• Tidak ada hasil yang ditemukan

LEVEL OF KNOWLEDGE, ATTITUDES, AND PRACTICES IN COMMUNITY BASED ON FILARIASIS HISTORY IN SOKARAJA KULON VILLAGE, SOKARAJA SUBDISTRICT, BANYUMAS REGENCY 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "LEVEL OF KNOWLEDGE, ATTITUDES, AND PRACTICES IN COMMUNITY BASED ON FILARIASIS HISTORY IN SOKARAJA KULON VILLAGE, SOKARAJA SUBDISTRICT, BANYUMAS REGENCY 2013"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU (PSP) MASYARAKAT

BERDASARKAN RIWAYAT FILARIASIS DI DESA SOKARAJA KULON,

KECAMATAN SOKARAJA, KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 2013

Diana Andriyani Pratamawati1*, Siti Alfiah1

1

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit, Jl. Hasanudin No.123 Salatiga 50721

Abstract

Until the beginning of 2013, there were 40 people suffering from chronic filariasis spread in 16 health centers in the district of Banyumas, Central Java. Until mid-2013, the availability of information on the social aspects that play a role in the transmission of filariasis in conjunction with parasites, vectors and humans in the district of Banyumas is still very limited. Research aims to illustrate the level of knowledge, attitudes, and practices of the people who live in areas with a history of transmission of filariasis. The research was carried out in April 2013 located in Sokaraja Kulon Village area of Sokaraja Community Health Center, Sokaraja Subdistrict, Banyumas Regency. The study was cross-sectional with a number of respondents interviewed as many as 67 people, and samples were taken for fingerprick blood samples as many as 500 people. Fingerprick blood samples results in the Village Sokaraja Kulon to 500 people showed negative results. However, from the results of interviews with 67 respondents note that there was one person of respondents who had history of chronic filarisis. Respondents with a history of filariasis was supportive, but his practices was less. Meanwhile, respondents without history of filariasis being not supportive, but his practices was good regarding the transmission of filariasis.

Keywords: Filariasis, practices, Banyumas

LEVEL OF KNOWLEDGE, ATTITUDES, AND PRACTICES IN COMMUNITY

BASED ON FILARIASIS HISTORY IN SOKARAJA KULON VILLAGE,

SOKARAJA SUBDISTRICT, BANYUMAS REGENCY 2013

Abstrak

Sampai dengan awal tahun 2013 tercatat sebanyak 40 orang menderita filariasis kronis yang tersebar di 16 puskesmas di wilayah Kabupaten Banyumas, JawaTengah.Hingga pertengahan tahun 2013, ketersediaan informasi mengenai aspek sosial yang berperan dalam penularan filariasis dalam hubungannya dengan parasit, vektor dan manusia di wilayah Kabupaten Banyumas masih sangat terbatas.Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat tentang penularan filariasis yang berada di daerah dengan riwayat filariasis. Lokasi penelitian berada di wilayah kerja Puskesmas Sokaraja I yaitu di Desa Sokaraja Kulon Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumaspada bulan April 2013. Jenis penelitian ini adalah cross-sectional dengan jumlah responden diwawancarai sebanyak 67 orang dan sampel yang diambil untuk survei darah jari (SDJ) sebanyak 500 orang.Hasil sampel SDJ di Desa Sokaraja Kulon terhadap 500 orang menunjukkan hasil yang negative, sedangkan dari hasil wawancara terhadap 67 responden diketahui bahwa ada satu orang responden yang pernah mengalami filarisis kronis.Gambaran tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku, antara responden dan yang tidak pernah mengalami filariasis, yaitu meskipun tingkat pengetahuan sama-sama cukup namun dalam bersikap dan berperilaku terhadap penularan filariasis tidak sama. Responden dengan riwayat filariasis bersikap mendukung,

*

(2)

namun perilakunya kurang. Sementara itu, responden tanpa riwayat filariasis bersikap tidak mendukung, namun perilakunya baik mengenai penularan filariasis.

