oleh dua filsuf matematika: Nassim Taleb & Elie Ayache.34 Kedua filsuf ini menarik perhatian internasional karena keduanya adalah juga

konsultan finansial (instrumen derivatif). Keduanya banyak menulis dan mengomentari peristiwa krisis finansial. Bahkan, Taleb pun juga menjadi komentator isu HI dengan teorinya.35

Kompleksitas dunia yang terintegrasi hari ini telah membuat dunia semakin rentan diserbu angsa hitam. Banyak kejadian-kejadian tak terduga yang bisa terjadi kapan saja. Mulai dari bencana alam sampai krisis finansial. Mulai dari protes sampai perang. Di dunia dimana angsa hitam di mana-mana saat ini “makes what you don't know far more relevant than

what you do know."36 Ketidak-pastian serba meraja-lela. Ketidak-pastian iklim,

ketidak-pastian pekerjaan, instabilitas ekonomi dan politik, terorisme yang selalu menghantui, dst. Kita harus senantiasa bersiap untuk menghadapi suatu, meminjam istilah Donald Rumsfeld yang terkenal, “unknown unknowns”—suatu hal yang tidak kita ketahui bahwa kita tidak tahu.37 Atau kutipan terkenal dari Alexis de Tocqueville: “events can move from the impossible

to the inevitable without ever stopping at the probable.” Ayache bahkan lebih jauh dengan

mengemukan bagaimana even terjadi mengikuti logika kontingensi absolut (sama sekali diluar prediksi), “their Swan bird, or the event that gives them wings, is BLANK. It is neither Black nor White; it is neither loaded with improbability nor with probability. It can only be filled with writing, as when we say ‘to fill in the blanks’.”38

Sampai di sini, nosi mengenai kontemporer sudah bisa dipahami. Yaitu bahwa ia selalu merupakan persimpangan antara aspek linear waktu (chronos) dan aspek non-linear waktu (kairos). Analisis yang berkomitmen untuk membedah kontemporalitas dengan demikian dihadapkan pada tantangan untuk mampu menjelaskan keterkaitan kedua aspek suatu even, yaitu aspek krononologisnya dan aspek kairologisnya, atau dengan kata lain, aspek historis kontekstual dan aspek ahistoris singularnya. Tantangan kontemporalitas lainnya adalah kompleksitas dan ketidak-pastian. Seperti angsa hitam Popperian, mengkonfrontir kontemporalitas mensyaratkan suatu kesiapan untuk menghadapi suatu

34 Nassim Nicholas Taleb, The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable (Random House, 2007); Elie Ayache

The Blank Swan: The End of Probability (Wiley, 2010).

35 Nassim Nicholas Taleb & Mark Blyth, “The Black Swan of Cairo: How Suppressing Volatility Makes the World

Less Predictable and More Dangerous,” Foreign Affairs, 90, 3, 2011.

36 Taleb, Black Swan,

37 John Ezard, “Rumsfeld’s unknown unknowns take prize,” Guardian, 2 Desember 2003.

http://www.theguardian.com/world/2003/dec/02/usa.johnezard.

(14)

kejadian yang benar-benar tidak terprediksi dan lepas dari, bahkan, rasionalitas. Sains HI, dengan demikian, harus punya strategi untuk menghadapi ini.

Lalu, apa strategi yang cocok bagi sains HI untuk menghadapi tantangan kontemporalitas angsa hitam? Taruhan makalah ini ada pada konsep interdisiplineritas.

Sains Interdisipliner: dialog pluralis?

