ASUHAN KEPERAWATAN PADA KARSINOMA NASOFARING A. Pengertian
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring (Arima, 2006 dan Nasional Cancer Institute, 2009). Kanker nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring. Tumor ini bermula dari dinding lateral nasofaring (fossa Rosenmuller) dan dapat menyebar ke dalam atau keluar nasofaring menuju dinding lateral, posterosuperior, asar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan orofaring serta metastasis ke kelenjar limfe leher. Nasofaring merupakan suatu ronga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring. Ke anterior berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul. Kea rah posterior dinding nasofaring melengkung ke supero-anterior dan terletak di bawah os sphenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia pre vertebralisdan otot-otot dinding faring. Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustakius diamana orifisium ini dibatasi superior dan posterior oleh torus tubarius, sehinga penyebaran tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustakius dan akan mengganggu pendengaran. Kearah posterosuperior dari torus tubarius terdapat fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring. Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh jaringan lunak sub mukosa, dimana pada usia muda dinding posterior-superior nasofaring umumnya tidak rata. Hal ini disebabkan karena adanya jaringan edenoid. Di nasofaring terdapat banyak saluran getah bening yang terutama mengalir ke lateral bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Reuviere).
B. Etiologi dan patofisiologi 1. Etiologi
a) Virus Epstein Barr (EBV)
Pada hampir semua kasus kanker nasofaring telah mengaitkan terjadinya kanker nasofaring dengan keberadaan virus ini. Virus ini merupakan virus DNA yang diklasifikasi sebagai anggota famili virus Herpes yang saat ini telah diyakini sebagai agen penyebab beberapa penyakit yaitu, mononucleosis infeksiosa, penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt dan kanker nasofaring.
Virus ini seringkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya tetapi juga dapat dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Virus tersebut masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Jadi, adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.
b) Faktor Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif lebih menonjol. Telah banyak ditemukan kasus herediter dari pasien karsinoma nasofaring. Penelitian pertama menemukan adanya perubahan genetik pada ras Cina yang dihubungkan dengan karsinoma nasofaring adalah penelitian tentang Human Leucocyte Antigen (HLA). Perubahan genetik mengakibatkan proliferasi sel-sel kanker secara tidak terkontrol. Beberapa perubahan genetik ini sebagian besar akibat mutasi, putusnya kromosom, dan kehilangan sel-sel somatik.
Teori tersebut didukung dengan adanya studi epidemiologik mengenai angka kejadian dari kanker nasofaring. Kanker nasofaring banyak ditemukan pada masyarakat keturunan Tionghoa.
c) Faktor Lingkungan
mengkonsumsi ikan kanton yang diasinkan dalam jumlah yang besar dan kurang mengkonsumsi vitamin, sayur, dan buah segar.
Faktor lain yang diduga berperan dalam terjadinya kanker nasofaring adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa, serbuk kayu industri, dan obat-obatan tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan kanker nasofaring belum dapat dijelaskan.
Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami (chinese herbal medicine atau CHB) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara terjadinya kanker nasofaring, infeksi Virus Epstein Barr (EBV), dan penggunaan CHB. Kebiasaan merokok dalam jangka waktu yang lama juga mempunyai resiko yang tinggi menderita kanker nasofaring.
2. Patofisiologi
C. Gejala Klinis 1. Gejala Dini
KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting (Roezin,Anida, 2007).
merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran ( Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer Institute, 2009).
Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah muda. Selain itu, sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang ( Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer Institute, 2009 ).
2. Gejala Lanjut
Pembesaran kelenjar limfe leher yang timbul di daerah samping leher 3-5 cm di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum tumor meluas ke bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, sehingga sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi melekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter (Nutrisno ,Achadi, 1988 dan Nurlita, 2009 ).
dan gangguan pendengaran serta gangguan penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena tumor. Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral) tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh (Arima, 2006 dan Nurlita, 2009).
Gejala akibat metastasis apabila sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk (Pandi, 1983 dan Arima, 2006).
Secara singkat gejala-gejala dari karsinoma nasofaring adalah sebagai berikut :
1. Epiktasis : sekitar 70% pasien mengalami gejala ini, diantaranya 23,2 % pasien datang berobat dengan gejala awal ini . Sewaktu menghisap dengan kuat sekret dari rongga hidung atau nasofaring , bagian dorsal palatum mole bergesekan dengan permukaan tumor , sehingga pembuluh darah di permukaan tumor robek dan menimbulkan epiktasis. Yang ringan timbul epiktasis, yang berat dapat timbul hemoragi nasal masif.
