• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Irasionalitas Persyaratan Pencalonan Perseorangan dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Irasionalitas Persyaratan Pencalonan Perseorangan dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

19 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Irasionalitas

Irasionalitas didefinisikan sebagai perihal tidak masuk akal. Irasionalitas juga diartikan sebagai tindakan diluar nalar.13 Irasionalitas dalam peraturan perundang-undangan menurut Max Weber terdiri dari 2 hal, yaitu:14

1. Hukum irrasional dan materiil yaitu dimana pembentuk undang-undang dan hakim mendasarkan keputusannya semata-mata pada nilai emosional tanpa menunjuk pada suatu kaidahpun

2. hukum irrasioanal dan formil yaitu dimana pembentuk undang-undang dan hakim berpedoman pada kaidah-kaidah diluar akal, oleh karena didasarkan pada wahyu atau ramalan.

13 Surayin, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Yrama Widya, Bandung, 2010, h. 347

(2)

20

Irasionalitas dalam penyusunan peraturan perundang-undangan juga mencakup dua hal, yaitu:15

1. Unreasonableness, yaitu peraturan yang dibentuk tidak rasional.

2. Propotionally, yaitu peraturan yang dibentuk justru misalnya membatasi hak-hak fundamental.

B. Prinsip Kesetaraan dalam Pemilihan

Hal yang sangat mendasar dari hak asasi manusia kontemporer adalah ide yang meletakkan semua orang terlahir bebas dan memiliki kesetaraan dalam hak asasi manusia. Kesetaraan mensyaratkan adanya perlakuan yang setara, di mana pada situasi sama harus diperlakukan dengan sama, dan dengan perdebatan, di mana pada situasi yang berbeda diperlakukan dengan berbeda pula. Masalah muncul ketika seseorang berasal dari posisi yang berbeda tetapi diperlakukan secara sama. Apabila perlakuan yang sama ini terus diberikan, maka tentu saja perbedaan ini akan terjadi

(3)

21

terus-menerus walaupun standar hak asasi manusia telah ditingkatkan. Oleh karena itulah penting untuk mengambil langkah selanjutnya guna mencapai kesetaraan.16

Tindakan afirmatif mengizinkan negara untuk memperlakukan secara lebih kepada kelompok tertentu yang tidak terwakili. Sebagai contoh, apabila seorang laki-laki dan perempuan dengan kualifikasi dan pengalaman yang sama melamar untuk perkerjaan yang sama, tindakan afirmatif dapat dilakukan dengan mengizinkan perempuan untuk diterima hanya dengan alasan karena lebih banyak laki-laki yang melamar di lowongan pekerjaan tersebut daripada perempuan. Contoh lain, beberapa negara mengizinkan masyarakat adat untuk mengakses pendidikan yang lebih tinggi dengan berbagai kebijakan yang membuat mereka diperlakukan secara lebih (favourable) dibandingkan dengan orang-orang non adat lainnya dalam rangka untuk mencapai kesetaraan. Tindakan afirmatif hanya dapat digunakan dalam suatu ukuran tertentu hingga kesetaraan itu dicapai, namun

(4)

22

ketika kesetaraan telah tercapai maka tindakan ini tidak dapat dibenarkan lagi.

Pelarangan terhadap diskriminasi adalah salah satu bagian penting prinsip kesetaraan. Apabila semua orang setara, seharusnya tidak ada perlakuan yang diskriminatif. Diskriminasi adalah kesenjangan perbedaan perlakuan dari perlakuan yang seharusnya sama/setara. Diskriminasi langsung adalah ketika seseorang baik langsung maupun tidak langsung diperlakukan dengan berbeda (less favourable) dari pada lainnya. Diskriminasi tidak langsung muncul ketika dampak dari hukum atau dalam praktek hukum merupakan bentuk diskriminasi, walaupun hal itu tidak ditujukan untuk tujuan diskriminasi. Misalnya, pembatasan pada hak kehamilan jelas akan berpengaruh lebih besar kepada perempuan daripada kepada laki-laki.17

Diskriminasi menurut Theodorson & Theodorson adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal,

(5)

23

atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan, kelas-kelas sosial. Istilah tersebut biasanya untuk melukiskan suatu tindakan dari pihak mayoritas yang dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwasanya diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.18

18Shaheen Muzaffar and Andreas Shedler, “The Comparative Study of

(6)

24

Prinsip HAM universal menyebutkan bahwa Negara wajib menjamin hak memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be elected). Karenanya, setiap negara diminta untuk menerbitkan peraturan perundang- undangandan upaya lain yang diperlukan untuk memastikan setiap warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan apapun memperoleh kesempatan yang efektif menikmati hak ini. Hak ini pada pokoknya, menjamin setiap warga negara untuk secara bebas turut serta dalam urusan publik dengan memilih wakil-wakilnya yang duduk di legislatif dan eksekutif. Karenanya, hak ini juga berkaitan dengan hak yang lain dan tidak dapat dipisahkan, yakni: kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul (fredoom of expressions, assembly and association).19