Sebelum melangkah lebih jauh dalam mengusulkan interdisiplinaritas sebagai tawaran, tentu perlu diklarifikasi konsep ini beserta dengan konsep-konsep lainnya yang mirip. Pendefinisian yang penulis dapati cukup berguna untuk ini adalah dari van den Besselaar dan Heimeriks.39 Kedua ilmuwan informatika ini membedakan interdisipliner,

multidisipliner dan transdisipliner berdasarkan tingat integrasi suatu disiplin terhadap disiplin lainnya. Pada multidisipliner, suatu obyek kajian dilihat dari sudut pandang disipliner yang berbeda. Tidak ada integrasi teoritis atau metodologis di sini. Pada

interdisipliner, telah terjadi sintesis (dengan derajat yang bervariasi) antara disiplin satu

dengan disiplin lainnya sehingga menciptakan konsep, teori, dan metodologi sendiri yang baru. Interdisiplinaritas, dengan demikian, membuka jalan untuk sintesis-sintesis, jika bukan mutasi, baru teoritik demi upaya pemecahan masalah. Pada transdisipliner, level integrasi sudah masuk ke aspek-aspek filosofis yang melandasi disiplin-disiplin tersebut mulai dari epistemologi bahkan sampai ontologi. Semenjak HI tidak mempunyai filsafat yang khusus HI, maka dengan sendirinya HI bersifat transdisipliner karena sudah pasti ia berbagi dengan disiplin lain.

Penting untuk digaris-bawahi di sini adalah bahwa interdisiplinaritas merupakan suatu fitur disipliner yang terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan dialog dengan disiplin lain yang dirasa mampu berkontribusi sesutau pada proses pemecahan suatu masalah tertentu. Hal penting lain juga harus disadari bahwa dalam proses interdisipliner, terdapat kemunginan munculnya sebuah teori yang benar-benar merupakan hasil persilangan dua atau tiga disiplinyang dengan demikian memungkinkannya menjadi disiplin sendiri yang baru. Namun demikian, apa pun hasilnya, itu adalah hal belakangan. Yang penting untuk ditekankan di sini adalah inisiatif-inisiatif apakah yang memungkinkan terjadinya dorongan dialog interdisipliner?

39 Peter van den Besselaar & Gaston Heimeriks, “Disciplinary, Multidisciplinary, Interdisciplinary: Concepts and

(15)

Di sinilah penting untuk melihat dialog interdisipliner juga sebagai tanda kemajuan suatu sains. Manuvernya untuk keluar dari disiplinnya sendiri dan mencari rekan diskusi dengan disiplin lain menandakan bahwa terdapat suatu keterbatasan internal suatu disiplin yang dapat diisi oleh disiplin lainnya. Keterbatasan internal ini tidak lain adalah kegagalannya dalam memberikan jawaban bagi problem-problem yang dijumpai di lapangan. Dengan kata lain, sang peneliti sudah sampai pada deadlock disipliner yang membuatnya mulai beralih, berpaling, atau setidaknya melirik disiplin lain untuk mulai berdialog. Suatu dialog interdisipliner, dengan demikian, selalu berisi dengan banyak peralihan-peralihan (turn) teoritis. ‘Pendekatan peralihan’ inilah yang ditawarkan makalah ini untuk melihat sejarah perkembangan interdisiplinaritas sains HI. Akhirnya, pendekatan

peralihan mengacu pada suatu pendekatan dalam melihat kemajuan sains dengan

menekankan pada upayanya untuk merefleksikan batasan-batasan internal disiplinnya untuk kemudian mencari partner dialog dari disiplin lain demi terpecahkannya suatu problem risetnya.

Dengan melihat sejarah sains HI melalui pendekatan peralihan, maka bisa kita lihat bahwa fitur interdisipliner sudah selalu menjadi fitur studi ini. Kita bisa melacaknya melalui peralihan realis, peralihan positivis/behavioral, peralihan transnasional, peralihan linguistik, peralihan kritis, peralihan kultural,40 peralihan praktik,41 peralihan historis,42

peralihan konstruktivis,43 peralihan normatif,44 peralihan agama,45 peralihan emosi,46

40 Peter Jackson, “Pierre Bourdieu, the ‘cultural turn’ and the practice of international history,” Review of

International Studies, 34, 2008: 155-181;

41 Iver B. Neumann, “Returning Practice to the Linguistic Turn: The Case of Diplomacy,” Millennium, 31, 3, 2002:

627-651.