2. Hidung tersumbat : sering hanya sebelah dan secara progesif bertambah hebat. Ini disebabkan tumor menyumbat lubang hidung posterior.
3. Tinitus dan pendengaran menurun: penyebabnya adalah tumor di resesus faringeus dan di dinding lateral nasofaring menginfiltrasi , menekan tuba eustaki, menyebabkan tekana negatif di dalam kavum timpani , hingga terjadi otitis media transudatif . bagi pasien dengan gejala ringan, tindakan dilatasi tuba eustaki dapat meredakan sementara. Menurunnya kemmpuan pendengaran karena hambatan konduksi, umumnya disertai rasa penuh di dalam telinga.
infiltrasi saraf kranial atau os basis kranial, juga mungkin karena infeksi lokal atau iritasi pembuluh darah yang menyebabkan sefalgia reflektif. 5. Rudapaksa saraf kranial : kanker nasofaring meninfiltrasi dan ekspansi
direk ke superior, dapat mendestruksi silang basis kranial, atau melalui saluran atau celah alami kranial masuk ke area petrosfenoid dari fosa media intrakanial (temasuk foramen sfenotik, apeks petrosis os temporal, foramen ovale, dan area sinus spongiosus ) membuat saraf kranial III, IV, V dn VI rudapaksa, manifestasinya berupa ptosis wajah bagian atas, paralisis otot mata ( temasuk paralisis saraf abduksi tersendiri ), neuralgia trigeminal atau nyeri area temporal akibat iritasi meningen ( sindrom fisura sfenoidal ), bila terdapat juga rudapaksa saraf kranial II, disebut sindrom apeks orbital atau petrosfenoid.
6. Pembesaran kelenjar limfe leher : lokasi tipikal metastasisnya adalah kelenjar limfe kelompok profunda superior koli, tapi karena kelompok kelenjar limfe tersebut permukaannya tertutup otot sternokleidomastoid, dan benjolan tidak nyeri , maka pada mulanya sulit diketahui. Ada sebagian pasien yang metastasis kelenjar limfenya pertama kali muncul di regio untaian nervi aksesorius di segitiga koli posterior.
7. Gejala metastasis jauh : lokasi meatstasis paling sering ke tulang, paru, hati . metastasi tulang tersering ke pelvis, vertebra, iga dan keempat ekstremitas. Manifestasi metastasis tulang adalah nyeri kontinyu dan nyeri tekan setempat, lokasi tetap dan tidak berubah-ubah dan secara bertahap bertambah hebat. Pada fase ini tidak selalu terdapat perubahan pada foto sinar X, bone-scan seluruh tubuh dapat membantu diagnosis. Metastasis hati , paru dapat sangat tersembunyi , kadang ditemukan ketika dilakukan tindak lanjut rutin dengan rongsen thorax , pemeriksaan hati dengan CT atau USG
No Data Subyektif Data Obyektif Masalah Keperawatan 1. Melaporkan atau
mengeluh nyeri secara verbal dengan skala nyeri … (0-10)
a. Posisi untuk menahan nyeri b. Tingkah laku
berhati-hati
c. Gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai)
d. Terfokus pada diri sendiri
e. Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan)
f. Tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan,
menemui orang lain dan/atau aktivitas, aktivitas berulang-ulang)
g. Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi pupil)
h. Perubahan
autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku) i. Tingkah laku
ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah)
j. Perubahan dalam nafsu makan dan minum
2. Menyatakan kesulitan untuk bernafas (Dispnea)
a. Penurunan suara nafas
b. Ortopnea c. Sianosis
d. Suara nafas tambahan
e. Kesulitan berbicara f. Batuk tidak efektif
atau tidak ada
g. Sputum dalam jumlah berlebihan h. Gelisah
i. Perubahan frekuensi dan irama nafas j. Mata terbuka lebar
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
b. Muntah c. Kejang perut d. Rasa penuh
tiba-tiba setelah makan
b. Rontok rambut yang berlebih
c. Kurang nafsu makan d. Bising usus berlebih e. Konjungtiva pucat f. Denyut nadi lemah
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
4. Menyatakan secara verbal adanya masalah
a. Ketidakakuratan mengikuti instruksi b. perilaku tidak sesuai
Kurang Pengetahuan
Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi : Pada bagian leher terdapat benjolan, terlihat pada benjolan warna kulit mengkilat.