Kata Kunci: Filariasis, perilaku, Banyumas

Naskah masuk: tanggal 26 Oktober 2015; Review I: tanggal ; Review II: 11 Maret 2016; Layak terbit: tanggal 23 Juni 2016

PENDAHULUAN

Filariasis (kaki gajah) telah dikenal di Indonesia sejak tahun 1889 dan sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Sampai tahun 2002 kurang lebih 10 juta penduduk sudah terinfeksi penyakit ini, dengan jumlah penderita kronis (elephantiasis) kurang lebih 6.500 orang, dimana vektor penyakit kaki gajah adalah nyamuk.1,2

Penyakit filariasis atau kaki gajah tergolong sebagai salah satu masalah kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia. Hampir seluruh wilayah Indonesia termasuk daerah endemis filariasis, terutama wilayah Indonesia bagian Timur yang memiliki prevalensi lebih tinggi. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, sampai dengan tahun 2014 terdapat lebih dari 14 ribu orang menderita klinis kronis filariasis yang tersebar pada semua provinsi di Indonesia. Secara epidemiologi, lebih dari 120 juta penduduk Indonesia berada di daerah yang berisiko tinggi tertular filariasis. Sampai akhir tahun tahun 2014, terdapat 235 kabupaten/kota endemis filariasis dari 511 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis ini dapat bertambah karena masih ada beberapa kabupaten/kota yang belum terpetakan.3 Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah endemis filariasis di Indonesia. Berdasarkan profil kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 secara kumulatif jumlah kasus filariasis sebanyak 565 orang dan ditemukan 10 kasus baru yang tersebar di 8 kabupaten/kota.4 Kabupaten Banyumas merupakan salah satu kabupaten yang termasuk daerah endemis filariasis. Sejak tahun 2008 hingga 2011 kasus yang ditemukan cenderung fluktuatif masing-masing 7, 4, 1, 3.5 Kasus yang ditemukan merupakan kasus kronis. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten

Banyumas, sampai dengan awal tahun 2013 tercatat sebanyak 40 orang menderita filariasis kronis yang tersebar di 16 wilayah puskesmas di wilayah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Pada tahun 2012, Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas telah melakukan survei darah jari (SDJ) di tiga desa pada tiga wilayah puskesmas dengan kasus filariasis kronis terbanyak, yaitu Desa Kalisube wilayah Puskesmas Banyumas, Desa Alasmalang wilayah Puskesmas Kemranjen II, dan Desa Rawalo wilayah Puskesmas Rawalo. Namun demikian, dari 700 sampel darah yang diambil dari warga di 3 wilayah desa tersebut, tidak ditemukan adanya warga yang positif mengandung mikrofilaria.

Kegiatan eliminasi filariasis diprioritaskan pada daerah endemis filariasis. Penentuan endemisitas filariasis dilakukan dengan cara survei darah jari pada setiap kabupaten/kota. Endemisitas filariasis di kabupaten/kota ditentukan berdasarkan survei pada desa yang memiliki kasus kronis paling tinggi, dengan memeriksa darah jari 500 orang yang tinggal disekitar tempat tinggal penderita kronis tersebut pada malam hari.

Mikrofilaria rate (Mf) 1% atau lebih

merupakan indikator suatu kabupaten/kota menjadi daerah endemis filariasis. Mf rate dihitung dengan cara membagi jumlah sediaan yang positif mikrofilaria dengan jumlah sediaan darah yang diperiksa dikali seratus persen. Tingkat endemisitas di Indonesia berkisar antara 0%-40%, dengan endemisitas setiap provinsi dan kabupaten berbeda-beda.6

Penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria (Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori) yang hidup di saluran dan kelenjar getah bening ini memperlihatkan gejala demam berulang dan peradangan saluran getah bening yang

retrograd serta peradangan kelenjarnya.

(3)

memberikan penyumbatan pada aliran getah bening tersebut atau pecahnya saluran ini akibat bendungan tadi dengan memberikan gejala antara lain: Elephantiasis, hydrocele, dan cyluria.7 Penyakit kaki gajah merupakan penyebab utama kecacatan, stigma sosial, hambatan psikososial yang menetap dan menurunkan produktifitas kerja individu, keluarga dan masyarakat sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang besar.1,2

Wilayah Desa Sokaraja Kulon termasuk dalam area Puskesmas Sokaraja I. Kasus filariasis di wilayah Puskesmas Sokaraja I pada tahun 2012 terdapat 3 kasus filariasis kronis (7,5 % dari total kasus di Banyumas tahun 2012).8 Hingga kini, informasi mengenai aspek sosial yang berperan dalam penularan filariasis dalam hubungannya dengan parasit, vektor dan manusia di wilayah Kabupaten Banyumas masih sangat terbatas, mengingat kegiatan survei yang sudah sejak tahun 2002 tidak dilaksanakan lagi. Hal itu penting untuk diketahui agar dapat digunakan oleh berbagai pihak, terutama pengelola program dalam rangka eliminasi filariasis yang telah menjadi program nasional sebagai konsekuensi kesepakatan global dalam Global Elimination of Lymphatic

Filariasis (GELF) yang dicanangkan WHO.