42 David M. McCourt, “What’s at Stake in the Historical Turn? Theory, Practice and Phronēsis in International

Relations,” Millennium, 41, 1, 2012: 23-42; Thierry Lapointe & Frédérick Guillaume Dufour, “Assessing the historical turn in IR: an anatomy of second wave historical sociology,” Cambridge Review of International Affairs, 25, 1, 2012.

43 Jeffrey T. Checkel, “The Constructivist Turn in International Relations Theory,” World Politics, 50, 2, 1998:

324-348.

44 Steve Smith, “The Forty Years’ Detour: The Resurgence of Normative Theory in International Relations,”

Millennium, 21, 3 1992: 489-506; Chris Brown, International Relations Theory: New Normative Approach (NY : Columbia Univ Press, 1992); Mervyn Frost,A turn not taken: Ethics in IR at the millennium', Review of International Studies, 24, 1998: 119-32.

45 Scott M. Thomas, “Taking Religious and Cultural Pluralism Seriously: The Global Resurgence of Religion and

the Transformation of International Society,” Millennium, 29, 3, 2000: 815-841; Stephen Chan, Peter Mandaville & Roland Bleiker, peny., The Zen of International Relations: IR Theory from East to West (Hampshier & NY: Palgrave, 2001).

46 Neta C. Crawford, “The Passion of World Politics: Propositions on Emotions and Emotional Relationships,”

(16)

peralihan estetik,47 peralihan etonografis,48 dan yang terbaru, peralihan

biologis/kompleksitas49.

Melihat peralihan-peralihan ini semua, para proponen interdisiplineritas, sebagaimana halnya dengan penulis sendiri, bisa tersenyum bangga. Namun demikian, yang perlu diperhatikan di sini adalah semangat masing-masing peralihan, dan bukan proliferasi peralihannya! Sayangnya, adalah yang terakhir yang menjadi ketertarikan para saintis HI. Proliferasi dan multiplikasi peralihan-peralihan ini semata-mata dilihat sebagai “perayaan perbedaan” dalam bingkai “pluralisme teoritis.” Hampir seantero penstudi sains HI bersepakat pada konsesis pluralisme teoritis sebagai solusi jalan tengah bagi deadlock

Debat Akbar.50 Ungkapan-ungkapan seperti “let thousands theories bloom in the garden of IR”

atau “it’s time to ourselves to be open to dialogical imagination” dan seruan-seruan serupa lainnya sudah sering terdengar di simposium-simposium, buku-buku dan jurnal-jurnal HI.

Posisi makalah ini terhadap pluralisme teoritis ini adalah sikap negasi total! Demi tegaknya sains HI, pandangan pluralisme teoritis ini harus ditolak! Euforia proliferasi ini benar-benar mengkonfirmasi sinisme Jean Baudrillard terhadap masyarakat hypermodern yang berpesta-pora dalam banalitas dengan selebrasi dan liberasi, yaitu sebagai suatu

orgy.51Pluralisme teoritis di HI, di mata para pengamat dan sejarawan teori HI, tidak lebih

dari suatu orgy. Yang ingin ditekankan di sini adalah bahwa representasi perkembangan sains HI dalam suatu frase “pluralisme teoritis” sama sekali menafikan upaya saintifik mereka-mereka yang berupaya menjawab tantangan kontemporalitas demi memecahkan

47 Roland Bleiker, “The Aesthetic Turn in International Political Theory,” Millennium, 30, 3, 2001: 509-533. 48 Wanda Vrasti, “The Strange Case of Ethnography and International Relations,” Millennium, 37, 2, 2008:

279-301; Jon Harald Sande Lie, “Challenging Anthropology: Anthropological Reflections on the Ethnographic Turn in International Relations,” Millennium, 41, 2, 213: 201–220; Anna Leander, “Strong Objectivity” in Security Studies: Ethnographic Contributions to Method Development, Carlo Alberto Notebook Working Papers, no. 301, 2013.