2. Palpasi : Pasien saat dipalpasi adanya massa yang besar, selain itu terasa nyeri apabila ditekan.
3. Pemeriksaan THT :
a. Otoskopi : Liang telinga, membran timpani. b. Rinoskopia anterior :
Pada tumor endofilik tak jelas kelainan di rongga hidung, mungkin
hanya banyak sekret.
2) Pada tumor eksofilik, tampak tumor di bagian belakang rongga hidung,
tertutup sekret mukopurulen, fenomena palatum mole negatif. c. Rinoskopia posterior :
1) Pada tumor indofilik tak terlihat masa, mukosa nasofaring tampak agak menonjol, tak rata dan paskularisasi meningkat.
2) Pada tumor eksofilik tampak masa kemerahan.
4. Faringoskopi dan laringoskopi : Kadang faring menyempit karena penebalan
jaringan retrofaring; reflek muntah dapat menghilang. 5. X – foto : tengkorak lateral, dasar tengkorak, CT Scan
Pemeriksaan diagnostik
1. Tindakan kewaspadaan, perhatikan keluhan utama pasien.
Pasien dengan epiktasis aspirasi balik, hidung tersumbat menetap, tuli unilateral, limfadenopati leher tak nyeri, sefalgia, rudapaksa saraf kranial dengan kausa yang tak jelas, dan keluhan lain harus diperiksa teliti rongga nasofaringya dengan nasofaringoskop indirek atau elektrik.
2. Pemeriksaan kelenjar limfe leher.
Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai vena jugularis interna, rantai nervus aksesorius dan arteri vena transvesalis koli apakah terdapat pembesaran.
3. Pemeriksaan saraf kranial
Terhadap saraf kranial tidak hanya memerlukan pemeriksaan cermat sesuai prosedur rutin satu persatu , tapi pada kecurigaan paralisis otot mata, kelompok otot kunyah dan lidah kadang perlu diperiksa berulang kali, barulah ditemukan hasil yang positif
4. Pemeriksaan serologi virus EB
Dewasa ini, parameter rutin yang diperiksa untuk penapisan kanker nasofaring adalah VCA-IgA, EA-IgA, EBV-DNAseAb. Hasil positif pada kanker nasofaring berkaitan dengan kadar dan perubahan antibodi tersebut. Bagi yang termasuk salah satu kondisi berikut ini dapat dianggap memilki resiko tinggi kanker nasofaring :
a) Titer antibodi VCA-IgA >= 1:80
b) Dari pemeriksaan VCA-IgA, EA-IgA dan EBV-DNAseAb, dua diantara tiga indikator tersebut positif.
c) Dua dari tiga indikator pemeriksaan diatas, salah satu menunjukkan titer yang tinggi kontinyu atau terus meningkat.
Bagi pasien yang memenuhi patokan tersebut , harus diperiksa teliti dengan nasofaringoskop elektrik , bila perlu dilakukan biopsi. Yang perlu ditekankan adalah perubahan serologi virus Eb dapat menunjukkan reaksi positif 4 – 46 bulan sebelum diagnosis kanker nasofaring ditegakkan.
5. Diagnosis pencitraan.
menetapkan zona target terapi, merancang medan radiasi, memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi dan pemeriksaa tingkat lanjut.
b) Pemeriksaan MRI : MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat serentak membuat potongan melintang, sagital, koronal, sehingga lebih baik dari pada CT. MRI selai dengan jelas memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga dapat secara lebih dini menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan antara fibrosis pasca radioterapi dan rekurensi tumor , MRI juga lebih bermanfaat .
c) Pencitraan tulang seluruh tubuh : berguna untuk diagnosis kanker nasofaring dengan metastasis ke tulang, lebih sensitif dibandingkan rongtsen biasa atau CT, umumnya lebih dini 4-6 bulan dibandingkan rongsen. Setelah dilakukan bone-scan, lesi umumnya tampak sebagai akumulasi radioaktivitas, sebagian kecil tampak sebagai area defek radioaktivitas. Bone-scan sangat sensitif untuk metastasis tulang, namun tidak spesifik . maka dalam menilai lesi tunggal akumulasi radioaktivitas , harus memperhatikan riwayat penyakit, menyingkirkan rudapaksa operasi, fruktur, deformitas degeneratif tulang, pengaruh radio terapi, kemoterapi, dll.
d) PET ( Positron Emission Tomography ) : disebut juga pencitraan biokimia molukelar metabolik in vivo. Menggunakan pencitraan biologismetabolisme glukosa dari zat kontras 18-FDG dan pencitraan anatomis dari CT yang dipadukan hingga mendapat gambar PET-CT . itu memberikan informasi gambaran biologis bagi dokter klinisi, membantu penentuan area target biologis kanker nasofaring , meningkatka akurasi radioterapi, sehingga efektifitas meningkat dan rudapaksa radiasi terhadap jaringan normal berkurang.