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku tentang penularan filariasis pada individu dengan riwayat filariasis di wilayah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

METODE

Penelitian dilakukan di wilayah Puskesmas Sokaraja I di Kabupaten Banyumas, yaitu di Desa Sokaraja Kulon Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumas. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2013. Desain penelitian menggunakan model cross-sectional. Pemilihan lokasi didasarkan pada adanya informasi dari petugas pemegang program filariasis Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Banyumas yang menyebutkan adanya kasus filariasis pada daerah tersebut.

Survei darah jari merupakan identifikasi mikrofilaria dalam darah tepi pada suatu populasi yang bertujuan untuk menentukan endemisitas daerah tersebut dan intensitas infeksinya. Survei darah jari dilakukan pada daerah yang mempunyai kasus kronis terbanyak. Populasi survei adalah penduduk berusia > 13 tahun. Jumlah sampel yang diambil di setiap desa lokasi survei adalah 500 orang. Apabila jumlah sampel tidak mencukupi maka sampel diambil dari desa bersebelahan. Cara pengambilan sampel adalah mengumpulkan penduduk sasaran survai yang tinggal disekitar kasus kronis yang ada di desa lokasi survei. Pengambilan darah dilakukan pada pukul 20.00 malam.3 SDJ dilakukan dengan mengumpulkan warga yang tinggal disekitar kasus filariasis di Desa Sokaraja Kulon untuk dilakukan pengambilan sediaan darah.

Populasi dalam penelitian ini adalah penduduk yang diambil darah jarinya dalam SDJ yaitu sebanyak 500 orang. Pengambilan responden yang diwawancarai diambil dari 500 orang peserta SDJ dengan rumus sampel berdasarkan proporsi. Sampel responden yang diwawancarai diambil dengan cara purposive berdasarkan kriteria inklusi yang telah ditentukan. Cara perhitungan sampel minimal menggunakan rumus jumlah sampel untuk proporsi populasi menggunakan rumus Lwanga & Lemeshow (2000).9 Berikut perhitungannya:

Keterangan : n = jumlah sampel

= statistik Z, dengan tingkat kepercayaan 95% dan α = 5%, sehingga Z=1,96

p = perkiraan proporsi (prevalensi)= 0,2 q = 1-p = 0,8

d = delta, presisi absolut atau margin of error yang diinginkan di kedua sisi proporsi = 10%

(4)

adalah 62orang. Pengumpulan data wawancara dilakukan lewat wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner. Kriteria inklusi responden penelitian ini antara lain:

a) Penderita yang pernah atau belum pernah menderita filariasis di daerah penelitian, baik laki-laki maupun perempuan.

b) Telah berumur lebih dari 15 tahun (dianggap telah dapat menjawab pertanyaan).

c) Bertempat tinggal minimum 1 tahun di daerah tersebut.

d) Bersedia diwawancarai.

Data yang dikumpulkan meliputi variabel dependen yaitu perilaku responden tentang kegiatan sehari-sehari, cara penularan, cara mencari pertolongan/berobat, cara pencegahan filariasis dan variabel independen yaitu meliputi karakteristik responden (jenis kelamin, posisi dalam RT/masyarakat, umur, pendidikan dan sosial ekonomi), kondisi rumah, lama tinggal di daerah tersebut, pengetahuan, persepsi, penularan, pencegahan dan pemberantasan filariasis, kebiasaan berkaitan dengan filariasis dan penyuluhan (ceramah, buku panduan, diskusi) tentang filariasis yang pernah diberikan.

Untuk analisis data menggunakan pengkategorian tingkat pengetahuan responden menggunakan hasil pengukuran mean dan standar deviasi terhadap skor jawaban responden. Dimana dibuat tiga (3) kategori yaitu baik, cukup, dan kurang. Pengkategorian tingkat pengetahuan responden menggunakan parameter 10:

1. Baik, bila nilai responden (x)>mean+1 SD

2. Cukup, bila nilai responden mean–1 SD < x < mean + 1 SD

3. Kurang, bila nilai responden (x)< mean– 1 SD

Pengkategorian sikap responden menggunakan Skor T. Penggunaan Skor T biasa digunakan untuk mengkategorikan sikap.10 Pengkategorian sikap didasarkan atas mean T . Dasar pengkategorian adalah: bila skor T responden > mean T

berarti mendukung, dan bila skor T

responden ≤ mean T berarti tidak

mendukung.10 Adapun rumus mencari skor T adalah 50+10(skor Z). Skor Z diperoleh dari rumus :