49James Rosenau, Distant proximities (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 2003); Robert Geyer,

“European integration, the problem of complexity and the revision of theory,” Journal of Common Market Studies, 41, 1, 2003a, 15–35; Robert Geyer, “Globalisation, Europeanisation, complexity,” Governance, 16, 4, 2003b: 559–576; Emilian Kavalski, “The fifth debate and the emergence of complex international relations theory: notes on the application of complexity theory to the study of international life,” Cambridge Review of International Affairs, 20, 3, 2007: 435-454; Antoine Bousquet & Simon Curtis, “Beyond models and metaphors: complexity theory, systems thinking and international relations,” Cambridge Review of International Affairs, 24, 01, 2011: 43-62.

50 Dua buku yang menurut pengalaman penulis pribadi sebagai yang paling bertanggung-jawab akan

mewabahkan pluralisme metodologis adalah Tim Dunne, Milja Kurki & Steve Smith, peny., International Relations Theories: Discipline and Diversity, edisi kedua (Oxford: Oxford University Press, 2010) dan Patrick Thaddeus Jackson,

The Conduct of Inquiry in International Relations: Philosophy of science and its implications for the study of world politics

(London & New York: Routledge, 2011).

51 Jean Baudrillard, “Beyond Vanishing Point of Art,” terj., Paul Foss, dlm. P. Taylor, peny., Post-Pop Art

(17)

problemnya. Geliat kreativitas dan keberanian untuk memulai dialog dengan partner dialog yang baru, oleh para komentator teori HI ini, langsung seenak jidat dimasukkan dalam Debat 1, Debat 2, Debat A, Debat X, atau –isme O, -isme P, dst. Pada saat mereka gagal mengabstrasikan perdebatan dalam suatu tema besar, langsung saja mereka namai, “oh…sekarang HI sudah masuk fase incommensurability”, jadi kita harus saling menghargai pluralisme teoritis ini.52 Tepatlah kritik Wanda Vrasti ke komentator-komentator ini sebagai

“theoriphilia.”53

Interdisipliner tidak sama dengan pluralisme! Pluralisme HARUS disertai dengan monisme di level ontologi! Proliferasi teori, konsep, pendekatan, metode, dst., dimungkinkan sepanjang dan hanya sepanjang semuanya berkontribusi dalam upaya dialektis untuk mencapai suatu jawaban universal, suatu jawaban final, suatu determinasi pada pokok terakhir. Sebagai sains, eksperimentasi apapun yang dicoba, peralihan apapun yang dijajaki, dan penelitian apapun yang dilakukan, ia haruslah mengabdi pada upaya-upaya untuk menyelesaikan suatu problem. Dan semenjak problem adalah selalu bergantung pada subyektivitas peneliti, maka keberpihakan menjadi sentral dalam setiap aktivitas saintifik. [HYP]

52 Lihat pengantar Steve Smith, di Dunne, Kurki & Smith, 2011.

53 Vrasti, “The Strange Case of Ethnography,” 290. Vrasti sebenarnya menggunakan kata “ethnographilia”.

Referensi

Dokumen terkait

non-elektrolit dan elektrolit karena terbukti efektif meningkatkan kete- rampilan menyimpulkan dan pengu- asaan konsep siswa, agar penerapan pembelajaran problem solving yang

Pada luas daun 120 hst perlakuan dosis pupuk kandang kambing 30 ton/ha dapat menghasilkan luas daun yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang lain dan

[r]

Berdasarkan data, maka dapat diketahui hasil rumusan kajian pelayanan pasar boja, kajian pasar boja, kajian pelayanan lintas batas daerah pasar

  Lans Brahmantyo, selaku founder dari Afterhours Books, serta Rie Naftali selaku desainer buku yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan ilmu

Data pada penelitian ini diperoleh dengan menyebarkan kuesioner kepada responden yang terdiri atas mahasiswa- mahasiswa Jurusan Akuntansi Universitas Islam “45”

Sejalan dengan itu, tujuan pendidikan progresivisme harus mampu memberikan keterampilan dan alat-alat yang bermanfaat untuk berinteraksi dengan lingkungan yang

Motivasi di mulai dengan komitmen dengan niat ikhlas. Imbalan atas pekerjaan yang sepadan dengan niat. Setiap bekerja tanpa niat tidak diakui. Dan kepuasan kerja