6. Diagnosis histologi
E. Diagnosa Keperawatan (NANDA)
1. Nyeri akut berhubungan dengan pengaruh kanker pada nasofaring ditandai dengan melaporkan atau mengeluh nyeri secara verbal dengan skala nyeri … (0-10), posisi untuk menahan nyeri, ingkah laku berhati-hati, gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai), terfokus pada diri sendiri, fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan), tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas, aktivitas berulang-ulang), respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi pupil), perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku), tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah), perubahan dalam nafsu makan dan minum
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas akibat sekresi yang tertahan ditandai dengan menyatakan kesulitan untuk bernafas (Dispnea), penurunan suara nafas, ortopnea, sianosis, suara nafas tambahan, kesulitan berbicara, batuk tidak efektif atau tidak ada, sputum dalam jumlah berlebihan, gelisah, perubahan frekuensi dan irama nafas, mata terbuka lebar.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan asupan nutrisi yang tidak adekuat ditandai dengan nyeri abdomen, muntah, kejang perut, rasa penuh tiba-tiba setelah makan, diare, rontok rambut yang berlebih, kurang nafsu makan, bising usus berlebih, konjungtiva pucat, denyut nadi lemah.
4. Kurang Pengetahuan berhubungan dengan interpretasi terhadap informasi yang salah ditandai dengan menyatakan secara verbal adanya masalah, ketidakakuratan mengikuti instruksi, perilaku tidak sesuai
5. Risiko aspirasi berhubungan dengan gangguan menelan
F. Perencanaan Keperawatan (NOC, NIC) Diagnosa
Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Nyeri akut
berhubungan
dengan pengaruh
kanker pada keperawatan selama …. pasien tidak mengalami nyeri, dengan kriteria hasil:
a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri e. Tanda vital dalam rentang
normal
f. Tidak mengalami
NIC :
a. Lakukan
pengkajian nyeri secara
komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi b. Observasi reaksi
nonverbal dari ketidaknyamanan c. Bantu pasien dan
keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan d. Kontrol
lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
gangguan tidur presipitasi nyeri f. Kaji tipe dan
sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
g. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi,
distraksi, kompres hangat/dingin h. Berikan analgetik
untuk mengurangi nyeri
i. Tingkatkan istirahat
j. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi
ketidaknyamanan dari prosedur k. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian
kali Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas akibat sekresi yang tertahan
NOC:
a. Respiratory status : Ventilation (ventilasi tidak terganggu)
b. Respiratory status : Airway patency (kepatenan jalan napas) c. Aspiration Control
(pencegahan aspirasi) dengan kriteria hasil :
a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dispnea (mampu mengeluarkan sputum, bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
b. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, c. Anjurkan pasien
untuk istirahat dan napas dalam d. Posisikan pasien
untuk
memaksimalkan ventilasi
e. Lakukan
fisioterapi dada jika perlu
f. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction g. Auskultasi suara
nafas, catat
abnormal)
l. Atur intake untuk cairan adekuat untuk mengencerkan secret
o. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang penggunaan berhubungan dengan asupan nutrisi yang keperawatan selama…. nutrisi kurang teratasi dengan indikator:
a. Albumin serum b. Pre albumin serum
NIC:
c. Hematokrit d. Hemoglobin
e. Total iron binding capacity f. Jumlah limfosit
tinggi serat untuk mencegah
konstipasi
d. Ajarkan pasien bagaimana
membuat catatan makanan harian. e. Monitor adanya
penurunan BB dan gula darah f. Monitor
lingkungan selama makan g. Jadwalkan
pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan
h. Monitor turgor kulit
i. Monitor kekeringan, rambut kusam, total protein, Hb dan kadar Ht j. Monitor mual dan
muntah
k. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan
l. Monitor intake nuntrisi
m. Informasikan pada klien dan keluarga tentang manfaat nutrisi n. Kolaborasi