Z =

Selain untuk pengukuran sikap, untuk pengkategorian perilaku juga mempergunakan mean dari Skor T. Dasar pengkategorian perilaku yaitu bila skor T responden > mean T berarti Baik, dan bila skor T responden ≤ mean T berarti Kurang.10 Dasar pengkategorian mempergunakan mean dari Skor T pada sikap dan perilaku, karena lebih mudah digunakan dan lebih reliabel untuk pengkategorian dikotomi, karena dalam pengukuran perilaku menggunakan dua

kategori (dikotomi) yaitu kategori “Baik” dan “Buruk”.10

HASIL

Hasil pemeriksaan terhadap 500 sampel SDJ yang dilakukan di Laboratorium B2P2VRP diperoleh hasil semuanya negatif cacing filaria. Sehingga tidak diketahui jenis cacing yang menyebabkan filariasis maupun sumber penularannya.

Untuk jumlah responden diwawancarai diperoleh sebanyak 67 orang dan didukung 1 orang petugas Dinas Kesehatan Banyumas yang menangani masalah filariasis. Responden 67 orang yang diwawancarai ini juga termasuk dalam sampel yang diambil contoh darah jarinya. Untuk menunjang hasil, diperoleh keterangan wawancara dari 1 (satu) orang petugas dinas kesehatan Banyumas yang menangani program pengendalian filariasis di Kabupaten Banyumas.

a. Karakteristik Responden

(5)

Tabel 1. Karakteristik responden di Desa Sokaraja Kulon Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumas Tahun 2013

No Karakteristik Frekuensi (n=67) Persentase (%)

1. Jenis kelamin Laki-laki 8 11,9

Perempuan 59 88,1

2. Klasifikasi Umur 0-14 Tahun 2 3,0

15 - 49 Tahun 31 46,3

> 50 Tahun 34 50,7

3. Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah 6 9,0

SD/MI 42 62,7

SMP/MTS 8 11,9

SMA/SMK/MA 10 14,9

Perguruan Tinggi 1 1,5

4. Pekerjaan Petani 1 1,5

Pedagang/Wiraswasta 6 9,0

Karyawan Swasta 4 6,0

Buruh 23 34,3

Ibu Rumah Tangga 4 6,0

Sekolah 4 6,0

Tidak Bekerja 6 9,0

Lainnya 4 6,0

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa sebagian responden di Desa Sokaraja Kulon, Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas berjenis kelamin perempuan sebanyak 59 orang (88,1%) dengan klasifikasi umur mayoritas lebih dari 50 tahun sebanyak 34 orang (50,7%). Sementara untuk tingkat pendidikan sebagian besar adalah Sekolah Dasar / SD sebanyak 42 orang (62,7%) dan jenis pekerjaan sebagian besar responden adalah buruh sebanyak 23 orang (34,3%).

b. Riwayat Filariasis Responden

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disajikan pada Tabel

2 yaitu dari 67 responden yang diwawancarai, diketahui mayoritas responden sebanyak 66 orang (98,5%) sebelumnya tidak pernah sakit filariasis. Berdasarkan riwayat responden bepergian ke daerah filariasis diketahui bahwa seluruh responden (67 orang) menyatakan tidak pernah (100%). Selain itu, kegiatan yang dilakukan di malam hari sebelum tidur oleh sebagian besar responden yaitu istirahat sebanyak 15 orang (22,4%). Rincian selengkapnya mengenai riwayat serta aktifitas responden di malam hari dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.

Tabel 2. Riwayat responden mengenai filariasis di Desa Sokaraja Kulon Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumas Tahun 2013

Riwayat Responden Filariasis Frekuensi (n=67) Persentase (%)

Sebelumnya pernah sakit filariasis Ya 1 1,5

Tidak 66 98,5

Sebelumnya pernah bepergian ke daerah yang ada filariasis

Ya 0 0

(6)

Tabel 3. Kegiatan responden yang dilakukan di malam hari yang dapat kontak dengan nyamuk di Desa Sokaraja Kulon Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumas Tahun 2013

Kegiatan dimalam hari yang dapat kontak

dengan nyamuk Frekuensi Persentase (%)

Belajar 3 4,5

Beres-beres didalam rumah 1 1,5

Cuci piring, istirahat 1 1,5

Di rumah 12 17,9

Istirahat, tidur, menonton TV 18 26,8

Jam 2 malam persiapan berjualan 1 1,5

Mencuci 1 1,5

Menjahit, pengajian 1x seminggu, tidur jam 11.30

malam 1 1,5

Menonton tv, pengajian 2-3x xeminggu, tidur jam

09.30-10.00 malam 19 28,4

Pertemuan, istirahat 1 1,5

Tidak diisi 9 13,4

Total 67 100

c. Tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku responden mengenai filariasis