Prinsip dasar deklarasi hak asasi manusia adalah keinginan rakyat yang diharapkan menjadi basis pembentukan pemerintahan. Oleh karena itu, setiap orang mempunyai hak dasar untuk membentuk negara. Hak ini ditegaskan dalam the

(7)

25

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) khususnya pada pasal 25 yang menyatakan bahwa setiap penduduk seharusnya mempunyai hak dan kesempatan untuk memilih maupun untuk dipilih pada suatu pemilihan yang periodik tanpa ada pembedaan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, kepemilikan harta, maupun pembedaan- pembedaan lain. Lebih lanjut dikatakan bahwa pelaksanaan hak tersebut dilakukan dalam suatu pemilu yang periodik yang menjamin adanya kesetaraan hak untuk dipilih maupun memberikan suara secara rahasia yang menjamin kerahasiaan dan kebebasan berekspresi politik warga Negara.20

Tata kelola pemilu diselenggarakan sebagai ekspresi komitmen penjaminan hak dipilih maupun memilih. Hanya saja, manifestasinya dalam penataan yang diperlukan, bisa membelok ke arah yang tidak dikehendaki. Yang jelas, upaya perlindungan hak untuk dipilih dan memilih bagi warga

20 Thomas Zittel and Dieter Fuchs, Participatory Democracy and Political

(8)

26

negara ini tentu saja mengacu pada konsep kewarganegaraan. Lebih dari itu, pemikiran tentang electoral governance

maupun electoral regime, adalah derivat dari gagasan kewarganegaraan tersebut.21

Oleh karena itulah perlu dikaji lebih lanjut adalah bagaimana warga Negara didudukkan dalam kerangka pengembangan tatakelola pemilih (voters governance) ataupun tatakelola pemilu (electoral governance). Hal ini penting karena kerangka fikir yang biasa dipakai dalam

literature menggunakan urutan yang terbalik. Atas dasar pemahaman tentang regime yang ingin dibuat seperti apa atau

governance yang ingin dilaksanakan seperti apa, barulah kewarganegaraan (citizenship) dirumuskan apa kontribusinya dan bagaimana cara berkontribusinya. Oleh karena itu, perlu kiranya dipahami bagaimana konseptualisasi kewarganegaraan dalam pemikiran electoral governance and

electoral regime.22

21 Cornelis Lay, Involusi Politik: Esei-esei Transisi Indonesia, PLOD dan JIP Fisipol UGM Yogyakarta, , 2006, h .65

22 EE Schattschneider, The Semi Sovereign People, a realistic View of

(9)

27

Dalam memahami konseptualisasi kewarganegaraan ini, banyak dikemukakan mengenai konseptualisasi kewarganegaraan menurut Civic Republican dan Liberal. Menurut Civic Republican, kewarganegaraan diartikan sebagai keanggotaan masyarakat yang bisa mengatur dirinya sendiri, tergabung dalam institusi-institusi klasik dan praktek politik klasik atau yang turut serta dalam pemerintahan. Konsepsi klasik ini kemudian memerlukan kontrak sosial agar undang-undang yang dibuatnya bisa menjamin kebebasan warga negara dan menjadi legitimasi hukum.23 Oleh karena itu, dalam pandangan Civic Republican ini, warga negara harus menjadi agen politik. Untuk menjadi agen politik, warga negara dianggap sudah mempunyai pengetahuan yang cukup sehingga dapat berpartisipasi aktif dalam praktik-praktik politik. Sayangnya, pandangan Civic Republican ini mendapatkan kritik manakala akses kepada pengetahuan dan praktek politik yang terbatas atau tidak ada sama sekali

sehingga menjadi ‘agen politik’ hanyalah sebagai satu hal

(10)

28

yang menarik sesaat disamping hal-hal lain seperti misalnya fokusnnya pada kehidupan ekonomi maupun sosial. Kritik lain yang disampaikan terhadap Civic Republican adalah dalam upaya untuk melihat bagaimana fungsi kelembagaan dan praktek politik dapat berjalan dengan baik atau tidak. Untuk melihat berfungsinya kelembagaan negara itu, Elmer Eric Schattschenider pernah menyebutkan bahwa pada dasarnya banyak warga negara yang tidak menyadari apa yang terjadi dengan berbagai masalah politik, sehingga Schattscheider menyebutnya sebagai unrealistic expectation about the power of the people. Rakyat dianggap secara

realistis sebagai “ a semi sovereign people” karena hanya

(11)

29

dianggap bisa menjadi sarana agar demokrasi dapat dilaksanakan24.

Sementara itu dalam pandangan liberal, setiap warga negara mempunyai status hukum yang menjamin kebebasan politiknya. Dalam pandangan liberal, kebebasan politik adalah sesuatu yang secara konstan harus diperjuangkan. Hal ini tidak hanya soal kebebasan politik tetapi termasuk upaya-upaya untuk memberikan perlindungan terhadap kebebasan berpolitik. Dalam hal ini, merujuk pada pendapat Michael Walzer, hak politik dan perlindungan terhadap hak politik harus dipertahankan, harus diamankan meskipun terkadang bertentangan dengan penguasa. Meskipun warga negara bisa jadi hanya pasif, tetapi mereka tetap harus diberi pengetahuan mengenai hak-hak politik. Dengan demikian, kebebasan politik sebagai hal utama yang harus dilakukan terus menerus.25

24 Goul J. Andersen dan Jens Hoff. Democracy and Citizenship in

Scandinavia. Palgrave, New York, 2001, h. 2-3

25 Michael Walzer, What Rights for Illiberal Communities dalam Daniel A Bell and Avner de-Shalit (Ed), Forms of Justice. Critical Perspective’s on

(12)

30

Kontestasi antara pandangan kaum liberal dan Civic Republican ini yang menimbulkan friksi didalam prakteknya. Satu sisi, karena pandangan kaum Civic Republican

(13)

31

merespon kebutuhan kontemporer. Inilah yang menjadi sumber perdebatan, karena disatu sisi kalangan civic republican tidak memberi akses yang leluasa bagi aktifitas politik khususnya dalam formulasi undang-undang, di satu sisi yang lain, kalangan kaum liberal percaya bahwa politik itu netral dan menghendaki agar undang-undang bisa fleksibel menyesuaikan kebutuhan kontemporer sehingga kebebasan politik warga negara selalu dapat dijamin.26

Literatur electoral regime dan electoral governance

menyikapi persoalan kewarganegaraan dalam kerangka penjaminan peluang untuk menduduki jabatan publik melalui proses kontestasi. Yang menjadi fokus utamanya bukan pada hal yang paling mendasar, yakni pola relasi antara negara dan warga-negara. Dengan kata lain, pemilu diperlakukan sebagai peluang untuk melakukan transformasi diri warga negara untuk menjadi pejabat publik, bukan memperlakukan pemilu sebagai upaya untuk menghargai kedaulatan warga negara. Oleh karena orientasi ini, pemilu lebih diatur sebagai suatu

(14)

32

mekanisme prosedural agar transformasi warga Negara menjadi pejabat publik dapat berjalan dengan baik. Karena orientasi inilah, fokus penataan hubungan antara warga Negara dengan Negara tidak pernah menjadi bahasan. Seolah-oleh hubungan antara warga Negara dengan Negara sudah

‘given’ dan sempurna sehingga tidak perlu dilakukan penataan ulang. Kalaupun ada penataan ulang, jangkauannya sangat terbatas pada mekanisme internal, dan tidak tersentuh oleh pihak eksternal.27

Dalam pemikiran mengenai kewarganegaraan terdapat dua pemikiran mainstream yaitu pemikiran model Civic Republicanism dan model Liberalism. Pada awal pembahasan mengenai pemikiran kewarganegaraan berkutat pada dua model ini, meskipun dalam perkembangannya ada yang menyebut Communitarian maupun Neo Civic Republicanism sebagai pengembangan dari Civic Republicanism.28

Model civic republicanism diusung oleh Aristotles, Nicolo Machiavelli dan Rousseau, sedangkan model

(15)

33

democratic liberalism digagas oleh John Lock, John Stuart Mill, Thomas Hobbes, Amy Gutmann dan John Rawls. Penganut model civics republicanism mengajarkan bahwa kepentingan masyarakat, kebaikan bersama dan kepentingan publik adalah di atas kepentingan individu. Hak dan kewajiban individu diturunkan dari pemahaman tentang publik. Hal ini seperti diterangkan oleh Vontz sebagai berikut:29

For civic republicans, participation in political life on behalf of common good is superior to the individual and private pursuits of family and profession, and freedom for community outweighs individual rights to liberty. Civic republicans do not rest their theory on autonomous individual, but the shared autonomy of the community. Acting alone, individuals have little or no power to effectively address social problems pertaining to peace, economic prosperity, the quality of the natural environment and so forth. Such problems require individuals acting together for the common good

Model civic republicanism menekankan pentingnya

public life of the interests of community”. Dalam imajinasi penganut model ini, individu tidak bisa berbuat apa-apa kecuali bertindak bersama-sama atau memperjuangkan

(16)

34

kepentingan umum. Model ini menekankan pentingnya

kehidupan bermasyarakat atau “general will”, tetapi juga

memperhatikan kepentingan individu. Dalam kenyataannya kepentingan bersama dan kepentingan individu tidak bisa dipisahkan. “By helping to produce the general will through

participation in society, citizens guarantee protection of their

rights”.30

Sebaliknya, pemikiran politik yang menjadi acuan penataan dan pengkondisian dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia mengacu pada model model democratic liberalism. Model ini menekankan pada otonomi individu, kemerdekaan dan kebebasan individu sebelum kepentingan bersama atau kemauan bersama. Sejak dari awal, individu dibayangkan sebagai aktor yang otonom, dan oleh karena itu, mereka dengan serta-merta siap diperankan sebagai pemilik dan pengguna hak. Rawls mengatakan bahwa:31

As free persons, citizens recognize one another as having the moral power to have a conception of the

30Ibid, h. 40

31 John Rawls, Kantian Constructivism in Moral Theory, Journal of

(17)

35

good. This means that they do not view themselves as inevitably tied to the pursuit of the particular conception of the good and its final ends which they espouse at any given time. Instead, as citizens, they are regarded as, in general, capable of revising and changing this conception on reasonable and rational grounds. Thus it is held to be permissible for citizens to stand apart from conceptions of the good and to survey and assess their various final ends

Lebih dari itu, selama ini diasumsikan bahwa setiap individu adalah merdeka dan memiliki hak-hak tertentu yang memerlukan perlindungan. Untuk itu setiap individu harus

memasuki ‘kontrak’ demi terbentuknya pemerintahan yang

dapat melindungi hak-hak individu, kemerdekaan dan kebebasan yang dimiliki oleh setiap individu. Tentang hal hal ini, Vontz juga menjelaskan sebagai berikut:32

Thus, they make a social contract that creates civil society and government by consent of the governed to guarantee their rights. Participation in public life is not primarily for common good, but for protection of personal liberty and pursuit of one’s self-interest. Therefore, liberals tend to emphasize the rights of citizenship against the power of government and society which citizens create and maintain to serve them. Individuals are free to choose, within reasonable limits that prelude interference with other

people’s rights, their own particular conception of the good

life. From the liberal perspective, a good society is one in

(18)

36

which individuals are free to choose their own values and ends

Secara normatif dapat dipahami bahwa, untuk melindungi hak-hak, kebebasan dan kemerdekaan individu, pemerintah dalam memerintah kehidupan publik harus memiliki kekuasaan terbatas. Kekuasaan pemerintah dibatasi oleh implementasi dari prinsip konstitusionalisme, rule of law

(19)

37

mempunyai kewajiban untuk melindungi pelaksanaan hak politik setiap warga negara tanpa kecuali.33

Dalam telaah lain dikatakan bahwa hak warga negara adalah suatu kewenangan yang dimiliki oleh warga negara guna melakukan sesuatu sesuai peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain hak warga negara merupakan suatu keistimewaan yan menghendaki agar warga negara diperlakukan sesuai keistimewaan tersebut. Sedangkan kewajiban warga negara adalah suatu keharusan yang tidak boleh ditinggalkan oleh warga negara dalam kehidupan bermasyarkat berbangsa dan bernegara. Kewajiban warga negara dapat pula diartikan sebagai suatu sikap atau tindakan yang harus diperbuat oleh seseorang warga negara sesuai keistimewaan yang ada pada warga lainnya.34

Dalam diskursus liberal, hak individu menjadi basis dari suatu pendefinisian mengenai kehidupan yang baik dalam masyarakat. Diskursus ini berangkat dari pengakuan terhadap

33 Hans Kelsen, Op.Cit, h. 67

(20)

38

hak-hak individu, dan perlindungan negara terhadap setiap hak yang melekat pada individu yang ada.47Oleh sebab itu,

individu dibebaskan untuk melaksanakan hak politiknya. Namun dalam konteks ini terkadang negara lupa, bahwa proses perubahan dari yang semula banyak tergantung pada feeding

pemerintah atau dominasi kontrol oleh pemerintah, menjadi proses yang memberikan penghargaan pada kebebasan individual, pemerintah sebagai representasi negara menganggap bahwa warga negara secara otomatis sudah mengerti akan hak dan kewajibannya. Sebagai hasilnya, pembuatan kebijakan negara tidak memberi perhatian pada munculnya informed citizen karena sudah mempunyai pemahaman yang baik tentang demokrasi (enlightened understanding) yang menjadi unsur penting mengenai sukses tidaknya prosesi politik di suatu negara. 35

Dalam rumusan liberal, partisipasi aktif di dalam ruang publik diganti oleh aktivitas politik yang bernalar sangat individual dan instrumental. Seperti yang dijelaskan oleh

(21)

39

Sandel, penekanan liberal pada hak dan kebebasan individu telah melemahkan ikatan sosial warga yang menjadi basis penting untuk berpartisipasi dalam ruang publik. Dalam kondisi tersebut, mekanisme politik pun dibingkai dalam partisipasi yang bersifat instrumental di dalam pemilu.

Mekanisme pemilu yang hanya menekankan pada metode politik untuk memilih elit yang diyakini akan mewakili dan bekerja di dalam negara untuk memenuhi hak-hak kita sebagai warga negara telah mereduksi politik hanya sebagai mekanisme yang bersifat instrumental yang secara potensial dapat melahirkan individu-individu yang pasif. Hal ini berbeda dengan yang dibayangkan penganut model republikan. Dalam diskursus civil republicanism, penekanan pada identifikasi dalam komunitas abstrak yang substantif cenderung melahirkan politik otoritarian.36

Perjalanan electoral governance yang berlangsung di Indonesia tidaklah statis. Dari waktu ke waktu, terjadi tranformasi. Pada waktu Orde Baru, kebebasan warga negara

(22)

40

dalam menggunakan hak pilihnya dibatasi hanya untuk memilih salah satu dari tiga partai politik yang mengikuti kontestasi. Kontestasi pun dikendalikan seutuhnya oleh pemerintah otoriter, yang mengarahkan prosesi pemilu untuk memenangkan dan memberikan justifikasi kepada elit. Pola ini seiring dengan bergulirnya reformasi, telah berubah ke pemberian kebebasan kepada pemilik hak yaitu warga negara yang ditandai dengan dibukanya kran-kran berpartisipasi dalam politik seluas-luasnya dengan pendirian banyak sekali partai baru yang menjadi kontestan pada pemilu era reformasi. Yang menonjol adalah manifestasi model liberal. Ukuran-ukuran yang dipakai adalah yang diturunkan dari pemikiran yang mengedepankan individualitas, dan kewarganegaraan telah dihadirkan sebagai ukuran-ukuran instrumental.37

Jelasnya, manifestasi dari model di atas adalah kuatnya pemahaman dasar, bahwa hak memilih maupun dipilih merupakan hak individual. Oleh karena itu, seseorang dibebaskan untuk menggunakan atau tidak

(23)

41

(24)

42

Baru sangat tinggi. Tingginya kunjungan ke bilik suara pada masa Orde Baru ini menunjukkan pola institusionalisasi politik yang dipaksakan, sehingga sebenarnya rakyat tidak menikmati kebebasan penggunaan hak politiknya. Kondisi partisipasi politik itu berubah seiring dengan proses transisi yang ditandai dengan bergulirnya reformasi tahun 1998. Setelah reformasi ini, kehidupan demokrasi lebih marak dengan dibolehkannya pendirian partai politik baru. Rakyat mempunyai keleluasaan untuk memilih afiliasi politiknya. Sayangnya, reformasi yang terjadi, hanya ada pada tataran yang mendukung proses transformasi warga Negara menjadi pejabat public, bukan dalam rangka memastikan terlindunginya warga Negara sebagai pemilik kedaulatan.38

Mengutip Dahl tentang 5 ciri-ciri demokrasi ideal sebagaimana tersebut diatas, negara mempunyai kewajiban untuk mengusahannya. Kompleksitas upaya untuk dapat mewujudkan demokrasi ideal biasanya menemui tantangan dari kondisi geografis, demografis, besarnya negara, dan

(25)

43

pluralitas yang ada dalam suatu negara. Hal ini yang kemudian mempengaruhi munculnya pemikiran rentang kontrol dan kewenangan, apakah terpusat atau terdesentralisasi. Secara lebih detail, Dahl mengungkapkan bahwa dalam suatu negara demokrasi seharusnya ada 7 hal seperti di bawah ini:39

1) Adanya kontrol terhadap desain kebijakan pemerintahan yang melekat pada calon yang terpilih.

2) Calon yang terpilih dipilih dari suatu pemilu yang berkala dan pemilu yang bebas.

3) Pada dasarnya semua orang dewasa mempunyai hak untuk memilih wakil-wakilnya dalam pemilu

4) Pada dasarnya semua orang dewasa mempunyai hak untuk dipilih dan duduk dalam pemerintahan. Dalam hal ini, dapat diberlakukan pengaturan mengenai syarat umur yang lebih tinggi ketimbang syarat umur pemilih.

5) Warga negara mempunyai kebebasan untuk mengekspresikan hak politiknya tanpa takut adanya tekanan dalam segala bentuk.

(26)

44

6) Warga negara mempunyai hak untuk mencari sumber informasi dan dilindungi oleh hukum.

Prinsip HAM universal menyebutkan bahwa negara wajib menjamin hak memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be elected). Oleh karenanya, setiap negara diminta untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan dan upaya lain yang diperlukan untuk memastikan setiap warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan apapun memperoleh kesempatan yang efektif menikmati hak ini. Hak ini pada pokoknya, menjamin setiap warga negara untuk secara bebas turut serta dalam urusan publik dengan memilih wakil-wakilnya yang duduk di legislative dan eksekutif. Hak-hak ini juga berkaitan dengan hak yang lain dan tidak dapat dipisahkan, yakni: kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul (freedom of expressions, assembly and association).40

Rawls dalam bukunya The Theory of Justice

menyatakan bahwa tatanan yang adil ini perlu dibakukan

(27)

45

dalam struktur tertentu. Pengaturan-pengaturan harus dilakukan sedemikian rupa agar individu dapat mempergunakan itu sebagai pedoman bertindak. Pengaturan, dalam pandangan normative political theory

Rawls, menjadi hal yang harus ada agar tercipta keadilan. Oleh karena itu munculnya praktek-praktek berdemokrasi didasari keinginan untuk menciptakan keadilan, membuat formulasi atas struktur lembaga dan pengaturan-pengaturan lain yang menjadi dasar bertindak bagi individu-individu dalam suatu Negara, termasuk didalamnya memberikan jaminan hak untuk dipilih dan memilih secara adil.

(28)

46

logika yang tersirat dibalik pengaturan-pengaturan itu. Hilangnya sense penjaminan hak untuk dipilih dan memilih, dalam hal ini, terjadi manakala ada loncatan logika dibalik pengaturan-pengaturan yang dilakukan.

(29)

47

pemilu sebagai bagian pokok untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.41

Sebagaimana telah di sinyalir dalam pembahasan di atas wacana kepemiluan di Indonesia memberikan bobot pada prosedur tersebut untuk lebih memperhatikan hal

substantif yang dianggap sebagai ‘moral” dari sekedar hal -hal yang sifatnya prosedural. Dalam konteks studi ini, dapat dirumuskan dugaan bahwa kecenderungan untuk menempatkan tertib prosedural sebagai hal yang lebih mengemuka, dan melupakan hal substantif yaitu perlindungan hak pilih maupun dipilih warga negara, telah menyebabkan penyelenggara pemilu terjebak pada perumitan dan formalisme dan melupakan esensi pemilu sebagai upaya untuk menjamin hak untuk dipilih dan memilih warga negara.

(30)

48 C. Pemilihan Kepala Daerah

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 ayat (4) yang

menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi,

Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”. Hal tersebut sangat sesuai dengan nafas demokrasi yang merupakan sistem politik yang menetapkan kekuasaan dari oleh dan untuk rakyat sebagaimana yang dikemukakan oleh Montesquieu pencetus ajaran trias politica.42

Makna demokratis dari Pasal 18 ayat (4) UUD Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki dinamika tersendiri. Undang-Undang 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menerjemahkan makna demokratis tersebut dalam mekanisme demokrasi perwakilan dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD. Pemahaman ini sejalan dengan pendapat Sri Soemantri yang mengatakan bahwa demokrasi

(31)

49

mempunyai dua macam pengertian yaitu formal dan material. Realisasi pelaksanaan demokrasi dalam arti formal terlihat dalam UUD 1945 yang menganut paham indirect democracy, yaitu suatu demokrasi dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung melainkan melalui lembaga- lembaga perwakilan rakyat.43 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menerjemahkan makna demokratis tersebut kedalam mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung. Keluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membuka keran pencalonan pasangan kepala daerah melalui tiga jalur yaitu:44

1. Partai atau Gabungan Partai yang memperoleh kursi di DPRD;

2. Gabungan Partai yang tidak memperoleh kursi di DPRD;

43 Tjahjo Kumolo, Stabilitas Keamanan dan Kepastian Tegaknya

Hukum Menjamin Kesinambungan Pembangunan Nasional, Kemendagri, Jakarta, 2017, h. 11

(32)

50

3. Calon perseorangan yang mendapat sejumlah dukungan dari pemilih.

Sejak Indonesia merdeka, dalam sejarah sistem perekrutan ataupun pemilihan kepala daerah, sudah cukup banyak mengeluarkan peraturan tentang pemilihan kepala daerah. Dari semua aturan yang telah dibuat tersebut dapat dikelompokkan sesuai periode dan sistem penyelenggaraan pemilihannya. Periode dan sistem pemilihan tersebut dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:45

1. Periode penunjukan Gubernur oleh Presiden atas usulan beberapa calon oleh DPRD Provinsi, sedangkan Bupati/Walikota ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri melalui usulan beberapa calon oleh DPRD kabupaten/kota.

2. Pemilihan Gubernur/Bupati/Wali kota melalui pemilihan di DPRD provinsi,kabupaten/kota.

3. Pemilihan Gubernur/Bupati/Wali kota secara langsung. Pemilihan kepala daerah selalu didahului terbitnya

(33)

51

(34)

52

Tabel 2.1 Periodisasi Pemilihan Kepala Daerah46 Periode Sistem Pemilihan Kepala

(35)

53

Tabel tersebut menggambarkan bahwa pemerintah mencoba untuk melakukan perbaikan-perbaikan atas undang-undang yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah. Kondisi ini merupakan salah satu bentuk potret dari wajah eksekutif dan legislatif di Indonesia dalam merumuskan suatu peraturan perundang-undangan. Penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2004 secara langsung telah mengilhami dilaksanakannya Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung. Hal ini didukung pula dengan semangat otonomi daerah yang telah digulirkan pada tahun 1999. Oleh karena itu, sejak 2005, telah diselenggarakan Pilkada secara langsung, baik ditingkat provinsi, maupun kabupaten/kota. Penyelenggaraan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang

menyebutkan bahwa “Kepala daerah dan wakil kepala

daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang

(36)

54

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”.

Pasangan calon yang akan berkompetisi dalam Pilkada adalah pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.47

Pilkada masuk ke dalam rangkaian Pemilu setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Pada tahun 2008, tepatnya setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasangan Calon yang dapat turut serta dalam pemilihan kepala daerah tidak hanya pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, tetapi juga dari perseorangan.

D. Calon Perseorangan dalam Pilkada

Tindak lanjut atas Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang calon perseorangan adalah syarat pencalonan, baik

(37)

55

berupa syarat administratif/teknis maupun syarat-syarat subtantif. Selain itu penting juga dicermati mekanisme pendaftaran, verifikasi syarat dan berkas pendaftaran, pengaturan terkait dana kampanye bagi calon perseorangan, serta sanksi pelanggaran terkait calon perseorangan. Secara umum pengaturan syarat (pencalonan) calon perseorangan ini setidaknya harus mempertimbangkan pemikiran sebagai berikut:48

1. Calon perseorangan harus memberikan kontribusi positif dalam rangka perbaikan sistem politik (dan juga sistem kepartaian). Hadirnya calon perseorangan seharusnya tidak dipandang secara parsial apalagi dihadap- hadapkan dengan partai politik. Keduanya, baik partai politik maupun calon perseorangan, harus dilihat dalam perspektif yang integral sebagai faktor penting dari bangunan sistem politik di Indonesia. Sehingga regulasi terhadap calon

48 Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, Otonomi

(38)

56

perseorangan sama pentingnya dengan regulasi terhadap partai politik.

2. Calon perseorangan harus dapat mengonfirmasi fungsi-fungsi politik seperti fungsi agregasi kepentingan, fungsi komunikasi politik, dan lain-lain. Artinya calon perseorangan juga harus terlembaga secara baik agar memiliki kontribusi dalam penguatan sistem politik;

3. Calon perseorangan harus jelas akuntabilitasnya dalam sistem demokrasi yang sedang dibangun. Kalau tidak, bisa saja calon perseorangan hanya akan mengulangi kesalahan yang sering dialamatkan kepada partai politik, yaitu kecenderungan mangabaikan kepentingan masyarakat untuk sekedar ambisi kekuasaan.

(39)

57

daerah. Calon perseorangan bukan sebagai anggota partai politik sekurang-kurangnya 3 tahun sebelum pendaftaran calon.

Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pasangan calon tersebut diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan tertentu yang telah disebutkan dalam Undang- Undang. Adapun syarat secara umum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 adalah sebagai berikut:49

1. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

2. setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

3. berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat.

(40)

58

4. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;

5. mampu secara jasmani, rohani, dan bebas dari penyalahgunaan narkotika berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim; 6. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;

7. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

8. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian;

9. menyerahkan daftar kekayaan pribadi;

10.tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;

11.tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

12.memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan memiliki laporan pajak pribadi;

(41)

59 Walikota;

14.belum pernah menjabat sebagai Gubernur untuk calon Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk Calon Wakil Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah yang sama

15.berhenti dari jabatannya bagi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon;

16.tidak berstatus sebagai penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota;

17.dihapus;

18.menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan;

19.menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil serta Kepala Desa atau sebutan lain sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan; dan

20.berhenti dari jabatan pada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai calon

(42)

60

Gubernur dan Calon Wakil Gubernur jika memenuhi syarat dukungan jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar pemilih tetap pada pemilihan umum atau Pemilihan sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan, dengan ketentuan:50

1. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen);

2. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen);

3. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen);

4. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan

5.

Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah

kabupaten/kota di Provinsi dimaksud

(43)

61

Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota jika memenuhi syarat dukungan jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar pemilih tetap di daerah bersangkutan pada pemilihan umum atau Pemilihan sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan, dengan ketentuan:51

1. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen); 2. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang

termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen);

3. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen);

4. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari

(44)

62

1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan

5. jumlah dukungan sebagaimana dimaksud tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud

(45)

63

dinas kependudukan dan catatan sipil yang menerangkan bahwa penduduk tersebut berdomisili di wilayah administratif yang sedang menyelenggarakan Pemilihan paling singkat 1 (satu) tahun.

Surat pernyataan dukungan bagi bakal calon perseorangan disusun secara perorangan atau kolektif per desa atau sebutan lain/kelurahan. Surat pernyataan dukungan dan rekapitulasi jumlah dukungan dibuat dalam bentuk softcopy dan hardcopy. Dalam hal softcopy yang harus disusun sesuai dengan format dalam Sistem Informasi Pencalonan.52

Setelah pasangan calon perseorangan menyerahkan syarat-syarat kelengkapan sebagai calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, selanjutnya KPU (Komisi Pemilihan Umum) melakukan verifikasi dan rekapitulasi terhadap dukungan calon perseorangan. Verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon perseorangan untuk pemilihan

(46)

64

Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan oleh Komisi Pemilhan Umum (KPU) provinsi yang dibantu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten/kota, PPK, dan PPS. Verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon perseorangan untuk pemilihan Bupati dan Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota dilakukan oleh KPU kabupaten/kota yang dibantu oleh PPK dan PPS.

(47)

65 dilakukan verifikasi administrasi.53

Apabila jumlah dukungan dan persebarannya yang tercantum pada dokumen tidak memenuhi jumlah minimal dukungan dan persebaran, dan/atau tidak memenuhi ketentuan, KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota menyusun berita acara dan mengembalikan dokumen dukungan kepada Bakal Pasangan Calon untuk diperbaiki dalam masa penyerahan dokumen dukungan. Dalam hal sampai dengan akhir masa penyerahan dokumen dukungan Bakal Pasangan Calon tidak memenuhi jumlah minimal dukungan dan persebaran, dan/atau ketentuan penyerahan dokumen, KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota menerbitkan keputusan penetapan Bakal Pasangan Calon tidak memenuhi syarat.

Sedangkan verifikasi administrasi bakal calon perseorangan dilakukan dengan cara mencocokkan

(48)

66

kesesuaian Nomor Induk Kependudukan, nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir dan alamat pendukung dalam hardcopy berkas dukungan dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau surat keterangan yang diterbitkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil, verifikasi kesesuaian antara formulir Model B.1-KWK Perseorangan dengan daftar pemilih tetap pada Pemilu atau Pemilihan Terakhir dan/atau daftar penduduk potensial pemilih Pemilihan, verifikasi kesesuaian antara alamat pendukung dengan daerah Pemilihan, verifikasi kelengkapan lampiran dokumen dukungan, verifikasi kesesuaian alamat pendukung dengan wilayah administrasi PPS, verifikasi identitas kependudukan untuk memastikan pemenuhan syarat usia pendukung dan/atau status perkawinan, dan verifikasi terhadap dugaan dukungan ganda terhadap Bakal Pasangan Calon perseorangan.

(49)

67

dukungan kepada PPS untuk dilakukan verifikasi paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sebelum waktu pendaftaran pasangan calon dimulai. Bakal pasangan calon perseorangan untuk pemilihan gubernur/wakil gubernur menyerahkan daftar dukungan kepada PPS untuk dilakukan verifikasi paling lambat 28 (dua puluh delapan) hari sebelum waktu pendaftaran pasangan calon dimulai. Verifikasi tersebut dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari sejak dokumen dukungan bakal pasangan calon perseorangan diserahkan.

(50)

68

Hasil verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon perseorangan tersebut di atas dituangkan dalam berita acara yang selanjutnya diteruskan kepada KPU kabupaten/kota dan salinan hasil verifikasi dan rekapitulasi disampaikan kepada bakal pasangan calon. Dalam pemilihan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota, salinan hasil verifikasi dan rekapitulasi dipergunakan oleh pasangan bakal calon dari perseorangan sebagai bukti pemenuhan persyaratan dukungan pencalonan. KPU kabupaten/kota melakukan verifikasi dan rekapitulasi jumlah dukungan bakal pasangan calon untuk menghindari adanya seseorang yang memberikan dukungan kepada lebih dari satu bakal pasangan calon dan adanya informasi manipulasi dukungan yang dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) hari.

(51)

69

kepada bakal pasangan calon untuk dipergunakan sebagai bukti pemenuhan persyaratan jumlah dukungan untuk pencalonan pemilihan gubernur/wakil gubernur.

Pasangan calon perseorangan kemudian diteliti persyaratan administrasinya dengan melakukan klarifikasi kepada instansi pemerintah yang berwenang dan menerima masukan dari masyarakat terhadap persyaratan pasangan calon tersebut. Hasil penelitian tersebut diberitahukan secara tertulis kepada calon perseorangan paling lama 21 (dua puluh satu) hari terhitung sejak tanggal penutupan pendaftaran. Apabila calon perseorangan tersebut belum memenuhi syarat-syarat, calon perseorangan diberi kesempatan untuk melengkapi dan/atau memperbaiki surat pencalonan beserta persyaratan pasangan calon paling lama 14 (empat belas) hari sejak saat pemberitahuan hasil penelitian persyaratan oleh KPU provinsi dan/atau KPU kabupaten/kota.

(52)

70

mencalonkan kembali. KPU provinsi dan/atau KPU kabupaten/kota melakukan penelitian ulang tentang kelengkapan dan/atau perbaikan persyaratan calon sekaligus memberitahukan hasil penelitian tersebut paling lama 14 (empat belas) hari kepada calon perseorangan. Apabila hasil penelitian berkas calon tidak memenuhi syarat dan ditolak oleh KPU provinsi dan/atau KPU kabupaten/kota, partai politik, gabungan partai politik, atau calon perseorangan tidak dapat lagi mengajukan calon.

Gambar

Tabel 2.1 Periodisasi Pemilihan Kepala Daerah46
Tabel tersebut menggambarkan bahwa pemerintah

Referensi

Dokumen terkait

Material yang ‘hilang’ ini dalam sistem elektrokimia disebut sebagai Anoda yang memiliki potensial korosi lebih tinggi (berpotensi untuk terkorosi), sedangkan tembaga adalah

Agar kegiatan dalam meningkatkan kemampuan berbahasa pada anak dapat terlaksana dan tujuan pembelajaran dapat terrcapai secara optimal, maka diperlukan sebuah

Kontribusi dari penambahan jumlah wajib pajak orang pribadi baru hasil kegiatan ekstensifikasi pada penerimaan pajak penghasilan orang pribadi KPP Pratama Kepanjen yaitu

Berdasarkan fenomena tersebut dirasa penting untuk melakukan penelitian mengenai “ Hubungan antara sumber informasi pada pasangan usia subur (PUS) dengan pemakaian kontrasepsi

Hasil analisis SWOT menghasilkan lima strategi pemasaran yang dapat dilakukan oleh Pabrik Tahu Alami dianatranya (1) Mempertahankan kualitas produk yang dimiliki dengan cita rasa

dengan kelengkapan fasilitas yang memadai, namun jika tidak ada motivasi untuk melakukan pekerjaan tersebut maka pekerjaan itu tidak akan berjalan sebagaimana yang

Haudec Herrawan, S.Hut, MP Syamsul Rijal, S.Hut, MP Monisari Jamal, S.Hut Slamet Riyadi, S.Hut., MM Hasanuddin, S.Hut.,MP.. Andi Sappewali Baso, S.Hut Sylva

deskripsi/narasi nilai agama Islam pada materi Fisika dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) fisika sekolah. Dalam penelitian ini, portofolio dikerjakan oleh