dengan dokter tentang kebutuhan suplemen
makanan seperti
NGT/ TPN
sehingga intake cairan yang adekuat dapat dipertahankan. o. Atur posisi semi
fowler atau fowler tinggi selama makan p. Kelola pemberan
anti emetic
q. Anjurkan banyak minum
r. Pertahankan terapi IV line s. Catat adanya
edema, hiperemik,
hipertonik papila lidah dan cavitas oval
berhubungan dengan interpretasi terhadap informasi yang salah
a. Kowlwdge : disease process
b. kowledge : health c. Behavior
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. pasien menunjukkan pengetahuan tentang proses penyakit dengan kriteria hasil:
a. Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan
b. Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar
c. Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya
patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
c. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat
d. Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang
cara yang tepat g. Sediakan bagi
keluarga
informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat
h. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan second opinion dengan cara yang
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama…. pasien
NIC:
a. Monitor tingkat kesadaran, reflek
batuk dan
kemampuan menelan
tidak mengalami aspirasi mengunyah tanpa terjadi aspirasi, dan mampu
d. Lakukan suction jika diperlukan e. Cek nasogastrik
sebelum makan
berhubungan dengan prosedur invasif,
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama…… pasien tidak mengalami
infeksi dengan kriteria hasil: a. Pasien bebas dari tanda
pengunjung bila perlu
c. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
keperawatan d. Gunakan baju,
sarung tangan sebagai alat pelindung
d. Menunjukkan perilaku hidup sehat
e. Status imun,
gastrointestinal,
genitourinaria dalam batas normal
dressing sesuai dengan petunjuk umum
f. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing
g. Tingkatkan intake nutrisi h. Berikan terapi
antibiotic
i. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local
j. Pertahankan teknik isolasi k/p k. Inspeksi kulit
dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase l. Monitor adanya
luka
m. Dorong masukan cairan
n. Dorong istirahat o. Ajarkan pasien
p. Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4 jam
G.Pelaksanaan : tindakan kritis 1. Indikasi Pemberian O2
Indikasi utama pemberian O2 adalah sebagai berikut: (1) klien
dengan kadar O2 arteri rendah dari hasil analisa gas darah, (2) klien
dengan peningkatan kerja nafas, dimana tubuh berespon terhadap keadaan hipoksemia melalui peningkatan laju dan dalamnya pernapasan serta adanya kerja otot-otot tambahan pernapasan, (3) klien dengan peningkatan kerja miokard, dimana jantung berusaha untuk mengatasi gangguan O2 melalui peningkatan laju pompa jantung yang adekuat.
Berdasarkan indikasi utama di atas maka terapi pemberian O2
diindikasikan kepada klien dengan gejala : (1) sianosis, (2) hipovolemi, (3) perdarahan, (4) anemia berat, (5) keracunan CO, (6) asidosis, (7) selama dan sesudah pembedahan, (8) klien dengan keadaan tidak sadar.
2. Metode Pemberian O2
a. Sistem Aliran Rendah
Tehnik system aliran rendah diberikan untuk menambah konsentrasi udara ruangan. Tehnik ini menghasilkan FiO2 yang bervariasi tergantung pada tipe pernapasan dengan patokan volume tidal pasien. Pemberian O2 sistem aliran rendah ini
ditujukan untuk klien yang memerlukan O2 tetapi masih mampu
bernapas dengan pola pernapasan normal, misalnya klien dengan volume tidal 500 ml dengan kecepatan pernapasan 15-20 kali/menit.
dengan kantong rebreating, (5) sungkup muka dengan kantong non rebreating.
Keuntungan dan kerugian dari masing-masing system : 1) Kateter Nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 secara kontinu dengan aliran 1-6 L/menit
dengan konsentrasi 24%-44%. Keuntungannya adalah pemberian O2 stabil, klien bebas bergerak, makan dan
berbicara, murah dan nyaman, serta dapat juga dipakai sebagai kateter penghisap. Adapun kerugiannya adalah tidak dapat memberikan konsentrasi O2 yang lebih dari
45%, tehnik memasukkan kateter nasal lebih sulit dari kanula nasal, dapat terjadi distensi lambung, dapat terjadi iritasi selaput endir nasofaring, aliran dengan lebih dari 6 L/ menit dapat menyebabkan nyeri sinus dan mengeringkan mukosa hidung, kateter mudah tersumbat.