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku mengenai vektor, cara penularan, cara pengobatan, dan cara pencegahan filariasis di Desa Sokaraja Kulon Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumas. Pada Tabel 4 memperlihatkan tingkat pengetahuan responden mengenai filariasis (meliputi tanda penyakit, vektor, cara penularan, pencarian pengobatan, dan cara pencegahan) pada responden yang

memiliki riwayat filariasis tergolong pada kategori cukup (1 orang). Untuk kategori sikap pada responden pernah filariasis tergolong mendukung (1 orang) dan perilakunya tergolong kurang (1 orang). Sementara itu, responden yang tidak memiliki riwayat filariasis sebelumnya menunjukkan tingkat pengetahuan mayoritas tergolong cukup (37 orang), sedangkan sikapnya mayoritas tergolong tidak mendukung (38 orang), namun untuk kategori perilakunya mayoritas tergolong baik (40 orang).

Tabel 4. Tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku responden mengenai filariasis pada responden pernah mengalami filariasis sebelumnya di Desa Sokaraja Kulon Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumas Tahun 2013

Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku

Responden pernah filariasis sebelumnya

Ya (n=1) Tidak (n=66)

Pengetahuan

Baik 0 0

Cukup 1 37

Kurang 0 29

Sikap Mendukung 1 28

Tidak mendukung 0 38

Perilaku Baik 0 40

(7)

d. Hasil wawancara dengan Petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas mengenai program pengendalian filariasis

Meskipun pengetahuan dan perilaku responden tergolong cukup dan baik, namun masih berpotensi mengalami kejadian filariasis kembali saat melemahnya pengawasan serta pergerakan dari petugas kesehatan setempat. Kondisi ini diperkuat berdasarkan hasil wawancara dengan petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas yang menangani penanggulangan filariasis bahwa SDM dengan kemampuan mikroskopis filaria masih belum merata untuk menunjang keberhasilan diagnosa filariasis karena minimnya fasilitas pelatihan mikroskopis. Sementara tenaga analis yang dimiliki daerah sangat terbatas (dari 39 puskesmas hanya 25 % yang memiliki analis).

Keterbatasan SDM ini menggambarkan adanya potensi keterbatasan diagnosis filaria yang dapat mengakibatkan keterlambatan antisipasi serta kesalahan penanganan. Menurut petugas kesehatan yang menangani filariasis di Kabupaten Banyumas, program pengendalian filariasis yang dijalankan selama ini baru sebatas kegiatan Survei Darah Jari (SDJ) jika ada kasus filariasis (laporan kasus filariasis dari Rumah Sakit), serta hasil sediaan darah yang diperoleh dikroscekkan ulang hasilnya ke Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) dan Laboratorium Kesehatan Provinsi (Labkes Provinsi). Selain itu, Dinas Kesehatan juga mengadakan pelatihan untuk petugas mikroskopis microfilaria namun masih terbatas sebesar 50% dari jumlah puskesmas yang ada. Sehingga dalam menjalankan program pengendalian filariasis terdapat kendala–kendala yang dihadapi antara lain belum dapat mendeteksi adanya microfilaria, belum ada referensi kuesioner investigasi untuk kaki gajah (filariasis), serta tenaga analis sangat terbatas dari 39 puskesmas, hanya 25% yang benar-benar analis, banyak yang bekerja rangkap dari perawat dan bidan. Oleh karenanya, beliau mengusulkan untuk mengatasi kendala-kendala tersebut perlunya peningkatan pengetahuan tentang diagnosis filariasis untuk deteksi dini serta

peningkatan pelatihan petugas mikroskopisnya.

BAHASAN

Salah satu keadaan responden saat diwawancarai yaitu dalam keadaan salah satu kakinya membesar (filariasis kronis). Responden tersebut seorang ibu rumah tangga yang berumur 42 tahun. Hasil wawancara pada penderita kronis yang berusia 42 tahun berjenis kelamin perempuan menunjukkan bahwa sebelum sakit, responden bepergian ke daerah filarisis. Penularan filariasis berkaitan dengan mobilitas individu yang kontak dengan vektor filariasis terutama di daerah endemis filariasis, sebagaimana hasil penelitian Riftiana dan Soeyoko (2010) di Kabupaten Pekalongan yang menunjukkan hasil analisis statistik yang bermakna pada hubungan antara pekerjaan dengan kejadian filariasis, namun pada umur, jenis kelamin, serta perilaku tidak ada hubungan secara statistik yang bermakna.12 Sementara itu, beberapa perilaku dari responden yang perlu dicermati adalah lubang ventilasi rumahnya tidak tertutup kasa, tidur tidak menggunakan kelambu, tidak teratur membersihkan saluran limbah pembuangan limbah di sekitar rumah, dan tidak pernah mendapatkan penyuluhan mengenai filariasis dari petugas kesehatan. Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian dari Jontari dkk di Kabupaten Agam tahun 2010 yang menunjukkan rata-rata penderita filariasis berusia 45 tahun dengan rentang usia 10-80 tahun yang tidur tidak menggunakan kelambu dan tidak menggunakan kassa kelambu.11

(8)

responden pernah filariasis bersikap mendukung, namun perilakunya kurang. Sementara itu, responden tidak pernah filariasis bersikap tidak mendukung, namun perilakunya baik. Hasil ini menggambarkan bahwa sikap tidaklah selalu sejalan dengan perilaku dan perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap seseorang, sebab seringkali terjadi seseorang memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya.11 Sehingga meski sikap tergolong tidak mendukung, namun ternyata responden yang tidak pernah filariasis tergolong baik dalam perilaku sehari-hari menghadapi filariasis. Kondisi ini terkait dengan adanya fasilitas yang dimiliki dan lingkungan yang sesuai dalam pencegahan penularan filarisis. Demikian pula pada responden yang pernah mengalami filarisis sebelumnya, meski bersikap mendukung, namun perilaku sehari-hari ternyata rentan terhadap penularan filariasis. Sikap mendukung muncul ketika ada kesadaran penderita betapa berbahayanya filariasis, sedangkan perilaku kurang masih terkait dengan keberadaan fasilitas dan kondisi lingkungan di sekitar tempat tinggal responden tersebut yang kurang baik dalam pencegahan filariasis.11 Hasil penelitian Agustiantiningsih (2013) di Kota Pekalongan menunjukkan tingkat pengetahuan dan sikap berhubungan signifikan dengan praktik pencegahan filariasis, selain itu faktor lainnya yang berhubungan antara lain tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, persepsi, serta dukungan kepala keluarga.13

Kesadaran masyarakat untuk mencegah filariasis sangat berhubungan dengan tingkat pengetahuan dan sikap yang dimiliknya. Sebagaimana hasil penelitian Nazeh et.al (2014) di daerah Peninsular Malaysia menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen responden menyadari adanya penyakit filariasis limfatik beserta gejala umumnya dan sekitar 77 persen responden menunjukkan bahwa filariasis ditularkan oleh nyamuk, namun dari jumlah tersebut hanya 12 persen yang berpartisipasi serta menerima pengobatan.14 Kondisi ini berkaitan dengan hasil penelitian Shona et.al (2007) bahwa dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bagaimana masyarakat menggabungkan

sebab-akibat penyakit filarisis limfatik ke dalam sistem pengetahuan lokal mereka, sehingga pengetahuan mengenai peran nyamuk dalam mentransmisikan agen parasit filariasis belum baik dipahami di banyak komunitas daerah endemik, bahkan beberapa komunitas menganggap penularan filariasis bukan berasal dari nyamuk, dan dengan demikian tidak mengherankan jika hanya sedikit masyarakat yang memiliki kesadaran di daerah-daerah tersebut akan pentingnya meminimalkan kontak nyamuk untuk mencegah infeksi filaria.15

Keberhasilan eliminasi filariasis juga tergantung pada kemampuan, pemahaman, dan strategi petugas kesehatan yang menanganinya. Ketersediaan tenaga kesehatan khususnya analis kesehatan yang dapat mendeteksi filaria sejak dini mutlak diperlukan untuk mencegah keparahan akibat filariasis. Selain itu, dalam pencegahan filariasis, kendala pengobatan massal merupakan hal yang mengkhawatirkan petugas kesehatan. Karena adanya efek samping pengobatan seperti timbulnya demam, mual, muntah, pusing, sakit sendi serta badan, sebagai akibat dari bekerjanya obat dalam membunuh parasit. Hal ini harus disosialisasikan dengan jelas pada masyarakat terlebih dahulu. Sakit yang ditimbulkan akibat pemberian obat filaria dapat diatasi dengan pemberian obat balas oleh petugas medis atau paramedis yang telah disiapkan di lapangan untuk mengawasi jalannya pengobatan selama 3 hari dan menghindari penggunaan istilah efek samping pengobatan.12 Identifikasi strategi pengobatan filariasis dan pencegahan yang tepat dan berkelanjutan membutuhkan pemahaman yang luas seperti penyebab, konsekuensi dan cara pencegahan, termasuk dari persepsi penyakit lokal.15

(9)

awal filariasis untuk pencegahan sebelum kronis. Hal ini disebabkan masih terbatasnya SDM tenaga analis yang dapat mendeteksi filaria, sebagaimana hasil wawancara dengan responden petugas dari Dinas Kesehatan Banyumas. Ketersediaan SDM yang berkompeten sangat mendukung keberhasilan program eliminasi serta pencegahan filariasis yang lebih parah. Untuk mendukung ketersediaan SDM yang kompeten tersebut dapat pula dilakukan kerjasama lintas sektor dalam penanganan filariasis. Hasil penelitian Supali (2010) di Kabupaten Alor Provinsi NTT mengenai keberhasilan penanganan filariasis, dimana sebelum dilakukan intervensi, Kabupaten Alor merupakan daerah endemis filariasis dengan prevalensi infeksi filariasis (mf rate) yang bervariasi dari <1%-19%. Namun setelah dilakukan intervensi untuk mengetahui tingkat endemisitas dengan menjalin kerjasama lintas sektor yang kemudian dilanjutkan ke kegiatan intervensi berupa program eliminasi filariasis yang dicanangkan oleh WHO yang menggunakan obat kombinasi DEC 6mg/kg BB dan albendazol 400 mg pada semua orang berusia lebih dari 2 tahun selama 6 tahun. Dalam penelitian ini kerjasama dilakukan antara Subdit Filariasis, P2M PL Depkes RI, Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Alor, Pemerintah Daerah Kabupaten Alor, GTZ Siskes, dan Departemen Parasitologi, FKUI. Setelah dilakukan evaluasi pada desa dengan prevalensi tertinggi, menunjukkan hasil bahwa prevalensi infeksi sudah menurun dari 27% menjadi kurang dari 1% melalui pemeriksaan darah filtrasi.14

Terkait dengan keberhasilan peningkatan tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku pada masyarakat dalam pencegahan filariasis, dengan adanya persepsi penyakit filariasis yang bervariasi secara geografis (pengetahuan lokal), maka diperlukan studi mendalam tentang aspek-aspek sosial, budaya dan ekonomi dari penyakit filariasis yang lebih konteks-spesifik. Sehingga keterlibatan masyarakat dapat diperluas, tidak hanya sebatas konsultasi sepintas di awal keterlibatan (masa sosialisasi), namun juga dibangun kesadaran komunitas yang mendukung

serta mengarahkan perubahan berkelanjutan yang mendukung program eliminasi filariasis.15

KESIMPULAN

Pada penularan filarisis di Desa Sokaraja Kulon Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumas, hasil Survei Darah Jari (SDJ) yang dilakukan di Desa Sokaraja Kulon terhadap 500 sampel sediaan darah jari menunjukkan hasil yang negatif. Namun berdasarkan hasil wawancara pada 67 responden dari 500 orang peserta SDJ di Desa Sokaraja Kulon diketahui ada satu orang responden yang menderita filarisis kronis. Tingkat pengetahuan mengenai filariasis (meliputi tanda penyakit, vektor, cara penularan, pencarian pengobatan, dan cara pencegahan) pada responden, baik yang memiliki riwayat filariasis maupun yang tidak tergolong kategori cukup.

Responden pernah filariasis bersikap mendukung, namun perilakunya kurang. Sementara itu, responden tidak pernah filariasis bersikap tidak mendukung, namun perilakunya baik.

SARAN

Untuk mendukung keberhasilan deteksi awal pencegahan filariasis perlu dilakukan peningkatan SDM terkait kemampuan mikroskopis filaria. Selain itu, diperlukan kegiatan peningkatan pengetahuan pada responden mengenai filariasis agar tergolong kategori baik. Hal ini untuk menunjang keberhasilan program eliminasi filariasis khususnya di Kabupaten Banyumas

UCAPAN TERIMA KASIH

(10)

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI yang telah memberi kepercayaan kepada kami dalam melaksanakan penelitian ini dan Kepala B2P2VRP Salatiga yang telah memberi kesempatan kepada kami untuk menulis artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman penentuan daerah endemis penyakit kaki gajah (Filariasis). Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2002.

2. Joesoef A. Petunjuk pelaksanaan pemberantasan filariasis di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 1985.

3. Kementerian Kesehatan RI. Undang-undang PMK No.94 Tahun 2014 [Internet]. 2014. Tersedia di: http://www.depkes.go.id/resources/dow nload/info-terkini/PMK No. 94 ttg Penanggulangan Filariasis.pdf.

4. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Buku profil kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 [Internet]. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah; 2012. Tersedia di: http://www.depkes.go.id/resources/dow nload/profil/PROFIL_KES_PROVINSI_ 2012/13_Profil_Kes.Prov.JawaTengah_ 2012.pdf.

5. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Buku saku kesehatan tahun 2013 [Internet]. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah; Tersedia di: http://www.dinkesjatengprov.go.id/v201 0/dokumen/2014/SDK/Mibangkes/BUK U_SAKU_TH2013.pdf.

6. Departemen Kesehatan RI. Pedoman program eliminasi filariasis di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2005.

7. Leemingsawat ST, Deesin SV. Determination of filariae in mosquitoes, in practical entomology malaria and filariasis (Eds. Sucharit, S., S. Supavej). The Museum and Reference Centre,

Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University; 1987.

8. Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas. Materi evaluasi kegiatan program P2 demam berdarah dengue Kabupaten Banyumas Tahun 2012 [PPT].

9. Lwanga SKSL. Sample size determination in health studies (a practical manual). Geneva: World Health Organization; 2000.

10. Riwidikdo H. Statistik untuk penelitian kesehatan dengan aplikasi program R dan SPSS. Yogyakarta: Pustaka Rihama; 2010.

11. Riftiana N. Hubungan sosiodemografi dengan kejadian filariasis di Kabupaten Pekalongan. Kes Mas UAD. 2010;4(1):59–65.

12. Jontari H, Hari K, Supargiyono, Hamim, S. Faktor-faktor risiko kejadian penyakit lymphatic filariasis di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat Tahun 2010 Hutaga. OSIR (Outbreak, Surveillance, Investig Reports). 2014;7(1):9–15.

13. Agustiantiningsih D. Praktik pencegahan filariasis. J Kesehat Masy. 2013;8(2):25-31

14. Nazeh MA, Zurainee MN, Abdulhamid A, Abdulelah H, Al-Adhroey MM and MK. Lymphatic filariasis in Peninsular Malaysia: a cross-sectional survey of the knowledge, attitudes, and practices of residents. Parasit Vectors [Internet]. 2014; Tersedia di: https://parasitesandvectors.biomedcent ral.com/articles/10.1186/s13071-014-0545-z

15. Wynda S, Melroseb WD, Durrheimb DN, Carronb JMG. Understanding the community impact of lymphatic filariasis: a review of the sociocultural literature. Bull World Health Organ [Internet]. 2007;8(6):421–500. Tersedia di: http://www.who.int/bulletin/ volumes/85/6/06-031047/en/

Gambar

Tabel 2. Riwayat responden mengenai filariasis di Desa Sokaraja Kulon Kecamatan Sokaraja
Tabel 4. Tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku responden mengenai filariasis pada responden pernah mengalami filariasis sebelumnya di Desa Sokaraja Kulon Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumas Tahun 2013

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pra-eksperimen (uji coba) pencelupan pertama menghasilkan warna krem kecokelatan. Dengan melakukan pengulangan.. pencelupan 5, 10, dan 15 kali ternyata

Kemudian penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Nusa Muktiajdi dan Samuel Soemantri (2009) hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam 10 tahun data yang ada bahwa

Sebagai tambahan, Masuoka menjelaskan apabila posisi ungkapan waktu yang digayuti oleh partikel (-ni) berada dekat dengan topik kalimat, dan apabila setelah

Bahan ini dikenal sebagai anakardiol (rumus bangun pada gambar 1 lampiran) karena sudah didekarboksilasi, bahan gugus COOH yang reaktif akan terikat pada gugus

Apabila dikaitkan antara proyeksi pendapatan daerah dengan proyeksi belanja daerah Kabupaten Barru, maka jumlah pendapatan yang ada tidak mencukupi untuk mendanai

8. Apa makna dan simbol tradisi tuwuhan menurut pendapat anda? 9. Apa faktor-faktor penyebab pergeseran tadisi tuwuhan?.. Untuk tokoh masyarakat, perias pengantin dan MC pengantin

Sosialisasi dilakukan di Satlantas Polres Purworejo bertujuan untuk menjaring masyarakat yang pagi hari Minggu menikmati car free day, tidak hanya undangan dari pelajar

Jalur I dengan dominasi jumlah yang banyak didapat yaitu jenis Crematogester indet dengan jumlah 192 individu dan yang kedua Tetraponera attenuata dengan jumlah