2) Kanula Nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 kontinu dengan aliran 1-6 L/menit dengan
konsentrasi O2 sama dengan kateter nasal. Keuntungannya
adalah pemberian O2 stabil dengan volume tidal dan laju
pernapasan teratur, mudah memasukkan kanul dibanding kateter, klien bebas makan, bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir klien dan nyaman. Kerugiannya adalah tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari 44%,
suplai O2 berkurang bila klien bernapas lewat mulut, mudah
lepas karena kedalaman kanul hanya 1 cm, mengiritasi selaput lender.
3) Sungkup Muka Sederhana
Merupakan alat pemberian O2 kontinu atau
selang-seling 5-8 L/menit dengan konsentrasi O2 40-60%.
tinggi dari kateter atau kanul nasal, system humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan sungkup berlobang besar, dapat digunakan dalam pemberian terapi aerosol. Adapun kerugiannya adalah tidak dapat memberika konsentrasi O2 kurang dari 40%, dapat menyebabkan
penumpukan CO2 jika aliran rendah.
4) Sungkup Muka dengan Kantong Rebreating
Suatu tehnik pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi
yaitu 60-80% dengan aliran 8-12 L/menit. Keuntungannya adalah konsentrasi O2 lebih tinggi dari sungkup muka
sederhana, tidak mengeringkan selaput lender. Kerugiannya adalah tidak dapat memberikan O2 konsentrasi rendah, jika
aliran lebih rendah dapat menyebabkan penumpukan CO2,
kantong O2 bisa terlipat.
5) Sungkup Muka dengan Kantong non Rebreating
Merupakan tehnik pemberian O2 dengan konsentrasi O2
mencapai 99% dengan aliran 8-12 L/menit dimana udara inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi. Keuntungannya adalah konsentrasi O2 yang diperoleh dapat
mencapai 100%, tidak mengeringkan selaput lender. Kerugiannya adalah kantong O2 bisa terlipat.
b. Sistem Aliran Tinggi
Suatu tehnik pemberian O2 dimana FiO2 lebih stabil dan
tidak dipengaruhi oleh tipe pernapasan, sehingga dengan tehnik ini dapat menambahkan konsentrasi O2 yang lebih tepat dan
teratur.
Adapun contoh tehnik system aliran tinggi yaitu, sungkup muka dengan ventury. Prinsip pemberian O2 dengan alat ini yaitu
gas yang dialirkan dari tabung akan menuju ke sungkup yang kemudian akan dihimpit untuk mengatur suplai O2 sehingga
aliran udara yang dihasilkan lebih banyak. Aliran udara pada alat ini sekitar 4-14 L/menit dengan konsentrasi 30-55%.
Keuntungannya adalah konsentrasi O2 yang diberikan
konstan sesuai dengan petunjuk pada alat dan tidak dipengaruhi perubahan pola napas terhadap FiO2, suhu dan kelembapan gas dapat dikontrol serta tidak terjadi penumpukan CO2. Kerugian
sistem ini pada umumnya hamper sama dengan sungkup muka yang lain pada aliran rendah.
H.Evaluasi
Hasil yang diharapkan :
1. Pasien dapat mengontrol nyeri, nyeri berkurang, mengenali nyeri, menyatakan rasa nyaman, tanda vital dalam rentang norma, dan tidak mengalami gangguan tidur.
2. Pasien menunjukkan jalan nafas yang paten, dapat mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dispnea, mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang penyebab, foto thorak dalam batas normal, saturasi O2 dalam batas normal
3. Nutrisi kurang pada pasien teratasi
4. Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan, pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar. pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya.
5. Pasien dapat bernafas dengan mudah, tidak irama, frekuensi pernafasan normal, pasien mampu menelan, mengunyah tanpa terjadi aspirasi, dan mampu melakukan oral hygiene, jalan nafas paten, mudah bernafas, tidak merasa tercekik dan tidak ada suara nafas abnormal.
menunjukkan perilaku hidup sehat, status imun, gastrointestinal, genitourinaria dalam batas normal.
Daftar Pustaka
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC. Jakarta.
Ikhsanuddin. 2013. Keperawatan. http://repository.usu .ac.id/bitstream /12345 6789/3583/1/keperawatan-ikhsanuddin2.pdf
NANDA International. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC.